Ceritasilat Novel Online

Sepasang Garuda Putih 17


Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 17



Maka kedatangan keluarga Ki Patih Tejolaksono ini disambut dengan gembira dan meriah oleh keluarga Raja Jenggala. Tentu saja Sang Prabu Jenggala sudah mendengar akan gerakan pasukan yang dilakukan Panjalu untuk menundukkan Nusabarung dan Blambangan dan untuk itu diapun sudah mempersiapkan pasukan sebanyak dua ribu orang untuk diikut sertakan dan membantu pasukan Panjalu. Bantuan ini dengan senang hati diterima oleh Ki Patih Tejolaksono.

   Tidak lama mereka singgah di Jenggala dan pada hari itu juga, pasukan diberangkatkan menuju ke timur. Kini jumlahnya bertambah menjadi duabelas ribu orang. Jauh sebelum mereka tiba di pesisir yang menjadi tapal batas kadipaten Nusabarung, pihak Nusabarung sudah mendengar lebih dulu dari para telik sandi mereka dan sudah membuat persiapan untuk melakukan perlawanan. Bahkan mereka telah mendapat balabantuan dari Blambangan sebanyak se ribu orang perajurit sehingga jumlah mereka semua ada enam ribu perajurit. Sebagian besar para perajurit itu berjaga di sekitar pantai Nusabarung dan sebagian lagi menjaga di luar kadipaten yang berada di tengah-tengah pulau.

   Ki Patih Tejolaksono menghentikan pasukannya di pantai Laut Kidul, membuat perkemahan di situ. Lalu semua alat pembuatan perahu yang telah dipersiapkan lebih dulu dikeluarkan dan sibuklah para ahli pembuat perahu bekerja siang malam membuat perahu. Karena banyaknya orang yang bekerja, dan alat-alat sudah lengkap juga di situ banyak pohon-pohon yang dapat ditebang dan kayunya dibuat papan perahu, maka dalam waktu dua pekan saja selesailah sudah ratusan buah perahu yang akan menyeberangkan pasukan itu ke Nusabarung. Pasukan itu telah membawa selain perlengkapan pembuatan perahu, juga tukang-tukang perahu yang ahli melayarkan perahu-perahu itu menyeberang lautan.

   Akan tetapi pelayaran menuju Nusabarung itu tidak mudah karena di tengah Lautan mereka dihadang banyak perahu dari para perajurit Nusabarung sehingga terjadi pertempuran di tengah lautan. Perang anak panah terjadi dan setelah perahu-perahu saling mendekat, terjadilah perang campuh di atas perahu. Ahli-ahli berlayar dari Panjalu dan Jenggala mengemudikan perahu dengan sibuk dan hati-hati ketika perahu-perahu itu bertabrakan dan di atas perahu terjadi pertempuran seru. Akan tetapi karena jumlah perajurit kalah banyak, dan kalah dalam hal ketangkasan bertempur, pasukan Nusabarung mundur dan melarikan diri dengan sisa perahu-perahu mereka ke pulau, lalu membentuk barisan di pantai pulau itu menanti datangnya perahu-perahu musuh.

   Setelah pasukan Panjalu dan Jenggala mendarat, terjadilah pertempuran di darat, di pantai pulau Nusabarung. Dalam pertempuran itu, Ki Patih Tejolaksono dan Endang Patibroto melihat betapa di bagian kiri para perajurit mereka menjadi kacau dan banyak yang berpelantingan, tidak kuat menghadapi amukan lima orang yang rata-rata bertubuh tinggi besar dan mereka ini mengamuk dengan golok mereka. Bahkan dua orang senopati dari Jenggaia yang menjaga bagian itu kabarnya sudah roboh pula. Mendengar ini, Endang Patibroto lalu meloncat dan berlari ke bagian itu, diikuti oleh suaminya.

   Adapun Bagus Seto dan Retno Wilis hanya menonton dari tempat tinggi, tidak mencampuri perang itu. Akan tetapi kalau ada perajurit musuh yang datang menyerbu, mereka hanya merobohkan mereka dengan tamparan dan tendangan yang cukup mengusir mereka menjauh dengan gentar dan tidak membunuh mereka. Ketika Endang Patibroto dan Ki Patih Tejolaksono tiba di tempat pertempuran bagian sayap kiri itu, tampaklah oleh mereka lima orang senopati tinggi besar. Mereka itu bukan lain adalah Senopati Wisokolo, Senopati Wisangnogo, Senopati Krendomolo, Senopati Damarpati, dan Senopati Surodiro, lima orang senopati jagoan dari Nusabarung yang terkenal digdaya. Sepak terjang lima orang senopati jagoan Nusabarung ini sudah hebat, merobohkan banyak perajurit Panjalu, akan tetapi di bagian lain, ada lagi seorang kakek yang mengamuk lebih hebat lagi.

   Dia seorang kakek berusia enam puluhan tahun, berpakaian serba kuning, rambutnya gimbal akan tetapi dihias tusuk sanggul terbuat dari emas permata, matanya lebar hidungnya pesek dan mulutnya selalu menyeringai. Hebatnya, bukan saja tangan kakinya yang mengamuk dengan tongkat ularnya, juga mulutnya mengeluarkan bentakan-bentakan dan para perajurit yang terkena bentakan itu berpelantingan seperti terdorong tenaga yang dahsyat! Endang Patibroto marah sekali melihat kakek ini karena ia mengenalnya sebagai Wasi Surengpati. Kalau dahulu Wasi Surengpati berpakaian butut, kini biarpun pakaiannya masih dekil namun dia memakai banyak perhiasan yang mewah! Hal ini karena dia sekarang telah menjadi penasihat Nusabarung.

   "Kakangmas, hajarlah lima senopati dari Nusabarung itu, aku akan menghadapi kakek itu!"

   Kata Endang Patibroto kepada suaminya,

   "Hati-hati diajeng. Kakek itu kelihatan sakti, biar aku saja yang menghadapinya!"

   Kata Tejolaksono khawatir.

   "Jangan Khawatir, kakangmas. Aku pernah melawannya dan aku mampu mengatasinya. Lima orang senopati itupun digdaya, harap kakangmas waspada,"

   Kata Endang Pati broto yang segera berlari menghampiri tempat di mana Wasi Surengpati mengamuk.

   "Wasi Surengpati, sekali ini engkau tidak akan terlepas dari tanganku!"

   Bentak Endang Patibroto, sambil melompat dan tiba di depan kakek yang sedang mengamuk itu. Melihat tiba-tiba muncul wanita yang ditakuti itu, wajah Wasi Surengpati menjadi pucat lalu merah sekali karena dia sudah menjadi marah. Untuk melarikan diri sudah tidak sempat lagi, maka diapun membentak.

   "Endang Patibroto, engkaulah yang akan mampus di tanganku!"

   Dan diapun segera menerjang sambil mengeluarkan pekik yang dapat menggetarkan jantung lawan. Akan tetapi, Endang Patibroto sudah mengerahkan kekuatan batinnya dan ia mengelak dari sambaran tongkat ular, lalu mencabut kerisnya dan membalas dengan serangan kerisnya yang berada di tangan kanannya. Tusukan itu cepat dan kuat sekali. Wasi Surengpati terkejut dan mengelak sambil memukulkan tongkatnya untuk menangkis. Endang Patibroto menarik kembali kerisnya dan tiba-tiba tangan kirinya menyambar ke depan dengan aji pukulan Pethit Nogo yang amat ampuh.

   "Wuuuuuuttt... desss!!"

   Wasi Surengpati sudah mencoba untuk menangkis pukulan itu, akan tetapi tangkisannya terpental dan dadanya terkena sambaran pukulan yang amat ampuh itu sehingga dia terjengkang dan terbanting ke atas tanah. Dia cepat melompat bangun, akan tetapi Endang Patibroto yang menggunakan gerakan dengan ilmu Bayutantra, membuat tubuhnya dapat mengejar dengan cepat dan sebuah pukulan dengan Aji Gelap Musti menyambar ke arah kepala Wasi Surengpati. Sang wasi cepat miringkan kepala untuk mengelak dan pukulan itu mengenai pundaknya. Namun, hebat sekali pukulan Aji Gelap Musti itu. Tubuh Wasi Surengpati terpelanting keras dan bergulingan, tiba di dekat para perajurit Panjalu. Para perajurit yang melihat musuh yang sakti ini bergulingan di dekat kaki mereka, segera menghujamkan senjata mereka.

   Sang wasi yang sudah terkena pukulan dua kali dengan hebatnya, tidak lagi mampu mengerahkan ilmu kekebalannya dan tubuhnya hancur lebur di bawah hujan senjata para perajurit itu. Tewaslah dia dalam keadaan tubuh hancur. Sementara itu, Tejolaksono menerjang lima orang senopati yang segera terdesak ke belakang. Amukan Tejolaksono dengan aji Bajra Dahono amatlah dahsyatnya. Kedua tangannya seolah mengeluarkan api panas dan lima orang ini terhuyung ke belakang. Dengan gerakan Bayu Sakti, Tejolaksono dapat bergerak secepat angin dan selagi lima orang itu belum pulih keadaan mereka, Tejolaksono sudah menerjang dengan amukan Aji Dirodometo. Seperti seekor gajah mengamuk kaki tangannya bergerak dan lima orang itu satu demi satu berpelantingan dan segera dikeroyok oleh para perajurit Panjalu.

   Lima orang senopati itupun tewas semua di bawah hujan senjata. Setelah lima orang senopati dan Wasi Surengpati tewas, para perajurit Nusabarung yang kehilangan pimpinan menjadi kacau balau dan kalang kabut, tunjang palang melarikan diri ke tengah pulau! Mereka bergabung dengan pasukan yang berjaga di luar kadipaten. Terjadi lagi pertempuran hebat, akan tetapi karena kalah dalam jumlah dan kekuatan, apalagi mereka tidak lagi mempunyai pimpinan yang tangguh, pasukan Nusabarung tidak kuat menahan serangan para perajurit Panjalu dan Jenggala dan akhirnya para perajurit dapat membobolkan gapura Nusabarung dan dipimpin oleh Tejolaksono dan Endang Patibroto, pasukan pengawal memasuki kadipaten!

   Di tengah ruangan kadipaten mereka mendapatkan Adipati Martimpang berikut tujuh orang puterinya dan semua isteri dan selirnya berkumpul. Sang Adipati sudah kehilangan kewibawaannya dan menundukkan mukanya ketika Tejolaksono memasuki ruangan itu bersama Endang Patibroto dan kedua orang putera puteri mereka mengikuti dari belakang. Dyah Candramanik, puteri sulung sang Adipati Martimpang ketika melihat Retno Wilis ikut masuk ke ruangan itu, memandang dengan mata berapi. Dara jelita ini masih merasa sakit hati karena dulu pernah ditipu oleh Retno Wilis yang menyamar sebagai Joko Wilis sehingga ia jatuh cinta kepada "pemuda"

   Itu.

   "Adipati Martimpang, pasukanmu sudah hancur, apakah sekarang andika sudah rnenakluk kepada Kerajaan Jenggala?"

   Tanya Ki Patih Tejolaksono dengan tegas namun cukup hormat. Adipati Martimpang mengangkat muka, bertemu pandang dengan Tejolaksono dan menarik napas panjang.

   "Kami sudah kalah, terserah apa yang akan andika lakukan, Ki Patih."

   "Untuk sementara, andika sekeluarga menjadi tawanan di sini dan kadipaten Nusabarung akan diawasi oleh para wakil dari Jenggala. Setelah kami nanti kembali ke kerajaan Panjalu dan Jenggala, andika sekeluarga akan menjadi tawanan dan kami bawa ke Jenggala."

   Adipati Martimpang yang sudah merasa kalah hanya mengangguk dan dia bersama keluarganya lalu digiring ke pedalaman kadipaten dan ditawan dalam kamar masing-masing dan dijaga oleh para perajurit Jenggala. Ki Patih Tejolaksono lalu memanggil semua perwira Jenggala dan memerintahkan kepada mereka dan sisa dua ribu pasukan mereka untuk menguasai dan menjaga Nusabarung.

   Dia sendiri bersama pasukan Panjalu yang tadinya sebanyak selaksa orang akan melanjutkan ekspidisinya ke Blambangan. Hanya tiga hari pasukan itu dibiarkan beristirahat di Nusabarung dan pada hari ke empat pasukan itu menyeberang ke daratan lalu melanjutkan perjalanan menuju ke barat, ke Blambangan. Akan tetapi belum lama mereka bergerak, dari depan menghadang pasukan yang berjumlah lebih kurang lima ratus orang. Pasukan ini dipimpin oleh Sang Adipati Kertajaya, yaitu adipati dari Pasisiran, bersama puteranya, Jarot. Ternyata pasukan ini siap membantu gerakan pasukan dari Kerajaan Panjalu dan Jenggala. Ki Patih Tejolaksono menerima mereka dengan senang hati, bahkan menganjurkan agar Jarot saja yang memimpin lima ratus pasukan dari Pasisiran itu untuk membantu sedangkan Adipati Kertajaya menjaga ketenteraman di Pasisiran.

   "Tidak baik kalau andika sekalian ikut pergi karena kadipaten Pasisiran akan menjadi kosong dari pimpinan,"

   Kata pula Endang Patibroto.

   "Kami rasa anakmas Jarot sudah cukup untuk membantu kami."

   Adipati Kertajaya akhirnya menurut dan membiarkan puteranya seorang diri yang memimpin lima ratus orang pasukan Kerajaan Panjalu dan Jenggala.

   Pasukan itu melanjutkan perjalanan mereka dan kembali di tengah perjalanan mereka dihadang dua pasukan yang terdiri dari masing-masing se ratus orang. Mereka itu bukan lain adalah Ki Haryosakti dan Bajramusti, dua orang sakti yang menjadi pimpinan Jambuko Cemeng dan ketua Bala Cucut, dua orang yang pernah ditalukkan oleh Retno Wilis dan Bagus Seto dan kepada dua orang kakak beradik ini mereka sudah berjanji untuk kelak membantu Panjalu. Setelah mendengar bahwa pasukan Panjalu dan Jenggala sudah mengadakan ekspidisi ke timur dan sudah menaklukkan Nusabarung, kini sedang menuju ke Blambangan. Mereka lalu membawa anak buah masing-masing dan menghadang di tengah perjalanan. Retno Wilis lalu memperkenalkan mereka kepada ayah ibunya.

   "Paman ini adalah Ki Haryosakti, ketua dari Jambuko Cemeng yang sudah berjanji kepada kakangmas Bagus Seto dan aku untuk membantu Panjalu. Dan yang ini adalah paman Bajramusti, ketua Bala Cucut yang juga berjanji membantu pasukan Panjalu,"

   Demikian Retno Wilis melaporkan kepada ayahnya.

   Tejolaksono mengangguk senang dan menerima mereka dengan baik, menempatkan mereka di tengah pasukannya. Hal ini menunjukkan bahwa Ki Patih Tejolaksono adalah seorang panglima yang berpengalaman. Biarpun sudah diperkenalkan oleh puterinya, namun dia tidak kekurangan kewaspadaan dan menempatkan dua kepala gerombolan itu di tengah-tengah pasukannya sehingga mereka tidak akan dapat berkhianat kalau terjadi perang melawan pasukan Blambangan. Kalau ditaruh di depan, mereka akan dapat berbalik membantu Blambangan dan kalau ditempatkan di belakang, mereka juga dapat membokong dan menyerang dari belakang untuk membantu Blambangan. Akan tetapi kalau mereka ditaruh di tengah mereka tidak berdaya dan mau tidak mau harus membantu pasukan Panjalu!

   Tentu saja pihak Blambangan sudah mendengar akan jatuhnya Nusabarung ke tangan pasukan dari Panjalu dan Jenggala, bahkan pasukan yang mereka perbantukan ke Nusabarung juga sudah melarikan diri pulang, meninggalkan kawan-kawan yang gugur, akan tetapi membawa pula banyak pasukan yang melarikan diri. Kini mereka bergabung dengan pasukan Blambangan dan melakukan penjagaan di perbatasan Blambangan, dipimpin sendiri oleh Senopati Kurdolangit dan senopati Rajah Beling, dibantu para senopati lainnya termasuk Raden Kalinggo, putera Senopati Rajah Beling yang tinggi besar dan brewokan itu. Raden Kalinggo ini dulu pernah ikut sayembara untuk memperebutkan Dyah Candramanik puteri Adipati Martimpang dari Nusabarung, namun dia dikalahkan oleh Joko Wilis.

   Jumlah pasukan Blambangan ditambah sisa pasukan Nusabarung tidak kurang dari delapan ribu orang. Begitu pasukan Panjalu muncul, mereka segera diserbu oleh pasukan Blambangan yang masih segar, berbeda dengan keadaan pasukan Panjalu yang baru tiba dari perjalanan yang cukup melelahkan. Namun, pasukan Panjalu melawan dengan gigih. Amukan Senopati Kurdolangit segera di bendung dan dihadapi oleh Ki Bajramusti ketua Bala Cucut yang diperintahkan Ki Patih Tejolaksono untuk maju. Hal ini dinasihatkan oleh Retno Wilis yang sudah maklum akan kesaktian ketua Bala Cucut ini. Adapun amukan Rajah Beling dihadapi oleh Ki Haryosakti yang juga maju atas anjuran Retno Wilis. Ketika Raden Kalinggo maju, maka yang menghadapinya adalah Jarot! Terjadilah perang pupuh yang amat seru. Tepat sekali perhitungan Retno Wilis yang mengajukan jago-jagonya.

   Senopati Kurdolangit memang sakti. Senopati yang tinggi kurus ini memainkan pedangnya dengan tangkas dan kuat. Namun yang menandingi adalah Ki Bajramusti yang memegang golok besar. Selain ilmu silat yang tangguh, juga Ki Bajramusti memiliki kekuatan sihir yang cukup hebat. Setelah bertempur dengan serunya, Ki Bajramusti berulang kali mengeluarkan pekik yang amat dahsyat, dan pekik ini yang mengguncangkan jantung Senopati Kurdolangit dan membuat permainan pedangnya menjadi kacau. Pada saat dia terlengah, golok besar di tangan Ki Bajramusti menyambar dan mengenai pahanya, membuat tubuh Senopati Kurdolangit terpelanting roboh. Golok besar di tangan Ki Bajramusti menyambar ganas dan putuslah leher Senopati Kurdolangit, disambut sorak sorai para perajurit atau anak buah Bala Cucut yang mendukung ketua mereka.

   Senopati Rajah Beling mendengar sorak sorai itu dan segera dia mengetahui bahwa rekannya, Senopati Kurdolangit telah roboh dan tewas. Hal ini tentu saja membuat hatinya menjadi gentar. Akan tetapi tidak ada jalan lain baginya kecuali mengamuk dengan tombak cagaknya. Lawannya, Ki Haryosakti juga bersenjata tombak sehingga ramailah pertandingan di antara mereka. Akan tetapi setelah Senopati Rajah Beling mendengar akan tewasnya Senopati Kurdolangit, hatinya yang gentar membuat permainan tombaknya menjadi kacau.

   "Haiiittt...!"

   Dia mencoba untuk mengeluarkan gertakan dan tombak cagaknya menyambar ke arah perut Ki Haryosakti.

   "Tranggg...!"

   Tombak Ki Haryosakti menangkis, akan tetapi ujung tombak itu terjepit di antara cagak tombak di tangan Senopati Rajahbeling. Mereka bersitegang mengadu kekuatan karena tombak mereka sudah saling jepit. Dan dalam adu tenaga ini Senopati Rajahbeling masih kalah setingkat. Tombak Ki Haryosakti mendorong maju dan tanpa dapat dielakkan lagi oleh lawan, tombaknya menusuk ke arah dada lawan.

   "Creppp... auhhh...!"

   Tubuh Senopati Rajahbeling terjengkang dan dia tewas seketika karena jantungnya tertembus ujung tombak Ki Haryosakti. Kalinggo yang bertanding dekat ayahnya melihat robohnya ayahnya. Dia menjadi kaget, sedih dan marah besar. Akan tetapi lawannya adalah Jarot, seorang pemuda sakti murid Bhagawan Dewondaru. Sejak tadi mereka berkelahi dengan tangan kosong dan dia sudah terdesak terus. Sekarang, melihat ayahnya roboh dia menjadi nekat dan mencabut sebatang keris yang besar dan berwarna keemasan. Dengan keris di tangan dia menubruk dan menyerang ke arah dada Jarot. Pemuda Pasisiran ini mengelak cepat dan keris itu meluncur di sampingnya. Cepat dia membalik dan mengetuk lengan kanan Raden Kalinggo dengan tepi tangannya yang miring.

   "Dukk...!"

   Akan tetapi Raden Kalinggo hanya meringis kesakitan. Kerisnya tidak terlepas dari pegangannya. Memang pemuda ini memiliki kekebalan dan kekuatan yang cukup hebat. Dia bahkan mengamuk semakin hebat dan menghujani Jarot dengan serangan kerisnya secara bertubi-tubi. Jarot mengelak ke sana sini dan merasa bahwa kalau dilanjutkan, mungkin dia akan kewalahan karena lawannya sudah mengamuk membabi buti. Maka diapun lalu menghunus kerisnya dan tampak sinar hitam berkelebat. Itulah keris pusaka Nogo lreng yang berwarna hitam.

   "Trangg...!"

   Ketika keris keemasan ditangan Raden Kalinggo menusuk lagi ke arah perut Jarot, pemuda ini dengan trengginas menangkis dari samping sehingga keris Kalinggo menyimpang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Jarot untuk memukulkan tangan kirinya ke depan, tepat mengenai dada Kalinggo.

   "Bukk!"

   Kalinggo terhuyung ke belakang, tangan kirinya menekan dadanya yang terasa nyeri dan napasnya terengah. Akan tetapi pukulan ini membuatnya semakin marah dan tanpa memperdulikan rasa nyeri di dadanya yang membuat napasnya sesak, dia menerjang dengan nekat, menggunakan kerisnya menusuk dada lawan dan tangan kirinya mencengkeram ke arah muka Jarot! Penyerangan ini sungguh nekat tanpa memperdulikan pertahanannya sendiri yang terbuka. Jarot menghindar ke kiri dengan cepat dan keris di tangan kanannya menyambar ke samping.,

   "Crott!"

   Keris itu menusuk lambung dan Jarot cepat mencabutnya kembali sambil melompat ke belakang agar jangan sampai terpercik darah yang menyembur keluar dari lambung Kalinggo. Kalinggo berteriak keras dan tubuhnya terguling roboh. Kerisnya terlepas dari pegangannya dan dengan kedua tangan dia mendekap luka di lambungnya yang mengucurkan darah. Akan tetapi tidak lama dia menegang dan menghembuskan napas terakhir, tewas dalam kubangan yang dibuat darahnya sendiri. Tejolaksono dan Endang Patibroto dikeroyok oleh para senopati lainnya. Akan tetapi suami isteri ini mengamuk seperti banteng terluka. Siapa saja yang berani menghadangnya tentu roboh terpelanting oleh tamparan atau tendangan mereka. Keduanya tidak menggunakan senjata, hanya dengan tangan kosong saja mereka merobohkan puluhan perajurit yang berani mengeroyok mereka.

   Amukan suami isteri ini menggetarkan semua perajurit Blambangan, akan tetapi menambah semangat para perajurit Panjalu. Juga kemenangan yang diperoleh Jarot, Ki Haryosakti dan Ki Bajramusti membuat anak buah mereka menjadi bersemangat sekali. Mereka semua mengamuk, membuat pasukan Blambangan menjadi kocar-kacir dan terdesak mundur terus sampai di pintu gapura Blambangan di mana sudah siap menjaga sebagian dari pasukan Blambangan yang diperkuat dan dipimpin Wasi Karangwolo, Adipati Menak Sampar sendiri, dibantu Wasi Shiwamurti, Ki Shiwananda, dan Ni De wi Durgomala dan beberapa orang senopati, juga belasan orang perwira Blambangan. Agaknya sekali ini Adipati Menak Sampar mengerahkan seluruh tenaganya untuk mempertahankan Blambangan! Tak dapat dicegah lagi terjadilah pertempuran hebat, perang campuh yang gegap gempita.

   Para pemimpin kedua pihak juga segera saling berhadapan dan Retno Wilis sudah membisikan siasatnya untuk menghadapi para wasi sakti itu. Bagus Seto segera menghadang Wasi Shiwamurti yang menjadi musuh lamanya. Retno Wilis menghadapi Ki Shiwananda. Endang Patibroto menghadapi Ni Dewi Durgomala. Adapun Wasi Karangwolo dihadapi Jarot yang dibantu oleh Ki Haryosakti dan Ki Bajramusti, sedangkan Adipati Menak Sampar sendiri yang juga sakti dihadapi Ki Patih Tejolaksono! Terjadilah perang tanding yang luar biasa serunya! Wasi Shiwamurti yang maklum bahwa lawannya yang masih muda itu memiliki aji kesaktian yang amat hebat, menjauhkan diri dari yang lain dan mengajak lawannya untuk bertanding di atas sebuah bukit, agak menjauh dari perang campuh itu. Bagus Seto mengikuti ke mana Sang Wasi itu pergi dan mereka kini berhadapan di atas lereng bukit itu.

   "Bagus Seto, andika ini orang muda. Tidak pandai menghormati orang yang lebih tua, bahkan berani menentang aku yang datang dari negara jauh. Beginikah sikap satria di Nusa Jawa, satria dari Panjalu? Apakah gurumu mengajarkanmu untuk tidak pandai menghormati orang yang lebih tua dari-mu?"

   "Paman Wasi Shiwamurti, penghormatan seseorang terhadap orang lain bukan ditinjau dari segi usianya, melainkan dari sikap dan perbuatannya. Paman wasi dating dari jauh, sepantasnya dihormati. Akan tetapi melihat bagaimana paman bersikap dan berbuat di sini, selain membantu pihak pemberontak Blambangan juga menyebar luaskan agama sesat untuk melemahkan rakyat dengan cara paksa dan kekerasan, bagaimana paman menuntut penghormatan? Sebaiknya kalau paman pulang saja ke Cola dan jangan menimbulkan kekacauan di s ini."

   "Babo-babo, Bagus Seto. Jauh-jauh kami diperintahkan Raja kami untuk membantu Blambangan dan mengadakan kontak dengan Bali Dwipa, menyebar agama kami untuk membahagiakan rakyat. Bagaimana andika berani mengatakan bahwa kami menyebar agama untuk mengacaukan rakyat. Buktinya, para pengikut kami mendapatkan kebahagiaan dan mereka merasa senang menjadi anggauta kami!"

   "Kesenangan yang sesat, pengumbaran nafsu yang semena-mena dan yang menyeret jiwa ke dalam kegelapan. Wasi Shiwa-murti, andika yang sudah mempelajari berbagai Weda, masih berpura-pura tidak melihat hal ini? Mustahil kalau andika tidak mengetahui bahwa agama yang andika ajarkan itu sesat dan keji!"

   "Bagus Seto, jangan dikira bahwa aku takut kepadamu! Sambutlah ini!"

   Wasi Shiwamurti mengangkat tongkat kepala naga ke atas menggerak-gerakkan ke arah langit dan seketika langit menjadi gelap tertutup mendung dan awan mendung itu menyambar turun ke arah Bagus Seto seolah hendak menelan pemuda itu! Bagus Seto yang melihat ini, dengan tenang mengeluarkan setangkai bunga cernpaka putih dari rambut kepalanya dan mengangkat setangkai bunga itu ke atas kepalanya, lalu melontarkannya ke arah gumpalan awan hitam yang menyerang ke arahnya.

   "Byarrr...!"

   Tampak sinar terang dan awan gelap itu ambyar dan lenyap. Bunga cempaka putih sudah turun kembali ke tangan Bagus Seto yang menyimpannya kembali ke rambut kepalanya. Melihat serangannya dapat dipunahkan pemuda itu, Wasi Shiwamurti menjadi marah sekali. Tongkat kepala naga itu didorongkan ke arah sebuah batu sebesar kerbau.

   "Sambutlah batu ini!"

   Bentaknya dan ketika dia mengerahkan tenaganya, batu sebesar kerbau itu melayang ke arah Bagus Seto dengan cepatnya. Bagus Seto melolos ikat kepalanya dan menyambut batu besar itu dengan kebutan kain pengikat kepala.

   "Darrr...!!"

   Batu besar itu begitu kena dikebut kain putih pengikat kepala, menjadi hancur berantakan dan pecahannya terlempar ke kanan kiri. Wasi Shiwamurti terkejut akan tetapi belum mau mengaku kalah. Dia sudah menerjang dengan tongkat kepala naga itu, menyerang dengan dahsyat. Tongkatnya menyambar-nyambar, mengeluarkan angin bersiutan sehingga menggerakkan daun-daun pohon disekitarnya, bahkan membuat pakaian putih Bagus Seto berkibar-kibar. Namun pemuda itu sama sekali tidak merasa gentar. Tubuhnya bagaikan berubah menjadi bayangan atau awan, diserang bagaimanapun oleh tongkat kepala naga itu tidak pernah dapat tersentuh, seolah sebelum hantaman tiba, angin pukulan tongkat itu telah membuat tubuhnya mengelak.

   Diapun membalas dengan kebutan kain putih pengikat kepalanya, namun Wasi Shiwamurti juga amat tangkas dan tubuhnya kebal sehingga serangan balasan Bagus Seto juga tidak mengenai sasaran, atau kalau hanya mengenai pundak atau bagian tubuh yang tidak berbahaya, kebutan itu meleset dan tidak melukai lawan. Adu kesaktian yang terjadi di bukit, jauh dari perang campuh itu berlangsung amat dahsyatnya. Kalau dilihat dari jauh, yang tampak hanyalah gulungan sinar tongkat kepala naga yang bergelombang dan berlenggang-lenggok seolah-olah seekor naga yang bermain di angkasa, mengejar sesosok bayangan yang bergerak seperti awan. Penglihatan yang menakjubkan! Tiba-tiba tongkat bertemu dengan kebutan kain pengikat kepala yang berwarna putih itu.

   "Plakk...!"

   Hebat sekali pertemuan antara dua tenaga sakti yang tersalur lewat dua senjata ampuh itu dan keduanya terdorong mundur sampai lima langkah! Maklum bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan pemuda itu dengan ilmu sihir atau mengadu senjata, Wasi Shiwamurti lalu mencoba untuk mengeluarkan senjata pamungkasnya. Dia menancapkan tongkatnya di atas tanah, lalu menggosok-gosokkan kedua tangannya sampai tampak asap mengepul di antara kedua telapak tangannya.

   Setelah itu, dalam jarak belasan langkah itu dia lalu mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah Bagus Seto. Pemuda ini sudah menduga serangan apa yang akan dilakukan lawannya. Begitu melihat Wasi Shiwamurti menancapkan-tongkatnya lalu menggosok-gosokkan kedua tangannya, dia sudah menduga bahwa lawan hendak mempergunakan aji pukulan jarak jauh mempergunakan hawa sakti yang mungkin beracun. Maka diapun sudah menyimpan kain pengikat kepalanya dan diapun menekuk kedua lututnya, merendahkan tubuhnya dan membuka kedua tangan lalu menyambut serangan itu dengan dorongan kedua telapak tangannya yang putih ke arah depan. Dua tenaga sakti yang mujijat itu bertemu di tengah-tengah. Udara bagaikan tergetar dan terguncang hebat dengan adanya pertemuan dua hawa sakti yang amat kuat itu.

   "Blarrrr...!"

   Tubuh Bagus Seto bergerak-gerak terguncang akan tetapi kuda-kuda kedua kakinya masih tetap tegak, sedangkan tubuh Wasi Shiwamurti terhuyung ke belakang sampai beberapa langkah, mukanya berubah pucat dan dari kepalanya mengepul uap putih! Jelas bahwa dia masih kalah kuat setingkat dibandingkan murid Ki Tunggaljiwo dan Bhagawan Ekadenta yang sakti ini! Diapun menyadari kekalahannya, maka dengan suara agak terengah dia berkata.

   "Bagus Seto, sekali ini aku mengaku kalah. Akan tetapi jagalah andika, tak berapa lama lagi aku akan mendatangimu di Panjalu mengajak seorang kakak guruku untuk menantangmu bertanding lagi satu lawan satu untuk menentukan pihak mana yang lebih unggul!"

   Dengan tenang Bagus Seto menjawab,

   "Aku selalu akan menunggu dan siap untuk menghadapimu, Paman Wasi Shiwamurti. Selama andika belum menyadari kekeliruanmu, aku akan selalu menentangmu."

   "Bagus, tunggu saja pembalasanku!"

   Setelah berkata demikian, Wasi Shiwamurti mencabut tongkat kepala naga dari atas tanah, lalu dia melarikan diri dengan amat cepatnya ke balik bukit, tidak mau memperdulikan lagi perang campuh yang masih berlangsung di kaki bukit.

   Pertandingan antara Wasi Karangwolo yang dikeroyok tiga tidak berlangsung lama. Biarpun Wasi Karangwolo adalah seorang yang sakti mandraguna, pandai pula berilmu sihir dan kerisnya amat berbahaya menyambar-nyambar, namun dia dikeroyok tiga oleh Jarot, Ki Haryosakti dan Ki Bajramusti yang ketiganya juga tidak asing dengan ilmu sihir. Semua ilmu sihir yang dikeluarkan oleh Wasi Karangwolo dapat dipunahkan tiga orang itu.

   Keris Nogo Ireng di tangan Jarot sudah hebat berbahaya, tombak di tangan Haryosakti juga ganas, terutama sekali golok besar di tangan Ki Bajramusti. Tiga orang pengeroyok ini membuat Wasi Karangwolo kewalahan dan terdesak hebat. Akhirnya, sebuah bacokan golok dari Ki Bajramusti menyambar dan mengenai pundaknya. Wasi Karangwolo berteriak kesakitan dan terhuyung ke belakang. Dia tidak mampu menangkis atau mengelak lagi ketika tombak di tangan Ki Haryosakti menusuk dan menembus lambungnya. Ketika tombak dicabut, tubuh Wasi Karangwolo jatuh nglumpruk (terkulai) dan dia tidak bergerak lagi, tewas seketika. Tiga orang itu lalu mengamuk, merobohkan banyak perajurit Blambangan yang berani menghadapi mereka. Amukan tiga orang yang gagah perkasa ini membuat pasukan Blambangan kocar-kacir.

   Sementara itu, Retno Wilis juga sudah mendesak Ki Shiwananda yang memang sudah merasa jerih menandingi dara perkasa yang sakti mandraguna ini. Permainan ruyungnya yang berat itu mulai kacau berhadapan dengan Pedang pusaka Sapudenta di tangan Retno Wilis. Beberapa kali Ki Shiwananda mencoba untuk mempengaruhi dara ini dengan sihirnya. Namun Retno Wilis yang pernah menerima gemblengan dari Nini Bumigarbo tidak miris (gentar) menghadapi semua pengerahan sihir itu dan dapat menolaknya sehingga kembali mereka harus bertanding mengadu kedigdayaan dan ilmu kanuragan.

   "Tran-cringg...!"

   Ruyung bertemu dengan Pedang Sapudenta dengan kerasnya dan karena Retno Wilis mengerahkan seluruh tenaganya ketika beradu senjata, ruyung itu patah menjadi dua potong! Wajah Ki Shiwananda menjadi pucat sekali, akan tetapi pada saat itu Retno Wilis sudah menggerakkan kaki kanannya menendang.

   "Bukkkk!"

   Keras sekali tendangan itu sehingga tubuh Ki Shiwananda terpental dan dia terjatuh dekat para perajurit Panjalu yang menonton pertarungan itu.

   Tak dapat dicegah lagi, hujan senjata menimpa tubuh Ki Shiwananda yang tidak lagi mampu mengerahkan kekebalannya karena perutnya yang tertendang tadi merasa nyeri sekali dan melenyapkan tenaganya. Tubuhnya hancur di bawah hujan bacokan itu. Retno Wilis hanya menonton dan menahan napas. Berkat bimbingan kakaknya, ia tidak ingin membunuh lawan, akan tetapi lawannya terjatuh ke tangan para perajurit yang menghabisi nyawanya. Bagaimanapun juga, Ki Shiwananda maju berperang maka sudah lumrah kalau dia tewas dalam peperangan. Ia lalu membalikkan tubuh dan melihat Bagus Seto melangkah menuruni bukit, agaknya sudah ditinggalkan Wasi Shiwamurti. Dan dilihatnya pula bahwa Jarot, Ki Haryosakti dan Ki Bajramusti juga sedang mengamuk, agaknya sudah pula menewaskan Wasi Karangwolo yang tadi mereka keroyok.

   Yang masih bertanding adalah Endang Patibroto melawan Ni Dewi Durgomala dan Ki Patih Tejolaksono sendiri yang masih bertarung melawan Adipati Menak Sampar yang masih gigih membuat perlawanan sungguhpun dia terus terdesak mundur. Endang Patibroto juga mendesak Ni Dewi Durgomala yang kelihatan sudah merasa jerih. Akan tetapi tempat itu terkepung ratusan perajurit sehingga ia tidak melihat kesempatan untuk melarikan diri lagi. Terpaksa ia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk melawan Endang Patibroto. Retno Wilis yang kini sudah berdekatan dengan Bagus Seto, hanya menonton saja dan tidak mau membantu karena mereka maklum bahwa ayahnya dan ibunya tidak akan kalah.

   "Di mana Wasi Shiwamurti?"

   Tanya Retno Wilis.

   "Dia sudah melarikan diri."

   Jawab Bagus Seto lirih. Biarpun dia tidak bertanya, Retno Wilis menerangkan.

   "Ki Shiwananda tewas di bawah puluhan senjata para perajurit setelah aku merobohkannya. Aku tidak sengaja membunuhnya."

   Bagus Seto menyentuh lengan adiknya.

   "Engkau tidak bersalah. Memang sudah tiba saatnya dia tewas dikeroyok banvak senjata. Agaknya itulah karmanya,"

   Kata Bagus Seto seperti hendak menghibur adiknya.

   "Ibu tentu akan dapat mengalahkan Ni Durgomala,"

   Kata Retno Wilis sambil menuding ke arah Endang Patibroto yang mendesak lawannya dengan hebat. Bagus Seto menghela napas panjang.

   "Kanjeng Ibu Endang Patibroto memang seorang wanita yang sakti mandraguna pilih tanding. Beliau pantas untuk menjadi seorang panglima perang wanita."

   "Dan kanjeng romo juga tidak akan kewalahan menandingi sang Adipati Menak Sampar,"

   Kata pula Retno Wilis sambil memandang kepada ayahnya yang masih bertanding melawan adipati Blambangan itu.

   "Kanjeng romo jelas tidak akan membunuh sang adipati, melainkan hendak menawannya dan beliau bertindak benar. Sebaiknya kalau adipati Blambangan ditangkap hidup-hidup untuk dihadapkan kepada Gusti Prabu di Panjalu, atau Jenggala."

   Apa yang dikatakan Retno Wilis dan kakaknya memang benar adanya. Tak lama kemudian Ni Dewi Durgomala mengeluarkan suara melengking, mirip tangis bercampur tawa dan tangan kirinya memukul dengan jari-jari terbuka dan kukunya membentuk cakar.

   Dari ke lima jari tangannya itu menyambar sinar menghitam dan hal ini membuat Retno Wilis terkejut dan mengkhawatirkan ibunya karena ia tahu bahwa yang dikeluarkan Ni Dewi Durgomala itu adalah ilmu yang keji dan jahat sekali. Memang Ni Dewi Durgomala telah mengeluarkan aji pamungkasnya. Aji ini kalau dikerahkan, dapat membunuh lawan dalam jarak jauh, karena angin yang menyambar dari pukulan itu membawa hawa beracun yang amat jahat. Namun Endang Patibroto juga sudah waspada dan maklum bahwa lawan mengajak mengadu nyawa dengan mengerahkan semua aji pamungkas yang dimilikinya. Maka iapun menyambut dengan Aji Gelapmusti yang digabung dengan Aji Pethit Nogo. Tangan kanannya menyambut pukulan jarak jauh Ni Dewi Durgomala itu dengan aji Gelap Musti, sedangkan tangan kirinya membalas dengan hantaman Aji Pethit Nogo.

   "Bresssss... auugghhh...!"

   Tubuh Ni Dewi Durgomala terlempar sampai lima meter jauhnya dan ia terbanting roboh muntah darah dan tewas seketika. Akan tetapi Endang Patibroto juga terhuyung dan mukanya menjadi pucat sekali. Bagus Seto cepat menghampiri Endang Patibroto dan mengambil bunga cempaka putih dari rambut kepalanya. Dengan bunga cempaka di tangan, dia mendekati ibunya dan mendekatkan bunga itu di depan hidung Endang Patibroto.

   "Sedotlah, kanjeng ibu. Hawa beracun itu akan tersapu bersih."

   Endang Patibroto menurut. Ia menyedot aroma bunga itu dengan hidungnya dan seketika napasnya terasa lega dan sesaknya menghilang. Mereka lalu memandang ke arah Ki Patih Tejolaksono yang masih bertanding melawan Adipati Menak Sampar. Tejolaksono bertangan kosong dan Adipati Menak Sampar menggunakan sebatang keris yang besar dan panjang.

   "Mampuslah engkau, Tejolaksono!"

   Bentaknya dan untuk kesekian kalinya keris itu meluncur dan menusuk ke arah dada Tejolaksono. Ki Patih Panjalu ini miringkan tubuhnya. Keris menancap di bawah lengannya, lalu dikempitnya dan tangannya menebak ke arah dada lawan. Tubuh Menak Sampar terjengkang dan keris itu terlepas dari tangannya. Tejolaksono membuang keris itu dan melangkah maju.

   "Menyerahlah, Adipati Menak Sampar!"

   Katanya tegas. Akan tetapi Adipati Menak Sampar mengeluarkan suara gerengan seperti seekor harimau terluka dan dia sudah menubruk maju seperti seekor biruang menerkam mangsanya. Kedua lengan yang besar dan panjang itu menerkam dari kanan kiri untuk meringkus tubuh Ki Patih Tejolaksono yang terbilang kecil kalau dibandingkan dengan tubuhnya yang tinggi besar seperti raksasa. Namun Ki Patih Tejolaksono bergerak cepat dan sudah mengelak, kemudian dari samping dia menampar dengan Aji Bajra Dahono, mengenai pundak Sang Adipati.

   "Plakkk... aduuuhhh...!"

   Terkena pukulan Aji Bajra Dahono, tubuh Sang Adipati terkulai dan mendesah kepanasan, Tejolaksono lalu meringkusnya dan tanpa diperintah Jarot lalu maju membawa tali dan mengikat kedua pergelangan tangan Adipati Menak Sampar sehingga dia tidak mampu berkutik lagi. Setelah melihat para pimpinan sudah dikalahkan semua para pasukan Blambangan menjadi kecut hatinya dan semangat perlawanan merekapun membuyar. Pada saat itu Ki Patih Tejolaksono berseru nyaring.

   "Adipati Menak Sampar telah menyerah! Kalian yang melawan akan dibunuh yang menyerah akan diampuni!"

   Mendengarr bentakan yang amat nyaring itu, sebagian besar pasukan Blambangan lalu membuang senjata mereka dan menjatuhkan diri berlutut, menyerah! Ki Patih Tejolaksono lalu menggiring Adipati Menak Sampar memasuki kadipaten yang sudah dikuasai oleh para perwira Panjalu dan para perajurit pengawal. Di tengah ruangan itu telah berkumpul keluarga Sang Adipati, lengkap dengan semua isteri dan selirnya. Juga hadir Dyah Ayu Kerti, puteri Sang Adipati yang cantik jelita. Melihat puteri ini, hati Jarot berdebar dan dia memandang penuh pesona, akan tetapi karena hatinya telah terlebih dulu terpikat kepada Retno Wilis, maka diapun menghilangkan perasaannya yang hanyut oleh kejelitaan puteri Adipati Menak Sampar itu.

   "Bagaimana, Sang Adipati Menak Sampar? Apakah andika sudah takluk sekarang?"

   Tanya Ki Patih Tejolaksono.

   "Hemm, pasukanku telah hancur, aku telah kalah bertanding. Apa lagi yang dapat kulakukan selain menyerah? Aku menyerah terhadap kekuasaan kerajaan Jenggala dan Panjalu."

   "Bagus kalau begitu. Anakmas Jarot, lepaskan ikatan tangan Sang Adipati", perintah Tejolaksono dan Jarot segera melaksanakan perintah itu. Tejolaksono meninggalkan para perwira pembantu dan lima ribu pasukan Panjalu dan Jenggala untuk menjaga dan mengatur ketenteraman di Kadipaten Blambangan, kemudian menggiring Sang Adipati Menak Sampar berikut semua keluarganya menuju ke Jenggala. Rombongan pasukan yang menang perang ini singgah di Nusabarung untuk mengambil tawanan Adipati Martimpang dari Nusabarung sekeluarganya untuk juga dibawa sebagai tawanan ke Jenggala. Ki Patih Tejolaksono singgah di istana Jenggala, melaporkan tentang kemenangannya dan bahwa kedua orang adipati yang memberontak itu telah dijadikan tawanan dan dibawa menghadap. Akan tetapi Sang Prabu di Jenggala menolak dan berkata,

   "Kakang Patih Tejolaksono, sesungguhnya yang menggerakkan pasukan untuk menaklukkan kedua orang adipati yang memberontak adalah Panjalu, dan kami dari Jenggala hanya membantu belaka. Oleh karena itu, kedua orang tawanan ini dan sekeluarganya kami pasrahkan kepada andika untuk dibawa menghadap Paman Prabu di Panjalu dan terserah kepada beliau untuk memutuskannya. Juga sampaikan salam hormat dan terima kasihku kepada beliau yang telah menenteramkan daerah Jenggala yang dilanda pemberontakan."

   Karena penolakan ini, Ki Patih Tejolaksono terpaksa membawa dua rombongan tawanan itu terus ke Panjalu. Kedatangan pasukan yang menang perang ini disambut meriah oleh rakyat Panjalu. Gamelan dibunyikan dimana-mana dan rakyat menyambut dengan sorak sorai di sepanjang jalan. Sang Prabu di Panjalu juga menyambut kedatangan Ki Patih Tejolaksono dan para senopati dengan gembira. Ketika mendengar pelaporan Ki Patih Tejolaksono tentang kemenangan di kedua kadipaten itu, dan betapa Sang Prabu di Jenggala menyerahkan pengadilan terhadap para tawanan kepada Sang Prabu di Panjalu, beliau mengangguk-angguk senang.

   "Hei, Adipati Menak Sampar, benar benarkah andika sekarang telah menyadari kesalahan andika dan benar-benar telah takluk kepada Panjalu dan Jenggala?"

   Tanya Sang Prabu Panjalu kepada adipati itu yang menghadap sambil menundukkan kepalanya. Sang Adipati Menak Sampar yang sudah tidak berdaya itu lalu menyembah dan berkata lirih,

   "Hamba telah menyadari kesalahan hamba, dan hamba telah menyatakan takluk, terserah kepada kebijaksanaan paduka untuk menjatuhkan pidana terhadap hamba sekeluarga, Kanjeng Gusti."

   
Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
(Lanjut ke Jilid 16 - Tamat)

   Sepasang Garuda Putih (seri ke 05 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 16 (Tamat)

   "Dan bagaimana dengan andika, Adipati Martimpang dari Nusabarung?"

   Tanya pula Sang Prabu kepada Adipati Martimpang.

   "Hambapun sudah menyadari kesalahan hamba, kalau diperkenankan hamba mohon pengampunan dan selanjutnya terserah kepada kebijaksanaan paduka, Kanjeng Gusti."

   "Bagus, kalau andika berdua sudah mengakui kesalahan, kamipun dapat mempertimbangkan. Akan tetapi sebelum kami memperoleh keputusan dari musyawarah yang akan kami adakan dengan para nayaka-praja, kalian menjadi tawanan terhormat dan akan diperlakukan dengan baik-baik. Kakang Patih Tejolaksono terserah bagaimana andika akan mengatunya untuk menawan kedua keluarga bekas adipati ini. Pilihkan tempat pengasingan di daerah istana dan suruh awasi mereka."

   "Sendiko dawuh, Kanjeng Gusti,"

   Kata Ki Patih Tejolaksono dan dia segera membawa pasukan pengawal untuk mengawal dua keluarga tawanan itu menuju kebagian belakang istana dan menahan mereka di dua bagian ruangan belakang, lalu memerintahkan para pengawal untuk menjaga mereka, akan tetapi juga agar mereka diperlakukan dengan hormat dan baik sesuai dengan kehendak Sang Prabu. Setelah memberi pujian dan hadiah kepada semua orang yang berjasa, persidangan lalu dibubarkan. Ki Patih Tejolaksono lalu mengundang semua orang yang telah membantunya dalam peperangan itu untuk singgah di gedungnya. Ki Patih Tejolaksono dan dua orang isterinya mengadakan pesta makan bersama.

   Perjamuan itu selain untuk merayakan kemenangan, juga untuk menghormati mereka yang telah membantunya. Semua berkumpul di situ. Jarot, Ki Haryosakti, Ki Bajramusti yang dijamu oleh Ki Patih Tejolaksono, Endang Patibroto, Ayu Candra, Retno Wilis, dan Bagus Seto serta para senopati Panjalu. Pada awal perjamuan itu, datanglah beberapa orang tamu yang segera diundang untuk duduk bersama ikut dalam perjamuan. Mereka itu adalah Saroji dan Sarmini, putera dan puteri Ki Haryosakti yang menyusul ayahnya ketika mendengar kemenangan di pihak Panjalu dan Jenggala yang dibantu ayah mereka. Muncul pula Harjadenta, pemuda Gunung Raung yang pernah membantu Bagus Seto dan Retno Wilis, dan datang pula Adipati Kertajaya dari kadipaten Pasisiran yang datang menyusul puteranya Jarot dan untuk memberi selamat atas kemenangan Panjalu.

   Lalu yang terakhir muncul Jayawijaya seorang diri. Diapun mendengar akan kemenangan Panjalu dan datang untuk berkunjung dan memberi selamat. Semua tamu ini dipersilakan masuk dan ikut dalam perjamuan karena mereka semua pernah membantu ketika Endang Patibroto, Retno Wilis dan Bagus Seto melakukan penyelidikan ke Nusabarung dan Blambangan. Setelah perjamuan selesai, mereka bercakap-cakap di ruangan depan yang luas. Sekali ini, para senopati mengundurkan diri dan yang hadir hanyalah tamu-tamu kehormatan. Dalam kesempatan ini, Adipati Kertajaya dari kadipaten Pasisiran berkata sambil memandang kepada Ki Patih Tejolaksono yang duduk diapit kedua orang isterinya, sedangkan di sebelah kiri Endang Patibroto duduk Retno Wilis berjajar dengan Bagus Seto.

   "Kakangmas Patih Tejolaksono, kedatangan saya di sini pertama-tama untuk menghaturkan selamat atas kemenangan pasukan Panjalu yang kakangmas pimpin."

   "Hasil kemenangan kami juga karena dukungan putera andika, adimas Adipati Kertajaya,"

   Jawab Ki Patih Tejolaksono merendah.

   "Adapun maksud kunjungan saya yang kedua kalinya, sebelum saya matur mohon terlebih dulu kakangmas Patih memberi maaf yang sebesar-besarnya kalau pembicaraan saya lancang dan menyinggung perasaan."

   Ki Patih Tejolaksono tersenyum.

   "Adimas Adipati, mengapa bicara dengan sungkan-sungkan? Kita berada di antara golongan sendiri yang mengabdi kepada Panjalu dan Jenggala, tidak ada yang perlu disembunyikan. Kalau ada persoalan, kemukakanlah saja terus terang, kami berjanji tidak akan menyalahkan andika dan andaikata ada yang perlu dimaafkan, kami senantiasa bersedia untuk memaafkan."

   "Begini maksud saya, kakangmas Patih. Mengenai anak saya yang bodoh, yaitu Jarot yang sekarang telah berusia dua puluh dua tahun dan belum memiliki calon pasangan hidup. Kami ditangisi anak kami Jarot yang kasmaran terhadap puteri kakangmas, anak mas ayu Retno Wilis. Oleh karena itu, saya memberanikan diri berlancang mulut untuk mengajukan pinangan terhadap puteri kakangmas Patih. Sekali lagi maafkan kelancangan saya."

   Ki Patih Tejolaksono tersenyum dan memandang kepada Jarot dengan penuh perhatian.

   "Kami telah menyaksikan kemampuan dan kegagahan puteramu, adimas Adipati Kertajaya. Murid siapakah puteramu ini?'

   "Jarot, engkau ditanya oleh Uwa Patih, jawablah."

   Kata Adipati Kertajaya kepada puteranya. Jarot menyembah lalu menjawab dengan muka tunduk penuh hormat.

   "Hamba menerima petunjuk ilmu dari Bapa Bhagawan Dewondaru, pertapa di lereng Semeru, Uwa Patih."

   "Jagad Dewa Bathara...!"

   Ki Tejolaksono mengucap kagum.

   "Jadi gurumu adalah Kakang Bhagawan Dewondaru yang sakti mandraguna itu? Pantas engkau memiliki kemampuan yang tinggi, anak mas Jarot."

   Kemudian dia menoleh lagi kepada Adipati Kertajaya dan berkata.

   "Adimas Adipati Kertajaya, puteramu berkenan dihatiku, akan tetapi karena urusan perjodohan bagi kami tergantung kepada anak yang hendak menjalani, maka kami harus berunding lebih dulu dengan segenap keluarga dan juga dengan anak kami Retno Wilis."

   "Pendapat kakangmas Patih itu memang tepat sekali dan memang seharusnya demikian. Maka saya persilakan kakangmas untuk memperbincangkan urusan penting ini dengan keluarga kakangmas yang kebetulan sekarang berkumpul semua di sini."

   Ki Patih Tejolaksono lalu menoleh kepada Endang Patibroto dan tersenvum lalu bertanya.

   "Bagaimana pendapatmu, diajeng Endang Patibroto? Anakmu si Retno Wilis agaknya sekarang sudah dewasa benar dan sudah dipinang orang! Engkau sudah mendengar sendiri pinangan yang diajukan oleh adimas Adipati Kertajaya, bagaimana pendapatmu, diajeng?"

   Endang Patibroto memandang kepada suaminya dengan alis berkerut, lalu menoleh kepada Retno Wilis. la melihat betapa puterinya itu juga mengerutkan alis dan puterinya melirik ke arah Jayawijaya yang duduk bersila sambil menundukkan mukanya. Ia tahu bahwa melihat gelagatnya suaminya condong untuk menerima pinangan Adipati Kertajaya, menjodohkan Retno Wilis dengan Jarot. Ia sendiri suka kepada pemuda yang gagah perkasa, tampan, dan baik budi itu, akan tetapi pilihan hatinya jatuh kepada Jayawijaya, pemuda yang tidak digdaya akan tetapi memiliki daya yang mujijat dan luar biasa.

   "Bagaimana, diajeng?"

   Desak Tejolaksono ketika melihat Endang Patibroto diam saja. Terpaksa Endang Patbroto menjawab.

   "Terus terang saja, kakangmas. Aku sendiri sangat suka kepada anakmas Jarot. Dia seorang pemuda yang baik dan gagah perkasa. Akan tetapi sebetulnya aku sudah mempunyai pilihan seorang pemuda lain untuk menjadi calon jodoh Retno Wilis."

   "Ibu...!"

   Retno Wilis berseru dengan nada memrotes.

   "Begitukah, diajeng? Nah, katakan siapa pilihanmu yang kau calonkan menjadi jodoh anak kita itu."

   "Orangnya berada di sini, dialah itu, anakmas Jayawijaya,"

   Kata Endang Patibroto sambil menunjuk ke arah Jayawijaya. Bagus Seto tersenyum melihat ulah ibunya. Dan aneh sekali, Retno Wilis yang tadinya seperti hendak membantah, kini menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan dan diam se ribu bahasa! Kini Tejolaksono yang mengerutkan alis sambil menatap ke arah pemuda yang menunduk itu dengan pandang mata tajam penuh selidik.

   "Akan tetapi, ketika terjadi perang, dia tidak membantu. Putera siapakah andika, anakmas Jayawijaya?"

   "Ayah saya adalah Pertapa Panji Kelana yang bertapa di bukit Tengger, paman Patih,"

   Jawab Jayawijaya sederhana.

   "Dan siapa gurumu yang mengajarkan ilmu kanuragan dan kadigdayaan kepadamu?"

   "Tidak ada, paman Patih. Saya tidak pernah mempelajari ilmu kadigdayaan."

   "Ahh, kalau begitu..."

   Pada saat itu, seorang pengawal datang menghaturkan sembah dan melapor bahwa di luar datang seorang tamu yang katanya merupakan ayah dari Jayawijaya dan mohon menghadap Sang Patih. Mendengar ini, Ki Patih Tejolaksono tertegun. Orang yang baru saja dibicarakan muncul! Kebetulan sekali, urusan dapat segera diselesaikan dengan orang tua yang bersangkutan.

   "Persilakan dia masuk!"

   Katanya kepada pengawal yang melapor, sedangkan Jayawijaya menoleh keluar dengan heran. Tak lama kemudian pengawal mengantarkan seorang yang usianya sekitar lima puluh tahun, bertubuh tegap sedang dengan punggung lurus dan wajahnya masih tampak muda dan tampan. Mulutnya dihias senyuman yang ramah dan pandang matanya sedemikian lembutnya sehingga Tejolaksono cepat mempersilakan tamunya duduk di atas sebuah bangku yang disodorkan oleh pengawal. Pengawal itu atas isarat Ki Patih lalu meninggalkan ruangan itu.

   "Selamat datang di kepatihan, Ki Sanak. Siapakah andika yang memberi kehormatan dengan kunjungan ini?"

   Tanya Ki Tejolaksono dengan sikap hormat karena kepribadian orang itu sungguh mendatangkan rasa hormat dalam hatinya. Orang itu tersenyum lebar dan memandang kepada Ki Tejolaksono dengan sinar mata kagum.

   "Sudah lama mendengar akan nama besar Ki Patih Tejolaksono sebagai seorang yang bijaksana, dan sekarang baru saya dapat melihat buktinya! Ki Patih, nama saya adalah Panji Kelana, seorang pertapa di bukit Tengger dan saya adalah ayah dari Jayawijaya yang sekarang hadir. di sini. Karena mendengar bahwa Ki Patih telah berhasil memadamkan pemberontakan di Nusabarung dan Blambangan, juga mencegah penyebar luasan agama sesat, rnaka saya sengaja datang menyusul anak saya untuk menyampaikan rasa kagum dan ucapan selamat kepada Ki Patih."

   "Kebetulan sekali andika datang berkunjung, Sang Pertapa Panji Kelana. Justeru kami sedang memperbincangkan tentang putera andika, anak mas Jayawijaya. Benarkah puteramu mempunyai niat untuk mempersunting puteri kami, Si Retno Wilis?"

   Panji Kelana menoleh kepada puteranya dan tersenyum.

   "Demikianlah dia pernah menyatakan kepada saya, Ki Patih, bahwa antara dia dan anak mas ayu Retno Wilis terjalin saling Kasih."

   "Tidak mungkin! Benarkah itu, Retno Wilis?'"

   Tanya Ki Patih Tejolaksono sambil menoleh dan memandang kepada puterinya. Retno Wilis balas memandang kepada ayahnya, kemudian dengan hati tabah ia mengangguk.

   "Tidak mungkin ini terlaksana! Puteriku harus memperoleh jodoh seorang satria yang sakti mandraguna, bukan seorang pemuda lemah!"

   Bentak Tejolaksono dengan suara nyaring.

   "Kanjeng romo...!"

   Seru Retno Wilis.

   "Kakangmas...!"

   Endang Patibroto juga memrotes. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara lantang sekali yang datangnya dari luar gedung.

   "Ki Patih Tejolaksono! Endang Patibroto Bagus Seto dan Retno Wilis! Keluarlah kalian, kami datang untuk membuat perhitungan!"

   Suara itu begitu lantang sampai menggetarkan seisi gedung ruangan gedung itu sehingga tentu saja membuat semua orang menjadi terkejut bukan main. Seorang perwira pengawal berlari-larian dari luar dan menghaturkan sembah kepada Ki Patih Tejolaksono dan langsung melapor.

   "Gusti Patih, di luar gedung terdapat dua orang kakek yang menantang-nantang. Belasan orang pengawal yang mencoba untuk mengusirnya, dengan lambaian tangan saja dirobohkan semua oleh dua orang kakek itu!"

   "Keparat!"

   Bentak Ki Patih Tejolaksono dan tanpa banyak cakap lagi diapun bangkit dan melangkah keluar, diikuti oleh Endang Patibroto, Bagus Seto, Retno Wilis, Ayu Candra, dan semua tamu yang hadir di situ, semua lalu keluar untuk melihat siapa orangnya yang berani menantang keluarga Ki Patih Tejolaksono yang sakti mandraguna itu.

   Para tamu itu adalah Adipati Kertajaya dan Jarot, Ki Haryosakti dan putera puterinya Saroji dan Sarmini, Ki Bajramusti, Harjadenta, kemudian paling akhir Jayawijaya melangkah keluar bersama ayahnya, Ki Panji Kelana. Mereka berdua ini keluar tanpa tergesa-gesa seperti yang lain, bahkan dengan senyum tersungging di bibir seolah tidak ada terjadi sesuatu yang hebat dan menegangkan. Setelah tiba di luar, Ki Patih Tejolaksono dan rombongannya melihat para pengawal masih berserakan dan mulailah mereka bangun dengan wajah ketakutan. Di sana berdiri dua orang kakek yang seorang adalah Wasi Shiwamurti yang berjubah kuning, jenggot dan kumisnya yang panjang sudah putih semua, tangannya memegang tongkat kepala naga, dan usianya yang sudah enam puluh lima tahun itu.

   

Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Pembakaran Kuil Thian Loksi Karya Kho Ping Hoo Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini