Ceritasilat Novel Online

Sepasang Garuda Putih 4


Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 4



Dyah Candramanik tersenyum sambil menundukkan mukanya, lalu terpaksa ia menjawab,

   "Ah, aku menurut bagaimana keputusan kanjeng rama saja."

   Adipati Martimpang tertawa.

   "Ha-ha, itu artinya engkau setuju. Nah, kami pikir permintaanmu itu pantas juga. Joko Wilis. Memang andika kelihatan masih terlalu muda. Baiklah, andika tinggal di sini selama setahun, dan setelah itu baru kalian kami nikahkan."

   "Terima kasih, gusti."

   "Selama berada di sini, andika boleh menggembleng pasukan khusus agar mereka pun memiliki kadigdayaan. Dan andika tinggal di dalam istana ini, sebagai calon mantu kami.

   "Terima kasih, kanjeng gusti adipati."

   Tentu saja hati Retno Wilis gembira sekali.

   Kalau ia diperbolehkan menanti sampai setahun tinggal di situ, tentu banyak kesempatan baginya untuk melakukan penyelidikan akan rencana Nusabarung, apakah benar hendak memberontak dan bersekutu dengan Blambangan. Ia akan mempunyai banyak waktu dan sebelum setahun lewat, dengan mudah ia akan meloloskan diri dari pulau itu. Ia yakin bahwa kakaknya, Bagus Seto, juga telah masuk ke Nusabarung dan sekarang entah berada di mana. Sewaktu-waktu tentu kakaknya akan menghubunginya, kalau tidak ia dapat berjalan-jalan di pulau itu untuk mencarinya. Setelah beberapa hari tinggal di kadipaten Nusabrung, Retno Wilis sudah mulai menyelidiki keadaan di Nusabarung dan ia mendengar bahwa Nusabarung baru bersiap-siap menghimpun kekuatan, namun belum ada tanda-tandanya hendak memberontak.

   Yang membuat hatinya tidak tenang adalah sikap Dyah Candramanik. Pada suatu pagi puteri itu menyuruh biyung emban untuk memanggilnya ke taman-sari. Tentu saja ia tidak berani menolak dan memasuki taman-sari. Dyah Candramanik telah berada di situ, hanya berdua dengan biyung emban. Setelah Retno Wilis datang, biyung emban yang tahu diri itu tanpa diperintah sudah pergi meninggalkan mereka berdua saja di taman-sari. Retno Wilis tersenyum melihat sang puteri malu-malu menundukkan mukanya. Diam-diam ia merasa kasihan kepada puteri ini. Agaknya sang puteri memang jatuh cinta kepadanya. Melihat sang puteri diam saja, Retno Wilis mendahului bicara.

   "Gusti puteri...

   "

   "Ah, kenapa engkau menyebut aku gusti? Engkau bukan hambaku dan aku bukan gustimu,"

   Dyah Candramanik menegur tanpa memandang muka Retno Wilis.

   "Lalu, saya harus menyebut apa?"

   "Lupakah engkau bahwa kita telah ditunangkan? Tentu engkau tahu apa yang harus kau sebut terhadap calon isterimu?"

   Sang puteri berkata lagi, kini memandang wajah Retno Wilis dan sikapnya mulai agak tabah.

   "Ahh... kalau begitu, apakah aku harus menyebutmu diajeng?"

   "Memang begitu seharusnya, kakangmas Joko Wilis."

   "Baiklah, diajeng Dyah Candramanik. Akan tetapi pagi ini engkau memanggilku ada keperluan apakah?"

   "Aku hanya ingin bertemu dan bercakap-cakap denganmu. Kakangmas, engkau menolak untuk dinikahkah denganku sekarang, minta mundur setahun lagi. Aku heran sekali, kalau engkau tidak ingin menikah, mengapa engkau memasuki sayembara dan menghadapi bahaya maut untuk memperebutkan aku?"

   "Aku... aku... ah, aku sebetulnya belum memikirkan tentang perjodohan diajeng."

   "Akan tetapi aneh! Mengapa mengikuti sayembara?"

   "Karena aku melihat para peserta itu sombong-sombong dan tidak ada yang sesuai untuk menjadi jodohmu. Aku hendak mencegah engkau menikah dengan seorang dari mereka. Kalau aku tidak ikut sayembara, tentu engkau sudah dipersunting Kalinggo dari Blambangan itu. Apakah engkau akan suka kalau dijodohkan dengan orang sekasar itu?"

   "Tentu saja tidak! Akan tetapi engkau yang menang. Engkau yang berhak menikah dengan aku. Apakah... apakah engkau tidak cinta kepadaku, kakangmas Joko Wilis?"

   Retno Wilis menjadi bingung.

   "Tentu saja aku mencintamu, diajeng. Engkau seorang puteri yang cantik jelita, siapa tidak mencintamu? Aku hanya minta waktu, tidak ingin buru-buru menikah."

   "Baiklah, kanjeng Rama sudah menyetujuinya. Dan akupun tidak marah, hanya kuminta selama setahun menunggu ini, engkau seringlah datang ke sini untuk bercakap-cakap dengan aku, untuk mengajariku memanah."

   "Baiklah, diajeng. Akan tetapi engkau juga harus banyak memberitahu padaku tentang Nusabarung dan pemerintahannya. Engkau tentu maklum bahwa kelak kanjeng Ramamu akan mengangkat aku sebagai penggantinya. Bagaimana aku dapat memerintah dengan baik kalau tidak mengenal keadaan Nusabarung?"

   "Tentu saja aku akan menceritakan semua yang kuketahui, kakangmas. Soal apakah yang ingin kau ketahui?"

   "Segala hal yang menyangkut Nusabarung dan pemerintahannya, diajeng. Aku mendengar bahwa Nusabarung berada dibawah kekuasaan Jenggala, benarkah itu diajeng?"

   Kata Retno Wilis sambil duduk di bangku panjang, di sebelah Dyah Candra-manik.

   "Dahulu memang benar begitu, kakang-mas. Akan tetapi kanjeng Romo tidak suka membiarkan hal itu. Katanya Nusabarung harus terlepas dari kekuasaan Jenggala."

   "Ah, kalau begitu berarti Nusabarung hendak menentang Jenggala. Padahal Jenggala adalah sebuah kerajaan besar. Bagaimana Nusabarung hendak menentangnya, diajeng? Apakah itu tidak berbahaya?"

   "Karena itu kanjeng rama mulai menghimpun kekuatan, menghimpun pasukan yang besar. Selain itu, kanjeng rama juga berhubungan baik dengan Blambangan, bahkan kalau perlu, kita dapat minta bantuan dari Bali-dwipa. Mereka semua juga tidak suka ditundukkan oleh Jenggala dan Panjalu."

   "Kalau begitu ada rencana dari Nusabarung untuk menyerang Jenggala? Ini berbahaya sekali!"

   "Bukan menyerang, melainkan menjaga diri dan melakukan perlawanan kalau Jenggala berani menyerang ke sini. Kita semua sudah siap, kakangmas. Karena itulah kanjeng Rama mengadakan sayembara untukku, untuk mendapatkan seorang mantu yang sakti mandraguna seperti kakangmas. Dan karena itu pula aku ingin belajar memanah agar kalau saatnya tiba, aku dapat pula menjaga diri."

   "Wahai, diajeng, siapa orangnya yang berani mengganggu andika? Selain tidak berani, juga tidak mau karena siapa yang melihat andika tentu akan merasa sayang dan tidak akan mengganggumu."

   "Dalam keadaan perang, siapa yang akan memperdulikan, kakangmas? Sudahlah, apa lagi yang kakangmas tanyakan?"

   Dengan cerdik Retno Wilis menghentikan pertanyaan-pertanyaannya dan mengajarkan ilmu memanah kepada dara jelita itu. Tentu saja tangan mereka bersentuhan dan Retno Wilis berlaku hati-hati sekali agar jangan sampai dara itu mengetahui rahasianya. Sikapnya yang lemah lembut, ramah dan sopan ini bahkan membuat Dyah Candramanik semakin tergila-gila. Pada hari-hari berikutnya, secara sambil lalu sambil mengajarkan memanah, Retno Wilis berhasil mengorek banyak keterangan dari puteri itu.

   Ia tahu bahwa Nusabarung mempunyai lima orang senopati yang gagah perkasa, yaitu Ki Wisokolo, Ki Wisangnogo, Ki Krendomolo, Ki Damarpati, dan Ki Surodiro. Mereka semua adalah senopati-senopati yang pandai berperang dan juga sakti. Juga ia mendengar dari sang puteri yang tergila-gila kepadanya itu bahwa Nusabarung tadinya mempunyai pasukan yang lebih sedikit dari se ribu orang banyaknya, akan tetapi kini dengan masuknya orang-orang muda di sekitar Nusabarung, jumlah itu meningkat menjadi kurang lebih dua ribu orang. Sebagian dari jumlah itu kini berjaga di pantai daratan. Pada suatu pagi, selagi Retno Wilis melatih Dyah Candramanik yang belajar memanah, muncullah seorang petugas. Dyah Candramanik memandang dengan marah kepada petugas jaga itu.

   "Mau apa engkau ke sini tanpa dipanggil? Berani engkau memasuki taman ini?"

   "Maafkan hamba, gusti puteri. Hamba diutus oleh Kanjeng Gusti Adipati untuk menemui Raden Joko Wilis di sini."

   "Mau apa dengan kakangmas Joko Wilis?"

   "Kanjeng Gusti Adipati memanggilnya untuk menghadap sekarang juga."

   Mendengar ini, Retno Wilis mendekati orang itu dengan senyum ramah dan bertanya dengan lembut,

   "Paman, ada urusan apakah Kanjeng Adipati memanggilku?"

   "Hamba tidak tahu, raden. Hanya yang hamba ketahui, Kanjeng Gusti Adipati sedang menerima tamu dari Blambangan."

   "Tamu dari Blambangan? Siapakah mereka?"

   "Hamba tidak tahu, hanya ada dua orang kakek yang berpakaian mewah datang bertamu dan tak lama kemudian Kanjeng Gusti Adipati memerintahkan saya untuk mengundang paduka."

   "Baiklah, paman. Saya akan menghadap sekarang. Diajeng Dyah Candramanik, agaknya ada keperluan penting sekali maka kanjeng Ramamu memanggil aku. Aku pergi dulu."

   Dyah Candramanik hanya mengangguk dengan muka bersungut-sungut karena merasa betapa kesenangannya terganggu. Retno Wilis dan utusan itu lalu meninggalkan taman-sari. Setelah memasuki tempat persidangan di mana Sang Adipati menerima para tamunya, Retno Wilis melihat bahwa di situ duduk dua orang kakek berpakaian mewah sedang duduk berhadapan dengan Adipati Martimpang.

   Yang seorang adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, pakaiannya mentereng dan bersih, rambutnya tersisir rapi dan jenggotnya juga terpelihara baik-baik. Seorang kakek yang rapi dan pesolek, mukanya bundar dan mulutnya selalu tersenyum, wajahnya yang juga lembut dan tampan itu tampak seperti kewanitaan. Adapun kakek ke dua, biarpun pakaiannya juga mewah, namun pakaian itu dekil dan kotor. Rambutnya juga awut-awutan tidak tersisir, matanya lebar hidungnya pesek dan mulutnya selalu menyeringai seperti menertawakan orang. Sekali pandang saja Retno Wilis dapat menduga bahwa kedua orang kakek itu bukan orang sembarangan. Ia dapat melihat ini dari sikap mereka yang seperti orang memandang rendah dan sinar mata mereka yang tajam berpengaruh.

   "Joko Wilis! Ke sinilah, hendak kuperkenalkan dengan dua orang yang datang dari Blambangan."

   Dia menunjuk kepada kakek yang pakaiannya rapi dan pesolek.

   "Ini adalah Sang Wasi Karangwolo, seorang pendeta yang menjadi penasihat dari Sang Adipati di Blambangan. Adapun yang kedua ini adalah Sang Wasi Surengpati, juga seorang pertapa yang kini membantu Wasi Karangwolo yang menjadi saudara seperguruannya. Paman Wasi berdua, inilah Joko Wilis yang kumaksudkan. Dialah yang memenangkan sayembara tanding itu, mengalahkan Kalinggo, bahkan mengalahkan Ki Wisokolo."

   Sang Wasi Karangwolo memandang kepada Joko Wilis dengan tajam penuh selidik, senyumnya melebar dan dia berkata,

   "Sungguh seorang pemuda yang ganteng sekali!"

   Sang Wasi Surengpati juga memandang dan dia mengerutkan alisnya.

   "Seorang bocah seperti ini keluar sebagai pemenang? Sungguh mengherankan sekali. Joko Wilis, engkau telah bertemu dengan kami, hayo cepat berlutut dan menyembah!"

   Retno Wilis terkejut. Perintah itu diucapkan dengan suara dalam dan berpengaruh sekali, ia merasa seolah-olah ada tenaga yang mendorongnya untuk berlutut dan menyembah... Maklum bahwa ini merupakan teriakan yang mengandung tenaga sihir, iapun memejamkan mata mengerahkan kekuatan batinnya untuk menolak perintah itu dan berkata dengan suara tenang namun juga penuh tantangan.

   "Paman Wasi, tidak ada peraturan yang mengharuskan saya berlutut dan menyembah kepada orang yang belum saya ketahui benar keadaannya. Saya hanya menyembah kepada Kanjeng Adipati, akan tetapi tidak kepada kalian berdua!"

   Wasi Surengpati tercengang. Tak disangkanya sama sekali bahwa pemuda remaja itu ternyata mampu menolak sihirnya yang kuat! Sang Adipati juga terkejut mendengar perintah Wasi Surengpati dan dia menegur,

   "Apa maksud Kakang Wasi Surengpati dengan perintah yang tidak pada tempatnya itu? Mengapa Joko Wilis harus menyembah kepada kalian berdua yang menjadi tamu kami?"

   Wasi Karangwolo yang menjawab sambil tertawa,

   "Ha-haha, Kanjeng Adipati, adi Wasi Surengopati hanya ingin menguji saja kepada Joko Wilis dan ternyata pemuda remaja ini mampu menolak ujiannya. Sungguh mengagumkan sekali, seorang pemuda yang ganteng dan juga sakti mandraguna!"

   Barulah Adipati Martimpang mengerti dan dia tersenyum bangga.

   "Sudah kami katakan bahwa dia sakti mandraguna. Sungguh hati kami merasa girang dan bangga, seperti andika berdua saksikan sendiri, kami telah memperoleh tenaga yang amat tangguh dan boleh diandalkan!"

   "Akan tetapi, Kanjeng Adipati, apa artinya tenaga seorang saja dibandingkan tenaga lima ribu orang pasukan gemblengan yang kokoh kuat!"

   Tanya Wasi Karangwolo. Mendengar ucapan ini, Adipati Martimpang mengerutkan alisnya dan berkata kepada Joko Wilis,

   "Joko Wilis, kembalilah engkau ke taman sari dan lanjutkan beri latihan memanah kepada Dyah Candramanik."

   Retno Wilis merasa kecewa dalam hatinya karena ia ingin sekali mendengar apa yang akan dibicarakan oleh dua orang tamu dari Blambangan ini. Akan tetapi tentu saja ia tidak dapat membantah dan pergilah ia meninggalkan ruangan itu dan kembali ke taman-sari di mana Dyah Candrarnanik menyambutnya dengan gembira. Setelah Retno Wilis pergi, Adipati Martimpang bertanya dengan nada suara tidak senang kepada Wasi Karangwolo.

   "Paman Wasi Karangwolo, apa artinya ucapan paman tadi? Apa yang paman maksudkan?"

   "Maksud saya, Kanjeng Adipati, bahwa Kalinggo jauh lebih baik untuk menjadi mantu paduka dari pada Joko Wilis tadi. Betapa pun saktinya, Joko Wilis hanya seorang diri saja. Bagaimana dia akan mampu menanggulangi keadaan kalau Nusabarung diserbu pasukan dari Jenggala? Sebaliknya, kalau Kalinggo menjadi mantu paduka, tentu Blambangan akan lebih dekat dengan Nusabarung dan lima ribu orang pasukan Blambangan yang kokoh kuat tentu jauh lebih berharga dari pada bantuan tenaga seorang Joko Wilis."

   "Pula, harus diingat bahwa Gunung Wilis terletak di wilayah kekuasaan Panjalu. Siapa tahu kalau-kalau pemuda itu merupakan telik sandi yang hendak mengadakan penyelidikan di Nusabarung!"

   Kata pula Wasi Surengpati. Mendengar ucapan kedua orang tamunya itu, Adipati Martimpang mengerutkan alisnya dan hatinya menjadi gelisah. Teringatlah dia bahwa sebelum diadakan sayembara, dia sama sekali tidak mengenal Joko Wilis. Bukan tidak mungkin kalau Joko Wilis merupakan seorang mata-mata atau telik sandi yang sedang menyelidiki keadaan di Nusabarung! Dan teringat pula dia betapa Joko Wilis menolak untuk segera menikah dengan Dyah Candramanik, melainkan minta diundur selama satu tahun.

   "Kalau begitu, bagaimana baiknya, Paman Wasi berdua? Dia sudah terlanjur kami terima sebagai calon mantu, karena memang dia yang memenangkan sayembara itu. Dan agaknya puteriku Dyah Candramanik juga sudah menyetujui."

   "Mana yang harus diutamakan, kepentingan hati puteri paduka ataukah keselamatan kadipaten Nusabarung? Kalau paduka menghendaki, biarlah kami berdua yang akan melakukan penyelidikan terhadap diri Joko Wilis, kalau ternyata dia seorang telik sandi, kami berdua yang akan sanggup menangkapnya!"

   Kata Wasi Karangwolo.

   "Baik, paman Wasi. Akan tetapi kami harap andika berdua berhati-hati, jangan sampai membuat puteriku berduka. Kalau benar Joko Wilis seorang telik sandi dari Panjalu atau Jenggala, tentu dengan mudah kami sendiri yang akan memberitahu kepada puteriku Dyah Candramanik."

   Demikianlah, Adipati Martimpang telah membuat persekutuan dengan dua orang pendeta yang datang dari Blambangan itu untuk menyelidiki keadaan Joko Wilis!

   Dewi Candramanik termenung seorang diri dalam kamarnya. Apa yang dialami sore tadi ketika ia mempelajari ilmu memanah dari Joko Wilis sungguh membuat jantungnya berdebar penuh ketegangan. Selama beberapa hari ini ia memang merasakan ada sesuatu yang aneh pada diri Joko Wilis. Naluri kewanitaannya membuat ia sadar bahwa ada suatu kalainan pada diri pemuda yang membuat ia kasmaran itu. Kalau ia belajar membidik, Joko Wilis berdiri di belakangnya dan merangkulkan kedua lengan untuk mengajarinya menarik busur dan membidik, ia mencium keharuman yang seperti bunga, keharuman seperti yang terdapat pada tubuh wanita! Pula, jari-jari tangannya demikian kecil meruncing, sentuhan lengannya demikian lembut. Juga rambutnya mengeluarkan bau harum. Makin lama, hatinya menjadi semakin curiga karena Joko Wilis bergerak demikian indah dan luwes seperti seorang wanita.

   "Aku harus mendapat kepastian besok pagi,"

   Akhirnya puteri itu mengambil keputusan. Sementara itu, senja itu Retno Wilis mendapat kesempatan untuk berjalan-jalan keluar dari kadipaten. Ia terus menuju ke pintu gerbang dan keluar dari kota kadipaten, memasuki daerah berhutan dari pulau itu. Tentu saja maksudnya hanya satu, yaitu hendak menemui kakaknya. Kalau kakaknya berada di kadipaten dan melihat ia keluar dari kota, tentu kakaknya akan membayanginya. Dugaannya benar. Belum lama ia berjalan di jalan yang sunyi di tepi hutan itu, ia melihat seorang pemuda berpakaian putih di sebelah depan. Ketika ia mendekat, melihat bahwa orang itu adalah Bagus Seto.

   "Kakangmas Bagus Seto!"

   Ia memanggil.

   "Diajeng Retno Wilis, engkau keluar dari kota Raja untuk menemui aku, bukan?"

   (Lanjut ke Jilid 04)

   Sepasang Garuda Putih (seri ke 05 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 04

   "Benar, kakangmas,"

   Retno Wilis Lalu menceritakan semua pengalamannya, betapa setelah berhasil memenangkan sayembara, telah mendapat banyak keterangan tentang Nusabarung dari Dyah Candramanik.

   "Diajeng, sebaiknya kita sekarang lari saja meninggalkan pulau. Kalau engkau terlalu lama di sini, akhirnya engkau akan menemui halangan. Permainanmu terlalu berbahaya, diajeng."

   "Nanti dulu, kakangmas. Hari ini terjadi hal yang penting. Ada dua orang utusan dari Blambangan tiba di sini dan mereka itu adalah orang-orang yang pandai. Bahkan seorang di antara mereka telah mencoba untuk mempengaruhi aku dengan ilmu sihirnya. Aku harus menyelidiki dulu apa maksud mereka datang berkunjung. Setelah itu, baru kita melarikan diri."

   "Engkau telah menipu Dyah Candramanik, kalau ia mengetahui kepalsuanmu, tentu ia akan sakit hati. Karena itu berhati-hatilah, diajeng."

   "Jangan khawatir, kakang. Aku akan bersikap hati-hati. Dyah Candramanik itu tidak merupakan bahaya karena ia sudah tergila-gila kepadaku, ia memang cantik, kakang. Kalau saja engkau yang mengikuti sayembara dan menikah dengannya, tentu serasi sekali!"

   "Hushh, jangan bicara yang bukan-bukan, diajeng. Jangan terlalu lama engkau menyelidiki dua orang pendeta dari Blambangan itu. Kita harus cepat pergi dari sini. Hasil penyelidikanmu itu sudah cukup."

   "Baik, kakangmas. Berilah waktu seminggu lagi kepadaku. Seminggu kemudian kita akan bertemu di sini, di waktu senja dan kita lari bersama."

   Setelah bercakap-cakap melepas kerinduan, mereka lalu kembali ke kadipaten, mengambil jalan masing-masing. Menurut cerita Bagus Seto kepada Retno Wilis, pemuda itu mondok di rumah seorang duda tua yang hidup menyendiri di sudut kota. Pada keesokan harinya, Retno Wilis memasuki taman-sari seperti biasa untuk menemui Dyah Candramanik mengajarkan ilmu memanah. Hatinya lega karena ia telah bertemu dengan kakaknya dan dengan wajah berseri ia bertemu dengan puteri itu. Ia melihat betapa Dyah Candramanik mengenakan pakaian baru yang merah muda sehingga tampak lebih cantik dari biasanya. Retno Wilis yang sedang senang hatinya, memuji kecantikan puteri itu.

   "Wahai, diajeng Candramanik, engkau kelihatan secantik bidadari dari kahyangan."

   Wajah Dyah Candramanik menjadi kemerahan dan ia berkata manja.

   "Ah, kakangmas, harap jangan terlalu memujiku."

   Ia menggapai kepada seorang pelayan dan minta agar pelayan mengambilkan minuman untuk Joko Wilis. Setelah minum, Dyah Candramanik lalu berkata,

   "Kakangmas Joko Wilis, mengapa aku amat bodoh? Mempelajari ilmu memanah, sampai sekarang aku belum juga pandai memanah."

   "Siapa bilang, diajeng? Engkau telah memperoleh kemajuan pesat sekali. Bukankah kemarin tiga kali anak panahmu mengenai sasaran. Itu sudah cukup bagus!"

   "Kalau setiap kali melepas anak panah mengenai sasaran, itu baru dapat dibilang bagus, kakangmas. Aku masih lemah dalam hal membidik, dan ketika melepaskan anak panah, jari tangan kananku kurang tenang. Aku minta diajar membidik lagi yang lebih baik kakangmas!"

   "Baiklah, diajeng. Hari ini akan kuajarkan engkau membidik ke arah sasaran agar tepat dan bagaimana engkau harus mengerahkan tenaga agar anak panahmu dapat meluncur dengan lurus."

   Mulailah mereka berlatih memanah.

   Untuk mengajarkan bagaimana membidik dengan baik, terpaksa Joko Wilis harus memegang kedua lengan puteri itu dan untuk dapat melakukan ini, dia harus berdiri mepet di belakang puteri itu dan merangkulnya untuk membimbing kedua tangan yang memegang busur dan anak panah. Dengan cara begini, punggung puteri itu dekat sekali dengan dada Joko Wilis. Ketika mereka berdua sedang asyik belajar membidik, tidak ada orang lain yang menyaksikan karena pelayan telah disuruh pergi oleh Dyah Candramanik, tiba tiba ketika ia menarik gendewa dan membidik, puteri itu mengeluh dan tubuhnya condong ke belakang seperti hendak jatuh. Joko Wilis yang tidak menyangka, menjadi terkejut ketika siku lengan puteri itu telah mendesak buah dadanya.

   "Ihh...!"

   Dyah Candramanik terkejut dan kini yakin bahwa Joko Wilis adalah seorang perempuan, ia membalik dan memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak dan muka pucat.

   "Engkau... engkau seorang wanita...!"

   Bisiknya dengan napas terengah-engah karena tegang hatinya. Retno Wilis juga terkejut sekali, tidak mengira bahwa rahasianya akan dapat diketahui puteri itu. Ia tidak dapat mengelak lagi dan demi kebaikan puteri itu sendiri ia harus berterus terang agar puteri itu tidak terus tergila-gila kepadanya.

   "Maafkan saya, diajeng, terus terang saja saya memang seorang perempuan."

   "Gila kau! Kenapa engkau mempermainkan aku seperti ini? Mengapa engkau mengikuti sayembara itu, bahkan memenangkannya dan bersedia dijodohkan dengan aku?"

   "Sekali lagi maafkan saya. Saya seorang petualang dan dalam perantauan saya, saya melihat sayembara itu. Melihat para pengikut sayembara yang sombong-sombong dan kasar-kasar, saya tidak tega membiarkan diajeng menjadi isteri seorang di antara mereka. Karena itu aku lalu memasuki sayembara untuk mengalahkan mereka semua sehingga andika terhindar dari pada bahaya menjadi jodoh orang-orang kasar itu."

   Akan tetapi Dyah Candramanik tidak menjawab dan ia menangis, lalu bangkit berdiri dan lari meninggalkan Retno Wilis, kembali ke gedung kadipaten. Sejenak Retno Wilis bimbang. Apa yang harus ia lakukan? Apa pula yang akan dilakukan puteri itu? Apakah ia harus cepat melarikan diri? Retno Wilis menanti di taman-sari sampai lama, mengharapkan sang puteri akan kembali ke situ. Akan tetapi setelah dinanti-nanti sampai agak lama sang puteri tidak juga muncul, ia lalu kembali ke kamarnya dan mengambil keputusan untuk melarikan diri pada waktu senja nanti. Sementara itu, Dyah Candramanik berlari ke dalam gedung kadipaten sambil menangis. Ia mencari ayahnya dan melihat ayahnya sedang berada di ruangan tamu bersama dua orang tamu kakek dari Blambangan itu, ia tidak perduli dan terus lari memasuki ruangan itu dan langsung menubruk ayahnya sambil menangis.

   "Duh, kanjeng Romo...!"

   Ia menangis.

   "Eh, Dyah Candramanik, ada apakah? Apa yang terjadi dan mengapa engkau menangis seperti ini?"

   "Aduh celaka, kanjeng Romo, kita telah tertipu dan terhina...!"

   Kata-katanya terhenti karena tangisnya yang tersedu-sedu.

   "Tenanglah, anakku. Ceritakan dengan tenang dan jelas apa yang telah terjadi."

   "Kanjeng Romo, Joko Wilis itu... dia itu... ternyata adalah seorang wanita...!"

   "Apa?"

   
Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Adipati Martimpang bangkit berdiri dengan mata terbelalak.

   "Di mana si bedebah itu? Berani ia mempermainkan kita!"

   "Aku meninggalkannya di taman-sari, kanjeng Romo."

   "Kanjeng Adipati, biarlah kami berdua yang akan menangkapnya!"

   Kata Wasi Karangwolo yang sudah bangkit berdiri bersama adik seperguruannya, Wasi Surengpati.

   "Akan kukerahkan pasukan untuk membantu andika berdua!"

   Terjadi kesibukan. Tidak kurang dari tiga puluh orang dikerahkan untuk mengawal dua orang pendeta yang akan menangkap Retno Wilis itu. Mereka lalu mencari dara yang menyamar sebagai pemuda itu. Akan tetapi Retno Wilis sudah meninggalkan taman sari dan berada di dalam kamar nya.

   Ketika itu Retno Wilis masih merasa bimbang. Ia masih ingin menyelidiki kehadiran dua orang pendeta utusan Blambangan itu, akan tetapi tidak disangkanya sama sekali rahasianya akan terbuka oleh sang puteri. Sama sekali ia tidak tahu bahwa dirinya sudah dibayangi oleh dua orang pendeta itu, bahkan kini kamarnya sudah dikepung oleh tiga puluh orang perajurit yang membawa gendewa dan anak panah! Ketika ia mendengar gerakan orang-orang di luar kamarnya, Retno Wilis lalu mengintai dari balik jendela. Alangkah terkejutnya melihat banyak perajurit sudah menodongkan anak panah mereka ke arah pintu, juga jendela kamarnya. Kalau ia berusaha keluar dari pintu atau jendela itu, tentu hujan anak panah akan menyambutnya dan itu berbahaya sekali. Mana mungkin menangkis puluhan batang anak panah yang dihujamkan ke arahnya.

   "Joko Wilis, keluar dan menyerahlah. Engkau sudah dikepung!"

   Terdengar bentak nyaring dan Retno Wilis mengenal suara ini sebagai suara Adipati Martimpang sendiri. Maklumlah ia bahwa rahasianya tentu sudah dibuka oleh Dyah Candramanik sehingga sang adipati itu juga sudah tahu bahwa ia seorang wanita yang menyamar pria. Ia harus dapat meloloskan diri dari situ karena bahaya besar mengancamnya! Jalan melalui pintu atau jendela sudah tertutup, tak mungkin ia keluar dari situ.

   Satu-satunya jalan adalah menerobos atap rumah! Setelah menghadapi ancaman bahaya ini baru ia merasa menyesal mengapa ia tidak menurut nasihat Bagus Seto untuk melarikan diri kemarin, dan lebih menyesal lagi bahwa ia tidak membawa pedang pusakanya. Dengan pedang itu mungkin ia dapat menerobos keluar dan memutar pedangnya menangkis hujan anak panah. Sekarang ia bertangan kosong, tidak mungkin ia menempuh bahaya itu. Setelah mengambil keputusan, Retno Wilis lalu mengerahkan tenaga saktinya dan ia meloncat naik melalui atap yang diterobosnya dengan kedua tangannya. Ia berhasil menerobos atap dan berada di atas atap. Akan tetapi sama sekali ia tidak mengira bahwa di situ sudah menanti Wasi Karangwolo dan Wasi Surengpati! Dua orang pendeta ini sudah menduga bahwa Retno Wilis mungkin mengambil jalan menerobos atap,

   Maka begitu tubuh dara perkasa itu muncul, Wasi Karangwolo sudah menyambutnya dengan sambitan tepung berwarna kuning ke arah muka Retno Wilis dan Wasi Surengpati menyodokkan tongkat ularnya ke arah lehernya! Retno Wilis menangkis sodokan tongkat ular itu, akan tetapi ia tidak dapat menghindar ketika bubuk kuning itu sebagian mengenai mukanya! Matanya tiba-tiba menjadi pedih dan tidak dapat dibuka, dan hidungnya mencium bau yang amis dan keras. Tiba-tiba ia merasa napasnya sesak dan terpelantinglah Retno Wilis di atas atap! Dengan mudah Wasi Karangwolo menyambut tubuhnya dan menelikung sehingga Retno Wilis yang jatuh pingsan itu tidak berdaya lagi. Wasi Karangwolo membawanya loncat ke bawah. Melihat Joko Wilis sudah tertawan, Adipati Martimpang menghunus kerisnya dan hendak menusukkan keris itu ke dada Joko Wilis.

   "Biar kubunuh penipu dan pengacau ini!"

   Hardiknya. Akan tetapi Wasi Karangwolo menghalangi.

   "Sabar dulu, Kanjeng Adipati. Jangan tergesa-gesa membunuhnya. Mungkin saja ia dapat mengaku terus terang siapa sebenarnya ia ini, mungkin telik sandi yang dilepaskan Panjalu atau Jenggala untuk menyelidiki keadaan kita. Kalau ia sudah membuat pengakuan, nah, baru boleh ia dibunuh di depan rakyat jelata agar mereka takut membuat kacau seperti dara ini."

   Adipati Martimpang mengangguk-angguk dan menyarungkan kembali kerisnya.

   "Sesuka andika berdua sajalah untuk memeriksanya, kalau perlu boleh menyiksanya agar ia mengaku."

   Wasi Karangwolo tersenyum.

   "Kamu mempunyai cara yang lebih baik untuk membuat ia mengaku, bukan dengan penyiksaan karena boleh jadi dara ini cukup tangguh untuk membungkam mulut dan menahan segala siksaan. Dengan cara kami ia akan dengan sendirinya membuat pengakuan. Akan tetapi ia telah menghisap bubuk racun kuning kami dan mungkin sore nanti baru sadar. Kami hanya minta sebuah kamar tahanan yang kokoh kuat untuk mengurung dirinya."

   Retno Wilis lalu diangkat ke dalam sebuah kamar tahanan yang terbuat dari batu dan pintunya terbuat dari besi tebal dengan jeruji di bagian atasnya. Setelah kedua kaki dan tangannya diikat dengan tali yang kuat, ditelikung seperti seekor domba yang hendak disembelih, Retno Wilis lalu dilempar ke dalam kamar tahanan itu. Wasi Karangwolo dan Resi Surengpati minta kepada para penjaga untuk meninggalkan mereka bertiga saja dengan tawanan itu. Setelah semua orang pergi, mereka lalu mengerahkan tenaga batin mereka untuk melakukan sihir atas diri Retno Wilis. Dalam keadaan tidak sadar, Retno Wilis dibuka kedua pelupuk matanya dan kedua orang pendeta itu memandang dengan sinar mata mencorong ke dalam mata Retno Wilis.

   "Hei, wanita muda yang menyamar sebagai Joko Wilis. Engkau akan menuruti semua kehendak kami! Kalau sudah sadar engkau harus menjawab semua pertanyaan kami dengan sebenarnya!"

   Kalimat itu di ulang-ulang dan beberapa mantera dibisikkan oleh kedua Wasi itu sampai akhirnya Retno Wilis yang masih pingsan itu mengangguk-angguk. Mereka melepaskan lagi Retno Wilis yang rebah tak berdaya diatas lantai dan barulah mereka keluar dari kamar tahanan itu. Gadis itu sudah dikuasai dan dikendalikan pikirannya dengan ilmu sihir dan kedua kaki tangannya juga terikat kuat, sedikitpun tidak ada kemungkinan untuk meloloskan diri. Belum lagi keadaan kamar tahanan itu yang kokoh kuat dan di luar kamar tahanan terdapat belasan orang perajurit yang menjaganya. Biar ditambah sepasang sayap di pundak dara itu tak mungkin ia dapat meloloskan diri. Tubuh dalam kamar tahanan itu bergerak-gerak, menggerakkan kaki tangannya akan tetapi ia tidak mampu bangkit.

   Kedua kaki dan tangannya sudah terbelenggu kuatkuat. Retno Wilis mulai sadar dari pingsannya, akan tetapi ia tidak dapat menggerakkan kaki tangannya. Kepalanya terasa pening sekali. Ketika membuka matanya, ia melihat bahwa dirinya menggeletak di atas lantai yang dingin. Ketika ia mencoba menggerakkan kaki tangannya, ia tidak dapat. Tubuhnya terasa lemas sekali. Ia tidak dapat mengingat dengan jelas apa yang telah terjadi dengan dirinya. Ia kini hanya tahu bahwa ia telah dibelenggu kaki tangannya dan berada dalam sebuah kamar yang tidak berapa luas, yang hanya mempunyai sebuah pintu baja yang bagian atasnya ada terali besinya yang amat kuat. Ia telah ditawan! Pikiran ini membingungkannya. Ketika timbul niatnya untuk mematahkan belenggu pada kaki tangannya, mendadak di dalam kepalanya terdengar suara yang amat berwibawa.

   "Engkau tidak dapat membebaskan diri dari belenggu karena semua tenagamu habis. Engkau merasa tubuhmu tidak berdaya, lemah lunglai!"

   Ia harus membenarkan kata-kata yang terngiang di dalam telinganya ini. Tidak mungkin ia membebaskan diri dari belenggu yang demikian kuatnya, sedangkan tubuhnya demikian lemas tak berdaya.

   "Aku lemah... tubuhku lemah tak berdaya..."

   Katanya membenarkan, dan iapun tidak berani mencoba mengerahkan tenaganya lagi, melainkan rebah miring tak berdaya. Tiba-tiba Retno Wilis melihat dua muka orang muncul di luar terali besi itu. Ia tidak ingat lagi siapa mereka, akan tetapi yang tampak olehnya hanya dua pasang mata yang mencorong seperti api dan yang seolah-olah mengikatnya. Ia menjadi gelisah menatap dua pasang mata itu.

   "Wanita muda, siapakah namamu? Jawab yang benar!"

   Retno Wilis merasa aneh sekali. Mengapa ada orang bertanya seperti itu dan ia merasa tak berdaya, merasa bahwa ia harus menjawab sejujurnya? Akan tetapi ia tidak mampu menahan diri dan ia harus menjawab sejujurnya, seolah ada sesuatu yang amat kuat mendorongnya untuk menjawab.

   "Namaku Retno Wilis."

   Dua orang kakek itu adalah Wasi Surengpati dan Wasi Karangwolo. Mendengar jawaban itu, mereka saling pandang. Wasi Karangwolo lalu bertanya lagi sambil mengerahkan kekuatan sihirnya untuk mempengaruhi Rara Wilis.

   "Dari mana engkau datang?"

   "Dari Panjalu."

   Kembali dua orang kakek itu saling pandang dan pada saat itu, Adipati Martimbangpun datang dan ikut menjenguk lewat terali besi di bagian atas pintu. Melihat kehadiran adipati Martimpang, Wasi Karangwolo mengulang lagi pertanyaannya.

   "Wanita muda, katakan siapa namamu dan darimana engkau datang!"

   Bagaikan seorang yang sedang mimpi, jawaban itu meluncur dari mulut Retno Wilis di luar kehendaknya sendiri.

   "Namaku Retno Wilis dan aku datang dari Panjalu."

   Adipati Martimpang terkejut. Dia tidak mengenal nama Retno Wilis akan tetapi pengakuan gadis itu bahwa ia datang dari Panjalu mengejutkan hatinya. Kiranya benar bahwa gadis ini seorang telik-sandi yang dikirim oleh Kerajaan Panjalu!

   "Siapa yang mengutusmu datang ke Nusabarung?"

   "Tidak ada yang mengutusku."

   "Apa maksudmu datang ke Nusabarung?"

   "Hendak melihat-lihat keadaan, menentang kejahatan, membela yang benar dengan adil!"

   Kata-kata terakhir itu adalah tugas yang selalu didengungkan oleh Bagus Seto kepada Retno Wilis, maka sekarang kata-kata itu keluar dengan sendirinya."

   "Siapa ayah bundamu?"

   Wasi Karangwolo kembali bertanya untuk dapat mengetahui lebih banyak tentang gadis yang menjadi tawanan itu.

   "Ayahku Patih Panjalu Tejolaksono dan ibuku Endang Patibroto!"

   Dua orang kakek dan adipati itu terkejut setengah mati. Mata mereka terbelalak ketika mereka saling pandang. Kalau nama Retno Wilis tidak mereka kenal, maka nama Tejolaksono dan Endang Patibroto itu tentu saja telah mereka kenal dengan baik! Dua orang yang sakti mandraguna, yang pernah menggegerkan Nusabarung dan Blambangan.

   Wasi Karangwolo selain terkejut juga girang sekali. Dia menganggap Tejolaksono dan Endang Palibroto sebagai musuh besarnya. Kakek ini adalah guru dari para senopati di Blambangan yang dulu terbunuh oleh Endang Patibroto. Para muridnya itu adalah Mayangkrudo, Kolonarmodo, dan Haryo Baruno. Bahkan Adipati Blambangan di waktu itu, Menak Linggo juga terbunuh oleh wanita sakti itu. Dan kini puteri Endang Patibroto dan Tejolaksono berada di dalam tangannya! Sungguh merupakan balas dendam yang terasa manis sekali bagi Wasi Kawangwolo. Adipati Martimpang kini yakin pula bahwa puteri patih Panjalu itu pasti datang untuk menyelidiki keadaan dan kekuatan Nusabarung. Gadis ini merupakan orang yang berbahaya sekali.

   "Ia seorang yang berbahaya sekali!"

   Kata Adipati Martimpang.

   "Kita bunuh saja ia sebelum ia dapat memberi keterangan tentang Nusabarung kepada Raja Panjalu!"

   "Nanti dulu, Kanjeng Adipati. Kita kuras dulu keterangan darinya sebanyak-banyaknya,"

   Kata Wasi Karangwolo. Dia lalu memandang lagi kepada Retno Wilis dan suaranya menggetar penuh wibawa ketika dia bertanya.

   "Retno Wilis, dengan siapa saja engkau datang ke Nusabarung?"

   "Dengan kakakku."

   "Siapa kakakmu itu?"

   Tanya Wasi Karangwolo, semakin penasaran.

   "Kakangmas Bagus Seto."

   "Di mana dia sekarang?"

   "Di Nusabarung."

   "Ya, tapi di mana?"

   Retno Wilis tidak menjawab karena memang ia tidak tahu di mana kakaknya berada.

   "Retno Wilis, jawab, atau aku akan membikin pecah kepalamu. Engkau merasa kepalamu nyeri sekali, seperti dipukuli dari dalam!"

   Mendadak Retno Wilis memejamkan matanya dan mengerang kesakitan, menggeleng-gelengkan kepalanya yang terasa nyeri sekali.

   "Hayo katakan, di mana adanya Bagus Seto?"

   Tiba-tiba tampak uap putih, dan sesosok bayangan putih berkelebat, tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda, berpakaian serba putih.

   "Aku berada di sini!"

   Kata Bagus Seto yang dengan kepandaiannya yang tinggi sudah dapat memasuki tempat itu. Dia lalu melemparkan tangkai bunga cempaka putih ke arah kepala Retno Wilis dan dia berkata lembut namun penuh getaran yang berwibawa.

   "Diajeng Retno Wilis, sadarlah! Engkau telah bebas dari pengaruh jahat yang menguasaimu, tenagamu telah pulih kembali seperti sedia kala!"

   Adipati Martimpang terkejut sekali dan berteriak memanggil para senopatinya yang masih berada di luar.

   "Tangkap pemuda itu!"

   Bentaknya dan dia sendiri lalu menyelinap dan pergi dari tempat itu. Wasi Karangwolo dan Wasi Surengpati juga merasa marah sekali melihat munculnya pemuda berpakaian putih itu.

   "Keparat, menyerahlah!"

   Bentak mereka sambil mengerahkan ilmu sihir mereka untuk menundukkan Bagus Seto. Akan tetapi pemuda itu tersenyum dan berkata kepada dua orang kakek itu.

   "Sayang sekali mempelajari ilmu hanya untuk melakukan kejahatan!"

   Dua orang kakek itu menyerang dan menubruk maju, akan tetapi sekali berkelebat Bagus Seto telah lenyap dari tempat itu. Sementara itu, Retno Wilis seperti orang yang baru bangun dari mimpi buruk. Ia merasa betapa tenaganya sudah pulih kembali dan kini ia sadar betul bahwa ia telah tertawan dan terbelenggu. Dengan marah Retno Wilis lalu mengeluarkan suara melengking tinggi dan sekali menggerakkan kaki tangannya, dara perkasa ini telah membuat belenggu kaki tangannya patah-patah! Ia meloncat berdiri dan mengerahkan tenaganya menerjang daun pintu dari besi itu.

   "Wuuuuuut... braaaakkkk!"

   Pintu itu jebol dan Retno Wilis sudah melompat keluar dari dalam kamar tahanan. Melihat ini, semua orang terkejut dan belasan orang penjaga, juga dua orang kakek itu, mundur dan keluar dari tempat tahanan itu. Retno Wilis mengejar mereka dan ketika ia tiba di luar, ia telah terkepung oleh para perajurit yang bersenjatakan tombak dan golok. Dara itu mengamuk!

   "Retno, jangan membunuh orang! Aku menunggumu di dalam guha di mana engkau menyimpan pakaianmu!"

   Terdengar suara kakaknya berdengung di dekat telinga Retno Wilis, akan tetapi kakaknya itu tidak tampak berada di situ. Biarpun ia marah sekali dan mengamuk seperti seekor naga betina, namun peringatan kakaknya ini diturutnya dengan patuh. Ia menggerakkan kaki tangannya, menampar dan menendang merobohkan para pengeroyok, akan tetapi tidak ada seorangpun yang ia bunuh. Ia membatasi tenaganya dalam setiap tamparan dan tendangan sehingga yang terkena tidak sampai tewas, hanya terlukai yang membuat mereka tidak dapat mengeroyok lagi. Akan tetapi Adipati Martimpang sendiri kini memimpin lima orang senopatinya yang tangguh untuk mengeroyok Retno Wilis,

   "Bunuh wanita ini!"

   Bentaknya kepada Ki Wisokolo dan empat orang rekannya! Lima orang itu lalu membentak para perajurit supaya mundur dan mereka berlima mengepung Retno Wilis. Dara yang sakti mandraguna itu tidak menjadi gentar. Biarpun lima orang senopati itu menyerangnya dari lima penjuru, akan tetapi dengan kegesitannya ia mampu mengelak dan menangkis sehingga serangan mereka itu semua gagal. Bahkan ketika ia menangkis dengan lengannya, ia mengerahkan tenaga saktinya sehingga lima orang lawannya merasa lengan mereka tergetar hebat dan nyeri seperti telah bertemu dengan lengan baja! Di belakang lima orang senopati itu tampak puluhan orang perajurit yang telah mengepung dara itu.

   Retno Wilis merasa heran dan agak kesal hatinya mengapa kakaknya tidak turun tangan membantunya, ia maklum bahwa kakaknya itu seorang yang tidak suka berkelahi, akan tetapi melihat adiknya dikeroyok seperti ini, mengapa dia tidak membantu? Ia maklum bahwa tidak mungkin ia melawan terus. Pasukan itu bisa datang be ratus- ratus, tak mungkin dengan tenaganya seorang diri ia harus melawan mereka. Ketika melihat Adipati Martimpang di belakang Ki Wisokolo sambil memerintahkan anak buahnya untuk mengepung dan Retno Wilis menemukan ia membalik dan menyerang Ki Wisokolo dengan Aji Wisolangking. Tubuh Ki Wisokolo terpental dan terjengkang oleh pukulan ini dan secepat kilat Retno Wilis sudah melompat dan dilain saat ia telah menangkap lengan kanan Adipati Martimpang dan menekuknya ke belakang tubuh.

   "Hayo perintahkan mereka semua mundur kalau engkau tidak ingin mati dengan kepala remuk!"

   Kata Retno Wilis dan ia menekuk lengan itu lebih kuat ke belakang punggung sang adipati sehingga Adipati Martimpang mengeluh kesakitan. Sedikit lagi Retno Wilis mendorong tangannya ke atas di belakang punggungnya, sambungan tulang pundaknya bias terlepas!

   "Baik, jangan bunuh aku...!"

   Adipati Martimpang lalu berseru nyaring.

   "Semua orang mundur, jangan menyerang lagi!"

   Melihat betapa dara itu telah menangkap majikan mereka, semua pengeroyok bergerak mundur. Juga keduaWasi itu mundur dengan khawatir. Mereka maklum bahwa dara itu bukan hanya menggertak saja. Mungkin sang adipati akan benar-benar dibunuh oleh dara yang sakti mandraguna itu kalau mereka tidak mau mundur. Terpaksa mereka juga mundur sampai agak jauh. Retno Wilis berkata kepada adipati yang telah ditawannya.

   "Mari temani aku untuk pergi dari sini. Aku tidak akan membunuhmu, akan tetapi kalau orang-orangmu menyerangku, aku akan lebih dulu membunuhmu kemudian mengamuk dan membunuh semua orangmu!"

   Sang Adipati Martimpang juga bukan seorang yang lemah. Akan tetapi ketika dia berusaha untuk meronta dan melepaskan tangannya dari pegangan dara itu, dia sama sekali tidak mampu berkutik. Bukan main kuatnya tangan yang memegang pergelangan tangannya itu. Karena takut, akan ancaman Retno Wilis, diapun berteriak,

   "Kalian jangan menghalangi Retno Wilis! Mundur dan jangan ada yang mencoba menyerangnya!"

   Retno Wilis merasa lega. Ia telah menemukan cara yang terbaik untuk dapat meloloskan diri dari tempat itu. Ini jauh lebih mudah dan baik dari pada ia harus melawan sekian banyaknya pengeroyok. Ia lalu mendorong tubuh sang adipati dan mengajaknya keluar dari kota kadipaten, terus ke hutan di luar pintu gerbang. Hari telah hampir gelap dan ketika Retno Wilis tiba di depan guha, ia melihat Bagus Seto telah berada di sana, berdiri sambil menyilangkan lengan di depan dada dan tersenyum.

   "Bagus sekali, kakangmas! Andika enak-enak saja di sini membiarkan aku menghadapi pengeroyokan ratusan orang perajurit!"

   Kata Retno Wilis dengan suara kesal.

   "Suatu latihan yang baik bagimu, terutama untuk menahan kesabaranmu, diajeng. Ini buntalan pakaianmu, tukarlah pakaian di dalam guha dan tinggalkan sang adipati disini. Dia tidak akan begitu bodoh untuk mencoba melarikan diri."

   Bagus Seto menyerahkan buntalan pakaian Retno Wilis.

   Dara itu menerimanya lalu menghilang ke dalam guha yang sudah gelap. Kini Adipati Martimpang berdiri di depan guha, hanya berdua saja dengan Bagus Seto. Adipati itu mempertimbangkan keinginannya untuk melarikan diri. Biarpun adiknya amat sakti, pemuda ini belum tentu memiliki kesaktian seperti dara itu, pikirnya. Dia akan mencoba-coba. Cuaca sudah mulai gelap dan dia lebih mengenal medan dari pada pemuda asing ini. Dia dapat menghilang ke dalam hutan yang lebat itu. Melihat pemuda itu sama sekali tidak memperhatikan dia dan memandang ke arah lain, Adipati Martimpang menggunakan kesempatan itu untuk mengerahkan seluruh tenaganya meloncat dan melarikan diri.

   Dan betapa lega hatinya ketika dia tidak melihat pemuda itu berteriak atau mengejarnya. Dia telah lolos! Dengan sekuat tenaga diapun berloncatan sambil berlari cepat. Tiba-tiba dia terbelalak, memandang ke depan. Di sana, di depannya, telah berdiri pemuda berpakaian putih tadi, tersenyum sambil menyilangkan kedua lengan di depan dadanya seperti tadi ketika dia meninggalkannya di depan guha! Adipati Martimpang cepat memutar tubuhnya dan berlari cepat ke lain jurusan. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat pemuda itu sudah berdiri pula di depannya tanpa bicara hanya tersenyum saja. Dia bergidik ngeri, lalu timbul kenekatannya. Dia segera menerjang maju dan mengirim pukulan ke arah dada pemuda itu. Pemuda itu sama sekali tidak menangkis atau mengelak.

   "Wuuutt... bukkk!"

   Pukulan itu tepat mengenai dada pemuda itu, akan tetapi pemuda itu tidak bergoyang sedikitpun juga. Sebaliknya, Adipati Martimpang menahan teriakannya karena tangan kanan yang memukul itu seperti remuk rasanya, seolah dia memukul sebuah dinding baja. Dia hanya dapat memegangi kepalan tangan kanan dengan tangan kirinya dan mendesis-desis menahan rasa nyeri.

   "Kanjeng Adipati, mari kita kembali ke guha."

   Kata pemuda itu dengan suara yang lemah lembut. Adipati Martimpang maklum bahwa dia menghadapi seorang yang bahkan lebih sakti dari pada Retno Wilis, maka diapun tidak banyak membantah, seperti seekor domba dituntun dia mengikuti pemuda itu kembali ke tempat tadi. Retno Wilis keluar dari dalam guha dan di bawah sinar matahari yang hampir tenggelam, sang adipati memandang dengan bengong! Dia melihat seorang gadis berpakaian serba putih yang cantik jelita seperti dewi kahyangan! Sukar untuk dapat percaya bahwa dara secantik ini dapat menjadi seorang yang amat sakti!

   "Kanjeng Adipati Martimpang, sekarang andika harus mengawal kami sampai menyeberang ke daratan sana. Mari, kakangmas Bagus, kita tinggalkan pulau ini."

   Mereka bertiga lalu keluar dari dalam hutan itu. Dari jauh tampak banyak perajurit, dipimpin oleh lima orang senopati dengan senjata lengkap seperti hendak maju perang. Akan tetapi mereka hanya berani mengawasi dari jauh saja.

   Ketika tiga orang itu berjalan menuju keselatan, merekapun hanya berani membayangi dari jauh. Demikian pula, ketika Retno Wilis memaksa Adipati Martimpang mencarikan sebuah perahu dan mereka bertiga dengan naik perahu menyeberang ke daratan, para senopati Nusabarung juga sibuk mencari perahu dan membayangi dari jarak jauh. Retno Wilis cukup cerdik untuk tidak melepaskan sang adipati ketika ia telah memperoleh perahu. Kalau begitu halnya, tentu anak buah Nusabarung itu akan beramai-ramai mengejar dengan perahu dan kalau sampai mereka tersusul, celakalah ia dan kakaknya. Kalau perahu mereka digulingkan, mereka akan tidak berdaya berada dalam air sehingga akhirnya tentu dapat tertangkap atau terbunuh. Baru setelah tiba di pantai daratan, Retno Wilis berkata kepada Adipati Martimpang.

   "Sekarang kami bebaskan andika, Adipati Martimpang. Aku hanya berpesan agar andika tidak menjodohkan puterimu dengan orang-orang kasar dan sombong seperti Kalinggo. Kasihan sekali sang puteri kalau terjatuh ke tangan orang-orang seperti itu. Nah, selamat tinggal!"

   Retno Wilis lalu pergi bersama kakaknya. Adipati Martimpang hanya dapat memandang kepada dua bayangan putih itu yang menuju ke timur, perlahan-lahan ditelan kegelapan malam. Ketika orang-orangnya mendarat, Adipati Martimpang tidak menyuruh mereka melakukan pengejaran, melainkan memerintahkan mereka kembali ke pulau Nusabarung.

   Persidangan di kadipaten Blambangan itu berlangsung dengan tertib. Adipati Menak Sampar dari Blambangan adalah seorang yang bertubuh tinggi besar, bermuka merah dan berkumis melintang sehingga tampak berwibawa sekali. Memang dia memegang tampuk pemerintahan dengan tangan besi, dengan galak dan tak mengenal ampun dia menghukum hamba sahaya yang berbuat kesalahan, menghukum pula para pamong praja yang bertindak salah.

   Karena itu, Adipati Menak Sampar ditakuti semua orang. Usia Adipati Menak Sampar sudah empat puluh tahun, akan tetapi dari sekian banyak isterinya, dia hanya mempunyai seorang anak perempuan yang diberi nama Dyah Ayu Kerti, seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang cantik jelita. Ibu gadis ini juga seorang puteri dari Bali-dwipa yang cantik jelita, maka tidak mengherankan kalau anaknyapun demikian cantiknya. Dalam persidangan itu, para pamong praja memberi laporan tentang tugas mereka masing-masing. Setelah Sang Adipati memberi nasihat dan usul-usul kepada pembantunya, persidangan itu dibubarkan karena ada laporan dari para pengawal bahwa di luar kadipaten ada beberapa orang tamu penting mohon menghadap Adipati Menak Sampar.

   Mendengar bahwa pimpinan para tamu itu adalah utusan yang datang dari negeri Cola di India, Sang Adipati bergegas membubarkan persidangan dan tak lama kemudian dia sudah menanti para tamunya di ruangan tamu. Setelah para tamu dipersilakan masuk ke dalam ruangan tarnu, maka bermunculanlah seorang kakek yang berusia kurang lebih enam puluh lima tahun bersama seorang wanita yang usianya sudah empat puluh tahun namun masih tampak cantik jelita dan genit, dan seorang laki-laki gagah perkasa bertubuh raksasa berusia empat puluhan tahun. Setelah mempersilakan tiga orang tamunya untuk mengambil tempat duduk, Adipati Menak Sampar lalu berkata,

   "Selamat datang di kadipaten Blambangan paman pendeta."

   Dia menyebut pendeta karena kakek itu memang berpakaian jubah panjang seperti seorang pendeta.

   "Kami merasa belum mengenal paman, siapakah nama paman yang mulia dan dari mana paman datang?"

   "Heh-heh-heh, Kanjeng Adipati yang gagah perkasa! Saya bernama Wasi Siwamurti dan saya datang ke Blambangan sebagai utusan Sang Mahaprabu di Negeri Cola."

   Adipati Menak Sampar mengangguk-angguk.

   "Biarpun letaknya amat jauh, Negeri Cola adalah sahabat kami. Tidak tahu ada urusan apakah paman datang ke Blambangan?"

   "Sebelum saya menjelaskan maksud kunjungan saya ini, perkenalkan lebih dulu wanita ini adalah Ni Dewi Durgomala yang menjadi murid saya, dan ini adalah Ki Siwananda putera saya."

   Adipati Menak Sampar memandang kepada keduanya dan berkata,

   "Selamat datang di Blambangan."

   Yang dijawab oleh keduanya dengan hormat menyatakan terima kasih mereka. Wasi Siwamurti lalu mengeluarkan sepucuk surat dari saku jubahnya dan menyerahkannya kepada Adipati Menak Sampar.

   "Kedatangan saya ini diantar oleh sepucuk surat dari Sang Prabu untuk paduka, Kanjeng Adipati."

   Adipati Menak Sampar menerima surat itu dan membacanya. Isinya adalah surat pengantar dari Raja Cola yang menyatakan bahwa Wasi Siwamurti adalah seorang pendeta yang diutus ke Jawadwipa untuk menyebar Agama Siwa.

   "Akan tetapi untuk menyebar-luaskan Agama Siwa, kenapa paman wasi datang ke Blambangan?"

   Tanya Adipati Menak Sampar.

   "Saya ingin menyebar agama kami di daerah Panjalu dan Jenggala sampai ke Blambangan dan Bali-dwipa. Dan terutama sekali karena di sini saya mempunyai saudara yang telah lama membantu paduka, yaitu Wasi Karangwolo."

   Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Wajah Adipati Menak Sampar menjadi berseri ketika mendengar ucapan itu.

   "Ah, paman Wasi masih saudara dengan pamanda Wasi Karangwolo?"

   "Dia adalah adik-seperguruan saya, Kanjeng Adipati. Kabar terakhir yang saya dapat mengatakan bahwa dia telah menjadi penasihat paduka di sini. Benarkah itu dan di mana dia berada?"

   "Benar sekali, paman. Paman Wasi Karangwolo adalah penasihat kami dan dia sedang menjadi utusan Blambangan pergi ke Nusabarung bersama adik seperguruannya yang bernama Wasi Surengpati."

   "Ahh, jadi Surengpati juga sudah berada di sini? Bagus sekali. Kalau begitu saya akan mendapat pembantu-pembantu yang dapat diandalkan."

   "Yang ingin kami ketahui, mengapa paman Wasi hendak menyebar luaskan agama Siwa ke Panjalu dan Jenggala."

   "Seperti Kanjeng Adipati tentu telah memaklumi, kerajaan yang kini telah menjadi dua itu adalah musuh besar Negeri Cola. Kami hendak menyebar luaskan agama Siwa untuk memecah belah. Kalau sudah terjadi pemecah belahan kepercayaan, maka tentu Panjalu dan Jenggala akan menjadi lemah dan mudah diserbu dan ditundukkan."

   "Bagus sekali! Hal itu cocok dengan keinginan kami, paman Wasi. Sejak dahulupun kami bermusuhan dengan Panjalu dan biarpun kami pernah ditundukkan dan dikalahkan, namun kami tidak pernah mau mengakui mereka sebagai kerajaan yang menguasai kami. Bahkan kami mengutus Paman Wasi Karangwolo juga untuk mengadakan persekutuan dengan Nusabarung untuk menentang kerajaan Jenggala yang mengakui Blambangan sebagai daerah kekuasaannya."

   "Akan tetapi, kerajaan Jenggala cukup kuat, apa lagi kalau dibantu oleh Panjalu. Pasukan mereka kuat sekali dan mereka memiliki banyak senopati yang sakti mandraguna."

   "Kami tahu, paman Wasi. Akan tetapi kami sudah mendapatkan janji dari Bali-dwipa untuk membantu kami."

   "Bagus kalau begitu. Akan tetapi, gerakan senjata itu sebaiknya ditunda dulu. Baru setelah dengan penyebar-luasan agama yang dapat memecah belah mereka, kita pukul dengan kekuatan senjata."

   Selagi mereka bercakap-cakap, masuklah seorang pengawal yang melaporkan bahwa Wasi Karangwolo dan Wasi Surengpati telah datang dan mohon menghadap Sang Adipati Menak Sampar. Mendengar laporan ini, Adipati Menak Sampar menjadi gembira sekali.

   "Bagus, persilakan mereka langsung menghadap ke sini!"

   Setelah pengawal pergi dia berkata kepada Wasi Siwamurti.

   "Paman Wasi, kebetulan sekali dua orang adik seperguruan andika yang kami utus ke Nusabarung telah datang kembali."

   

Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini