Sepasang Garuda Putih 5
Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
Pertemuan antara ke tiga pendeta dan dua orang murid itu amat menggembirakan. Setelah saling memberi salam dan menanyakan keselamatan masing-masing, mereka lalu duduk dan kesempatan ini dipergunakan oleh Adipati Menak Sampar untuk bertanya kepada kedua orang utusannya itu.
"Bagaimana kabarnya dengan tugas andika berdua, Paman Wasi Karangwolo?"
"Kami sudah bercakap-cakap dengan Sang Adipati Martimpang tentang kerja-sama kita dan kami melihat bahwa Kadipaten Nusabarung juga sudah mengadakan persiapan dengan baik. Nusabarung sudah menghimpun pasukan dan menambah jumlah perajurit mereka, bahkan sebagian pasukan sudah dipersiapkan di pantai daratan untuk menjaga kalau-kalau ada gerakan pasukan Jenggala ke sana."
"Bagus sekali kalau begitu. Dengan adanya Nusabarung yang sudah siap, kita sudah mempunyai sekutu di garis depan. Nusabarung dapat menjadi benteng pertama kita untuk membendung kalau-kalau ada pasukan dari barat menyerang daerah kita."
"Akan tetapi ada berita buruk, Kanjeng Adipati. Biarpun Nusabarung sudah mengadakan persiapan, ternyata telah ada dua orang sakti dari Panjalu yang dapat menyelinap masuk dan membikin kacau Nusabarung."
Adipati Menak Sampar terkejut, demikian pula tiga orang tamunya yang mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Ah, bagaimana mereka begitu ceroboh sehingga ke masukan telik sandi? Siapakah dua orang sakti dari Panjalu itu?"
"Ceritanya begini, Kanjeng Adipati. Ketika kami berdua tiba di Nusabarung, Adipati Martimpang sedang mengadakan sayembara tanding untuk mencarikan jodoh puterinya. Banyak orang muda yang memasuki sayembara, di antaranya bahkan Kalinggo, putera Senopati Rajahbeling dari Blambangan. Akan tetapi yang keluar sebagai pemenang sayembara adalah seorang pemuda bernama Joko Wilis yang datang dari pegunungan Wilis. Joko Wilis ini mengalahkan semua peserta, bahkan mengalahkan Senopati Wisokolo dari Nusabarung yang menjadi penguji dalam sayembara itu. Pemuda itu tangguh dan sakti mandraguna. Dialah yang diterima menjadi calon mantu dan pengganti Adipati Martimpang. Kami berdua merasa penasaran sekali mengapa Adipati Martimpang memilih dia, bukan Kalinggo. Kami datang agak terlambat sehingga tidak sempat membekali dengan aji yang dapat mengalahkan Joko Wilis."
"Kemudian bagaimana, Paman Karangwolo?"
Tanya Sang Adipati dengan hati tertarik. Wasi Karangwolo melanjutkan.
"Setelah menangkan sayembara, Joko Wilis tidak bersedia dinikahkan dengan Dyah Candramanik, akan tetapi minta ditangguhkan setahun lagi. Akan tetapi, beberapa hari kemudian, Dyah Candramanik melaporkan kepada ayahnya bahwa Joko Wilis itu sesungguhnya seorang wanita yang menyamar!"
"Ah, seorang wanita? Mengapa ia menyamar dan mengikuti sayembara memilih jodoh itu?"
"Hal itulah yang mendatangkan kecurigaan dan kami lalu membantu Adipati Nusabarung untuk menangkapnya. Kami berdua berhasil menawannya dan mempengaruhinya dengan sihir, ia mengaku bernama Retno Wilis dan siapakah gadis itu? Bukan lain adalah puteri Ki Patih Tejolaksono dan puteri Endang Patibroto."
Semua orang terkejut mendengar nama sepasang suami isteri itu. Mereka semua menganggap dua orang itu sebagai musuh besar. Bahkan Wasi Siwamurti juga mendendam kepada mereka yang dianggap telah menyebabkan kematian mendiang Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo, rekan-rekannya yang menjadi utusan Negeri Cola dan sama-sama penyembah Bathara Siwa.
"Adi Wasi Karangwolo, kemudian bagaimana kelanjutannya?"
Tanya Wasi Siwamurti kepada adik seperguruannya. Wasi Karangwolo menceritakan selanjutnya.
"Kami berdua sudah menguasai Retno Wilis dan ketika kami sedang mengorek keterangan darinya apakah ia datang sebagai utusan Panjalu dan menjadi telik-sandi, tiba-tiba muncul seorang pemuda yang bernama Bagus Seto dan diakui sebagai kakak Retno Wilis. Pemuda itu ternyata sakti mandraguna. Dengan lemparan setangkai cempaka putih dia dapat menyadarkan Retno Wilis yang dapat membebaskan diri dan mengamuk. Kami sudah mengerahkan pasukan untuk menangkapnya kembali, akan tetapi tiba-tiba ia dapat menangkap dan menyandera Adipati Martimpang sehingga ia dapat meloloskan diri ke pantai daratan sambil menyandera sang adipati. Kami tidak berdaya dan terpaksa membiarkan ia lolos."
Semua yang mendengar cerita ini tertegun.
"Tidak salah lagi, Retno Wilis dan Bagus Seto itu tentulah telik-sandi yang dikirim Panjalu atau Jenggala untuk menyelidiki keadaan di Nusabarung. Kalau begitu lebih baik kita mendahului mereka, bergabung dengan Nusabarung dan menyerang Jenggala,"
Kata Sang Adipati Menak Sampar.
"Nanti dulu, Kanjeng Adipati,"
Kata Wasi Karangwolo.
"Adipati Nusabarung juga menghendaki demikian, akan tetapi kami mencegahnya. Kini belum tiba waktunya kita menyerang Jenggala. Kami akan lebih dulu bertindak menyebar-luaskan agama kami untuk menarik rakyat berpihak kepada kami. Kalau terjadi perpecahan di antara mereka karena agama, tentu keadaan mereka lemah dan itulah saatnya bagi kita untuk melakukan penyerbuan."
"Apa yang dikatakan Adi Karangwolo benar, Kanjeng Adipati. Pasukan Jenggala dan Panjalu kuat sekali. Kita harus membuatnya lemah lebih dulu melalui penyebaran agama. Saya, murid saya Ni Dewi Durgomolo dan anak saya Ki Siwananda akan membantu agar mereka memasuki agama kami dan kalau sudah begitu halnya, maka akan mudah membujuk rakyat Jenggala dan Panjalu untuk berpihak kepada kita."
Adipati Menak Sampar mengangguk-angguk tanda setuju. Dia mengerti bahwa agama penyembah Bathara Siwa, Bathara Kala dan Bathari Durga ini, mudah berkembang biak dan para pendetanya memiliki pengaruh yang amat besar terhadap umatnya.
"Kalau begitu, kami dapat menyetujui dan kami serahkan kepada Paman Wasi Karangwolo dan Paman Wasi Surengpati, dibantu oleh Paman Wasi Siwamurti dan dua orang muridnya. Andika bertiga dapat menggunakan bantuan pasukan setiap waktu andika bertiga memerlukannya,"
Kata Adipati Menak Sampar. Perundingan ditutup dengan jamuan makan bagi para tamu, yaitu Wasi Siwamurti, Ki Siwananda dan Ni Dewi Durgamolo. Bagus Seto dan Retno Wilis melakukan perjalanan dengan santai menuju ke timur.
Pada suatu siang yang cerah, mereka berhenti dan beristirahat di bawah sebatang pohon asam yang besar. Mereka duduk di atas batu-batu yang banyak berserakan di bawah pohon, menggunakan saputangan untuk menghapus keringat yang membasahi leher mereka. Matahari amat terik dan sinarnya menyengat tubuh. Nyaman memang mengaso di bawah pohon asam itu. Angin semilir seperti mengipasi tubuh mereka dan Retno Wilis memandang ke atas. Banyak buah asam bergantungan di dahan. Tiba-tiba ia melihat sepasang burung sedang bercumbu di atas dahan. Ia tersenyum geli sehingga Bagus Seto juga memandang ke atas. Diapun melihat sepasang burung itu dan tersenyum juga, bukan menertawakan burung-burung itu melainkan menertawakan adiknya yang tersenyum melihat burung-burung itu bercumbu.
"Burung-burung tak tahu malu,"
Kata Retno Wilis melihat kakaknya tersenyum.
"Eh? Kenapa, diajeng? Burung-burung itu berkasih-kasihan, sudah sewajarnya, dan sudah sesuai dengan kehendak Hyang Widhi. Mengapa kau katakan tidak tahu malu?"
"Apakah itu yang dinamakan cinta, kakangmas?"
"Benar, dan cinta itu suci adanya, walaupun di dalam cinta itu terkandung nafsu berahi."
"Apakah cinta manusia juga mengandung nafsu, kakang?"
"Tentu saja. Di dunia ini, di antara tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia, cintanya tentu mengandung nafsu berahi, cinta semua makhluk mengandung pamrih karena disenangkan hatinya. Tidak ada cinta tanpa pamrih, karena itu semua cinta bergelimang nafsu."
"Akan tetapi cinta antara suami-isteri adalah suci, bukan kakang? Suami isteri kadang mengalah demi membahagiakan masing-masing pihak, tanpa pamrih."
Bagus Seto tersenyum.
"Biarpun dengan menyesal, terpaksa harus kukatakan, bahwa cinta antara suami isteri juga tidak terbebas daripada nafsu, akan tetapi hal itu adalah sewajarnya karena nafsu berahi inilah yang merupakan syarat berkembang biaknya manusia, hewan, atau tumbuh-tumbuhan. Berarti bahwa sejak kita lahir, kita sudah disertai nafsu, jadi sudah sesuai dengan kehendak Hyang Widhi."
"Aku menjadi bingung, kakang. Kalau semua cinta dilumuri nafsu, maka cinta itu kotor, kakang. Bukankah nafsu itu merupakan sesuatu yang buruk dan dapat menyeret manusia ke jurang kesengsaraan?"
"Sama sekali tidak demikian, adikku. Nafsu berahi, seperti juga nafsu lain, merupakan hal yang amat berguna bagi kehidupan manusia. Tanpa adanya nafsu berahi dalam cinta kasih, maka manusia tidak akan berkembang biak seperti sekarang ini. Akan tetapi seperti juga nafsu lain, nafsu berahi juga amat berbahaya kalau sudah menguasai dan memperhamba manusia. Kalau seseorang telah diperhamba nafsu berahi maka dia akan mengejar kesenangan melalui nafsu berahinya sedemikian rupa sehingga dia dapat melakukan hal-hal yang sesat, seperti perkosaan, perjinaan, pelacuran dan lain-lain."
"Ah, aku menjadi ngeri memikirkan soal cinta-kasih kalau begitu. Akan tetapi benar-benarkah tidak ada cinta-kasih yang bersih dari pada nafsu bagi manusia?"
"Tidak ada, adikku. Tidak akan ada cinta kalau tidak ada nafsu. Nafsu itu menyenangkan, nafsu itu hendak memuaskan diri, hendak menyenangkan diri sendiri. Seorang baru mencinta kalau yang dicinta itu menarik hatinya, menyenangkan hatinya melalui kecantikan, keluhuran budi, kepandaian, harta benda dan sebagainya. Pendeknya, orang disenangkan dulu hatinya baru jatuh cinta. Dapatkah seorang wanita mencinta seorang pria atau seorang pria mencinta seorang wanita kalau yang dicintanya itu ternyata tidak dapat melakukan hubungan badan? Tentu saja tidak. Betapapun buruknya kenyataan ini, betapapun sarunya, namun kenyataannya demikianlah. Oleh karena itu, banyak terjadi bahwa cinta seseorang dapat berubah dan berbalik menjadi benci, mengapa? Karena kalau disenangkan dia mencinta, kalau sekali waktu dia disusahkan, dia menjadi marah dan cintanya berubah menjadi benci. Demikianlah ulah nafsu, adikku. Berbahagialah orang yang dapat mengikuti dan mengerti akan gerak-gerik nafsu yang menguasai diri sendiri."
Retno Wilis mengerutkan alisnya yang kecil hitam melengkung indah itu. Ia teringat akan mendiang Adiwijaya. Orang yang dianggap sebagai pamannya atau bahkan pengganti orang tuanya sendiri itu mencintanya tanpa pamrih, mencintanya dengan hati bersih dan suci, bahkan rela mengorbankan dirinya untuknya!
"Akan tetapi, kakang. Bukankah terdapat cinta-kasih antara sahabat yang benar-benar bersih dari nafsu, cinta-kasih murni antara dua orang sahabat yang setia?"
"Tidak ada, adikku. Cinta antara dua orang sahabat juga bergelimang nafsu, walaupun bukan nafsu berahi. Cinta seorang sahabat itu tentu didorong karena dia menganggap orang yang dicintanya itu baik terhadapnya, menyenangkan dan menguntungkan. Selama ada penilaian antara baik dan buruk, tentu cinta yang timbul karena penilaian itu ditunggangi nafsu."
"Kalau begitu di dunia ini tidak terdapat cinta-kasih sejati, cinta-kasih yang suci dan murni?"
"Tentu saja ada, diajeng Retno Wilis.Tengoklah ke sekelilingmu. Semua yang tampak ini berguna bagi kehidupan manusia. Pohon-pohon, bahkan pohon asam ini amat berguna bagi manusia. Buahnya untuk masak, daunnya untuk jamu dan kayunya masih dapat digunakan untuk membangun rumah dan kayu bakar. Lihat bunga-bunga indah itu. Tampak oleh mata manusia demikian indah menyenangkan. Baunya juga harum amat menyegarkan bagi penciuman. Lihat sinar matahari, demikian indah dan mendatangkan terang, juga menghidupkan. Rasakan semilirnya angin yang demikian menyejuk dan menyegarkan. Lihatlah, di sekeliling kita. Tanah tersedia untuk kita, menghasilkan segala macam kebutuhan hidup manusia. Semua itu diberikan tanpa pamrih, tanpa memandang bulu dan terus menerus. Bukan hanya manusia yang mendapat limpahan berkah ini, melainkan juga hewan dan tumbuh-tumbuhan. Nah, semua itulah cinta kasih, adikku. Itulah sifat Hyang Widhi, yaitu Kasih."
Retno Wilis memandang kakaknya dan mata yang indah itu terbelalak, berseri.
"Kakang, engkau membuka mataku! Betapa buta aku selama ini tidak melihat dan tidak merasakan lagi adanya berkah dan cinta-kasih suci yang berlimpah ruah diberikan kepadaku!"
"Itulah, adikku. Itulah pekerjaan nafsu yang selalu menarik perhatian kita sehingga kita selalu mengejar kesenangan, mengejar sesuatu yang tidak ada pada kita. Nafsu tidak mengenal puas, tidak mengenal cukup, akan selalu mendorong kita untuk mendapatkan lebih banyak lagi. Akhirnya nafsu menyeret kita ke dalam perbuatan yang sesat dan jahat. Aku girang bahwa engkau merasa terbuka matamu, diajeng."
Setelah bercakap-cakap dan tidak merasa gerah lagi, kedua orang kakak beradik itu hendak melanjutkan perjalanan mereka. Akan tetapi pada saat itu terdengar orang bertembang dengan suara yang berat dan dalam.
"Rumangsane mung nalongso
Susah sajeroning urip
Sakabehing kang tinuju
Olehe namun kuciwo
Sing dioyak-oyak teko luput
Luwih becik s ing narimo
Opo paringing Hyang Widhi"
Arti tembang itu adalah :
Rasanya hanya nelangsa,
susah dalam kehidupan,
semua yang diharapkan,
hanya mendapat kecewa,
yang dikejar-kejar tak dapat,
lebih baik yang menerima,
apa yang diberikan Hyang Widhi.
Bagus Seto dan Retno Wilis tidak jadi meninggalkan tempat di bawah pohon asam itu dan menanti orang yang bertembang itu datang dekat. Dia seorang paman tani berusia hampir lima puluh tahun, bercelana hitam tak berbaju, bajunya berada di atas singkong yang dipikulnya dalam dua buah keranjang. Orang itu bertubuh kurus, tulang-tulangnya menonjol di bawah kulitnya yang coklat karena banyak terbakar sinar matahari. Otot-ototnya juga menonjol, menunjukkan bahwa otot-otot itu sering dipergunakan untuk memikul berat dan bekerja keras.
Kakinya telanjang. Seluruh penampilan kakek ini, dari ujung rambut sampai ke ujung kakinya, memperlihatkan kesederhaan yang polos, tidak dibuat-buat, kesederhanaan yang mendekati kemiskinan. Namun wajah itu berseri, matanya memandang polos ke depan, kosong dan tidak perduli. Ketika tiba dekat pohon asam yang lebat itu, dia berhenti melangkah, lalu menghampiri tempat teduh itu, melepaskan pikulannya yang berat. Dengan tangan kanannya dia menanggalkan sebuah caping dari kepalanya dan mengipasi dadanya yang berkeringat dengan caping itu, kemudian dia memandang kepada Bagus Seto dan Retno Wilis dan tampak keheranan dalam sinar matanya. Bagus Seto tersenyum kepadanya dan bertanya,
"Paman, Kidung Pangkur yang kau tembangkan tadi indah sekali!"
Kakek itu tersenyum dan seketika wajahnya yang penuh keriput itu tampak segar dan muda.
"Wah, denmas, tembangku hanya tembang orang dusun."
"Benar, paman, aku tertarik sekali, terutama isi tembang itu. Apakah engkau merasa setuju kalau ada orang yang mempunyai cita-cita untuk meraih keadaan yang lebih baik?"
Petani itu menggunakan baju hitamnya yang tadi ditaruh di atas singkong untuk menghapus keringat dari leher dan mukanya.
"Mengharapkan sesuatu yang tidak ada hanya merupakan penyiksaan diri belaka, denmas. Kalau hasilnya luput, kita akan merasa nelangsa dan kecewa, sebaliknya kalau dapat, kita tetap saja tidak puas dan mengharapkan yang lebih baik atau lebih banyak. Dari pada mengharapkan yang tidak-tidak, lebih baik menerima apa yang diberikan oleh Hyang Widhi."
Petani itu memandang ke arah pikulannya, mungkin menaksir-naksir berapa yang akan didapatnya dari penjualan sepikul singkong itu.
"Akan tetapi kalau begitu hidup ini tidak akan ada kemajuan, paman. Siapa lagi kalau bukan kita sendiri yang berusaha untuk memperbaiki kehidupan kita? Dengan usaha keras tentunya."
"Oooh, tentu saja, denmas. Kita harus bekerja setiap hari, karena apakah artinya hidup ini tanpa bekerja? Kita bekerja sekuat tenaga setiap hari, tanpa mengharapkan apa-apa dan apa yang datang sebagai hasil pekerjaan kita itu, itulah anugerah dan berkah Hyang Widhi yang harus kita terima dengan penuh rasa sukur, tanpa mengharapkan yang bukan-bukan."
Petani itu bicara dengan bahasa yang bersahaja, akan tetapi menyentuh perasaan Bagus Seto.
"Kalau begitu pandangan hidup paman, maka paman menyerah dengan penuh kepasrahan kepada Hyang Widhi untuk menentukan keadaan hidup paman?"
"Tentu saja, denmas. Hyang Widhi kuasa mengatur segalanya. Kita tidak mempunyai kemampuan untuk menolak apa yang telah ditentukan Hyang Widhi. Tugas kita hanya bekerja sebaik mungkin dan setelah itu maka aku pasrah kepada Hyang Widhi. Apapun yang diberikan kepadaku akan kuterima dengan penuh rasa sukur. Kalau sudah begitu, maka kehidupan ini terasa nikmatnya nikmat dari berkah Hyang Widhi yang tidak ada henti-hentinya kepada kita."
"Diajeng Retno, inilah contohnya seorang yang berbahagia!"
Kata Bagus Seto kepada adiknya. Biarpun ucapan petani singkong itu amat sederhana, namun ucapannya mengandung arti yang amat dalam sehingga Retno Wilis masih belum mengerti benar. Ia memandang kepada kakek itu dengan kagum lalu bertanya,
"Paman, bahagiakah paman dalam hidup paman."
Kakek itu memandang kepada Retno Wilis dengan sinar mata tidak mengerti.
"Apa maksud andika, den ajeng? Apa itu bahagia? Saya tidak membutuhkan bahagia."
Retno Wilis terbelalak. Kalau kata bahagia saja tidak mengerti, bagaimana mungkin orang hidup berbahagia? Akan tetapi Bagus Seto tersenyum kepada adiknya.
"Diajeng, justeru karena paman ini tidak membutuhkan bahagia, itu berarti bahwa dia telah berbahagia! Kebahagiaan hanya dikejar-kejar orang yang hidupnya tidak bahagia, yang hidupnya diganggu persoalan-persoalan yang menyusahkan dan menggelisahkan hatinya. Kalau gangguan itu tidak ada lagi, maka orangpun tidak butuh bahagia karena sesungguhnya dia sudah berbahagia! Seperti orang yang sakit saja yang membutuhkan kesehatan, kalau orang itu tidak sakit lagi, dia tidak butuh akan kesehatan karena sesungguhnya dia sudah sehat. Mengertikah engkau, adikku?"
Retno Wilis baru mengerti setengah-setengah saja. Semua orang di dunia ini mengejar kebahagiaan, bagaimana petani miskin ini dikatakan oleh kakaknya sebagai orang yang berbahagia karena dia tidak mengejar, bahkan tidak mengerti apa itu kebahagiaan?
"Wah, matahari sudah naik tinggi, saya harus berangkat sekarang, denmas. Nanti pasarnya keburu sepi dan tidak ada yang membeli singkongku ini! Selamat tinggal, denmas dan den-ajeng."
"Selamat jalan, paman. Semoga Hyang Widhi selalu memberkahimu seperti yang andika nikmati setama ini,"
Kata Bagus Seto dan petani itu lalu memikul lagi dua keranjang singkong itu dan meninggalkan tempat itu. Retno Wilis mengikuti petani itu dengan pandang matanya. Betapa tubuh kurus itu terseok-seok memikul beban yang berat, akan tetapi betapa lincahnya kedua tangannya itu berlenggang dan kedua kaki itu melangkah seperti orang menari-nari gembira.
"Hayo, diajeng, kita lanjutkan perjalanan kita,"
Kata Bagus Seto dan Retno Wilis mengangguk, lalu mereka berdua melangkah ke arah timur meninggalkan pohon asam itu.
"Kakang, aku masih memikirkan pembahasan tentang cinta-kasih tadi. Aku masih merasa ngeri melihat kenyataan bahwa tidak ada cinta-kasih yang murni, semua cinta-kasih manusia bergelimang nafsu. Aku ngeri, kakang dan tidak mau jatuh cinta!"
Bagus Seto tertawa.
"Ha-ha, mudah saja engkau berkata demikian, adikku. Akan tetapi sekali waktu akan tiba saatnya
engkau bertemu seseorang dan jatuh cinta kepadanya, baik kau kehendaki maupun tidak. Jodoh manusia ditentukan oleh Hyang Widhi, dan sekali engkau bertemu dengan calon jodohmu yang sudah ditentukan, engkau akan jatuh cinta padanya dan dia akan jatuh cinta padamu."
"Mencinta dengan dorongan nafsu?"
"Tentu saja, karena Hyang Widhi menghendaki demikian. Ingat, engkau diciptakan untuk kelak menjadi seorang ibu yang melahirkan anak-anakmu, dan untuk itu engkau harus lebih dulu jatuh cinta kepada seorang pria dan menjadi isterinya."
"Ih, ngeri aku memikirkan dan membayangkan hal itu. Saling jatuh cinta dengan nafsu. Aku tidak ingin jatuh cinta, kakangmas. Biar selama hidupku aku begini saja, hidup seorang diri."
"Hemm, kalau cinta berahi sudah menyelubungi hatimu, engkau tidak akan mampu melawan hatimu sendiri. Akan tetapi sudahlah, semua itu sudah diatur oleh Hyang Widhi, dan manusia tidak akan mampu mengubahnya. Mari kita lanjutkan perjalanan kita."
Karena pantai Laut Kidul di tempat itu merupakan daerah pegunungan kapur yang sukar dilalui, terpaksa kedua orang muda ini melakukan perjalanan agak ke utara, melalui dusun-dusun.
Kakek itu sudah tua sekali, sedikitnya tentu sudah delapan puluh tahun usianya. Pakaiannya seperti seorang pertapa, amat sederhana, hanya merupakan kain yang dililit-lilitkan pada tubuhnya yang kurus kerempeng. Rambut, jenggot dan kumisnya sudah putih semua seperti kapas. Seluruh anggauta tubuhnya sudah menunjukkan ketuaannya, kecuali sinar matanya. Mata yang penuh keriput dan dihias alis mata yang sudah putih semua itu, memiliki sinar yang tajam sekali dan mata itu masih bening seperti mata kanak-kanak!
Kakek itu adalah seorang Empu pembuat keris, juga seorang pertapa yang telah lama meninggalkan dunia ramai, bertapa di lereng Gunung Raung yang terkenal sebagai gunung yang angker. Jarang ada orang berani mendaki Gunung Raung, karena gunung ini terkenal dengan hutan-hutannya yang penuh dengan binatang liar dan buas, juga dikenal sebagai tempat pelarian orang-orang jahat yang menjadi buruan pemerintah, dan lebih dari itu, dikabarkan banyak bagian dari gunung itu dijadikan sarang para demit dan setan bekasakan yang suka mengganggu manusia.
(Lanjut ke Jilid 05)
Sepasang Garuda Putih (seri ke 05 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 05
Akan tetapi kakek itu merasa tenang dan damai tinggal di lereng gunung itu. Nama kakek ini adalah Empu Gandawijaya. Semenjak sepuluh tahun yang lalu, kakek itu tidak tinggal seorang diri di lereng Gunung Raung, melainkan ditemani seorang muridnya. Pemuda ini ditemukan oleh Empu Gandawijaya ketika pemuda itu berusia tiga belas tahun dan hidup menyendiri, karena kedua orang tuanya telah meninggal dunia. Melihat anak remaja yang hidup kapiran seorang diri ini, dan melihat pula betapa anak muda itu memiliki bakat yang baik sekali untuk menjadi seorang satria, Empu Gandawijaya lalu membawa dan mengajaknya ke Gunung Raung dan menjadi muridnya yang dianggap sebagai anak sendiri.
Pemuda itu bernama Harjadenta dan selama sepuluh tahun dia hidup bersama mpu Gandawijaya, bekerja di sawah ladang dan mempelajari banyak ilmu dari Sang Empu. Bukan hanya ilmu pembuatan keris, akan tetapi juga mempelajari sastera dan aji kanuragan. Kini dia sudah berusia dua puluh tiga tahun, menjadi seorang pemuda dewasa yang bertubuh sedang, berdada bidang dan berwajah tampan gagah. Sinar matanya penuh kejujuran dan keterbukaan, dan mulutnya selalu tersenyun ramah kepada siapapun juga. Biarpun dia hidup di tempat sunyi bersama gurunya, namun Harjadenta inilah yang kadang pergi ke dusun-dusun untuk mencari segala keperluan untuk dia dan gurunya. Pada suatu pagi, baru saja Harjadenta terbangun dari tidurnya dan terdengar ayam jantan berkeruyuk, dia sudah melihat gurunya duduk bersila di ruangan depan pondok mereka yang tidak begitu besar.
"Bapa guru, sepagi ini bapa sudah bangun tidur."
Harjadenta bertanya dengar heran. Biasanya, selalu dia yang lebih dulu terbangun dan setelah dia memasak air baru gurunya keluar dari kamarnya. Empu Gandawijaya membuka kedua matanya dan mengeluh.
"Denta, ke sinilah dan duduk di sini. Aku mempunyai urusan yang harus kita bicarakan sekarang juga."
Dengan penuh keheranan Harjadenta lalu duduk bersila di depan gurunya dan menanti apa yang akan disampaikan orang tua itu kepadanya.
"Denta, semalam telah ada pencuri yang sakti masuk ke pondok kita dan mencuri Ki Carubuk."
Terkejutlah Harjadenta mendengar ini. Ki Carubuk adalah sebatang keris pusaka buatan gurunya yang belum lama ini dirampungkan, sebatang keris yang amat ampuh menurut gurunya.
"Seorang pencuri telah mengambil Ki Carubuk, bapa. Akan tetapi mengapa hal itu dapat terjadi, bahkan saya sama sekali tidak mendengar ada orang masuk ke dalam pondok?"
Empu Gandawijaya menghela napas panjang.
"Itulah maka kukatakan bahwa pencuri itu sakti. Dia pasti seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan semalam dia telah dapat melepas Aji Penyirepan, membuat kita berdua tertidur nyenyak dan tidak tahu bahwa dia memasuki pondok ini dan mengambil keris pusaka KiCarubuk."
Harjadenta lalu menyembah dan berkata penuh penyesalan.
"Ampunkan saya, Bapa. Hal itu menunjukkan bahwa saya kurang waspada, sama sekali tidak pernah mengira bahwa ada orang berani memasuki pondok kita dan mencuri pusaka."
"Bukan salahmu, Denta. Aku sendiri saja dapat terkena Aji Penyirepannya yang hebat itu, apa lagi engkau."
"Lalu bagaimana baiknya, Bapa? Saya menunggu perintah Bapa Guru."
"Kulup, aku sekarang sudah tua, tubuhku sudah tidak kuat untuk melakukan perjalanan jauh, apa lagi untuk mengejar pencuri. Akan tetapi aku tidak mau menambahi dosa-dosaku, karena itu engkau harus pergi mencari pencuri itu dan merampas kembali Ki Carubuk."
Pemuda itu merasa heran.
"Mengapa Bapa Guru merasa berdosa dengan hilangnya Ki Carubuk, Bapa? Hal itu bukan kesalahan Bapa."
Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ketahuilah, Denta. Ki Carubuk adalah sebatang keris yang amat ampuh. Keris itu akan menjadi pusaka yang amat berguna kalau terjatuh ke tangan seorang satria atau seorang yang mulia hatinya, akan tetapi kalau sampai terjatuh ke tangan orang jahat, keris itu dapat menimbulkan malapetaka dan kesengsaraan kepada rakyat banyak. Aku khawatir pencuri itu seorang jahat dan keris itu akan dipergunakan untuk melakukan kejahatan. Kalau demikian halnya, berarti aku telah menambah dosaku dengan pembuatan keris itu. Karena itu, carilah pusaka itu agar dapat kembali kepada kita dan jangan engkau kembali ke sini sebelum berhasil menemukan Ki Carubuk itu, anakku. Ingat, Ki Carubuk itu berluk tujuh dengan ricikan Lambe Gajah, kembang kacang, sraweyan, dan Greneng, sinarnya kehitaman, agak kelabu, di ujungnya ada sinar keemasan."
Mendengar perintah ini, Harjadenta merasa terharu.
Dia harus meninggalkan kakek itu seorang diri di tempat sunyi ini. Setelah selama sepuluh tahun tinggal bersama gurunya, dia sudah menganggap gurunya sebagai pengganti orang tuanya sendiri dan kini tiba-tiba saja dia diharuskan pergi meninggalkan gurunya untuk mencari keris pusaka Ki Carubuk dan tidak boleh pulang kalau keris itu belum ditemukan!
"Akan tetapi, Bapa. Kalau saya pergi, lalu siapa yang akan menemani Bapa di sini? Siapa yang akan mengerjakan sawah ladang, siapa yang akan memasak makanan dan minuman untuk Bapa? Siapa yang akan mencuci pakaian dan siapa pula yang akan membersihkan tempat ini setiap hari?"
Empu Gandawijaya tertawa memperlihatkan mulut yang sudah tidak bergigi lagi.
"Kulup, sebelum engkau tinggal di sini, aku sudah puluhan tahun hidup menyendiri, jangan khawatir, biarpun sudah tua, aku dapat menjaga dan merawat diriku sendiri. Ki Cambuk itu terlalu penting bagiku, jangan sampai terjatuh ke tangan orang jahat. Nah, berangkatlah, Harjadenta dan pergunakan semua ilmu yang pernah kau pelajari di sini untuk dapat merebut kembali Ki Cambuk. Doa restuku mengiringi perjalananmu."
Harjadenta tidak dapat membantah lagi. Dia lalu berkemas dan pada hari itu juga dia berangkat setelah dia minta doa restu dan minta petunjuk dari gurunya.
"Bapa, saya mohon petunjuk, seperti apa kiranya pencuri itu dan ke mana saja harus mencarinya. Tanpa petunjuk Bapa, saya merasa tidak berdaya dan tidak tahu mencari ke mana."
Sejenak kakek itu diam dan menundukkan kepalanya. Kemudian dia mengangkat kepalanya dan berkata,
"Kalau perhitunganku tidak keliru, Denta, pencuri itu seorang wanita yang sakti mandraguna, cantik dan pandai ilmu sihir dan guna-guna. Hanya petunjuk itu yang dapat kuberikan dan engkau naiklah perahu itu di sepanjang Kali Mayang. Turutlah aliran sungai itu sampai ke muaranya di Laut Kidul. Mudah-mudahan dengan menempuh jalan itu engkau akan dapat menemukan pencuri itu."
Dengan bekal petunjuk gurunya itu, Harjadenta menuruni lereng Gunung Raung. Dia melalui dusun-dusun di kaki gunung di mana dia sering datang menukar hasil hutan dengan barang-barang yang dibutuhkan dia dan gurunya, kemudian dia terus melakukan perjalanan ke selatan sampai dia bertemu dengan mata air Kali Mayang. Dia menyusuri sungai itu sampai sungai itu menjadi cukup besar untuk melanjutkan perjalanannya dengan perahu.
Di sebuah dusun di pantai sungai Mayang, dia membuat sebuah perahu dari batang bambu dan kayu, kemudian melanjutkanperjalanannya dengan perahu sederhana ini. Karena perahu itu meluncur terbawa aliran sungai dan ditambah dengan dorongan dayung, maka perjalanan dapat berjalan lebih cepat dari pada kalau dia berjalan menyusuri sungai yang kadang bertemu dengan bagian yang rimbun dan sulit dilalui sehingga dia harus mengambil jalan memutar. Dalam perjalanan ini, Harjadenta seringkali berhenti di sebuah dusun dan melakukan penyelidikan, bertanya-tanya kalau-kalau ada penduduk yang melihat seorang wanita cantik melakukan perjalanan seorang diri lewat di dusun itu. Akan tetapi, sampai jauh dia melakukan perjalanan itu, setelah lewat beberapa minggu, belum juga dia mendapatkan keterangan tentang wanita yang dicarinya.
Pada suatu hari perahunya melewati sebuah dusun, yaitu dusun Grobokan. Dusun itu cukup ramai karena daerah itu merupakan daerah yang menghasilkan palawija yang melimpah ruah. Dia mengambil keputusan untuk singgah di Grobokan, untuk menyelidiki kalau-kalau ada wanita asing yang cantik singgah di tempat itu. Dia menambatkan perahunya di sebatang pohon di tepi sungai dan memasuki dusun Grobokan.
Karena daerah itu subur dan menghasilkan banyak palawija, maka penduduknya juga lebih baik keadaannya dengan dusun-dusun lainnya. Rumah-rumah disitu cukup besar dan terbuat dari kayu. Seperti biasa, kalau hendak menginap di sebuah dusun, Harjadenta mencari rumah penduduk yang sekiranya dapat menerima dirinya untuk bermalam. Dicarinya rumah yang tampak sunyi, tidak banyak penghuninya dan dia menemukan seorang laki-laki setengah tua duduk seorang diri di depan rumah sambil menyambung tali-tali jala yang berlubang. Agaknya kakek ini suka menjala ikan di Kali Mayang. Melihat di sana tidak ada orang lain, Harjadenta lalu menghampirinya.
"Kulonuwun...!"
Harjadenta memberi salam. Kakek itu mengangkat mukanya memandang dan merasa heran melihat seorang pemuda yang berpakaian bersih dan berwaiah tampan berdiri di depannya.
"Mari silakan, denmas. Ada keperluan apakah denmas mengunjungi saya?"
"Maaf, paman. Saya adalah seorang perantau yang tiba di dusun ini dan ingin mencari tempat untuk melewatkan semalam ini. Kalau sekiranya paman tidak berkeberatan, bolehkah saya menumpang di sini semalam?"
Laki-laki itu memandang Harjadenta dengan penuh perhatian dari kepala sampai ke kaki dan agaknya hatinya puas meneliti pemuda itu. Seperti penduduk dusun umumnya, dengan senang hati dia tentu saja suka menolong orang lain dan tidak keberatan kalau pemuda yang sopan dan bersih ini hendak menginap di rumahnya untuk semalam.
"Tentu saja kalau paman dan para penghuni ini yang lainnya tidak berkeberatan."
"Ah, tidak denmas. Aku tidak keberatan dan yang tinggal di sini hanya aku, isteriku dan seorang anak perempuanku. Kami tidak berkeberatan asal denmas sudi tinggal di tempat kami yang kotor dan buruk."
"Paman terlalu merendahkan diri. Rumah ini cukup bagus dan bersih, dan sayapun tidak memilih-milih tempat. Dipan bambu yang paman duduki itu saja sudah cukup bagiku untuk melewatkan malam di luar rumah ini."
"Ah, tidak, denmas, tidak boleh begitu. Kami masih ada bilik di dalam rumah yang kosong, bekas bilik anak laki-laki kami yang sekarang telah pergi untuk selamanya."
Wajah kakek itu tampak berduka.
"Maksud paman, anak laki-laki itu...?"
"Dia sudah meninggal dunia tiga bulan yang lalu, denmas. Terserang penyakit panas. Sekarang tinggal isteriku dan anak perempuan kami. Silakan duduk, denmas."
"Terima kasih, paman."
Harjadenta lalu mengambil tempat duduk di sudut dipan bambu itu.
"Namaku Harjadenta, paman, aku datang jauh dari lereng Gunung Raung."
"Namaku Dirun, denmas."
Dia lalu melongok ke arah pintu rumahnya yang terbuka.
"Las...! Lasmini, keluarlah ke sini!"
Dia memanggil. Terdengar suara lembut menjawab dan keluarlah dari pintu itu seorang perawan dusun yang manis. Rambutnya ikal, kulitnya hitam manis, matanya lebar dan lugu, mulutnya manis sekali, seorang dara yang usianya paling banyak enambelas tahun. Gadis itu tampak terkejut dan malu-malu ketika melihat ada seorang pemuda duduk di situ bersama ayahnya.
"Ada... ada apa, bapak?"
Tanyanya dan suaranya lembut jernih, sejernih sinar matanya. Kini ia menunduk, tidak berani menatap wajah pemuda tampan gagah itu,
"Denmas, ini anak kami, Lasmini. Las, ini adalah denmas Harjadenta yang menjadi tamu kita. Cepat kau keluarkan wedang teh dan ubi rebus itu."
"Baik, pak."
"Ah, paman, harap jangan repot-repot."
Kata Harjadenta dengan sungkan.
"Tidak, denmas. Wong wedang dan ubi rebus itu sudah ada, kok."
Dara manis itu menghilang ke dalam rumah. Tuan rumah itu ternyata ramah sekali dan tanpa diminta dia menceritakan keadaan dirinya kepada Harjadenta.
"Dulu, ketika puteraku masih hidup, keadaan kami lumayan, aku tidak perlu bekerja keras, denmas. Akan tetapi setelah anakku mati, terpaksa aku bekerja keras, berladang dan kadang mencari ikan. Isteriku kadang membantu dan yang bekerja di rumah adalah anakku Lasmini tadi." "Gadis yang manis dan rajin,"
Pikir Harjadenta.
"Kalau begitu tentu kehidupan keluargamu di sini tenteram, paman."
Orang itu mengerutkan alisnya.
"Mestinya begitu. Tidak banyak kebutuhan kami dan semua kebutuhan dapat tercukupi. Bahkan anakku telah bertunangan dengan seorang pemuda yang rajin dan tinggal di ujung dusun ini. Kami merencanakan untuk melangsungkan pernikahan mereka bulan depan."
"Kalau begitu, aku mengucapkan selamat, paman. Anakmu telah hampir menikah apa lagi yang paman susahkan."
"Akan tetapi, ah, aku khawatir sekali, denmas."
Harjadenta memandang penuh perhatian kepada kakek itu. Wajah kakek berusia lima puluhan tahun itu tiba-tiba tampak khawatir dan alisnya berkerut, matanya memandang ke kanan kiri seolah ada bahaya mengancamnya.
"Apa yang paman khawatirkan?"
"Seminggu yang lalu, kami kedatangan tamu. Dia itu utusan Ki Demang yang berkuasa di dusun Grobokan ini. Dan kedatangannya itu adalah untuk meminang Lasmini yang akan dijadikan isteri ke enam Ki Demang."
"Hemm, lalu bagaimana engkau menjawab. Paman Dirun?"
"Menolak dengan keras tentu saja aku tidak berani, denmas Harjadenta. Akan tetapi, menerima pinangan itupun tentu saja kami tidak bisa karena anakku telah bertunangan. Maka kami hanya memberitahu kepada utusan itu bahwa Lasmini telah bertunangan dan bulan depan akan menikah. Kami minta dengan hormat kepada utusan itu agar memberitahukan hal ini kepada Ki Demang."
"Lalu bagaimana kata mereka?"
"Utusan itu kelihatan tidak senang dan mengatakan bahwa dia memberi waktu sepekan kepada kami untuk menyatakan menerima atau menolak pinangan itu. Kami khawatir sekali, denmas. Ki Demang terkenal galak dan mempunyai banyak tukang pukul. Kami khawatir dia akan memaksa kami agar memenuhi permintaannya itu."
"Kalau begitu sebaiknya pernikahan anakmu itu dipercepat saja, paman. Kalau anakmu sudah menikah tentu Ki Demang itu tidak akan dapat memaksa."
Dirun menghela napas panjang.
"Mudah-mudahan saja begitu, akan tatapi kami merasa khawatir sekali. Ki Demang itu terkenal mata keranjang. Dulu, lima tahun yang lalu dia tergila-gila kepada seorang wanita yang sudah bersuami. Entah bagaimana, tiba-tiba saja suami wanita itu meninggal dunia tanpa sakit, dan jandanya segera diambil sebagai isteri ke empat oleh Ki Demang. Ah, betapa gelisah hati kami. Kalau saja anak kami tidak cantik, tentu tidak akan ada malapetaka yang menimpa kami. Apa yang harus kami lakukan, denmas?"
"Apakah paman sudah memberitahukan hal ini kepada tunangan anak paman? Siapa nama calon mantu itu, paman?"
"Namanya Martono, diapun hanya seorang petani biasa, dan kami sudah menceritakan kepadanya, akan tetapi diapun tidak dapat berdaya. Maklum rakyat kecil, kami dapat berbuat apakah terhadap Ki Demang?"
"Utusan Ki Demang itu mengatakan akan kembali sepekan lagi? Kapankah itu, paman Dirun?"
"Tepat pada hari ini, denmas. Sejak pagi hatiku sudah tidak karuan rasanya karena hari ini dia akan kembali."
"Dan apa yang akan kau katakan nanti?"
"Aku akan berterus terang saja, denmas, bahwa pernikahan anakku dengan Martono akan kami laksanakan dua pekan lagi sehingga kami terpaksa tidak dapat melaksanakan perintah Ki Demang."
"Bagus, paman. Memang begitulah seharusnya jawabanmu."
"Akan tetapi kami khawatir... aku takut...
"
"Jangan takut, paman. Ada aku di sini, dan akulah yang akan mencegah kalau mereka akan melakukan kekerasan."
Melihat sikap yang tegas dari pemuda tampan gagah itu, Ki Dirun merasa agak lega, akan tetapi dia tetap was-was mengingat bahwa Ki Demang merupakan orang yang paling berkuasa di dusun itu. Seorang wanita setengah tua keluar bersama Lasmini menghidangkan air teh dan ubi rebus. Dirun memperkenalkan isterinya kepada Harjadenta yang cepat memberi hormat.
"Bibi, aku sudah mendengar semua cerita Paman Dirun tentang adik Lasmini dan utusan Ki Demang. Harap bibi, dan juga andika, adik Lasmini, tidak khawatir. Akulah yang akan menghadapi mereka kalau mereka menggunakan kekerasan. Sukur kalau mereka mau mengerti dan mengurungkan pinangan paksaan itu."
Isteri Ki Dirun mengucapkan terima kasih dan Lasminpun hanya mengangguk ke arah Harjadenta sambil tersenyum kecil. Kemudian kedua orang ibu dan anak itu masuk lagi ke dalam rumah. Mereka berdua lalu makan minum sambil bercakap-cakap. Matahari sudah mulai condong ke barat dan tiba-tiba Ki Dirun tampak gelisah sekali sambil memandang kedepan. Harjadenta juga memandang dan melihat dua orang laki-laki berpakaian mewah memasuki pelataran rumah itu. Sikap mereka angkuh dan garang, dan Ki Dirun cepat bangkit dari tempat duduknya ketika melihat mereka, sambil membungkuk menanti mereka dengan sikap takut-takut.
"Silakan duduk dan terimalah suguhan kami yang sederhana, denmas berdua,"
Katanya sambil mempersilakan dua orang itu duduk di dipan bambu dengan mengacungkan ibu jarinya dengan sikap hormat sekali. Dua orang utusan itu keduanya bertubuh gendut. Yang seorang memiliki kumis melintang seperti tanduk, dan orang kedua memiliki hidung besar sekali. Si kumis melintang meraba-raba kumisnya dan si hidung besar mendengus dengan hidungnya, tidak menghargai sikap Dirun yang
demikian merendah dan penuh hormat.
"Kami datang bukan untuk minum wedangmu dan makan ubimu. Heh, Pak Dirun, siapa pemuda ini? Calon mantumukah?"
"Bukan, aku bukan calon mantu Paman Dirun, melainkan seorang keponakannya."
Jawab Harjadenta sambil bangkit berdiri memandang kedua orang itu.
"Hei Dirun!"
Kata lagi si kumis melintang sambil melotot ke arah tuan rumah.
"Kami datang untuk mendengar jawabanmu atas pinangan Juragan kami kepada anakmu. Bagaimana?"
"Ampun, denmas. Bagaimana saya dapat memenuhi permintaan Ki Demang yang terhormat? Anak kami itu, dua pekan lagi sudah akan menikah."
"Hah? Menikah? Dengan siapa?"
"Dengan Martono, pemuda yang tinggal di ujung dusun ini."
"Kalau begitu, berani engkau menolak pinangan Ki Demang? Petani busuk, apakah nyawamu rangkap maka engkau berani membantah perintah Ki Demang?"
Bentak si hidung besar dengan suara agak sengau.
"Dirun, kamu harus menyerahkan Lasmini sekarang juga kepada Ki Demang atau terpaksa kami harus menggunakan kekerasan, menangkap engkau sekeluarga dan merampas Lasmini untuk menjadi selir Ki Demang!"
Saking takutnya, Dirun tidak dapat berkata apa-apa lagi, hanya menunduk dengan muka pucat dan tubuh gemetar. Melihat ini, Harjadenta lalu melangkah maju dan menudingkan telunjuknya kepada kedua orang itu.
"Heh, kalian utusan Ki Demang! Tidak ada aturannya di dunia ini untuk memaksa orang menyerahkan anak gadisnya. Kalian bersikap melebihi perampok saja!"
Dua orang utusan Ki Demang itu hampir tidak dapat percaya kepada telinganya sendiri. Mana mungkin ada orang berani bicara seperti itu kepada mereka, dua orang kepercayaan Ki Demang, orang yang paling berkuasa di Grobokan? Dengan muka merah dan mata melotot mereka memandang kepada Harjadenta dan si kumis melintang sudah melangkah maju menghampiri Harjadenta dengan marah.
"Bocah setan, berani kau berkata demikian kepadaku?"
Setelah berkata demikian, tangan kanannya menyambar untuk menampar muka pemuda itu. Akan tetapi Harjadenta yang juga sudah marah menyaksikan sikap mereka, menangkap pergelangan tangan kanan yang besar itu dan sekali putar, lengan itu sudah dipuntir ke belakang punggung.
"Pergilah!"
Bentak Harjadenta dan sekali dia mendorong dengan kuatnya, tubuh si kumis melintang itu terdorong dan jatuh menelungkup dengan kuatnya.
Dia terbanting dan perutnya yang lebih dulu menimpa tanah. Perut yang gendut itu terbanting keras, membuat dia terengah-engah dan merangkak bangun dengan susah payah. Si hidung besar marah bukan main. Dia lalu menerjang dengan pukulan tangan kanannya ke arah muka Harjadenta. Akan tetapi pemuda inipun memperlakukan dia seperti kawannya tadi, lengannya ditangkap dipuntir lalu didorong kuat. Si hidung besar terdorong kedepan dan jatuh menelungkup dan sial baginya, yang mengenai tanah lebih dulu adalah hidungnya yang besar sehingga hidung itu bercucuran darah ketika dengan terengah-engah dia mencoba untuk bangkit berdiri. Agaknya dua orang itu hanya lagaknya saja yang besar dan galak. Begitu bertemu lawan yang kuat, mereka sudah menjadi jerih. Sambil mundur-mundur mereka berdua memaki-maki.
"Bangsat? Keparat! Tunggu engkau akan pembalasan kami!"
Dan setelah memaki, mereka takut kalau-kalau pemuda itu akan mengejar maka mereka lalu melarikan diri pontang panting meninggalkan rumah Dirun. Dirun dan isteri serta anaknya yang keluar mendengar ribut- ribut, tidak menjadi gembira oleh pertolongan Harjadenta. Bahkan mereka menjadi pucat dan ketakutan.
"Aduh, bagaimana ini, denmas! Mereka tentu akan dating bersama tukang-tukang pukul Ki Demang dan celakalah kita!"
Kata Dirun, isteri dan anak perempuannya saling rangkul dan menangis ketakutan.
"Paman, bibi dan engkau Lasmini, sudah jangan menangis. Tenanglah saja. Di sini ada aku yang bertanggung jawab. Aku yang memukul, bukan kalian dan aku akan rampungkan urusan ini sampai tuntas. Sekarang jangan bingung, Paman Dirun. Engkau pergilah kepada calon mantumu, ajak dia dan orang tuanya mengungsi ke sini karena aku khawatir kalau dia akan diganggu oleh mereka."
"Dia hanya tinggal berdua dengan ibunya yang sudah janda, denmas."
Kata Dirun.
"Lebih baik lagi kalau begitu. Panggil nereka berdua ke sini agar mudah aku melindungi kalian. Dan andika, bibi dan adik lasmini, masuklah ke dalam dan jangan keluar kalau mendengar suara ribut- ribut. Percayalah, aku yang akan menanggulangi semua urusan ini."
Ki Dirun lalu pergi untuk memanggil calon mantunya, sedangkan Lasmini dan ibunya segera bersembunyi ke dalam kamar mereka. Harjadenta dengan sikap tenang duduk kembali ke atas dipan bambu dan makan ubi rebus. Dia maklum bahwa sikapnya menentang utusan Ki Demang tadi tentu akan berekor dan mungkin benar sangkaan Ki Dirun bahwa mereka akan datang lagi membawa tukang-tukang pukul. Akan tetapi Harjadenta sudah mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada mereka. Tak lama kemudian Ki Dirun sudah kembali bersama calon mantunya, Martono, seorang pemuda petani yang bertubuh tegap berkulit kecoklatan karena terbakar sinar matahari bersama ibunya yang sudah setengah tua. Harjadenta menyuruh mereka berdua masuk pula ke dalam rumah dan hanya Ki Dirun yang menemaninya di luar rumah, menanti apa yang akan datang dengan tenangnya.
"Denmas Harjadenta, sesungguhnya kami merasa tidak enak sekali kepadamu. Kami telah membuat denmas repot dan menghadapi bahaya. Kalau sampai denmas terseret dan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, sungguh kami akan merasa menyesal sekali."
"Ah, paman. Harap jangan berkata demikian. Semua ini terjadi karena kehendakku. Aku tidak suka melihat perbuatan sewenang-wenang. Harap jangan khawatir, paman. Aku yang akan menyelesaikan urusan ini."
Tiba-tiba tampak dua orang gendut utusan Ki Demang tadi memasuki pekarangan rumah itu, diikuti oleh lima orang laki-laki yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan bersikap bengis.
"Itulah dia! Itulah jahanam yang telah berani memukuli kami. Kalian hajarlah dia!"
Kata si kumis melintang kepada lima orang itu sambil menunjuk kepada Harjadenta. Harjadenta sudah bangkit berdiri dan keluar menyambut mereka. Lima orang itu agaknya memandang rendah kepada pemuda yang lembut itu, dan mereka segera mengepungnya.
"Orang muda, siapakah engkau yang telah berani memukuli utusan Ki Demang?"
Tanya seorang di antara lima orang tukang pukul itu sambil bertolak pinggang.
"Namaku Harjadenta. Aku berani memukuli mereka karena mereka bertindak sewenang-wenang terhadap Paman Dirun."
Jawab Harjadenta dengan tenang.
"Babo-babo, keparat! Sekarang cepatlah engkau berlutut dan minta ampun kepada mereka berdua atau terpaksa kami berlima akan memberi hajaran kepadamu."
Kata pula orang itu dengan lagak sombong.
"Hemm, kenapa aku yang harus minta ampun? Semestinya mereka berdua yang harus minta ampun kepada Paman Dirun sekeluarganya."
Jawab Harjadenta tegas.
"Apa? Engkau berani membantah kami? Rasakan ini!"
Kata orang itu sambil menggerakkan tangan kanannya menampar ke arah pipi Harjadenta. Tamparan itu cepat dan kuat sekali, tanda bahwa penampar itu memiliki tenaga yang kuat. Akan tetapi tentu saja Harjadenta tidak rnenghendaki pipinya ditampar orang. Hanya dengan menarik tubuh atas ke belakang saja, tamparan itu luput.
"Ehhh...??"
Tukang pukul itu marah dan penasaran sekali, dan dia lalu menerjang maju dengan pukulan-pukulan kedua tangannya. Melihat ini Harjadenta cepat menggerakkan tangannya, yang kiri menangkis dan yang kanan mendorong ke arah dada penyerangnya itu.
"Plak... bukkk...!"
Tukang pukul itu terjengkang keras dan roboh terbanting. Tentu saja empat orang kawannya menjadi marah sekali dan tanpa banyak cakap lagi mereka serentak menyerang Harjadenta dari empat penjuru. Bahkan orang pertama yang tadi roboh kini sudah bangkit kembali dan ikut pula menyerang. Akan tetapi Harjadenta tidak merasa gentar sedikitpun.
Tenaga para tukang pukul yang besar itu baginya biasa saja, bahkan baginya mereka itu bergerak dengan amat lamban. Dengan mudah dia berloncatan ke sana sini untuk mengelak dari serangan mereka, dan kadang ditangkisnya. Dan setiap kali dia menangkis, para tukang pukul itu tentu menyeringai kesakitan, merasa betapa lengannya seperti bertemu dengan sepotong linggis besi! Sementara itu, Ki Dirun yang menonton perkelahian itu, hanya dapat berdiri dengan muka pucat dan tubuh gemetaran. Tentu saja dia khawatir sekali kalau penolongnya kalah. Dapat dia bayangkan apa akan jadinya dengan dia dan keluarganya kalau Harjadenta sampai kalah. Tentu Lasmini akan dibawa oleh tukang pukul itu dengan paksa dan dia serta isterinya, dan Martono serta ibunya akan menerima hajaran. Akan tetapi Ki Dirun tidak perlu khawatir lagi.
Kini Harjadenta mulai membalas serangan mereka dan begitu kaki tangannya bergerak-gerak cepat membagi-bagi pukulan dan tendangan, terdengar suara bak-bik-buk disusul teriakan-teriakan kesakitan dari lima orang pengeroyok dan tubuh mereka berpelantingan ke kanan kiri! Lima orang itu terkejut bukan main, akan tetapi juga marah sekali. Sambil meringis kesakitan mereka bangkit lagi dan kini lima orang itu mencabut kelewang dari pinggang mereka. Kelewang atau golok itu tajam dan berkilauan menggiriskan hati Ki Dirun yang semakin ketakutan. Namun Harjadenta hanya tersenyum sambil menanti serangan mereka. Lima orang tukang pukul itu mengepung, lalu serentak mereka menyerang dengan kelewang mereka. Senjata golok itu menyambar-nyambar haus darah. Akan tetapi semua sabetan itu dapat dielakkan oleh Harjadenta dan kini dia tidak mau memberi hati lagi.
Setelah mengelak atau menangkis dia langsung membalas dengan cepat dan kini dia menambah tenaga tamparan dan tendangannya. Berturut-turut lima orang itu terpelanting roboh dan golok mereka yang terlepas dari pegangan mencelat ke kanan kiri dan mereka tidak dapat segera bangkit kembali. Mereka mengaduh-aduh dan mencoba untuk merangkak menjauhi pemuda yang digdaya itu. Sementara itu, dua orang utusan Ki Demang yang bertubuh gendut, ketika melihat betapa lima orang tukang pukul itu roboh semua, memandang dengan mata terbelalak dan mereka sudah siap untuk melarikan diri. Melihat ini, dengan beberapa kali loncatan Harjadenta sudah dapat membekuk mereka. Dia menangkap tengkuk mereka dan dua orang itu menjadi ketakutan. Kaki mereka terasa lemas dan tanpa diperintah lagi mereka segera berlutut dan menyembah-nyembah kepada pemuda perkasa itu.
"Ampun, denmas... ampunkan kami yang hanya menjadi orang suruhan Ki Demang..."
Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka meratap dan menyembah-nyembah. Harjadenta melepaskan tengkuk mereka, mendorong mereka dengan muak.
"Dengar kalian orang-orang sombong. Katakan kepada Ki Demang bahwa kalau dia masih berani memaksakan kehendaknya untuk merampas anak gadis orang, aku akan datang kepadanya dan membunuhnya. Juga kalian dan semua tukang pukulnya akan kubasmi sampai habis!"
"Ampun, denmas...!"
"Pergilah!"
Harjadenta menendang dua kali dan dua orang itu terguling-guling, lalu merangkak bangun dan seperti lima orang tukang pukul mereka, mereka lari tunggang-langgang. Harjadenta menghampiri Ki Dirun yang masih berdiri dengan tubuh gemetar di dekat dipan bambu.
"Nah, paman, sekarang bahaya sudah lewat. Kurasa mereka tidak akan berani mengganggumu lagi."
Akan tetapi tiba-tiba Ki Dirun menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kepada Harjadenta sambil berkata dengan suara penuh permohonan,
"Denmas, saya menghaturkan terima kasih kepada denmas akan tetapi kami semua mohon kepadamu, janganlah tinggalkan kami. Kalau denmas pergi, tentu mereka akan datang lagi dan celakalah kami karena sudah tidak ada denmas yang melindungi. Karena itu tinggallah di sini, denmas sampai bahaya benar-benar lewat. Saya takut..."
Harjadenta tersenyum.
"Baiklah, untuk semalam ini saja. Besok aku akan mendatangi Ki Demang dan akan mengancamnya agar dia tidak mengganggu keluargamu lagi. Kalau perlu akan kuberi hajaran keras dia!"
Akan tetapi, yang ditakuti Ki Dirun terjadilah.
Sore hari itu, menjelang senja, belasan orang datang memasuki pekarangan rumah Ki Dirun dan mereka semua kelihatan bengis. Lima orang tukang pukul yang siang hari tadi dihajar Harjadenta juga tampak berada di antara mereka dan mereka mengiringkan seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun yang bertubuh seperti raksasa, mukanya penuh brewok, matanya besar dan orang itu mengenakan pakaian yang serba hitam. Celana hitamnya sampai di bawah lutut dan di pinggangnya terdapat sehelai ikat pinggang atau kolor yang besar, sebesar lengan tangan. Kolor itu berwarna merah dan panjangnya tidak kurang dari satu setengah meter. Ikat kepalanya juga berwarna hitam dan raksasa ini Nampak kokoh kuat seperti seekor gajah!
"Ho-ho-ha-ha! Siapakah orang yang bernama Harjadenta? Majulah ke sini menghadapi aku kalau engkau memang seorang jantan!"
Kata raksasa itu sambil tertawa-tawa. Ki Dirun sudah mendekam di atas lantai, tak berani bergerak saking takutnya. Harjadenta dengan langkah tenang keluar dari ruangan depan dan menghampiri raksasa berpakaian hitam itu.
"Akulah yang bernama Harjadenta. Andika siapakah dan ada keperluan apa mencariku?"
Tanya Harjadenta dengan tenang dan tabah. Raksasa itu memandang Harjadenta dari kepala sampai ke kaki, lalu tertawa bergelak dan memandang wajah pemuda yang tingginya hanya sepundaknya itu.
Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo