Ceritasilat Novel Online

Seruling Gading 10


Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Bagian 10



"Bibi berdua, apakah yang terjadi dengan anak andika?"

   Ki Gitosani yang mewakili dua orang anita itu segera berkata.

   "Anak-mas Seruling Gading. Tadi sudah saya ceritakan bahwa seminggu yang lalu, seorang perawan bernama Karmi menghilang dan wanita ini adalah ibunya. Kemudian, dua hari yang lalu ada perawan lain dilarikan harimau, yaitu Tiyah anak dari wanita kedua ini."

   Parmadi mengangguk-angguk.

   "Hemm begitukah? Baiklah, bibi berdua harap tenangkan hati. Besok pagi saya akan pergi ke candi itu dan kalau benar anak andika berdua di sana, saya pasti akan berusaha untuk membebaskan mereka. Kalau tidak berada di sana, saya akan menyelidikinya siapa yang menculik mereka dan akan berusaha untuk menyelamatkan mereka."

   "Sekarang saya persilakan andika untu beristirahat, anak-mas. Kami telah mempersiapkan sebuah kamar untuk andika, kata Ki Gitosani yang disambungnya kepada semua penduduk yang berkumpul di situ.

   "Saudara-saudara, sekarang harap pulang ke rumah masing-masing. Anak-mas Seruling Gading akan beristirahat dulu."

   Orang-orang itu lalu bubaran dan pulang ke rumah masing-masing. Kini mereka tidak begitu ketakutan lagi karena mulai percaya bahwa pemuda itu akan mampu melindunginya. Setelah semua orang pergi, Parmadi. berkata kepada Ki Gitosani.

   "Paman, tidak perlu saya diberi kamar di dalam rumah ini. Tadi saya melihat di pintu masuk dusun terdapat sebuah gubuk. Saya akan bermalam di sana saja."

   "Ah, mana pantas begitu, anak-mas? Andika adalah penolong kami, menjadi tamu kehormatan kami, bagaimana akan melewatkan malam di tempat itu? Gubuk itu dipakai sebagai gardu tempat para peronda. Tidak tertutup rapat. Bagaimana andika dapat beristirahat di tempat terbuka seperti itu?"

   Parmadi tersenyum.

   "Paman, orang yang menjadi musuh kita itu berbahaya. Saya khawatir dia tidak akan tinggal diam atas gangguan saya tadi. Kalau dia datang menyerang saya dan saya berada dalam rumah ini, hal itu akan membahayakan orang-orang lain yang berada di dalam rumah ini. Karena itulah saya memilih tinggal di gardu itu agar kalau dia melakukan penyerangan, saya dapat menghadapinya orang diri tanpa membahayakan orang lain."

   Mendengar ucapan ini, Ki Gitosani terkejut dan mengangguk-angguk.

   "Ah, kiranya begitu, anak-mas? Kalau begitu, terserah kepada andika. Akan tetapi harap andika berhati-hati. Resi Koloyitmo itu menyeramkan sekali."

   "Saya akan berhati-hati, paman. Sayj hanya titip buntalan pakaian ini, paman Dan besok pagi, kalau saya,pergi ke candi itu, agar jangan ada orang yang ikut ke sana. Biarkan saya sendiri yang menghadapi Resi Koloyitmo dan anaknya itu. Juga malam nanti, kalau tidak teramat penting, lebih

   baik kalian tidak keluar rumah. Jika terdengar suara apapun di luar biarkan saja."

   "Baik, anak-mas. Sekarang juga akan saya beritahukan kepada semua penduduk."

   Parmadi lalu keluar dari rumah kepala dusun itu dan dia pergi ke gardu dekat batu besar di mana dia tadi duduk bersila. Sementara itu, Ki Gitosani dibantu beberapa orang segera menyampaikan pesan pemuda penolong mereka itu kepada setiap rumah.

   Parmadi duduk bersila di atas papan dalam gardu itu. Papan beralaskan tikar itu cukup bersih dan tempat itu sebenarya cukup panjang dan lebar untuk merebahkan diri. Akan tetapi Parmadi tidak mau lengah. Dia maklum bahwa dia berhadapan dengan orang yang memiliki kesaktian dan ilmu sihir yang berbahaya. Maka dia selalu waspada dan dia duduk bersila melemaskan semua anggauta tubuhnya luar dalam, namun kewaspadaannya tak pernah meninggalkannya. Dia bersila dan memejamkan mata seperti orang tidur, namun perasaannya amat peka dan ada kejadian sedikit saja yang tidak wajar pasti akan diketahuinya.

   Tengah malam telah lama terlewat. Pada saat menjelang fajar itu merupakan saat yang paling nikmat bagi orang tidur malam, saat orang tidur sepulas-pulasnya. Di dalam candi, dua orang masih belum tidur. Mereka itu adalah seorang laki-laki berusia lima puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar seperti raksasa. Rambutnya kasar dan panjang, dibiarkan terurai di atas kedua pundak dan punggungnya. Kumis dan jenggotnya merupakan brewok yang tebal. Sepasang matanya besar dan bulat, demikian pula hidung dan bibirnya Agaknya setiap anggauta tubuh orang ini serba tebal dan besar. Pakaiannya sederhana seperti pakaian seorang pertapa, akan tetapi dia memakai gelang tangan dan ikat pinggang terbuat dari emas! Inilah Resi Koloyitmo yang ditakuti penduduk Sukuh, yang dengan kekerasan telah menggunakan candi itu sebagai tempat tinggalnya untuk sementara.

   Di depan laki-laki raksasa itu duduk seorang wanita muda. Sinar lampu yang berada di atas meja di antara mereka menerangi wajah wanita itu dan orang akan terpesona kalau melihat wajah itu. Sinar lampu membuat wajah itu tampak kemerahan. Gadis ini berusia kurang lebih dua puluh tahun. Kulitnya yang putih kuning itu demikian halus lembut bagaikan gading gajah diukir indah. Tubuhnya ramping padat, bagaikan buah yang sedang ranum,atau bunga yang sedang mekar, dengan lekuk lengkung yang sempurna, indah menggairahkan. Sungguh, Sang Maha Pencipta amat bermurah hati terhadap gadis ini, diberinya bentuk tubuh dan wajah yang demikian indahnya.

   Rambutnya tebal, hitam mengkilap dan agak berombak, sanggulnya rendah menempel di tengkuk dan dihias tusuk sanggul dari emas permata, diselipi beberapa tangkai bunga melati. Sinom (anak rambut) berjuntai melingkar manja di dahi dan pelipisnya. Dahinya berkulit putih mulus dan halus bagaikan lilin diraut, agak nonong akan tetapi bahkan menambah daya tariknya. Sepasang telinganya kecil berbentuk indah. Sepasang alisnya hitam seperti dicelaki, padahal memang rambut alis itu hitam aseli, bentuknya kecil penjang melengkung seperti bentuk bulan muda, melindungi sepasang mata yang bentuknya indah, ujung kanan kiri agak miring ke atas membuat kerlingnya setajam pedang. Mata itu bening dan jeli, sinarnya tajam seolah dapat menembus dan menjenguk isi kepala lawan. Hidungnya kecil lancung, cupingnya yang tipis dapat bergerak lucu, dan mulutnya! Sungguh indah dan manis sekali sepasang bibir yang selalu merah membasah tanpa pemerah itu, penuh daya tarik dan menantang. Sepasang bibir itu demikian hidup, kadang sedikit terbuka sehingga tampak kilatan gigi putih rapi. Sepasang pipi itu selalu kemerahan dan dagunya meruncing menambah mahis. Lehernya agak panjang dan kulitnya demikian putih mulus dan tipis.

   Pendeknya, jarang terdapat seorang gadis yang sedemikian rupawan. Sukar mencari cacat celanya. Cantik jelita, ayu manis merak ati! Sungguh merupakan gambaran kebalikan dari laki-laki yang duduk di depannya. Kalau laki-laki itu mewakili, keburukan dan kakasaran, gadis itu mewakili keindahan dan kelembutan! Memang aneh, namun kenyataannya adalah bahwa laki-laki itu adalah ayah gadis jelita itu. Gadis berusia sekitar dua puluh tahun namun tampak baru enam belas tahun itu adalah Nini Maya Dewi, puteri Resi Koloyitmo!

   Ayah dan anak ini belum lama berada di candi Sukuh. Bahkan mereka baru saja memasuki daerah itu setelah mereka, atau lebih tepat, setelah Resi Koloyitmo terusir dari daerah Parahyangan. Di tanah Pasundan itu dia dikenal sebagai seorang tokoh besar atau datuk. Akan tetapi karena dia melakukan banyak perbuatan sesat, akhirnya dia dimusuhi, dianggap sebagai pengganggu ketenteraman umum dan dimusuhi oleh para pendekar pembela kebenaran dan keadilan. Bahkan banyak perguruan silat yang memusuhinya. Bukan hanya itu, bahkan pemerintah setempat juga menganggapnya sebagai seorang tokoh sesat yang membahayakan, maka dia dikejar-kejar dan dimusuhi. Terpaksa dia melarikan diri, tidak kuat menghadapi tentangan banyak orang dan dalam pelariannya memasuki daerah Mataram dia ditemani puterinya, yaitu Nini Maya Dewi.

   Gadis itu merupakan satu-satunya keluarga Resi Koloyitmo. Menjadi puterinya dan juga muridnya. Sejak kecil Maya Dewi digembleng ayahnya sendiri. Gadis ini tidak pernah mengenal ibunya yang menurut keterangan Resi Koloyitmo, ibunya itu telah meninggal dunia ketika ia masih kecil berusia satu tahun. Maya Dewi amat disayang ayahnya, disayang dan dimanja. Apapun permintaannya, selalu

   dipenuhi sang ayah. Biarpun gadis ini tidak memperlihatkan watak kasar seperti ayahnya, namun karena sejal kecil ia hidup bersama ayahnya dan melihat sepak terjang ayahnya dalam hidup ini aneh dan kadang jahat, maka tenti saja gadis itu terpengaruh dan iapun kadang berwatak aneh dan dapat bersikap keras.

   Ketika Resi Koloyitmo mengajak ia untuk sementara tinggal di Candi Sukuh dan ayahnya melakukan penculikan terhadap perawan-perawan dusun, iapun menganggap hal itu biasa saja. Maya Dewi tahu bahwa ayahnya menculik gadis-gadi dusun yang lugu itu untuk dua hal. Pertama sebagai pelampiasan nafsu hewan laki laki raksasa itu, dan kedua, dan ini yang terpenting, untuk menyempurnakan ilmu yang sedang dilatih ayahnya. Ilmu pukulan ini disebut Aji Rudira Wisa (Darah Beracun) dan untuk menyempurnakan ilmu pukulan dahsyat ini dibutuhkan darah perawan yang banyak untuk dihisap dan diteguk!

   Ketika malam itu Resi Koloyitmo memasuki candi dengan terhuyung dan pipinya yang sebelah kiri membengkak, Maya Dewi menyambut dengan seruan heran dan khawatir.

   "Ayah, apa yang telah terjadi? Ayah terhuyung dan muka ayah agak bengkak."

   Resi Koloyitmo menjatuhkan diri di atas sebuah kursi. Mereka duduk saling berhadapan terhalang meja.

   "Dua orang gadis tawanan itu?"

   Tanyanya sambil mengelus pipi kirinya.

   "Mereka masih berada di dalam dan aman, ayah,"

   Jawab Maya Dewi.

   "Akan tetapi, ada apakah ayah?"

   "Hemm, dusun itu didatangi seorang yang merupakan lawan tangguh. Dia mengagalkan aku. Hemm, aku harus membalas dendam. Maya, ambilkan dupa dan pedupaannya."

   Tanpa menjawab Maya Dewi masuk ke dalam dan tak larna kemudian ia keluar lagi membawa barang yang diminta ayahnya. Setelah menerima dupa dan pedupaanya, Resi Koloyitmo bangkit berdiri.

   "Maya, engkau tunggu di sini, jaga jangan sampai dua orang tawanan itu dilarikan orang. Hatihati, agaknya orang-orang dusun itu sudah berani hendak melawan kita. Aku pergi dulu untuk membuat perhitungan dengan pengganggu itu."

   Kakek itu lalu melompat keluar. Satu di antara keanehan watak Maya Dewi adalah sikapnya yang acuh. Biarpun ia tahu bahwa ayahnya telah bertemu lawan tangguh, namun ia seperti orang yang tidak perduli dan ia lalu menunggu, duduk bersila dan sama sekali tidak mengkhawatirkan keselamatan ayahnya.

   Resi Koloyitmo menuruni bukit, menyelinap di antara batu-batu dan pohon-pohon menuju ke dusun. Setelah tiba di luar dusun, dia berhenti dan bersembunyi di balik batu besar, mengintai. Dia melihat ketlka Parmadi memasuki gubuk gardu. Dia menyeringai. Pemuda yang dibencinya itu berada di dalam sebuah gardu, seorang diri sehingga memudahkannya turun tangan membuat perhitungan dan pembalasan!

   Parmadi yang duduk bersila di dalam gardu tidak tahu bahwa tak jauh dari situ Resi Koloyitmo sudah mengintai dan bersiap-siap untuk melakukan penyerangan terhadap dirinya. Namun, dia sudah menduga lebih dulu dan sejak tadi dia sudah siap dan waspada. Ketika tiba-tiba ada hawa yang dingin memasuki gardu dan hawa dingin ini mendatangkan rasa nyaman dan menimbulkan rasa kantuk yang sangat kuat, Parmadi segera menyadari bahwa perasaan mengantuk yang menyerangnya ini merupakan sesuatu yang tidak wajar. Dalam keadaan biasa dia tentu tidak curiga dan akan menyerah ke dalam dekapan rasa kantuk yang nikmat itu, membiarkan diri terbuai dalam tidur. Akan tetapi karena memang tadinya dia sudah menaruh curiga dan sudah waspada, maka begitu perasaan ini menyerangnya, tahulah dia bahwa dia telah diserang dengan aji penyirepan yang amat ampuh!

   Parmadi segera mengerahkan seluruh kekuatan batinnya, menyerah dan mohon kekuatan kepada Kekuasaan Gusti Allah kemudian menggosok-gosok kedua telapak tangannya satu sama lain sampai kedua telapak tangannya terasa hangat lalu menempelkan telapak tangan itu kepada kedua matanya. Rasa hangat itu menjalar ke dalam kedua matanya dan seketika mengusir rasa kantuk yang amat kuat itu. Kemudian dia menurunkan kedua tangannya dan duduk bersila dengan tenang, sama sekali tidak terpengaruh lagi oleh hawa dingin yang timbul karena aji penyirepan tu.

   Resi Koloyitmo menjadi penasaran sekali. Dia telah mengerahkan aji penyirepan Atma Pralaya, aji penyirepan yang amat ampuh dan berbahaya karena aji penyirepan ini kalau sudah mencapai puncak kekuatannya, tidak hanya dapat membuat lawan tertidur pulas, bahkan dapat membuat lawan tidur untuk tidak bangun kembali! Akan tetapi, sekali ini pengerahan ilmu sihir yang sesat ini bagaikan keris menusuk air saja!

   Resi Koloyitmo menjadi marah. Dia menghentikan pengerahan aji penyirepan itu dan mulai membakar dupa di pedupaan yang telah dibawanya sebagai persiapan. Asap putih mengepul. Bau harum yang khas tersebar dan suasana malam larut itu menjadi menyeramkan. Sebentar saja harum dupa yang aneh itu sampal ke dalam gardu dan tercium oleh Parmad Pemuda ini hanya tersenyum dan dengan tenang dia mencabut seruling gading dari pinggangnya dan mulailah dia meniup suling itu. Terdengar suara melengking-lengking merdu menyusup ke dalam kesunyian malam. Kemudian terdengarlah bunyi ledakan-ledakan di atas atap gardu, disusul suara bendabenda kecil berjatuhan menimpa atap. Serangan pertama berupa hujan benda-benda kecil terbuat dari besi yang berkarat itu gagal. Benda-benda yang ditujukan untuk menyerang tubuh Parmadi rontok begitu tiba di atas gardu, seolah bertemu dengan perisai atau payung besar yang terbentuk oleh suara suling.

   Tak jauh dari gardu, di balik sebuah batu besar, Resi Koloyitmo yang duduk bersila menghadapi pedupaan yang mengepulkan asap putih menjadi semakin penasaran. Mukanya berubah merah sekali. Ia menengadah, memandang bulan yang sudah turun ke barat. Serangannya yang kecil juga gagal. Suara suling yang melengking-lengking merdu itu bahkan terasa seperti hawa panas yang mulai membakar dirinya. Dia lalu berkemak-kemik membaca mantera, ditambahkannya dupa di atas api dan asap putih yang tebal sekali bergulung ke atas. Dia membaca mantera lagi dengan suara yang agak keras sambil mengangkat kedua tangan ke atas, ke arah asap yang bergulung-gulung. Terjadi hal yang aneh sekali. Asap putih bergulung-gulung itu mulai membentuk ujud-ujud yang mengerikan. Bentuk setengah manusia setengah hewan. Ada tujuh banyaknya dan perlahan-lahan ujud tujuh makhluk jadi-jadian ini melayang-layang ke arah gardu!

   Parmadi dapat merasakan datangnya ancaman serangan ketiga ini. Tiba-tiba dia merasa betapa hawa menjadi panas sekali seolah gardu itu terbakar. Dan dia melihat pula bentuk-bentuk makhluk menyeramkan yang agaknya berusaha untuk memasuki ruangan bawah atap itu dari semua jurus, hendak mendobrak perisai suara yang melindunginya, Parmadi maklum bahwa lawannya yang tangguh itu agaknya hendak mempergunakan kekuatan sihir yang berhawa panas untuk melawan pertahanannya yang diciptakan oleh suara seruling gading yang berhawa panas pula. Kalau dia bertahan dengan pertahanan itu, ada bahayanya serangan lawan ini akan berhasii. Oleh karena itu, dia segera mengubah suara tiupan sulingnya. Kini sulingnya mengeluarkan suara bernada rendah yang mendatangkan getaran kuat sekali. Seketika hawa sudah berubah menjadi dingin sekali, sedingin hawa di puncak Gunung Lawu.

   Bentuk-bentuk makhluk aneh dari asap putih itu tiba-tiba menjadi kacau dan mereka menjauhkan diri, kembali ke balik batu besar di mana Resi Koloyitmo mengerahkan seluruh tenaga untuk memperkuat makhluk-makhluk ciptaan ilmu sihirnya. Akan tetapi, tiba-tiba hawa dingin yang amat hebat menyerangnya dan dia terbelalak melihat asap putih itu kini membalik dan api di pedupaannya padam! Asa putih itupun buyar terbawa angin. Resi Koloyitmo merasa dingin sekali dan menggigil, lalu bangkit berdiri dan lari pontang-panting mendaki bukit menuju candi yang menjadi sarangnya.

   Api lampu penerangan di atas batu berbentuk meja itu bergoyang-goyang ketika Resi Koloyitmo memasuki candi. Dia bersedakap dan masih menggigil. Giginya berkeratakan seperti orang menderita sakit demam. Dia menjatuhkan diri duduk bersila di dekat Nini Maya Dewi.

   "Bagaimana, ayah?"

   Tanya gadis itu. Akan tetapi, yang ditanya tidak menjawab, hanya duduk bersila untuk menghimpun kekuatan melawan hawa dingin yang masih menyusup-nyusup di tulang-tulang tubuhnya.

   Melihat keadaan ayahnya, Maya Dewi cepat menjulurkan kedua tangannya yang kecil mungil, ditempelkan kedua telapak tangannya ke punggung ayahnya dan iapun mengerahkan tenaga saktinya

   untuk membantu ayahnya menolak hawa dingin yang menembus tulang itu. Bantuan gadis itu menolong sekali. Tak lama kemudian tubuh Resi Koloyitmo menjadi tenang kembali dan hawa dingin itu sudah meninggalkannya. Tubuhnya terasa hangat.

   "Cukup, Maya,"

   Katanya. Gadis itu melepaskan kedua telapak tangannya. Mereka duduk berhadapan.

   "Bagaimana, ayah?"

   Kembali Maya Dewi bertanya. Resi Koloyitmo menghela napas panjang dan wajahnya membayangkan kekecewaan.

   "Sungguh tak kusangka, di dusun sepi seperti ini aku bertemu dengan lawan, yang demikian kuatnya. Semua ilmu sihirku, juga aji penyirepan, sudah kukerahkan namun semua tidak berhasil. Dia kuat sekali."

   Maya Dewi mengerutkan alisnya yang indah.

   "Hemm, siapakah orang itu, ayah?"

   "Aku belum tahu siapa dia. Akan tetapi agaknya dia seorang pendatang dari luar dusun dan dia bahkan bermalam di dalam gardu di ujung dusun itu. Tampaknya seorang pemuda biasa saja, akan tetapi ternyata dia kuat sekali. Suara tiupan sulingnya mengandung kekuatan yang amat dahsyat, sukar kutandingi."

   "Akan kubereskan dia!"

   Kata gadis itu dan ia sudah bangkit berdiri dan hendak melangkah keluar.

   "Maya, hendak ke mana engkau?"

   Tegur ayahnya.

   "Ke mana lagi, ayah? Pergi membunuh orang itu!"

   Kata gadis itu sambil memegang ujung sabuknya yang tergantung panjang. Itulah Sabuk Cinde Kencana, sabuk yang terbuat dari benang emas dan merupakan senjatanya yang ampuh.

   "Jangan, Maya. Malam sudah hampir fajar, bulan sudah menghilang ke barat. Cuaca di luar gelap sekali. Orang itu berbahaya. Biar aku sendiri yang akan menghajarnya nanti kalau sudah pagi. Sekarang aku akan mengaso dulu, jangan lengah, Maya. Engkaulah yang harus berjaga sampai pagi."

   Setelah berkata demikian, Resi KoloItmo memasuki sebuah ruangan di sudut, ternyata di situ terdapat sebuah pembaringan besar dari kayu dan di atas pembaringan itu duduk dua orang gadis manis. Seorang dari mereka tampak pucat dan kedua orang gadis itu seperti orang yang kehilangan semangat, duduk seperti patung. Mereka adalah dua orang gadis dusun yang diculik Resi Koloyitmo dan mereka memang berada dalam keadaan tidak sadar, di bawah pengaruh sihir.

   Ketika Resi Koloyitmo rebah di atas pembaringan dan merangkul kedua orang gadis itu di kanan kirinya, mereka sama sekali tidak memperlihatkan tanggapan apapun, seperti dua buah boneka saja.

   Puncak Gunung Lawu yang menjulanj tinggi masih menyembunyikan matahari di balik punggungnya, akan tetapi sinar matahari sudah menerangi seluruh permukaan bukit-bukit. Parmadi masih duduk bersila. Mendengar suara banyak orang, dia membuka matanya dan memandang dengan heran melihat banyak sekali orang keluar dari dalam dusun. Dia segera keluar dari gardu menghadang mereka. Kiranya mereka adalah penduduk dusun Sukuh, tua muda lakilaki perempuan, bahkan kanak-kanak dan ada wanita yang menggendong bayinya. Agaknya seluruh penduduk yang jumlahnya seratus orang lebih, kini keluar semua dipimpin oleh Ki Gitosani! Dan mereka itu juga yang perempuan, membawa segala macam alat untuk dijadikan senjata. Ada yang membawa arit, pacul, parang, pisau dapur, bahkan ada yang membawa alu dan pada wajah mereka terbayang kenekatan orang-orang yang hendak berperang!

   "Paman Gitosani, andika sekalian ini hendak pergi ke manakah?"

   Tanya Parmadi walaupun dia sudah dapat menduga bahwa orang-orang ini agaknya sudah tidak dapat menahan kesabaran mereka dan dengan nekat mereka hendak menyerang Resi Koloyitmo yang dianggap pembawa mapetaka bagi penduduk dusun itu.

   "Anak-mas Seruling Gading, pagi ini kami semua bertekad untuk menyerbu dan menolong dua orang perawan yang diculik dan mengusir manusia durjana itu dari dalam candi. Kami bertekad untuk melawan sampai orang terakhir!"

   Kata Ki Gitosani dengan sikap gagah dan semua memberi dukungan dengan suara bulat seperti sekumpulan lebah yang marah.

   Parmadi tersenyum dan mengangguk.

   "Paman Gitosani, sikap andika sekalian ini memang tepat sekali. Kalau andika sekalian sedusun bersatu-padu dan bertekad dengan hati bulat menentang kejahatan saya kira tidak akan ada orang jahat yang akan berani berlagak. Akan tetapi kenapa baru sekarang andika sekalian bergerak?"

   "Semangat kami timbul setelah melihat andika berani menentang iblis itu, anak- mas Seruling Gading. Sikap andika yang gagah perkasa itu menyulut dan membakar semangat kami. Kami tidak akan mundur dan siap untuk membela kehormatan dan keselamatan kami sampai mati!"

   Kembali suara gemuruh mendukung ucapan Ki Gitosani itu.

   Parmadi mengangguk-angguk.

   "Bagus, Beginilah seyogianya semangat bangsa kita yang gagah berani. Bersatu-padu, bergotong-royong untuk mengembangkan dan membangun yang baik, dan untuk meruhtuhkan dan melenyapkan yang buruk demi kesejahteraan kehidupan bangsa. Mari kita ke candi. Akan tetapi, tidak perlu kita mengorbankan nyawa dengan sia-sia. Karena itu, saya mengharap agar andika sekalian berdiri di belakang saya dan hanya menjadi saksi saja. Kalau saya sudah cukup mampu menanggulangi mereka, saya harap andika sekalian jangan bertindak apa-apa. Kalau saya kalah baru terserah kepada andika sekalian. Hal ini perlu andika perhatikan dan taati mengingat bahwa pihak lawan memiliki aji kesaktian dan agar jangan ada korban jatuh di pihak kita."

   "Kami akan mentaati pesan anak-mas Seruling Gading!"

   Kata Ki Gitosani lantang dan semua orang menyetujui. Semangat mereka memang sudah terbakar dan mereka menjadi nekat, namun harus diakui bahwa mereka merasa ngeri mengingat akan kesaktian lawan.

   Sementara itu, Maya Dewi berseru dari luar ruangan tempat tidur ayahnya.

   "Ayah! Ayah, bangunlah! Cepat!!"

   Resi Koloyitmo terbangun dan setelah membereskan pakaiannya, dia berlari keluar dan tidak lupa membawa sebatang senjata nenggala, (semacam penggada runcing) yang berwarna hitam legam. Teriakan puterinya mengandung kekagetan, hal yang hampir tidak pernah terjadi karena puterinya adalah seorang gadis yang tak pernah mengenal takut. Dari teriakan itu dia tahu bahwa tentu terjadi sesuatu yang mengancam mereka.'

   "Ada apakah, Maya?"

   Tanyanya.

   "Mari keluar dan lihatlah sendiri, ayah!"

   Kata Maya Dewi yang cepat berlari keluar dari kompleks candi, diikuti oleh Resi Koloyitmo. Dari depan candi yang merupakan puncak bukit, mereka dapat melihat seratus orang lebih yang mendaki bukit itu.

   Sejenak ayah dan anak ini diam saja hanya memandang dan setelah rombongrr itu semakin dekat dan suara mereka yang gemuruh mulai terdengar, mereka dapat melihat wajah mereka yang berjalan di depan rombongan. Resi Koloyitmo mengenal Ki Gitosani dan pemuda yang dilihatnya semalam. Biarpun dia hanya melihat samar-samar semalam, namun dia telah dapat menduga bahwa tentu pemuda yang kini memimpin rombongan orang dusun itulah orangnya.

   "Babo-babo, keparat! Pemuda itu memimpin seluruh penduduk dusun untuk menyerbu ke sini!"

   Kata Resi Koloyit sambil mengacungkan senjata nenggala di tangannya.

   "Ayah, pemuda yang berjalan di depan itukah yang semalam telah mengalahkan semua ilmu sihirmu?"

   Maya Dewi memandang penuh perhatian. Ia kini dapat melihat Parmadi dengan cukup jelas. Seorang pemuda yang berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, wajahnya yang tampan itu dhiasi senyum dan tampak cerah, lenggangnya lentur seenaknya seperti langkah seekor harimau!

   "Benar, dialah keparat itu!"

   "Ayah, bagaimana kita akan dapat melawan orang sebanyak itu? Tidak mungkin kita harus membunuh seratus lebih penduduk dusun berikut semua anak-anak itu!"

   Kata Maya Dewi ragu. Ia sama sekali tidak takut, akan tetapi kalau harus memunuh orang sebanyak itu, di antaranya banyak terdapat wanita lemah dan anak-anak, ia merasa tidak enak sekali. Watak gadis ini memang sudah terbentuk keras sejak kecil, dan ia akan dapat membunuh orang yang memang dianggap sebagai musuhnya. Akan tetapi membunuhi seratus lebih orang dusun yang sama sekali tidak bersalah dan bukan musuhnya? Ia merasa tidak sanggup melakukannya.

   "Hemm, aku akan menantang keparat itu untuk bertanding satu lawan satu dan aku harus dapat membunuhnya! Kalau para penduduk dusun itu maju mengeroyok aku masih dapat dengan mudah meloloskan diri. Karena itu, sebaiknya engkau jangan ikut campur. Kau berangkatlah dulu. Kita berpisah di sini. Pergilah engkau ke Madura, temuilah Ki Harya Baka Wulung yang pernah menghubungi kita di Kadipaten Arisbaya. Aku akan segera menyusul ke sana."

   "Tidak perlukah aku membantumu?"

   "Tidak usah. Sudah kukatakan aku dapat meloloskan diri kalau terpaksa. Pergilah dan cepat! Kerja sama kita dengan Ki Harya Baka Wulung lebih penting daripada urusan kecil seperti ini!"

   Resi Koloyitmo membentak anaknya. Maya Dewi tidak membantah lagi dan iapun segera pergi meninggalkan candi melalui lereng bukit di belakang candi.

   Resi Koloyitmo memang pernah dihubungi Ki Harya Baka Wulung. Ketika Harya Baka Wulung mendengar bahwa datuk dari Parahyangan itu menjadi buronan, dia sengaja mencari dan menjumpainya dan membujuknya agar suka membantu dia untuk melawan Mataram dan membela Madura dan Surabaya. Pendeknya membela daerah mana saja yang bermusuhan dengan Mataram. Reso Koloyitmo segera menyetujui karena selain dia sedang menjadi buron di Parahyangan dan dia mengharapkan imbalan jasa dari kerja sama itu, juga yang terutama sekali karena dia juga mempunyai dendam terhadap Mataram. Kakaknya yang bernama Klabangkolo yang dahulu menjadi pertapa di Gunung Ijen pernah memusuhi Mataram dan Klabangkolo tewas dalam pertempuran melawan para satria dan senopati Mataram. Kini tentu saja dia suka membantu Harya Baka Wulung untuk memusuhi Mataram dan sekalian membalaskan dendamnya atas kematian Klabangkolo, kakaknya.

   Setelah Maya Dewi meninggalkan candi, Resi Koloyitmo keluar dari halaman candi di mana terdapat tanah lapang. Kakek seperti raksasa ini berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, tangan kiri bertolak pinggang dan tangan kanan memegang senjata nenggalanya. Dia menanti rombongan orang itu dengan mata mencorong dan mulutnya menyeringai, mengejek. Sama sekali dia tidak tampak gentar menghadapi orang demikian banyaknya.

   Setelah berhadapan dengan Rest Koloyitmo dalam jarak sekitar sepuluh meter Parmadi berhenti melangkah dan dia memberi isyarat kepada Ki Gitosani untuk mundur. Lurah itu mengerti akan isyarat dan diapun menggerakkan tangan ke atas menyuruh penduduk dusun agak mundur memberi kesempatan kepada pemuda penolong mereka itu untuk menghadapi Resi Koloyitmo. Para penduduk segera bergerak agak ke belakang. Mereka memang sudah merasa agak tegang dan seram melihat kakek yang seperti raksasa itu, apalagi melihat kakek itu memegang sebuah senjata yang tampak besar dan berat.

   Parmadi menatap wajah kakek itu. Ketika melihat betapa pipi sebelah kiri laki-laki itu agak membengkak, yakinlah bahwa orang ini yang semalam mengubah diri menjadi seekor harimau. Rest Koloyitmo juga memandang dengan tajam. Pandang mata kedua orang ini bertemu dan Parmadi merasa betapa sepasang mata besar yang mencorong itu menyerangnya dengan daya yang kuat untuk menundukan batinnya. Akan tetapi dia memandang dengan tenangnya dan serangan itu sama lekali tidak mempengaruhinya.

   Resi Koloyitmo maklum bahwa tidak ada gunanya bagi dia untuk bertanding ilmu sihir. Semalam semua ilmu sihirnya telah dia kerahkan namun tidak ada hasilnya sama sekali. Dia melihat pemuda itu tidak memegang senjata, akan tetapi ada sebuah suling berwarna putih kekuningan terselip di ikat pinggangnya. Dia teringat akan suara suling yang melengking-lengking semalam, suara yang mengandung getaran amat kuat dan yang telah menolak dan membuyarkan semua serangan sihirnya.

   "Heh, orang muda! Siapakah engkau ini; berani datang mengganggu di tempat pertapaanku?"

   Bentaknya sambil menudingkan nenggalanya ke arah muka Parmadi.

   "Resi Koloyitmo, tidak penting siapa aku. Aku mewakili warga dusun ini untuk minta agar andika suka membebaskan dua orang gadis yang andika culik dan kuharap andika suka menyadari akan kesalahanmu lalu bertaubat dan kembali ke jalan yang benar. Sungguh patut disayangkan kalau seorang pertapa seperti andika yang sudah puluhan tahun bersusah payah mempelajari ilmu kini mempergunakan ilmu itu untuk perbuatan yang kotor, berarti andika mengotori dan menodai ilmu-ilmu itu."

   "Babo-babo! Orang muda yang sombong. Engkau berlagak menjadi seorang satria, seorang pendekar yang gagah berani, akal tetapi sebetulnya engkau hanyalah seorang bocah pengecut yang mengandalkanseratus orang lebih untuk mengeroyok aku!"

   Dengan nenggalanya dia menuding ke arah warga dusun yang berdiri agak jauh di belakang Parmadi.

   Parmadi tersenyum.

   "Andika salah sangka, Resi Koloyitmo. Aku tidak mengerahkan warga dusun ini. Mereka memang marah dan sakit hati kepada andika yang telah menculik dua orang gadis dusun da andika dengan kekerasan menguasai candi yang menjadi tempat pemujaan bagi warga dusun. Aku tidak ingin mengeroyok, bahkan mencegah mereka melakukan pengeroyokan karena aku yakin andika akan suka menyadari kesalahan dan mau menyerahkan kembali dua orang gadis itu kemudian meninggalkan candi dan dusun ini dengan baik-baik."

   "Babo-babo, keparat! Orang muda, engkau berani menentang aku? Aku adalah penjelmaan Sang Bathara Kolo dan aku berkuasa sepenuhnya atas segala yang berada di dunia ini!"

   "Maaf, sang resi. Andika bukan Sang Bathara Kolo. Sang Bathara Kolo (sang waktu) hanya memangsa sesuatu atau seorang kalau memang sudah tiba saatnya bagi sesuatu atau seseorang itu untuk binasa. Akan tetapi andika mempergunakan kekerasan memaksakan kehendak andika yang timbul dari dorongan nafsu daya rendah yang menguasai hati akal pikiran andika! Sadar dan bertaubatlah sebelum terlambat."

   Tiba-tiba terdengar seruan di antara para warga dusun Sukuh itu.

   "Den-mas Seruling Gading, hantam saja iblis tu itu!"

   Setelah terdengar seruan ini dari tengah-tengah mereka, semua orangpun berani bersuara sehingga suasana menjadi gaduh. Parmadi memutar tubuh dan mengangkat tangan

   memberi isyarat agar mereka tenang.

   "Hemm, kiranya engkau bernama Seruling Gading?"

   Tanya Resi Koloyitmo.

   "Orang menyebutku demikian,"

   Kata Parmadi tenang.

   "Seruling Gading, kalau memang engkau gagah perkasa, aku tantang engkau untuk bertanding satu lawan satu, tidak menggunakan pengeroyokan. Beranikah engkau?"

   "Resi Koloyitmo, aku bukan seorang yang suka mencari permusuhan dengan sipapun juga. Akan tetapi kalau andika tidak mau membebaskan dua orang gadis dusun yang kau culik dan tidak mau meninggalkan candi ini, terpaksa aku harus membela warga dusun dan melawanmu!"

   "Babo-babo, majulah, Seruling Gadis. Bersiaplah engkau untuk mati di ujung nenggalaku!"

   
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Mati hidupku berada dalam tangan Gusti Allah karena aku telah menyerahkan seluruh jiwa ragaku kepada Gusti Allah. Andika tidak akan mampu memaksakan kehendakmu, Resi Koloyitmo!"

   "Sombong! Sambutlah nenggalaku ini! Hyaaaaaattt". !"

   Kakek itu menerjang dengan amat dahsyatnya, nenggalanya meluncur seperti kilat menyambar ke arah kepala Parmadi. Pemuda ini maklum akan bahaya maut karena dari sambaran angin serangan itu saja dia tahu betapa dahsyat dan kuatnya serangan itu. Akan tetapi Parmadi adalah seorang pemuda yang mendapat gemblengan dari seorang yang sakti mandraguna seperti Resi Tejo Wening.

   Dia harus menyerap inti dan dasar semua aji kanuragan sehingga gerakannya adalah gerakan otomatis, tidak dikendalikan pikiran melainkan setiap anggauta tubuhnya hidup sendri-sendiri terbimbing jiwa yang luhur, jiwa yang sudah memasuki taraf "manunggaling kawulo gusti". Kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa telah sepenuhnya membimbing jiwa yang menggerakkan semua anggauta tubuh itu. Gerakannya otomatis dan tidak disengaja lagi, seolah sepenuhnya dituntun naluri. Ketika nenggla itu dengan cepatnya menyambar ke arah kepala, Parmadi mencondongkan tubuh atas ke kiri sehingga sambaran nenggala itu luput. Pemuda itu mundur selangkah dan ketika tangan kanannya, bergerak, seruling gading sudah berada di tangannya Sinar matahari pagi menimpa suling itu sehingga tampak berkilauan.

   Melihat serangan pertamanya dapat dielakkan lawan dengan amat mudahnya. Rest Koloyitmo menjadi penasaran dan semakin marah. Dia mengeluarkan suara mengaum yang menggetarkan. Inilah Aji Singanada dan pengaruh auman seperti ini dimiliki semua singa yang mampu melumpuhkan calon mangsanya hanya dengan pekik atau auman seperti itu. Rest Koloyitmo tidak hanya mengeluarkan Aji Singanada, melainkan dia menyusul dengan serangan nenggalanya, kini menusuk ke arah dada Parmadi.

   (Lanjut ke Jilid 10)

   Seruling Gading (Seri ke 02 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 10

   "Ambrol dadamu!"

   Bentaknya.

   Parmadi menggerakkan seruling gadingnya. Dia sudah bergerak dalam Aji Sunyatmaka dan sulingnya hilang bentuknya menjadi segulungan sinar kuning gading yang terang, dan dari dalam gulungan sinar itu terdengar suara melengking-lengking seolah suing itu ditiup dan dimainkan orang.

   "Trang-tranggg.... !"

   Dua kali nenggala bertemu seruling gading dan tampak bunga api berpijar menyilaukan mata. Resi Koloyitmo terkejut bukan main karena ketika dua kali senjatanya beradu dengan suling, dia merasa seolah tenaganya tenggelam dan tersedot, bertemu tenaga yang lembut namun yang membuat tenaganya sendiri seperti hilang dan kosong. Nenggalanya terpental ketika bertemu suling dan tangannya yang memegang nenggala tergetar hebat seperti kesemutan. Dia adalah seorang sakti mandraguna yang sudah memiliki banyak pengalaman bertanding.

   Namun harus dia akul bahwa belum pernah bertemu dengan lawan yang memiliki tenaga sakti seperti itu, tenaga yang menyerap dan menyedot, lembut namun menyembunyikan kekuatan dahsyat! Pest Koloyitmo menjadi penasaran se-kali. Dia tidak percaya bahwa seorang lawan yang masih begitu muda, patut menjadi anaknya, akan mampu mengalahkannya. Maka dia menggereng lagi dan nenggalanya kini bergerak dengan cepat bagaikan singa mengamuk. Dia menggunakan ilmu silat Singarodra dan serangan-serangannya memang buas. Bukan saja nenggalanya yang menyambar-nyambar ganas, akan tetapi juga tangan kirinya membentuk cakar singa dan menyelingi sambaran nenggala dengan cakaran dan cengkeraman yang mendatangkan angin demikian kuatnya. Serangan nenggala dan cakaran tangan kiri ini masih diseling lagi dengan tendangan kedua kakinya yang besar dan panjang. Kedua kaki itu mencuat dan menyambar dengan tendangan susul-menyusul yang amat berbahaya bagi lawan.

   Namun, dengan tenang namun ringan dan cepat sekali Parmadi menghadapi serangan yang mati-matian dan dahsyat itu. Dia menggerakkan kedua kakinya, membuat langkah-langkah indah seperti orang menari, kedua kakinya berpindah-pindah kanan kiri, maju mundur dan anehnya, semua serangan yang bagaikan hujan lebatnya itu tak pernah dapat menyentuh tubuhnya.

   Terkadang, dengan suling gadingnya dia menangkis sambaran nenggala dan dengan tangan kirinya dia menangkis cengeraman atau tendangan lawan. Hebatnya, biarpun tangkisan tangan kirinya itu dilakukan perlahan saja, akan tetapi begitu bertemu dengan lengan lawan, Resi Koloyitmo merasa seolah tangannya bertemu dengan benda yang amat keras dan kuat, benda yang mengandung getaran demikian kuatnya sehingga dia merasa seluruh lengannya tergetar.

   Karena merasa penasaran Resi Koloyitmo mengeluarkan aji kesaktiannya yang amat dahsyat yang merupakan aji pamungkasnya. Dia berkemak-kemik dan mengumpulkan seluruh tenaga sakti ke dalam tangan kiri. Tangan kirinya mengepulkan asap yang mengeluarkan asap putih yang mengandung ganda amis. Inilah tenaga yang biarpun melalui antara lain menghisap darah perawan-perawan muda yang diculiknya. Tenaga yang mengandung ilmu hitam, berbahaya dan dahsyat. Dia mendorongkan tangan kiri itu ke arah Parmadi sambil berteriak melengking.

   "Hyaaaaattt....!!"

   Sejak tadi, ketika Resi Koloyitmo berkemak-kemik, Parmadi sudah merasakan sesuatu yang tidak wajar. Maka, diapun cepat menyelipkan sulingnya di ikat pinggang dan pada saat Resi Koloyitmo mendorong tangan kirinya ke arah dadanya diapun cepat menyambut dengan dorongan tangan kanannya yang terbuka, dengan Aji Sunya Hasta. Aji Sunya Hasta ini mengandung kekuatan alami yang amat dahsyat, Sunya berarti hampa, kosong atau sirna. Seperti sifatnya hawa, tampak kosong namun berisi, berisi namun kosong. Kalau hawa yang tampaknya tidak ada itu memenuhi sebuah benda kosong dan tertutup rapat, maka benda itu memiliki kekuatan yang amat hebat dan tidak ada kekuatan lain mampu melawannya.

   "Wuuuuttt.... dessss.... ! Dua buah telapak tangan bertemu udara dan para penduduk dusun Sukuh yang berada di pekarangan candi itu terkejut sekali karena mereka merasa seolah bumi yang mereka pijak tergetar hebat, padahal jarak antara mereka dan dua orang yang sedang mengadu kesaktian itu cukup jauh, tidak kurang dari dua puluh meternya. Akibat pertemuan dua telapak tangan yang mengandung tenaga sakti itu, tubuh Resi Koloyitmo terhuyung ke belakang dan dia mengusap mulut dengan tangan kirinya. Tangan itu berlepotan darah! Dia sudah terluka di bagian dalam tubuhya. Hal ini membuat dia menjadi semakin arah dan bagaikan seekor binatang buas terluka dia menubruk ke

   depan sambil menghantamkan senjata nenggalanya. Sinar berkelebat menyambar ke arah Parmadi. pemuda ini dengan tenang namun cepat dan kuat sekali sudah mencabut seruling gading dan menangkis.

   "Tranggg !!!"

   Bunga api berpijar menyilaukan mata dan kembali tubuh Resi Koloyitmo terhuyung bahkan kini sampai jatuh terguling. Akan tetapi dia cepat menlompat berdiri dan berkelebat lari ke arah belakang candi. Gerakannya cepat sekali dan sebentar saja dia sudah lari turun dari bukit di sebelah belakang.

   Melihat raksasa rambut panjang itu kalah dan melarikan diri, para penduduk dusun Sukuh bersorak dan dengan dipimpin Parmadi yang didampingi Lurah Gitosai mereka menyerbu ke gapura candi yang sempit. Mereka berlarian mendaki tangga dan akhirnya dalam sebuah ruangan mereka menemukan dua orang gadis dusun yang kini sudah terbebas daripada pengaruh sihir dan setelah mereka menyadari keadaan mereka, kedua orang gadis itu menangis tersedu-sedu. Karmi dan Tiyah, dua orang perawan dusun itu, telah menjadi korban kebiadaban Resi Koloyitmo. Mereka telah dipengaruhi sihir dan dinodai. Karmi lebih payah lagi keadaannya karena darahnya telah banyak dihisap oleh raksasa berwatak iblis itu untuk memperkuat latihan mendalami Aji Hastagraha, yaitu ilmu pukulan jarak jauh seperti yang tadi dia lakukan ketika menyerang Parmadi. Keadaan gadis kedua, Tiyah, masih mending karena darahnya belum dihisap walaupun ia juga menjadi korban perkosaan kakek biadab itu.

   Dua orang gadis itu menangis dalam rangkulan ayah masing-masing dan beramai-amai para penduduk dusun Sukuh kembali ke dusun setelah membersihkan candi dari bekas bilik yang dibuat oleh Resi Kolotrno dan puterinya, Maya Dewi. Mereka membongkar bilik itu, membawanya keluar candi dan membakarnya. Kemudian mereka membersihkan candi yang mereka keramatkan itu. Setelah tiba kembali di dusun, Parmadi yang pernah mempelajari ilmu pengobatan sekedarnya dari Resi Tejo Wening, melihat Karmi yang lemah karena kehabisan darah, lalu menganjurkan kepada orang tua Karmi untuk memberi minum jamu setiap hari kepada gadis yang malang itu. Ramuan jamu itu terdiri dari biji jintan hitam, daun gondopuro, babakan pule, dicampur dengan kuning telur dan madu.

   Kemudian dia menasihatkan kepada Ki Gitosani yang menjadi kepala dusun itu.

   "Paman Gitosanio, dalam sebuah dusun seperti dusun Sukuh ini, persatuan dan gotongroyong harus diperkuat. Saya melihat bahwa kalau andika sekalian bersatu-padu, andika merupakan kesatuan yang cukup kuat untuk membela diri sendiri dan mengusir semua penjahat yang mengacau dusun ini. Saya kira, biarpun seorang manusia iblis macam Resi Koloyitmo sekalipun akan gentar dan mundur kalau harus menghadapi seluruh penduduk yang bersatu-padu dan nekat melakukan perlawanan."

   Ki Gitosani mengucapkan terima kasih atas pertolongan pemuda itu.

   "Anak-mas Seruling Gading, kami seluruh penghuni dusun berterima kasih sekali atas pertolongan andika dan selamanya kami tidak akan melupakan. Juga nasihat anak-mas akan kami taati. Akan tetapi, kami harap sudilah kiranya anak-mas memperkenalkan nama anak-mas yang aseli karena kami mengira bahwa nama Seruling Gading itu hanyalah nama samaran karena anak-mas memiliki sebuah seruling gading sebagai senjata."

   "Ah, paman. Saya, lebih senang dikeal sebagai Seruling Gading dan apa yang tadi saya lakukan itu tidak perlu dibesar-besarkan, paman. Hal itu merupakan kewajiban setiap orang dan bukan merupakan budi pertolongan."

   Ki Gitosani mengerutkan alisnya, merasa tidak setuju dengan ucapan pemuda itu.

   "Akan tetapi, anak-mas, apa yang andika lakukan itu merupakan budi pertolongan yang besar sekali bagi kami orang sedusun. Kalau tidak ada andika yang menolong kami, tentu gadis-gadis itu akan tewas dan lebih banyak orang lagi akan menjadi korban kekejian manusia iblis itu. Anak-maslah yang menolong kami, bagaimana kami tidak boleh berterima kasih kepada andika yang melepas budi kebaikan kepada kami?"

   Parmadi menggeleng kepalanya dan tersenyum.

   "Bukan, paman. Bukan saya yang menolong penduduk dusun ini."

   "Bukan andika, anak-mas Seruling Gading?"

   Tanya lurah itu dengan mata terbelalak heran.

   "Lalu siapa yang menolong kami dan menyelamatkan para gadis itu, mengusir manusia iblis itu?"

   "Gusti Allah yang telah menolong andika sekalian, bukan saya,"

   Kata Parmadi dengan suara sungguh-sungguh karena apa yang diucapkannya itu keluar dari lubuk hatinya.

   "Tapi""

   Tapi". kami semua melihat bahwa andika yang telah mengusir iblis itu, anak-mas!"

   Bantah Ki Gitosani.

   "Ya, karena pada saat itu kebetulan Gusti Allah menggunakan saya untuk menolong kalian semua. Karena itu, kalau hendak berterima kasih, berterima kasihlah kepada Gusti Allah. Hanya Gusti Allah saja yang dapat menolong, hanya Gusti Allah saja yang patut dipuji, patut disyukuri. Saya ini hanya alat, paman, seperti semua manusia di dunia ini. Terjadi setiap saat dan di mana saja. Andaikata paman melihat seorang kelaparan lalu memberi makanan, bukan paman yang menolongnya melainkan Gusti Allah yang pada saat itu menggunakan paman untuk menolong orang kelaparan itu. Kita semua dapat menjadi alat Gusti Allah. Tergantung kepada kita sendiri, apakah kita bersedia menjadi alat Gusti Allah, ataukah menjadi alat setan seperti halnya Resi Koloyitmo itu. Jadi sekali lagi. Jangan berterima kasih kepada saya yang hanya alat, melainkan berterima kasihlah kepada Gusti Allah, Sang Penolong. Penyelamat yang sejati."

   "Aduh, anak-mas....!"

   Suara Ki Gitosani penuh keharuan.

   "Andika seorang pemuda yang bijaksana, sungguh luar biasa sekali dan saya seperti mendengar wejangan seorang yang arif...."

   "Sudahlah, paman. Saya kira sudah cukup. Sekarang ijinkan saya berpamit. Saya harus melanjutkan perjalanan saya. Selamat tinggal, paman."

   Setelah berkata demikian, Parmadi cepat keluar dari rumah Ki Gitosani. Setelah tiba di tengah dusun, dia mendengar suara gaduh di belakangnya dan ternyata semua penduduk dusun Sukuh mengiringnnya keluar dari dusun itu! Dia merasa rikuh sekali dan setelah tiba di luar dusun, dia membalik menghadapi mereka, lalu berkata.

   "Selamat tinggal!"

   Kemudian, sekali berkelebat bayangannya telah lenyap dari situ. Para penduduk terbelalak dan tiada sudahnya memuji pemuda itu. Bahkan sebagian besar dari mereka percaya bahwa pemuda yang mereka kenal sebagai Seruling Gading itu bukan manusia biasa, melainkan dewa yang sengaja turun dari kahyangan untuk menolong manusia!

   Sekarang kita mengikuti apa yang di alami Muryani semenjak ia ditinggal pergi Parmadi yang meninggalkan kademangan Pakis untuk mengikuti gurunya di puncak Lawu. Hati gadis remaja ini merasa kehilangan sekali setelah Parmadi pergi. Baru ia merasa betapa dekat hatinya dengan pemuda itu setelah ia ditinggal pergi. Akan tetapi karena ayahnya, Ki Ronggo Bangak, oleh penduduk diangkat menjadi pemimpin kademangan sebelum datang seorang demang baru yang ditunjuk oleh kadipaten, maka Muryani mendapatkan kesibukan baru, membantu ayahnya. Karena ia dikenal sekarang sebagai seorang gadis yang memiliki kedigdayaan, maka Muryani dianggap sebagai pemimpin para orang muda yang bertugad menjaga keamanan di kademangan Pakis.

   Kemudian, Demang Warutomo yang diangkat oleh Tumenggung Wiroguno datang dan menjadi demang baru dari Pakis. Ki Demang Warutomo menghargai Ki Ronggo Bangak, tahu bahwa orang itu terpelajar, sastrawan dan seniman maka menganggapnya sebagai pinisepuh dusun Pakis dan dianggap sebagai penasihatnya. Kemudian terjadilah malapetaka pada malam hari itu. Malam itu amat sunyi. Udara mendung sehingga cuaca menjadi gelap gulita karena bintang-bintang di langit tak tampak. Orang-orang segan keluar rumah karena selain gelap sekali, juga malam itu angin bertiup kencang.

   Muryani termenung dalam kamarnya. Sampai hampir tengah malam ia belum tidur, bahkan masih duduk di atas pembaringannya. Ia termenung dan terkenang pada Parmadi yang telah kurang lebih setahun lamanya meninggalkannya. Ia merasa heran ke mana perginya pemuda itu, bagaimana keadaannya sekarang. Ia merasa kehilangan dan kesepian. Ia tidak dapat menemukan pengganti Parmadi di dusun itu, sebagai seorang sahabat karib yang amat dipercayanya.

   Tiba-tiba pendengarannya yang terlatih itu menangkap suara berkelitikan di atas atap, seperti ada kerikil dilempar ke atas atap. Dan tak lama kemudian ia merasa amat mengantuk. Rasa kantuk yang hampir tak dapat ditahannya. Gadis yang telah mempelajari aji kesaktian ini merasa bahwa hal ini tidaklah wajar.

   IA pernah mendengar cerita gurunya, yaitu Ki Ageng Branjang ketua perguruan Bromo Dadali di Gunung Muria akan ilmu-ilmu aneh, tentang tenung, sihir, dan aji penyirepan yang dapat membuat orang terserang kantuk lalu tertidur pulas. Aji penyirepan ini banyak dipelajari golongan maling untuk membuat seisi rumah tertidur nyenyak sehingga dia dapat menguras isi rumah dengan leluasa.

   la juga pernah mempelajari cara untuk melawan pengaruh aji penyirepan itu. Maka iapun lalu duduk bersila, mengerahkan tenaga batinnya untuk menolak pengaruh kantuk yang amat kuat itu. Pengaruh

   itu amat kuat dan hampir ia tidak tahan, akan tetapi setelah ia mengerahkan tenaga sakti Aji Bromo Dalali pengaruh itu berkurang. Tak lama kemudian ia mendengar suara gaduh di sebelah kamarnya. Ia terkejut. Suara gaduh itu datang dari kamar ayahnya yang berada di sebelah kiri kamarnya sendiri! Ia mendengar suara keluhan dan suara robohnya badan orang. Cepat Muryani melompat turun dari atas pembaringan. Ia terhuyung karena pengaruh aji penyirepan yang kuat itu belum dapat diusirnya sama sekali, masih ada sisa pengaruh yang membuat ia merasa agak pening dan kepalanya terasa berat, matanya berjuang melawan kantuk.

   Akan tetapi karena khawatir akan keadaan ayahnya, ia memaksakan diri berlari keluar dari kamarnya dan menuju ke kamar ayahnya. Kamar itu remang-remang, hanya menerima penerangan dari lampu yang tergantung di luar kamar. Akan tetapi ia dapat melihat sesosok tubuh seorang laki-laki di dalam kamar Muryani

   "Heii, siapa engkau dan".."

   Tiba-tiba hawa pukulan yang amat dahsyat menyambar ke arah tubuhnya. Muryani yang masih pening karena pengaruh aji penyirepan itu, tidak sempat mengelak atau menangkis. Ia sama sekali tidak mengira akan diserang sehebat itu. Apalagi keadaan kamar itu itu gelap. Tahu-tahu hawa pukulan itu menghantam dadanya, membuat dadanya sesak dan pandang matanya gelap. Ia terpelanting roboh dan tidak sadarkan diri.

   Ketika ia siuman, malam telah terganti. Ia mendapatkan dirinya rebah di atas pembaringan dan di rumahnya berkumpul banyak orang, di antaranya Ki Demang Warutomo. Dari Ki Demang Warutomo yang seorang bekas perwira yang berpengalaman dan yang telah mengobatinya Muryani

   mendapat keterangan bahwa ayahnya telah kedapatan tewas dalam kamar, sedangkan ia sendiri terluka oleh pukulan jarak jauh yang kuat dan ampuh!

   Tentu saja Muryani terkejut bukan main dan segera memaksa diri bangkit. Biarpun ia merasa nyeri dan sesak pada dadanya, ia memaksa diri dan dipapah oleh Ki Demang Warutomo, ia menjenguk jenazah ayahnya di dalam kamar. Ia menubruk jenazah dan menangis.

   "Ayah, aku bersumpah untuk mencari pembunuh ayah dan akan kubalas sakit hati ini! Ayah, beristirahatlah dengan tenang anakmu ini pasti akan membalas dendam ini!"

   Setelah berkata demikian Muryani terguling dan jatuh pingsan lagi.

   Ki Demang Warutomo yang menjadi sahabat baik mendiang Ki Ronggo Bangak dan yang merasa kagum kepada Muryani segera menolong dan merawat Muryani. Sampai belasan hari lamanya Muryani menderita lahir batin, badannya terluka dalam oleh pukulan sakti itu, batinnya menderita karena kematian ayahnya. Akan tetapi, setelah ia sembuh betul, ia menghilang dari kamarnya tanpa pamit kepada Ki Demang Warutomo atau kepada siapa pun juga. Gadis itu menghilang tanpa ada yang tahu ke mana perginya. Ki Demang Warutomo yang mempunyai banyak pengalaman itu dapat menduga bahwa gadis perkasa itu tentu berusaha untuk mencari pembunuh ayahnya dan diam-diam dia menduga bahwa besar kemungkinan Ki Wiroboyo mempunyai hubungan dengan pembunuhan Ki Ronggo Bangak itu.

   Dugaan Ki Demang Warutomo memang tidak keliru. Setelah merasa dirinya sehat kembali, Muryani pergi tanpa pamit kepada siapapun juga, dengan niat mencari Ki Wiroboyo sebagai orang pertama yang ia curigai mempunyai hubungan dalam pembunuhan terhadap ayahnya dan penyerangan terhadap dirinya. Ia tahu bahwa penyerangnya itu bukan Ki Wiroboyo. Penyerangnya itu seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus. Ia tidak dapat melihat wajahnya karena kamar itu gelap. Akan tetapi ia

   berkeyakinan bahwa ia dan ayahnya tidak mempunyai musuh lain kecuali Ki Wiroboyo.

   Jadi, kalau ada orang membunuh ayahnya, maka besar kemungkinannya Ki Wiriboyo yang berdiri di belakangnya. Mungkin dia menyuruh orang lain yang memiliki kesaktian untuk melakukan pembunuhan itu. Muryani menuruni Gunung Lawu melalui bagian timur karena ia ingat bahwa dulu Ki Wiroboyo pernah mendatangkan seorang jagoan, yaitu mendiang Warok Surobajul dari Ponorogo. Maka iapun mengambil keputusan untuk mulai pencariannya ke Kadipaten Ponorogo.

   Ketika ia menuruni lereng di timu dari atas ia melihat sebuah telaga yang besar. Air telaga tampak berkilauan tertimpa sinar matahari dan Muryani terpesona, kagum. Alangkah indahnya alam! Melihat

   air yang demikian luasnya bukan merupakan hal baru bagi Muryani. Dahulu ketika ia masih tinggal di Demak, kemudian menjadi murid perguruan Bromo Dadali di bawah pimpinan Ki Ageng Branjang di Gunung Muria, ia sudah sering melihat laut utara. Kini, telaga yang tampak di bawah itu tidak seluas lautan. Akan tetapi memiliki keindahan yang khas, sebuah telaga di antara bukit-bukit, dikelilingi hutan. Ia pernah mendengar keterangan mendiang ayahnya tentang telaga itu yang di sebut

   Telaga Sarangan.

   Karena tertarik akan keindahan pemandangan alam telaga itu, Muryani mengambil keputusan untuk pergi ke telaga itu dan melihatnya dari dekat. Ia menuruni lereng dengan cepat dan tak lama kemudian ia sudah tiba di tepi telaga. Tempat itu sunyi sekali dan di depan sana, di seberang telaga, tampak sekumpulan rumah penduduk dusun yang sederhana. Di atas telaga timpak beberapa buah perahu kecil dan di atas perahu itu, orang-orang sedang bekerja melempar jala mencari ikan. Mereka

   inilah nelayan-nelayan telaga.

   Muryani duduk di atas sebuah batu besar di tepi telaga, melepas lelah. Angin semilir mendatangkan kesejukan, mengipasi suhuhnya yang agak panas karena perjalanan naik turun tadi. Keadaan yang sunyi, hawa yang sejuk dan semilirnya angin mengipasi tubuhnya yang kelelahan mendatangkan rasa

   

Pedang Pusaka Thian Hong Karya Kho Ping Hoo Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini