Ceritasilat Novel Online

Seruling Gading 14


Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Bagian 14



Dua pasang suami isteri itu telah tiba di tepi sumur tua. Ketika mereka menjenguk ke bawah, hanya tampak kegelapan menghitam.

   "Ihh, gelap pekat di bawah sana!"

   Seru Retno Susilo.

   "Kita tidak tahu berapa dalamnya sumur ini. Jangan-jangan tidak ada dasarnya!"

   Kata pula Pusposari yang seperti juga Retno Susilo, kembali merasa ngeri setelah menjenguk ke dalam sumur dan tidak dapat melihat apa-apa kecuali hitam gelap.

   "Tak mungkin ada sumur tanpa dasar,"

   Kata Sutejo.

   "Kita coba dengan ini!"

   Dia melemparkan sebuah batu sebesar kepala orang ke dalam sumur dan mereka semua menghitung dalam hati dan menanti penuh perhatian yang mereka kerahkan pada pendengaran mereka.

   "Bukk....!"

   Setelah lewat belasan detik, terdengar suara berdebuk.

   "Nah, agaknya tidak terlalu dalam dan dasarnya tanah lunak. Biarlah aku akan turun dulu, kakang Cangak Awu. Turunkan tali itu,"

   Kata Sutejo.

   "Jangan, adi Sutejo. Ini adalah tugas dan kewajabanku. Aku yang akan turun dulu. Setelah aku berada di dasar sumur dan keadaannya aman, aku akan memberi isyarat dengan tarikan pada tali dan andika baru menyusul turun,"

   Kata Cangak Awu dan suaranya yang tegas menunjukkan bahwa dia tidak mau dibantah.

   "Biar aku yang menurunkan dan memegangi tali,"

   Kata Pusposari. Mereka memang sudah mempersiapkan dan membawa segulung tali yang kuat dari rumah. Kini Pusposari membuka gulungan dan membiarkan ujung tali menuruni sumur.

   "Sebaiknya ujung yang lain diikatkan pada pohon itu!"

   Kata Sutejo dan diapun membawa ujung lain dari tali itu ke pohon yang tumbuh tak jauh dari sumur, lalu mengikatkan ujung tali pada batang potion.

   "Sekarang turunlah, kakangmas,"

   Kata Pusposari sambil memegangi tali, dibantu oleh Retno Susilo. Ki Cangak Awu lalu memegang tali itu dan merayap turun memasuki sumur. Setelah kedua kakinya menginjak tanah dasar sumur, dia melihat bahwa di depan sana terdapat cahaya dan tampak ada terowongan yang menembus dasar sumur itu. Cepat dia memberi isyarat ke atas dengan menarik-narik tali.

   Pusposari yang memegangi tali merasakan tarikan itu dan ia berkata girang.

   "Dia sudah sampai di dasar sumur dengan selamat dan memberi isyarat dengan tarikan pada tali ini."

   "Kalau begitu, aku akan menyusulnya!"

   Kata Sutejo. Dia lalu menuruni sumur rnelalui tali yang dipegang oleh Puspo5ari yang dibantu Retno Susilo.

   Tak lama kemudian Sutejo telah berdiri di dasar sumur seperti Cangak Awu.

   "Adi Sutejo, lihat. Itu tentu kerangka Paman Kakek Resi Ekomolo dan kakang Priyadi!"

   Cangak Awu menunjuk ke depan. Bagian itu sudah tersentuh cahaya yang berada di depan sana. Sutejo memandang dan melihat tulang-tulang kerangka dua orang manusia bertumpuk di situ. Dia mengangguk, kemudian berkata.

   "Kakang Cangak Awu, apakah andika tidak melihat itu? Agaknya ada orang yang membuat jalan untuk keluar, dari sumur ini."

   Cangak Awu melihat ke arah dinding sumur yang ditunjuk Sutejo dan baru sekarang dia dapat melihat setelah pandang matanya terbiasa dengan cuaca yang remang-remang itu. Ada lubang-lubang pada dinding itu menuju ke atas, seperti tangga. Dengan memanjat dinding dengan bantuan lubang-lubang itu, seorang yang memiliki ilmu meringankan tubuh akan dapat dengan mudah merayap ke atas tanpa bantuan tali. Dari atas, lubang-lubang itu sama sekali tidak tampak karena gelap.

   "Terowongan ini menuju ke tempat yang terang. Mari kita masuk dan memeriksa ke sana,"

   Kata Cangak Awu. Mereka lalu melangkah maju memasuki terowongan, melangkah agar jangan sampai menginjak tulang-tulang itu. Makin ke dalam cuaca semakin terang dan akhirnya mereka tiba di sebuah ruangan yang terang. Kiranya sinar matahari masuk ke dalam ruangan bawah tanah itu melalui celah-celah yang terdapat di antara batu-batu bukit.

   Ruangan itu cukup luas dan Sutejo berkata.

   "Lihat, kakang Cangak Awu. Dinding-dinding ini dirusak orang!"

   Cangak Awu melihat ke arah dinding dan benar saja. Dinding-dinding itu agaknya dirusak orang. Masih tampak sisa-sisa coretan huruf dan gambar yang terlewat sehingga belum terhapus. Agaknya tadinya ada coretan gambar dan huruf-huruf di atas dinding dan ada orang yang telah menghapus semua itu dengan cara merusak dengan bacokan-bacokan senjata tajam.

   "Hemm, sekarang aku tahu. Si jahanam Satya itu tentu telah memasuki sumur ini dan menemukan pelajaran ilmu-ilmu peninggalan Paman Kakek Guru Ekomolo yang ditulis dan digambar pada dinding. Dia mempelajarinya, dan setelah menguasai semua ilmu itu, dia merusak dinding lalu keluar dan menjadi orang yang sakti mandraguna."

   "Agaknya dugaanmu itu memang tepat, kakang Cangak Awu. Akan tetapi aku yakin bahwa sebelum mempelajari semua aji kesaktian yang hebat itu, si Satya itu tentu telah memiliki dasar kesaktian yang cukup. Tanpa dasar itu, tidak mungkin dia mampu menguasai ilmu-ilmu tinggi melalui tulisan saja, apalagi hanya dalam waktu beberapa tahun."

   Ki Cangak Awu mengangguk dan menghela napas panjang.

   "Itulah kelengahan dan kebodohanku yang pertama. Dia dapat mengelabui aku. Ketika aku mengujinya dengan menyerangnya, dia diam saja seolah tidak memiliki kepandaian silat apapun dan aku percaya. Kiranya dia hanya berpura-pura!"

   "Sudahlah, kakang Cangak Awu, hal yang sudah lalu tidak perlu disesalkan. Aku berdua isteriku akan membantumu, akan kami cari keterangan pula tentang orang bernama Satya itu dan kalau kami bertemu dengan dia yang menjadi mata-mata Kumpeni Belanda itu, pasti akan kami hajar dia!"

   "Adi Sutejo, akupun akan mengerahkan para murid Jatikusumo untuk mencari keterangan tentang anakmu yang diculik orang itu."

   Dua orang gagah itu lalu meneliti semua bagian ruangan bawah tanah itu, akan tetapi mereka tidak menemukan sesuatu yang penting. Ketika kembali ke ternpat di mana dua kerangka manusia itu berada, Cangak Awu mengamati kerangka itu dan berkata.

   "Agaknya Uwa Kakek Guru Resi Ekomolo dan kakang Priyadi saling bunuh dan mati sampyuh. Lihat, ini tentu tengkorak kakek itu karena kedua tulang pahanya bekas remuk dan dia mencengkeram dengan kedua tangannya ke leher kakang Priyadi. Tentu kakang Priyadi juga membunuh kakek itu dengan senjatanya, yaitu Keris Ilat Nogo yang kini berada di tangan Satya. Tentu pemuda jahat itu telah mengambil keris pusaka itu."

   Setelah merasa yakin bahwa tidak terdapat apa-apa lagi yang perlu mereka ketahui, kedua orang itu lalu merayap naik keluar dari sumur tua itu. Ketika mereka tiba di atas, kedua orang isteri mereka menghujani mereka dengan pertanyaan. Cangak Awu lalu menceritakan segala yang ditemukannya di dasar sumur kepada Pusposari dan Retno Susilo.

   Mendengar cerita kedua orang yang memasuki sumur tua itu, Pusposari menghela napas. Ia berkata kepada suaminya.

   "Hemm, tidak terduga sama sekali bahwa kakek bernama Resi Ekomolo yang dihukum ke dalam sumur karena kejahatannya itu, merupakan kutukan bagi perguruan Jatikusumo. Ilmu-ilmu sesatnya dulu menurun kepada Priyadi, setelah Priyadi dapat dibinasakan, kini mendadak muncul Satya itu."

   Cangak Awu juga menghela napas panjang.

   "ADI Sutejo sudah berjanji bahwa dia berdua isterinya akan membantu mencari keterangan tentang Satya itu dalam perjalanan mereka, dan sebaliknya aku berjanji membantu mereka dengan mengerahkan para anggauta Jatikusumo untuk rnencari keterangan tentang keponakanku Bagus Sajiwo yang hilang diculik orang. Akan tetapi sumur terkutuk ini akan kututup saja, kusuruh menimbuni batu dan tanah sampai rata dengan tanah agar semua kebusukan itu terpendam dan tempat ini tidak berhantu lagi,"

   Kata Cangak Awu.

   "Kukira memang sebaiknya begitu, kakang Cangak Awu,"

   Kata Sutejo dan dua orang wanita perkasa itupun merasa setuju. Cangak Awu segera memanggil para anggauta perguruan Jatikusumo dan puluhan orang anak buah itu bekerja menguruk sumur dengan batu dan tanah. Sebentar saja sumur itu telah tertutup dan rata dengan tanah. Semenjak saat itu bukit itu tidak menjadi bukit larangan lagi. Kesan angkernya lenyap, bahkan para murid mulai menggarap tanah permukaan bukit yang subur itu dan menjadikannya sebagai tegalan.

   Sutejo dan Retno Susilo berpamit dan meninggalkan perguruan Jatikusumo dan menuju perkampungan Nogodento yang terletak di tepi Bengawan Solo, di daerah Ngawi. Ketua Nogodento adalah Ki Harjodento, ayah kandung Sutejo. Mereka akan berkunjung ke sana dan mengabarkan tentang terculiknya anak mereka agar para murid perguruan itu dapat ikut mencari keterangan tentang hilangnya Bagus Sajiwo.

   Setelah berhasil menolong penduduk dusun Sukuh dari gangguan Koloyitmo, Parmadi melanjutkan perjalanannya menuruni lereng Gunung Lawu. Di setiap dusun yang dilaluinya, dia bertanya-tanya kepada penduduk, barangkali ada yang melihat Muryani. Akan tetapi tidak ada seorangpun yang mengenal gadis seperti yang digambarkan Parmadi. Dia tidak menjadi putus asa dan melanjutkan perjalanannya dan terus mencari keterangan di sepanjang perjalanan. Dia melewati Batujamus dan tiba di daerah Sukowati. Daerah di lembah Bengawan Solo ini subur sekali.

   Sawah ladang terbentang hijau di antara hutan-hutan kecil yang bergerombol. Ketika memasuki sebuah hutan di tepi Bengawan Solo, tiba-tiba telinganya mendengar suara orang. Dia cepat menyelinap di antara rumpun bambu dan pohon jati, mendekat ke arah datangnya suara. Setelah dekat dia mengintai dari balik tiemak belukar dan dengan heran melihat bahwa yang bicara itu adalah seorang pemuda dan seorang gadis. Pemuda itu cukup tampan dan tubuhnya tegap, sedangkan gadis itu hitam manis. Keduanya mengenakan pakaian sebagai orang dusun yang sederhana, akan tetapi yang membuat Parmadi merasa heran dan penasaran adalah ketika dia melihat bahwa kedua pergelangan tangan gadis itu terikat tali yang panjang dan ujung tali itu dipegang si pemuda!

   Maka diapun mendengarkan dengan penuh perhatian.

   "Sarti, mengapa engkau membuat aku kecewa dan sedih sekali? Sungguh mati aku merasa kasihan sekali dan tidak enak harus mengikat kedua tanganmu seperti ini. Akan tetapi kalau tidak kuikat, engkau selalu hendak memberontak dan melarikan diri. Aku takut kehilangan engkau, Sarti,"

   Kata pemuda itu, suaranya lembut dan terdengar penuh kasih sayang

   "Kakang Parno, apa yang hendak kau lakukan kepadaku?"

   Tanya gadis itu, suaranya mengandung kemarahan akan tetapi juga ketakutan.

   "Engkau tentu tahu bahwa sampai matipun aku tidak akan mencelakaimu, Sarti. Engkau tahu bahwa aku mencintaimu dan selamanya akan tetap mencintamu. Cintaku setia, Sarti, tidak seperti engkau. Kita dulu sudah saling menyatakan cinta kita masing-masing, akan tetapi mengapa engkau kini selalu menjauhiku dan engkau menolak pinangan orang tuaku? Mengapa engkau menolak untuk menjadi isteriku, padahal engkaupun dahulu menyatakan cintamu kepadaku? Sekarang aku akan menahanmu dan mengajakmu pergi, entah ke mana. Pendeknya kita akan hidup bersama, engkau akan ikut denganku dan walaupun aku tidak akan memaksamu menjadi isteriku, akan tetapi engkau tidak kuperkenankan berpisah lagi dariku."

   "Kakang Parno, engkau tidak berhak memaksaku hidup bersamamu! Kita tidak dapat menjadi suami isteri, karena kalau itu kita lakukan, kelak kita akan hidup sengsara dan penuh derita."

   "Siapa bilang begitu? Kita saling mencinta dan kita pasti akan hidup sebagai suami isteri yang berbahagia,"

   Kata Parno dengan kukuh.

   "Kakang, menjadi suami isteri tidak bisa kalau hanya berbekal cinta. Terus terang saja, aku memang suka kepadamu, aku mempunyai perasaan cinta padamu. Akan tetapi sejak engkau menjadi seorang pemuda yang malas menggarap sawah, setiap hari hanya berkeliaran, berjudi dan adu jago, sampai bosan aku mengingatkan namun engkau masih saja tidak berubah, aku yakin bahwa tidak mungkin aku menjadi isterimu. Setelah menjadi isterimu dan kautinggalkan berkeliaran bermain judi dan bergerombol dengan pemuda-pemuda malas lainnya, aku pasti akan menderita dan perasaan cinta saja tidak akan dapat menolongku. Akhirnya kehidupan rumah tangga kita tentu akan hancur karena perbedaan paham dan cara hidup. Dan akulah yang paling menderita karena aku seorang perempuan, sebaliknya engkau mendapatkan hiburan dari temanteman gerombolanmu. Karena itu, kakang, lepaskanlah aku, biar kita mencari jalan hidup masingmasing dan aku hanya mendoakan semoga engkau kelak memperoleh seorang jodoh yang lebih cocok."

   "Tidak bisa, Sarti! Aku cinta padamu. Sungguh mati, aku cinta padamu. Tahukah engkau bahwa setiap kali aku tidur, aku selalu memimpikan dirimu? Bayangan wajah dan tubuhmu tak pernah meninggalkan hati dan pikiranku, betapa manis ayu merak ati engkau, betapa rinduku untuk selalu berdekatan denganmu, Sarti."

   Gadis itu cemberut dan memandang kepada pemuda itu dengan alis berkerut. Matanya yang bening dan jeli itu bersinar.

   "Hemm, sekarang aku tahu betul bahwa cintamu kepadaku selama ini hanya merupakan cinta nafsu belaka, kakang Parno. Bukan aku seutuhnya yang kaucinta, melainkan wajah dan tubuhku yang kauanggap ayu manis dan menarik hatirnu. Cintamu yang seperti itu hanya setebal kulit, kakang. Andaikata hidungku ini gruwung (putus) atau bibirku robek, mataku pece (juling, cacad) atau kakiku pincang, aku yakin cintamu pasti akan menghilang dan mungkin cintamu berubah menjadi kemuakan dan kebencian. Cintamu dangkal sekali sehingga harga diriku kauanggap lebih rendah daripada kesukaanmu berjudi dan berkeliaran. Engkau bukan seorang laki-laki yang baik untuk dijadikan suami, kakang dan biarpun rasanya pahit, aku harus berani menutupi rasa cintaku kepadamu dengan kenyataan tentang dirimu ini."

   Diam-diam Parmadi yang mengintai dan mendengarkan, tertegun. Perawan desa ini sungguh luar biasa, pikirnya. Di seolah sedang mendengarkan wejangan seorang yang arif bijaksana! Ucapan gadis sederhana, seorang perawan desa bernama Sarti itu telah membongkar rahasia cinta antara pria dan wanita yang penuh kepalsuan! Setebal kulit saja! Yang dicinta hanyalah kecantikan wajah dan tubuh belaka. Cinta nafsu! Dan Parmadi seperti terbuka matanya dan melihat dengan jelas betapa tepat dan benarnya ucapan gadis itu. Cinta nafsu merupakan perasaan suka akan suatu yang merangsang dan menarik hatinya, menimbulkan keinginan untuk memilikinya, untuk menikmatinya. Akan tetapi kalau daya tarik itu berkurang, karena cacad dan lain sebagainya yang membuat orang yang "dicinta"

   Itu menjadi kurang menarik, cinta nafsu itu pun kabur, bahkan mungkin terganti benci yang muncul dari rasa tidak suka. Gadis itu jujur sekali dan mungkin cintanya terhadap pemuda itu lebih murni. Ia dengan jujur menyatakan cinta, akan tetapi cintanya bukan cinta nafsu, bukan sekedar ingin memiliki dan dimiliki, melainkan cinta dari hati yang mendorong keinginan melihat orang yang dicintanya itu berbahagia. Bukan kesenangan karena tercapai gairah nafsunya, melainkan berbahaia karena hidup dalam garis kebenaran.

   Parno mengerutkan alisnya, mukanya berubah merah. Agaknya dia menjadi marah mendengar ucapan yang panjang dari gadis itu.

   "Hemm, engkau sudah ketularan kakekmu Kyai Brenggolo Sidhi, pandai memberi wejangan! Pendeknya, aku cinta padamu dan aku tidak ingin berpisah lagi darimu. Biarpun aku tidak akan memaksamu untuk menjadi isteriku, akan tetapi engkau tidak boleh meninggalkanku lagi. Kita harus hidup bersama karena aku tidak dapat hidup tanpa engkau, Sarti!"

   "Kakang Parno, aku merasa sedih sekali kalau melihat engkau melakukan hal yang menyimpang dari kebenaran. Kalau engkau memang mencintaku dengan tulus, buktikanlah. Buktikanlah bahwa sejak hari ini, selama satu tahun, engkau akan mengubah jalan hidupmu, tidak mabok-mabokan, tidak bermain judi, tidak berkeliaran dengan gerombolanmu. Nah, kalau setelah setahun kulihat engkau sudah benar-benar berubah, suruh orang tuamu meminangku dan aku pasti akan menerimamu sebagai calon suamiku dengan hati berbahagia."

   Pemuda itu menggeleng kepala.

   "Tidak, Sarti. Aku tidak mau melepaskanmu lagi dari sampingku. Engkau tentu akan dinikahkan dengan pemuda lain oleh kakekmu."

   "Tidak, kakang. Kalau engkau memegang janjimu, selama setahun akupun berjanji untuk menunggumu dengan setia."

   "Tidak, aku tidak percaya padamu!"

   "Kakang Parno?"

   "Sudahlah, mari ikut denganku, Sarti,"

   Kata pemuda itu sambil menarik ujung tali sehingga gadis yang diikat kedua pergelangan tangannya itu terpaksa melangkah maju mengikuti pemuda yang sudah nekat itu.

   "Perlahan dulu, sobat!"

   Terdengar teguran lernbut dan sesosok bayangan berkelebat. Parmadi sudah berdiri berhadapan dengan Parno, menghadang jalannya. Dengan alis berkerut dan muka marah Parno menatap wajah Parmadi.

   "Hei, ki-sanak, siapa andika dan mau apa andika menghadang perjalanku!"

   Bentak Parno dengan marah.

   "Siapa namaku tidak penting,"

   Kata Parmadi dengan sikap tenang.

   "Aku sudah mendengar bahwa namamu Parno dan yang terpenting adalah bagimu untuk menyadari bahwa engkau telah bersikap sebagai sorang laki-laki yang tersesat, menyimpang dari kebenaran dan tidak mengenal budi! Juga engkau adalah seorang laki-laki pengecut yang tidak tahu malu!"

   Saking marahnya Parno melepaskan ujung tali panjang pengikat kedua pergelanan tangan Sarti dan dengan kedua tangan terkepal dia maju menghampiri Parmadi. Mereka berdiri berhadapan dalam jarak dekat, hanya satu meter. Tubuh mereka sama tegap dan sedang dan keduanya juga tampan walaupun dalam sikapnya Parno tampak kasar dan marah. Juga kulit Parno lebih gelap. Parno memandang dengan mata berapi, alis berkerut dan mulut cemberut, sebaliknya Par madi memandang dengan sikap tenang dan mulutnya mengembangkan senyum.

   "Keparat! Lancang sekali ucapanmu. Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan? Aku adalah Parno, Macan Sukowati berotot kawat bertulang besi! Tiada seorangpun di daerah Sukowati yang tidak mengenal aku dan engkau berani memaki-maki aku sebagai seorang tersesat, tak mengenal budi dan pengecut? Apa engkau sudah bosan hidup?"

   Parmadi tersenyum.

   "Aku sama sekali bukan memaki, melainkan mengatakan yang sebenarnya. Engkau tidak tahu diri, padahal engkau dicinta oleh seorang gadis yang bijaksana dan berbudi mulia. Sepatutnya engkau bersyukur karena orang dengan watak macam engkau dapat dicinta seorang gadis yang wataknya seperti dewi! Kekasihmu ini berkata benar Parno. Sadar dan bertaubatlah, penuhilah permintaannya dan berjanjilah bahwa engkau akan mengubah jalan hidupmu dalam setahun ini, kemudian nikahi ia dan hidup berbahagia bersama isterimu yang bijaksana."

   "Tutup mulutmu! Tak seorangpun di dunia ini yang boleh mengatur cara hidupku! Sarti ini adalah milikku dan ia harus ikut denganku, hidup bersamaku karena kami saling mencinta dan tak seorangpun boleh menghalangiku!"

   "Aku yang akan menghalangimu, Parno. Sarti ini hanya boleh ikut denganmu kalau ia memang suka rela menghendaki demikian. Akan tetapi kalau engkau mempergunakan cara memaksa seperti ini, akulah orangnya yang akan menghalangimu."

   "Apa? Engkau".. engkau berani menentangku?"

   Parno bertanya heran. Selama ini, tidak ada orang berani menentangnya, akan tetapi pemuda asing ini berani menghalangi kehendaknya.

   "Tentu saja aku berani menentang segala kejahatan. Apa yang kaulakukan ini jahat, maka aku akan menentangnya. Ke jahatanmulah yang kutentang, bukan engkau."

   "Jahanam! Kubunuh engkau!"

   "Kakang Parno, jangan! Dia hanya ingin mengingatkan dan menyadarkanmu.Jangan ganggu dia, kakang! Ki-sanak pergilah dan jangan berkelahi dengan kakang Parno. Aku tidak ingin dia membunuh orang dan aku tidak ingin meliha andika terluka. Pergilah dan jangan korbankan dirimu untukku,"

   Kata Sarti.

   Parmadi makin kagum kepada gadis itu. Seorang gadis dusun sederhana namun memiliki kebijaksanaan seperti itu. Dia tersenyum.

   "Betapa aneh dan besar kekuasaan Cinta! Seorang bidadari dapat jatuh cinta kepada seorang pria yang tersesat! Kisanak Parno, engkau seorang yang berbahagia sekali menerima kasih saying seorang gadis seperti Sarti ini. Karena itu bersihkanlah batinmu untuk menerima anugerah Gusti Allah yang amat membahagiakanmu ini. Bertaubatlah."

   "Keparat, sambutlah ini!"

   Parno menjawab ucapan Parmadi dengan ayunan tangan kanannya yang memukul ke arah muka Parmadi. Tangan kanan itu dikepal dan pukulannya cukup kuat, mendatangkan angin menyambar. Namun dengan amat mudahnya Parmadi mengelak.

   "Sadarlah!"

   Kata Parmadi.

   Akan tetapi pukulan yang luput itu membuat Parno menjadi semakin marah. Dia lalu menerjang lagi, bahkan kini mengirim pukulan dan tendangan dengan kedua pasang kaki tangannya secara gencar dan bertubi-tubi.

   Namun, biarpun Parno dianggap jagoan di daerah Sukowati, bagi Parmadi gerakan pernuda itu masih terlalu lambat sehingga mudah saja baginya untuk menghindarkan diri dari semua sambaran pukulan dan tendangan itu. Kalau saja dia tidak ingat bahwa di situ terdapat seorang gadis budiman yang benar-benar mencinta Parno, tentu dia sudah menjatuhkan hajaran keras kepada pemuda keras kepala itu. Akan tetapi Parmadi merasa kasihan kepada Sarti maka dia masih bersikap sabar dan selalu mengelak.

   Setelah melihat betapa Parno tetap nekat, walaupun semua serangannya gagal, namun pemuda itu tidak mau menyadari kenyataan bahwa lawannya merupakan orang yang digdaya, melainkan terus

   (Lanjut ke Jilid 14)

   Seruling Gading (Seri ke 02 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 14

   menyerang seperti kerbau bila, Parmadi menangkap pergelangan tangan kanan Parno yang memukul, memuntir dan menarik dengan sentakan kuat. Tak dapat dihindarkan lagi, tubuh Parno terputar dan terpelanting, terbanting keras ke atas tanah dan terguling-guling sampai ke dekat kaki Sarti.

   "Kakang !"

   Sarti segera menghampiri, berjongkok dan dengan kedua tanganya yang terbelenggu ia menyentuh pundak pemuda itu. Akan tetapi Parno menepis tangan gadis itu, bangkit kembali dan dengan muka merah dan rnata melotot dia menghampiri Parmadi. Agaknya Parno memiliki tubuh yang kuat dar kebal sehingga bantingan keras tadi seperti tidak terasa olehnya. Akan tetapi agaknya pemuda Sukowati itu kini menyadari bahwa lawannya memang tangguh maka dia tidak berani memandang rendah dan bersikap congkak.

   "Babo-babo, kiranya andika memiliki kesaktian. Nah, coba sambut pusakaku ini. Hayo, keluarkan pusakamu kalau andika memang seorang gagah!"

   Parno menentang sambil mencabut sebatang keris luk tujuh yang tadi terselip di pinggangnya.

   "Kakang Parno, ingatlah! Jangan bunuh orang yang tidak bersalah!"

   Sarti berseru dengan cemas melihat pria yang dicintanya itu mencabut keris dan mengancam Parmadi.

   Parmadi masih tersenyum dan berkata kepada Sarti.

   "Jangan andika khawatir, Parno tidak akan dapat membunuhku."

   Parno yang sudah memuncak kemarahannya itu membentak.

   "Hayo cepat keluarkan senjatamu!"

   Parmadi menatap wajah pemuda yang marah itu.

   "Ah, andika masih belum mau menerima kenyataan bahwa andika bersalah dan karenanya maka andika kalah? Minta aku menggunakan senjata? Baiklah, ini senjataku!"

   Permadi.SH mencabut seruling gading yang terselip di pinggangnya.

   Melihat lawannya memegang sebatang seruling, Parno mengerutkan alisnyaa "Aku bukan orang licik yang menggunaka pusaka menyerang orang yang tidak bersenjata. Yang andika pegang itu sebuah seruling, alat gamelan, bukan senjata?"

   
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Parmadi tersenyum. Pemuda ini keras kepala dan agaknya terseret oleh lingkungan yang tidak sehat, namun berwatak gagah. Pantas Sarti jatuh cinta kepadanya.

   "Parno, menjadikan sebuah benda menjadi benda bermanfaat atau menjadi benda jahat yang mengerikan, tergantung dari orang yang menggunakannya. Keris di tanganmu itupun dapat menjadi hiasan dinding yang indah atau menjadi pelengkap pakaian yang baik. Akan tetapi kalau hendak andika pergunakan untuk membunuh orang, ia menjadi senjata yang jahat dan mengerikan. Seruling Gading tanganku inipun dapat menjadi senjata yang siap menandingi kerismu itu."

   "Baik, andika sendiri yang menentukan. Nah, sambutlah serangan pusakaku ini!"

   Parno lalu menyerang dengan tusukan kerisrnya. Gerakannya yang tangkas dan kuat menunjukkan bahwa dia memang seorang yang rnahir menggunakan senjata keris.

   Seperti tadi, Parmadi menggunakan kecepatan gerakan badannya untuk mengelak. Parno mengejar dengan tusukan-tusukan berikutnya. Dia menyerang bertubi-tubi, menusuk dengan keris di tangan kanannya diseling pukulan-pukulan tangan kirinya. Parmadi sengaja mengelak sampai belasan jurus, kemudian setelah merasa cukup "memberi rnuka"

   Di depan Sarti agar tidak tampak Parno dikalahkan dengan cepat, tiba-tiba dia menggerakkan seruling gadingnya. Tampak sinar kuning berkelebat.

   "Cringgg".!"

   Keris di tangan Parno terlempar jauh setelah terlepas dari tangannya karena tangkisan seruling gading itu. Parno terkejut bukan main, akan tetapi pada saat itu, jari-jari tangan kiri Parmadi sudah mengusap dan menekan pundak kanannya.

   "Aduhhh"!"

   Parno rnerasa betapa tiba-tiba tubuhnya seperti kemasukan hawa yang amat panas dan pundak kanannya terasa nyeri sekali, rasa nyeri yang menjalar ke seluruh tubuhnya, membuat ubun ubun kepala rasanya berdenyut-denyut dan jantung seperti ditusuk-tusuk.

   "Aduhhh.... tobaaattt....!"

   Dia mengeluh, menggunakan kedua tangan untuk meraba pundak kanan dan ubun-ubun kepala.

   "Kakang"!"

   Sarti cepat lari menghampiri dan berjongkok di dekat pemuda yang sudah jatuh mendeprok itu.

   "Kakang""

   Engkau kenapa ?"

   Tanya Sarti sambil meraba-raba pundak dan punggung Parno dengan kedua tangannya yang terbelenggu. Melihat pemuda itu tampak tersiksa sekali, peluh besar-besar memenuhi mukanya yang berkerut-kerut menahan rasa nyeri, Sarti lalu menoleh kepada Parmadi.

   "Den-mas". tolonglah.... ampuni kesalahan kakang Parno"!"

   Parmadi menghampiri mereka.

   "Hem Parno, tidak malukah akan kelakuanmu sendiri? Lihat, Sarti begini setia dan mencintarnu, rnengapa andika tidak mau bertaubat dan menuruti permintaannya? Biarlah dengan melihat Sarti, aku akan membebaskanmu dari hukuman ini!"

   Parmadi lalu menepuk pundak kanan, menggunakan jari tangannya menekan dan seketika Parno pulih dan sehat kembali. Rasa nyeri itu menghilang. Akan tetapi dasar wataknya amat keras, dia menepis tangan Sarti yang menyentuh pundaknya, lalu bangkit berdiri, memandang Parmadi dengan alis berkerut, lalu memutar tubuhnya dengan cepat dan dia lari dari situ tanpa mengeluarkan kata-kata.

   "Kakang Parno". !"

   Sarti berseru memanggil, akan tetapi pemuda itu tidak menjawab, juga tidak menoleh. Sarti berlari, menangis dan menutupi muka dengan kedua tangan yang pergelangannya masih terikat tali.

   Tiba-tiba ia merasa sentuhan pada kedua pergelangan tangannya dan tahu-tahu tali yang mengikat kedua pergelangan tangannya itu telah putus dan terlepas. Ia menurunkan kedua tangannya yang telah bebas dan memandang kepada Parmadi yang sudah berdiri di depannya. Sepasang mata bening itu kini kemerahan dan bibir yang bentuknya indah itu agak gemetar.

   "Sarti,"

   Kata Parmadi lembut.

   "maafkanlah aku kalau aku telah membuat engkau berduka karena aku telah menghajar Parno sehingga dia lari meninggalkanrnu."

   "Oh, tidak tidak, den-mas.... '"

   "Sarti, aku juga hanya seorang pemuda pegunungan, jangan sebut den-mas padaku."

   "Tapi, ki-sanak"

   Jangan andika minta maaf karena andika benar dan apa yang telah andika lakukan tadi benar: Kakang Parno yang bersalah dan harap andika suka memaafkan sikap dan kelakuannya yang kasar. Agaknya dia memang membutuhkan pelajaran keras seperti itu karena dengan bujukan halus dia tidak pernah menurut."

   "Akan tetapi engkau menangisinya?"

   Gadis itu menyusut sisa air matanya dan mengangguk.

   "Aku kasihan kepadanya."

   "Hemm, dan engkau tetap cinta padany?"

   Kembali Sarti mengangguk.

   "Cinta adalah keadaan perasaan hati. Bagaimana dapat berubah? Aku tetap cinta padanya, ki-sanak."

   "Kalau begitu, engkau ingin bersamanya dan menjadi isterinya?"

   Kini Sarti menggeleng kepala kerascras.

   "Tidak, aku tidak mau menjadi istrinya selama dia tidak mau mengubah kelakuannya karena aku akan hidup menderita kalau menjadi isterinya."

   "Sungguh andika seorang gadis yang luar biasa sekali, Sarti. Andika seorang gadis dusun yang masih muda namun memiliki kebijaksanaan dan pendapat yang lain sama sekali dengan orang lain. Dari manakah andika memperoleh pandangan aneh seperti itu?"

   "Eyang yang mengajarkan bagaimana harus menghadapi kenyataan hidup, ki-sanak. Aku adalah seorang anak yatim piatu dan sejak kecil aku hidup bersama eyang. Sejak kecil aku mengenal kakang Parno. Kami teman sepermainan. Setelah dewasa, aku merasa bahwa aku mencintanya dan diapun mencintaku. Kalau saja kemudian dia tidak berubah kelakuannya hidup ugal-ugalan, bergerombol dengan orang-orang yang tidak bersusila, mabok-mabokan dan suka berjudi dan adu ayam tidak mau bekerja di sawah. Kalau saja dia masih lugu seperti dulu, tentu saja aku akan merasa bahagia sekali hidup menemaninya untuk selamanya, sebagai isterinya. Akan tetapi dia tidak pernah mendengar nasihatku, maka aku menjauhkan diri. Dan pagi tadi, dia"dia memaksaku pergi bersamanya. Ketika aku menolak dan memberontak, dia mengikat kedua pergelangan tanganku. Bahkan dia pun tidak mau berjanji untuk mengubah kehidupannya selama setahun sebagai syarat aku mau menjadi isterinya."

   "Akan tetapi sekarang engkau telah terbebas darinya. Biarlah aku akan mengantarmu pulang, Sarti. Di mana eng tinggal?"

   "Aku tinggal di sebelah utara sana ki-sanak, di seberang bengawan. Aku tinggal bersama kakekku."

   "Siapakah kakekmu itu?"

   "Dia adalah Kyai Brenggolo Sidhi yang mengasingkan diri dan bertapa di lembah bengawan di pondok yang terpencil. Aku menemaninya."

   Parmadi tertarik. Kiranya Sarti, gadis dusun ini tinggal bersama seorang pertapa yang menjadi kakeknya. Pantas saja ia memiliki pandangan hidup yang luar biasa dan bijaksana. Tentu Kyai Brenggolo Sidhi itu yang memberi wejangan kepadanya. Dia menjadi ingin sekali bertemu dengan Kyai Brenggolo Sidhi itu.

   "Mari kuantar engkau pulang, Sarti."

   "Terima kasih sebelumnya atas kebaikan andika, ki-sanak. Akan tetapi, andika telah menolongku dan terutama sekali andika telah memberi pelajaran dan mau memaafkan kakang Parno, kini andika tidak mengantarku pulang, akan tetapi aku belum mengenal siapa andika. Hal iin amat janggal dan eyang tentu akan menegurku kalau mengetahui bahwa aku belum rnengenal nama penolongku."

   Parmadi tersenyum. Gadis ini bijaksana, pandai membawa diri dan juga pandai bicara. Sungguh seorang gadis dusun yang luar biasa.

   "Sarti, aku adalah seorang perantau dan apa yang telah kulakukan semua ini merupakan tugas kewajiban bagiku. Karena itu aku tidak ingin dikenal karena semua perbuatan itu. Selama ini aku hanya dikenal rnelalui serulingku ini,"

   Parmadi menyentuh suling yang terselip pinggangnya.

   "dan biarlah aku dikenal sebagai Seruling Gading."

   "Nama yang indah sekali. Akupun akan menyebutmu kakangmas Seruling Gading. Marilah, kangmas, aku akan memperkenalkanmu dengan eyangku."

   Mereka lalu keluar dari hutan itu dan Sarti menjadi penunjuk jalan. Setelah btia di tepi Bengawan Solo yang airnya sedang pasang, mereka menumpang perahu seorang nelayan yang mengantar mereka ke seberang.

   Kyai Rrenggolo Sidhi tinggal di buah pondok padepokan yang berdiri seberang bengawan sebelah utara. Pondok itu berada di lembah yang sunyi jauh dari tetangga dan memang tempot itu merupakan tempat yang baik sekali bagi orang yang bertapa dan menjauhkan diri dari kerarnaian. Keheningan di lembah bengawan yang indah dan amat subur tanahnya. Juga bagian yang menjadi tempat tinggal itu merupakan bukit kecil yang cukup tinggi sehingga di waktu musim hujan dan air bengawan naik tinggi, tidak sampai air menghampiri pondok yang berdiri arnan di atas bukit kecil di tepi bengawan itu.

   Ketika Parmadi dan Sarti tiba di depan pondok, dari dalam pondok muncul seorang kakek yang langsung menarik perhatian Parmadi. Kakek itu berusia kurang lebih tujuh puluh tahun, rambut, kumis dan jenggotnya yang panjang berwarna putih, pakaian hitam sederhana membungkus tubuhnya yang tinggi kurus, namun sepasang matanya mencorong tajam dan lembut.

   "Eyang.... !"

   Kata Sarti sambil berlari menghampiri kakek itu.

   Kakek itu menaruh kedua tangannya di pundak Sarti dan berkata.

   "Syukurlah engkau telah terlepas diri bahaya. Tentu anak-mas ini yang telah menolongmu!"

   "Eyang mengetahui bahwa saya dipaksa lari bersama kakang Parno?"

   Tanya gadis itu.

   Kakek itu mengangguk-angguk.

   "Aku tahu engkau dalam bahaya, akan tetapi aku tahu pula bahwa akan ada orang yang menolongmu terlepas dari bahaya."

   "Eyang memang benar, ki-sanak ini yang menolongku dan dia mengantarkan aku pulang. Dia bernama Seruling Gading, eyang."

   Parmadi membungkuk dengan sikap hormat kepada kakek itu. Kyai Brenggolo Sidhi, kakek itu, memandang ke arah seruling gading yang terselip di pinggang Parmadi dan dia terkekeh.

   "Heh-heh, apa artinya sebuah nama? Bukan nama, bukan pakaian, bukan rupa, bukan pula sikap dan perbuatan, yang menentukan mutu seorang manusia."

   "Wah, eyang! Memang bukan nama, pakaian, rupa, kekayaan atau kedudukan seseorang yang menentukan baik buruknya orang itu, akan tetapi mengapa bukan pula sikap dan perbuatan? Bukankah baik buruknya seseorang itu dapat dinilai dari sikap dan perbuatannya?"

   "Heh-heh-heh, bantahan dan pertanyaan yang bagus, Sarti. Akan tetapi ketahuilah bahwa sikap dan perbuatan itu dapat dibuat-buat, dapat dipergunakan sebagai kedok yang menyembunyikan wajah aselinya. Sikap dan perbuatan dapat saja berlawanan dengan isi hatinya. Karena terlalu percaya akan sikap dan perbuatan inilah banyak manusia terkecoh dan tertipu, terutama sekali para wanita yang mudah terpikat dan tunduk kepada bujuk rayu, sikap manis, tutur kata halus dan sopan."

   "Akan tetapi, eyang"."

   "Heh-heh-heh, Sarti, tahan rasa penasaran dan pertanyaanmu sampai kita duduk di dalam pondok. Apakah engkau akan membiarkan saja penolongmu berdiri mendengarkan perdebatan kita sambil berdiri di luar pondok?"

   "Ooo.... iya, saya sampai lupa! Maafkan saya, kakangmas Seruling Gading, dan mari, silakan memasuki pondok agar kita dapat bicara dengan leluasa,"

   Sarti berkata kepada Parmadi. Sejak tadi Parmadi memandang kagum.

   Dugaannya tidak salah. Kakek gadis itu memang seorang yang arif bijaksana, dan Sarti adalah seorang gadis muda yang kritis, suka bertanya dan agaknya belum puas kalau belum mendapatkan keterangan yang sejelasnya. Tidak mengherankan kalau gadis itu memiliki pandangan yang luas dan bijaksana. Dia mengikuti kakek dan cucu itu masuk ke dalam pondok yang sederhana namun terjaga kebersihannya dan duduk di ruangan depan, di atas lantai bertilamkan tikar, mengelilingi sebuah meja bundar rendah.

   Setelah mereka duduk, Sarti langsung saja mengeluarkan isi hatinya yang sejak tadi membuatnya merasa penasaran.

   "Eyang, kata-kata eyang tadi membuat Sarti merasa penasaran dan ingin sekali mengajukan pertanyaan."

   Kyai Brenggolo Sidhi mengelus jenggotnya dan tersenyum lebar sambil melirik ke arah Parmadi.

   "Maafkan ia, anak-mas. Bocah ini selalu merasa penasaran tidak dapat tenang kalau pertanyaan yang mengganggu pikirannya belum terjawab. Nah, Sarti, katakanlah apa yang menjadi uneg-uneg hatimu?"

   "Begini, eyang. Kalau menurut ucapan eyang tadi, sikap dan perbuatan orang tidak menentukan baik buruknya orang itu. Kalau begitu, mengapa semua orang menekankan pelajaran murid atau anaknya agar bersikap dan bertindak baik?"

   Kyai Brenggolo Sidhi rnemandang kepada Parmadi yang duduk di depannya lalu tertawa.

   "Heh-heh, pertanyaanmu ini mungkin mewakili pertanyaan sebagian orang di jagad ini, Sarti. Akan tetapi aku merasa yakin bahwa anak-mas Seruling Gading ini dapat memberi penjelasan kepadamu. Bukankah begitu, anak-mas?"

   Diam-diarn Parmadi merasa kagum. Kakek ini agaknya mampu menjenguk dan melihat isi hatinya! Tentu saja dia dapat memberi penjelasan karena gurunya, Resi Tejo Wening, sudah banyak membicarakan hal ini sehingga membuat dia mengerti, mengerti yang bukan hanya terbatas kepada pengertian akal, melainkan mengerti karena mengalaminya sendiri. Akan tetapi dia berkata hormat.

   "Kanjeng eyang, saya juga ingin sekali untuk memperdalam pengertian saya."

   "Heh-heh, tunduk rendah seperti batang padi yang subur. Kerendahan hati yang bijak! Dengarlah Sarti. Orang-orang condong mementingkan sikap dan perbuatan karena semua orang menilai baik buruknya seseorang dari sikap dan perbuatan itu. Karena itu, orang berusaha keras untuk bersikap dan berbuat baik agar disebut orang baik. Keinginan dianggap baik inilah yang menimbulkan kepalsuan sikap dan perbuatan baik, dipergunakan sebaai pakaian bersih untuk menutupi badan yang kotor, atau pakaian indah untuk menutupi cacad badan. Sikap dan perbuatan baik bahkan menjadi semacam umpan untuk menipu orang lain, menjadi bujuk rayu yang di kalangan orang muda di sebut rayuan gombal."

   "Kalau begitu eyang, apakah kita tidak perlu berusaha untuk bersikap baik dan berbuat baik?"

   Sarti mendesak.

   "Sarti, sikap dan perbuatan hanyalah merupakan akibat, merupakan buah. Sebab atau pohonnya batin. Kalau pohonnya baik, pasti akan mengeluarkan buah yang baik. Kalau batinmu penuh kasih dan iba kepada orang lain, pasti sikap dan perbuatanmu terhadap orang itu baik dan benar. Sebaliknya, kalau hatimu penuh kebencian kepada orang lain, sikap dan perbuatanmu terhadap orang itu sudah pasti tidak baik dan jahat. Kalau hatinya kotor akan tetapi perbuatanmu bersih jelas bahwa perbuatan dan sikaprnu yang bersih itu hanya palsu belaka. Atau kalau pohonnya tidak baik akan tetapi buahnya tampak baik, tentu buah itu tampak baik karena diasap, hanya kulitnya saja yang baik akan tetapi sebelah dalamnya busuk. Mengertikah engkau, Sarti?"

   "Saya mengerti, eyang. Akan tetapi lalu apakah yang harus kita lakukan, eyang? Bagaimana agar pohon itu menjadi sehat dan baik, bagaimana agar batin kita selalu dipenuhi kasih sayang dan iba terhadap sesama kita?"

   Kyai Brenggolo Sidhi memandang Parrnadi dan kini suaranya terdengar mendesak ketika dia berkata.

   "Anak-mas, sekali ini aku minta sukalah kiranya anak-mas yang menjawab pertanyaan Sarti. Aku meminta kepadamu karena aku tahu bahwa andika dapat memberi jawaban yang tepat."

   Parmadi merasakan adanya desakan pada permintaan kakek itu, maka dia lalu berkata dengan tenang.

   "Akan saya coba, eyang, kalau keliru harap eyang betulkan dan maafkan. Nimas Sarti, pohon itu baru dapat menjadi sehat dan buruk, batin itu baru dapat selalu dipenuhi kasih saying dan iba terhadap sesama kita apabila jiwa kita manunggal dengan kekuasaan gusti Allah, karena hanya Gusii Allah saja yang akan dapat membimbing dan menghidupkan pohon kebajikan dalam batin kita. Kalau sudah begitu, kita manusia ini akan menjadi alat Gusti Allah yang mendatangkan berkah bagi manusia seperti halnya sinar matahari, hawa udara, air, tanah dan tumbuh-tumbuhan."

   "Kakangmas Seruling Gading, apakah yang kita harus kita lakukan agar kita dapat menjadi alat Gusti Allah?"

   Sarti mengejar.

   "Kita tidak melakukan apa-apa, nimas. Kita hanya dapat berserah diri, pasrah dengan sepenuh iman dan keikhlasan sehingga apapun yang kita lakukan adalah berkat bimbingan-Nya dan Pohon Kasih akan tumbuh subur dalam jiwa kiia karena Kasih adalah satu di antara sifat-sifatNya. Gusti Allah itu Maha Kasih, nimas. Eyang, harap maafkan kalau pernyataan saya ini tidak benar."

   "Alhamdullilah". ! Puji syukur dan terima kasih kepada Gusti Allah bahwa kami berdua diberi kesempatan untuk mendengarkan kenyataan yang keluar melalui ucapanmu tadi, anak-mas Seruling Gading. Semoga Gusti Allah Yang Maha Kasih akan sudi menerirna penyerahan ketawakaan dun keikhlasan kita, amiin."

   "Amin?"

   Kata Parmadi dan Sarti berbareng.

   "Sarti, sekarang ceritakan apa yang telah terjadi maka engkau pulang bersama anak-mas Seruling Gading ini."

   "Bukankah eyang sudah mengetahui semuanya? Eyang tadi sudah mengatakan bahwa saya terancam bahaya dan ada yang menolong....

   "

   "Hanya itu yang kuketahui karena perasaanku rnengatakan demikian. Akan tetapi aku tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Ceritakanlah, Sarti."

   "Eyang, tadi ketika saya pergi memetik daun kangkung, tiba-tiba muncul kakang Parno dan dia memaksa saya unuk ikut dia pergi. Ketika saya menolak, dia mengikat kedua pergelangan tanganku dan menarik aku pergi menyeberangi bengawan dan hendak diajak pergi entah ke mana."

   "Hemm, bocah itu semakin jauh tersesat,"

   Kata Kyai Brenggolo Sidhi.

   "Setelah kami tiba di dalam sebuah hutan, tiba-tiba muncul kakangmas Seruling Gading ini yang menegur kakang Parmadi. Mereka bertanding dan kakang Parno terpukul roboh. Akan tetapi kakangmas ruling Gading memaafkannya dan menyembuhkannya. Dia lalu pergi eyang, dia pergi meninggalkan saya."

   "Hemm, sayang bocah yang dahulu begitu baik kini menjadi berubah seperti itu,"

   Kata pula Kyai Brenggolo Sidhi.

   "Dia tidak menggangguku, eyang. Dia hanya mengajak saya pergi bersamanya karena selama ini saya sengaja menjauhinya. Saya sudah membujuknya berulang kali agar dia menjauhi pergaulan sesat menghentikan kebiasaan berjudi, adu ayam dan mabok-mabokan dan saya berjanji akan menerimanya kembali dalam waktu setahun. Akan tetapi dia tidak percaya dan bersikeras mengajak saya pergi."

   "Heh-heh, Parno itu sebetulnya bocah yang watak dasarnya baik. Dia takut kehilangan engkau, Sarti."

   "Memang begitulah yang dia katakan eyang."

   "Nah, ini merupakan bukti kuatnya iblis dan betapa ringkihnya manusia. Dengan umpan segala macam kesenangan iblis memancing manusia sehingga manusia tanpa disadarinya menyimparig dari jalan kebenaran. Pengaruh lingkungan amatlah kuatnya, maka benarlah kata nenek moyang kita bahwa kita harus mencari pergaulan yang baik dan menjauhi pergaulan dengan orang-orang yang menjladi hamba napsu sendiri. Satu-satunya jalan bagi manusia agar kuat menanggulangi semua godaan iblis hanyalah berserah diri kepada Gusti Allah sehingga Kekuasaan Gusti Allah yang akan melindungi dari godaan iblis. Akan tetapi, percayalah bahwa akan dating saatnya Parno akan sadar, bertaubat dan kembali kepadarnu, Sarti."

   "Mudah-mudahan begitu, eyang,"

   Kata Sarti dengan nada suara mengandung penuh harapan.

   "Begitulah, eyang, setelah kakang Parno lari pergi, kakangmas Seruling Gading mengantar saya pulang."

   Kakek itu mengangguk-angguk dan memandang kepada Parmadi.

   "Anak-mas telah menolong cucuku Sarti, kami berterima kasih sekali."

   "Kanjeng eyang, seyogianya kalau kita semua berterima kasih kepada Gusti Allah, karena hanya Dia Maha Penolong, bukan kepada saya."

   "Heh-heh-heh, andika seorang pemuda yang bijaksana. Dari mana andika datang dan hendak ke manakah, anak-mas?"

   "Saya berasal dari lereng Gunung Lawu, eyang dan baru saja saya turun gunung untuk pergi merantau. Ketika saya melihat nimas Sarti hendak dipaksa ikut pergi pemuda itu, terpaksa saya turun tangan dan niendengar bahwa ia tinggal di sini bersama eyang, hati saya tertarik ingin bertemu dengan eyang yang arif bijaksana."

   "Dan ke manakah andika hendak pergi."

   "Ke mana saja kedua kaki ini membawa saya pergi, eyang."

   "Aku melihat bahwa andika seorang pemuda yang sakti mandraguna. Akan sia-sialah andika mengorbankan sekian banyak waktu, tenaga dan pikiran kalau semua kepandaian itu tidak andika pergunakan dengan benar. Juga dia yang pernah mendidik dan mengajarmu tentu akan menjadi kecewa kalau apa yang selama ini andika pelajari tidak andika manfaatkan untuk pekerjaan yang berguna."

   "Kanjeng eyang adalah seorang yang arif bijaksana, oleh karena itu saya mohon petunjuk eyang."

   Kyai Brenggolo Sidhi mengangguk-anguk, lalu dia menundukkan mukanya dan memejamkan kedua matanya, seolah hendak menutup kedua mata badan yang hanya menghalangi ketajaman mata batinya. Dengan kedua mata masih terpejam dia berkata lirih dan lembut.

   Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kanjeng Sultan Agung sedang menghimpun kekuatan untuk menentang bangsa kulit putih yang hendak menguasai nusantara. Tidak ada pekerjaan lebih sempurna bagi seorang satria selain mengabdi kepada raja yang arif bijaksana untuk membela tanah air dan bangsa. Berangkatlah andika dan pergunakan perahu mengikuti aliran Bengawan Solo. Gusti Sultan sedang berusaha menundukkan Madura, Surabaya dan Giri untuk menyusun dan mempersatukan kekuatan. Bantulah Mataram, anak-mas Seruling Gading."

   Setelah berkata demikian, kakek itu membuka kedua rnatanya, memandang pemuda itu dan bertanya.

   "Sudah mengertikah andika akan petunjuk tadi, anak-mas?"

   Parmadi mengangguk. Dalam hatinya dia merasa girang sekali karena petunjuk yang diberikan kakek itu sungguh sejalan dengan pendiriannya. Gurunya, Ki Tejo Wening adalah seorang yang mendukung Mataram, walaupun hal itu tidak dinyatakan dengan terang-terangan.

   "Terima kasih, kanjeng eyang. Saya akan melaksanakan apa yang eyang tunjukkan."

   "Akan tetapi, kakangmas Seruling Gading tentu tidak akan berangkat sekarang juga, bukan? Kami.... saya ingin kakangmas tinggal lebih lama di sini agar kami dapat mengenal andika lebih baik!"

   Kata Sarti.

   "Terima kasih, Sarti. Aku harus melanjutkan perjalananku karena masih banyak yang harus kulakukan,"

   Kata Par madi.

   "Anak-mas Seruling Gading benar, Sarti. Menurut perhitunganku, dia bahkan harus berangkat sekarang juga dan hal ini justeru demi kebaikanmu sendiri,"

   Kata Kyai Brenggolo Sidhi.

   "Demi kebaikan saya, eyang? Apa yang eyang maksudkan?"

   "Jangan bertanya, tak dapat aku memberi tahu, percaya sajalah! Nah, anak-mas Seruling Gading, berangkatlah sekarang juga. Kebetulan kami mempunyai sebuah perahu di tepi bengawan. Pergunakan perahu itu, kami berikan kepadamu."

   "Tapi, eyang. Eyang sendiri dan nimas Sarti tentu membutuhkan perahu itu. Biar saya berjalan kaki saja menyusuri tepi bengawan."

   "Ah, tidak, anak-mas. Berjalan kaki akan makan waktu terlalu lama. Pakailah perahu kami itu. Tak lama lagi kami akan mendapatkan perahu lain."

   Parmadi masih meragu.

   "Terima saja kakangmas. Eyang selalu berkata benar, dan akupun percaya bahwa kami akan mendapatkan perahu lain seperti kata eyang, walaupun aku tidak tahu dari mana dan bagairnana datangnya."

   "Sarti, ajak anak-mas Seruling Gading ke tepi bengawan dan serahkan perahu itu kepadanya. Berangkatlah sekarang juga, anak-mas. Selamat jalan dan semoga Gusti Allah akan selalu membimbingrnu."

   "Mari, kakangmas!"

   Kata Sarti.

   "Terirna kasih atas budi kebaikan eyang...."

   "Heh-heh, bukankah kita sudah sepakat bahwa hanya kepada Gusti Allah saja kita berterima kasih? Berangkatlah anak-mas. Kelak kalau Gusti Allah menghendaki, kita akan dapat saling berjumpa pula."

   "Selarnat tinggal, eyang. Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh."

   Parmadi memberi salam.

   "Waalaikum salaam""!"

   Gumam kakek itu yang mengantar sampai di pintu dan mengikuti bayangan Parmadi dan Sarti yang berjalan menuju ke tepi bengawan.

   Setelah tiba di tepi bengawan, Sarti lalu. menyerahkan sebuah perahu kecil dengan dayungnya kepada Parrnadi. Perahu itu ditarnbatkan kepada sebatang pohon di tepi bengawan. Setelah pemuda itu duduk di dalarn perahu, Sarti berkata sambil tersenyurn.

   "Selamat jalan, kakangmas. Andika seorang pemuda satria yang gagah perkasa dan budirnan. Aku kagum sekali kepadamu andika, kakangmas Seruling Gading."

   Parmadi juga tersenyum.

   "Akupun kagum sekali padarnu, nimas Sarti. Andika seorang gadis dusun yang luar biasa, ayu, pintar, bijaksana dan setia. Semoga engkau hidup berbahagia bersama Parno kelak. Selamat tinggal, Sarti."

   Perahu meluncur ke tengah lalu hanyut terbawa aliran air. Parmadi menoleh dan melihat gadis itu melambaikan tangan. Diapun melambaikan tangan. Gadis pilihan, satu di antara seribu, pikirnya. Tidak akan mudah melupakan seorang gadis seperti Sarti.

   Karena perahu kecil itu sudah hanyut terbawa aliran air bengawan, maka ditambah tenaga dayungnya, perahu meluncur dengan cepat sekali ke depan. Parmadi menghela napas panjang dan merasa bersyukur. Benar juga ucapan Kyai Brenggolo Sidhi. Kalau dia berjalan kaki menyusuri sungai, selain lelah, juga akan memakan banyak waktu.

   Apalagi terkadang tepi sungai merupakan daerah yang sukar dilalui dengan jalan kaki, ada yang merupakan rawa, ada pula dipenuhi semak belukar dan ada yang berupa tebing yang curam. Dengan perahu, maka perjalanannya tidak melelahkan dan juga tidak menghadapi kesulitan di samping dapat cepat sekali.

   Matahari mulai condong ke barat dan Parmadi merasa perutnya lapar. Tiba-tiba dia melihat lima buah perahu meluncur dari pinggir bengawan dan memotong jalan menghadangnya. Dia melihat seorang pemuda di atas sebuah perahu terdepan memberi isyarat dengan tangan agar supaya dia menepi.

   "Minggir! Cepat mendarat di tepi bengawan atau kami terpaksa akan menggulingkan perahumu!"

   Bentak pemuda dan kalau tadinya Parmadi tidak mengenal pemuda itu, kini suara pemuda mengingatkannya dan tahulah dia bahwa pemuda itu bukan lain adalah Parno! Lima buah perahu itu siap menghadangnya dan agaknya ucapan Parno itu bukan gertakan kosong belaka.

   Parmadi mendayung perahunya ke tepi dan setelah melompat ke darat, dia menyeret perahunya ke tepi bengawan yang landai. Ketika dia menengok, dia melihat Parno datang menghampirinya. Di sampingnya berjalan seorang laki-laki berkepala gundul, bermuka bulat dan semua anggauta tubuhnya mendatangkan kesan bulat, bermata lebar, berusia kurang lebih lima puluh tahun. Di belakang kedua orang ini terdapat pula tujuh orang laki-laki yang dari sikapnya seperti jagoan-jagoan yang suka mengandalkan kekuatan dan kekerasan. Hemm, agaknya Parno nembawa kawan-kawannya, piker Parmadi yang herdiri dengan sikap tenang waspada.

   Dengan cepat sembilan orang itu tiba di depan Parmadi. Setelah dia berdiri berhadapan dengan Parno dan kawan-kavamnya, Parmadi bertanya dengan suara lembut.

   "Kiranya andika, Parno? Ada urusan apakah andika rnenghadang perjalananku dan rnenyuruhku minggir?"

   Wajah Parrno yang tampan itu tampak marah.

   "Ki-sanak, sebelum kita bicara lebih lanjut, katakana dulu siapa namamu?"

   "Sebut saja aku Seruling Gading,"

   Kata Parmadi.

   Parno memandang ke arah suling yang terselip di pinggang Parmadi dengan alis berkerut.

   "Seruling Gading, engkau tahu mengapa aku menghadangmu. Kita harus menyelesaikan urusan kita!"

   "Parno, di antara engkau dan aku tidak ada urusan apapun. Lebih baik kau tinggalkan kawan-kawanmu ini kembalilah kepada Sarti. Ia menunggumu dengan hati penuh kasih dan kesetiaan."

   "Tutup mulutmu!"

   Parno membentak nyaring. Agaknya ucapan Parmadi itu bagaikan minyak menyiram api, membuat kemarahannya berkobar.

   "Justeru kelancanganmu mencampuri urusanku dengan kekasihku sendiri yang memaksaku harus membuat perhitungan denganmu. Engkau harus membayar apa yang kaulakukan kepadaku tadi, merendahkan aku di di mata kekasihku!"

   "Parno, tenang dan sabarlah. Sarti sama sekali tidak memandang rendah kepadamu. Bahkan ia memujimu sebaga seorang pemuda gagah. Akan tetapi kukira dia benar-benar akan merasa kecewa dan memandang rendah padamu kalau ia kini lihat betapa engkau menghadangku dengan kawan-kawanmu ini. Engkau yang dianggapnya gagah berani itu ternyata hanya seorang pengecut yang

   hendak mengandalkan banyak orang untuk mengeroyok aku!"

   "Manusia sombong!"

   Bentak Parno. Siapa yang hendak mengeroyokmu? Aku bukan pengecut seperti yang kaukira. Aku memang sudah kalah bertanding melawanmu. Paman Gandarwo, guru teman-temanku, merasa penasaran dan marah mendengar akan kekalahanku dan dialah yang akan mewakili aku memberi hajaran padamu yang telah lancang mencampuri urusan pribadiku!"

   Parmadi kini memandang kepada laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun yang berdiri di sebelah kanan Parno itu. Orang itu rnemiliki tubuh yang serba bulat sehingga tampak lucu. Setelah mendengar ucapan Parno, laki-laki yang disebut bernama Gandarwo itu menanggalkan bajunya sehingga tampak tubuh atasnya yang gendut bulat, dada yang mempunyai dua tonjolan buah dada seperti wanita.

   "Uhh.... badanku pegal-pegal. Anak-anak, coba kalian pijiti dulu badanku sebelum aku bertanding supaya segar!"

   Mendengar ini, dua orang laki-lak yang berdiri di belakangnya lalu mencabut senjata mereka. Seorang mencabut sebuah klewang (golok) dan yang kedua mencabut sebatang keris. Kemudian, setelah si gundul itu menganggukkan kepalanya yang bulat kelimis, dua orang muridnya itu lalu menyerangnya dengan klewang dan keris mereka. Keris meluncur dan menusuk perut pada saat klewang menyambar membacok leher.

   "Plak! Tuk!"

   Klewang dan keris itu terpental seolah serangan tadi mengenai benda dari karet yang kenyal dan kuat sekali! Dua orang itu menyerang terus secara bertubi-tubi keris itu menusuk-nusuk dan klewang itu membacok-bacok di bagian tubuh sebelah atas, dari pinggang sampai kepala. Kepala yang gundul itupun tidak luput dari sasaran, akan tetapi kalau dibacok atau ditusuk, hanya terdengar suara tak-tuk-tak-tuk dan kepala itu sama sekali tidak terluka.

   

Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Nona Berbaju Hijau Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini