Seruling Gading 18
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Bagian 18
Para murid Bromo Dadali dan keluarga mereka yang tidak bertugas keluar perkampungan, menjadi gempar ketika dua puluh lima orang penunggang kuda yang rata-rata gagah dan menyeramkan itu memasuki perkampungan mereka. Di antara mereka yang sudah mendengar; dari para murid yang pernah dikalahkan Dibyasakti, menjadi gentar. Akan tetapi mereka yang belum mendengar, menjadi terkejut, penasaran dan marah. Segera mereka mengambil senjata dan dua puluh orang itu dikepung oleh puluhan orang murid Bromo Dadali.
"Heiii! Orang-orang Bromo Dadali!"
Dibyasakti berteriak dengan suara yang lantang dan berwibawa.
"Kami dari Kadipaten Arisbaya datang bukan sebagai musuh, melainkan hendak menjalin persahabatan dengan Bromo Dadali. Aku, Raden Dibyasakti, senopati muda Arisbaya, mempersilakan Ki Ageng Branjang, ketua kalian, untuk keluar dan bicara denganku!"
Tiba-tiba terdengar suara orang, lantang kuat namun halus.
"Para murid Bromo Dadali, mundurlah! Raden Dibyasakti dari Arisbaya, akulah Ki Ageng Branjang ketua Bromo Dadali!"
Semua murid membuka jalan dan mundur sehingga guru mereka kini berhadapan dengan Dibyasakti yang sudah melompat turun dari atas kudanya yang kini dituntun kendalinya oleh seorang di antara para pengikutnya. Pemuda yang gagah perkasa ini memandang ke depan dan dia melihat seorang laki-laki lima puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus, berwajah tampan dengan sepasang mata mencorong, berdiri tegak dengan sikap tenang namun gagah sekali. Tangan kanan laki-laki ini memegang sebatang tombak yang gagangnya ditekan di atas tanah dan mata tombak itu berkilauan mendatangkan wibawa yang ampuh. Itulah tombak pusaka Kyai Jamus yang terkenal ampuh sekali. Melihat keadaan orang itu, Dibyasakti terpengaruh juga dan dia melangkah maju, kecongkakannya agak berkurang. Dia tersenyum lebar dan menghampiri, lalu berdiri di depan ketua Bromo Dadali itu dalam jarak tiga meter. Dia memberi hormat dengan membungkuk dan suaranya terdengar ramah ketika dia berkata.
"Ah, kiranya paman Ki Ageng Branjang telah berkenan menemui saya. Saya gembira sekali dapat bertemu dengan paman."
Namun hati Ki Ageng Branjang yang panas tidak dapat didinginkan begitu mudah oleh sikap ramah Dibyasakti.
"Raden Dibyasakti, entah keperluan apa yang membawa andika datang berkunjung. Akan tetapi, mendengar laporan para murid bahwa lima hari yang lalu andika memamerkan kepandaian merobohkan murid-murid kami, kami kira maksud kunjungan andika ini tidak membawa niat baik."
"Ah, sama sekali tidak, paman. Kedatangan saya ini sebagai utusan Gusti Adipati di Arisbaya dan juga mewakili ayah saya Ki Harya Baka Wulung, selain itu sebagai senopati muda Arisbaya untuk membicarakan sesuatu yang amat penting dengan paman. Marilah, paman, kita bicara di dalam saja, tidak baik membicarakan urusan penting di luar seperti ini."
"Kalau hendak membicarakan urusan penting, mengapa harus memamerkan kesaktian dan merobohkan murid-murid Bromo Dadali?"
"Itu hanya merupakan kesalahpahaman belaka, paman. Percayalah, kunjungan saya ini sebagai sahabat."
Mendengar bahwa pemuda ini adalah putera Ki Harya Baka Wulung, di dalam hatinya Ki Ageng Branjang terkejut sekali dan dia tidak merasa senang karena dia sudah mendengar betapa tokoh Madura ini menghasut banyak orang untuk memberontak terhadap Mataram.
"Hemm, Raden Dibyasakti, katakanlah saja dulu apa keperluan penting itu untuk kupertimbangkan apakah hal ini perlu dirundingkan di dalam atau cukup di sini saja,"
Kata Ki Ageng Branjang yang masih merasa penasaran mendengar betapa lima hari yang lalu lima orang muridnya dirobohkan oleh pemuda tinggi besar yang berwajah bengis ini.
Mendengar ucapan ketua Bromo Dadali yang tegas dan tidak ramah itu, Raden Dibyasakti tersenyum rnengejek, lalu tangan kirinya memuntir kedua ujung kumisnya.
"Heh-heh, baiklah, paman kalau itu yang andika kehendaki. Dengar baik-baik, paman. Gusti Adipati Arisbaya dan Bapa Ki Harya Baka Wulung mengirim salam dan mengulurkan tangan persahabatan untuk paman di sini."
"Kami menerima salam dan uluran tangan persahabatan itu, anakmas,"
Jawab Ki Ageng Branjang singkat.
"Adapun kepentingan kedua, paman. Demi persahabatan itu, kami dari Kadipaten Arisbaya mengajak perguruan Bromo Dadali untuk bekerja sama menentang Mataram yang angkara murka, yang telah menaklukkan banyak daerah namun masih belum puas dan ingin merampas daerah kita semua. Marilah kita menggalang persatuan untuk menentang Sultan Agung yang angkara murka itu, paman!"
Ki Ageng Branjang tersenyum, hatinya semakin panas. Jawaban seperti itu memang sudah diduganya lebih dahulu.
"Anakmas Dibyasakti, andika tadi mengulurkan tangan persahabatan dan sudah kami terima. Satu di antara syarat persahabatan yang baik adalah saling tidak mencampuri urusan pribadi masing-masing. Kalau Kadipaten Arisbaya atau seluruh Madura memusuhi Mataram, urusan itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan perguruan Bromo Dadali. Perlu kami mengakui bahwa kami adalah kawula yang sudah mengakui kedaulatan dan kekuasaan Kerajaan Mataram dan kami tidak ingin memberontak. Oleh karena itu, terpaksa kami menolak ajakanmu untuk menentang Mataram itu."
Mendengar jawaban ini, sepasang mata . Raden Dibyasakti melotot, mukanya merah sekali, alisnya yang hitam tebal berkerut dan kedua tangannya dikepal. .
"Ki Ageng Branjang!"
Bentaknya dengan nada tidak menghormati lagi.
"Orang yang tidak mau bekerja sama dengan kami untuk menentang Mataram berarti menjadi musuh kami karena orang itu tentu menjadi antek Mataram!"
"Babo-babo, Dibyasakti! Omonganmu kementus dan mau menang sendiri! Kami bukan antek Mataram, akan tetapi sebagai kawula kami setia kepada Kerajaan Mataram! Jangan harap untuk menarik kami menjadi pemberontak. Kalau memang berani lawanlah sendiri Mataram, jangan membujuk orang lain untuk ikut-ikutan!"
"Keparat! Kalau begitu perguruan Bromo Dadali bukan menjadi sahabat kami, melainkan musuh kami!"
Kata Dibyasakti.
"Terserah kepadamu, Dibyasakti. Kami mau menjadi sahabat untuk urusan yang baik. Akan tetapi kalau untuk memberontak terhadap Mataram, kami tidak sudi dan kalau karena itu andika hendak memusuhi kami, silakan. Kami tidak takut!"
Kata Ki Ageng Branjang yang juga sudah marah.
"Ha-ha-ha! Bagus, mari kita buktikan siapa yang lebih digdaya dengan mengadu kesaktian!"
Kata Dibyasakti sambil melayangkan pandang matanya menyapu banyak murid perguruan Bromo Dadali yang sudah berkumpul di pekarangan yang luas itu.
"Ki Ageng Branjang, andika hendak bertanding satu lawan satu seperti seorang gagah atau hendak mengandalkan banyak murid untuk mengeroyok seperti watak pengecut?"
"Dibyasakti, manusia sombong! Kami bukan pengecut dan takkan mundur selangkahpun untuk melawanmu!"
"Bagus, Ki Ageng Branjang. Andika berani menantangku?"
"Andika yang datang ke sini mencari permusuhan, bukan kami!"
"Kalau begitu, hayo majulah dan siapa pun boleh melawan aku! Ha-ha, Ki Ageng Branjang, hendak kulihat sampai di mana kemampuanmu maka andika berani membuka perguruan silat di sini. Majulah, dan kalau engkau takut, boleh juga maju mengeroyokku!"
Tantang Dibyasakti.
"Kita bertanding satu lawan satu. Bersiaplah!"
Bentak Ki Ageng Branjang dan dia sudah melintangkan tombak pusaka Kyai Jamus.
"Nanti dulu! Harus memakai perjanjian lebih dulu. Kalau aku kalah dalam pertandingan ini, aku akan pergi tanpa banyak cakap lagi. Akan tetapi kalau andika yang kalah, Ki Ageng Branjang, andika harus berjanji akan membantu kami melawan Mataram bersama semua muridmu."
"Tidak sudi! Kalau aku kalah olehmu, andika boleh melakukan apa saja kepadaku, boleh membunuhku, akan tetapi kami tetap tidak sudi membantumu memberontak kepada Mataram!"
Kata Ki Ageng Branjang.
"Baiklah, kalau begitu, bersiaplah untuk mampus!"
Bentak Dibyasakti sambil mencabut keris pusakanya yang bernama Keris Pusaka Margoleno. Sinar yang menyeramkan tampak ketika keris itu dicabut.
Pada saat kedua orang itu sudah siap untuk saling menyerang dengan senjata pusaka masingmasing,
tiba-tiba terdengar seruan suara wanita yang nyaring.
"Tahan dulu!"
(Lanjut ke Jilid 18)
Seruling Gading (Seri ke 02 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 18
Semua orang terkejut dan menoleh. Ki Ageng Branjang juga mundur dan mengangkat muka memandang. Seorang gadis berlari cepat ke arah tempat itu, diikuti seorang pemuda. Setelah mereka datang dekat, Ki Ageng Branjang berseru, girang dan juga heran.
"Muryani...!"
"Bapa guru...!"
Muryani menghampiri lalu menyembah. Kemudian ia berbalik menghadapi Dibyasakti dan berkata.
"Bapa guru, apakah kadal ini mengganggu bapa guru? Biarkan saya yang
akan menghajarnya!"
Semua orang terkejut mendengar gadis itu memaki kadal kepada senopati muda dari Arisbaya yang digdaya itu.
"Muryani, aku girang engkau datang. Aku sudah merasa kangen kepadamu, nak. Akan tetapi minggirlah dulu, biar kuhadapi dulu orang Arisbaya yang datang mencari keributan ini. Dia bukan lawanmu, Muryani."
"Tidak, bapa guru. Membunuh seekor cacing tanah, mengapa harus menggunakan pedang? Cukup diinjak saja akan mampus! Menghadapi kadal macam ini tidak perlu bapa guru sendiri yang maju. Untuk apa bapa mempunyai murid-murid? Biar saya mewakili bapa menghajarnya!"
Kata pula Muryani dengan sikap gagah.
Sejak tadi Dibyasakti memandang dan terpesona. Dia memang seorang yang mata keranjang. Matanya berminyak dan haus kalau melihat wanita cantik. Kemunculan Muryani membuat jantungnya berdebar dan berahinya naik ke ubun-ubun. Mendengar mulut yang manis itu mengeluarkan ucapan-ucapan yang memaki, memandang rendah dan menghinanya, dia tidak marah malah tertawa bergelak, memuntir kumisnya dan menyimpan kembali keris pusakanya.
"Ha-ha-ha, kiranya perguruan Bromo Dadali mempunyai murid yang begini denok ayu, begini manis merak ati! Engkau hendak mewakili gurumu melawanku, juwita? Bagus, majulah agar dapat kutangkap, kurangkul dan kudekap. Aku sudah rindu untuk menciumi niukamu yang jelita itu!"
Mendengar ucapan ini, beberapa orang murid pria Bromo Dadali menjadi marah sekali. Mereka ini merasa malu kalau membiarkan Muryani sebagai murid perempuan mewakili guru mereka. Bagaimanapun juga mereka adalah murid laki laki dan tentu saja lebih tangguh dibandingkan Muryani. Kalau Muryani saja begitu gagah berani membela guru dan perguruannya, mengapa mereka tidak? Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar dan tampak kuat, bertenaga besar segera melompat ke depan Muryani, membelakangi gadis itu dan menghadapi Dibyasakti.
"Dibyasakti, laki-laki macam apa engkau ini, bisanya hanya menghina seorang wanita! Adik Muryani bukan lawanmu, akulah lawanmu. Sambut ini, hyaaaaattt"..!"
Dia sudah menerjang dengan pukulan tangan kanan, cepat dan kuat sekali serangannya itu. Melihat seorang kakak seperguruan mendahuluinya, terpaksa Muryani melangkah mundur di samping gurunya dan menonton pertandingan antara murid Bromo Dadali melawan Dibyasakti itu. Senopati muda putera Ki Harya Baka Wulung itu menyeringai dan menggerakkan tangan kirinya menangkis dari dalam.
"Dukkk...!"
Pukulan yang tertangkis itu terpental dan Dibyasakti menggerakkan tangan kanan menampar ke arah muka lawan. Akan tetapi murid Bromo Dadali itupun dapat mengelak dengan cepat walaupun tubuhnya agak goyah oleh tangkisan yang terasa amat kuat itu. Segera terjadi perkelahian tangan kosong yang hebat.
"Hmmm, dia tangguh sekali. Bukan lawanmu, Muryani. Jangan maju agar tidak sampai terhina olehnya,"
Kata Ki Ageng Branjang dan guru ini merasa prihatin karena dari pertandingan itu saja dia dapat melihat betapa tingkat muridnya jauh kalah tinggi, juga muridnya kalah jauh dalam hal kekuatan tenaga dalam. Dugaannya benar karena setelah lima enam gebrakan, tiba-tiba Dibyasakti membentak keras, kakinya yang besar panjang mencuat dan tubuh murid Bromo Dadali itu terlempar dan terbanting ke atas tanah.
"Ha-ha-ha, sebegini sajakah kepandaian murid Bromo Dadali?"
Dia lalu memandang kepada `Muryani dan menggerakkan tangan menggapai.
"Marilah, manis. Mari kita main-main, aku ingin
merasakan kelembutan dan kehangatan tanganmu!"
Muryani sudah hendak maju, akan tetapi seorang murid laki-laki Bromo Dadali yang lain tak dapat menahan kemarahannya. Dia sudah mendahului maju dan langsung menyerang Dibyasakti. Terjangannya juga hebat karena dia melompat dan langsung mengirim tendangan kilat ke arah dada lawan. Serangan itu merupakan sebuah tendangan terbang yang dalam ilmu silat perguruan mereka disebut jurus Dadali (Walet) Mencengkeram Ranting. Kedua tangan dikembangkan ketika melompat dan kedua kaki menghantam ke arah dada lawan.
Akan tetapi Dibyasakti tidak menjadi gugup menghadapi serangan dahsyat ini. Kakinya bergeser ke kiri, tubuhnya diputar dan kedua tangannya membuat gerakan memotong dari samping dengan pengerahan tenaga saktinya.
"Wuuuttt... krekkk...!"
Kedua tulang kering kaki itu dihantam kedua tangan miring Dibyasakti dan murid Bromo Dadali itu terpelanting roboh, tidak mampu bangkit lagi karena kedua tulang kakinya patah! Para rekannya lalu menolongnya dan menggotongnya keluar dari arena pertandingan.
Murid ketiga hendak maju, akan tetapi Ki Ageng Branjang yang maklum bahwa para muridnya tidak akan ada yang mampu menandingi Dibyasakti dan dia tidak ingin melihat murid-muridnya berjatuhan dan cidera, membentak.
"Semua diam di tempat! Tidak boleh ada yang maju!"
Para murid, betapa marah dan penasaranpun, tidak berani bergerak. Akan tetapi Muryani memegang lengan gurunya dan berkata.
"Bapa guru, perkenankan saya mewakili bapa guru. Tidak sepatutnya bapa turun tangan sendiri menghadapi kadal buduk macam ini!"
Ketika memegang pergelangan tangan kanan gurunya, Muryani sengaja mengerahkan tenaga saktinya. Ki Ageng Branjang terkejut bukan main ketika merasa betapa telapak tangan yang lembut dan hangat itu tiba-tiba mengeluarkan hawa yang luar biasa kuatnya. Sebentar ada hawa panas membara kemudian tiba-tiba berubah menjadi dingin membeku, lalu panas lagi. Dia mencoba untuk mengerahkan tenaga saktinya melawan tenaga aneh itu, akan tetapi merasa betapa tenaga saktinya tertolak balik. Jelas bahwa Muryani memiliki tenaga sakti yang amat aneh dan jauh lebih kuat daripada tenaga saktinya sendiri. Dia memandang heran kepada muridnya yang cantik itu dan Muryani memberi isyarat dengan kedipan mata penuh arti. Ki Ageng Branjang mengangguk, mengerti bahwa muridnya ini sekarang telah menjadi seorang yang sakti mandraguna!
"Baiklah, Muryani, engkau boleh maju mewakili aku untuk menandingi Dibyasakti, akan tetapi berhati-hatilah dan jangan membikin malu perguruan Bromo Dadali!"
Kata Ki Ageng Branjang dengan suara lantang karena merasa gembira. Tadinya dia sudah merasa prihatin bahkan putus asa karena dia dapat menilai bahwa tingkat kepandaiannya sendiri besar kemungkinannya tidak akan mampu menandingi kedigdayaan Dibyasakti. Kini kemunculan muridnya yang terkasih itu, yang kini datang membawa kepandaian yang luar biasa, agaknya akan mampu mempertahankan kehormatan perguruan Bromo Dadali!
"Jangan khawatir, bapa."
Beberapa orang murid utama Bromo Dadali maju dan menyatakan keberatan mereka.
"Akan tetapi, bapa guru! Bagaimana adi Muryani diharuskan melawan dia? Biarlah kami yang menjadi korban, bukan murid perempuan!"
"Para kadang sepuh (saudara tua) seperguruan!"
Kata Muryani.
"Kuharap andika sekalian tidak khawatir. Aku merasa yakin akan dapat menghajar kadal busuk ini. Kalau dia tidak dihajar, maka dia akan menganggap Bromo Dadali perguruan yang lemah. Minggir dan silakan nonton saja."
Kemudian ia maju mendekati Dibyasakti dan menudirigkan telunjuk tangan kirinya ke arah hidung senopati muda itu.
"Heh, kamu kadal monyet anjing celeng buruk! Hayo maju kalau memang kamu berani, jangan hanya menggonggong seperti anjing budukan! Eh, kakangmas Satya, harap jangan ikut
campur. Engkau nonton saja, nanti kuperkenalkan kepada bapa guru dan saudara-saudara seperguruanku!"
Satyabrata tersenyum, mengangguk dan berdiri di tepi lingkaran yang menjadi arena pertandingan itu. Betapapun juga, diam-diam dia siap melindungi gadis yang dicintanya. Akan tetapi juga hatinya merasa gelisah. Tadi dia mendengar bahwa orang muda gagah itu adalah Raden Dibyasakti, selain menjadi senopati muda Arisbaya juga putera Ki Harya Baka Wulung! Padahal saat ini Arisbaya dan seluruh Pulau Madura sedang bersiap-siap perang melawan Mataram. Tentu saja pihak Kumpeni Belanda diam-diam mendukung siapa saja yang bermusuhan dengan Mataram. Dengan sendirinya sebagai orang Kumpeni dia condong berpihak Dibyasakti. Kalau saja di situ tidak ada Muryani, sudah pasti dia akan membantu Dibyasakti menghadapi perguruan Bromo Dadali yang tidak mau diajak bekerja sama menentang Mataram. Akan tetapi saat itu, Dibyasakti berhadapan dengan Muryani sebagai lawan. Tentu saja dia tidak mau menentang gadis yang membuatnya tergila-gila dan yang benar-benar telah merebut hatinya itu. Maka diapun hanya berdiri menonton dengan hati bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Sementara itu, betapapun cantik jelitanya gadis itu, namun kata-kata yang keluar dari mulutnya terlampau menghina, maki-makiannya terlalu merendahkan dirinya, padahal makimakian itu diucapkan di depan banyak orang, maka tentu saja wajah Dibyasakti menjadi merah padam dan bulu kumisnya seolah bangkit berdiri. Hatinya menjadi panas sekali.
"Perawan liar! Akan kutelanjangi kau, akan kupermalukan kau, akan kuhina kau sampai menyembah-nyembah di depan kakiku!"
Bentaknya.
"Hi-hik, apa katamu? Kau berani? Kau bisa? Rupamu macam begitu, seperti anjing banyak menggonggong tidak akan menggigit. Coba berani menggigit, tumit kakiku tentu akan rnerontokkan gigimu yang besar-besar itu!"
Muryani sengaja mengejek untuk membuat lawan lebih marah lagi.
Dari gurunya yang kedua, Nyi Rukmo Petak, ia pernah diberi tahu bahwa kemarahan yang besar amat mengurangi kewaspadaan. Maka, kalau ia dapat membuat lawan marah, maka dapat dikatakan bahwa kekuatan lawan sudah berkurang dan kewaspadaannyapun menjadi lengah. Ia tadi juga melihat bahwa lawan ini sesungguhnya seorang yang sakti dan ia sama sekali tidak berani memandang remeh. Kalau ia bersikap seolah meremehkan dan memandang rendah, itu hanya siasat gadis cerdik ini untuk membuat Dibyasakti diguncang kemarahannya sendiri. Dan hasilnya memang baik. Senopati muda yang belum pernah ada yang berani menghinanya itu, sekali ini merasa dihina dan direndahkan sehingga dia marah sekali. Matanya mendelik, napasnya mendesis dan ketika dia mengepal kedua tangan sambil mengerahkan tenaga, terdengar bunyi berkerotokan dari buku-buku jari tangannya. Semua murid perguruan Bromo Dadali memandang dengan hati tegang bercampur gelisah. Mereka merasa gentar dan khawatir akan nasib Muryani yang harus melawan raksasa muda sedahsyat itu. Bahkan Ki Ageng Branjang juga mulai menyesal mengapa dia membolehkan murid perempuannya itu menandingi Dibyasakti.
Kalau dia yang maju dengan tombak pusakanya, biarpun belum tentu menang, setidaknya ilmu tombaknya tentu akan mampu mengadakan perlawanan yang cukup gigih. Pula, dia tidak akan menyesal seandainya dia tewas mempertahankan kehormatan Bromo Dadali. Akan tetapi Muryani? Kasihan kalau sampai gadis itu menjadi korban, apalagi ancaman Dibyasakti tadi sungguh mengerikan. Gadis itu akan dipermalukan dan diperhina yang bagi seorang gadis tentu saja lebih hebat daripada kematian! Akan tetapi dia tidak dapat melakukan apapun untuk mencegah pertandingan yang sudah akan dimulai itu.
"Perawan liar don sombong, bersiaplah engkau!"
Dibyasakti membentak marah, kedua kakinya dipentang lebar dan kedua tangannya dikepal di kedua sisi tubuhnya.
"BOCAH kementus! Aku sudah siap dari tadi! Majulah!"
Kata Muryani dan iapun memasang kuda-kuda kembangan. Kedua kakinya berjingkat, tubuh agak bungkuk dan kedua lengan dikembangkan, sikapnya seperti seekor burung hendak terbang. Inilah pernbukaan ilmu silat perguruan Bromo Dadali yang dikenal semua murid yang berada di situ, yaitu yang disebut jurus Dadali Anglayang (Walet Melayang)! Gerakannya dernikian luwes dan manis, namun gagah juga. Apalagi Muryani seperti mengejek, mulutnya tersenyum manis, matanya mengerling ke arah lawan karena kepalanya dimiringkan seperti kepala burung walet yang memandang dari angkasa! Melihat gerakan pembukaan yang dianggapnya lemah itu, Dibyasakti lalu membuat gerakan dengan kedua tangannya.
"Sambut ini! Hyaaaaahhhh!!"
Kedua tangan itu seperti dua ekor kepala ular, dibuka dan mencengkeram ke arah dada Muryani. Semua orang terkejut dan juga marah karena serangan pertama ini saja sudah menunjukkan betapa kurang ajar dan tidak sopannya pemuda raksasa itu, karena kedua tangan itu jelas dipergunakan untuk mencengkeram ke arah sepasang buah dada gadis itu!
"Hmmm, gerakan lambat seperti kura-kura!"
Muryani mengejek dan dengan mudah saja ia mengelak ke samping. Gerakannya amat tangkas dan cepat sehingga tahu-tahu tubuhnya sudah berada di sebelah kiri Dibyasakti dan sebelum raksasa muda itu memutar tubuhnya, Muryani sudah membuat gerakan cepat sehingga kini ia berada di belakang tubuh lawan. Tangan kanannya dengan jari terbuka kini menghantam ke arah punggung yang lebar dan tebal itu.
Dibyasakti tertawa mengejek. Tubuhnya memiliki kekebalan, apalagi di bagian dada dan punggung. Apalagi hanya tamparan tangan lembut seorang gadis rupawan, bahkan bacokan senjata tajam pun tidak akan dapat melukai kulitnya. Andaikata Muryani menyerangnya dengan senjata tajam, tentu dia akan menangkis atau mengelak karena walaupun punggungnya yang diserang tidak akan terluka, namun bajunya tentu robek. Akan tetapi kalau hanya dipukul tangan kosong, biar pemukulnya seorang laki-laki bertenaga gajah sekalipun, dia akan sanggup menerimanya. Pula, di samping hendak mengejek, diapun hendak memamerkan kekebalannya kepada gadis itu dan para murid Bromo Dadali.
"Terima kasih sebelumnya atas pijatan tanganmu yang lembut dan lunak seperti gudir (agaragar)! Heh-heh!"
Dia mengejek lalu mengerahkan aji kekebalannya menerima pukulan telapak tangan kanan Muryani.
"Wuuuttt". plakk!"
Telapak tangan kanan Muryani bertemu dengan punggung yang dilindungi baju dari kain tebal itu.
"Ha-ha-ha"
Heh-heh-heh". aduuhhh"
Adduhhh".!"
Semua orang terbelalak keheranan. Pemuda raksasa yang tadinya tertawa itu tiba-tiba berjingkrak-jingkrak dan menepuk-nepuk kearah punggung. Di punggungnya, tampak baju itu terdapat tanda hangus dan berlubang dengan cap lima jari tangan!
"Aduuhhh.... panas...!"
Dibyasakti maklum bahwa lawan menggunakan tenaga sakti yang amat panas dan ampuh. Dia cepat mengerahkan tenaga saktinya untuk melawan sehingga rasa panas itu berangsur hilang. Akan tetapi baju di punggungnya sudah berlubang dengan cap tangan. Dibyasakti menyesali diri sendiri. Dia terlalu memandang rendah lawannya. Sama sekali tidak pernah dia mengira bahwa gadis itu memiliki tenaga sakti panas yang demikian ampuhnya.
Dia tahu bahwa perguruan itu memang memiliki aji pukulan yang disebut Aji Bromo Latu dan berhawa panas, akan tetapi pukulan macam itu yang dilakukan para murid perguruan itu sebelumnya tidaklah seberapa kuat. Akan tetapi pukulan gadis ini benar-benar dahsyat dan dia menjadi lengah, termakan kesombongannya sendiri. Kini dia tahu bahwa dia harus menghadapi gadis ini dengan sungguh-sungguh karena ternyata lawannya sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Sementara itu, para murid Bromo Dadali juga terkejut dan heran. Mereka tahu bahwa raksasa muda itu kebal dan sakti, akan tetapi mengapa pukulan yang tidak keras dari Muryani tadi membuat bajunya berlubang dan raksasa muda itu mengaduh kepanasan? Ki Ageng Branjang sendiri juga heran. Jelas bahwa Muryani menggunakan Aji Bromo Latu, akan tetapi tak disangkanya sedemikian hebat kekuatan aji tersebut.
"Keparat, engkau tidak bisa dikasih hati!"
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bentak Dibyasakti marah dan melotot memandang kepada gadis itu.
"Huh, siapa sudi mendapatkan hatimu yang kotor dan busuk itu? Diberi cuma-cuma pun aku tidak sudi!"
Muryani berkata sambil mengernyitkan hidung seolah-olah mencium bau busuk. Mendengar ini dan melihat sikap Muryani yang begitu tabah mempermainkan lawan, para murid Bromo Dadali mulai berkurang kekhawatiran mereka, bahkan sudah ada beberapa orang yang mengeluarkan suara tawa lirih karena geli hatinya. Mendengar ucapan gadis itu yang disusul ketawa cekikikan di sana-sini, hati Dibyasakti menjadi semakin panas.
"Perempuan sombong, bersiaplah menghadapi kematianmu!"
Bentaknya dan kini tanpa banyak cakap lagi dia sudah menerjang dan sekali ini dia menyerang cepat disertai tenaga dalam dan dia tidak menyerang seperti tadi untuk mempermainkan, melainkan menyerang dengan maksud membunuh!
Tahu bahwa musuhnya mulai menyerang sungguh-sungguh dan sedang dilanda kemarahan besar, Muryani tidak berani main-main lagi. Ia pun cepat mengerahkan Aji Kluwung Sakti, yaitu ilmu meringankan tubuh untuk dapat bergerak cepat sekali dan dengan amat mudahnya ia mengelak dari serangan Dibyasakti yang bertubi-tubi. Raksasa muda itu merasa penasaran dan marah sekali. Dia tidak ingin memberi kesempatan kepada lawan untuk membalas, serangannya susul-menyusul, bertubi-tubi dan yang menjadi sasaran adalah bagian-bagian tubuh yang berbahaya dan kalau terkena pukulan dapat mematikan. Namun, gerakan Muryani amat lincahnya, tubuhnya tidak tampak jelas, bagaikan telah berubah menjadi bayang-bayang dan semua pukulan dan tendangan yang dilontarkan Dibyasakti bagaikan mengenai bayang-bayang saja, tidak ada bekasnya!
Tentu saja Dibyasakti terkejut bukan main. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa di tempat ini dia akan bertemu tanding sedemikian hebatnya, apalagi lawannya itu hanya seorang gadis muda! Ki Ageng Branjang juga tertegun dan dia mengangguk-angguk. Pantas saja Muryani berani bersikap demikian meremehkan lawan. Kiranya gadis itu memang telah menjadi seorang yang sakti mandraguna! Memang gadis itu masih mempergunakan gerakan ilmu silat perguruan Bromo Dadali, akan tetapi kecepatan gerakannya itu jelas merupakar aji kesaktian yang lain, yang aneh dan hebat sekali. Dan pukulannya yang mengakibatkan baju di punggung lawan tadi hangus, biarpun itu merupakan Aji Bromo Latu, namun memiliki kekuatan yang luar biasa, jauh melampaui tingkat kekuatannya sendiri. Gadis itu sudah pasti telah mempelajari aji kesaktian dari orang lain selama lima tahun ini.
Kini para murid Bromo Dadali mulai percaya bahwa Muryani mampu menandingi Dibyasakti. Merekapun melihat betapa tubuh gadis itu berubah menjadi bayang-bayang yang berkelebatan di seputar lawannya dan mulailah mereka bertepuk dan bersorak. Sebaliknya, dua losin anak buah Dibyasakti mulai gelisah. Mereka juga bukan orang bodoh dan melihat betapa pemimpin mereka bertemu tanding yang sakti. Mereka tidak berani bergerak, pertama karena tidak ada perintah Dibyasakti, kedua karena kini semua anak buah Bromo Dadali sudah berkumpul dan jumlahnya dua kali lipat lebih banyak daripada jumlah mereka. Mereka semua sudah turun dari atas kuda, hanya menonton sambil memegang kendali kuda masing-masing. Dibyasakti menjadi semakin penasaran dan marah. Dia sudah mengerahkan seluruh kemampuannya, menyerang dengan ganas, dahsyat dan setiap pukulannya mematikan, namun gadis itu selalu dapat menghindarkan diri, bahkan kadang menangkis dari samping dan dia mendapat kenyataan mengejutkan betapa berat dan kuat lengan putih halus mulus kecil yang menangkisnya itu. Beberapa kali tamparan tangan Muryani mengenai pundaknya, bahkan satu kali mengenai dadanya, namun Dibyasakti kini sudah siap siaga dan mengerahkan seluruh tenaga sakti melindungi tubuhnya dengan aji kekebalan sehingga tamparan itu tidak merobohkannya, hanya membuatnya terhuyung sedikit. Kemarahannya kini memuncak.
"Haiiiiiittt.... pecah kepalamu!"
Dia membentak nyaring dan kepalan tangannya sudah menyambar bagaikan kilat ke arah kepala gadis itu. Bayang-bayang lincah itu berkelebat dan tahu-tahu lenyap dari depan Dibyasakti. Raksasa muda itu, terkejut bukan main, namun dia cukup cerdik untuk dapat menduga bahwa gadis itu tentu telah menyelinap ke belakangnya, maka cepat tubuhnya membalik, kakinya mencuat mengirim tendangan yang dahsyat sekali.
Akan tetapi Muryani telah siap siaga. Dengan miringkan tubuh, kaki yang menendang itu lewat di samping tubuhnya dan selagi kaki itu menyambar ke atas, ia cepat menggunakan tangan kanan menyambar tumit kaki yang besar itu dan mengerahkan tenaganya mendorong ke atas.
"Heiiiiitt....!"
Bentak Muryani dan tak dapat dipertahankan lagi, tubuh Dibyasakti yang terdorong oleh kekuatan tendangannya sendiri ditambah dorongan tangan Muryani, melayang ke atas dan ke belakang! Masih untung pemuda raksasa ini memang tangkas dan digdaya. Biarpun tubuhnya terlempar ke atas, ketika turun dia dapat membuat salto jungkir balik sehingga dia tidak sampai terbanting jatuh, walaupun kedua kakinya hinggap di atas tanah tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Melihat ini, semua orang bersorak dan bertepuk tangan. Ki Ageng Branjang juga tersenyum penuh kagum dan gembira melihat kemenangan muridnya.
Bukan Raden Dibyasakti putera tunggal Ki Harya Baka Wulung kalau dia menerima kalah begitu saja. Tidak, dia sama sekali tidak merasa kalah. Dia tadi hanya mempergunakan ilmu silat biasa saja usahanya membunuh gadis yang telah menghinanya itu. Dia masih belum mempergunakan aji pamungkasnya yang paling hebat dan ampuh karena aji-aji ini biasanya hanya dia keluarkan kalau dia menghadapi lawan yang sakti mandraguna. Sekarang ternyata gadis itu benar-benar tangguh maka terpaksa dia harus mengeluarkan aji-aji pamungkasnya.
Tiba-tiba mulut Dibyasakti berkemak-kemik membaca mantera, kemudian dia menekuk kedua lututnya sehingga tubuhnya merendah hampir berjongkok, sikapnya seperti seekor katak raksasa, dari dalam perutnya terdengar bunyi kok-kok-kok dan tiba-tiba dia menyalurkan semua tenaga dari bawah pusar melalui kedua lengannya lalu mendorong ke arah Muryani dengan kedua telapak tangan terbuka. Hawa yang amat dahsyat keluar dari kedua telapak tangan itu menyambar ke arah lawan. Inilah Aji Cantuka Sakti (Katak Sakti) yang merupakan satu di antara pukulan jarak jauh yang diandalkan oleh Ki Harya Baka Wulung dan yang hanya diajarkan kepada puteranya.
Muryani sudah waspada. Gadis perkasa ini sudah mendapat banyak pelajaran dari mendiang Nyi Rukmo Petak. Ia mengenal aji dahsyat yang dipergunakan lawan untuk menyerangnya dari jarak jauh. Maka cepat tubuhnya sudah melesat ke atas dan sebaliknya kini gadis itu menyerangnya dengan aji pukulan jarak jauh yang tidak kalah dahsyatnya, menyambar dari atas bagaikan halilintar! Cepat diapun mendorongkan kedua tangannya menyambut serangan itu.
"Wuuuuttt". blaaarrrr ....!"
Dua tenaga sakti yang dahsyat bertemu di udara dan semua orang merasakan guncangan hebat! Akibat bertemunya dua tenaga dahsyat itu, tubuh Muryani terlontar kembali ke atas. Bagaikan seekor burung walet yang gesit, tubuh itu membuat salto, berjungkir balik sampai lima kali baru turun ke atas tanah dengan tegak. Hanya mukanya saja menjadi agak pucat namun mulutnya tersenyum. Sebaliknya, Dibyasakti tidak terdorong mundur karena tenaga lawan tadi menyerangnya dari atas. Dia dapat menyambut dan mendorong lawan terlontar ke atas, akan tetapi dia sendiri terhimpit dan untuk mempertahankan diri, kedua kakinya sampai tertekan masuk ke dalam tanah sebatas lutut! Mukanya juga menjadi pucat, akan tetapi dia cepat mencabut kedua kakinya dan sudah berdiri lagi berhadapan dengan Muryani yang menatapnya dengan senyum mengcjek.
"Heh, kodok buduk, apalagi ilmumu selain ilmu kodok budukan tadi? Keluarkan, semua kebisaanmu kalau engkau masih berani!"
Ejek Muryani dan semua murid Bromo Dadali tertawa lega dan gembira bahkan tetapi diam-diam mereka keheranan dan kagum bukan main. Bagaimana murid muda guru mereka itu kini dapat menjadi seorang yang demikian sakti mandraguna?
Diejek demikian, Dibyasakti menjadi nekat. Kini dia tahu bahwa gadis itu benar-benar sakti mandraguna, mampu menandingi Aji Cantuka Sakti yang selama ini jarang menemukan tandingan. Dia menjadi nekat. Dia menggosok-gosok ketika telapak tangannya dan membaca mantra. Dia hendak menggunakan aji pamungkas yang terakhir dan yang paling hebat, aji pukulan yang bukan hanya mengandalkan tenaga sakti, akan tetapi juga didukung kekuatan sihir yang ampuh, yaitu Aji Kukus Langking (Ilmu Asap Hitam). Perlahan-lahan, ketika dia menggosok-gosok kedua telapak tangannya, tampak asap hitam mulai mengepul dari kedua telapak tangannya itu.
Pada saat itu, tiba-tiba saja tampak sinar terang dan ketika semua murid menengok, mereka melihat betapa bagian belakang rumah induk perguruan mereka telah berkobar dimakan api! "Kebakaran! Kebakaran....!!"
Semua orang berteriak dan para murid Bromo Dadali berlarilari menuju ke tempat kebakaran untuk memadamkan api sebelum menjalar lebih luas.
Pada saat itu, Dibyasakti yang sudah mengerahkan tenaga Kukus Langking, sudah menyerang dan mendorongkan kedua, telapak tangan yang mengeluarkan asap hitam tebal ke arah Muryani. Gadis inipun maklum akan hebatnya aji lawannya. Dengan mengandalkan kecepatan gerakannya, tubuhnya berkelebat lenyap dan ia sudah mendahului serangan asap hitam tebal itu dan menyusup sampai ke sebelah kanan lawan, kemudian ia sudah menyerang dengan cengkeraman kedua tangannya yang membentuk cakar menyambar ke arah leher dan perut!
Bukan main kagetnya Dibyasakti. Sebelum serangannya mengenai lawan tahu-tahu lawannya telah berada di samping kanannya dan menyerang dengan cengkeraman yang amat ganas itu. Dia mencium bau amis dan wangi yang aneh keluar dari kedua tangan gadis itu. Dengan hati panik dia tahu bahwa cengkeraman itu mengandung hawa beracun yang amat berbahaya, maka dia cepat membuang diri ke kiri untuk mengelak.
"Brettt".. breeettt !"
Sarung dan baju Dibyasakti tiba-tiba terobek dan tertepas dari tubuhnya sehingga tubuhnya kini hanya memakai sebuah celana hitam setinggi lutut saja. Bukan hanya itu, juga pundaknya tergores kuku. Hanya lecet sedikit, akan tetapi rasa panas dan gatal membakar bagian yang tergores itu, tanda bahwa luka kecil itu keracunan. Hal ini tidak aneh karena tadi Muryani telah mempergunakan Aji Wiso Sarpo (Racun Ular), sebuah aji pukulan yang amat ganas yang ia pelajari dari mendiang Ny Rukmo Petak!
"Huh, kamu telanjang? Manusia tak tahu malu, menjijikkan!"
Ejek Muryani.
"Kebakaran...! Hayo semua membantu, padamkan api". !"
Terdengar suara Ki Ageng Branjang.
Mendengar ini, Muryani menengok dan ia melihat betapa api berkobar memakan bagian belakang rumah gurunya. Melihat ini, Muryani khawati kalau-kalau ada musuh yang melakukan pembakaran di sana dan mengancam keselamatan para warga, maka iapun segera melompat, meninggalkan Dibyasakti menuju ke belakang rumah yang terbakar. Sementara itu, Dibyasakti berdiri dengan muka pucat. Dia kebingungan, masih terkejut karena pakaiannya terobek dan terlepas dari tubuhnya dan pundaknya tergores kuku beracun. Pada saat itu, dia melihat gadis itu dan semua murid Bromo Dadali sudah lari rneninggalkan dia untuk memadamkan kebakaran. Tiba-tiba muncul seorang pemuda tampan. Pemuda itu menyergapnya. Dibyasakti hendak melawan, akan tetapi tiba-tiba pemuda itu telah menangkap kedua lengannya dan sekali dorong, tubuhnya sudah terlempar dan tepat jatuh terduduk di atas punggung kudanya yang kendalinya dipegang seorang anak buahnya.
"Andika tidak menggunakan kesempatan ini pergi secepatnya dari sini, mau tunggu kapan lagi?"
Kata pemuda tampan itu dan ketika Dibyasakti bertemu pandang dengannya, senopati muda itu, terkejut dan merasa ngeri karena sinar mata pemuda itu bagaikan mengandung api yang membakarnya! Dia lalu memberi aba-aba pendek kepada anak buahnya.
"Kita pergi!"
Lalu dia mengeprak kudanya dan melarikan kudanya cepat-cepat meninggalkan tempat itu, diikuti oleh dua losin anak buahnya! Muryani membantu gurunya dan para murid Bromo Dadali yang berusaha memadamkan api yang membakar bagian belakang bangunan itu. Semua orang bertanya-tanya apa yang menyebabkan kebakaran itu sambil berusaha memadamkan api dengan menggunakan air yang disiramkan ke arah kobaran api yang mengancam ke arah bangunan tengah
Tiba-tiba Muryani teringat akan Satyabrata dan selagi ia hendak bertanya-tanya ke mana perginya temannya itu, tiba-tiba semua orang terkejut melihat sesosok bayangan orang melompat naik ke atas
wuwungan rumah bagian tengah, dekat tempat yang sedang terbakar.
"Kakangmas Satyabrata".!"
Muryani berseru ketika mengenal orang itu. Satyabrata melambaikan tangan kepadanya, lalu pemuda itu mulai menggunakan kaki dan tangannya untuk membongkar bagian bangunan yang terdekat dengan tempat kebakaran. Tembok-tembok dia runtuhkan dengan tendangan kakinya. Semua orang memandang dengan mata terbelalak kagum. Betapa kuatnya kaki tangan pemuda itu, meruntuhkan tembok dan melemparlemparkan balok kayu yang besar dijauhkannya dari api. Reruntuhan tembok itu menimpa kobaran api dan ini banyak menolong. Kobaran api yang ditimbuni reruntuhan tembok itu makin mengecil sehingga ketika para murid Bromo Dadali menyiramkan air, kebakaran itu tak lama kemudian dapat dipadamkan. Semua orang bersorak gembira dan juga kagum ketika Satyabrata dengan gerakan indah melompat turun dari atas atap rumah.
Ki Ageng Branjang dan Muryani cepat menghampiri Satyabrata dan Muryani memperkenalkan pemuda itu kepada gurunya.
"Bapa guru, ini adalah sahabat saya bernama Satyabrata yang sudah berkali-kali menolong saya."
Ki Ageng Branjang memandang kepada pemuda itu dan Satyabrata cepat memberi hormat dengan sembah di depan dada.
"Maafkan kalau kedatangan saya ini mengganggu, paman."
Ki Ageng Branjang memandang tajam. Dia terkejut melihat sinar mata yang mencorong itu dan dia yang berpengalaman luas melihat ketidakwajaran, seolah sikap hormat dan merendah pemuda itu berlebihan. Akan tetapi pemuda itu sahabat Muryani dan tadi telah membantu secara luar biasa sehingga kebakaran itu dapat mudah dipadamkan, maka diapun berkata dengan ramah.
"Anakmas Satyabrata, andika sama sekali tidak mengganggu, bahkan menolong kami memadamkan kebakaran tadi. Terima kasih, anakmas. Marilah kita ajak anakmas Satyabrata masuk dan bicara di dalam, Muryani. Banyak sekali yang harus kauceritakan kepadaku semenjak kita saling berpisah. Mari, silakan, anakmas Satyabrata."
Ki Ageng Branjang lalu mengajak Muryani dan Satyabrata untuk masuk keruangan dalam dan setelah Muryani menjumpai keluarga Ki Ageng Branjang dan Satyabrata diperkenalkan kepada mereka. Ketua Perguruan Bromo Dadali itu lalu mengajak dua orang muda itu bercakap-cakap.
"Nah, sekarang engkau harus menceritakan semua pengalaman sejak engkau meninggalkan Gunung Muria setelah nenekmu meninggal dunia dan engkau diajak pergi oleh ayahmu, Muryani. Kini, lima tahun lebih kemudian, engkau muncul sebagai seorang wanita yang sakti mandraguna! Apa saja yang terjadi denganmu?"
"Cerita saya panjang, bapa. Akan tetapi harap bapa lebih dulu menjelaskan siapakah sebenarnya Dibyasakti yang datang membuat keributan tadi dan mengapa dia memusuhi Bromo Dadali?"
Ki Ageng Branjang menghela napas panjang.
"Dia itu senopati muda Kadipaen Arisbaya di Madura dan dia juga putera Ki Harya Baka Wulung, datuk dari Madura yang amat terkenal itu. Sebetulnya Bromo Dadali tidak mempunyai urusan dengan dia atau dengan Kadipaten Arisbaya, akan tetapi orang kasar itu hendak memaksa agar Bromo Dadali membantu Kadipaten Arisbaya untuk memberontak dan melawan Mataram. Tentu saja kami tidak sudi dan dia lalu menantang."
Muryani tidak begitu tertarik hatinya mendengar tentang urusan pemberontakan terhadap Mataram. Ia tidak mengerti akan hal-hal yang menyangkut kerajaan Mataram dan para kadipaten di daerah-daerah. Mendiang ayahnya tidak pernah bicara tentang hal itu, bahkan gurunya yang kedua, yaitu mendiang Nyi Rukmo Petak, juga tidak meninggalkan pesan tentang hal itu. Nenek itu sebelum meninggal dunia hanya meninggalkan empat pesan atau syarat yang harus dilakukan Muryani sebagai muridnya, yaitu pertama, ia harus merahasiakan keadaan Nyi Rukmo Petak sebagai guru selagi nenek itu masih hidup. Kedua, ia tidak boleh mempergunakan ilmu-ilmunya untuk melakukan kejahatan. Ketiga, ia tidak boleh jatuh cinta kepada laki-laki yang tidak mencintainya dengan tulus, dan keempat, ia harus membantu murid Nyi Rukmo Petak yang lain, yaitu wanita yang bernama Retno Susilo dan suami wanita itu yang bernama Sutejo, membantu suami isteri itu dalam segala hal seperti ia membantu gurunya sendiri. Karena itu, yang menjadi sebab permusuhan antara gurunya dan Dibyasakti tadi tidak menarik hatinya.
"Manusia itu sombong sekali. Sayang tadi aku belum sempat membunuhnya!"
Katanya dan mendengar ini, Ki Ageng Branjang agak terkejut dan heran. Dahulu, dia mengenal muridnya ini sebagai seorang gadis yang memang lincah dan galak, namun berhati lembut. Akan tetapi, sekarang, ia mengatakan ingin membunuh orang dengan nada suara yang begitu dingin? Benarkah muridnya itu kini menjadi ganas dan dingin, mudah membunuh orang?
"Ini disebabkan kebakaran itu, bapa. Saya menjadi terkejut dan cepat meninggalkan dia untuk membantu memadamkan kebakaran. Akan tetapi siapakah yang melakukan pembakaran itu?"
"Mungkin teman Dibyasakti itu, diajeng Muryani. Tadi aku melihat berkelebatnya bayangan orang. Aku mengejarnya dan dia melarikan diri melalui belakang bangunan ini. Larinya cepat bukan main dan dia menghilang di balik puncak, dalam hutan lebat itu. Karena melihat api berkobar aku lalu kembali dan membantu memadamkan kebakaran. Orang itu mempunyai banyak kawan yang pandai, diajeng."
Ki Ageng Branjang mengangguk-angguk dan memandang kepada dua orang muda itu dengan kagum.
"Sudahlah, aku kira Raden Dibyasakti itu tidak akan berani muncul kembali. Niatnya hanya hendak mencari kawan untuk membantu Arisbaya menghadapi Mataram, bukan untuk menambah musuh. Bagaimanapun juga, andika berdualah yang telah menyelamatkan Perguruan Bromo Dadali. Sekarang ceritakanlah, Muryani, apa saja yang kaualami sehingga engkau dapat memiliki aji kedigdayaan yang begitu hebat."
Muryani lalu menceritakan semua pengalamannya dengan singkat. Tentang, permusuhannya dengan Ki Demang Wiroboyo yang berlarut-larut sehingga akhirnya Wiroboyo dan Darsikun berhasil membunuh ayahnya, yaitu Ki Ronggo Bangak dan melukainya.
"Ah, jadi ayahmu, sasterawan dan seniman yang baik hati itu terbunuh?"
Sela Ki Ageng Branjang kaget.
Muryani mengangguk.
"Benar, bapa. Saya yang hidup sebatang kara lalu mencari Wiroboyo untuk membalas kematian, ayah. Akhirnya saya dapat menemukannya, akan tetapi karena dia dibantu Darsikun, saya malah tertawan oleh mereka dan dalam keadaan yang gawat dan berbahaya itu muncul guru saya yang kedua yang kemudian mengajarkan semua aji kedigdayaannya kepada saya."
"Siapakah nama besar gurumu itu?"
Tanya Ki Ageng Branjang.
"Mendiang guru saya itu berjuluk Nyi Rukmo Petak. Ia menyelamatkan saya dan memaksa kedua orang itu melarikan diri dan sejak itu saya ikut dengannya, menjadi muridnya selama empat tahun lebih. Pada suatu hari, guru saya meninggal dunia karena usia tua. Saya hidup seorang diri lagi dan merantau. Pertama-tama yang saya usahakan adalah mencari musuh besar saya, yaitu Wiroboyo dan Darsikun. Akhirnya, saya berhasil membunuh Darsikun dan juga si jahanam Wiroboyo, berkat bantuan Kakangmas Satyabrata ini, bapa."
"Wah, bukan main. Kiranya engkau telah bertemu dengan seorang yang sakti mandraguna dan dapat menimba ilmu yang tinggi darinya. Aku ikut merasa gembira, Muryani. Dan andika, anakmas Satyabrata, kalau boleh kami mengetahui, andika dari manakah, siapa orang tua andika dan siapa pula guru andika yang mulia?"
Ditanya demikian, tiba-tiba wajah yang tampan itu menjadi muram, menunduk dan tampak sedih sekali. Ki Ageng Bran jang terkejut dan cepat berkata.
"Ah maafkan aku kalau pertanyaanku tadi membuat andika berduka, anakmas. Bukan maksudku untuk menyinggung perasaanmu..."
"Bapa guru, Kakangmas Satyabrata adalah seorang yang hidup sebatang kara seperti saya, tidak mempunyai keluarga lagi,"
Kata Muryani menerangkan
"Ahh, maafkan aku kalau begitu, anakmas,"
Kata Ketua Perguruan Bromo Dadali itu.
"Tidak mengapa, paman. Sungguh, pertanyaan paman itu wajar saja, hanya saya yang lemah setiap kali teringat akan diri saya yang sebatang kara ini. Saya berasal dari Cirebon, paman. Orang tua saya... sudah tidak ada. Adapun guru saya"
Ah, tadinya saya hanya belajar dengan teman-teman, kemudian"..alhamdullilah... terima kasih kepada Gusti Allah yang member berkah kepada saya.... ketika saya bertapa di Pegunungan Careme dalam keadaan hampir mati kelaparan tiba-tiba saya melihat sinar terang keluar dari sebuah guha kecil. Sambil merangkak saya mendatangi guha itu dan di sana saya menemukan kitab-kitab tua yang ternyata mengandung pelajaran aji-aji kanuragan. Saya lalu mempelajarinya dan berlatih dengan tekun selama bertahun-tahun. Setelah selesai baru saya turun gunung, lewat beberapa tahun."
"Wah, Kakangmas Satyabrata, baru sekarang aku mendengar ceritamu yang amat menarik itu!"
Kata Muryani.
"Dan di mana sekarang kitab-kitab itu?"
"Sebelum turun gunung, kitab-kitab yang sudah lapuk dan rusak itu kubakar agar jangan sampai terjatuh ke dalam tangan orang-orang jahat, diajeng,"
Jawab pemuda itu.
"Andika benar, anakmas. Memang sungguh berbahaya sekali kalau kitab-kitab pelajaran aji kesaktian terjatuh ke tangan orang jahat. Akan tetapi, kalau boleh aku bertanya; kitab-kitab itu merupakan peninggalan orang sakti mandraguna yang manakah?"
"Saya tidak tahu jelas, paman. Aka tetapi kalau saya tidak salah duga, mungkin sekali kitabkitab itu peninggalan mendiang Eyang Sunan Gunung Jati."
"Wah, kalau begitu andika seoran pemuda yang beruntung sekali, anakmas Satyabrata dan aku percaya bahwa andika pasti memiliki kedigdayaan seoran sakti mandraguna."
Malam itu Perguruan Bromo Dadali mengadakan penyambutan meriah kepada Muryani dan Satyabrata. Kambing dan ayam disembelih dan pesta diadakan. Suasana menjadi gembira sekali walaupun tadi nyaris rumah induk terbakar. Untung hanya bagian dapur dan gudang saja yang terbakar. Semua murid Bromo Dadali merasa kagum terhadap Muryani. Tiada hentinya mereka membicarakan pertandingan hebat melawan dan mengalahkan Dibyasakti tadi. Yang tadinya memandang rendah gadis itu merasa malu kepada dirinya sendiri. Muryani tidak tega menolak permintaan Ki Ageng Branjang agar ia dan Satyabrata tinggal selama beberapa hari di perguruan Bromo Dadali sebelum melanjutkan perjalanan.
Kali Solo, demikian sungai itu dinamakan orang ketika mengalir dari mata airnya yang bersumber di pegunungan di dekat daerah selatan, dan kemudian disebut Kali Solo pula setelah mengakhiri alirannya yang amat jauh itu di pantai Laut Jawa di utara, di Ujung Pangkal daerah Kadipaten Bojonegoro, dalam perjalanannya disebut pula Bengawan Solo. Sungai ini merupakan sungai yang amat panjang dan menampung banyak air dari sungai-sungai lain sehingga terkenal sebagai sungai yang besar dan selalu menimbulkan bencana banjir di musim hujan. Akan tetapi sungai ini juga merupakan berkah bagi semua petani yang hidup di lembah Kali Solo yang gemah ripah loh jinawi, tanahnya subur sekali. Juga merupakan sarana penghubung antara kadipaten dan kademangan, antara kota dan desa. Dengan menggunakan perahu, orang dapat rnelakukan perjalanan jauh sekali tanpa banyak menggunakan tenaga seperti kalau berjalan kaki.
Pada suatu pagi yang cerah, sebuah perahu meluncur di atas permukaan Bengawan Solo. Penumpangnya hanya seorang saja, seorang pemuda yang usianya sekitar dua puluh tiga tahun. Melihat pakaiannya yang sederhana dan terbuat dari kain kasar, orang tentu menganggap dia seorang pemuda dusun. Namun ada beberapa keadaan pada dirinya yang mungkin membuat orang menjadi ragu. Wajahnya sungguh jauh berbeda dengan gerak-gerik dan sikapnya yang sederhana. Wajah itu seperti wajah orang yang biasa disebut masih trahing kusumo rembesino madu, yaitu berdarah bangsawan atau priyayi. Wajah tampan sederhana itu mengandung wibawa. Mata yang dihias bulu mata lentik dan alis hitam tebal itu bersinar lembut sekali. Hidungnya mancung dan wajah itu tampak selalu cerah karena mulutnya selalu mengembangkan senyum penuh keramahan dan kesabaran. Tubuhnya sedang saja.
Perahu berwarna coklat itupun sederhana namun kokoh. Dia duduk santai dalam perahu. Sebuah bungkusan pakaian terletak di depannya dan dengan sebatang dayung kayu, dia mengatur arah perahu yang meluncur halus terbawa arus air bengawan. Seperti biasa, air Bengawan Solo itu berwarna kecoklatan karena air bercampur tanah. Di musim hujan, air bengawan akan naik sampai tinggi, seringkali bahkan meluap dan menjadi banjir. Kalau sudah begitu, air menjadi semakin keruh, warnanya menjadi semakin coklat gelap.
Pemuda itu tidak perlu mendayung perahunya. Agaknya dia tidak tergesa-gesa, membiarkan perahunya hanyut saja dan dia hanya mengemudikan perahunya. Pekerjaan ini amat mudah dilakukan karena perahu itu sudah meluncur sendiri dengan laju dan lurus. Hanya kadangkadang saja dia membantu luncuran perahu agar tetap lurus dengan gerakan dayungnya, atau membelokkan arah perahu agar tidak menabrak batu yang besar dan yang muncul di permukaan air. Dia lebih banyak termenung. Memandang air dan keadaan di kedua tepi bengawan yang sunyi dan ditumbuhi banyak pohon, pemuda, itu semakin tenggelam dalam lamunannya. Ketika di tepi sebelah kiri bengawan itu dia melihat beberapa ekor buaya berjemur diri, dia tersenyum dan tiba-tiba dia teringat akan kisah tentang Joko Tingkir yang menaklukkan segerombolan buaya yang menghadang dan mengganggu, ketika dia naik getek, yaitu alat penyeberangan terbuat dari bambu-bambu yang diikat berjajar. Joko Tingkir atau yang juga disebut Mas Krebet atau Panji Mas ini kemudian menjadi adipati di Pajang bernama Adiwijaya.
Perahunya tiba di sebuah tikungan sungai yang tajam. Parmadi masih menoleh ke arah buaya-buaya di tepi sebelah kiri itu ketika tiba-tiba perahunya terseret pusaran air yang kuat sekali. Perahunya tiba-tiba berputar ke kanan. Parmadi, pemuda itu, bagaikan terseret dari lamunannya dan kembali ke alam kenyataan. Dia terkejut dan cepat menggerakkan dayung untuk menahan tarikan air yang berputar itu. Namun pusaran air itu bagaikan memiliki daya sedot yang amat kuat. Parmadi memperhatikan keadaan di situ. Pusaran air itu besar, berputar ke tengah sungai di bagian tikungan tajam yang merupakan kedung itu. Di tepi kanan, tepat di tikungan berdiri sebatang pohon randu alas yang besar dan tua, bagaikan seorang raksasa yang menunggui kedung dan agaknya pohon tua itu yang memiliki daya sakti dan membuat pusaran air itu. Parmadi merasa seolah pohon itu mengamati dan mentertawakannya. Namun, keadaannya membuat dia tidak sempat memikirkan hal lain. Cepat dia mengerahkan tenaga sakti untuk melawan pusaran air yang menyeret perahunya. Kedua tangannya yang memegang dayung merasa seolah dayungnya bertemu dengan tenaga yang amat dahsyat. Kalau saja tidak ada tenaga sakti tersalur ke dalam dayung, tentu dayung kayu itu sudah patah.
Daya sedot air berpusing itu amat kuatnya. Walaupun pertahanan Parmadi dengan dayungnya dapat memperlambat lajunya perahu yang dipaksa berputaran mengelilingi pusaran air yang pusat di tengahnya tampak dalam mengerikan, namun tetap saja dia belum dapat membebaskan perahunya dari ulekan (pusaran) air itu. Dia merasa ngeri juga melihat potonganpotongan kayu yang tadinya hanyut di sungai itu kini ditarik pusaran air, sampai ke tengah ulekan dan disedot masuk ditelan air yang berputar-putar itu. Kalau sampai perahunya ditarik ke pusat ulekan, celakalah dia! Maka diapun mengerahkan seluruh tenaganya untuk menahan agar perahunya jangan tertarik ke tengah.
Tiba-tiba Parmadi melihat sinar hitam meluncur dari bawah pohon randu alas dan tahutahu sebuah besi kaitan sebesar lengan telah masuk ke dalam perahunya dan mengait pinggiran perahu. Besi kaitan itu ternyata bersambung dengan tali yang kuat dan ada yang menarik dari bawah pohon. Perahunya tertarik namun masih sukar untuk keluar dari cengkeraman air yang berputar. Parmadi maklum bahwa orang menolongnya, maka diapun menggerakkan dayung sekuat tenaga dan akhirnya kerja sama ini berhasil. Perahunya dapat tertarik keluar dari ulekan dan Parmadi segera mendayung perahunya ke tepi sungai, ke bawah pohon randu alas itu.
Kumbang Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo