Seruling Gading 20
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Bagian 20
Parmadi siap siaga. Dia menyelinap semakin dekat, siap melindungi Ayu yang agaknya akan dikorbankan, kepada buaya putih, menjadi mangsanya! Bergidik dia membayangkan tubuh yang denok mulus itu dikoyak-koyak moncong buaya yang lebar, lalu ditelannya satu demi satu potongan daging-daging yang berdarah-darah! Parmadi sudah siap dengan sebuah batu runcing yang pasti akan disambitkan ke arah mata kanan buaya itu yang masih sehat. Dan dia yakin bahwa sambitannya pasti akan mengenai sasaran. Maka, Parmadi masih tenang saja ketika buaya putih raksasa itu mulai menggerakkan keempat kakinya menghampiri tubuh Ayu.
Gadis itu terbelalak ketakutan. Parmadi dapat memakluminya. Hati siapakah yang tidak akan merasa takut dan ngeri melihat binatang buas itu merayap menghampiri dirinya yang terbelenggu kaki tangannya? Kini buaya putih itu sudah tiba didekatnya dan Parmadi tertegun. Binatang itu tidak membuat gerakan untuk menyeing Ayu, baik dengan moncongnya maupun dengan ekornya! Mata yang tinggal satu itu menatap tubuh Ayu dan mengeluarkan sinar mencorong. Ekornya bergerak-gerak dan buaya itu dengan gerakan lambat menyambar ujung kain gadis itu, merenggut kain itu sehingga terlepas dari tubuh Ayu Puspa.
"Aaiiiiiihhhh"" !"
Ayu Puspa menjerit dengan suara melengking dan pada saat itu, Parmadi mengayun tangannya. Batu runcing itu menyambar, tepat mengenai mata kiri buaya putih itu.
"Grottt.... !"
Darah muncrat dan buaya putih itu terpelanting. Parmadi cepat melompat, menutupkan kain pada tubuh Ayu. Sebelum memondong dan membawanya melompat, menjauhi buaya putih lalu dia memutus tali pengikat kaki tangan gadis itu. Dengan isak tertahan Ayu lalu membereskan pakaiannya sambil menonton apa yang terjadi di depan matanya.
Parmadi marah sekali. Dasar binatang jadi-jadian yang telah dirasuki iblis! Buaya putih raksasa itu bukan hanya buas akan tetapi juga memiliki gairah nafsu yang tidak wajar, seperti seorang laki-laki yang berwatak keji dan cabul. Binatang itu kini mengamuk. Kedua matanya telah buta dan dia lalu mengamuk dengan ekornya, menghantam ke sana-sini, moncongnya juga menyerang secara membabi-buta, sambil mengeluarkan gerengan dan dengus aneh. Parmadi melompat mendekat dan setelah mendapat kesempatan, dia menangkap ujung ekor buaya itu dengan kedua tangannya mengerahkan tenaganya dan mengangkat tubuh buaya yang amat berat itu lalu membantingkan kepala buaya itu pas: lantai batu yang keras.
"Wuuuttt"blarrr".!!"
Kepala binatang jadi-jadian itu pecah dan binatang itu tewas seketika. Parmadi menoleh dan menghampiri Ayu Puspa yang kini sudah merapikan pakaiannya yang robek di sana-sini. Melihat pemuda yang menyelamatkannya dari maut itu telah dapat membunuh binatang buas itu, saking girang dan terharu hatinya Ayu menyambut Parmadi dengan kedua lengan terpentang dan ia pun merangkul pemuda itu sambil terisak isak.
"Kakang".!"
Jantung Parmadi berdebar. Sudah dua kali gadis ini merangkulnya seperti itu Diapun mengelus rambut kepala yang terurai itu.
"Sudah, tenanglah, Ayu. Buaya laknat itu telah mati. Akan tetapi para pemujanya itu masih mengancam kita."
Pada saat itu terdengar gerengan yang menggetarkan seluruh ruangan itu. Parmadi dan Ayu cepat memutar tubuh dan mereka melihat manusia berkepala buaya yang kulitnya bule telah berdiri di situ. Sepasang mata di balik lubang topeng itu mencorong penuh kemarahan. Dia menoleh ke arah bangkai buaya putih yang telentang dengan kepala pecah, lalu menoleh kepada Parmadi dan Ayu yang kini saling melepaskan rangkulan. Parmadi meraba pinggangnya. Dia teringat bahwa mereka berdua menghadapi bahaya padahal Ayu tidak memegang senjata lagi. Ia teringat akan patrem pemberian Muryani dahulu yang selalu berada di ikat pinggangnya. Diambilnya patrem itu dan diserahkannya kepada Ayu Puspa.
(Lanjut ke Jilid 20)
Seruling Gading (Seri ke 02 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 20
Gadis itu menerima patrem itu de;an girang sekali.
"Kau pergunakan ini untuk membela diri,"
Bisik Parmadi dan Ayu mengangguk, siap menghadapi segala kemungkinan yang akan menimpanya.
"Aarrgghhh...! Engkau yang telah memunuh Rama Bajul Petak?"
Terdengar orang bule itu bertanya dengan suara menggereng menyeramkan.
"Benar, akulah yang membunuh binatang buas pengganggu manusia itu. Juga aku yang telah mengusir lelembut (setan) pujaan kalian yang menghuni randu alas di tepi sungai."
Parmadi sengaja mengakui hal ini dengan maksud agar semua kemarahan dan dendam ditumpahkan kepaanya, bukan kepada Ayu.
"Babo-babo, keparat! Engkau sudah bosan hidup! Katakan siapa namamu agar jangan engkau mati tanpa nama!"
"Namaku? Orang menyebutku Seruling Gading, Bajul Sengoro,"
Jawab Parmadi.
"Engkau tahu namaku?"
Orang bule itu membentak.
"Siapa tidak mengenal Bajul Sengoro ketua Gerombolan Warga Bajul Petak yang tersesat, penyembah setan dan iblis, pengganggu manusia untuk memuaskan nafsu rendah yang keji. Sekarang Bajul Peta (Buaya Putih) sudah mati, juga randu alas telah tumbang. Sebaiknya engkau membubarkan gerombolanmu dan selanjutnya menebus semua dosamu dengan hidup yang baik dan benar, bermanfaat bagi manusia dan dunia,"
Kata Parmadi dengan sikap tenang namun matanya bersinar seperti kilat dan berwibawa sekali.
"Jahanam keparat! Engkau telah berani menentang Bajul Sengoro, berarti engkau harus mati!"
Berkata demikian orang itu menggunakan kedua tangannya untuk mencopot kepala buaya putih yang menutupi kepala dan mukanya itu. Tentu hal ini dia lakukan karena dia maklum bahwa sekali ini dia menghadapi seoran lawan tangguh dan amat tidak leluasa baginya berkelahi menggunakan kedok kepala buaya itu. Kini dia berhadapan dengan Parmadi dan sepasang matanya mencorong menatap wajah pemuda itu.
Parmadi juga memandang penuh perhatian. Wajah orang itu menyeramkan. Sukar ditaksir berapa usianya, yang jelas belum tua sekali. Sebetulnya bentuk wajah itu cukup tampan, akan tetapi segalanya serba putih. Rambutnya, kumis dan jenggotnya yang pendek, alisnya, bahkan bola matanya. Semuanya putih, putih kekuningan sehingga tampak lucu dan juga menyeramkan. Parmadi teringat akan bepita yang pernah didengarnya tentang orang Kumpeni Belanda yang kini berada di Jayakarta. Kata orang, orang Belanda juga bule seperti ini.
"Hemm, kiranya Bajul Sengoro itu seorang Belanda? Pantas andika memimpin gerombolan penjahat. Sudah kudengar bahwa Bangsa Belanda itu jahat, hendak rnenguasai tanah air dan bangsa kami!"
Kata Parmadi.
"Ngawur!"
Bajul Sengoro membentak marah.
"Aku memang bule, akan tetapi aku seorang Jawa, bukan Belanda. Engkau malah berani menghinaku! Terimalah kematianmu!"
Orang bule itu berkemak-kemik membaca mantera, lalu kedua tangannya yang terbuka mendorong ke arah Parmadi sambil mulutnya mengeluarkan bentakan yang menyeramkan.
"Aaarrgghhhh".. !!"
Tampak asap hitam terbawa serangkum angin yang dahsyat menyambar ke arah Parmadi. Pemuda ini hanya melipat kedua lengan di depan dada, menyambut serangan angin berasap hitam itu dengan sikap tenang.
"Wuuussshhhh". !"
Asap dan angin itu menyambar lewat tubuhnya seperti angin lalu biasa saja, hanya mengibarkan ujung pakaian dan rambutnya. Melihat ini, Bajul Sengoro terbelala Matanya mencorong seperti mata harimau di dalam gelap, penuh rasa keheranan, penasaran dan kemarahan. Bagaimana mungkin ini? Kalau pemuda itu menghindarkan diri dengan mengelak atau menangkis serangannya tadi, dia masih dapat mengerti. Akan tetapi pernuda lawannya itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, melainkan menyambut serangannya begitu saja dan serangannya itu tidak berbekas apa-apa! Padahal serangannya tadi mengandung kekuatan sihir yang dapat merobohkan seorang lawan yang sakti sekalipun!
Bajul Sengoro mengeluarkan pekik melengking dan ini merupakan isyarat bagi semua anak buahnya karena segera bermunculan anak buahnya yang tinggal empat belas orang karena sebagian tadi sudah roboh terluka oleh Parmadi dan Kyai Jayawijaya, bahkan ada dua orang yang tewas di tangan Ayu Puspa. Melihat empat belas orang ini berlompatan memasuki ruangan bawah tanah yang cukup luas itu, Ayu Puspa yang sudah cancut taliwanda (siap siaga) dengan patrem di tangan, segera membentak dengan suara nyaring melengking, menyambut mereka dengan terjangan. Gadis perkasa ini mengamuk bagaikan seekor banteng dikeroyok belasan anjing srigala! Sepak terjangnya menggiriskan. Bukan hanya patrem di tangan kanannya yang menyambar-nyambar mengintai nyawa, juga tangan kirinya membagi-bagi tamparan yang dahsyat sehingga sekali saja seorang pengeroyok terkena tamparan tangan kirinya, tentu akan terpelanting dan tidak mampu bangkit kembali. Belum lagi kedua kakinya yang mungil. Setiap kali kaki kiri atau kanan mencuat mengirim tendangan, tubuh seorang pengeroyok tentu terpental jauh bagaikan sebuah bola karet ditendang kaki seorang anak-anak!
Ketika Bajul Sengoro rnelihat anak buahnya sudah muncul dan kini mengeroyok Ayu Puspa, dia kembali menghadapi Parmadi. Dia merasa menyesal sekali harus menghadapi lawan tangguh di tempat terbatas seperti itu sehingga dia sendiri maupun anak buahnya tidak dapat mempergunakan bahan peledak untuk menyerang lawan karena kalau mereka menggunakan senjata ini, tentu akan melukai teman-teman sendiri.
Dia masih penasaran melihat serangan sihir pertamanya tadi tidak berhasil. Kini dia mengerahkan seluruh kekuatan sihir dan tenaga saktinya, berkemak-kemik membaca mantera, kemudian sekali lagi mendorongkan kedua tangannya yang terbuka ke arah Parmadi. Sekali ini, ada sinar berapi menyambar dari kedua tangan itu ke arah dada Parmadi! Melihat ini, dengan gerakan ringan Parmadi melompat ke samping untuk mengelak.
"Syuuuutt.....darrr"!"
Bola api menghantam dinding batu karang di belakang Parmadi dan sebagian dinding itu pecah dan hancur! Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya serangan jarak jauh orang bule itu.
Melihat Parmadi mengelak, Bajul Sengoro mengeluarkan suara tawa meringkik yang nadanya mengejek. Dia mengira bahwa lawannya kini gentar menghadapi serangannya yang diberi nama Aji Guntur Geni (Halilintar Api). Kemudian dia mengulang pukulannya yang berapi dan dahsyat itu ke arah tubuh Parmadi sambil membentak.
"Mampus kau oleh Aji Guntur Geni!!"
Kembali Parmadi mengelak dengan melompat sehingga sambaran bola api itu luput dan menghancurkan permukaan dinding batu karang. Sampai empat kali Parmadi mengandalkan kecepatan gerakan menghindarkan diri dari serangan dahsyat itu dengan cara mengelak.
"Ha-ha-ha! Heh, keparat Parmadi. Kalau engkau bukan seorang pengecut, jangan hanya lari dan mengelak, sambut pukulanku Guntur Geni ini!"
"Bajul Sengoro, kalau aku menyambut pukulanmu, engkau akan celaka dan aku tidak ingin mencelakai orang, walau sejahat engkau sekalipun,"
Kata Parmadi tenang.
"Babo-babo, keparat! Katakan saja engkau pengecut, tidak berani menyambut karena kalau engkau melakukan itu bukan aku yang celaka, melainkan engkau yang mampus terbakar! Ha-haha! Aarrgg!!!"
Kembali Bajul Sengoro menyerang, sekali ini lebih dahsyat daripada tadi. Akan tetapi kini Parmadi tidak mengelak lagi. Dia tadi selalu mengelak bukan karena takut menyambut pukulan lawan. Hanya karena dia maklum bahwa tangkisannya mengandung daya untuk mengembalikan serangan lawan. Makin dahsyat pukulan lawan, makin hebat pula serangan itu kembali menghantam penyerangnya sendiri dan hal itu dapat mencelakai si penyerang sendiri. Akan tetapi karena dia sudah memberi peringatan dan Bajul Sengoro masih nekat, bahkan agaknya menyerangnya lebih hebat lagi dan menganggap dia takut, kini terpaksa Parmadi mendorongkan kedua tangannya menyambut dengan Aji Sunya Hasta (Tangan Kopeng).
"Syuuuuutttt""
Blarrrr". !"
Bola api besar yang tadinya meluncur dan menyambar ke arah Parmadi itu, bertemu dengan hawa yang keluar dari kedua telapak tangan Parmadi segera meluncur kembali ke arah Bajul Sengoro dengan kecepatan tinggi. Bajul Sengoro terkejut, terbelalak dan mengeluarkan pekik mengerikan kelika terdengar ledakan dan bola api itu menghantam dirinya sendiri. Tubuhnya terpelanting dan dia tewas seketika dengan tubuh hangus, terkena aji pukulannya sendiri yang amat dahsyat tadi.
"Duh Gusti.... ampuni hamba...."
Parwadi berbisik sambil memandang ke arah mayat Bajul Sengoro yang rebah telentang dengan wajah bulenya kini menjadi hitam arang. Akan tetapi tidak lama Parmadi tertegun. Dia melihat Ayu Puspa masih dikeroyok banyak orang. Gadis ini mengamuk hebat dan sudah ada lima orang pengeroyok roboh. Parmadi segera turun tangan, bukan takut kalau gadis itu terancam bahaya. Tidak, dia tahu bahwa kalau dilanjutkan, semua pengeroyok itu akhirnya akan tewas semua di tangan dara perkasa itu.
"Bajul Sengoro telah tewas! Apaka kalian semua ingin mati pula?"
Bentaknya nyaring. Semua anak buah yang tinggal sembilan orang itu terkejut. Mereka sejak tadi memang sudah gentar menghadapi dua orang muda yang sakti mandraguna itu. Kini mereka memandang dan benar saja. Mereka melihat Bajul Sengoro sudah rebah dengan muka hangus. Mereka menjadi ketakutan dan cepat mereka melompat dan terjun ke air yang mengalir di tepi terowongan bawah tanah dan menyelam. Parmadi tidak ingin lebih lama tinggal di ruangan bawah tanah yang menyeramkan itu. Dia memegang tangan Ayu Puspa, bertanya.
"Engkau dapat berenang dan menyelam?"
"Tentu saja! Percuma aku tinggal di tepi bengawan kalau tidak bisa berenang dan menyelam!"
Kata Ayu Puspa.
"Hemm.... kusangka tidak bisa karena kakekmu juga tidak pandai berenang."
"Kakek sudah terlalu tua, dia selalu takut dengan air. Aku sih tidak! Aku berani berlomba renang melawanmu."
Parmadi merasa heran. Gadis ini luar biasa. Dalam keadaan bagaimanapun juga tidak kehilangan kelincahan dan kenakalannya, berkepala batu, sikapnya menggemaskan dan juga menyenangkan!
"Sudahlah, bukan saatnya bergurau. Mari kita keluar dari terowongan ini. Kita harus berenang menentang arus, kemudian menyelam dan keluar dari guha di bawah permukaan air di kedung. Eyangmu masih menunggu di tepi kedung, tentu gelisah memikirkan dirimu."
"Mari!"
Kata gadis itu dan teringat dalam pikiran Parmadi betapa gadis itu, setelah baru saja nyaris mengalami kematian yang amat mengerikan dan telah diselamatkannya, tak sepatahpun menyatakan rasa syukur atau terima kasihnya Bukan dia haus akan pujian dan balas budi, hanya dia merasa heran bagaimana di dunia ini ada gadis ugal-ugalan dan tak acuh namun tetap menarik hati dan menyenangkan seperti Ayu Puspa! Mereka lalu masuk ke air dan berenang menentang arus. Untung arus air itu lemah saja sehingga mereka dapat berenang dengan mudah dan laju. Setelah tiba di mulut guha mereka mengumpulkan napas panjang lalu menyelam dan keluar dari guha bawah air itu. Tarikan pusaran air menyeret mereka, akan tetapi karena pusaran air itu kini tidak berapa kuat, mereka dapat meluncur naik ke permukaan air. Begitu dua kepala orang muda itu muncul di permukaan air mereka disambut seruan gembira.
"Ayu"" ! Ah, engkau masih hidup. Terima kasih, Gusti!!"
Kyai Jayawijaya yang masih menanti di tepi kedung dengan wajah muram dan khawatir itu kini memandang dengan wajah berseri gembira sekali. Ayu Puspa berenang ke tepi, mengerahkan seluruh tenaga untuk mendahului Parmadi, untuk pamer bahwa ia pandai berenang, lebih cepat dari pemuda itu. Setelah mendarat, Kyai Jayawijaya meyambut dengan rangkulan, tidak perduli bahwa pakaiannya menjadi basah semua terkena air yang membasahi seluruh paman dan tubuh cucunya.
"Ayu, cucuku! Ketika tadi engkau dibawa terjun ke kedung dan lenyap, aku hampir putus harapan, mengira engkau tentu akan mati. Bahkan ketika Parmadi terjun dan menyelam untuk mencarimu, hatiku masih diliputi kekhawatiran. Apalagi begitu lama kalian tidak muncul kembali, aku mengira kalian berdua sudah mati! Ah, bagaimana mungkin kalian berada di dalam air sampai begitu lamanya?"
Kakek itu memandang Parmadi dan cucunya dengan terheranheran. Sukar dia dapat percaya dua orang muda itu dapat berada di dalam air sampai hamper satu jam lamanya. Bagaimana mereka bernafas.
"Wah, eyang. Aku dan kakang Parmadi mengamuk di bawah sana dan kami telah membasmi habis gerombolan Warga Bajul Petak! Senang sekali, eyang!"
Kata Ayu Puspa.
"Begitukah? Ah, kalian berdua basal kuyup. Bisa masuk angin. Mari, Ayu dan engkau Parmadi, mari kita pulang agak kalian dapat berganti pakaian dan nanti saja kalian ceritakan apa yang terjadi."
Parmadi hanya tersenyum mendengar ucapan Ayu tadi. Dia mengambil buntalan pakaiannya yang masih berada di perahunya. Melihat perahunya, Parmadi menjadi ragu apakah dia harus ikut ke rumah gadis dan kakeknya itu dan meninggalkan perahunya di situ.
"Jangan khawatir, Parmadi. Perahumu sudah tertambat di sini dan kalau engkat tinggalkan, perahu itu tidak akan hilang Siapa berani mencuri perahu yang berada di kedung ini? Tinggalkan saja, Parmadi dan mari ikut ke pondok kami. Banyak yang harus kauceritakan dan kita bicarakan. Marilah."
"Mari, kakang Parmadi. Apakah engkau tidak sudi berkunjung ke gubuk kami yang butut? Kalau begitu engkau sombong!"
Ucapan gadis inilah yang membuat Parmadi tidak mampu menolak lagi dan keraguannya pun lenyap. Sambil tersenyum dia mengangguk.
"Baiklah, saya akan ikut dan berkunjung ke rumah eyang."
Mereka bertiga lalu meninggalkan tempat itu menuju ke rumah Kyai Jayawijaya. Ternyata pondok itu tidak terlalu jauh dari Kedung Srengenge, hanya sekitar dua kilometer. Pondok itu, terbuat dari kayu dan biarpun bentuknya sederhana, namun cukup besar dan kokoh. Setelah masuk pondok, Ayu segera berlari ke dalam kamarnya untuk bertukar pakaian yang bersih dan kering. Kyai Jayawijaya mempersilakan Parmadi memasuki kamarnya dan bertukar pakaian di kamar itu.
Setelah selesai bertukar pakaian, Parmadi keluar dari kamar, membawa pakaiannya yang basah. Tak lama kemudlan Ayu juga keluar dan agaknya gadis ini telah mandi. Ia tampak segar dan cantik sekali walaupun wajahnya tidak dihias. Rambutnya yang masih basah itu dibiarkan terurai agar cepat kering. Senyumnya segar dan matanya berbinar-binar kedua pipinya kemerahan. Seperti sekuntum mawar bermandi embun. Melihat Parmadi sudah duduk berhadapan dengan eyangnya, dan ada pakaian basah di bawah meja, Ayu segera mengambil pakaian itu.
"Eh, mau dibawa ke mana pakaianku itu, Ayu?"
"Mau kurendam di belakang, nanti akan kucuci."
"Eh, tidak usah. Biar kucuci sendiri""
Kata Parmadi akan tetapi Ayu sudah lari membawa pakaian itu ke belakang. Terpaksa Parmadi yang sudah bangkit berdiri itu duduk kembali.
"Sudahlah, Parmadi. Biarkan ia nanti mencucinya. Cucuku itu kalau sudah mempunyai kehendak, siapapun tidak akan dapat mengubahnya. Pula, sudah sepatutnya kalau seorang wanita mencuci pakaian. Apalagi ia baru saja engkau selamatkan! Ayu kembali sambil tersenyum manis, duduk di dekat eyangnya, berhadapan dengan Parmadi.
"Nah, sekarang kalian ceritakan, apa yang telah terjadi di bawah kedung itu,"
Kata Kyai Jayawijaya.
"Kauceritakanlah, Ayu,"
Kata Parmadi.
"Engkau yang menceritakan!"
Jawab Ayu. Parmadi tersenyum. Dia sudah menduga akan jawaban gadis berkepala batu itu.
"Baiklah. Begini, eyang. Ketika saya terjun ke kedung dan menyelam, seperti yang sudah saya duga, di bawah saya menemukan sebuah guha. Saya memasuki guha yang merupakan terowongan itu dan akhirnya saya dapat muncul di permukaan air, di sebelah dalam terowongan dan ternyata di situ terdapat terowongan dan ruangan di bawah tanah yang lebar dan luas. Kemudian saya melihat Ayu berada di sebuah ruangan yang luas. Ia rebah telentang dengan kaki tangan terbelenggu. Di sudut ruangan itu terdapat pula buaya putih besar yang telah dilukai matanya oleh Ayu dan orang bule yang menangkap dan melarikan Ayu berada di situ pula berlutut di depan buaya putih dan bercakap-cakap kepada buaya itu, menyerahkan Ayu kepada binatang raksasa itu!"
"Hemm, keparat!"
Kyai Jayawijaya mengutuk, menoleh ke arah cucunya.
"Engkau tentu takut sekali, Ayu."
"Bukan takut lagi, eyang. Aku merasa ngeri dan serem. Habis mata buaya yang tinggal sebelah itu seperti mata laki-laki yang kurang ajar! Coba pikir, gila tidak dia! Dia menggunakan ekornya untuk merenggut lepas kainku. Aku menjerit, ngeri setengah mati! Lanjutkan, kakang."
"Melihat Ayu terancam bahaya, saya lalu menyambitkan batu ke arah mata buaya putih yang tinggal sebelah. Dia kesakitan dan mengamuk, akan tetapi syukur saya dapat membanting dan membunuhnya, eyang. Saya lalu membebaskan Ayu dari belenggu kaki tangannya dan menyerahkan patremku kepadanya untuk membela diri. Kemudian Bajul Sengoro menyerang saya dan kami berkelahi. Anak buahnya yang jumlahnya belasan orang bermunculan, akan tetapi disambut amukan Ayu. Akhirnya saya berhasil merobohkan Bajul Sengoro yang terbakar oleh aji pukulannya sendiri dan para anak buah gerombolan itu banyak yang roboh dan sisanya melarikan diri, diamuk oleh Ayu."
"Wah, berbahaya sekali!"
Seru Kyai Jayawijaya dengan kagum dan lega hatinya mendengar cerita Parmadi itu.
"Ayu, sekarang ceritakan apa yang kaualami sebelum Parmadi datang dan menolongmu."
Gadis itu memandang kepada Parmadi lalu menjawab.
"Uh, ceritanya sudah diborong oleh kakang Parmadi, eyang. Apalagi yang dapat kuceritakan? Ketika aku dikeroyok anak buah gerombolan itu dan sudah hampir dapat menghajar mereka semua, dengan licik dan curang sekali Bajul Sengoro itu menyerangku secara mendadak. Tangannya berbau harum yang aneh dan membuat aku pening. Dalam keadaan seperti itu dia menyergap, menangkap aku lalu membawaku terjun ke kedung. Tentu saja karena tidak bersiap lebih dulu, aku gelagapan dan hampir pingsan ketika dia membawaku ke ruangan bawah tanah itu dan membelenggu kaki tanganku. Lalu jahanam busuk itu hendak membuat aku menjadi santapan buaya putih siluman itu. Untung kakang Parmadi datang."
"Bukan main! Ayu, tahukah engkau bahwa Parmadi telah menyelamatkan nyawamu? Kalau tidak ada dia, mustahil engkau dapat selamat. Aku sendiri tidak berani terjun ke kedung, dan kalau nekat terjun tentu aku akan mati tenggelam. Engkau berhutang budi, bahkan berhutang nyawa kepada Parmadi. Kita berdua berhutang budi yang amat besar kepada Parmadi. Dengan cara bagaimana kita dapat membalasnya?"
Sebelum gadis itu menjawab, Parmadi sudah mendahuluinya.
"Eyang, mengapa eyang bicara tentang budi? Siapa yang melepas budi dan siapa yang berhutang budi? Kalau ada yang menolong dan menyelamatkan, maka hanya Gusti Allah sajalah yang melakukan itu. Hanya Gusti Allah Maha Penolong dan Maha Penyelamat! Karena itu, saya kira, eyang, kita wajib mensyukuri pertolongan-Nya, penyelamatan-Nya, dan segala berkah-Nya kepada kita."
"Nanti dulu, kakang!"
Ayu memprotes.
"Yang tadi menolongku di bawah kedung, yang membunuh buaya putih dan yang membunuh Bajul Sengoro adalah engkau, bukan Gusti Allah!"
Parmadi tersenyum sabar. Dia tahu bahwa gadis itu berkata seperti itu karena tidak mengerti dan memerlukan penjelasan.
"Ketahuilah, Ayu dan yakinlah bahwa yang tadi menyelamatkanmu bukan orang adalah Gusti Allah. Benar bahwa dalam hal itu. Dia mempergunakan diriku sebagai alat dan pelaksana saja. Tidak tahukah engkau bahwa segala kemampuan yang ada pada diri kita semua ini datang dari Gusti Allah? Tanpa kekuasaan-Nya, kita ini mampu apakah? Kita ini hanya seonggokan darah daging yang tak berdaya. Hanya karena adanya kekuasaan-Nya sajalah maka kita mampu melakukan segala sesuatu yang berarti."
"Alhamdullilah". !"
Seru Kyai Jayawijaya.
"Puji syukur kepada Gusti Allah bahwa aku masih diberi kesempatan mendengarkan wejangan ini, seolah aku mendengar sendiri wejangan itu keluar dari mulut kakang Resi Tejo Wening!"
"Bagaimana sih artinya semua ini, eyang? Aku bingung dan tidak mengerti. Bukankah segala hal yang kita lakukan itu datang dari hati akal pikiran kita?"
Tanya Ayu Puspa.
"Baik sekali kalau engkau mau bertanya dan membantah, Ayu. Dengan membantah dan bertanya, engkau akan memperoleh jawaban yang akan menambah pengertianmu. Menjadi orang muda haruslah selalu menyangkal dan bertanya kalau dia belum mengerti, barulah pengertianmu akan berkembang dan jiwa menjadi matang. Parmadi, harap jangan sungkan. Tolong beri jawaban dan penjelasan kepada Ayu Puspa."
Parmadi tersenyum. Dia ingat akan dirinya sendiri dahulu ketika masih menjadi murid Resi Tejo Wening. Dia juga selalu mengajukan segala macam pertanyaan kepada gurunya sampai dia memperoleh jawaban yang jelas.
"Akan kucoba memberi keterangan sebatas kemampuanku, Ayu. Engkau benar ketika mengatakan bahwa segala perbuatan kita itu bersumber dari hati akal pikiran kita. Akan tetapi apakah hati akal pikiran kita itu, Ayu? Bukankah semua itu juga hanya alat yang dapat dipergunakan apabila perlu? Buktinya bahwa bahwa akal pikiran itu alat, selagi orang pingsan atau tertidur, maka hati akal pikiran kita sama sekali tidak bekerja, padahal orangnya masih hidup. Jadi sesungguhnya, jiwa ini bukan hati akal pikiran, bukan aku yang suka mengaku-aku. Semua angauta badan ini, luar dalam, termasuk hati akal pikiran, hanya merupakan alat belaka. Bahkan kalau kepala ini terpukul atau terbentur keras, akal pikiran bisa rusak sehingga orang akan kehilangan igatan, kehilangan akal, menjadi tidak bisa apa-apa. Sekali lagi, kita ini hanya sekadar alat, Ayu. Akan tetapi Gusti Allah Maha Pengasih dan Penyayang, Maha bijaksana dan Maha Murah. Kita masih diberi kebebasan untuk memilih, apakah kita ini suka dijadikan alat Gusti Allah ataukah lebih suka dijadikan alat Setan! Kalau menjadi alat Gusti Allah, maka hidup kita pasti bermanfaat bagi manusia dan dunia, sebaliknya kalau menjadi alat Setan, hidup kita penuh berlepotan dosa dan kejahatan. Nah, mengertikah engkau sekarang bahwa yang menyelamatkan tadi adalah kekuasaan Gusti Allah yang "meminjam"
Diriku sebagai alat untuk menyelamatkanmu?"
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
AYU tersenyum.
"Sulit, akan tetapi kumulai mengerti sedikit-sedikit, kakang."
"Ha-ha-ha!"
Kyai Jayawijaya tertawa bergelak.
"Mengerti sedikit-sedikit sudah merupakan suatu kemajuan, Ayu. Jauh lebih baik daripada mengaku segalanya padahal sesungguhnya masih tidak mengerti apa-apa."
"Baiklah kalau begitu, aku tidak berterima kasih kepada kakang Parmadi, melainkan kepada Gusti Allah. Dan sekarang aku akan menjadi alat Gusti Allah untuk membuat masakan yang enak-enak dan kuhidangkan kepada kakang Parmadi."
"Alhamdullilah! Itupun merupakan berkah Gusti Allah yang diberikan kepadak melalui tanganmu, Ayu."
Ayu Puspa tertawa manis dan iapun berlari ke belakang untuk menyembelih ayam dan membuatkan masakan untuk Parmadi. Kyai Jayawijaya juga membujuk agar Parmadi bermalam di pondoknya karena hari telah menjelang senja.
"Tapi saya harus melanjutkan perjalanan saya, eyang,"
Kata Parmadi, menolak halus.
"Sekarang sudah sore, Parmadi. Sebentar lagi hari menjadi gelap. Apakah engkau akan melanjutkan perjalanan naik perahu di malam hari? Itu sungguh berbahaya. Sebaiknya engkau melewatkan malam di pondokku ini dan besok pagi pagi baru melanjutkan perjalanan. Ayu tentu akan kecewa dan marah-marah sekali kalau engkau pergi sekarang, padahal ia sedang sibuk mempersiapkan hidangan untukmu. Dan katamu sendiri rejeki itupun pemberian Gusti Allah, apakah engkau berani menolak rejeki?"
Bujukan itu membuat Parmadi akhirnya mengalah. Tidak ada buruknya dan tidak ada ruginya kalau malam ini dia bermalam di rumah kakek yang bijaksana dengan cucunya yang manis dan bersikap akrab dengannya. Setelah mandi, Parmadi diajak makan malam. Dia mendapat kenyataan bahwa dara cantik manis yang memiliki kedigdayaan yang mengagumkan itu ternyata memiliki kepandaian lain yang juga mengagumkan, yaitu memasak. Hanya beberapa macam masakan terdiri dari daging ayam dan sayur-sayuran, namun semua masakannya terasa lezat sekali, terutama sambalnya! Lalapan mentah berupa obis (kol), kacang panjang, terong, dan mentimun dengan sambal menjadi paduan yang cocok dengan daging ayam goreng. Juga masakan kangkung dengan daging ayam dan dua masakan sayur lain amat lezatnya. Semua itu dilengkapi dengan minuman "rujak degan" (kelapa muda) yang manis-manis gurih.
Parmadi merasa kenyang dan nyaman.
"Wah, kalau setiap hari aku makan seperti ini, dalam waktu sebulan saja aku pasti menjadi gemuk sekali!"
Ucapan ini terdengar lebih menyenangkan dan membanggakan daripada pujian bahwa masakannya lezat. Sepasang mata Ayu Puspa bersinar dan kedua pipinya berubah kemerahan, bibirnya tersenyum ketika ia memandang kepada Parmadi.
"Aih, masakan orang desa mana bias lezat menyamai masakan gadis-gadis kota, kakang? Bilang saja masakanku cemplang, aku juga tidak apa-apa, kok. Tidak usah merayu!!'
Parmadi tersenyum.
"Ayu, mulut yang bicara memang bisa saja berbohong dan merayu, akan tetapi mulut yang makan dengan lahap sampai tambah-tambah tiga kali, tentu tidak berbohong dan menjadi bukti bahwa mulut itu menikmati apa yang dimakannya. Dan aku tadi maka dengan gembul, bertambah nasi sampai tiga kali!"
Kyai Jayawijaya tertawa bergelak mendengar ucapan Parmadi ini.
"Ha-ha-ha, engkau kalah, Ayu. Dan aku sendiri memperkuat pendapat Parmadi tadi bahwa masakanmu sekarang ini lezatnya luar biasa! Sungguh aku merasa heran. Masakanmu setiap hari juga enak, akan tetapi tidak sehebat apa yang kaumasak sore ini"
"Aih, eyang....!"
Kata Ayu tersipu dan cepat-cepat gadis itu membersihkan meja dan membawa sisa hidangan ke dapur. Malam itu mereka bertiga bercakap-cakap di bawah sinar lampu gantung. Terpaksa Parmadi menceritakan keadaan dirinya, tentang orang tuanya yang terbunuh ketika dia berusia sepuluh tahun, dan tentang gurunya, Resi Tejo Wening yang mengambilnya sebagai murid ketika dia berusia delapan belas tahun.
"Dan sekarang ini engkau melakukan perjalanan berperahu di sepanjang Bengawan Solo, hendak pergi ke manakah, kakang?"
Ayu bertanya.
"Eyang Resi Tejo Wening berpesan agar aku selalu membantu Mataram. Karena mendengar bahwa Mataram berusaha menundukkan Madura dan Surabaya, maka aku hendak pergi ke sana untuk membantu Mataram."
Kyai Jayawijaya mengangguk-angguk.
"Engkau benar, Parmadi. Memang Mataram harus dibantu oleh para satria dan pendekar. Mataram berusaha untuk mempersatukan semua wilayah Jawa Dwipa untuk menyusun kekuatan menentang Kumpeni Belanda! Sayang aku sudah tua renta, kalau aku masih muda dan kuat aku tentu akan membantu Mataram pula!"
"Kakang Parmadi, engkau tadi mengatakan bahwa kita harus menjadi alat yang dipergunakan oleh Gusti Allah. Apakah membantu Mataram itu sesuai dengan kehendak Gusti Allah?"
Tiba-tiba Ayu Puspa bertanya dan pertanyaan ini mengejukan eyangnya yang menganggap pertanyaan itu lancang. Akan tetapi Parmadi tersenyum dan merasa kagum akan keterbukaan gadis itu. Baik sekali kalau orang mau bertanya akan sesuatu yang membimbangkan hatinya. Sungkan bertanya membuat orang tetap bodoh, bahkan mungkin menimbulkan prasangka yang bukan-bukan.
"Tentu saja, Ayu. Gusti Allah memberi berkah kepada manusia dengan adanya persamaan suatu bangsa yang mempunyai sebagian dari dunia ini sebagai tempat tinggal dan tanah airnya, di mana dia lahir hidup dan mati. Sudah sepantasnyalah kalau kita menjaga persatuan saling bantu dan saling tolong-menolong di antara sebangsa dan membela tanah air yang diberikan Gusti Allah kepada kita. Ini merupakan tugas para satria. Satria itu selalu harus mengayuhayuning bhuwana (mengusahakan keselamatan dunia) dan hal ini jelas merupakan alat Gusti Allah. Kalau menjadi alat setan tentu hanya akan merusak keselamatan dunia. Gusti Sultan Agung di Mataram berniat baik, ingin mempersatukan seluruh Nusa Jawa untuk menggalang persatuan dan menyusun kekuatan guna menentang Kumpeni Belanda, sang angkara murka. Bumi Nusantara ini diciptakan Gusti Allah untuk kita, bukan untuk Belanda yang telah dikurniai bumi tersendiri di negaranya. Namun mereka hendak menguasai tanah air kita. Hal itu berarti Kumpeni Belanda diperalat setan dan kita yang menentangnya menjadi alat Gusti Allah untuk menentang keangkara-murkaan. Karena itulah aku tidak ragu-ragu membela Mataram untuk menundukkan Madura dan Surabaya agar kedua daerah itu mau bersatu dengan Mataram untuk menentang Belanda."
Mendapat keterangan panjang lebar itu Ayu Puspa mengangguk-angguk.
"Kalau begitu, akupun ingin membantu Mataram!"
Ayu berkata penuh semangat.
"Ah, Ayu. Ingatlah bahwa engkau seorang wanita! Perang bukan tugas seorang wanita!"
"Hemm, apa bedanya, eyang? Aku ingin ikut kakang Parmadi untuk membantu Mataram. Aku juga tidak takut bertempur dalam perang. Bukankah eyang telah mengajarkan banyak aji kesaktian kepadaku?"
"Jangan, Ayu. Semua perajurit dan senopati adalah laki-laki belaka. Engkau hanya akan menjadi bahan tertawaan kalau engkau maju sebagai perajurit, Ayu!"
Parmadi dapat melihat pandang mata penuh kekhawatiran dari kakek itu dan dia maklum bahwa Kyai Jayawijaya merasa gelisah kalau-kalau ditinggalkan cucunya yang amat dikasihinya dan juga yang merupakan satu-satunya anggauta keluarganya yang menemaninya. Maka diapun cepat berkata untuk mendukung kakek itu dan membujuk Ayu.
"Apa yang dikatakan eyang itu benar, Ayu. Selain itu, apakah engkau tega meninggalkan eyang yang sudah tua ini hidup seorang diri di sini? Siapa yang akan melayaninya? Siapa akan mencuci pakaian dan memasak makanan? Tidak kasihankah engkau padanya?"
Diingatkan demikian, Ayu Puspa memandang kakeknya dengan bimbang. Kyai Jayawijaya berkata lirih.
"Ayu, aku tidak ingin menghalangi keinginanmu. Kalau engkau hendak pergi, yah, pergilah. Aku akan berusaha semampuku untuk mengurus diriku sendiri."
Melihat pandang mata kakeknya demikian sedih, Ayu lalu duduk mendekatinya dan memegang lengannya.
"Tidak, eyang. Jangan khawatir. Aku tidak akan meninggalkan eyang. Aku tadi hanya tergugah semangatku oleh ucapan kakang Parmadi."
Hati kakek itu menjadi lega. Memang dia sudah tua renta dan satu-satunya kegembiraan hidupnya adalah melihat cucunya. Kalau dia ditinggalkan Ayu Puspa dan hidup seorang diri, dia akan menderita sekali, bukan hanya karena kesepian akan tetapi terutama sekali karena merasa bahwa dirinya tidak dibutuhkan siapapun lagi, tidak ada gunanya di dunia ini. Kalau ada Ayu di sampingnya, sedikitnya dia dapat mernbimbing cucunya itu, dapat memperdalam ilmu-ilmu cucunya, dapat mengawasinya dan memberinya nasihat. Memang paling berat bagi seseorang dalam hidupnya kalau dia sudah merasa bahwa dirinya tidak ada gunanya lagi, tidak ada yang membutuhkannya lagi!
Setelah malam tiba, Kyai Jayawijaya meninggalkan dua orang muda itu yang masih duduk bercakap-cakap di beranda depan. Bulan mulai muncul menghujani bumi dengan cahayanya yang lembut sehingga suasananya menjadi indah dan sejuk sekali.
"Kalau terang bulan seperti ini, lebih nyaman duduk di taman bunga. Apalagi karang bunga harum dalu kesukaanku sedang berkembang. Mari kita duduk di sana, kakang,"
Ajak Ayu Puspa.
"Engkau mempunyai taman bunga?"
Tanya Parmadi sambil ikut bangkit berdiri.
"Tentu saja. Taman itu berada di kebun belakang. Aku sendiri yang merawata setiap hari. Mari kita ke sana."
Mereka berdua keluar dari pintu samng dan berjalan keluar rumah, lalu membelok ke belakang. Benar saja, dalam cahaya bulan yang redup tampak oleh Parmadi sebuah taman bunga yang cukup mungil. Baru memasuki taman itu dia sudah disambut harum bunga putih kecilkecil yang bernama bunga "harum dalu itu. Memang harum bukan main, menambah keindahan malam terang bulan di taman itu. Banyak pula bunga mawar dan melati di situ yang juga menyiarkan haruman yang khas, walaupun masih kalah oleh keharuman bunga harum dalu yang kuat itu. Di tengah taman kecil itu terdapat sebuah empang ikan yang hanya dua meter luasnya, berbentuk bundar. Ada setangkai bunga teratai merah di tengah kolam, akan tetapi malam itu bunganya menguncup. Biasanya berkembang di pagi hari. Ikan-ikan emas berenang hilir-mudik dan bulan yang terbayang di dalam kolam menari-nari. Di dekat kolam itu terdapat sebuah bangku kayu panjang dan ke situlah Ayu mengajak Parmadi duduk.
Mereka duduk berdampingan di atas bangku. Mereka berdiam diri dan Parmadi bahkan dapat menikmati suasana terang bulan di taman kecil itu karena mereka berdiam diri. Udaranya demikian sejuk segar. Yang tercium hanya keharuman bunga-bunga. Yang terasa hanya kesejukan udara, terkadang diselingi semilir angin lembut. Kadang kala terdengar bunyi percik air ketika seekor ikan meloncat ke atas permukaan air, mungkin untuk memandang bulan lebih jelas lagi.
Terdengar oleh Parmadi yang sedang memandang gerakan lembut ikan-ikan berenang di permukaan air helaan napas dan teringatlah dia bahwa Ayu sedang duduk di sebelahnya. Dia menoleh dan tertegun ketika bertemu pandang dengan gadis itu. Ayu sedang menatap wajahnya dengan mata yang demikian aneh! Mata itu redup, bahkan setengah terpejam, seperti mata yang mengantuk. Sinarnya kosong, seperti melamun dan bibir yang merah segar itu sedikit terbuka.
Akan tetapi pandang mata itu seolah menelannya! Parmadi menjadi salah tingkah, sungkan dan bingung. Dia tak sanggup menentang wajah gadis itu lebih lama lagi lalu dia menundukkan pandang matanya sehingga kini yang tampak adalah bagian dada dan perut gadis itu. Ketika pandang matanya melihat gagang patrem yang terselip di ikat pinggang Ayu, teringatlah Parmadi bahwa itu adalah patremnya, pemberian Muryani, yang dipinjamkan kepada Ayu ketika mereka menghadapi gerombolah warga Bajul Petak di Kedung Srengenge itu.
Karena dia sedang salah tingkah dan gugup dipandang seperti itu oleh Ayu, maka begitu melihat patrem itu, langsung saja dia berkata,
"Ayu, itu patrem yang kupinjamkan kepadamu. Kembalikanlah kepadaku."
Akan tetapi gadis itu tidak menjawab dan ketika Parmadi mengangkatmu, memandang, dia mendapatkan Ayu masih bengong seperti tadi menatap wajahnya!
"Ayu.... !"
Barulah gadis itu gelagapan, seper orang kaget dan sadar dari tidurnya.
"Ya ... eh... ada apa, kakang?"
Parmadi masih gugup.
"Anu""
Kuharap engkau suka mengembalikan patrem yang kau pinjam dariku itu."
"Patrem?"
Ayu memandang ke arah keris kecil yang berada di pinggangnya dan tangan kanannya meraba gagang patrem itu.
"Kakang Parmadi, patrem adalah senjata seorang wanita. Untuk apa engkau membawa patrem sedangkan seruling gadingmu merupakan senjata yang teramat ampuh? Bagaimana kalau patremmu ini kuminta untuk dijadikan kenang-kenangan dan tanda mata?"
"Tapi".. itu".. sesungguhnya bukan patremku, Ayu."
"Eh? Kalau begitu, milik siapa ini?"
Ayu mencabut patrem itu, memegang dan mengamati dalam cahaya bulan.
"Milik seorang wanita...."
"Ohh".. ! Milik seorang wanita? Lalu bagaimana dapat berada padamu, kakang?"
"Ia memberikannya kepadaku.... sebagai tanda persahabatan."
"Ah, begitukah? Pantas tidak dapat kuaberikan padaku. Nih, simpanlah!"
Katanya ketus dan mendorongkan patrem ini ke arah Parmadi. Pemuda itu menerimanya dan menyelinapkan patrem itu di nggangnya. Ayu diam saja, hanya mendudukkan muka. Parmadi juga tidak berani memandangnya, tidak berani bersua karena dia merasa bersalah walaupun tidak tahu persis macam apa kesalahannya itu. Sampai lama suasana sunyi. Parmadi mendengar gadis itu menghela napas panas beberapa kali. Akhirnya terdengar suara Ayu bertanya, agak kaku suaranya.
"Kakang, siapakah ia?"
"Ia siapa?"
Balas tanya Parmadi yang masih merasa tidak nyaman hatinya.
"Itu lho sahabatmu yang memberi patrem kepadamu!"
Kata Ayu ketus.
"Oh, itu? Ia adalah seorang sahabat di waktu remaja. Kurang lebih enam tahun yang lalu ketika aku meninggalkan dusun Pakis di lereng Gunung Lawu, ia memberikan patrem itu kepadaku sebagai tanda persahabatan dan sejak itu aku tidak pernah bertemu lagi dengannya."
Hening lagi sejenak lalu Ayu bertanya lagi.
"Siapa namanya?"
"Namanya? Eh.... namanya Muryani."
"Berapa usianya sekarang?"
"Usianya?"
Parmadi mengingat-ingat Muryani dua tahun lebih muda daripada dia.
"Sekitar dua puluh satu atau dua puluh dua tahun begitulah."
"Hemm, sudah tua!"
Kata Ayu Puspa masih cemberut.
Parmadi tertawa dalam hatinya. Betapa anehnya sikap gadis ini. Apakah semua gadis seperti ini anehnya? Muryani dikatakannya sudah tua! Akan tetapi dia tidak mau berbantahan dengan gadis yang kelihatannya tidak senang, bahkan seperti orang marah itu.
"Ya, sudah tua,"
Katanya singkat.
Hening lagi. Kini agak lama dan Parmadi merasa betapa sunyi dan dinginnya alam itu. Awan tipis berarak perlahan enutupi bulan sehingga cahaya bulan menjadi semakin redup. Beberapa kali Parmadi melirik ke arah Ayu dan dia melihat gadis itu seperti sedang termenung, pandang matanya tertuju ke arah kolam di mana tampak ikan-ikan berenang di permukaan air.
"Cantikkah Muryani itu?"
Pertanyaan itu terdengar tiba-tiba dan gadis itu tetap memandang ke air, tidak menoleh pada Parmadi.
"Hemm".apa? O"
Ya, ia memang cantik,"
Jawab Parmadi sejujurnya dan terjadi keanehan dalam benaknya yang belum pernah dia alami sebelumnya. Dia mulai membanding-bandingkan kecantikan Muryani dengan kecantikan Ayu Puspa!
"Cantik mana antara ia dan aku?"
Kini Ayu menoleh dan menatap matanya Parmadi agak gelagapan. Pertanyaan itu seolah menggambarkan bahwa Ayu dapat membaca apa yang berada dalam benaknya saat itu.
"Cantik mana antara ia dan engkau?"
Parmadi menatap wajah itu. Awan telah pergi, tidak lagi menghalangi cahaya bulan. Wajah Ayu yang dekat dengannya tampak jelas. Betapa indah alis yang kecil hitam melengkung rapi itu. Bulu mata yang lentik itu. Mata yang bersinar tajam. Hidung dan terutama mulut dengan bibirnya yang aduhai itu! "Wah, sukar menilai, Ayu. Ia dan engkau sama-sama cantik jelita. Benar, aku tidak berbohong. Bukan hanya sama cantiknya, akan tetapi juga sama digdayanya, sama"
Eh, lincahnya."
Dia mengubah kata galak menjadi lincah.
"Banyak sudah laki-laki jagoan ia kalahkan dan ketika itu ia berusia remaja, baru enam belas tahun."
Aneh! Gadis itu kelihatan marah! Matanya mengeluarkan sinar marah, bibir yang indah itu cemberut.
"Hemm, ingin sekali aku bertemu dengan Muryani dan mengajaknya bertanding! Ingin aku mengetahui apakah ia akan mampu mengalahkan aku!"
Parmadi terkejut dan menatap wajah Ayu. Dua pasang mata bertemu pandang, saling menyelidiki seolah hendak menjenguk ke dalam pikiran masing-masing.
"Ayu, mengapa engkau berkata begitu? Mengapa engkau seperti marah dan membenci Muryani? Ia tidak bersalah apapun kepadamu. Bahkan engkaupun tidak pernah berjumpa dengannya, tidak mengenalnya."
Ayu menjawab pertanyaan itu dengan pertanyaan pula.
"Kakang Parmadi, mengapa siang tadi engkau begitu baik kepauku? Mengapa engkau menyelamatkan aku, mengapa engkau membelaku?"
"Tentu saja, Ayu. Karena engkaupun cantik sekali. Engkau pantas untuk dibela, dengan taruhan nyawa sekalipun,"
Jawab Parrmadi dengan suara dan pandang mata serius.
"Akan tetapi, kenapa malam ini engkau.... begini kejam kepadaku".?"
Ayu lalu menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis sesenggukan! Tangisnya begitu mengguguk dan menyedihkan sehingga kembali Parmadi terkejut dan terheran-heran. Dia kejam kepada Ayu Puspa? Bagaimana pula ini? Melihat gadis itu menangis dan kedua pundaknya bergoyanggoyang, suara tangisnya terisak-isak, dia menjadi kasihan dan digesernya duduknya mendekat, lalu disentuhnya pundak gadis itu dengan lembut.
"Ayu, kenapa engkau menangis?"
Suara pemuda itu demikian lembut dan suara ini bahkan membuat tangis Ayu semakin tersedu-sedu! Parmadi merasa iba dan jari tangannya dengan lembut mengelus rambut kepala Ayu. Merasakan sentuhan ini, tiba-tiba Ayu merangkul pinggang Parmadi dan merapatkan mukanya di atas dada pemuda itu sambil menangis.
Parmadi terkejut, akan tetapi mau tidak mau dia merangkul dan mengelus kepala yang bersandar di dadanya untuk menghibur.
"Ayu, engkau kenapakah?"
Tanya Parmadi hati-hati. Jantungnya berdebar kencang. Sekali lagi dia telah berpelukan dengan Ayu. Yang pertama Ayu merangkulnya karena girang melihat dia tidak mati tertimpa pohon randu alas yang tumbang. Dan kini gadis itu kembali merangkulnya sambil menangis sedih. Dan dia merasa jantungnya berdebar kencang merasakan betapa tubuh yang hangat, lunak dan padat itu mendekap dadanya. Timbul gairah dalam hatinya untuk mendekap lebih erat, untuk menciumi muka yang basah air mata itu. Dia sudah menundukkan mukanya, mendekat muka gadis itu, akan tetapi tiba-tiba dia menyadari bahwa nafsu berahi menguasainya dan kalau dorongan berahi itu dia turuti, maka akan tidak baiklah jadinya. Sebelum hidung dan bibirnya menyentuh muka Ayu yang dengan mata setengah terbuka dan pandang sayu seolah menanti datangnya ciuman, Parmadi menguatkan hatinya dan dia memindahkan arah mukanya dan mencium rambut yang hitam lebat itu. Rambut itu halus sekali dan keharuman melati menyegarkan hidungnya. Dalam beberapa detik lamanya terjadi pertarungan hebat dalam hati Parmadi. Sebagai seorang pria yang usianya sudah dua puluh tiga hampir dua puluh empat tahun, wajarlah kalau gairah berahinya sedang kuat-kuatnya. Nafsu ini mendorongnya dengan amat kuat. Akan tetapi dia menyadari bahwa kalau diperturutkan, hal itu amatlah tidak baik. Ayu bukan apa-apanya, dan dia pun teringat akan Muryani yang sampai kini masih diaanggap sebagai gadis yang dicintainya, walaupun dia tidak yakin benar akan hal itu karena kini gadis itu hanya tinggal kenangan. Kalau nanti dia bertemu dengan Muryani, barulah dia akan dapat memastikan apakah dia mencinta gadis itu ataukah tidak. Dia suka dan kagum kepada Ayu Puspa, akan tetapi cinta? Dia sendiri tidak tahu. Ketika merasa kepalanya dicium, Ayu merangkul pinggang Parmadi lebih erat lagi.
"engkau"engkau kejam, kakang...."
Mendengar suara ini, Parmadi merasa lega karena dia merasa bahwa kini dia telah dapat menguasai gejolak nafsu berahinya. Gurunya pernah memberi penjelasan kepadanya tentang nafsu-nafsu, antaranya, nafsu berahi dan sekarang barulah dia mengalami sendiri gejolak nafsu berahi yang amat kuat dan yang menjatuhkan banyak orang, bahkan orang bijaksana, orang pandai, para raja dan satria banyak yang tergelincir dan jatuh karena pengaruh nafsu berahi yang teramat kuat ini. Nafsu berahi, seperti semua nafsu dalam jasmani manusia, memang menjadi peserta manusia sejak mausia dilahirkan.
Nafsu-nafsu ini mutlak penting bagi kehidupan manusia di dunia, demikian dahulu Resi Tejo Wening menegangkan. Tanpa adanya nafsu-nafsu daya rendah yang bertingkat-tingkat ini dalam diri manusia, maka manusia takkan dapat hidup di dunia seperti sekarang ini. Dengan bekerjanya nafsu dalam hati akal pikiran manusia, maka manusia dapat memperoleh kemajuan karena nafsu membuat pikiran menjadi pandai membuat segala sesuatu demi kesejahteraan dan kesenangan hidup di dunia. Nafsu merupakan peserta yang baik kalau dibiarkan menjadi peserta, menjadi hamba, menjadi pelayan. Akan tetapi manusia tidak boleh lengah. Sekali nafsu dibiarkan merajalela, maka dia akan menguasai hati akal pikiran manusia sehingga keadaannya menjadi terbalik. Manusia yang akan diperbudak nafsu sehingga dia akan melakukan apa saja, bahkan yang sejahat-jahatnya, demi untuk memuaskan keinginan nafsu. Kalau nafsu berahi menjadi pelayan, manusia dapat memanfaatkannya sebagai pencurahan kasih sayang yang paling mendalam antara suami isteri, bahkan nafsu berahi menjadi sarana terpenting bagi perkembang-biakan manusia. Akan tetapi kalau nafsu berahi dibiarkan memperbudak manusia, maka akan terjadilah perjinaan, perkosaan, pelacuran dan sebagainya, tindakan penuh kemaksiatan yang semata-mata dilakukan untuk memuaskan nafsu berahi.
Demikian pula dengan nafsu-nafsu daya rendah lainnya. Kalau dibiarkan menguasai kita, maka kita akan terseret ke dalam lembah dosa. Kita harus selalu waspada dan hati-hati karena nafsu-nafsu itu mempergunakan segala macam kesenangan dan keenakan sebagai umpan untuk memancing kita.
"Hanya Dewa Ruci saja yang dapat menolong kita,"
Demikian Resi Tejo Wening berkata. Parmadi tahu bahwa yang dimaksudkan Dewa Ruci itu adalah Roh Suci, yaitu Kekuasaan Gusti Allah. Hanya dalam bimbingan Dewa Ruci sajalah manusia akan mampu melawan pengaruh nafsu-nafsunya sendiri yang teramat, kuat.
"Aku kejam kepadamu, Ayu? Apa maksudmu?"
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanya Parmadi dan dengan lembut dia merenggangkan tubuhnya dan membantu gadis itu duduk kembali di sampingnya. Ayu duduk
dan menghapus air matanya.
"Engkau mencinta gadis itu! Engkau mencinta Muryani!"
Kata Ayu dengan mulut cemberut.
"Ah, jangan berkata begitu, Ayu. Murayani dan aku hanya bersahabat, persahabatan di waktu kami remaja,"
Parmadi berkata jujur karena sesungguhnya dia nendiri belum yakin apakah dia benar-bewar mencinta Muryani, ataukah itu hanya angan-angan seorang remaja saja. Kalau dia bertemu dengan Muryani sekarang, barulah dia akan dapat memastikan apakah ada cinta di antara mereka.
Mendadak saja terjadi perubahan pada wajah Ayu. Kecemberutannya sirna, terganti wajah yang berseri dan mata yang bersinar, walaupun kedua pipinya rnasih basah. Bibirnya tersenyum manis dan ke dua tangannya menangkap kedua tangan Parmadi.
"Kalau begitu".. engkau suka kepadaku, kakang?"
"Tentu saja, Ayu,"
Kata Parmadi sejujurnya.
"Aku kagum dan suka padamu.'
Gadis itu tampak semakin gembira Genggaman kedua tangannya pada tangan Parmadi semakin kuat.
"Kakang Parmadi". ah, kakang! Apakah cintamu padaku sebesar cintaku kepadamu?"
Bukan main kagetnya hati Parmad mendengar pertanyaan itu. Gawat, pikirnya. Jawabannya tadi, yang menyatakan bahwa dia kagum dan suka kepada Ayu agaknya disalah-artikan oleh gadis itu. Rasa suka dianggapnya cinta!
Akan tetapi sebelum dia menjawab, tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak dan muncullah Kyai Jayawijaya.
"Ha-ha, ha, bagus sekali! Sungguh berbahagia sekali hatiku mendengar bahwa kalian berdua saling,,mencinta! Ah, ini merupakan anugerah Gusti Allah yang paling besar, bagi hidupku. Parrnadi, aku berterima kasih sekali bahwa engkau mencinta Ayu dan suka menerima cucuku sebagai calon isterimu. Sebaiknya pernikahan segera dilangsungkan karena kalian berdua juga sudah cukup dewasa!"
Parmadi terkejut bukan main. Lebih gawat .lagi sekarang! Bukan hanya Ayu Puspa yang salah sangka, melainkan kini bahkan Kyai Jayawijaya juga salah kira. Dia cepat melepaskan pegangan kedua tangan Ayu dan bangkit berdiri lalu mundur ke belakang sampai empat langkah.
"Tidak... tidak" ! Bukan begitu maksudku, eyang dan Ayu. Aku tidak ingin menikah, aku tidak jatuh cinta....!"
Ayu melompat berdiri, mukanya yang tertimpa cahaya bulan tampak pucat, matanya terbelalak.
"Apa... apa maksudmu, kakang Parmadi? Engkau tadi memelukku, mengatakan bahwa engkau suka dan kagum kepadaku! Mengapa kini engkau mengingkarinya?"
"Parmadi! Jangan kaulumuri budi kebaikanmu dengan mempermainkan cucuku!"
Kyai Jayawijaya membentak marah.
"Avu dan Eyang Kyai, harap suka mengerti akan perbedaan antara suka dan cinta. Rasa suka kepada seseorang membuat orang ingin menjalin persahabatan yang akrab, sedangkan rasa cinta dapat menjalin hubungan perjodohan. Aku kagum dan suka kepada Ayu, bukan mencinta seperti yang Ayu maksudkan."
"Kau.... kau".."
Kyai Jayawijaya lari memasuki rumah dan keluar lagi membawa buntalan pakaian Parmadi, lalu melemparkan buntalan pakaian itu kepadanya.
"Nah, bawalah pakaianmu dan pergilah tinggalkan kami! Engkau memikat kemudian menghancurkan hati cucuku. Enyahlah!"
P
armadi menghela napas panjang dan hendak melangkah pergi, akan tetapi Ayu Puspa menghadang di depannya.
"Tunggu! Enak saja engkau hendak pergi setelah berani menghina aku! Engkau harus menebus dengan nyawamu!"
Setelah berkata demikian, Ayu lalu menyerang Parmadi dengan dahsyat, mengerahkan seluruh tenaganya. Parmadi mengelak ke kiri, akan tetapi dari kiri Kyai Jayawijaya menyambutnya dengan serangan yang lebih dahsyat lagi.
"Siapapun tidak boleh menghina cucuku!"
Bentaknya.
Kembali Parmadi mengelak dan dia lalu mengerahkan kesaktiannya untuk melompat jauh dan melarikan diri. Gerakannya cepat bukan main, seperti terbang saja. Biarpun kakek dan cucunya itu melakukan pengejaran, namun Parmadi telah jauh meluncurkan perahunya ketika mereka tiba di tepi kedung. Perahu pemuda itu tidak tampak lagi. Ayu hanya dapat menangis ketika dituntun kakeknya
(Lanjut ke Jilid 21)
Seruling Gading (Seri ke 02 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 21
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo