Seruling Gading 24
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Bagian 24
Parmadi tersenyum.
"Akupun hampir tidak mengenalimu, adi Muryani. Engkau berubah, bukan lagi seorang gadis remaja seperti ketika berpisah dahulu. Sekarang engkau seorang gadis dewasa yang sakti mandraguna dan.... cantik jelita!"
Mendapatkan pujian yang ia tahu keluar dari hati yang tulus, Muryani tersipu. Ia tadi sengaja tidak bercerita tentang Satyabrata.
"Apalagi engkau, kakang! Engkau berubah sekali. Siapa sangka engkau yang dulu merupakan seorang pemuda yang biarpun pemberani namun lemah, kini berubah menjadi seorang pemuda yang digdaya! Aku benar-benar merasa terkejut, heran dan kagum sekali."
Kembali Parmadi tersenyum.
"Dan bagaimana engkau dapat mengenal kembali aku?"
Muryani juga tersenyum dan menudingkan telunjuk kanannya ke arah pinggang Parmadi sebelah kanan.
"Melihat patrem itu, aku tidak ragu lagi dengan siapa aku berhadapan! Dan engkau, bagaimana engkau dapat mengenaliku, kakang?"
"Sinar matamu, adi Muryani. Pandang matamu itu amat kukenal dan segera aku dapat menduga siapa gadis cantik sakti mandraguna yang berdiri di depanku."
"Ahh, kakang Parmadi, betapa bahagia hatiku dapat bertemu denganmu. Hayo sekarang giliranmu untuk menceritakan semua pengalamanmu sejak kita saling berpisah, sejak engkau meninggalkan aku, kakang."
"Mari kita duduk, Muryani. Tidak enak bicara sambil berdiri saja."
Parmadi mengajak gadis itu duduk dan mereka berdua duduk di atas pasir yang putih dan bersih.
"Seperti engkau tentu masih ingat ketika meninggalkan dusun Pakis dahulu itu, aku berpamit dan mengatakan bahwa aku hendak merantau dan meluaskan pengalaman dan pengetahuan. Sebetulnya aku pergi mengikuti seorang kakek yang sakti mandraguna dan bijaksana, yang mengambil aku sebagai murid. Ketika itu, aku tidak berani bercerita tentang beliau karena memang beliau tidak ingin diketahui keadaannya oleh orang banyak. Beliau adalah Eyang Resi Tejo Wening. Aku diberi pelajaran tentang hidup dan diberi ilmu-ilmu untuk bekal hidup dan selama kurang lebih lima tahun kami berdua tinggal di puncak Gunung Lawu."
"Wah, tidak begitu jauh kalau begitu! Kalau tahu begitu, tentu aku sudah mencarimu ke sana!"
Seru Muryani terheran-heran, sama sekali tidak menyangka bahwa selama ini Parmadi berada di puncak Gunung Lawu, tidak begitu jauh dari Pakis, hanya membutuhkan pendakian beberapa jam saja!
"Setelah Eyang Resi Tejo Wening memerintahkan agar aku turun gunung, aku langsung kembali ke Pakis dan di sana aku mendengar tentang engkau dan ayahrnu. Aku lalu turun gunung dan berusaha rnencari jejakmu, namun tidak berhasil. Kemudian aku mendengar juga tentang akan terjadinya perang antara Mataram dan Madura, maka aku lalu pergi ke timur dengan maksud untuk menyumbangkan tenagaku membantu Mataram. Tadi aku melihat engkau terancam bahaya kelika serdadu Belanda itu hendak menembakmu, maka biarpun aku tadi belum mengenalimu, aku cepat membantumu."
Parmadi juga tidak menceritakan pengalamannya bertanding melawan orang-orang lain yang tidak ada hubungannya dengan Muryani.
Tiba-tiba Muryani berseru.
"Ah, dia itu belum mati!"
Dan cepat ia mengambil sebatang golok yang menggeletak di de katnya, lalu ia menyambitkan golok itu ke arah anak buah Senopati Sumbaga yang tadi dirobohkan Parmadi.
"Syuuuuttt....!"
Golok itu meluncur dengan cepat ke arah tubuh orang yang sudah bangkit duduk sambil memegang kepalanya yang pening dengan kedua tangan, sama sekali tidak menyadari bahwa ada sebatang golok meluncur ke arahnya bagaikan tangan maut.
"Wuuuutt plakkk!"
Golok yang sedang meluncur itu tiba-tiba saja runtuh seperti tertolak sesuatu yang amat kuat,
"Ehh...?"
Muryani terbelalak kaget. Ia melihat Parmadi tadi menggerakkan tangan ke arah golok yang meluncur itu dan ada hawa pukulan yang kuat menyambar ke depan, ke arah golok dan meruntuhkan golok itu.
"Kenapa engkau lakukan itu, kakang?"
"Maaf, adi Muryani, aku tadi memang sengaja tidak membunuh orang itu, hanya membuat dia roboh pingsan. Kurasa kami membutuhkan orang itu."
"Mengapa? Untuk apa? Mereka adalah orang-orang dari Arisbaya, Madura yang agaknya bergabung dengan kumpeni!"
"Justeru karena itulah. Kita ingin membantu Mataram, bukan? Nah, mari kita tanya dia."
Parmadi bangkit dan menghampiri orang itu, diikuti oleh Muryani yang belum mengerti benar apa yang dikehendaki pemuda itu.
Orang itu agaknya sudah tidak pening lagi dan dia kini mengangkat muka memandang dua orang muda yang datang menghampirinya. Dia terbelalak, lalu bangkit berdiri, agaknya siap untuk membela diri!
"Tenanglah, ki-sanak!"
Kata Parmadi dengan halus.
"Kami memang sengaja membiarkan engkau hidup dan sebaliknya kami harap agar engkau suka memberi keterangan sejujurnya kepada kami."
"Hemm, aku sudah kalah. Kalau kalian hendak membunuhku, lakukanlah. Aku tidak takut mati untuk membela Madura!"
Kata orang itu dengan sikap gagah.
Parmadi menghela napas panjang. Dia tahu bahwa sukar untuk berdebat tentang kebenaran dengan seorang musuh dalam perang. Semua orang tentu saja mempertahankan kebenaran masing-masing yang menganggap dirinya benar karena membela pihaknya sendiri sebagai sebuah perjuangan yang suci dan benar.
"Akan tetapi mengapa kalian mengeroyok seorang wanita?"
Dia memancing sambil menoleh kepada Muryani.
Orang Madura itu memandang Muryani dengan sinar mata penuh kebencian "Karena ia seorang telik-sandi Matara yang harus dibunuh!"
Parmadi diam-diam mengakui bahwa orang ini, mungkin demikian pula dengan semua temannya yang telah tewas, adalah orang-orang gagah yang membela tanah air mereka dengan gigih sebagai seorang pejuang yang mencinta tanah air dan bangsa. Ah, betapa menyedihkan kalau bangsa di Nusantara itu terpecah pecah seperti ini.
"Akan tetapi, ki-sanak. Mengapa kalian orang-orang Arisbaya bersekongkol dengan orang orang Kumpeni Belanda itu untuk mengeroyok seorang wanita yang sebetulnya masih bangsa sendiri? Dari manakah tiga orang serdadu kumpeni itu datang?"
Orang itu tersenyum mengejek.
"Kumpeni Belanda suka membantu kami untuk menghadapi Mataram, maka kami bekerja sama dengan mereka. Kalian boleh membunuhku, akan tetapi kalian tidak akan terlepas dari mereka!"
Orartg itu menunjuk ke arah lautan di mana terdapat sebuah kapal. Tiba-tiba orang itu mengampil golok yang tadi dilontarkan Muryani dan menggeletak di situ, lalu menyerang gadis itu dengan nekat.
"Hyaaaaaehhhh" !"
Orang itu membacokkan goloknya ke arah kepala Muryani dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Golok itu menyambar dengan suara berdesing. Akan tetapi dengan mudah saja Muryani dapat menghindarkan diri dari bacokan itu dengan elakan ke samping dan sekali kakinya mencuat ke arah pergelangan tangan kanan penyerangnya, orang itu mengeluh dan golok itupun terlepas dan terpental dari tangannya.
"Cukup, Muryani. Jangan bunuh dia."
Kata Parmadi. Muryani merasa heran sendiri mengapa ia begitu mentaati seruan Parmadi ini. Ia merasa ada sesuatu yang amat kuat dan berwibawa sehingga secara otomatis ia melompat ke belakang.
"Ki-sanak, kami tidak akan membunuhmu. Kalau engkau memang seorang pejuang yang membela Arisbaya, engkau tentu memiliki kesetiakawanan untuk mengubur jenazah para kawanmu itu. Mari adi, kita pergi,"
Kata Parmadi dan Muryani menurut saja ketika Parmadi menghampiri perahu kecil milik dua orang mata-mata Arisbaya yang menyamar sebagai nelayan tadi.
Muryani merasa semakin heran. Ia perti berubah menjadi seorang anak kecil yang menurut saja dituntun seorang dewasa! Tanpa bicara Parmadi mengajak ia naik perahu kecil yang didayung ol Parmadi menuju ke muara!
Baru setelah mereka jauh meninggalkan tempat pertempuran tadi dan tidak tampak dari sana terhalang batu-batu karang dan bukit pasir, Muryani dapat bicaran. Ia bertanya dengan suara keheranan.
"Kakang Parmadi, apa artinya ini semua? Kenapa aku... aku menurut saja apa yang kaukatakan?"
Parmadi tersenyum dan mendayung perahunya ke tepi muara, lalu mendarat dan menarik perahu itu ke darat. Setelah itu barulah dia duduk di atas batu karang dan mempersilakan gadis itu duduk di depannya.
"Engkau menuruti kata-kataku berarti bahwa engkau percaya padaku, adikku, dan aku girang sekali."
"Ya, akan tetapi kenapa, kakang? Kenpa engkau melarang aku membunuh orang tadi? Bukankah dia itu musuh dan dia pun berniat membunuh aku?"
"Benar katamu, Muryani. Akan tetapi ingat, dia ingin membunuhmu karena menganggap engkau telik-sandi Mataram dan dia berjuang untuk membela Madura. Dia juga seorang pejuang, seorang gagah, walaupun sayang sekali kerajaan measing-masing bermusuhan sehingga membuat dua pihak yang sama-sama patriot, sama-sama pejuang, sama-sama orang gagah yang sebagai seorang kawula membela negaranya, terpaksa harus berhadapan sebagai musuh. Aku tidak tega melihat dia terbunuh. Pula, kalau dia terbunuh, lalu siapa yang akan menguburkan semua jenazah itu?"
"Kakang Parmadi, sungguh aku tidak mengerti. Kenapa engkau memperdulikan mayat-mayat para musuh itu? Kalau kita yang kalah dan mati, belum tentu mereka mau memperdulikan jenazah kita."
"Hal itu hanya akan membuktikan bahwa mereka adalah manusia-manusia yang tidak berperikemanusiaan, adi Muryani. Di waktu hidup, nafsu dan keadaan mungkin memaksa kita untuk bermusuhan dengan mereka. Akan tetapi setelah mereka mati, permusuhan apalagi yang ada. Mereka telah menjadi jenazah dan ingat itu adalah jenazah manusia. Tak mungkin kita biarkan terlantar begitu saja."
"Aduh, bicaramu mengingatkan aku kepada mendiang ayahku, kakang Parmadi."
"Tentu saja. Bukankah beliau adalah guruku yang pertama?"
"Akan tetapi mengapa pula engkau mengajakku ke sini, kakang? Agaknya engkau seperti sedang merencanakan sesuatu."
"Engkau masih tetap cerdik seperti dulu, Muryani. Sesungguhnyalah. Melihat tiga orang serdadu Belanda yang membantu orang-orang Madura itu, aku menjadi curiga. Kapal Belanda di sana itu pasti bermaksud untuk membantu Madura. Hal itu akan berbahaya sekali. Kalau kita ingin membantu Mataram, inilah kesempatan yang amat baik itu."
"Apa maksudmu?"
"Kita harus dapat naik ke kapal itu dan melumpuhkan kekuatannya. Ketahuilah, adi Muryani. Dari percakapanku deirgan beberapa orang bijaksana yang setia kepada Mataram, aku mengetahui bahwa musuh utama kita adalah Kumpeni Belanda yang hendak menguasai bumi nusantara. Gusti Sultan Agung tidak memusuhi daerah-daerah, melainkan hendak mempersatukan semua kekuatan senusantara untuk bersatu padu menyusun kekuatan menghadapi Kumpeni Belanda. Yang menolak persatuan terpaksa ditundukkan. Dan pihak Belanda tentu saja tidak suka melihat persatuan semua daerah dengan Mataram, maka mereka selalu berusaha untuk memecah belah agar kekuatan kita menjadi lemah. Kapal itupun tentu ingin membantu Madura agar jangan sampai bersatu dengan Mataram. Karena itu, kalau kita ingin membantu Mataram kita harus berusaha untuk melumpuhkan kapal itu."
"Wah, itu sukar dan berbahaya sekali kakang Parmadi!"
Seru Muryani sambil memandang ke arah kapal besar itu. Moncong beberapa buah meriam tampak dari situ.
"Dan mengapa pula engkau bersembunyi di antara batu karang ini?"
"Aku pernah mendengar bahwa kumpeni memiliki alat-alat yang ampuh. Selain senjata api panjang dan pendek, juga meriam-meriam dan aku mendengar mereka memiliki alat yang disebut teropong yang membuat mereka dapat melihat dari jauh sehingga dengan teropong itu, mungkin mereka dapat melihat kita di sini dari kapal. Maka sebaiknya kita berhati-hati dan sembunyi di antara batu karang sehingga kita dapat mengintai kapal sebaliknya mereka tidak dapat melihat klta."
"Akan tetapi bagaimana kita dapat naik ke kapal mereka? Bukankah hal itu sukar dan berbahaya sekali?"
"Tidak ada perjuangan tanpa menghadapi kesukaran dan bahaya, Muryani. Malam nanti akan kucoba untuk menggunakan perahu mendekati kapal mereka dan mencari jalan bagaimana aku dapat menyelundup naik ke kapal itu."
"Kalau begitu aku ikut, kakang!"
Kata Muryani penuh semangat.
"Lebih baik jangan, Muryani. Pekerjaan ini berbahaya sekali dan aku tidak ingin engkau terancam bahaya. Apalagi kita berada di atas lautan."
Muryani mengerutkan alisnya.
"Kakang Parmadi! Kalau engkau berani menghadapi bahaya, apa kaukira aku tidak berani? Kita hadapi bahaya bersama dan dengan kita berdua bekerja sama, tentu kedudukan kita lebih kuat!"
Parmadi tersenyum dan menatap wajah gadis itu dengan kagum.
"Ah, engkau masih pemberani dan pantang mundur, gagah perkasa seperti dulu, Muryani."
"Hemm, aku bukan menyombongkan diri, kakang. Akan tetapi aku bukan Muryani yang dulu. Aku telah mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi dari mendiang Ny Rukmo Petak!"
Parmadi mengangguk.
"Aku telah melihatnya tadi. Gerakanmu amat ringan dan cepat dan aji pukulanmu yang kau pergunakan tadi dahsyat bukan main."
"Selain itu, aku juga pernah belajar dan pandai berenang,"
Kata Muryani bangga.
"Baiklah, kita tunggu sampai malam tiba. Mudah-mudahan kapal itu belum pergi dan menyalakan lampu sehingga kita dapat menghampirinya dengan perahu."
Sambil menanti datangnya malam, kedua orang muda itu meninggalkan pantai dan menemukan tanaman ketela di sebuah tegalan. Karena perutnya lapar, Muryani hendak mencabut dan mengambil beberapa pohon ketela, akan tetapi Parmadi berkata.
"Adi Muryani, walaupun kita hanya membutuhkan beberapa potong dan aku yakin pemiliknya akan rela kalau melihat kita mengambil untuk kita makan, namun sungguh akan terasa tidak enak di mulut dan perut kalau kita mengambil tanpa ijin pemiliknya. Coba bayangkan, selagi kita makan pemiliknya muncul dan melihat kita, apakah kita tidak akan malu sekali?"
Muryani tertawa.
"Wah, engkau semakin mirip ayah dahulu! Baiklah, mari kita cari pemilik tegalan (ladang) ini, itu rumahnya tidak jauh dari sini. Kita beli saja darinya beberapa potong ketela.
"
Mereka lalu mencari dan tak lama kemudian dapat menemukan rumah pondok bamboo sederhana. Penghuninya adalah seorang petani berusia kurang lebih lima puluh tahun bersama isterinyri yang juga sudah setengah tua. Mereka hanya berdua di pondok yang tidak mempunyai tetangga itu dan petani itu mengerjakan ladang, terkadang dia pergi pula menjala ikan di muara sungai. Hidup mereka sederhana namun serba cukup dan tampaknya mereka hidup berbahagia.
Kedua orang suami isteri itu menyambut kedatangan Parmadi dan Muryani dengan hormat dan ramah sekali.
"Wah, mbok-ne! Kita kedatangan tamu-tamu priyayi!"
Seru laki-laki itu kepada isterinya
yang berada di belakang. Sang isteri datang berlari-lari dan keduanya menyambut dua orang muda itu dengan wajah riang gembira, seperti penduduk dusun yang lugu pada umumnya kalau kedatangan priyayi atau orang kota.
"Mari, den-mas dan den-roro, silakan masuk, silakan duduk!"
Pemilik rumah itu mempersilakan dengan ramah sedangkan isterinya memandang dengan tersenyum dan membungkukbungkukkan tubuh sebagai tanda hormat.
"Terima kasih, paman. Kami tidak akan mengganggu, kami hanya ingin bertanya apakah ladang di sana itu, yang ditanami ketela, milik paman?"
Kata Parmadi sambil menunjuk ke arah ladang itu.
"Oo, tegalan itu? Benar, den-mas. Kami yang menanami ketela di sana."
"Nah, begini, paman. Kami berdua membutuhkan beberapa potong ketela, maka kami datang untuk membelinya dari andika."
Suami isteri itu saling pandang, lalu sang isteri bertanya heran.
"Den-mas, untuk apakah andika berdua membutuhkan beberapa potong ketela?"
Muryani tersenyum dan ia yang menjawab.
"Untuk apa, bibi? Tentu saja untuk dibakar dan dimakan! Kami lapar sekali."
Kini suami isteri itu saling pandang dengan mata terbelalak, lalu si suami yang berseru.
"Ah, den-mas! Masa untuk beberapa potong ketela saja harus membeli? Silakan ambil secukupnya, kami berdua rela dan senang sekali, den-mas!"
"Benar, den-mas dan den-roro!"
Kata pula si isteri.
"Bahkan, kalau andika berdua sudi, silakan makan di sini bersama kami. Kami punya nasi dengan lauk sayur lodeh terong dan sambal!"
"Ah, terima kasih, bibi. Kami tidak ingin menyusahkan andika. Kalau begitu, sekali lagi kami mengucapkan terima kasih atas pemberian ketelanya dan kami mohon pamit,"
Kata Parmadi.
"Silakan, den-mas. Silakan".!"
Kata suami isteri itu sambil membungkuk-bungkuk. Parmadi lalu pergi bersama Muryani, menuju ladang tadi dan tak lama kemudian mereka sudah mengambil delapn potong ketela ubi sebesar kepalan tangan pria. Mereka lalu membuat api dengan kayu-kayu kering dan membakar ubi. Tercium bau sedap bukan main, apalagi karena perut mereka sudah lapar sekali.
Setelah ketela ubi itu masak, mereka duduk dekat api dan mulai makan. Gurih dan manis sekali rasanya. Akan tetapi Muryani mengomel.
"Hemm, kalau saja kita menerima tawaran suami isteri yang ramah itu, tentu sekarang kita makan nasi dan sayur lodeh terong. Dengan sambal pula. Hemm, alangkah sedapnya!"
Parmadi tertawa.
"Adi Muryani, coba hentikan pikiranmu membayangkan lain rnakanan yang kauanggap lebih enak dan curahkan seluruh perhatianmu kepada makanan yang sedang kauhadapi dan makan, dengan rasa penuh syukur kepada Gusti Allah yang telah member berkah, dan makanan itu akan terasa lezat dan nikmat luar biasa!"
Muryani tersenyum.
"Aku masih ingat akan wejangan mendiang bapak tentang hal itu dan aku memang bukanlah orang rnurka yang suka mengharapkan sesuatu yang lebih daripada yang kumiliki, kakang. Akan tetapi bagaimanapun juga, kalau dibuat perbandingan, tentu makan nasi dan sayur lodeh terong lebih lezat dibandingkan sekedar ketela ubi bakar, bukan?"
"Kalau engkau menghadapi dua tiga atau lebih macam makanan, tentu saja engkau bebas untuk memilih mana yang lebih kauinginkan dan sukai. Akan tetapi kalau hanya ada satu macam makanan, apapun juga makanan itu, baik yang sederhana seperti ubi bakar ini atau yang mewah mahal, maka membandingkannya dengan makanan lain yang tidak ada, hanya akan mengurangi atau bahkan menghilangkan kelezatan makanan yang kauhadapi."
"Kenapa begitu, kakang?"
"Begitulah ulah nafsu angkara murka, selalu mendorong kita untuk mendapatkan atau menginginkan yang tidak ada pada kita. Dan biasanya, yang kita inginkan itu tentu kita anggap lebih baik dan lebih enak daripada apa yang kita miliki dan hadapi. Karena itu maka yang kita hadapi menjadi tampak tidak enak dan tidak menyenangkan."
"Hemm, engkau benar, kakang. Lalu, bagaimana kita harus berbuat kalau nafsu mendorong kita untuk menginginkan segala yang tidak ada pada kita?"
"Dengan cara menerima segala sesuatu yang kita dapatkan sebagai anugerah Gusti Allah, sebagai berkahNya dan bukti cinta kasihNya kepada kita sehingga kita selalu menerimanya dengan puji syukur yang tulus. Kalau sudah begitu, mendapatkan sepotong ketela ubi bakar ataupun sepiring nasi dengan lauk pauk mewah, akan sama saja merupakan berkah gusti Allah dan kita akan selalu menikmatinya."
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Wah, kalau begitu kita tidak akan memperoleh kemajuan dalam hidup ini, kakang. Kalau kita setiap hari hanya bisa makan ubi dan menerima begitu saja, dan sudah puas, maka selama hidup kita hanya akan makan ubi terus! Sebaliknya kalau kita tidak puas dan ingin mencari yang lebih daripada ubi, maka akan timbul keinginan untuk maju, untuk mencari agar mendapatkan yang lebih. Bukankah begitu?"
Parmadi tersenyum.
"Bagus, Muryani. Engkau sudah dapat mempergunakan pikiranmu untuk bernalar. Ketahuilah, adikku, dalam kehidupan ini, Gusti Allah telah memberi kepada kita hati akal pikiran memberi nafsu dan semua itu harus kita pergunakan! Kita gunakan hati akal pikiran, didorong oleh semangat nafsu, untuk berusaha memenuhi segala kebuluhan kita dalam kehidupan ini. Kita tidak dapat meninggalkan nafsu yang menjadi pendorong bagi kita untuk melaksanakan segala sesuatu demi kepentingan dalam hidup ini. Hidup ini berarti gerak, dan setiap gerakan merupakan usaha, ikhtiar, setiap gerakan bekerja. Seluruh alam maya pada ini bergerak dan bekerja. Kekuasaan Gusti Allah tidak pernah berhenti bekerja, sedetikpun! Lihat tubuh kita ini. Setiap bagian tubuh kita ini bergerak dan bekerja. Dari ujung rambut sampai ke ujung kaki, semua bergerak dan bekerja. Semua hidup maka hidup itu gerak dan gerak itu kerja! Bayangkan kalau jantung kita berhenti berdetak, kalau darah kita berhenti mengalir, kalau pernapasan kita berhenti, kalau otak kita berhenti. Semua itu, termasuk seluruh bagian anggauta tubuh kita, semua itu mempunyai tugas masing-masing dan bekerja yang berarti berikhtiar!"
"Nanti dulu, kakang, jangan cepat-cepat. Aku menjadi bingung. Bukankah semua itu digerakkan oleh kekuasaan Gusti Allah?"
"Benar, segala sesuatu memang terjadi menurut kehendakNya. Akan tetapi Gusti Allah tidak akan menolong rnanusia kalau manusia itu sendiri tidak mau berusaha, bergerak dan bekerja. Contohnya, adi Muryani yang manis, siapa yang menyediakan tanah, air, udara, sinar matahari, dan bibit padi?"
"Hemm, tentu saja Gusti Allah, kakang."
"Tepat, karena manusia tidak dapat membuat kesemuanya itu. Nah, biarpun Gusti Allah telah menyediakan semua itu dengan lengkap, untuk kepentingan dan kebutuhan manusia, namun manusia tidak akan dapat menikmati nasi apabila dia tidak mau bekerja. atau berusaha. Manusia harus mengolah semua yang telah disediakan Gusti Allah itu, rnencangkul tanah, mengairinya, menanam benih padinya, merawat dan sebagainya. Bahkan kalau sudah menjadi padi, dia harus melanjutkan pekerjaannya untuk menuai, menumbuk, lalu memasak beras menjadi nasi.. Semua itu adalah ikhtiar, adikku. Bahkan setelah menjadi nasi di depan kita, Gusti Allah tidak menyuapi kita. Kita sendiri dengan tangan dan mulut harus makan nasi itu. Apakah cukup dengan semua ikhtiar itu untuk membuat kita hidup dan tidak kelaparan? Masih belum. Di dalam perut kita, bagian pencernaan dan perut kita masih harus bekerja lagi agar sari makanan nasi itu dapat menyehatkan dan mempertahankan hidup kita. Nah, jelas bahwa berkah dari Gusti Allah harus kita imbangi dengan ikhtiar, dengan usaha atau bekerja. Kita bekerja sekuat tenaga sebagai kewajiban akan tetapi kita terima segala hasilnya, besar atau kecil, sebagai berkahNya dan selalu memuji syukur kepadaNya."
Muryani mengangguk-angguk.
"Aku mulai mengerti, kakang. Akan tetapi cukuplah dulu, jangan banyak-banyak, aku menjadi pusing."
Setelah selesai makan ubi bakar, mereka lalu minum dari sumber air yang terdapat di antara bukit karang. Mereka menanti datangnya malam sambil bersembunyi di antara batu karang.
Setelah malam tiba, mereka girang melihat kapal itu masih berada di sana dan tampak lampu-lampu penerangan di kapal itu. Malam itu tidak gelap benar. Langit cerah dan penuh bintang. Parmadi mendayung perahu kecil itu menuju ke kapal yang hanya tampak kelap-kelip lampunya dari situ. Untung bahwa malam itu laut tidak berombak besar. Air tenang dan perahu meluncur cepat ke arah kapal. Dengan hati-hati Parmadi mendayung perahu menghampiri kapal. Terdengar suara orang-orang di atas kapal. Parmadi mendekatkan kapal sehingga menempel pada rantai jangkar yang dilepas dari bagian buritan kapal. Dia memegangi rantai itu dan berbisik kepada Muryani.
"Ikatkan tali perahu ke rantai ini."
Muryani cepat melakukannya sehingga kini perahu tertahan di dekat rantai jangkar. Parmadi lalu berbisik lagi.
"Sekarang aku hendak melihat keadaan di atas kapal. Engkau tunggu saja dulu di sini, dik."
"Aku juga ikut ke atas, kang!"
Kata Muryani.
"Tunggu dulu. Kulihat tepat di atas bagian ini ada sebuah lampunya. Tentu keadaan di sana terang dan berbahaya bagi kita. Kalau aku sudah berhasil memadamkan lampu itu sehingga keadaan bagian itu gelap, baru engkau menyusul naik."
"Baiklah,"
Kata Muryani dan Parmadl lalu memanjat naik melalui rantai besat itu. Sebentar saja dia sudah tiba di atas. Dia tidak langsung naik ke atas geladak kapal, melainkan bergantung di pinggir permukaan geladak, di bawah pagar peng aman. Dilihatnya sekitar tiga puluh orang Belanda di bagian tengah kapal yang diterangi banyak lampu. Akan tetapi di bagian buritan sepi. Melihat kesempatan ini Parmadi cepat melompati pagar besi pengaman dan berada di atas dek buritan, di bawah lampu gantung. Dia cepat menurunkan lampu itu dan memadamkannya, lalu dia berlutut, sembunyi di balik besi tempat gulungan rantai jangkar, memperhatikan keadaan di atas kapal besar itu. Dia melihat ada empat buah meriam besar, dua di kanan dan dua di kiri.
Ada pula beberapa buah meriam-meriam kecil. Tak lama kemudian Muryani yang sudah melihat lampu padam dan cepat memanjat naik melalui tali jangkar, sudah berlutut pula di sebelahnya. Mereka berdua mengintai dan melihat betapa orang-orang Belanda itu bersenang-senang, bercakap-cakap dan tertawa-tawa. Ada yang duduk, ada pula yang berdiri. Mereka minum-minum dengan gembira. Seorang memetik gitar mengiringi nyanyian beberapa orang. Ada pula yang bertepuk-tepuk tangan mengikuti irama sambil menari-nari.
Sambil berbisik-bisik Parmadi dan Murni mengatur siasat. Kemudian mereka berpencar, Muryani ke kiri dan Parmadi ke kanan, maju berindap-indap. Biarpun sangat hati-hati, namun mereka menyelinap maju dengan cepat sekali dan berturut-turut dua lampu di kanan kiri kapal itu padam. Muryani dan Parmadi mengerahkan seluruh tenaga dan berhasil mendorong meriammeriam besar itu meluncur jatuh ke laut.
Agaknya ada yang mendengar suara itu. Dua orang serdadu berlari ke arah Muryani yang sudah bersembunyi dan ketika dua orang perajurit kumpeni itu lewat, dua kali sinar senjata patremnya yang sudah dikembalikan Parmadi kepadanya itu menyambar. Dua orang serdadu itu berseru keras, terhuyung, akan tetapi dua kali tendangan membuat mereka terlempar melewati pagar besi pengaman dan tercebur ke laut.
Tiga orang serdadu yang lain juga memeriksa di bagian kanan, akan tetapi dari dalam kegelapan menyambar sinar putih kekuningan, tiga kali sinar itu berkelebat dan tiga orang serdadu itu roboh tanpa mengeluarkan suara lagi. Parmadi melempar-lemparkan tiga orang serdadu itu keluar dari kapal dan mereka tercebur ke dalam laut. Akan tetapi seorang serdadu yang lain datang berlari-lari ke arah Parmadi. Tangan kirinya membawa sebuah lampu gantung, tangan kanannya memegang sebuah pistol.
"Dar-darrr .... !"
Pistol di tangan kanannya meledak dua kali. Akan tetapi karena tempat itu gelap, Parmadi dengan mudah bersembunyi, kemudian secepat kilat dia melompat ke depan dan sekali seruling gadingnya bergerak, robohlah serdadu itu. Parmadi cepat menangkap lampu gantung yang terlepas dari tangan serdadu itu. Dia melihat bayangan Muryani berkelebat ke arah buritan mendekati tali jangkar. Maka diapun cepat melempar lampu ke arah bilik yang berada di tengah kapal. Terdengar ledakan dan bilik itupun terbakar.
"Dar-dar-darr....!"
Terdengar tembakan berulang-ulang dan suara orang ramai dan tampak mereka berlari-lari kalang kabut dan panik, ada pula yang berusaha memadamkan kebakaran. Melihat ini, Parmadi segera melompat ke arah tali jangkar dan menyusul Muryani yang sudah turun ke perahu kecil mereka.
Begitu Parmadi turun ke perahu keril, Muryani yang tadi sudah melepaskan tali perahunya dari tali jangkar, cepat mendayung perahu dibantu oleh Parmadi. Para serdadu sedang panik dan mengira bahwa kapal itu diserang banyak orang, maka sebagian ada yang memadamkan kebakaran, sebagian pula berindap-indap mencari musuh sambil siap dengan senjata api mereka sehingga tidak ada yang sempat menjenguk keluar kapal.
Dengan berselimutkan kegelapan, Parrnadi dan Muryani berhasil menjauhkan diri dari kapal dan lolos, kembali ke pantai. Setelah perahu mereka tiba di pantai, ternyata cuaca sudah mulai terang, malam telah berganti pagi.
"Lihat itu !"
Muryani menunjuk ke arah pantai. Parmadi mengangguk, tanda bahwa dia juga sudah melihatnya. Di atas pasir pantai itu tampak ada dua orang, seorang laki-laki dan seorang wanita, sedang dikeroyok sekitar dua puluh orang yang bersenjata golok dan tombak. Akan tetapi gerakan dua orang itu, terutama yang pria, amat cepat dan hebat. Biarpun dua puluh orang itu bergerak menyerang dan mengeroyok secara ganas dan buas, namun sudah ada empat orang di antara mereka yang roboh.
"Kakang Parmadi, wanita itu....!"
"Kenapa? Engkau mengenalnya?"
"Tidak, akan tetapi aku mengenal gerakan silatnya! Kecepatan gerakannya itu tentu berdasarkan Aji Kluwung Sakti dan pukulan itu! Lihat, ia merobohkan seorang dengan pukulan Aji Gelap Sewu! Ilmu-ilmunya sama dengan ilmuku! Ah, tidak salah lagi, ia tentulah Mbakayu Retno Susilo seperti yang pernah diceritakan men diang guruku, Nyi Rukmo Petak!"
"Hemm, kalau begitu, mari kita bantu mereka! Para pengeroyok itu tampak buas dan ganas sekali!"
Kata Parmadi dan mereka mendayung perahu lebih cepat lagi dan ketika tiba di tepi pantai, Muryani sudah melompat cepat dan berseru,
"Mbakayu Retno Susilo! Kakangmas Sutejo! Jangan khawatir, aku Muryani dating membantu andika!"
Setelah berkata demikian, Muryani sudah menerjang maju dengan menggunakan Aji Kluwung Sakti sehingga tubuhnya seperti gerakan seekor burung srikatan saja cepatnya dan begitu ia memukul beruntun dengan Aji Gelap Sewu, dua orang pengeroyok roboh terguling.
Sepasang suami isteri yang mengamuk itu memang benar Sutejo dan isterinya, Retno Susilo. Seperti diketahui, suami istri perkasa ini sedang mencari putera mereka, Bagus Sajiwo, yang hilang diculik orang setahun lebih yang lalu. Selain mencoba mencari jejak puteranya yang hilang, juga suami isteri yang setia kepada Mataram ini mendengar bahwa Mataram akan menggerakkan pasukan menundukkan Madura yang tidak mau diajak bersatu, maka mereka segera berusaha untuk membantu Mataram. Ketika mereka tiba di pantai itu, mereka berusaha mencari perahu untuk menyeberang ke Pulau Madura yang sudah tampak dari pantai itu. Akan tetapi bukan perahu yang datang dan dapat mereka sewa, melainkan dua puluh orang perampok atau bajak laut. Orang-orang kasar ini mempergunakan kesempatan selagi rakyat dalam keadaan panik dan suasananya keruh, untuk berbuat jahat, merampok siapa saja yang kiranya dapat dirampok dan menguntungkan mereka. Melihat suami isteri yang pakaiannya tampak pantas itu, mereka mungkin akan mendapatkan mangsa yang empuk, tidak tahunya mereka bertemu dengan suami isteri pendekar yang sakti. Akan tetapi, robohnya beberapa orang kawan tidak membuat mereka menjadijera, bahkan mereka menjadi semakin penasaran dan mengeroyok suami isteri itu dengan ganas dan buas.
Akan tetapi begitu Muryani muncul bersarna Parmadi dan sekali serang, Muryani sudah merobohkan dua orang, demikian pula Parmadi, mereka menjadi ketakutan. Dua orang yang mereka keroyok tadi sudah hebat sekali, kini datang lagi dua orang lain yang juga sakti, maka belasan orang sisa mereka yang roboh itu melarikan diri cerai berai meninggalkan tempat itu. Sementara itu, Retno Susilo dan Sutejo yang tidak mengejar mereka yang melarikan diri, mengamati Muryani dengan heran. Juga Sutejo memandang Muryani dan Parmadi yang baru datang itu dengan heran karena seperti juga isterinya, rasanya dia belum pernah bertemu dengan dua orang ini.
"Adik, siapakah andika?"
Tanya Retno Susilo setelah menghampiri dan kini berhadapan dengan gadis itu sambil mengamati wajah yang ayu manis itu.
"Namaku Muryani dan ini kakang Parmadi,"
Jawab Muryani memperkenalkan diri.
Juga kedua nama ini asing bagi suami isteri itu.
"Kami tidak mengenal kalian. Bagaimana engkau bisa mengenal nama kami?"
Tanya pula Retno Susilo, agak ragu dan curiga karena ia tidak tahu berhadapan dengan siapa dan dari golongan rnana.
"Apakah mbakayu tidak melihat tadi aku menggunakan Aji Kluwung Sakti dan Aji Gelap Sewu merobohkan dua orang pengeroyok?"
Retno Susilo mengangguk.
"Justeru itulah yang membuatku heran. Bagaimana engkau dapat memiliki aji-aji itu dan mengenal kami?"
"Mbakayu, aku mengenalmu seketika ketika melihat engkau mempergunakan dua macam aji kesaktian itu. Ketahuilah, mbakayu, aku adalah murid guru kita Nyi Rukmo Petak dan beliau meninggalkan pesan bahwa kalau aku bertemu dengan mbakayu Retno Susilo dan suaminya yang bernama Sutejo, aku harus membantu kalian berdua."
"Ah, begitukah?"
Retno Susilo gembira.
"Di mana beliau sekarang?"
"Beliau sudah meninggal dunia, mbakayu."
"Ahhh...!"
Biarpun ia pernah membenci Nyi Rukmo Petak, akan tetapi mengingat akan budi kebaikan gurunya itu Retno Susilo merasa sedih sekali dan ia menghapus beberapa butir air mata yang membasahi pipinya.
"Bagaimana beliau meninggal? Ah, marilah kita menjauhi mereka yang terluka ini agar dapat bicara dengan leluasa."
Mereka berempat lalu menjauhi tempat itu dan Parmadi menyeret perahunya sampai mereka tiba di pantai yang agak jauh dan tidak lagi melihat delapan orang anggauta perampok yang terluka berat itu. Di tempat sunyi ini, Muryani menceritakan tentang kematian Nyi Rukmo Petak. Mereka duduk di atas pasir pantai yang bersih.
Setelah selesai menceritakan tentang Nyi Rukmo Petak, Sutejo atau yang nama aselinya Tejomanik berkata.
"Sungguh menggembirakan sekali bahwa kami dapat bertemu dengan adik seperguruan isteriku, dan andika ini murid siapakah, dimas Parmadi?"
"Saya adalah murid dari Eyang Guru Tejo Wening."
"Ah, maksudmu Sang Resi Tejo Wening, datuk yang sakti mandraguna dan arif bijaksana yang dulu bertapa di Gunung Sanggabuwana itu?"
Seru Sutejo heran dan kagum.
"Wah, kangmas Sutejo sudah mengenal eyang resi?"
"Belurn pernah jumpa, akan tetapi sudah sejak dulu aku mendengar nama besarnya. Dan kalian, sepagi ini datang berperahu, dari manakah kalian?"
Muryani tersenyum. Karena ingin sekali memamerkan apa yang ia dan Parmadi lakukan kepada mbakayu seperguruannya, maka ia mendahului Parmadi menjawab.
"Ah, kami berdua malam tadi mengacau dan melempar-lemparkan meriam-meriam dari kapal lalu melakukan pembakaran pada kapal itu, merobohkan beberapa orang serdadu kumpeni!"
"Wah, hebat! Jadi kiranya kalian yang membuat keributan dan pembakaran kapal kumpeni itu? Bagus, kami juga melihatnya tadi dari sini, ada api berkobat di kapal itu,"
Kata Retno Susilo sambil menuding ke arah kapal yang kini tampak bergerak ke arah barat, agaknya hendak meninggalkan tempat yang mereka anggap berbahaya itu.
"Aih, sayang pertemuan kita terlambat,"
Kata Muryani: "Kalau saja kami bertemu dengan mbakayu Retno Susilo dan kakangmas Sutejo tadi, tentu kita berempat mungkin dapat membuat kapal itu menderita lebih parah lagi! Dan kalau boleh kami ketahui, andika berdua hendak ke manakah dan siapa mereka tadi yang mengeroyok andika?"
"Kami juga sama dengan kalian, hendak membela Mataram menghadapi musuh-musuhnya. Karena kami mendengar bahwa Mataram hendak berperang melawan Madura, maka kami bermaksud untuk membantu pasukan Mataram,"
Kata Sutejo, terus terang karena dia tidak merasa ragu lagi kepada gadis dan pemuda itu.
"Aku sudah tentu tahu siapa guru mbakayu Retno Susilo karena ia seperguruan denganku. Akan tetapi aku ingin tahu siapakah guru kakangmas Sutejo? Tentu seorang yang amat bijaksana dan sakti mandraguna,"
Kata Muryani.
Sutejo tersenyum. Sikap gadis ini mengingatkan dia akan sikap isterinya, Retno Susilo, di waktu masih gadis.
"Guruku tidak terkenal. Beliau adalah mendiang Resi Limut Manik."
"Wah, saya pernah mendengar dari eyang Resi Tejo Wening bahwa Resi Limut Manik adalah seorang pertapa, yang mengasingkan diri dan bijaksana sekali!"
Seru Parmadi dengan kagum.
"O ya, siapa tahu kalian berdua pernah anak kami!"
Tiba-tiba Retno Susilo berseru, penuh harapan.
"Ya, benar! Apakah kalian pernah melihat seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tujuh tahun dibawa orang dan orang itu memiliki sebatang pedang yang bentuknya seperti seekor naga berwarna kehijauan?"
Tanya pula Sutejo.
Parmadi dan Muryani saling pandang dan keduanya menggeleng kepala.
"Kami tak pernah melihatnya,"
Kata mereka hampir berbareng, lalu Muryani bertanya.
"Apa yang telah terjadi dengan putera andika, mbakayu?"
Retno Susilo menghela napas, kecewa mendengar bahwa dua orang itu tidak pernah melihat anaknya yang diculik orang.
"Peristiwa itu terjadi setahun lebih yang lalu. Ketika itu putera kami yang bernama Bagus Sajiwo lenyap diculik orang bersama pedang pusakaku Naga Wilis. Sejak hari itu kami berdua meninggalkan rumah dan berkelana mencari jejak anak kami, namun sampai sekarang belum menemukan jejaknya. Kami tidak tahu siapa yang melakukan hal securang dan sekejam itu, tidak dapat menduga apakah orang itu laki-laki atau perempua tua atau muda,"
Retno Susilo mengusap dua titik air mata dari pipinya.
Muryani merangkul mbakayu seperguruannya.
"Aku akan membantumu mencarinya, mbakayu! Akan kucari sampai dapat dan akan kuhajar orang yang berani menculiknya!"
"Terima kasih, Muryani. Engkau baik sekali, tidak rugi mempunyai adik seperguruan seperti engkau."
"Sudahlah,"
Kata Sutejo.
"Sekarang yang terpenting kita memikirkan tentang persiapan kita membantu pasukan Mataram." "Kakangmas Sutejo benar, mari kita pusatkan perhatian kepada tugas membantu Mataram. Akan tetapi, saya kira pada saat ini seluruh Madura sudah siap siaga untuk menghadapi serangan Mataram, maka tidak akan leluasa kalau kita menyeberang dan menanti di sana, tentu akan muncul banyak gangguan. Sebaiknya kalau kita menanti di pantai dan menggabungkan diri kalau pasukan Mataram lewat. Kita dengar-dengarkan melalui mana pasukan Mataram akan lewat dan kita menunggu mereka di sana."
Mereka semua setuju dan demikinlah, mereka berempat mencari keterangan tentang kemungkinan lewat mana pasukan Mataram akan melakukan penyeberangan dan sambil menanti, mereka berempat bercakap-cakap menceritakan pengalaman masing-masing.
SULTAN AGUNG benar-benar marah setelah menerima surat balasan Pangeran Pekik dari Surabaya yang isinya memanaskan hati penuh teguran. Setelah mengharapkan semua senopati, adipati dan bupati, Sultan Agung lalu mengangkat Adipati Sujanapura yang sebelum dinaikkan pangkatnya bernama Arya Jaya Puspita, untuk menjadi panglima balatentara yang akan menyerang Madura.
Sebagai wakilnya adalah Adipati Pragola dari Pati, dibantu Pangeran Sumedang dan pengawasnya adalah Pangeran Silarong, adik Sultan Agung sendiri. Patih Tumenggung Singaranu bertugas mengerahkan pasukan. Pasukan yang dipimpin panglima Adipati Sujanapura dibantu oleh Tumenggung Jagabaya, Panji Wirabumi, Ngabei Patrabangsa, Demang Suradeksa, Rangga Ngawu-awu, Ki Panji Singajaya, dan banyak lagi. Pasukan ini melakukan perjalanan melalui Majaranu. Wakil panglima, Adipati Pragola dari Pati memimpin pasukan kedua dibantu oleh para senopati dari Pati, yaitu antara lain Patih Harya Mangunjaya, Patih Harya Sindureja, dibantu oleh Harya Sawunggaling, Ki Demang Prawiratanu, Ngabel Wirasraya, Rangga Penantangyuda, Rajamenggala dan banyak lagi. Mereka ini melalui Juana dan menuju ke Sedayu di mana mereka bergabung dengan pasukan pertama yang dipimpin Adipati Sujanapura. Kemudian mereka lewat tengah malam menyeberang ke Pulau Madura.
Kesalahan Adipati Sujanapura adalah bahwa dia terlalu mengandalkan kekuatan pasukannya. Hal ini mungkin dipengaruhi kemenangan demi kemenangan yang dicapai Mataram ketika menundukkan semua daerah di Jawa Timur, termasuk beberapa bagian di Jawa Barat dan seluruh Jawa Tengah. Dia terlalu memandang rendah lawan dan hal ini membuat dia lengah.
Beberapa orang senopati yang berpengalaman mencoba mengingatkannya agar lebih berhatihati, namun senopati yang merasa menjadi panglima tertinggi itu mengabaikan mereka. Dia memerintahkan pasukan terus maju mendarat pada waktu fajar dan langsung menyerang ke darat. Akan tetapi, pasukan Mataram yang terdepan disambut oleh pasukan yang besar jumlahnya, gabungan dari pasukan Kadipaten Arisbaya, Balige, Pamekasan, Sampang, Sumenep dan juga dari para kabupaten yang lebih kecil. Senopati-senopati seluruh Madura, memimpin semua pasukan ini di
(Lanjut ke Jilid 25 - Tamat)
Seruling Gading (Seri ke 02 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 25 (Tamat)
antaranya Senopati Jayenghadra, Jagapati, Rangga Gobag-gabig, Mangundaka, Demang Rujakbeling dan masih banyak lagi. Sambutan dan perlawanan hebat ini mengejutkan pasukan Mataram yang sebagian besar masih berada di perahu-perahu mereka.
Sambutan balatentara Madura demikian hebat dan sengitnya sehingga pasukan Mataram menjadi kewalahan dan mereka terpaksa mundur ke perahu mereka dan pergi ke pantai lain yang lebih aman. Setelah berperahu selama setengah hari lebih, akhirnya mereka dapat menyelamatkan diri. Para senopati lalu mengadakan perundingan.
Adipati Pragola mencela tindakan Adipati Sujanapura yang gegabah. Apalagi kalau mengingat betapa ketika mereka hendak meninggalkan pantai Pulau Jawa, kemunculan pendekar-pendekar yang terkenal, yaitu Sutejo dan isterinya Retno Susilo, dan Parmadi bersama teman wanitanya, yang hendak membantu pasukan Mataram, ditolak oleh Adipati Sujanapura.
"Pendekar Sutejo adalah orang sakti yang berjuluk Pecut Bajrakirana dan menjadi kakak seperguruan Gusti Puteri Wandansari, sedangkan Pendekar Parmadi tekenal dengan julukan Seruling Gading, keduanya sudah berjasa besar bagi Mataram kenapa andika menolak bantuan mereka?"
Demikian antara lain Adipati Pragola rnenegur atasannya.
"Hemm, adi Pragola, kalau kita menerima bantuan mereka, lalu muka kita akan disimpan di mana? Masa untuk menundukkan Madura saja kita harus minta bantuan mereka? Kalau Gusti Sultan mendengar akan hal ini, biarpun kelak kita memperoleh kemenangan, kita akan medapat malu, Gusti Sultan akan mencela kita dan yang mendapat pahala adalah mereka berempat itu. Jangan bodoh, adi Pragola dan jangan kekalahan pertama ini membuat kita berkecil hati. Memang aku agak tergesa-gesa melakukan penyerangan. Seharusnya penyerangan dilakukan tiba-tiba, kita mendarat di waktu gelombang pasang sehingga perahu-perahu kita dapat mendarat dengan cepat dan kita melakukan penyerangan juga ketika cuaca masih gelap, sebelum fajar menyingsing. Malam nanti kita akan membuat perhitungan dan aku yakin kita akan berhasil!"
Sebagai seorang bawahan, hanya wakil panglima, adipati Pragola tidak berani membantah lagi. Mereka menanti sampai malam tiba dan ketika air di selat itu pasang, mereka melakukan penyerbuan yang kedua kalinya seperti diperintahkan Adipati Sujanapura. Sekitar jam tiga sebelum fajar barisan Mataram menyerang untuk yang kedua kalinya. Pasukan Mataram dibagi menjadi empat bagian, Pangeran Sumedang memimpin pasukan sayap kiri, dan pasukan sayap kanan dipimpin Adipati Pragola dari Pati. Pasukan yang bergerak di tengah, yang merupakan pasukan inti dipimpin oleh Adipatj Sujanapura sendiri dan di bagian belakang terdapat pasukan lain yang dipimpin oleh Pangeran Silarong. Sekali ini pendaratan pasukan Mataram dilakukan di Pantai Kisik.
Sekali ini perhitungan dan siasat Adipati Sujanapura berhasil baik. Balatentara Madura dikejutkan dan setelah mereka melakukan perlawanan selama sehari penuh, dari fajar sampai sore, akhirnya pasukan gabungan dari Madura terpaksa melarikan diri dan mundur. Walaupun kemenangan dalam pertempuran ini belum berarti Mataram telah menduduki Madura, namun cukup membanggakan hati Adipati Sujanapura. Dia yang tadinya agak tersinggung karena kekalahan pertamanya sempat dikecam para pembantunya, kini menyombongkan hasil kemenangannya dan dia bahkan merayakan kemenangan itu dengan berpesta pora dengan pasukan yang dipimpinnya! Para adipati dan senopati sudah mencoba untuk memperingatkan, dengan mengatakan bahwa kemenangan mereka itu belum merupakan kemenangan mutlak dan terakhir, baru kemenangan sementara saja karena pihak musuh belum menakluk. Akan tetapi Adipati Sujanapura bahkan menjadi marah kepada para senopati yang
membantunya.
"Hemm, kalian ini tahu apa? Kemenangan pertama ini yang menentukan! Orang-orang Madura sudah kabur ketakutan. Dan aku berani pastikan bahwa besok kita akan dapat memaksa mereka tunduk. Sudah sepatutnya kalau kita merayakan kemenangan ini! Kalau kalian tidak mau ikut berpesta, sudahlah, tinggalkan aku dan iangan mengganggu kesenangan kami!"
Sebagian besar para senopati, dipimpin oleh Adipati Pragola lalu menjauhkan diri tidak ikut dalam perayaan itu, bahkan pergi agak jauh untuk mengatur siasat pertempuran selanjutnya. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa ada gerakan tersembunyi yang amat membahayakan keamanan pasukan Mataram yang sedang berpesta pora, mabok-mabokan!
Ada sepasukan orang Madura mendekati pesanggrahan, tempat Adipati Sujanapura dan anak buahnya berpesta pora. Mereka itu tidak merupakan pasukan besar, hanya kurang lebih lima ratus orang saja. Akan tetapi mereka adalah para senopati pilihan yang sakti mandraguna, dipimpin sendiri oleh Adipati Pamekasan yang juga merupakan seorang tokoh Madura yang sakti. Dan yang lebih hebat lagi, pasukan ini menjadi kuat sekali karena di situ terdapat para tokoh besar yang sakti mandraguna, yaitu Ki Harya Baka Wulung datuk Madura, Sang Wiku Menak Koncar datuk Blambangan, Kyai Sidhi Kawasa datuk Banten, Aki Somad datuk Nusakambangan, Raden Dibyasakt putera Ki Harya Baka Wulung, Resi Koloyitmo datuk Pasundan dan puterinya yang cantik jelita dan sakti Nyi Maya Dewi, dan Satyabrata, mata-mata Kumpeni Belanda yang memiliki kesaktinn. Hampir semua orang sakti mandraguna yang berjumlah delapan orang ini rata-rata memiliki bukan saja aji kanuragan yang amat tangguh, akan tetapi juga menguasai ilmu sihir dan ilmu hitam yang menyeramkan. Berkat ilmu sihir merekalah maka gerakan pasukan mendekati perkemahan atau pesanggrahan Adipati Sujanapura itu seperti diselimuti kabut dan tidak ada seorangpun yang mengetahuinya. Ini berkat Aji Palimutan mereka.
Adipati Sujanapura minum tuak dan tertawa-tawa gembira karena dia merasa menang atas para senopati yang berani mencelanya. Akan tetapi menjelang tengah malam, ketika panglima ini dan para pembantu yang mendukungnya dalam keadaan setengah mabok, tiba-tiba terdengar sorak-sorai dan tempat mereka berpesta itu diserbu orang-orang Madura yang menyerang dengan penuh dendam atas kekalahan mereka. Terjadilah pembantaian karena perlawanan para perajurit yang agak teler itu tidak mampu membendung serbuan dan amukan para penyerang.
Apalagi amukan para datuk dan tokoh besar yang menggunakan kesaktian mereka. Adipiti Sujanapura menjadi marah sekali. Ketika melihat bahwa yang memimpin penyerbuan adalah Adipati Pamekasan, dengan trengginas adipati yang juga digdaya ini melompat ke depan Adipati Pamekasan, sambil mencabut pedangnya. Dengan pedang diacungkan dan telunjuk kiri menuding ke arah muka Adipati Pamekasan, dia membentak, mukanya merah karena minuman keras ditambah kemarahan.
"Jahanam busuk! Pengecut kau! Menyerang dengan cara curang!"
Adipati Pamekasan tertawa bergelak dan juga mencabut klewang (golok) dari pinggangnya.
"Ha-ha-ha! Babo-babo, Sujanapura. Jangan asal membuka mulut! Kemenanganmu kemarin juga hasil penyerangan yang curang! Bersiaplah engkau untuk mampus malam ini!"
Kedua orang panglima ini lalu bertanding dengan mati-matian. Keduanya merupakan adipati yang sakti dan tangguh dan mereka bertanding satu lawan satu karena para pembantu dan perajurit sudah sibuk sendiri bertanding. Akan tetapi karena tentara Mataram diserang secara mendadak dan mereka dalam keadaan setengah mabok, sedangkan para penyerbu adalah pasukan istimewa, perajurit-perajurit pilihan dan mereka didukung delapan orang yang sakti mandraguna, maka banyak perajurit Mataram yang roboh dan tewas.
"Hyaaaattt".mampus kau!"
Adipati Sujanapura membentak marah melihat betapa anak buahnya banyak yang roboh dan dia kini menyerang lawan dengan pedangnya, mengerahkan seluruh tenaganya. Perhatiannya terpecah dan serangannya itu merupakan gerakan yang nekat. Adipati Pamekasan terkejut. Sejak tadipun dia merasakan betapa hebat permainan pedang panglima pasukan Mataram itu, juga tenaganya kuat sekali. Kini melihat pedang menyambar dahsyat ke arah lehernya, cepat dia menjatuhkan diri berjongkok dan dari bawah goloknya meluncur ke depan.
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Singgg.... cappp... dessss....!!"
Adipati Sujanapura dan Adipati Pamekasan roboh terjengkang, yang pertama perutnya tertembus golok dan yang kedua kepalanya retak oleh pukulan tangan kiri panglima Mataram.
Pasukan Mataram akhirnya terpaksa mundur melarikan diri meninggalkan banyak perajurit yang tewas. Ketika pasukan pimpinan Adipati Pragola dan para senopati lain membantu, dengan terkejut mereka mendapat kenyataan bahwa panglima mereka telah tewas sampyuh dengan Adipati Pamekasan. Adipati Pragola maklum bahwa di pihak musuh terdapat orang-orang sakti mandraguna dan mereka mempergunakan sihir. Buktinya, para perajurit Madura itu seperti diselimuti kabut tebal. Maka untuk mencegah agar pihaknya tidak jatuh lebih banyak korban, Adipati Pragola memerintahkan semua pembantunya untuk menarik pasukan ke pesisir dan membuat kubu pertahanan yang kuat.
Sebagai wakil panglima, kini pimpinan dipegang oleh Adipati Pragola. Serbuan tengah malam yang menewaskan banyak perajurit itu benar-benar mengejutkan sekali dan membuat Adipati Pragola berhati-hati dan menunda gerakan. Melihat banyaknya tokoh dan datuk yang sakti mandraguna berada di pihak Madura, Adipati Pragola merasa ragu-ragu dan berhati-hati sekali. Dia lalu mengirim utusan melaporkan malapetaka yang menimpa pasukan Mataram karena kecerobohan mendiang Adipati Sujanapura. Sambil menanti petunjuk Sultan Agung, Adipati Pragola tidak membuat gerakan dan hanya memperkuat pertahanan.
Bukan main girang rasa hati Adipati Pragola ketika pada keesokan harinya para pendekar sakti bermunculan. Mereka adalah Parmadi, Muryani, Sutejo dan Retno Susilo yang melakukan penyebcrangan dengan sebuah perahu. Biarpun tadinya keempat orang pendekar ini ditolak penawaran bantuan mereka oleh Adipati Sujanapura, namun setelah berunding mereka memutuskan untuk menyusul ke Madura.
"Ingat, bukan Adipati Sujanapura yang kita bantu, melainkan Mataram,"
Kata Sutejo, terutama kepada Retno Susilo dan Murynni yang mendongkol karena panglima Mataram itu rnenolak mereka.
Akhirnya, berangkatlah rnereka menggunakan sebuah perahu yang agak besar. Dan sekali ini, mereka disambut dengan gembira oleh panglima yang baru, Adipati Pragola. Selain mereka berempat, datang pula Ki Cangak Awu, Ketua Perguruan Jatikusumo, dan Kyai Jayawijaya, pertapa kakek Ayu Puspa yang pernah bertemu dengan Parmadi.
Ketika Parmadi ikut menyambut kedatangan Kyai Jayawijaya, mereka saling pandang dan Parmadi cepat memberi hormat. Kyai Jayawijaya menghela napas panjang. Diam-diam dia rnerasa kecewa mengapa pemuda sebaik ini tidak dapat menjadi suami cucunya yang amat disayangnya.
"Anak-mas Parmadi, sungguh menggembirakan dapat bertemu dengan andika di sini. Lebih menyenangkan lagi karena kita dapat membantu Mataram bersama."
"Saya juga merasa senang sakali, eyang. Akan tetapi, kenapa nimas Ayu Puspa tidak ikut?"
Kakek itu senang bahwa pemuda itu masih menanyakan cucunya, ini menunjukkan bahwa Parmadi benar-benar seorang pemuda yang baik hati dan sopun santun.
"Tidak, aku yang melarang ia ikut."
Sementara itu, ketika bertemu dengan Ki Cangak Awu yang kini menjadi Ketua Jatikusumo, tentu saja Sutejo menjadi girang sekali.
"Bagus sekali andika ikut datang membantu Mataram, kakang Cangak Awu. Kita berjuang lagi seperti dulu membantu Mataram. Akan tetapi mana adikku Pusposari?"
"Aih, engkau ini bagaimana sih?"
Kata Retno Susilo kepada suaminya sambil tersenyum.
"Bukankah mbakayu Pusposari sedang mengandung? Bagaimana ia dapat ikut berperang?"
Sutejo menepuk dahinya dan tertawa.
"Ha-ha-ha. aku sudah pikun! Sampai lupa bahwa adikku itu sudah hampir mempunyai anak""
Tiba-tiba dia teringat akan puteranya yang terculik dan sampai saat itu belum ditemukan. Melihat perubahan pada muka Sutejo, Cangak Awu tanggap.
"Adi Sutejo, apakah kalian berdua belum berhasil menemukan jejak puteramu?"
Tanyanya lirih.
Sutejo menggeleng kepala sambil menghela napas panjang. Melihat ini, Retno Susilo menghampiri suaminya dan menyentuh pundaknya sambil berkata.
"Sudahlah, kita semua kelak akan berusaha mencari dan akhirnya pasti berhasil juga."
Mereka semua lalu dipersilakan duduk oleh Adipati Pragola dan para pembantunya. Para pendekar itu mendengar akan pembantaian yang terjadi di tengah malam tadi.
"Pihak Madura mendapat bantuan banyak datuk yang sakti mandraguna. Karena itulah, maka kami tidak berani gegabah menggerakkan pasukan. Kami sudah mengirim laporan kepada Gusti Sultan dan menanti petunjuk beliau. Sungguh menggembirakan sekali andika sekalian datang karena kami sedang bingung bagaimana harus menanggulangi para datuk itu kalau mereka melakukan penyerbuan lagi."
Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo Pendekar Dari Hoasan Karya Kho Ping Hoo Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo