Ceritasilat Novel Online

Seruling Gading 4


Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Bagian 4



Dengan jelas Ki Demang Wiroboyo lalu bercerita tentang Muryani yang membuatnya tergila-gila namun yang menolak pinangannya, bahkan mengajukan syarat semacam sayembara di mana dia dua kali dikalahkan oleh gadis itu, dalam lomba balap kuda dan pertandingan adu kanuragan.

   "Aku merasa dipermalukan sekali, kakang Surobajul. Aku merasa terhina dikalahkan olehnya di depan para warga dusun ini. Aku minta andika membalaskan kekalahanku ini dan juga menawan gadis itu untukku, agar ia dapat kumiliki."

   "Hemm, benar-benar andika kalah olehnya? Ketika aku mendengar cerita utusanmu itu, aku sukar untuk dapat percaya. Macam apa sih gadis itu dan berapa usianya?"

   "Gadis itu cantik manis merak ati pendeknya ia seperti seorang dewi dari kahyangan, akan tetapi memiliki kedigdayaan seperti Srikandi. Usianya sekitar enambelas tahun, kakang Surobajul."

   "Apa? Mustahil! Andika kalah melawan seorang perawan kencur berusia enambelas tahun? Jangan bergurau, adi Wiroboyo."

   "Aku tidak bergurau, kakang. Gadis itu benar-benar digdaya sekali. Kiranya hanya andika yang akan mampu mengalahkannya maka aku jauh-jauh mengundang andika untuk membantuku."

   "Hemm, apakah ayahnya yang sakti?"

   "Tidak, ayahnya bernama Ki Ronggo Bangak, seorang seniman dan pemahat. Akan tetapi tadinya puterinya itu tinggal di daerah Demak dan baru beberapa bulan ini tinggal dengan ayahnya di sini."

   "Hemm, baiklah, adi Wiroboyo. Akan tetapi terus terang saja, aku merasa malu kalau ketahuan orang bahwa aku datang untuk bertanding melawan seorang perawan remaja berusia enambelas tahun! Kalau para warok di Ponorogo mendengar akan hal ini, aku pasti akan menjadi bahan ejekan dan cemooh mereka!"

   "Jangan khawatir, kakang. Balas dendam ini harus dilakukan dengan siasat karena akupun tidak menghendaki orang-orang mengetahui bahwa untuk mendapatkan Muryani aku mempergunakan tenaga hantuanmu. Sebaiknya diatur begini...."

   Ki Demang Wiroboyo bangkit dari tempat duduknya, menghampiri Surobajul dan berbisik-bisik dekat telinganya. Surobajul mendengarkan dan mengangguk-angguk sambil inenyeringai.

   Dua orang itu sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi Parmadi mendengarkan percakapan mereka dari luar jendela ruangan itu yang tertutup. Semenjak raksasa hitam itu datang bertamu di kademangan dan melihat sikap dan gerak-gerik tuan rumah dan tamunya, Parmadi sudah merasa curiga dan waspada. Setelah dua orang itu selesai berpesta makan minum lalu memasuki ruangan yang tertutup, Parmadi menyelinap dan mendengarkan percakapan mereka melalui jendela. Karena dia menjadi seorang pembantu sudah lama di kademangan dan sudah dipercaya, maka tak seorang pun mencurigai gerak-geriknya sehingga dia dapat mendengarkan percakapan kedua orang itu dengan leluasa. Sayang sekali ketika Ki Demang Wiroboyo menceritakan rencana siasatnya kepada Surobajul, dia berbisik-bisik dekat telinga raksasa itu sehingga Parmadi sama sekali tidak dapat mendengarnya. Akan tetapi apa yang telah didengarnya tadi sudah cukup! Dan jelas, raksasa itu akan membantu Ki Demang Wiroboyo untuk membalaskan kekalahannya dari Muryani dan untuk menawan Muryani agar dapat dimiliki Ki Demang! Karena merasa cukup dan khawatir kalau-kalau pengintaiannya ketahuan, Parmadi lalu menyelinap pergi dan malam itu juga dia bergegas pergi berkunjung ke rumah Ki Ronggo Bangak.

   Ketika Parmadi mengetuk daun pintu rumah sederhana namun indah karena bangunan itu dan pintu-pintunya dihias ukir-ukiran, yang membuka daun pintu adalah Muryani sendiri. Gadis itu tampak heran memandang wajah pemuda itu yang kelihatan serius.

   "Eh, kakang Parmadi. Tidak sari-sarinya datang begini malam! Silakan masuk, kang!"

   "Terima kasih, adi Muryani. Di mana paman Ronggo?"

   "Ayah ada di dalam. Ada apakah, kakang? Engkau kelihatan mempunyai urusan yang penting sekali."

   "Memang penting sekali, Muryani. Ki Demang Wiroboyo mendatangkan seorang jagoan warok, namanya Surobajul. Tadi mereka bicara empat mata dan karena curiga aku mendengarkan. Ternyata Surotbajul itu diundang untuk membantu Ki Demang Wiroboyo untuk membalaskan kekalahannya darimu dahulu itu dan....dan.... untuk menawanmu agar Ki Demang dapat memilikimu."

   "Jahanam keparat!!"

   Muryani mengepal kedua tinjunya dan membanting-banting kakinya.

   "Akan kudatangi malam ini juga dan kuhajar mereka!"

   Mendengar ribut-ribut itu, Ki Ronggo Bangak keluar dari dalam.

   "Ada apakah ribut-ribut ini? Ah, kiranya Parmadi yang datang. Ada apakah ini, Parmadi?"

   Sebelum Parmadi menjawab, Muryani mendahului dengan gemas.

   "Coba ayah pikir! Si jahanam Demang Wiroboyo itu mengundang seorang jagoan warok untuk membalas dendam kepadaku dan untuk menawanku! Gila tidak itu? Ayah, aku akan pergi ke sana dan menghajar mereka malam ini juga!"

   "Sabar dulu, Muryani. Benarkah ini, Parmadi?"

   "Benar, paman. Saya mendengar sendiri pembicaraan mereka."

   "Sudah, aku mau pergi, ayah!"

   Kata Muryani yang cepat lari memasuki kamarnya dan keluar lagi sambil membawa sebatang patrem (keris kecil) bersarung yang diselipkan di pinggangnya.

   "Muryani, jangan terburu nafsu. Tenang dulu, nini!"

   Seru ayahnya.

   "Tidak, ayah. Sebelum mereka turun tangan, lebih baik kalau aku yang turun tangan lebih dulu!"

   "Adi Muryani, harap tenang dulu. Pikirkan dengan matang. Kalau engkau datang menyerbu ke sana, apa alasanmu. Engkau hanya mendengar dari aku, akan tetapi sama sekali tidak ada buktinya. Apa buktinya bahwa mereka akan menyerang dan menawanmu?"

   "Akan tetapi, bukankah engkau mendengar sendiri pembicaraan mereka, kakang."

   "Benar, akan tetapi itu bukan merupakan bukti. Mereka bisa saja menyangkal dan bahkan berbalik menuduh aku berbohong dan hendak melempar fitnah."

   Mendengar pendapat Parmadi ini, Muryani tertegun. Ia dapat melihat kebenaran pendapat itu. Ia menoleh kepada ayahnya dan bertanya lirih.

   "Lalu, apa yang harus kulakukan sekarang?"

   "Apa yang dikatakan Parmadi tadi memang benar sekali, Muryani. Mereka mengancammu, akan tetapi karena ancaman itu hanya didengar Parmadi seorang dan tidak ada saksi lain, tentu saja hal itu kurang kuat. Ancaman mereka itu merupakan rencana rahasia yang belum terbukti. Sekarang sebaiknya kalau kita menjaga diri, siap menghadapi ancaman itu. Engkau bersiap dengan kedigdayaanmu, dan aku akan nenghadapi mereka dengan nasihat. Kurasa omonganku masih cukup berwibawa terhadap Ki Demang Wiroboyo."

   Muryani mengangguk-angguk.

   "Baiklah, ayah. Aku akan siap siaga, dan kalau demang keparat itu berani datang di sini dan tidak menurut nasihat ayah, aku akan menghadapinya dengan patremku!"

   "Kami minta bantuanmu, Parmadi. engkau amat-amatilah gerak-gerik Ki Denang Wiroboyo dan kalau dia hendak melanjutkan niat jahatnya menyerbu ke sini, harap engkau suka memberi tahu kepada kami agar kami dapat menjaga diri,"

   Kata Ki Ronggo Bangak kepada pemuda itu.

   Parmadi mengangguk dan dia mohon diri lalu meninggalkan rumah itu. Aka tetapi hatinya yang diliputi kekhawatiran membuat dia mengambil langkah lain. Dia tidak langsung kembali ke rumah Ki De mang Wiroboyo, melainkan mendatangi rumah orang-orang muda penduduk Pakis yang menjadi teman-temannya. Kepada mereka dia menceritakan tentang Ki Demang Wiroboyo yang hendak membalas dendam dan menawan Muryani untuk dipaksa menjadi isterinya dengan bantuan seorang warok dari Ponorogo bernama Surobajul. Para pemuda itu marah mendengar ini dan mereka juga merasa penasaran. Sejak lama para pemuda ini sudah merasa tidak senang karena Ki Demang Wiroboyo merampas banyak gadis yang tadinya menjadi calon isteri mereka.

   Mereka tidak berani bertindak karena maklum akan kedigdayaan demang itu. Akan tetapi semenjak demang mata keranjang itu dikalahkan Muryani, hati mereka menjadi tabah dan mereka melihat dengan girang bahwa tampaknya Ki Demang Wiroboyo mengubah tabiatnya yang buruk. Sekarang mendengar bahwa Muryani hendak diganggu, mereka serentak menyatakan hendak membela Muryani! Parmadi lalu minta kepada mereka untuk diam-diam mengamati rumah Muryani dan membelanya kalau Ki Demang Wiroboyo benar-benar melaksanakan niatnya yang jahat. Para pemuda itu menyanggupi, bahkan berita itu meluas sehingga sebagian besar para pria di dusun itu ikut siap siaga membantu Muryani dan mengeroyok para pengganggunya.

   Setelah merasa puas dengan apa yang dia lakukan, Parmadi kembali ke kamarrrya di dekat istal kuda. Akan tetapi, dia selalu waspada, terutama di malam hari karena dia menduga bahwa Ki Demang Wiroboyo dan Surobajul yang tidak ingin dilihat orang ketika mengganggu Muryani, tentu akan melaksanakan niat jahat mereka pada malam hari.

   Malam itu tidak terjadi sesuatu. Parmadi melihat bahwa Ki Demang Wiroboyo tidak meninggalkan rumah, demikian pula Surobajul malam itu berdiam saja di dalam kamarnya. Akan tetapi pada keesokan harinya, duabelas orang kaki tangan Ki Demang keluar dusun. Diam-diam Parmadi memikul keranjang rumputnya dan membayangi mereka. Dia melihat mereka itu menuju ke sebuah hutan di sebelah timur dusun dan mereka membangun sebuah pondok kayu di tempat yang sunyi itu. Setelah melihat ini, Parmadi kembali ke Pakis. Hari itu dia tidak pergi ke hutan Penggik untuk menemui Ki Tejo Wening. Dia harus cepat kembali agar dapat mengamat-amati kedua orang itu, Ki Demang Wiroboyo dan Surobajul.

   Setelah merawat kuda-kudanya dan merasa yakin bahwa siang hari itu dua orang itu pasti tidak akan berani mengganggu Muryani, Parmadi tidur. Dia harus dapat tidur di siang hari karena malamnya dia harus bergadang untuk mengamati mereka. Dia sudah tahu bahwa Ki Demang membangun pondok di hutan itu dan di dapat menduga bahwa kalau Muryani dapat ditawan, agaknya tentu akan dibawa ke pondok itu! Membayangkan hal ini, di mengepal tinju dengan hati panas. Akan tetapi hatinya agak terhibur kalau mengi ngat bahwa selain Muryani sudah tahu akan adanya bahaya dan sudah siap siaga, juga banyak pria di dusun ini siap pula untuk membantu gadis itu.

   Pada sore hari itu dia berhasil menyelinap keluar dan menghubungi para pemuda. Dengan girang dia mendapat keterangnn bahwa hampir semua laki-laki Pakis siap membantu Muryani. Dia lalu mengatur dengan mereka bahwa kalau Ki Demang Wiroboyo dan kaki tangannya melaksanakan niatnya dan menyerbu ke rumah Muryani, dia akan memberi tanda kentongan titir (bertalutalu).

   Malam hari itu Parmadi sudah bersiap-siap. Dia menyediakan sebuah kentongan bambu dan dia mengintai ke arah ruangan dalam di mana terdapat kamar Ki Demang Wiroboyo dan kamar Surobajul. Karena dua kamar itu terpisah maka dia merasa lebih penting untuk mengamati kamar Ki Demang Wiroboyo. Akan tetapi, sama sekali tidak tampak demang itu keluar rumah. Juga tidak ada gerakan dalam kamar Surobajul. Sampai jauh lewat tengah malam, agaknya kedua orang itu tidak meninggalkan rumah. Berarti bukan malam ini mereka melaksanakan rencana mereka pikir Parmadi. Akan tetapi dia tetap mlakukan pengintaian, walaupun sambil melenggut karena kantuk. Menjelang fajar, hawa amat dinginnya. Pada saat seperti itu, sedang pulas-pulasnya orang tidur. Suasana di dusun Pakis sunyi senyap. Hanya suara serangga dan kutu-kutu malam saja yang terdengar. Bulan sepotong tampak mengambang di angkasa, mendatangkan cahaya remangremang dan mengubah pohon-pohon menjadi bayangan raksasa-raksasa hitam yang menyeramkan.

   Parmadi yang melenggut, tiba-tiba membuka matanya dan sadar sepenuhnya. Memang dia tidak meninggalkan kewasdaannya dan sedikit suara saja cukup untuk membangunkannya. Dia melihat Ki Demang Wiroboyo keluar dari dalam kamarnya, mengenakan pakaian indah seperti orang hendak pergi ke pesta. Ki Demang Wiroboyo keluar dari rumahnya, tidak tahu bahwa Parmadi membayanginya. Pemuda itu membayangi sambil membawa kentongan bambunya. Akan tetapi ketika mengikuti kepergian Ki Demang Wiroboyo, dia merasa heran karena pria itu tidak pergi ke arah tempat tinggal Muryani, melainkan keluar dari dusun. Ketika melihat bahwa orang yang dibayanginya itu pergi menuju ke hutan di mana dibangun sebuah pondok, Parmadi menghentikan langkahnya. Dia teringat akan Surobajul. Kenapa tidak keluar bersama Ki Demang Wiroboyo? Timbul kekhawatirannya. Jangan-jangan Surobajul yang hendak menyerang dan menawan Muryani!

   Membayangkan hal ini, cepat-cepat dia kembali ke kademangan dan dengan berindap-indap dia berhasil mengintai ke dalam kamar yang ditempati Surobajul. Dan betapa kaget rasa hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa kamar itu telah kosong. Surobajul tidak berada dalam kamarnya! Hal ini hanya ada satu kemungkinan. Jagoan itu tentu telah pergi untuk melaksanakan tugas menawan Muryani! Dan agaknya Ki Demang Wiroboyo tidak ikut menyerbu ke rumah Muryani, melainkan menunggu calon korbannya di pondok dalam hutan itu! Ah, betapa bodohnya tadi. Membayangi Ki Demang Wiroboyo dan tidak memperhatikan Surobajul.

   Parmadi berlari secepatnya meninggalkan kademangan menuju ke rumah Muryani. Jalan pikiran dan dugaannya tadi memang benar, namun agak terlambat. Sesungguhnya, Surobajul sudah tadi, sebelum Ki Demang Wiroboyo keluar dari rumahnya, menyelinap keluar dari kamarnya melalui jendela samping.

   HAL ini dia lakukan dengan perhitungun agar jangan ada orang dalam rumah kademangan yang melihat dia keluar pada waktu lewat tengah malam seperti itu. Karena ini, Parmadi tidak melihat jagoan itu meninggalkarn kamar. Setelah tiba di luar rumah, Surobajul disambut limabelas orang kaki tangan Ki Demang yang memang sudah menanti di luar rumah. Tanpa mengeluarkan suara, enambelas orang itu lalu berpencar dan menuju ke rumah Muryani. Di luar rumah itu mereka berkumpul kembali dan kini mereka masing-masing mengeluarkan sehelai kain hitam dan mengikatkan kain hitam itu menutupi muka dari hidung ke bawah. Karena kepala mereka diikat kain kepala, maka yang tampak hanya mata mereka, Setelah itu, Surobajul memberi isyarat agar mereka semua menyiapkan senjata. Sepuluh orang mengeluarkan senjata tongkat panjang dan lima orang mengeluarkan jala yang biasa dipergunakan untuk menjala ikan.

   "Hati-hati, jangan sampai ia terluka parah apalagi tewas. Kepung rapat dan tangkap hiduphidup,"

   Pesannya lirih. Itulah siasat yang sudah direncanakannya bersama Ki Demang Wiroboyo, untuk dapat menangkap hidup-hidup gadis remaja yang digdaya itu. Setelah semua siap, Surobajul memimpin kaki tangan itu menghampiri rumah Ki Ronggo Bangak.

   Tiba-tiba tampak dua orang muda meloncat dan menghadang enambelas orang yang memasuki pekarangan rumah Muryani itu. Mereka adalah dua orang pemuda dusun Pakis yang bertugas menjaga dan mengamati rumah itu seperti yang sudahdiatur oleh Parmadi.

   "Heii! Siapa kalian dan mau apa memasuki pekarangan orang?"

   Bentak dua orang pemuda itu. Seorang di antara mereka membawa sebuah kentongan bambu. Temannya, yang memegang sebatang sabit, melangkah maju untuk melihat lebih jelas Siapa gerangan orang-orang yang memakai penutup muka itu. Akan tetapi Surobajul yang melihat gelagat kurang baik, sudah cepat melompat ke depan. Tangan kanannya menggerakkan kolornya yang panjang. Sinar kuning menyambar ke arah dada pemuda dusun itu.

   "Suuuttt bukkk!!"

   Pemuda itu terjengkang dan terpental, roboh dan tewas seketika tanpa sempat mengeluarkan teriakan. Melihat ini, pemuda yang kedua terkejut sekali. Cepat dia memukul kentongannya.

   "Tung-tung.... ?"

   Baru dua kali kentongan. itu berbunyi, tubuhnya sudah disambar sinar kuning kolor itu dan diapun roboh dan tewas seperti temannya. Keadaan meniadi sunyi kembali setelah terdengar bunyi kentongan yang hanya dua kali itu.

   Akan tetapi suara gaduh yang hanya sedikit dan sebentar itu sudah cukup untuk didengar oleh Muryani yang memang telah berjaga-jaga. Ia mendengar suara kentongan dua kali itu dan suara gaduh di luar rumah. Ki Ronggo Bangak juga mendengarnya. Muryani cepat mengikatkan ujung kainnya di pinggang dan dengan trengginas ia melompat keluar, senjata patrem terselip pinggangnya.

   "Nini, ada apakah?"

   Ayahnya mengejar dan bertanya.

   "Tinggallah di dalam saja, ayah. Ada orang jahat di luar!"

   Kata Muryani dan iapun bergegas membuka pintu depan dan berlari keluar.

   Di dalam keremangan cuaca menjelang fajar itu ia melihat belasan orang di dalam pekarangan rumahnya dan ada dua orang pemuda dusun menggeletak di atas tanah.

   "Bangsat-bangsat hina! Mau apa kalian memasuki pekarangan rumah kami?"

   Muryani membentak dan melompat ke depan, sedikitpun tidak merasa gentar. Akan tetapi, seperti telah diatur sebelumnya, sepuluh orang yang memegang tongkat panjang bergerak maju mengepungnya dan serentak menyerangnya dengan pukulan dan tusukan tongkat. Melihat para penyerangnya memakai kain penutup muka dan mengeroyoknya, Muryani menjadi marah bukan main dan ia lalu mengamuk! Sebagai murid perguruan Bromo Dadali yang dibanggakan gadis ini memiliki gerakan yang amat cepatnya seperti gerakan burung dadali (walet). Kecepatan gerakan dan keringanan tubuh inilah yang merupakan keistimewaan ilmu pencak silat dari perguruan Bromo Dadali dan membuat para murid utamanya merupakan orang-orang yang tangguh.

   Muryani yang telah menjadi ahli dan menguasai benar ilmu silat Bromo Dadali, bergerak cepat sekali. Karena marah ia sudah mencabut patremnya dan mengamuk. Biarpun dikeroyok sepuluh orang laki-laki yang bersenjata tongkat panjang, Muryani dapat ber-kelebatan di antara tongkat-tongkat. itu dan tak pernah tubuhnya terkena serangan tongkat. Namun, agak sulit pula baginya untuk dapat menanamkan patremnya yang kecil di tubuh para pengeroyok karena mereka semua bersenjata tongkat panjang yang membuat ia sukar untuk mendekat. Akan tetapi, kedua kakinya mencuat dan menyambar-nyambar dengan tendangan-tendangan langsung, menyamping, atau memutar.

   "Heiiiittt dukk! Plakk!"

   Dua orang pengeroyok terpelanting disambar kaki Muryani. Mereka dapat bangkit kembali akan tetapi yang seorang perutnya mulas dan yang seorang lagi kepalanya puyeng, Dara remaja perkasa itu terus mengamuk. Ketika ada tongkat menusuk ke arah dadanya, ia miringkan tubuh, menangkap tongkat dengan tangan kiri, memutar dan menyentakkan dengan kejutan sehingga pemegang tongkat itu terpelanting.

   "Hyaaatt tokk! Bresss....

   "

   Pemegang tongkat itu kena dihantam tongkatnya sendiri sehingga roboh terjengkang, kemudian tongkat itu dilontarkan Muryani mengenai dua orang pengeroyok lain yang berpelantingan. Dengan kepala benjol-benjol mereka bangkit kembali.

   Sepak terjang gadis perkasa itu membuat sepuluh orang pengeroyok yang bersenjata tongkat menjadi kewalahan, terdesak dan juga agak jerih. Surobajul memberi isyarat dan kini lima orang yang memegang jala ikut maju. Mereka menebar jala-jala mereka ke arah tubuh Muryani. Gadis itu terkejut bukan main, mencoba untuk mengelak, akan tetapi karena yang menyambar adalah lima helai jala dari segala jurusan, ia tidak dapat menghindarkan diri lagi dan sehelai jala menyelimutinya. Ia meronta dan menggunakan patremnya untuk merobek jala, akan teta empat jala lain menimpa dan membungkusnya. Muryani meronta-ronta seperti seekor ikan terperangkap jala. Akan, tetapi ada saat itu, Surobajul melompat dekat dan meringkusnya. Warok ini kuat sekali dan begitu diringkus, Muryani tidak mampu meronta lagi. Patremnya dirampas dan dengan tubuh masih terbungkus jala iapun dibelenggu.

   Pada saat itu, Ki Ronggo Bangak menghampiri dan berkata dengan suaranya yang lembut namun berwibawa.

   "Hei, kalian ini tentu orang-orangnya Ki Demang Wiroboo! Tidak sadarkah kalian bahwa kalian telah melakukan kejahatan? Bebaskanlah puteriku atau kalian akan menderita hukuman Gusti Allah dan hukuman kerajaan!"

   Akan tetapi, sambil memanggul tubuh Muryani yang sudah tak berdaya itu, Surobajul melompat dekat dan sekali kakinya diayun, tubuh Ki Ronggo Bangak tertendang roboh. Pada saat itulah Parmadi yang berlari-lari tiba di situ. Melihat di pekarangan rumah Muryani terdapat banyak orang yang mengenakan kain penutup muka, dia pun cepat memukul kentongannya dengan gencar. Bertalu-talu dia memukul kentongannya sehingga membangunkan dan mengegerkan orang sedusun. Mendengar kentongan ini, Surobajul lalu melarikan di sambil memanggul tubuh Muryani. Melihat ini, Parmadi cepat melempar kentongannya dan berlari mengejar. Seperti yang diduganya, Surobajul membawa lari Muryani menuju hutan di luar dusun itu. Parmadi terus mengejarnya. Warok jagoan itu beri lari cepat sekali sehingga terengah-engah Parmadi mengejarnya dan dia tertinggal jauh.

   Sementara itu, fajar mulai menyingsing sehingga walaupun cuaca masih remang-remang, tidak segelap tadi. Matahari yang masih bersembunyi di balik puncak, mulai mengirim sinar terangnya. Parmadi mengejar terus dan setelah dia tiba di depan pondok baru, dia melihat Surobajul, kini tanpa penutup muka, sudah duduk di atas lincak (bangku bambu) di depan pondok. Muryani tidak tampak lagi dan pintu pondok itu tertutup.

   Parmadi tidak perduli. Dia berlari hendak menuju pintu pondok sambil berteriak-teriak.

   "Paman Demang ! Paman Demang...!"

   Surobajul yang pernah melihat Parmadi sebagai perawat kuda, mengira bahwa pemuda itu merupakan pembantu Ki Demang. Dia menghadang dan bertanya.

   "Ada keperluan apakah engkau dengan Ki Demang Wiroboyo?"

   "Ada perlu penting sekali! Paman Deinang, harap keluar sebentar!"

   Parmadi hendak menghampiri pintu akan tetapi Surobajul menghadang dan melarangnya.

   "Engkau tunggu saja di sini, tidak boleh masuk!"

   Daun pintu pondok itu terbuka dan Ki Demang Wiroboyo muncul. Dia tadi sedang duduk di tepi bale-bale (dipan) di mana Muryani menggeletak telentang masih terbungkus jala. Dia mengamati perawan yang membuatnya tergila-gila itu dengan hati senang sekali.

   "Akhirnya engkau terjatuh juga ke tanganku, Muryani manis.....

   "

   Katanya dan dia sudah mulai berusaha hendak melepaskan jaring atau jala yang moenyelimuti gadis yang kedua tangannya sudah diikat itu ketika dia mendengar seruan Parmadi. Karena diapun mengira bahwa Parmadi tentu datang membawa kabar penting baginya, maka terpaksa dia menunda niat mesumnya kepada Muryani dan dia membuka daun pintu dan melangkah keluar.

   "Engkau, Parmadi? Ada apakah engkau datang ke sini?"

   Tanyanya.

   Muryani mendengar ini dan tahu bahwa Parmadi berada di luar pondok, gadis itu berteriak.

   "Kakang Parmadi, tolong....!!"

   Parmadi menatap wajah Ki Demang Wiroboyo dengan tajam. Selama kurang lebih delapan tahun dia memandang orang ini sebagai pengganti orang tuanya dan penghalangnya, sebagai majikannya yang harus selalu dia taati. Kalau dia mau jujur, dia harus mengakui bahwa Ki Demang Wiroboyo bersikap baik kepadanya sehingga kehidupannya terjamin, tidak kekurangan sandang pangan. Akan tetapi baru sekarang dia melihat orang itu sebagai melihat seorang penjahat yang harus ditentangnya. Dengan berdiri tegak dan sikap berani Parmadi berkata dengan lantang,

   "Paman Wiroboyo, sadarlah akan perbuatan paman yang sesat ini! Bebaskan dan jangan ganggu Muryani, paman. Paman adalah seorang demang yang seharusnya melindungi warga dusunnya, bukan mengganggunya. Paman, saya mohon kepada paman, bebaskanlah adi Muryani dan jangan ganggu ia!"

   Ki Demang hampir tidak percaya apa yang didengarnya. Dia memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak dan mukanya berubah merah. Sepasang kumisnya yang sekepal sebelah itu bergerak-gerak dan kedua tangan mengepal tinju. Kemudian tangan kanannya bertolak pinggang dan telunjuk tangan kirinya menuding ke arah muka Parmadi.

   "Bocah keparat tidak mengenal budi. Lupakah engkau bahwa selama bertahun-tahun aku memeliharamu? Inikah balasanmu? Apakah engkau ingin mampus seperti ayah ibumu?"

   "Paman, saya hanya ingin mencegah dan memperingatkan agar paman tidak melakukan kejahatan. Paman adalah seorang yang baik, sayang kalau paman melakukan kesesatan ini....

   "

   "Kakang Surobajul, bunuh bocah tak tahu diri ini!"

   Bentak Ki Demang Wiroboyo dengan marah sekali. Warok ini sudah biasa membunuh orang dengan darah dingin dan dengan mudah. Apalagi harus membunuh seorang pemuda dusun yang tampaknya demikian lemah. Dia menyeringai, melangkah maju menghampiri Parxnadi sambil memutar-mutar kolornya.

   "Bocah tak tahu diuntung, mampuslah kau!"

   Bentaknya dan begitu tangannya bergerak, kolornya menyambar, berubah menjadi sinar kuning yang menghantam ke arah kepala Parmadi. Parmadi hanya dapat memandang dan tertegun, tidak tahu harus berbuat apa. Maklum bahwa nyawanya terancam bahaya maut, dia teringat akan pelajaran yang diterimanya dari Ki Tejo Wening tentang penyerahan dirinya kepada kekuasaan Hyang Widhi. Maka diapun mepaskan semua pikiran, perasaan dan kemauan, membiarkan dirinya hanyut dan tenggelam dalam kepasrahan.

   Kolor kuning itu menyambar dahsyat.

   "Wuuuutttt""..blarrr"...!!"

   Terdengar suara keras dan kolor itu seperti menghantam rlinding baja, terpental bahkan membuat Surobajul terbawa oleh tenaga pukulan yang membalik sehingga dia terhuyung!

   "Semoga Sang Hyang Widhi mengampuni kita semua !"

   Terdengar suara tenang dan lirih penuh kedamaian. Parmadi merasa girang sekali mendengar suara gurunya itu dan dia segera menoleh ke belakang. Benar saja. Kakek itu berdiri di belakangnya, kakek berambut putih berpakaian putih berselimut embun pagi tipis. Tahulah Parmadi sekarang mengapa pukulan warok ke arah kepalanya tadi tidak berhasil, membalik bahkan membuat pemukulnya terhuyung. Tentu gurunya yang telah melindunginya.

   Surobajul terkejut, heran, penasaran dan marah sekali ketika pukulan kolornya tadi membalik, bahkan membuat dia terhuyung. Dia tidak tahu apa yang terjadi dan diapun tidak memperdulikan kemunculan kakek itu. Dengan marah dia menerjang maju dan memukulkan lagi kolornya ke arah dada Parmadi yang masih menoleh memandang gurunya.

   "Alangkah kejamnya....!"

   Ki Tejo Wening berkata dan dia mendorongkan tangan kirinya ke arah Surobajul yang menyerang Parmadi. Tiba-tiba ada tenaga dahsyat yang menyambut serangan Surobajul sehingga untuk kedua kalinya jagoan itu terdorong ke belakang, pukulan kolornya membalik dan dia terhuyung-huyung. Sekarang tahulah dia bahwa kakek itu yang telah membantu Parmadi. Kemarahannya segera beralih kepada kakek itu.

   "Babo-babo, keparat! Siapa berani menentang Warok Surobajul dan mencampurl urusanku?Heh, kakek tua bangka. Siapakah engkau?"

   Kata Surobajul sambil menghampiri kakek itu. Ki Demang Wiroboyo juga menghampiri ketika melihat bahwa kakek itu akan menjadi penghalangnya.

   "Siapa aku tidak penting. Yang terpenling, kalian berdua harus ingat bahwa apa yang kalian lakukan ini merupakan perbuatan yang jahat. Sang Hyang Widhi melihatnya dan pasti tidak merestui kejahatan kalian dan akan menghalanginya. Karena itu, kalian berdua sadarlah dan hentikan perbuatan jahat ini."

   "Kakang Surobajul, cepat kita bereskan dua orang pengganggu ini!"

   Kata Ki Demang Wiroboyo dengan tak sabar dan diapun sudah mencabut kerisnya. Karena mereka berdua menduga bahwa kakek itu yang agaknya memiliki kesaktian, maka mereka berdua menyerang kakek itu dengan cepat. Kolor kuning di tangan Surobajul menyambar kepala dan keris di tangan Ki Demang Wiroboyo menghunjam ke arah ulu hati kakek itu. Ki Tejo Wening hanya berdiri tersenyum dan kedua matanya setengah terpejam. Parmadi mellhat dengan mata terbelalak dan hatinya penuh ketegangan dan kekhawatiran. Dua buah senjata ampuh itu menyambar dahsyat. agaknya dalam detik yang sama, kepala itu akan pecah dihantam kolor dan ulu hati itu akan menjadi sarung keris. Hampir Parmadi tidak dapat menahan kengerian hatinya. Akan tetapi terjadilah hal yang tidak disangka-sangkanya yang membuat hatinya ingin bersorak karena lega, girang dan kagum. Dua senjata yang sudah hampir menyentuh tubuh kakek itu, tiba-tiba seperti terpental, seolah-olah tubuh kakek itu terbungkus oleh dinding baja yang tidak tampak! Dua orang itu terkejut, terheran dam tentu saja penasaran sekali. Mereka mengulangSeruling ulang serangan mereka. Kolor kuning di tangan Surobajul menyambar-nyambar dan memukulmukul dengan kuat. Keris di tangan Ki Demang Wiroboyo juga menyorang dengarn tusukan bertubi-tubi. Namun semua itu sia-sia belaka. Semua serangan itu terpental dan membalik, bahkan mereka sampai terengah-engah kehabisan tenaga karena mereka telah mengerahkan seluruh tenaga sakti untuk menembus perisai yang tidak tampak itu. Bahkan pada serangan terakhir yang dilakukan sepenul tenaga, mereka berdua terpental dan terhuyung sampai beberapa langkah kebelakang.

   "Semoga Sang Hyang Widhi mengampuni kita semua!"

   Ki Tejo Wening berkata lirih. Akan tetapi kedua orang itu agaknya masih belum menerima kalah begitu saja. Mereka berdua mengerahkan tenaga sakti lalu keduanya menyerang dengan dorong: kedua tangan, melakukan pukulan jarak jauh ke arah Ki Tejo Wening. Kakek itu tersenyum dan tangan kirinya dijulurkan ke depan dengan telapak tangan terbuka menghadap ke muka.

   "Wuuusss.... desss....!"

   Dua orang itu terpental dan terbanting jatuh sampai bergulingan. Mereka bangkit dengan muka pucat, kini baru mereka yakin bahwa kakek tua renta itu adalah seorang yang sakti mandraguna. Selagi keduanya bingung tak tahu harus berbuat apa karena tentu saja Ki Demang Wiroboyo tidak rela meningalkan Muryani, calon korban yang sudah. terjatuh ke dalam tangannya itu, tiba-tiba terdengar suara banyak orang datang dari jauh. Mendengar suara gaduh ini, Ki Demang Wiroboyo dan Surobajul segera lari meninggalkan tempat itu. Parmadi tidak membuang waktu lagi, cepat dia lari mernasuki pondok. Melihat Muryani rebah telentang terbungkus beberapa helai jala dan dalam keadaan terikat, Parmadi segera menolong dan melepaskan jala dan ikatan itu. Muryani segera melompat dari atas dipan.

   "Kakang Parmadi, di mana jahanam-jahanam itu tadi?"

   "Mereka melarikan diri!"

   Kata Parmadi. Mendengar ini, Muryani, sudah meloncat dan berlari keluar cepat sekali melakukan pengejaran. Parmadi jugs keluar dari pondok, mencari-cari. gurunya, akan tetapi Ki Tejo Wening sudah tidak berada di situ lagi. Parmadi lalu melakukan pengejaran keluar dari hutan itu.

   Sementara itu, para pria dusun Pakis, ketika mendengar bunyi kentongan titir (bertalu-talu) yang dipukul Parmadi tadi, keluar dari rumah masing-masing. Mereka membawa senjata apa saja yang mereka milik. Ada yang membawa sabit, parang, tombak, palu, linggis, atau cangkul. Mereka berjumlah kurang lebih limapuluh orang dan berbondong-bondong mereka lari kerumah Ki Ronggo Bangak. Di pekarangan rumah itu mereka menemukan dua orang pemuda dusun menggeletak tewas dan Ki Ronggo Bangak yang juga menderita nyeri pada dadanya terkena tendangan Surobajul akan tetapi dia masih hidup dan tidak terlalu parah keadaannya.

   
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Melihat banyak orang, Ki Ronggo Bangak berkata.

   "Muryani".. dibawa mereka".., kalian tolonglah ia...."

   Mendengar ini, puluhan orang itu yang sudah diberi tahu oleh Parmadi tentang pondok di hutan luar dusun, segera melakukan pengejaran keluar dusun menuju ke. hutan itu. Ketika mereka sedang berbondong-bondong memasuki hutan, mereka melihat dua orang berlari-lari dari depan. Mereka segera mengenal dua orang itu sebagai Ki Demang Wiroboyo dengan seorang raksasa hitam. Bangkitlah kemarahan para pria dusun Pakis itu karena sudah tahu bahwa Ki Demang Wiroboyo dan jagoannya merencanakan menculik Muryani. Maka begitu melihat dua orang itu mereka berteriak-teriak gemuruh.

   Ki Demang Wiroboyo terkejut bukan main melihat warga dusunnya kini dengan wajah beringas menyerbu untuk mengeroyok dia dan Surobajul.

   "Heii! Apa kalian telah buta atau gila? Ini adalah aku, Ki Demang Wiroboyo, kepala dusun kalian!"

   Teriaknya. Akan tetapi teriakan-teriakan yang menjawabnya sungguh amat mengejutkan hatinya.

   "Demang angkara murka!"

   "Demang lalim!"

   "Demang mata keranjang!"

   "Perusak pagar ayu!"

   "Bunuh! Bunuh!"

   Limapuluh lebih orang itu mendesak maju, mengepung dan menghujankan senjata mereka ke arah dua orang itu! Tentu saja Ki Demang Wiroboyo membela diri. Juga Surobajul mengamuk. Hanya bedanya, kalau Surobajul mengamuk untuk membunuh para pengeroyok, Ki Demang Wiroboyo hanya merobohkan pengeroyok untuk membela diri, tidak bermaksud membunuh. Dia tahu bahwa kalau dia membunuh warga dusunnya, maka mereka akan menjadi lebih sakit hati dan marah lagi.

   Amukan Surobajul amat menggiriskan, Kolornya diputar menjadi sinar kuning yang bergulung-gulung dan rnengeluarkan bunyi meledak-ledak! Sinar kuning itu menangkis hujan senjata yang ditujukan kei padanya, bahkan dia sudah memukul roboh enam orang pengeroyok yang tewas dengan kepala pecah. Hal ini membuat para pengeroyok menjadi semakin ganas. Pada saat itu, tampak bayangan berkelebat dan Muryani telah tiba di tempat itu.

   "Jahanam busuk! Manusia iblis keparat!"

   Gadis itu minta sebatang golok dari seorang penduduk dan iapun terjun ke dalam pertempuran. Melihat betapa ganasnya Surobajul, iapun segera menerjang raksasa hitam yang tadi menawannya itu dengan penuh semangat.

   Mendengar golok berdesing nyaring, Surobajul terkejut dan cepat menggerakkan kolor untuk menangkis.

   "Wuuuttt.... desss....!"

   Golok dan kolor itu sama-sama terpental, akan tetapi Muryani merasa betapa telapak tangannya yang memegang gagang golok menjadi panas. Hal itu membuat ia mengetahui bahwa lawannya itu memiliki tenaga sakti yang amat kuat, lebih kuat daripada tenaganya pendiri. Seorang lawan yang tangguh! Akan tetapi, ia tidak merasa gentar, apalagi karena ia dibantu oleh sedikitnya duapuluh orang pria dusun Pakis yang menyerang raksasa hitam itu dengan nekat dan marah karena melihat roboh dan tewasnya beberapa orang rekan mereka.

   Sementara itu, Ki Demang Wiroboyo juga repot sekali menghadapi pengeroyokan duapuluh orang lebih. Apalagi karena dia tidak ingin membunuh, maka dia hanya menggunakan kedua tangan dan kakinya saja untuk membela diri. Tubuhnya sudah menderita banyak luka. Walaupun bukan luka berbahaya namun cukup membuat dia terasa nyeri dan tenaganya semakin lemah. Keadaannya gawat sekali karena para pengeroyoknya yang sudah marah itu seperti sekumpulan harimau yang ingin merobek-robek tubuhnya!

   Pada saat yang amat gawat bagi K! Demang Wiroboyo dan agaknya saat kematiannya hanya tinggal beberapa saat lagi, tiba-tiba Parmadi yang tadi melakukan pengejaran tiba di situ. Melihat keadaan Ki Demang yang sudah mandi darah dan didesak oleh para penduduk, dia lalu menyeruak masuk dan merangkul Ki Demang W iroboyo.

   "Sudah cukup, teman-teman! Dia sudah cukup terhukum! Ingat akan semua kebaikan yang pernah dia lakukan untuk kita. Dan lihat, dia melawan kalian tanpa mempergunakan kerisnya! Hentikan penyerangan, aku akan mengantarnya pulang!"

   Karena dihalangi oleh Parmadi dan agaknya disadardarkan oleh ucapan Parmadi tadi, kini para pengeroyok itu membalik dan membantu kawan-kawan dan Muryani yang sedang mengeroyok Surobajul! Mereka tidak lagi memperhatikan Parmadi yang memapah Ki Demang Wiroboyo, tersaruk-saruk pulang ke Pakis.

   Surobajul memang kebal. Senjata-senjata yang mengenai tubuhnya hanya mendatangkan goresan saja, paling-paling merobek sedikit kulitnya. Akan tetapi, dia tahu bahwa golok di tangan Muryani akan rnembahayakan dia, akan dapat merobek pertahanan kekebalannya. Karena itu, dia lebih mencurahkan perhatiannya untuk meriyambut serangan-serangan Muryani, tidak mengacuhkan hujan senjata dari para pengeroyok yang lain. Baju dan celananya sudah compang-camping, robek oleh bacokan senjata tajam. Akan tetapi Muryani adalah murid utama dari sebuah perguruan besar. Ia sudah mempelajari tentang orang-orang yang memiliki kekebalan. Ia tahu bahwa seorang yang kebal selalu memiliki titik kelemahan. Sejak tadi ia memperhatikan dan akhirnya ia melihat bahwa raksasa hitam itu selalu melindungi tubuh bagian pusarnya. Kalau ada senjata yang meluncur ke arah pusar, tangan kirinya selalu menangkisnya, sedangkan kalau mengarah bagian lain diterima dengan kekebalannya.

   "Kawan-kawan, serang bagian pusarnya!"

   Muryani berteriak lantang.

   Para pengeroyok itu tentu saja menuruti ucapan Muryani dan Surobajul terkejut bukan main. Rahasianya ketahuan dan kini dirinya berada dalam bahaya besar. Memang bagian pusarnya itulah yang tidak kebal. Padahal kini hampir semua senjata menyerang ke arah pusarnya sehingga dia repot sekali, memutar kolornya untuk melindungi bagian perut bawah.

   "Kawan-kawan, serang matanya. Mata dan pusarnya!"

   Kembali Muryani berseru. Dara perkasa ini tahu benar bahwa mata merupakan bagian yang tidak dapat terlindung kekebalan, maka ia menyuruh para pengeroyok menyerang bagian itu, kembali para pengeroyok menurut dan sekarang, dua bagian tubuh Surobajul itu yang,menjadi sasaran penyerangan.

   "Mati aku....!"

   Surobajul mengeluh dan dia menjadi repot sekali. Dia harus melindungi dua bagian yang berjauhan, yang satu di bawah yang satu di atas. Dan senjata para pengeroyok yang jumlahnya sekitar limapuluh orang itu datang bagaikan hujan!

   Akhirnya, sebuah ujung linggis menusuk mata kirinya. Surobajul menjerit kesakitan dan menjadi limbung. Senjata-senjata lain kini menghantam pusarnya bagaikan hujan. Dia mengeluarkan teriakan parau seperti binatang buas terluka dan tubuh yang tinggi besar itu akhirnya roboh! Penduduk yang sudah marah seperti kesetanan itu menghujankan senjata mereka kepada tubuh raksasa yang sudah sekarat itu sehingga Warok Surobajul tewas dengan tubuh menjadi onggokan daging.

   "Cukup, jahanam itu sudah mati. Mari kita mencari dan menghajar Demang Wiroboyo yang jahat itu!"

   Terdengar suara Muryani melengking nyaring. Seruan ini disambut sorak-sorai dan puluhan, orang itu lalu berbondong-bondong meninggalkan hutan itu untuk kembali ke dusun Pakis. Beberapa orang tinggal untuk mengurus jenazah sanak keluarganya yang tewas ketika mengeroyok Surobajul tadi.

   Bahkan ketika mereka memasuki dusun, jumlah mereka bertambah karena sekarang semua penduduk Pakis, laki perempuan, ikut pula dengan rombongan itu menuju ke rumah Ki Demang Wiroboyo! Pada saat itu, semua panguneg-ineg, semua rasa sakit hati dan dendam, semua rasa penasaran, berkobar dan semua orang agaknya hendak menuntut agar Ki Demang Wiroboyo dihukum. Bahkan mereka yang tidak pernah dirugikan Ki Demang, bahkan pernah ditolong, pada saat itu terbawa dan terseret perasaan orang banyak dan ikut-ikutan mendaulat sang demang!

   Rombongan itu memasuki pekarangan gedung kademangan. Muryani berjalan paling depan karena ia memang dianggapgap oleh semua penduduk sebagai pimpinan yang boleh diandalkan. Bersama belasan rang pemuda yang merasa diri sebagai jagoan dan pahlawan, gadis itu melangkah ke arah pendopo kademangan. Akan tetapi, belasan orang pimpinan termasuk Muryani itu berhenti di bawah anak tangga ketika melihat dua orang berdiri di atas anak tangga menghadapi mereka. Dua orang itu bukan lain adalah Ki Ronggo Bangak dan Parmadi. Melihat ayahnya, Muryani memandang heran. Semua orang juga berdiam diri melihat pria yang mereka segani dan hormat itu. Ki Ronggo Bangak memang dihormat semua orang karena peramah, berbudi luhur, suka menolong, menjadi sumber nasihat dan terutama sekali setelah pria ini memperkenalkan puterinya yang disanjung semua orang itu. Akan tetapi, di antara mereka terdapat beberapa orang pemuda yang pacar atau tunangannya dulu direbut Ki Demang Wiroboyo. Saking besarnya kobaran dendam di hati mereka, mereka serentak berteriak.

   "Bunuh Wiroboyo perusak pager ayu,"

   Teriakan ini seperti menyulut semua orang dan merekapun bersorak menyetujui. Ada pula teriakan-teriakan yang mengancam Parmadi.

   "Seret dan hajar Parmadi! Dia melindungi Wiroboyol!"

   "Parmadi itu antek Wiroboyo. Hukum pula dia!"

   Suara-suara yang mengancam Parmadi ini keluar dari mulut beberapa orang pemuda yang merasa iri dan cemburu melihat betapa dekat dan akrabnya hubungan Parmadi dengan Muryani. Mereka menggunakan kesempatan itu untuk melampiaskan kecemburuan mereka. Dengan tenang Parmadi mengangkat .dua tangan ke atas untuk menenangkan orang-orang itu.

   "Para paman dan bibi, kakak dan adik, para saudaraku sewarga dusun Pakis! Dengarlah dulu kata-kataku dan jangan menuruti hati yang panas!"

   Dia berkata dan aneh sekali, suara pemuda itu seolah mengandung wibawa kuat sehingga semua orang diam mendengarkan.

   Setelah semua orang diam, Parmadi bercara lagi, suaranya tenang namun cukup lantang.

   "Saya tadi memang mencegah kalian membunuh Ki Demang Wiroboyo dan saya yang mengantarnya pulang ke sini. Akan tetapi hal itu saya lakukan bukan mata-mata untuk melindung dia, melainkan untuk mencegah kalian melakukan kekejaman yang sama jahatnya. Saya ingatkan kalian. Ki Demang Wiroboyo telah banyak melakukan kebaikan terhadap saya Akan tetapi apakah terhadap kalian juga tidak demikian? Bukankah selama ini dia menjadi seorang demang yang jujur, adil dan baik terhadap warga dusun Pakis? Memang dia bersalah. Salah besar sekali terdorong nafsu-nafsunya sehingga dia menculik adi Muryani. Akan tetapi dia tidak melakukan pembunuhan, bahkan ketika kalian keroyok, dia membela diri dengan kaki tangannya saja, tidak menggunakan kerisnya. Surobajul itulah yang melakukan pembunuhan-pembunuhan. Karena itu, apakah Ki Demang Wiroboyo yang sudah kalian keroyok sehingga menderita banyak luka dan telah dipermalukan di depan semua orang itu berarti tidak telah mendapatkan hukuman yang cukup?"

   Hening sejenak setelah Parmadi bicara. Akan tetapi kemudian terdengar teriakan beberapa orang pemuda yang membenci Ki Demang Wiroboyo.

   "Tidak! Tidak cukup! Dia harus dibunuh!"

   Dan kembali banyak mulut menyambut teriakan ini sehingga suasana menjadi gegap-gempita.

   Kini Ki Ronggo Bangak mengangkat kedua tangan ke atas dan berseru.

   "Andika semua tenanglah!"

   Kembali semua orang terdiam karena mereka memang segan terhadap pria yang lembut ini.

   Setelah semua orang diam, Muryani bertanya kepada ayahnya dengan nada suara mengandung penasaran.

   "Ayah, mengapa ayah berada di sini?"

   Tentu saja ia merasa penasaran. la baru saja diculik Ki Demang Wiroboyo dan nyaris diperkosa, bahkan ia tadi juga melihat ayahnya roboh ditendang Surobajul. Akan tetapi sekarang ayahnya malah berada di rumah demang itu dan berdiri di samping Parmadi, agaknya hendak membela Ki Demang Wiroboyo!

   Semua orang diam ingin mendengarkan percakapan antar ayah dan anak itu. Ki Ronggo Bangak menatap tajam wajah puterinya dan diapun menjawab dengan tegas.

   "Muryani, akupun dapat memulangkan pertanyaan itu kepadamu, kepada andika sekalian semua. Mengapa kalian datang ke sini? Hendak membunuh Ki Demang Wiroboyo?"

   Dengan tegas pula karena penasaran Muryani menjawab.

   "Benar sekali, ayah."

   Banyak orang bersorak mendengar jawaban ini.

   "Benar! Bunuh si keparat!"

   Ki Ronggo Bangak mengangkat lagi kedua tangannya dan semua orang terdiam.

   "Harap kalian diam dengan tenang dan mendengarkan percakapan kami kalau kalian sudah menganggap Muryani sebagai wakil kalian!"

   Semua orang diam, tidak ada yang berani menentang pandang mata Ki Ronggo Bangak ketika pria ini melayangkan pandang matanya, menyapu mereka.

   "Nah, Muryani. Sekarang jawablah. Kalian datang hendak membunuh Ki Demang. Mengapa?"

   "Ah, ayah. Mengapa ayah bertanya lagi? Dia baru saja bersama Surobajul dan kaki tangannya telah menyerbu rumah kita, mereka telah menangkap aku dan nyaris aku celaka di tangannya! Dia hendak menodaiku, ayah, dan itu lebih hebat daripada membunuh! Dia pantas dihukum mati!"

   "Nini Muryani, dan kalian semua warga dusun Pakis. Dengarkan baik-baik. Ki Demang Wiroboyo memang bersalah, akan tetapi dia tidak membunuh siapa-siapa. Dia nyaris menodai, anakku ini, akan tetapi hal tu belum dia lakukan! Bandingkanlah dengan perbuatan kalian kalau sekarang kalian membunuhnya! Siapakah di antara dia dan kalian yang lebih jahat dan lebih kejam?"

   Semua orang

   (Lanjut ke Jilid 05)

   Seruling Gading (Seri ke 02 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 05

   terdiam.

   "Akan tetapi, ayah. Apakah kejahatan Wiroboyo itu harus didiamkan saja?"

   Kembali banyak suara mendukung tuntutan Muryani.

   "Memang tidak sepatutnya didiamkan. Akan tetapi harus melalui hukum yang benar. Bukan dengan cara menghakimi sendiri lalu mempergunakan banyak orang untuk mengeroyok dan membunuhnya! Aku sudah mendengar bahwa Surobajul juga sudah kalian bunuh. Sungguh perbuatan itu sama dengan perbuatan orang-orang biadab yang tidak mengenal peraturan dan hukum! Aku menyesal sekali. Coba saja bayangkan. Kalau cara menjadi hakim sendiri ini dibenarkan, bagaimana kalau kemudian ternyata bahwa yang kalian hakimi dan bunuh itu tidak bersalah? Orang bersalah memang sudah sepantasnya mendapat hukuman. Akan tetapi melalui saluran yang benar. Diselidiki dan diteliti dulu kesalahannya, mana saksi dan buktinya. Kalau ternyata menurut bukti dan saksi dia itu bersalah, barulah dijatuhi hukuman. Hukuman itupun menurut besar kecilnya kesalahan, menurut peraturan dan sepantasnya, bukan secara hantam kromo dibunuh beramai-ramai begitu saja!"

   Muryani mulai dapat terbuka pikirannya dan ia diam saja, dalam hatinya tidak dapat membantah kebenaran yang terkandung dalam ucapan ayahnya. Akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan seseorang di antara para penduduk dusun Pakis itu.

   "Ki Ronggo! Di sini berlaku ucapan 'Deso mowo coro, negoro mowo toto' (Desa memakai cara/adat, kota raja memakai peraturan/hukum). Bukankah demikian Ki Ronggo"

   Ki Ronggo Bangak tersenyum dan memandang ke arah pembicara itu. Seorang pria yang sudah setengah tua, warga lama dusun Pakis.

   "Ucapan itu benar, akan tetapi tata cara adat sekalipun harus memakai peraturan, bukan ngawur dan hantam kromo. Hukuman atas diri seseorang harus disesuaikan dengan besar kecilnya kesalahan, juga dipertimbangkan jasa-jasanya. Untuk itu perlu dimusyawarahkan antara para wakil warga yang terpandang. Sekarang mari kita memilih beberapa orang wakil yang terpandang dan terpercaya untuk memusyawarahkan keputusan hukuman terhadap Ki Demang Wiroboyo!"

   Seketika itu semua orang melakukan pilihan. Empat orang tua, termasuk yang bicara tentang hukum dan adat tadi, juga Muryani, diangkat sebagai wakil-wakil semua warga dusun.

   "Aku mengusulkan agar Parmadi diperkenankan mewakili pihak Ki Demang Wiroboyo sekeluarga karena tertuduh berhak untuk diwakili seorang yang dekat dengannya. Dan kami rasa Parmadi merupakan orang dekat dan dia cukup adil dan bijaksana."

   Setelah semua orang setuju, empat orang tua, Muryani, Parmadi, dan Ki Ronggo Bangak sendiri lalu memasuki pendopo dan mereka bertujuh lalu bermusyawarah. Setelah berunding, mereka memutuskan bahwa hukuman yang paling adil dan baik bagi semua pihak adalah bahwa Ki Demang Wiroboyo harus pergi dari dusun Pakis karena kalau dia masih tetap tinggal di Pakis, tentu akan menimbulkan banyak pertentangan. Karena yang bersalah hanyalah dia pribadi, maka pengusiran itu hanya untuk dia, sedangkan keluarganya boleh tinggal di Pakis kalau mereka menghendaki. Semua sawah ladangnya harus ditinggalkan dan menjadi milik warga dusun Pakis, hasilnya dimasukkan lumbung desa untuk keperluan semua warga. Setelah keputusan musyawarah ini diumumkan, seluruh penghuni dusun Pakis menyatakan persetujuan mereka dengan suara bulat dan gembira. Bahkan dengan suara penuh harapan mereka semua memilih dan mengangkat Ki Ronggo Bangak sebagai pengganti demang.

   Ki Ronggo Bangak menyambut dengan tenang saja usul warga dusun itu, kemudian berkata.

   "Tidak mungkin aku menjadi demang menggantikan Ki Wiroboyo karena hal itu menyalahi peraturan, bahkan oleh Kerajaan Mataram kita dapat dianggap scbagai pemberontak. Biarlah sementara ini aku akan memimpin kalian mengatur duqun Pakis ini sambil menanti keputusan dari atas setelah aku membuat laporan tentang peristiwa mengenai Ki Wiroboyo."

   Demikianlah, mulai hari itu Ki Ronggo Bangak dianggap sebagai pemimpin atau kepala Kademangan Pakis. Adapun Ki Woroboyo, setelah sembuh dari luka-lukanya lalu memboyong keluarganya meninggalkan dusun Pakis tanpa pamit dan tidak ada orang mengetahui ke mana dia dan keluaganya pergi.

   Resi Tejo Wening duduk di atas bangku kayu di depan gubuknya dan dia mengangkat muka memandang Parmadi yang datang menghampirinya. Pemuda itu memanggul sebuah buntalan di pundaknya. Hari masih pagi sekali. Halimun mulai membuyat diusir sinar matahari pagi. Burung-burung berkicau riang, berloncatan dari dahan ke dahan, menggoyang ranting dan daun-daun merontokkan air embun yang tadinya bergantungan di ujung-ujung dedaunan.

   Begitu tiba di depan Resi Tejo Wening, Parmadi menaruh buntalan yang tadi dipanggulnya ke atas tanah dan dia berlutut menyembah dengan hormat.

   "Parmadi, sepagi ini engkau sudah datang dan membawa buntalan. Apakah isi buntalan itu?"

   Kakek itu lalu menepuk bangku panjang yang didudukinya.

   "Bangkit dan duduklah di sebelahku sini, Parmadi. Tanah ini basah oleh embun, mengotorkan celana dan kakimu. Duduklah, akan lebih enak kita bicara."

   Parmadi menurut dan duduk di sebelah kakek itu.

   "Eyang, pertama-tama saya hendak menghaturkan terima kasih atas pertolongan eyang sehingga saya terlepas dari ancaman maut."

   "Eh? Kapan aku menolongmu terlepas dari ancaman, kulup?"

   Parmadi menatap wajah kakek itu. Kenapa kakek itu berpura-pura lagi, pikirnya. Sudah jelas bahwa dia terancam maut ketika Surobajul memukulkan senjata kolornya yang ampuh itu ke arah kepalanya, akan tetapi senjata itu membalik dan tidak menyentuh kepalanya. Siapa lagi kalau bukan Resi Tejo Wening yang menolongnya?

   "Eyang, ketika dalam hutan itu Warok Surobajul menyerang saya dengan kolornya yang ampuh, eyang telah menyelamatkan saya dan menangkis serangan itu,"

   Dia menjelaskan untuk mengingatkan kakek itu.

   Resi Tejo Wening tersenyum.

   "Heh-heh, aku sama sekali tidak menangkis pukulan itu, Parmadi."

   "Akan tetapi, eyang! Pukulan kolor itu membalik dan tidak mengenai kepala saya! Siapa lagi kalau bukan eyang yang menolong saya?"

   Kakek itu menggeleng kepalanya dan menatap wajah pemuda itu dengan senyum penuh pengertian.

   "Bukan, bukan aku yang menyelamatkanmu, kulup. Coba ingat, apa yang kaulakukan ketika engkau melihat dirimu diserang dengan kolor ampuh itu oleh orang itu?"

   Parmadi mengingat-ingat.

   "Saya merasa tidak berdaya dan tahu bahwa saya diancam bahaya maut, maka saya hanya pasrah, menyerah kepada kekuasaan Sang Hyang Widhi seperti yang biasa saya latih bersama eyang."

   "Nah, itulah yang menyelamatkanmu, Parmadi. Penyerahanmu yang ikhlas itu menggerakkan kekuasaan ilahi untuk bekerja dan kalau kekuasaan itu melindungi dirimu, tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini yang akan dapat mengganggu selembar rambutmu."

   Parmadi terbelalak. Kemudian sertamerta dia menyembah kakek itu.

   "Aduh, eyang. Terima kasih atas petunjuk eyang selama ini."

   "Jangan berterima kasih kepadaku. Kaiau hendak berterima kasih, berterima kasihlah kepada Sang Hyang Widhi, karena hanya Dia yang menjadi gurumu, menjadi pembimbingmu, menjadi pelindungmu. Akan tetapi, jangan hendaknya rasa syukur dan terima kasihmu itu hanya berhenti sampai di dalam mulut dan hati akal pikiran saja. Bersyukur dan berterima kasih seperti itu hanya merupakan pemanis bibir belaka, kosong dan bahkan palsu adanya. Kita harus selalu bersyukur dan berterima kasih kepada Hyang Widhi atas segala berkah, perlindungan, dan bimbingan-Nya, akan tetapi apakah yang menjadi bukti dari rasa terima kasih itu? Inilah yang dilupakan orangsehingga hampir setiap saat manusia hanya mengucap syukur dan terima kasih yang hampa belaka."

   "Eyang, saya menjadi bingung. Lalu apakah yang harus kita lakukan untuk membuktikan bahwa kita bersyukur dan berterima kasih kepada-Nya?"

   "Bukti rasa terima kasih manusia terhadap Hyang Widhi adalah ketaatan, Parmadi. Manusia wajib taat kepada segala perintah-Nya yang tercantum dalam kitab-kitab suci, dalam weda-weda. Taat dalam arti kata melaksanakan segala perintah-Nya dalam tindakan kita sehari-hari. Menjadikan diri sendiri menjadi alat-Nya yang baik, mangayu hayuning bhuwana (mengusahakan keselamatan jagad), dengan cara selalu bertindak membela keadilan dan kebenaran, melindungi yang lemah tertindas, menentang yang jahat sewenang-wenang, berwatak ksatria sejati, dan membela nusa bangsa."

   "Kalau begitu benar sekali pesan terakhir mendiang ayah saya, eyang, yaitu bahwa saya harus membela Mataram sampai mati."

   "Itu hanya merupakan satu di antara kewajiban-kewajibanmu sebagai manusia utama."

   "Dan apalagi yang harus saya panjatkan dalam doa saya kepada Yang Mahakuasa selain bersyukur dan berterima kasih, eyang?"

   

Maling Budiman Pedang Perak Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini