Seruling Gading 5
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
"Di dalam doa kepada Hyang Widhi, yang terpenting adalah ucapan rasa syukur dan terima kasih yang dibuktikan dengan ketaatan. yang dilaksanakan dalam tindakan, kemudian kalau ada permohonan dalam doa, hanya ada dua permohonan yang patut kita persembahkan kepada Hyang Widhi."
"Permohonan apakah itu, eyang?"
"Pertama adalah permohonan ampun kepada-Nya atas segala kesalahan dan dosa kita. Seperti juga rasa syukur dan terima kasih, permohonan ampun ini harus kita panjatkan setiap saat, tiada henti-hentinya. Dan seperti rasa terima kasih tadi, permohonan ampun inipun harus bukan omong kosong belaka. Permohonan ampun itu kosong dan palsu selama kita tidak membuktikannya dengan perbuatan nyata, yaitu dengan bertobat, berarti tidak melakukan kesalahan yang kita mintakan ampun itu. Apa artinya mohon ampun untuk suatu kesalahan hari ini, besok kita ulangi lagi kesalahan itu, untuk dimintakan ampun lusa, dan demikian selanjutnya hari ini minta ampun, besok mengulang, hari ini minta ampun lagi, besok mengulang lagi? Hyang Widhi adalah Maha Pengampun, akan tetapi hanya dapat mengampuni orang yang minta ampun dengan benar-benar bertobat dan tidak mengulangi kesalahannya."
Parmadi mengangguk-angguk.
"Saya mengerti dan bertekad untuk bertindak seperti yang eyang wejangkan. Kemudian, apakah permohonan yang kedua dalam doa kita kepada Yang Mahakuasa, eyang?"
"Yang kedua adalah mohon bimbingan, Manusia adalah mahluk yang lemah terhadap godaan nafsu. Tanpa adanya bimbingan kekuasaan Hyang Widhi, kita tidak akan kuat dan mampu menanggulangi kekuasaan gelap. Tanpa adanya kekuasaan Hyang Widhi yang bekerja dalam diri kita, kita ini tiada lain hanya seonggok darah, daging yang penuh kotoran dan noda. Sesungguhnya, hanya bimbingan kekuasaan Yang Maha Kasih sajalah yang akan membuat kita mampu menjadi seorang manusia yang taat akan segala kehendak-Nya, seorang manusia yang benar-benar bertobat dan dalam tindakannya sehari-hari selalu tertuju kepada keluhuran asma-Nya (Nama-Nya). Dan permohonan bimbingan ini hanya akan dapat terlaksana kalau Hyang Widhi menghendaki, dan itulah sebabnya kita harus MENYERAH, dengan ikhlas dan tawakal, sepenuh iman. Mengertikah engkau, Parmadi?"
"Saya akan berusaha untuk mengerti, eyang."
"Nah, baiklah. Sekarang ceritakan apa yang terjadi di Kademangan Pakis."
"Eyang tentu sudah mengetahui bahwa adi Muryani diculik oleh Ki Demang Wiroboyo dan kaki tangannya, dibantu oleh Surobajul. Bahkan eyang sendiri yang telah menghindarkan Muryani dari bahaya dan eyang sendiri yang teiah mengusir kedua orang jahat itu. Mereka melarikan diri dan bertemu dengan warga Kademangan Pakis yang marah. Puluhan orang warga Pakis lalu mengeroyok mereka, membantu adi Muryani yang mengamuk. Karena mengingat akan kebaikankebaikan dan jasa Ki Demang Wiroboyo terhadap warga Pakis, saya lalu mencegah mereka membunuhnya dan membawanya pulang. Surobajul tewas dikeroyok banyak orang. Kemudian, hasil musyawarah yang diadakan warga Pakis, diambil keputusan bahwa Ki Demang Wiroboyo harus pergi meninggalkan dusun Pakis. Kini Ki Wiroboyo sekeluarga telah pergi dan untuk sementara dusun Pakis dipimpin oleh paman Ronggo Bangak."
"Hemm, baik sekali kalau begitu. Lalu kenapa engkau sepagi ini datang membawa buntalan itu?"
"Eyang, karena Ki Wiroboyo telah pergi saya kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan. Karena itu saya mengambil keputusan untuk meninggalkan Pakis dan mulai saat ini saya hendak mengabdi kepada eyang dan mengikuti eyang ke manapun eyang pergi. Saya mohon eyang sudi mengajarkan ilmu-ilmu kepada saya untuk bekal dalam kehidupan ini agar seperti eyang katakan tadi, saya dapat menjadi alat Yang Mahakuasa, menjadi alat yang berguna dan baik. Buntalan ini adalah milik saya, pakaian dan sisa uang pemberian Ki Wiroboyo selama ini."
Resi Tejo Wening tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Kebetulan sekali, Parmadi, karena memang aku sudah bermaksud untuk mengajakmu pergi dari sini. Sudah tiba saatnya aku meninggalkan tempat ini. Besok pagi-pagi adalah hari yang paling tepat bagi kita untuk berangkat meninggalkan tempat ini."
Parmadi merasa girang sekali.
"Kalau begitu, perkenankan saya untuk pergi sebentar ke Pakis untuk berpamit kepada paman Ronggo Bangak, adi Muryani dan pen duduk dusun Pakis, eyang."
"Heh-heh, jadi engkau belum pamit kepada mereka?"
"Saya hendak mendapat kepastian dulu dari eyang. Setelah ada kepastian eyang dapat menerima saya mengabdi, baru saya akan pamit. Akan tetapi sebelum saya pergi ke sana, apakah ada sesuatu yang dapat saya lakukan untuk eyang di sini? Membuatkan sarapan pagi untuk eyang? Atau mencucikan pakaian atau yang lain?"
Resi Tejo Wening tersenyum dan meng geleng kepalanya yang tertutup rambut putih.
"Tidak ada yang harus kaukerjakan sekarang di sini, Parmadi. Pergilah ke dusun Pakis. Memang sepatutnya kalau engkau pamit dari mereka."
Dengan hati yang ringan dan gembira Parmadi meninggalkan hutan Penggik dan berlari menuju dusun Pakis. Akan tetapi setelah tiba di luar dusun itu, dia membayangkan perpisahannya dari dusun itu, dari para penduduknya dan terutama sekali dari Ki Ronggo Bangak dan lebih lagi dari Muryani! Dan hatinya tiba-tiba terasa berat. Awan kelabu menyelubungi hatinya. Sudah delapan tahun dia hidup di Pakis dan mereka semua begitu baik, terutama Ki Ronggo Bangak dan lebih lagi Muryani! Dia akan merasa kehilangan, terutama kehilangan Muryani yang sudah menempati sudut tertentu dalam hatinya. Dengan langkah berat dan muka tidak cerah lagi Parmadi lalu pergi menuju rumah Ki Ronggo Bangak. Biarpun Ki Ronggo Bangak telah diangkat oleh semua warga Pakis menjadi ketua atau lurah mereka, namun dia tidak mau menempati bekas gedung Ki Wiroboyo. Dia tetap bertempat tinggal di rumahnya sendiri dan rumah besar bekas kademangan itu hanya dipergunakan kalau sewaktu-waktu warga dusun mengadakan rapat pertemuan untuk memperbincangkan sesuatu.
Muryani menyambut kedatangannya dengan wajah gembira.
"Kebetulan sekali engkau datang, kakang Parmadi. Tadi aku sudah mencarimu ke mana-mana, akan tetapi tidak ada seorang pun mengetahui ke mana engkau pergi. Engkau meninggalkan rumah besar itu tanpa pamit kepada siapapun juga."
"Engkau mencariku, Mur?"
Tanya Parmadi yang sekarang sudah amat akrab dengan gadis itu sehingga kalau menyebut namanya disingkat begitu saja. Mereka seperti kakak dan adik saja.
"Ada urusan apakah?"
"Duduklah dulu, nanti kita bicara,"
Kata gadis itu. Mereka lalu duduk, saling berhadapan.
"Di mana paman Ronggo?"
"Ayah sedang menyelesaikan sebuah ukiran patung."
Parmadi yang sudah mengenal gurunya maklum bahwa kalau dia sedang memahat atau mengukir patung, Ki Ronggo Bangak amat asyik dan tidak mau diganggu siapapun, maka diapun tidak bertanya lagi tentang gurunya.
"Nah, katakan, ada urusan apakah engkau mencari aku, Mur?"
Muryani menatap wajah pemuda itu dengan pandang mata penuh selidik untuk sesaat. Kemudian ia berkata.
"Kakang Parmadi, selama ini aku masih belum sempat bertanya kepadamu tentang pertolonganmu kepadaku pagi hari itu ketika engkau melepaskan aku dari libatan jarring dan ikatan. Bagaimana engkau bisa melakukan pertolongan itu? Bukankah di sana ada Ki Wiroboyo dan warok raksasa? Apa sebetulnya yang terjadi? Dari dalam aku mendengar engkau berteriak menegur Ki Wiroboyo agar membebaskan aku dan aku mendengar mereka mengancammu, akan tetapi kenapa tiba-tiba engkau dapat masuk menolongku? Kenapa mereka melarikan diri?"
Parmadi tidak ingin bercerita tentang Resi Tejo Wening. Gurunya itu tidak ingin dikenal orang lain, apalagi diketahui bahwa kakek itu yang menghalau dua orang penjahat itu dengan kesaktiannya. Maka diapun menjawab tanpa harus berbohong.
"Sebelum mereka dapat mencelakai aku, mereka berdua agaknya mendengar sorak-sorai warga Pakis yang memang sudah siap dan marah. Mereka melarikan diri, akan tetapi di tengah hutan bertemu dengan warga Pakis yang segera mengeroyok mereka."
Muryani agaknya percaya akan keterangan ini.
"Kang Parmadi, aku amat berterima kasih kepadamu. Engkau yang telah menolongku dari malapetaka besar. Sungguh engkau gagah berani, kakang. Engkau seorang diri berani menegur dan menentang Ki Wiroboyo yang dibantu warok raksasa itu. Engkau berani menempuh bahaya maut untuk menolongku!"
Pandang mata gadis itu menatap wajah Parmadi, penuh terima kasih.
Wajah Parmadi menjadi agak kemerahan. Dia sama sekali tidak merasa telah menolong gadis itu. Bahkan nyawanya sendiri mungkin sudah melayang kalau saja Tuhan Yang Mahakuasa tidak menolongnya melalui kesaktian gurunya.
"Adi Muryani, jangan berterima kasih kepadaku. Aku hanya melakukan kewajibanku. Kita wajib berterima kasih kepada Yang Mahakuasa karena sesungguhnya Dialah yang telah menolong kita."
Muryani tertawa, tawanya bebas karena ia sudah tidak merasa canggung atau rikuh lagi terhadap Parmadi yang dianggapnya sebagai kakaknya sendiri. Tawanya merdu dan mulutnya terbuka sehingga tampak deretan giginya yang putih dan rapi, ujung lidahnya yang merah dan rongga mulutnya yang lebih mnerah lagi. Ketika mulutnya tertawa, matanya juga ikut tertawa dan bersinar-sinar.
"Hi-hi-hik, kalau engkau bicara seperti itu, engkau mirip dengan ayah. Engkau seperti kakek-kakek yang memberi wejangan saja!"
Parmadi juga tersenyum, agak canggung karena pada saat itu, hatinya tidak gembira melainkan agak bersedih dan teringat akan perpisahannya dari orang-orang yang dekat dengan hatinya.
"Mur, sebenarnya kedatanganku ini...."
"Untuk bertemu ayah, bukan? Sudah kukatakan, ayah sedang sibuk, tidak mau diganggu. Bicara dengan aku juga tidak apa-apa, bukan? Atau, engkau tidak suka bercakap-cakap denganku? Wajahmu tampak tidak bergembira!"
"Bukan begitu, adi Muryani. Kedatanganku ini". aku. hendak pamit dari engkau dan ayahmu...."
Muryani terbelalak.
"Pamit? Engkau hendak ke mana?"
"Aku hendak pergi meninggalkan Pakis."
"Meninggalkan Pakis? Ke mana?"
Parmadi menggeleng kepala.
"Aku sendiri belum tahu. Berkelana.... pokoknya meninggalkan dusun ini...."
Muryani bangkit berdiri, matanya masih terbelalak.
"Meninggalkan aku? Meninggalkan kami?"
"Benar. Aku akan meninggalkan kalian semua. Aku akan pergi sekarang juga."
"Tidak! Tidak... ahh, ayaaahhh !"
Muryani berlari memasuki rumahnya dan langsung memasuki ruangan di mana ayahnya asyik bekerja. Biasanya iapun tidak mau mengganggu ayahnya kalau sedang bekerja, akan tetapi sekali ini ia tidak perduli dan mendorong daun pintu memasuki ruangan itu.
Ki Ronggo Bangak menunda pekerjaannya dan memandang kepada puterinya yang masuk tanpa dipanggil dan sikapnya seperti orang bingung.
"Eh, ada apa lagi ini, Muryani?"
Tanyanya.
"Wah, celaka, ayah.... celaka....!"
Kata gadis itu.
Biarpun Ki Ronggo Bangak seorang yang tenang, namun melihat sikap puterinya, dia menduga tentu telah terjadi sesuatu yang hebat maka gadis itu bersikap seperti itu. Apakah Ki Wiroboyo muncul lagi dan membuat keributan? Dia bangkit berdiri dan menatap wajah puterinya.
"Katakanlah dengan jelas. Apa yang terjadi?"
"Kakang Parmadi, ayah...."
"Parmadi? Ada apa dengan dia?"
"Dia.... dia hendak meninggalkan dusun ini.... meninggalkan kita! Ayah harus mencegah dan menahannya, ayah!"
Ki Ronggo Bangak menghela napas lega.
"Ahhh, kiranya begitu. Kenapa kau bilang celaka dan kebingungan seperti kebakaran rumah? Di mana Parmadi sekarang?"
"Di ruangan depan, ayah. Tahanlah dia, ayah, jangan biarkan dia pergi berkelana!"
Ki Ronggo Bangak tersenyum, mencatat sikap puterinya ini dalam hatinya. Sikap seperti ini jelas mengandung arti yang dalam, pikirnya. Agaknya dalam hati gadis remajanya ini sudah mulai tersulut api cinta! Akan tetapi di dalam hatinya, dia sama sekali tidak keberatan, bahkan senang sekali seandainya puterinya itu dapat berjodoh dengan Parmadi. Dia mengenal benar pemuda itu, tahu bahwa dia seorang pemuda yang berbudi baik dan bijaksana. Sambil menahan senyumnya dia melangkah keluar, lengannya dipegang oleh Muryani. Parmadi segera bangkit berdiri ketika melihat Ki Ronggo Bangak muncul bersama Muryani. Dia sendiri tadi terkejut melihat sikap Muryani ketika dia menceritakan niatnya untuk meninggalkan Pakis.
Gadis itu tampak demikian kaget dan berlari memanggil ayatinya. Dan sekarang, dia melihat betapa sepasang mata yang indah itu basah! Jantungnya berdebar. Tidak salahkah dia? Benarkah begitu sayangnya gadis itu kepadanya seperti juga perasaan rasaan sayangnya yang mendalam terhadap gadis itu?
"Paman"."
Dia menyapa dengan sikap hormat.
"Parmadi, apa yang kudengar dari Mur yani tadi? Engkau hendak pergi meninggalkan Pakis. Benarkah itu?"
"Benar sekali, paman."
"Akan tetapi mengapa? Duduklah dan katakan alasanmu dengan jelas."
Ki Ronggo Bangak duduk. Muryani duduk di sebelahnya dan Parmadi juga duduk berhadapan dengan mereka.
"Paman, sejak kecil saya ikut Ki Wiroboyo. Sekarang dia telah pergi. Saya kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan. Karena itu saya mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan Pakis."
"Akan tetapi engkau boleh tinggal di sini, kakang! Betul tidak, ayah? Engkau boleh tinggal di sini dan tentang pekerjaan, bukankah engkau dapat membantu pekerjaan ayah membuat patung dan perabotan rumah?"
Kembali Ki Ronggo Bangak mencatat ucapan puterinya itu dan dia semakin yakin bahwa telah tumbuh cinta kasih dalam hati puterinya terhadap pemuda yang menjadi muridnya itu.
"Ucapan Muryani itu benar, Parmadi. Tentu saja engkau boleh tinggal bersama kami dan tentang pekerjaan, engkau sudah pandai memahat dan mengukir, engkau dapat membantu membuat patung, arca, darn perabot rumah."
"Terima kasih, paman dan adi Muryani. Tawaran paman berdua berharga sekali. Akan tetapi hal ini sudah saya pertimbangkan dengan matang dan saya sudah mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan Pakis dan merantau, berkelana."
"Hemm, agaknya keputusanmu sudah bulat. Kalau boleh kami mengetahui, apa yang menjadi dasar keputusanmu ini, Parmadi? Apa yang kau cari dalam perantauanmu itu?"
Ki Ronggo Bangak bertanya dan Parmadi melihat betapa sepasang mata yang tadi basah kini meruntuhkan dua titik air mata yang segera diusap oleh jari-jari tangan yang mungil itu. Muryani menangis! Dan kenyataan inilah yang membuat dia terpukul. Akan tetapi dia menguatkan hatinya dan menjawab,
"Paman, yang menjadi dasar keputusan saya adalah keinginan saya untuk meluaskan pengetahuan dan mencari pengalaman untuk bekal niat saya memenuhi pesan terakhir ayah saya seperti yang saya ceritakan kepada paman dulu."
Ki Ronggo Bangak mengangguk-angguk.
"Hemm, pesan agar engkau mengabdikan diri kepada Kanjeng Sultan Agung di Mataram itu?"
"Benar, paman. Kalau saya terus-menerus berada di dusun ini, saya merasa seperti seekor katak dalam tempurung, tidak melihat keadaan dunia luar dan apa yang dapat saya andalkan untuk memenuhi pesan mendiang ayah saya itu?"
Ki Ronggo Bangak kembali mengangguk-angguk. Dalam hatinya dia tidak dapat menyalahkan pemuda itu, bahkan membenarkan niatnya yang amat baik.
"Hemm, aku dapat melihat kebenaran alasanmu itu, Parmadi. Akan tetapi, ke manakah engkau hendak pergi merantau setelah meninggalkan dusun ini?"
"Entahlah. Bagaimana nanti saja, paman. Saya percaya bahwa Yang Mahakuasa tentu akan memberi petunjuk dan membimbing saya."
"Bagus kalau engkau selalu mohon petunjuk dan bimbingan Yang Mahakuasa. Dengan cara demikian aku yakin engkau tidak akan menyeleweng dari jalan yang benar. Muryani, niat kakangmu ini baik sekali. Kita tidak dapat menahan atau mencegahnya."
Mendengar ini, habislah harapan Muryani dan kini ia menangis tanpa disembunyikan lagi. Ia menangis sesenggukan, air matanya bercucuran dan ia sibuk menggunakan ujung kain bajunya untuk mengusap mata dan hidungnya.
Melihat ini, Parmadi merasa terharu sekali. Inilah yang memberatkan hatinya. Meninggalkan Muryani! Dia merasa gadis itu seperti adiknya sendiri. Atau bahkan lebih dari itu. Dia tidak tahan untuk berdiam di situ lebih lama menghadapi Muryani yang menangis. Dia bangkit perlahan dari bangkunya.
"Paman Ronggo. Saya menghaturkan banyak terima kasih atas segala kebaikan yang sudah paman limpahkan kepada saya selama ini. Sekarang saya mohon diri karena saya harus berangkat sekarang. Saya masih akan berkunjung kepada para saudara lain untuk pamit. Selamat tinggal, paman Ronggo Bangak dan adi Muryani, saya mohon diri."
Ronggo Bangak bangkit berdiri.
"Selamat jalan, Parmadi, dan baik-baiklah menjaga dirimu sendiri, semoga engkau berhasil. Muryani, ini kakangmu pamit!"
Katanya kepada Muryani. Akan tetapi gadis itu tetap duduk sambil menangis sesenggukan, menutupi mukanya dengan kedua tangan. Ki Ronggo hanya menghela napas dan Parmadi juga tidak dapat berbuat apa-apa. Setelah memandang sejenak kepada Nltilryani, Parmadi lalu mengangguk dengan hormat kepada Ki Ronggo Bangak, lalu keluar dari rumah itu.
Parmadi berkunjung dari rumah ke rumah untuk berpamit dari para warga Pakis. Semua orang mengucapkan selamat jalan kepada pemuda yang mereka kenal dengan baik itu. Bahkan para pemuda yang tadinya merasa cemburu kepada Parmadi, bersikap ramah dan diam-diam merasa girang dengan kepergian pemuda itu meninggalkan Muryani. Setelah berpamit dari semua orang, Parmadi segera meninggalkan dusun Pakis.
Matahari sudah naik agak tinggi dan pagi menjelang siang itu cerah sekali. Kecerahan cerahan suasana itu mempengaruhi hati Parmadi, membuat perasaannya yang tadi tertindih kesedihan karena perpisahan itu menjadi agak ringan. Dia membayangkan betapa dia akan hidup bersama gurunya, yang kini diyakini adalah seorang kakek yang sakti mandraguna. Juga dia merasa girang sekali bahwa tanpa disadarinya, dia telah memiliki pelindung gaib yang disebut Kekuasaan Ilahi oleh gurunya, yang bekerja tanpa disadarinya, seperti kekuasaan yang mendetakkan jantungnya, kekuasaan yang menumbuhkan semua anggauta tubuhtrya, rambut dan kukunya. Kekuasaan itu maha kuat dan tidak ada kekuatan lain di dunia ini yang mampu mengalahkannya!
Tiba-tiba dia menahan langkahnya. Dia sudah tiba di luar dusun Pakis dan di depan sana, di atas sebuah batu, dia melihat Muryani duduk dan memandangnya. Parmadi cepat maju menghampirinya dan dia melihat bahwa dara itu sudah tidak menangis lagi, akan tetapi sepasang matanya agak kemerahan dan kedua pipinya masih ada bekas air mata.
"Adi Muryani....! Engkau di sini...?"
Muryani melompat turun dari atas batu dan berdiri berhadapan dengan pemuda itu.
"Kakang Parmadi, kau.... kau benar benar hendak pergi...?"
Kata gadis itu lirih, seperti berbisik.
Parmadi menelan ludah dan mengangguk.
"Benar, Mur. Aku". aku harus pergi Aku ingin seperti engkau, memiliki kepandaian agar berguna bagi nusa dan bangsa."
Muryani menggigit bibirnya, agaknya menahan tangisnya.
"Kau.... kau tidak akan kembali lagi ke sini....?"
"Tentu saja aku akan kembali kelak kalau sudah berhasil."
"Berapa lama....?"
"Entahlah. Mudah-mudahan tidak terlalu lama."
""..kakang, engkau.... engkau tidak akan melupakan aku...?"
Bibir itu sudah gemetar menahan tangis.
"Ah, mana bisa aku melupakan engkau, adi Muryani? Sampai mati aku tidak akan melupakan engkau!"
"Kakang Parmadi...!!"
Entah siapa yang lebih dulu bergerak, namun tahu-tahu Parmadi sudah merangkul dan mendekap dara itu dan Muryani menangis terisak-isak di atas dada Parmadi. Parmadi merasa terharu dan dia benar-benar merasakan betapa besar kasih sayangnya kepada gadis ini. Dia menggunakan lengan kiri untuk merangkul pundak dan tangan kanannya meng usap rambut yang hitam dan halus itu. Dia membiarkan gadis itu menangis beberapa lamanya sampai baju di dadanya menjadi basah oleh air mata. Akhirnya tangis itu mereda juga. Agaknya himpitan kedukaan pada dada Muryani menjadi ringan setelah perasaan itu dilarutkan melalui air matanya. Dia lalu menarik tubuhnya dari rangkulan Parmadi dan merenggangkan diri. Mukanya basah, akan tetapi ia tidak menangis lagi. Bahkan ia berusaha untuk tersenyum. Senyum yang mengembang di bibirnya dengan mata yang masih merah dan muka yang basah itu bahkan menimbulkan pemandangan yang amat mengharukan hati Parmadi.
"Adi Muryani,"
Katanya dengan suara menggetar.
"maafkan aku kalau aku membuatmu bersedih..."
Muryani menggunakan ujung baju untuk mengusap air matanya yang membasahi mukanya. Ia tidak menangis lagi. Ia tersenyum.
"Tidak, kakang. Engkau tidak bersalah. Aku mengerti mengapa engkau harus pergi merantau. Ayah tadi telah menyadarkan aku. Memang aku yang gembeng, cengeng! Aku yang minta maaf padamu karena tadi ketika engkau berpamit, aku diam saja. Karena itu aku mencegatmu di sini. Aku ingin mengucapkan selamat jalan, kakang."
Gadis itu lalu mengambil patrem bersarung dari ikat pinggangnya dan berkata.
"Patremku ini tadinya dirampas Ki Wiroboyo dan sudah kuambil kembali dari dalam kamar di rumahnya. Hanya ini milikku yang selama bertahuntahun kusayang dan selalu berdekatan denganku, kupakai latihan pencak silat dan menjadi kawan yang melindungiku. Sekarang aku serahkan padamu. Aku berikan patremku ini padamu, kakang."
"Untuk apa, adi Muryani? Aku tidak memerlukan senjata...."
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bukan untuk senjata, melainkan untuk mengingatkanmu akan diriku, agar engkau tidak lupa kepadaku."
"Ahh.... Muryani....!"
Parmadi terharu dan menerima patrem itu.
"Akan kusimpan patremmu ini, seperti kusimpan bayanganmu dalam hatiku."
"Benarkah, kakang? Ah, lega hatiku sekarang. Jangan pergi dulu, biar aku yang lebih dulu meninggalkanmu pulang ke rumah. Kalau engkau yang meninggalkan aku, aku takut takkan dapat menahan tangisku lagi."
Gadis itu memegang kedua tangan Parmadi. Dua pasang tangan itu saling genggam dan Parmadi dapat merasakan getaran lembut dari dua telapak tangan yang lunak lembut itu.
"Selamat jalan, kakang. Selamat berpisah dan jagalah dirimu baik-baik. Aku akan selalu menantimu, kakang. Aku pulang dulu sekarang!"
Gadis itu melepaskan kedua tangan yang memegangi tangan pemuda itu lalu berlari meninggalkan Parmadi menuju ke dusun Pakis.
Parmadi berdiri mengikuti bayangan gadis yang berlari itu. Tiga kali Muryani menoleh sampai kemudian bayangannya lenyap di antara pohon-pohon. Parmadi menarik napas panjang. Dengan punggung tangannya dia menghapus dua titik air mata yang tergenang di pelupuk matanya. Kemudian setelah merasa yakin bahwa gadis itu telah pergi jauh, dia membalik dan berlari memasuki hutan menuju ke hutan Penggik. Resi Tejo Wening menyambut kedatangan Parmadi dengan senyum. Ketika pemuda itu
memberi hormat sembah kepadanya, kakek yang duduk di dalam gubuk itu, mengambil sebatang suling yang tadinya ditaruh di atas sebuah meja kayu yang kasar dan menyerahkannya kepada Parmadi.
"Terimalah seruling gading ini, Parmadi. Mulai sekarang, benda ini menjadi milikmu. Agaknya memang sudah ditakdirkan bahwa aku dalam usia tua ini harus mewariskan ilmu-ilmu yang pernah kupelajari kepadamu. Engkau memang berbakat untuk menguasai ilmu kanuragan dan engkau berjodoh denganku. Akan tetapi ingatlah bahwa seruling gading ini, juga ilmu-ilmu kanuragan, semua itu merupakan alat yang mati. Mereka itu dihidupkan oleh manusia dan tergantung kepada si manusia yang mempergunakan alat itu, apakah alat itu akan dipergunakan untuk kejahatan ataukah untuk kebaikan. Alat itu sendiri tidak ada yang jahat ataupun yang baik. Sebatang parang yang tajam menyeramkan akan menjadi alat yang baik dan bermanfaat sekali kalau dipergunakan manusia untuk menebang pohon, membelah kayu atau untuk pekerjaan lain. Sebaliknya, sebilah pisau dapur yang kecil yang tampaknya tidak berbahaya akan menjadi alat yang jahat sekali kalau dipergunakan manusia untuk menusuk dada orang lain. Bahkan benda yang namanya api itu menjadi benda berguna kalau dipakai untuk rnemasak atau menyalakan lampu, akan tetapiberubah menjadi benda jahat merusak kalau dipakai untuk membakar rumah orang lain. Seruling gading ini juga demikian. Dapat menjadi alat gamelan yang indah, dapat pula menjadi senjata pelindung diri yang ampuh, akan tetapi juga tentu saja dapat menjadi alat yang amat jahat kalau dipergunakan untuk membunuh orang. Mengertikah engkau?"
Parmadi menerima suling itu dengan takjub. Selama ini, belum pernah dia memegangnya walaupun seringkali dia melihatnya. Suling itu merupakan pusaka gurunya. Sebatang suling sepanjang lengannya yang amat indah, terbuat dari gading yang berwarna putih kuning mengkilap.
"Saya mengerti, eyang, dan saya berjanji akan mempergunakan pusaka ini sebagai alat yang baik dan berguna bagi nusa dan bangsa, untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan untuk menentang kejahatan."
"Bagus! Akan tetapi ada satu hal yang perlu engkau ketahui benar tentang sikap menentang kejahatan itu. Kejahatan dan kebaikan adalah sebuah pendapat sebagai hasil dari pandangan seseorang, karena itu sangat bergantung kepada si pemandang. Biasanya, hal yang mendatangkan keuntungan lahir ataupun batin dianggap baik oleh si pemandang, sebaliknya hal yang mendatangkan kerugian lahir ataupun batin dianggap jahat atau buruk."
"Kalau begitu, baik dan buruk itu tidak ada, eyang?"
"Begitulah, seperti alat tadi, baik atau buruk tergantung dari si pemakai. Adapun yang dinamakan kebaikan atau kejahatan juga tergantung dari pendapat si pemandang. Akan tetapi, kulup, ada ukuran tentang baik dan buruk yang telah diterima oleh umum, yaitu oleh manusia yang beradab dan yang telah mengenal peraturan hukum. Ukuran itu ialah, perbuatan yang merugikan orang lain, adalah jahat dan perbuatan yang menguntungkan orang lain adalah baik. Yang sifatnya merusak adalah iahat dan yang sifatnya membangun dan memelihara adalah baik. Ukuran ini dapat kaupergunakan untuk menilai baik buruknya perbuatan seseorang. Parmadi mengangguk-angguk, mencatat pelajaran penting ini dalam sanubarinya.
"Saya akan selalu ingat akan nasihat eyang ini,"
Katanya.
"Sekarang tentang menentang kejahatan seperti yang kaukatakan tadi, Parmadi. Seperti pernah kukatakan kepadamu, dua hal harus kaulakukan sepanjang hidupmu, kalau mungkin saat demi saat, yaitu INGAT dan WASPADA. Ingatlah selalu kepada Tuhan Yang Maha Kasih seolah sembahyang datan kendat (berdoa tiada hentinyal, kemudian waspadalah setiap saat akan ulah pikiran dan perbuatanmu Dalam menentang kejahatan, berhati-hatilah, jangan membiarkan si-aku dalam dirimu berkuasa. Si-aku adalah nafsu akal pikiran yang selalu mendorong kita untuk bertindak dengan pamrih mementingkan diri sendiri, demi kesenangan dan keuntungan diri sendiri. Dan engkau sudah berlatih dan merasakan bahwa bilamana si-aku dalam diri ini berkuasa, maka Kekuasuan Hyang Widhi tidak akan menuntun jiwa yang sudah tertutup oleh hawa nafsu. Kalau nafsu akal pikiran menguasai diri, maka akan dapat timbul amarah dan dendam. Kalau engkau hendak menentang kejahatan karena amarah dan dendam, maka tindakanmu dituntun oleh kebencian terhadap orang yang melakukan kejahatan itu, berarti bukan menentang kejahatannya, melainkan orangnya! Padahal yang harus ditentang adalah perbuatan jahat itu agar tidak terjadi, dan kalau engkau berhasil menyadarkan orangnya sehingga dia tidak jadi melakukan perbuatan jahat, atau dia dapat bertaubat dari kesalahannya, ini berarti bahwa engkau berhasil menentang kejahatan. Mengertikah engkau, Parmadi?"
"Saya berusaha untuk mengerti, eyang."
"Memang pelajaran tentang kehidupan ini sukar, kulup, akan tetapi penting. Kalau engkau ingin menjadi seorang manusia seutuhnya. Sekarang kita sudahi dahulu dan cobalah sekarang kautiup seruling gading itu dan biarkan jiwamu yang menuntunnya."
Agak berdebar rasa jantung Parmadi. Alangkah seringnya dia mempunyai keinginan untuk mencoba meniup dan memainkan suling itu, dan sekarang seruling gading itu bukan hanya dapat dia mainkan, bahkan telah menjadi miliknya! Akan tetapi dia segera dapat menghilangkan ketegangan ini, dan menyerah dengan seluruh pribadinya lahir batin kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Begitu dia menyerah seperti yang biasa dia latih bersama eyang gurunya, getaran gaib menggerakkan, kedua tangannya dan dia membawa suling itu ke bibirnya dan terdengarlah suara melengking-lengking dengan aneh dan juga indahnya. Parmadi merasakan ini semua, telinganya mendengar matanya melihat, panca indranya masih bekerja, pikirannya masih sadar, akan tetapi tiupan suling itu, tidak dikendalikan oleh hati akal pikirannya. Hati akal pikirannya hanya sadar sebagai penonton dan pendengar belaka. Segala macam daya rendah nafsu terbelenggu, tidak berdaya pada saat itu.
Resi Tejo Wening duduk bersila di atas bale-bale, kedua matanya terpejam dan dia seperti orang yang sedang bersamadhi, tubuhnya bergoyang-goyang perlahan sesuai dengan irama tiupan suling yang dilakukan Parmadi.
Setelah tiupan suling itu terhenti dengan sendirinya, Resi Tejo Wening mengangguk-angguk sambil tersenyum.
"Baik sekali, Parmadi. Tahukah engkau, Kekuasaan Ilahi sepenuhnya terkandung dalam getaran suara sulingmu tadi sehingga cukup kuat untuk mengusir roh kegelapan. Berlatihlah terus , dengan tekun dan sabar, kulup. Pohon yang ditanam dalam jiwamu telah mulai tumbuh dan kelak tentu akan menghasilkan buahnya."
Pada keesokan harinya, setelah matahari muncul dari balik puncak Lawu, Resi Tejo Wening dan Parmadi meninggalkan gubuk di hutan Penggik itu. Parmadi tidak bertanya ke mana gurunya pergi, hanya mengikuti dari belakang dan ternyata gurunya melangkah mendaki ke atas menuju puncak Argadumilah! Diam-diam Parmadi merasa heran. Ternyata kakek itu tidak meninggalkan Gunung Lawu, melainkan rnalah menuju ke puncak! Akan tetapi dia tetap tidak bertanya dan mengikutinya dari belakang. Dia hanya kagum sekali melihat dari belakang betapa kakek itu melangkah dengan tenang dan tegap, tak pernah ragu dan tidak pernah berhenti mengaso. Padahal perjalanan itu terus mendaki tebing yang curam dan tidak mudah dilalui. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa gurunya bukan orang biasa. Bahkan dia sendiri yang bertubuh kuat dan masih muda, merasa lelah sekali.
Jauh lewat tengah hari, menjelang sore, baru mereka tiba di puncak Argadumilah, di mana kurang lebih setengah tahun yang lalu Resi Tejo Wening bertemu dengan tiga orang datuk, yaitu Harya Baka Wulung tokoh Madura, Wiku Menak Koncar tokoh Blambangan, dan Kyai Sidhi Kawasa tokoh Banten. Dia mencegah mereka bertiga yang hendak membunuh puluhan orang anggauta perkumpulan pendekar Welut Ireng dan berhasil menghalau tiga orang datuk itu pergi meninggalkan puncak Argadumilah.
"Mulai hari ini, puncak ini menjad tempat tinggal kita, Parmadi. Tempat ini baik sekali untuk mengheningkan dan memurnikan batin dan baik sekali bagimu untuk berlatih ilmu kanuragan yang akan kuajarkan padamu. Akan tetapi ada sesuatu yang harus dibersihkan lebih dulu agar tidak mengganggu kita. Lihat di sana itu."
Kakek, itu menunjuk ke kiri.
Parmadi melihat sebatang pohon randu alas berdiri tegak seperti raksasa. Pohon itu sudah tua sekali. Cabang-cabangnya seperti lengan-lengan panjang, ranting-ranting seperti jari-jarinya dan daun-daunnya seperti bulu yang lebat. Parmadi merasa bulu tengkuknya meremang. Dia hidup di dusun pegunungan di mana para pendudukya masih sangat dipengaruhi oleh tahyul dan seringkali dia mendengar cerita tentang siluman dan setan yang menjadi penghuni pohon-pohon besar dan tua seperti itu. Setiap ada halangan atau orang sakit, terutama kanak-kanak, tentu dihubungkan dengan pengaruh roh gelap atau yang disebut yang "mbaurekso" (menguasai) atau "danyang"
Yang marah karena merasa terganggu. Dalam benak Parmadi yang sudah terisi penuh dengan cerita semacam itu, melihat pohon randu alas tua besar itu tentu saja otomatis dia lalu membayangkan bahwa pohon setua dan sebesar itu pasti ada yang "menjaganya". Karena itu, biarpun hari masih terang, dia merasa ngeri juga.
"Eyang maksudkan.... randu alas itu?"
Tanyanya sambil menatap pohon itu dengan alis berkerut.
Kakek itu mengangguk.
"Parmadi, pohon itu dihuni oleh roh penasaran. Kalau dia tidak diminta pergi dari sini, dia akan merupakan pengganggu kita. Oleh karena itu, sebaiknya engkau mempergunakan seruling gading untuk memaksa dia menjauhkan diri dari sini agar kita dapat hidup dengan tenang dan tenteram di puncak ini."
Melihat Parmadi meragu dan tampak jerih, kakek itu tersenyum dan berkata.
"Ragu-ragu bertindak berarti kelemahan. Hayolah kita mendekat."
Kakek itu melangkah dan Parmadi terpaksa juga melangkah maju. Setelah tiba di bawah pohon besar itu, Resi Tejo Wening memberi isyarat kepada Parmadi sambil menunjuk ke arah Seruling Gading yang terselip d pinggang pemuda itu. Parmadi menenangkan hatinya yang tadi terguncang. Karena sudah agak matang dalam latihan, begitu pikirannya tidak berulah dan dia menyerah, hatinya menjadi tenang kembali. Tangan kanannya mencabut Seruling Gading dan setelah dia tenggelam ke dalam penyerahan total, kedua tangannya membawa suling ke bibirnya dan di lain saat terdengarlah lengking suling itu, nadanya naik turun dengan indahnya namun juga aneh, bukan merupakan tembang tertentu yang dikenal umum pada waktu itu. Mula-mula lengking suara suling itu merendah dan semakin merendah, kemudian meninggi, terus meninggi sampai menjadi lengkingan yang nadanya tinggi dan kecil sekali. Lengkingan itu makin tinggi sampai akhirnya hampir tidak terdengar oleh telinga, namun terasa getarannya yang hebat. Pohon randu alas itu mulai bergoyang-goyang seperti tertiup angin besar! Parmadi melihat ini dan mendengar suara daundaunnya berkerosakan. Jantungnya berdebar tegang dan tiba-tiba suara sulingnya menjadi kacau, getaran itu mengurang dan suara lengkingannya mulai terdengar lagi. Dia merasakan hal ini, maklum bahwa pikirannya bekerja sehingga menimbulkan rasa ngeri dan takut. Dia tenggelam lagi dalam penyerahan dan suara sulingnya kembali meninggi dan getarannya semakin kuat. Pohon itu kini terguncang keras seperti tertiup angin topan.
Tiba-tiba saja terdengar suara keras! "Braakkkkk".!!"
Dan pohon besar tua itupun tumbang! Pohon raksasa itu tumbang menuju ke arah Parmadi! Betapapun tenangnya, tentu saja Parmadi terkejut sekali dan hati akal pikirannya segera bekerja. Dia menjadi pucat dan takut, ngeri karena tidak melihat jalan untuk menghindar dari timpaan pohon raksasa yang tumbang itu!
"Tenanglah!"
Terdengar kata-kata di belakangnya dan tiba-tiba saja tubuhnya terangkat dan seperti diterbangkan dari tempat itu menjauhi pohon.
"Brakkkkk ".. bressss....!"
Suara gemuruh terdengar ketika pohon itu jatuh berdentum di atas tanah. Parmadi melihat dengan mata terbelalak dan muka pucat. Dia telah berdiri di atas tanah, agak jauh dari pohon itu dan Resi Tejo Wening berdiri di sampingnya.
Dengan muka pucat dan tubuh gemetar Parmadi menunjuk ke arah pohon yang tumbang itu.
"Eyang..., apakah.... dia....dia...."
"Dia sudah pergi, Parmadi. Tentu mencari tempat yang lebih cocok baginya. Dia tidak kuat menahan getaran suara Seruling Gading yang kautiup tadi. Dia sengaja merobohkan pohon untuk menunjukkan kemarahannya. Akan tetapi dia tidak berani bertahan dan melarikan diri. Tempat ini sekarang sudah bersih dari pengaruh kegelapan."
"Ah, berbahaya sekali! Untung eyang dapat menyelamatkan saya dengan cepat, Apakah eyang tadi membawa saya terbang?"
Parmadi memandang gurunya dengan kagum.
"Mana ada manusia dapat terbang? Manusia ditakdirkan hidup tanpa sayap, tidak dapat terbang seperti burung dan mahluk bersayap lainnya. Aku hanya membawamu melompat, dan engkaupun akan dapat menguasai ilmu itu asal engkau berlatih dengan tekun."
Kakek itu menghampir pohon yang tumbang dan tertawa.
"Kita harus bersyukur. Roh penasaran itu dalam amukannya bahkan membantu kita menumbangkan pohon besar ini. Kita memerlukan batangnya untuk membangun sebuah gubuk di sini."
Mereka lalu membangun sebuah gubuk sederhana namun cukup kokoh dan sejak hari itu Parmadi tinggal bersama Resi Tejo Wening di puncak Argadumilah. Latihan penyerahannya diperdalam sehingga Kekuasaan Hyang Widhi dapat manunggal dengan jiwanya setiap saat, membimbingnya dalam kehidupan ini. Di samping itu, Resi Tejo Wening juga mengajarkan dua macam gerakan ilmu bela diri. Pertama adalah gerakan silat tangan kosong yang disebut Aji Sunya Hasta (Ilmu Tangan Kosong) dan gerakan silat menggunakan seruling gading yang disebut Aji Sunyatmaka (Berjiwa Bebas). Gerakan kedua macam ilmu silat ini sederhana sekali tampaknya. Aji Sunya Hasta digerakkan dengan kedua tangan terbuka dan tampaknya seperti orang menari, akan tetapi dari kedua tapak tangan itu menyambar hawa yang dahsyat sehingga kalau Parmadi berlatih, tumbuh-tumbuhan di sekitarnya bergoyang-goyang seperti diterpa angin besar.
Demikian pula Aji Sunyatmaka yang dimainkan dengan seruling gading itu, tampaknya seperti menari-nari akan tetapi kalau gerakan itu sampai kepada puncaknya, akan menjadi cepat dan suling itu hilang bentuknya berubah menjadi sinar kuning bergulung-gulung. Bukan saja sinar itu membawa tenaga yang dahsyat, akan tetapi juga dari gulungan sina kuning itu keluar suara melengking-lengking seolah suling itu ditiup dan dimainkan. Hebatnya, setelah Parmadi melatih diri dengan tekun, secara otomatis tubuhnya menjadi ringan dan dia dapat bergerak cepat dan dapat melompat seperti terbang saja. Selain itu juga dia setiap saat dapat mendatangkan tenaga yang amat kuat setiap kali dia butuhkan.
Siapakah sebenarnya Resi Tejo Wening itu? Untuk mengenal riwayat kakek tua renta yang sakti mandraguna ini, mari kita pergi ke daerah Banten dan menengok keadaan sekitar tigapuluh tahun yang lalu. Ketika itu, di Gunung Sanggabuwana terdapat seorang pertapa berusia kurang lebih empatpuluh tahun. Pria yang gentur tapa ini adalah Ki Tejo Wening. Sejak muda dia memang gemar bertapa dan memperdalam soal-soal kerohanian dan aji kedigdayaan. Karena tidak suka mencampuri urusan keduniaan, maka dia tidak pernah menikah dan hidup sebagai seorang pertapa yang selalu mengasingkan diri dari keramaian orang banyak. Akan tetapi, setiap kali melihat orang menderita, dia selalu mengulurkan tangan menolong, walaupun hal itu lebih banyak dia lakukan secara sembunyi dan diam-diam. Ada kalanya dia mengobati orang sakit, mengusir wabah yang mengamuk di dusun-dusun. Ada kalanya dia melindungi orang-orang lemah dari tindasan orang-orang yang menjadi hamba nafsu. Banyak sudah orang-orang sesat dia tundukkan dengan kesaktiannya dan disadarkan dengan kebijaksanaannya. Setelah ada orang mengenal namanya, maka orang memberinya julukan Resi Tejo Wening.
Pada suatu hari, perasaan hatinya mendorongnya untuk berkunjung ke rumah adik seperguruannya yang bernama Ki Tejo Budi yang berusia tigapuluh tahun dan tinggal di dusun Cihara yang berada di pantai Laut Kidul. Resi Tejo Wening memiliki dua orang adik seperguruan. Yang seorang lagi bernama Ki Tejo Langit. Berusia tigapuluh lima tahun. Mereka bertiga merupakan murid-murid Kyai Sapujagad, seorang pertapa di pegunungan karang tepi Laut Kidul.
Selama bertahun-tahun, setelah tamat belajar, tiga orang kakak beradik seperguruan ini terkenal sebagai pendekar-pendekar Banten yang gagah perkasa dan menjadi penegak kebenaran dan keadilan. Akan tetapi ketika dalam usia duapuluh lima tahun Ki Tejo BUdi, yang termuda di antara mereka, bertemu dengan seorang gadis dusun yang cantik manis bernama Lasmini lalu menikah dengan gadis itu, ketiga orang kakak beradik seperguruan itu berpisah dan mengambil jalan masing-masing. Murid pertama, Ki Tejo Wening, lalu berkelana dan hidup mengasingkan diri sebagai pertapa di gunung-gunung. Murid kedua, Ki Tejo Langit, masih dikenal sebagai seorang pendekar yang terkenal di seluruh Banten. Adapun murid ketiga, Ki Tejo Budi, tinggal di dusun Cihara di pantai Laut Kidul bersama isteririya. Lima tahun telah lewat sejak mereka berpisah dan pada hari itu, Ki atau Resi Tejo Wening merasakan dorongan keinginannya untuk berkunjung ke dusun Cihara, menengok Ki Tejo Budi, adik seperguruannya yang sejak dulu amat disayangnya itu.
Demikianlah, pada suatu hari Ki Tejo Wening yang berusia empatpuluh tahun itu menuruni Gunung Sanggabuwana lalu menggunakan jalan air Kali Cimadur yang bersumber dari gunung itu. Dia berperahu ke hilir. Perjalanan dengan perahu ini amat menyenangkan karena pemandangan amat indahnya dan juga tidak melelahkan seperti kalau melakukan perjalanan darat dan berjalan kaki.
(Lanjut ke Jilid 06)
Seruling Gading (Seri ke 02 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 06
Beberapa hari kemudian dia tiba di muara di tepi laut. Dia mendarat dan melanjutkan perjalanannya ke barat, menuju dusun Cihara. Karena perjalanan menuju dusun itu melalui jalan liar yang amat sukar, maka mungkin pada besok pagi dia baru akan tiba di dusun Cihara.
Sementara itu, mari kita menengok keadaan keluarga Ki Tejo Budi di dusun Cihara. Dusun itu cukup ramai, merupakan dusun nelayan. Penduduknya mencari nafkah dengan jalan mencari ikan di lautan dan juga menggarap tanah agak jauh dari pantai. Ki Tejo Budi hidup bersama isterinya tercinta, Lasmini dan anak mereka yang diberi nama Sudrajat dan pada waktu itu sudah berusia empat tahun. Kehidupan mereka cukup berbahagia, tidak kekurangan sandang-pangan karena Ki Tejo Budi memiliki sebidang tanah dan memiliki pula perahu dan alat penangkap ikan di lautan.
Pada waktu itu, Ki Tejo Budi kedatangan seorang tamu yang membuat dia merasa gembira bukan main karena tamunya itu adalah Ki Tejo Langit, kakak seperguruannya yang kedua. Sudah lima tahu mereka berpisah dan setelah kini Ki Tejo Langit datang berkunjung, mereka berdua setiap hari bercakap-cakap dengan gembira. Pada hari ketiga selama kunjungannya di rumah adik seperguruannya itu, Ki Tejo Langit duduk bercakap-cakap dengan Ki Tejo Budi di ruangan depan.
Ki Tejo Budi berwajah tampan dan bertubuh tinggi kurus, berusia kurang lebih tigapuluh lima tahun. Adapun Ki Tejo Langit berusia sekitar empatpuluh tahun, wajahnya ganteng dan perawakannya tinggi besar, membuat dia tampak gagah sekali dan pantas menjadi seorang pendekar yang disegani. Selagi mereka bercakap-cakap dan Ki Tejo langit menceritakan pengalamannya selama dia malang-melintang di daerah Banten sebagai seorang pendekar, masuklah seorang wanita berusia sekitar tigapuluh tahun.
Ayu manis merak ati, dengan tubuh yang sedang mekar, tampak menggairahkan dengan lekuk-lengkung yang sempurna. Seorang anak laki-laki berusia empat tahun mengikuti di belakangnya. Wanita itu adalah Lasmini, isteri Ki Tejo Budi dan anak itu Sudrajat, anak mereka. Lasmini memasuki ruangan membawa minuman dan makanan kecil.
"Wah, kunjunganku ini hanya merepotkan nimas Lasmini saja!"
Kata Ki Teja Langit sambil tertawa dan menatap wajah adik ipar yang ayu itu. Dan dia lalu membungkuk dan mengangkat Sudrajat, dipangkunya. Anak itu menurut saja karena dia. pun sudah terbiasa dengan hadirnya pria yang dia panggil pak-de (uwa) itu.
"Ah, kakang Tejo Langit, kami tidak repot apa-apa, kok. Sekedar minuman air teh dan makanan kecil. Silakan, kakang,"
Jawab Lasmini sambil tersenyum manis.
"Wah, baru saja makan malam, sudah disuguhi lagi makanan. Terima kasih, nimas. Mari silakan duduk. Aku sedang menceritakan pengalamanku kepada adi Tejo Budi. Engkaupun boleh mendengarkan. Sudrajat juga agar kelak dia menjadi seorang pendekar besar pula, seperti pak denya. Ha-ha-ha!"
Lasmini memandang kepada suaminya dan dengan senang hati dan gembira Ki Tejo Budi memberi isyarat dengan anggukan kepala. Lasmini lalu duduk di sebelah suaminya, berhadapan dengan Ki Tejo Langit. Pendekar ini lalu bercerita tentang pengalaman-pengalamannya yang hebat, menolong orang, menentang penjahat, perkelahiannya menundukkan orang-orang sesat. Lasmini memandang dengan kagum. Pria ini sungguh gagah perkasa dan pandai mencari penghasilan besar sehingga pakaiannya serba mewah, memakai cincin dan gelang emas, bahkan kemarin menawarkan banyak uang kepada Ki .Tejo Budi apabila adik seperguruan itu membutuhkan.
"Akan tetapi, kakang Tejo Langit,"
Lasmini berkata setelah pendekar itu berhenti bercerita.
"Kenapa sampai sekarang andika belum juga berkeluarga? Padahal, usia andika tentu lebih tua sedikit dibandingkan suamiku yang sudah mempunyai anak berusia empat tahun. Sudah sepatutnya kalau andika menikah dan saya yakin tentu banyak perawan-perawan yang cantik jelita yang akan senang sekali menjadi sterimu."
"Ha-ha, akupun sudah mengusulkan hal itu!"
Kata Ki Tejo Budi.
"Agaknya kakang Tejo Langit hendak mengikuti jejak kakang Tejo Wening, tidak akan berdekatan dengan wanita untuk selamanya."
"Ah, sama sekali tidak, adi Tejo Budi!"
Ki Tejo Langit membantah.
"Aku tidak ingin menjadi seperti kakang Tejo Wening yang tidak mau berdekatan dengan wanita! Aku suka dan kagum kepada wanita, akan tetapi sampai sekarang aku belum bertemu dengan seorang wanita yang memenuhi selera hatiku. Engkau sungguh beruntung sekali, adi Tejo Budi, memperoleh seorang isteri yang cocok, cantik jelita, dan bijaksana."
Berkata demikian, Ki Tejo Langit memandang wajah adik iparnya. Lasmini menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan, akan tetapi bibirnya tersenyum. Wanita mana yang tidak akan mekar hatinya mendengar dirinya dipuji-puji, apalagi pemujinya itu seorang pria yang gagah perkasa? Setelah berhenti bercakap-cakap, mereka memasuki kamar masing-masing. Ki Tejo Budi masuk kamarnya bersama anak isterinya sedangkan Ki Tejo Langit memasuki sebuah kamar di bagian belakang yang disediakan untuknya. Tak lama kemudian rumah itu sepi dan gelap, hanya sebuah lampu minyak yang tergantung di ruangan tengah saja yang dinyalakan.
Malam itu hawanya dingin sekali. Bulan tigaperempat mengambang di angkasa, cahayanya, menembus kegelapan malam sehingga cuaca menjadi remang-remang. Lasmini menggigil. Ia sudah berselimut, namun masih menggigil. Ia menoleh pada suami dan anaknya. Mereka sudah tidur pulas. Ia sendiri tidak dapat tidur dan merasa gelisah. Bukan hanya hawa dingin yang membuatnya menggigil, melainkan bayangan wajah yang gagah dengan sepasang mata yang bersinar-sinar itu. Wajah Ki Tejo Langit. Tadi ketika hendak berpisah, Ki Tejo Langit menatap wajahnya. Sepasang matanya bersinar-sinar, bibirnya tersenyum. Pandang mata dan senyum itu! Jelas baginya mengandung sesuatu, mengandung rayuan, mengandung kekaguman, mengandung sanjungan dan ajakan! Dan hatinya ini".mengapa begini terguncang?
Mengapa ada daya tarik yang luar biasa sekali menyeret hatinya, membuatnya rindu kepada pria itu, mendatangkan keinginan kuat dalam hatinya untuk bertemu? Apa artinya semua ini? Ia menoleh dan memandang wajah suaminya dalam keremangan kamar itu. Kesadarannya membisikkan bahwa perasaan hatinya itu tidak benar! Akan tetapi rangsangan itu begitu mendesaknya. Ia harus melawannya. Tidak! Tidak boleh ini, teriak hatinya. Akan tetapi, daya tarik itu terlampau kuat. Ia merasa telah dikuasai oleh kekuatan yang tak mungkin dilawannya. Seperti dalam mimpi, ia turun perlahan-lahan dari atas pembaringan. Dengan hati-hati ia melangkah ke pintu, membuka daun pintu dengar hati-hati, keluar dari kamar dan menutupkan daun pintunya kembali. Lalu, dengan jantung berdebar keras karena kesadarannya berusaha melawan gairah yang berkobar itu, ia melangkah perlahan ke arah belakang!
Ki Tejo Langit telah berdiri di depan kamarnya. Mereka berdiri berhadapan, saling pandang. Lasmini berusaha memperkuat perlawanannya dan hendak kembali ke kamarnya, akan tetapi ketika lengan yang kokoh kuat itu merangkul pundaknya dengan sentuhan lembut sekali, tubuh Lasmini menggeliat dan terkulai lemas dalam rangkulan. Ia pun pasrah saja ketika dituntun ke dalam kamar, memandang bagaikan kehilangan semangat ketika Ki Tejo Langit rnenutup daun pintu dan memalangnya dari dalam.
Kemudian semua itupun terjadi. Lasmini merasa bagaikan mimpi. Bahu itu demikian kokoh kuat, sentuhan jari tangan itu demikian lembut, belaian itu demikian mesra dan penuh kasih sayang. Ia menggelinjang, terbuai dan membiarkan dirinya hanyut, memejamkan mata dan merasa seperti melayang-layang.
Menjelang fajar Ki Tejo Budi terbangun dari tidurnya. Dia tidak melihat Lasrnini. Disangkanya Lasmini tentu bangun pagi-pagi sekali untuk menyediakan sarapan pagi untuk dia dan tamunya. Lasrnini memang rajin sekali. Isteri yang amat baik dan setia. Dia turun dari pembaringan, melangkah ke pintu yang tidak terpalang lagi, membukanya dan melangkah keluar, menuju ke belakang, maksudnya hendak pergi ke bilik mandi yang berada di dekat dapur. Ketika melewati kamar Ki Tejo Langit, dia tersentak dan menghentikan langkahnya, matanya terbelalak dan dia mendekat pintu, memiringkan kepala mendekatkan telinganya pada daun pintu. Dia mendengar isak tangis lirih, isak suara wanita, dan diselingi suara pria yang nadanya menghibur.
Sepasang alis itu berkerut, sepasang mata mencorong dan gigi dikatupkan kuat-kuat, kedua tangan mengepal. Akan tetapi Ki Tejo Budi sadar kembali dan dia menarik napas panjang berulang kali sehingga hatinya menjadi tenang kembali. Diangkatnya tangannya lalu diketuknya daun pintu itu. Suara isak dan suara pria menghibur itu terhenti tiba-tiba setelah terdengar ketukan.
"Tok-tok-tok! Kakang Tejo Langit, dengan siapakah andika berada dalam kamar? Lasmini, engkaukah itu? Kalian bukalah pintu ini, aku tidak ingin merusaknya!"
Daun pintu terbuka dan Lasmini keluar berlari dengan pakaian kusut dan rambul terurai sambil menutupi muka dengan kedua tangan dan sesenggukan perlahan. Ki Tejo Budi melihat kakak seperguruannya telah berdiri di belakang daun pintu yang terbuka, sikapnya menantang.
"Semua telah terjadi, adi Tejo Budi. Tak perlu ada maaf dan penyesalan. Aku berani bertanggung jawab atas perbuatanku!"
Kata Ki Tejo langit.
"Baik, kakang Tejo Langit. Kita hadapi persoalan sebagai laki-laki jantan. Setelah matahari terbit, temuilah aku di pantai pasir putih di Karang Kemukus. Andika sudah kubawa ke sana kemarin. Di sana sepi orang, kita dapat bicara!"
Setelah berkata demikian Ki Tejo Budi memutar tubuhnya hendak meninggalkan kakak seperguruannya.
"Adi Tejo Budi. Sudah kukatakan, aku yang bertanggung jawab. Jangan ganggu Lasmini!"
Kata Ki Tejo Langit.
Tanpa menoleh Ki Tejo Budi menjawab.
"Aku bukan laki-laki pengganggu wanita!"
Dia lalu menuju ke ruangan dalam hendak kembali ke kamarnya. Akan tetapi dia melihat Lasmini duduk di ruangan dalam, menangis tanpa suara di atas sebuah bangku.
Ki Tejo Budi mengambil tempat duduk di depan isterinya. Kembali dia menghela napas panjang tiga kali untuk menenangkan hatinya yang bergolak.
"Sudah, tidak ada gunanya menangis lagi dan jawablah pertanyaanku dengan sejujurnya. Apakah dia memperkosamu?"
Lasmini masih menutupi mukanya dengan kedua tangan dan mendengar pertanyaan itu, ia
menggeleng kepala.
"Kalau dia tidak memperkosamu, bagaimana engkau bisa berada di dalam kamarnya? Apakah kalian siang tadi sudah saling berjanji untuk bertemu di dalam kamarnya?"
Kembali Lasmini menggeleng kepala dan terisak lirih.
"Kalau begitu, bagaimana engkau bisa berada di sana? Jawablah sejujurnya, Lasmini, demi untuk menyelesaikan urusan ini dan..... demi anakmu, anak kita Sudrajat yang tak berdosa. Ceritakanlah!"
Lasmini menurunkan tangannya. Wajahnya pucat, matanya membengkak merah oleh tangis dan ia berusaha sekuatnya untuk menghentikan isaknya lalu menjawab lirih.
"Aku tidak tahu.... semua seperti dalam mimpi.... tahu-tahu aku meninggalkan kamar dan menuju ke kamarnya. Dan dia".. dia mengajakku masuk.... dan aku". aku seperti kehilangan akal". aku tidak berdaya untuk menolak.... semua seperti dalam mimpi...."
Ia menangis lagi, lirih.
Ki Tejo Budi mengerutkan alisnya.
"Apakah engkau""
Mencintanya....?"
Lasmini menggeleng kepala akan tetapi mulutnya berkata.
".... aku tidak tahu".. aku".. tidak tahu". ah, kakang, aku telah bersalah besar padamu. Bunuhlah saja aku, kakang."
"Hemm, engkau hendak melarikan diri dalam kematian, hendak melepaskan tanggung jawab? Engkau hendak membiarkan anakmu hidup merana tanpa ibu? Engkau akan menambah dosa dengan dosa yang lebih besar lagi?"
Lasmini menangis lagi.
"Tidak...! Tidak ....! Ah, anakku".!"
Ia bangkit dan lari memasuki kamarnya, membanting diri di atas pembaringan dan merangkul, mendekap Sudrajat sambil menahan tangis. K Tejo Budi menghampiri kamar, melongok ke dalam, melihat keadaan Lasmini dan diapun menggeleng-geleng kepala sambil menghela napas panjang.
Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo Pedang Pusaka Thian Hong Karya Kho Ping Hoo Kumbang Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo