Seruling Gading 7
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Bagian 7
Selagi dia berdiri mengamati semua itu dengan perasaan heran, dari pekarangan itu dating seorang laki-laki tua menghampirinya. Sekali pandang saja tahulah Parmadi bahwa kakek ini tentu Pak Jambi Pece. Mata kirinya yang terbuka lebar itu tampak putihnya saja dan mata kanannya yang normal memandangnya dengan penuh selidik.
"Ki-sanak, kulihat andika seperti bukan orang sini. Tentu andika seorang dari dusun lain yang datang untuk mohon berkah dari Kyai Brojo, bukan?"
Parmadi menahan seruan heran yang hampir terlontar dari mulutnya. Kyai Brojo?
Demikiankah orang menyebut pohon beringin yang dikeramatkan ini? Jadi "penghuni"
Pohon keramat ini adalah Kyai Brojo? Padahal, mendiang ayahnya bernama Brojoketi! "Paman, jadi Beringin Keramat ini dihuni oleh Kyai Brojo?"
Parmadi bertanya sambil menahan gejolak hatinya. Roh ayah kandungnya dianggap roh penasaran yang kini menghuni di pohon beringin yang dulu ditanam ayahnya!
"Benar sekali, ki-sanak. Kyai Brojo adalah seorang tokoh besar di jaman Mojopahit, sakti mandraguna dan arif bijaksana, pula dermawan sehingga kini beliau masih suka menolong siapa saja yang mohon berkah di sini."
Hemm, orang ini berani benar berbohong, pikir Parmadi.
"Paman, kalau begitu paman adalah juru kunci (penjaga tempat keramat) di sini?"
"Benar, saya adalah Ki Jambi Pece juru kunci tempat keramat ini. Semua orang mengenal saya!"
"Kalau begitu, paman. Saya ingin sekali bercakap-cakap dengan paman. Banyak yang ingin saya tanyakan, paman."
Jambi Pece yang mengharapkan hadiah besar itu bersikap ramah.
"Kalau begitu silakan masuk ke rumah saya, ki-sanak kita bicara di dalam, lebih leluasa."
Parmadi mengikuti orang itu memasuk pekarangan menuju ke rumah yang masih dikenalnya itu. Bambu penyalur air dari sumber di atas itu masih mengucurkan air jernih seperti biasa, ditampung di jamban air yang dulu juga di sebelah kiri rumah.
Mereka memasuki rumah dan Parmadi mempersilakan duduk di atas bangku di ruangan depan. Mereka duduk berhadapan. Setelah berada di ruangan tertutup, Parmadi segera bicara tanpa berpura-pura lagi.
"Paman Jambi, aku akan berterus terang saja. Aku tahu bahwa rumah ini adalah milik Ki Brojoketi dan isterinya. Mereka terbunuh pada suatu malam tanpa ada yang mengetahui siapa pembunuh mereka. Kemudian Ki Demang Wiroboyo meyerahkan rumah dan pekarangan ini kepadamu. Bagaimana sekarang tempat ini dijadikan tempat keramat yang dihuni oleh kyai Brojo? Engkau telah menipu orang banyak."
Mendengar ucapan pemuda itu, sikap Pak Jambi berobah sama sekali. Kalau tadinya dia bersikap ramah, kini tiba-tiba dia melompat berdiri dan wajahnya berubah ganas. Matanya yang tinggal sebelah itu memandang marah dan tiba-tiba dia sudah menyerang Parmadi dengan kedua tangan yang mencengkeram seperti seekor harimau menerkam kambing.
Sepasang tangan itu membentuk cakar dan yang kanan mencengkeram ke arah muka, yang kiri ke arah dada Parmadi! Mulutnya menggeram dan dia benar-benar seperti telah berobah menjadi harimau. Parmadi maklum bahwa orang ini memiliki Aji Sardu (Ilmu Harimau) yang membuat dia seperti kemasukan roh harimau yang ganas. Dia menyambut serangan itu dengan gerakan tangan kanan dari kiri ke kanan menangkis.
"Bresss......... !"
Tubuh Pak Jambi terpelanting dan terhuyung, akan tetapi dia tidak roboh karena Parmadi tidak mempergunakan tenaga yang terlalu besar. Dia tidak ingin melukai orang itu.
"Jahanam, engkau tentu orangnya keparat Wiroboyo untuk membunuhku!"
Kakek itu berseru. Mendengar seruan ini Parmadi merasa heran dan ketika kakek itu menyerang lagi, dia menggerakkan tangannya dengan cepat dan sekali jari-jari tangannya menepuk dada, kakek itu terkulai lemas. Seperti dilolosi seluruh urat di tubuhnya membuatnya terkulai dan tak mampu menggerakkan tubuhnya lagi. Ia mengaduh dan merintih.
"Paman Jambi, aku bukan orangnya Ki Wiroboyo. Andika ingat putera Ki Brojoketi, anak berusia sepuluh tahun yang kemudian dibawa pergi Ki Wiroboyo? Akulah anak itu!"
"Ahhh.... ahhh... aku... salah sangka...!"kakek itu mengeluh. Mendengar ini, Parmadi lalu mempergunakan tenaga saktinya, menepuk kedua pundak orang itu dan Pak Jambi pulih kembali kesehatannya. Dia merasa takluk kepada pemuda itu dan memandang dengan takut.
"Jangan takut, paman Jambi. Duduklah kembali dan mari kita bicara dengan baik-baik. Tadinya aku hanya datang untuk menjenguk bekas rumah tempat tinggal ayah bundaku. Sama sekali tidak menyangka tempat ini akan dijadikan tempat keramat dan nama ayahku diabadikan sebagai Kyai Brojo. Akan tetapi, paman. Bukankah paman dahulu menerima peninggalan orang tuaku ini dari Ki Wiroboyo? Akan tetapi kenapa tadi paman mengira aku orangnya Wiroboyo yang datang untuk membunuhmu? Kenapa Ki Wiroboyo memusuhimu dan ingin membunuhrnu?"
Pak Jambi tampak bingung dan ketakutan.
"Jangan takut, paman. Paman menyimpan sesuatu yang rahasia. Tentu ada hubungannya dengan orang tuaku dan Ki Wiroboyo. Hayo katakan, paman, cerita terus terang kepadaku. Aku tidak akan mengganggu paman kalau paman berterus terang, akan tetapi kalau paman tidak mau berterus terang, aku dapat memaksa paman mengaku!"
Pak Jambi menghela napas panjang.
"Anak-mas Parmadi, andika datang untuk minta kembali rumah dan pekarangan dariku?"
"Hemm, tidak, paman. Paman adalah tetangga ayah sejak dulu, tentu ayah mengenal baik paman dan paman tahu yang sesungguhnya terjadi. Aku kira paman tahu pula tentang pembunuhan terhadap ayah bundaku itu. Benarkah, paman? Ceritakan! Aku tidak akan mengambil kembali rumah dan pekarangan, aku hanya singgah sebentar."
"Tadinya aku takut bicara karena Ki Wiroboyo adalah Demang Pakis, berkuasa dan dia dapat bertindak kejam kalau ditentang. Akan tetapi setelah aku mendengar bahwa dia diusir dari Pakis dan kedudukannya digantikan orang lain, aku berani menceritakan apa yang kuketahui kepadamu, anak-mas. Hanya kadang aku khawatir dia akan mengirim orang untuk membunuhku agar aku tidak bicara tentang peristiwa itu."
"Peristiwa terbunuhnya ayah ibuku, paman? Ceritakanlah kepadaku."
"Baiklah, akan kuceritakan apa yang kuketahui, anak-mas. Orang tuamu merupakan pendatang baru di sini. Ayah ibumu dan andika yang ketika itu berusia sekitar dua tahun menjadi penghuni baru dusun Pancot ini. Karena aku menjadi tetangga terdekat, maka hubunganku dengan keluargamu juga paling akrab dan kami yang sama-sama miskin ini suka saling bantu. Orang tuamu hidup dengan aman tenteram di sini sampai bertahun-tahun, sampai engkau berusia sepuluh tahun. Selama itu tidak pernah terjadi hal-hal yang buruk."
"Yang ingin saya ketahui, apa yang paman tahu tentang pembunuhan yang terjadi pada malam hari itu?"
Tanya Parmadi.
Kakek itu menggeleng kepalanya.
"Sungguh, anak-mas, sayapun tidak tahu. Semua itu begitu rahasia, begitu aneh. Tidak ada seorangpun mengetahui apa yang terjadi malam itu. Tahu-tahu pada pagi hari itu kami menemukan Ki Brojoketi dan isterinya sudah tewas dalam kamar mereka dan andika menangis dan menjerit-jerit di kamar itu. Sepatutnya andika yang lebih mengetahui, anak-mas. Bukankah hanya andika seorang yang berada di kamar itu bersama mereka?"
Parmadi menghela napas panjang da dia menggeleng kepalanya.
"Seingatku, akupun tidak tahu apa-apa paman. Pagi-pagi ketika aku bangun dari tidur di kamar sebelah, aku melihat pintu kamar orang tuaku terbuka dan ketika akan melongok ke dalam, aku melihat mereka telah menggeletak mandi darah maka aku menjerit-jerit dan orang-orang berdatangan."
Pak Jambi mengangguk-angguk.
"Ya, kami lalu mengurus jenazah orang tuamu. Kebetulan ada Ki Demang Wiroboyo dalang melayat dan dialah yang membiayai semua penguburan. Kemudian dia membawa andika ke Pakis dan rumah ini diserahkan kepada saya."
Parmadi mengingat-ingat. Dia teringat bahwa Ki Wiroboyo memang sering dating berkunjung ke rumah orang tuanya sehingra terjalin persahabatan antara ayahnya dan Ki Wiroboyo.
"Nah, sekarang ceritakan apa yang kau ketahui seperti yang kaukatakan tadi. Rahasia apa yang kauketahui, paman? Tadinya engkau takut kepada Ki Wiroboyo untuk bercerita, akan tetapi sekarang tidak lagi, bukan? Nah, ceritakan kepadaku sejujurnya."
Pak Jambi menghela napas seolah mengumpulkan keberanian untuk bercerita.
"Begini, anak-mas. Tentu anak-mas juga sudah mengetahui bahwa Ki Wiroboyo adalah seorang laki-laki yang mata keranjang dan selalu mengejar wanita cantik. Di Pancot ini terdapat banyak perawan cantik dan Ki Wiroboyo selalu berusaha untuk membujuk mereka dengan harta benda atau mengandalkan kedudukannya. Akan tetapi dia tidak berani menggunakan kekerasan dan tidak banyak perawan dusun ini yang bisa dia dapatkan. Dia berkenalan dan menjadi sahabat ayahmu, bahkan seringkali menginap di rumah ini."
"Aku tahu akan hal itu, paman. Lalu bagaimana?"
"Anak-mas, pada waktu itu, mendiang ibumu masih muda, paling banyak baru duapuluh delapan tahun usianya dan ibumu itu terkenal sebagai wanita yang amat cantik. Dan kita tahu bahwa Ki Wiroboyo itu seorang laki-laki mata keranjang... dan...."
"Dan bagaimana, paman? Jangan ragu-ragu, ceritakanlah sejujurnya."
"Pada beberapa hari sebelum terjadi pembunuhan itu, Ki Wiroboyo bertamu dan menginap di rumah ini dan pada suatu siang ketika ayahmu sedang sibuk di ladang dan saya kebetulan baru keluar dari rumah, saya melihat di belakang rumah ini ibumu dipeluk dari belakang oleh Ki Wiroboyo, Jelas tampak bahwa Ki Wiroboyo berniat kotor terhadap ibumu. Ibumu marah dan menampar muka Ki Wiroboyo, lalu berlari memasuki rumah. Pada saat itu Ki Wiroboyo menoleh dan melihat saya. Sayapun cepat-cepat pergi dan pura-pura tidak tahu."
Parmadi mengerutkan alisnya, hatinya terasa panas akan tetapi dia menenggelamkan perasaan itu.
"Lalu bagaimana, paman?"
"Nah, setelah beberapa hari kemudian terjadi pembunuhan aneh itu terhadap ayah ibumu, tentu saja saya merasa curiga kepada Ki Wiroboyo. Akan tetapi karena tidak ada bukti, sayapun tidak dapat berkata apa-apa. Sikapnya yang kurang ajar terhadap ibumu itu belum merupakan bukti bahwa dia yang melakukan pembunuhan itu. Akan tetapi setelah aku melihat dan mendengar apa yang dia lakukan kepadaku, aku yakin bahwa dia pasti tersangkut dengan pembunuhan itu. Hanya saja, selama itu aku tidak berani membuka mulut, takut akan ancamannya."
"Paman melihat dan mendengar apa? Apa yang dia lakukan kepada paman?"
Tanya Parmadi, penuh perhatian.
"Ketika Ki Wiroboyo datang melayat, mengatur dan membiayai semua keperluan pemakaman, dia sempat menemui saya seorang diri. Dia mengancam agar aku tidak bercerita kepada siapapun tentang apa yang saya lihat siang hari di belakang rumah Ki Brojoketi itu. Bahkan dia lalu menyerahkan rumah dan pekarangan ini kepadaku. Saya merasa bahwa penyerahan rumah dan pekarangan ini merupakan hadiah untuk menutup mulutku. Sejak itu, hati saya merasa yakin bahwa dia pasti tahu benar tentang
pembunuhan itu, akan tetapi baru sekarang saya berani membuka rahasia itu. Ketika tadi anak-mas datang, saya kira anak-mas suruhan Ki Wiroboyo untuk membunuhku, maka saya hendak melawan."
Parmadi mengangguk-angguk. Keterangan itu penting sekali dan bukan mustahil kalau Ki Wiroboyo berdiri di belakang pembunuhan terhadap orang tuanya itu. Mungkin Ki Wiroboyo mendendam karena keinginan kotornya ditolak ibu. Atau mungkin malam itu dia hendak memaksa ibunya. Ibunya lalu menolak dan melawan sehingga dibunuh, dan mungkin saja ayahnya yang mengetahui juga dibunuhnya. Atau dapat juga Ki Wiroboyo memang menyuruh kaki tangannya untuk membunuh ayah ibunya karena mendendam.
"Paman Jambi, tahukah paman di mana adanya Ki Wiroboyo sekarang?"
Pak Jambi menggeleng kepala.
"Saya tidak tahu, anak-mas dan saya kira tidak ada orang di Pancot yang mengetahuinya karena sejak dia diusir dari Pakis, dia tidak pernah muncul kembali, juga tidak pernah ada kabar tentang dia."
"Ada satu hal lagi yang ingin saya tanyakan kepadamu, paman, sebelum aku meninggalkan dusun ini."
"Silakan bertanya, anak-mas. Saya akan senang kalau dapat membantu anak-mas."
"Paman mengenal baik mendiang ayah saya. Tahukah paman, siapakah sesungguhnya ayah saya itu? Maksudku, apakah pekerjaannya sebelum dia pindah ke sini dan menjadi seorang petani?"
"Kami memang bersahabat baik, anak-mas, dan saya sendiripun selalu menduga bahwa mendiang Ki Brojoketi pasti bukan orang dusun biasa. Gerak-geriknya, sikapnya dan cara dia bicara, apalagi mendiang ibumu, jelas menunjukkan bahwa mereka adalah priyayi. Karena itu pula agaknya Ki Wiroboyo dapat akrab dengan ayahmu. Akan tetapi ayahmu tidak pernah mau menceritakan keadaannya ketika tinggal di Kadipaten Pasuruan, bahkan seolah dia enggan bicara tentang Kadipaten Pasuruan. Menurut dugaanku, ayah dan ibumu tentu bukan orang sembarangan dan mempunyai rahasia di Pasuruan. Mungkin di kadipaten itu anak-mas akan bisa mendapatkan keterangan tentang mereka."
Parmadi mengangguk.
"Terima kasih atas semua keteranganmu, paman Jambi. Sekarang aku pamit, hendak melanjutkan perjalananku."
"Eh". bagaimana dengan rumah dan pekarangan ini, anak-mas?"
"Biarlah sekarang sebagai ahli waris orang tuaku, aku memberikan rumah dan pekarangan ini kepadamu, paman. Pakailah dan rawatlah dengan baik-baik. Akan tetapi aku minta agar mulai sekarang paman tidak menggunakan nama mendiang ayahku untuk mengeramatkan pohon beringin itu. Aku tidak suka mendengarnya!"
"Baik, baik, anak-mas. Sebetulnya hanya karena rumah dan pohon ini dahulu milik Ki Brojoketi, dan mengingat bahwa Ki Brojoketi tewas terbunuh, maka untuk menghormatinya pohon ini disebut Kyai Brojo. Akan tetapi kalau anak-mas melarangnya, biarlah mulai sekarang kami akan menyebutnya Kyai Pancot saja."
"Terserah paman asal jangan menggunakan nama ayah. Nah, selamat tinggal, paman."
Parmadi bangkit dari bangku yang didudukinya.
"Nanti dulu, anak-mas. Tunggu sebentar."
Orang tua itu memasuki biliknya dan ketika dia keluar, dia menyerahkan sebuah henda kecil kepada Parmadi.
"Cincin ini dulu milik ibumu, anak-mas. Pada suatu hari, ketika orang tuamu membutuhkan uang untuk biaya membangun rumah ini, ibumu menyerahkan cincin ini kepadaku dengan permintaan agar aku menjualnya. Kebetulan pada waktu itu saya mempunyai simpanan uang yang sudah lama saya kumpulkan, maka cincin ini saya beli sendiri. Sekarang, rumah dan pekarangan ini andika berikan kepada saya, maka sudah sepatutnya kalau cincin ibumu ini kukembalikan kepadamu, anak-mas Parmadi."
Parmadi menerima cincin itu dan mengamatinya. Sebuah cincin yang indah sekali. Dari emas murni bermata mirah dan bawah mirah berbentuk hati ini ada ukiran indah huruf GA. Tentu saja dia merasa girang sekali. Sebuah cincin peninggalan ibunya! Tentu saja benda seperti ini merupakan benda pusaka baginya. Hatinya terharu ketika dia menggenggam cinci itu.
"Terima kasih, paman Jambi, terima kasih banyak! O ya, paman, tahukah paman apa artinya huruf GA pada cincin ini?"
Kakek itu menggeleng kepalanya.
"Saya tidak tahu dan karena saya buta huruf saya juga tidak menanyakan kepada ibumu, tidak menyangka bahwa ukiran itu merupakan huruf."
"Barangkali paman mengetahui nama kecil ibu saya?"
"Kalau tidak salah, mendiang ayahmu menyebutnya diajeng Mirah."
"Mirah....? Mirah ............ ?"
Parmadi mengulang dalam bisikan haru.
"Sekali lagi terima kasih. Paman seorang yang jujur. Selamat tinggal."
"Selamat jalan, den-mas."
Parmadi meninggalkan rumah itu dan langsung dia menuju ke tanah kuburan yang berada di luar dusun. Tak lama kemudian dia sudah menemukan dua buah nisan kuburan yang berjajar itu. Dia masih ingat letak makam ayah bundanya. Kedua makam ini selalu merupakan bayangan terakhir baginya, seringkali muncul dalam mimpinya. Dia lalu berlutut dan mengelus dua buah batu nisan sederhana itu, membersihkan lumut yang menempel di situ. Kemudian dia membersihkan kedua makam itu, mencabuti semua rumput dan alang-alang. Setelah bersih, dia lalu duduk bersila di depan makam, menjernihkan pikirannya dan menenangkan hatinya. Setelah merasa hening, dia menujukan seluruh cipta rasa dan karsa dalam batinnya untuk mendoakan semoga Gusti Allah Yang Maha Kasih mengampuni semua dosa ayah bundanya dan memberi tempat yang layak kepada roh mereka. Setelah kurang lebih sejam lamanya duduk tenggelam dalam doa di depan makam ayah ibunya, Parmadi lalu bangkit berdiri di depan makam, sejenak memandangi kedua makam itu lalu perlahan-lahan dia meninggalkan tanah kuburan itu. Sambil berjalan dia mengamati cincin peninggalan ibunya.
Ternyata lingkaran cincin itu tidak utuh lagi, melainkan sudah patah bagian belakangnya. Agaknya Pak Jambi sengaja membikin putus lingkaran cincin itu sehingga cincin yang lingkarannya kecil itu kini dapat dipakai jari yang lebih besar karena dapat direnggangkan. Parmadi mencium cincin itu lalu memakainya pada jari manis tangan kirinya. Andaikata lingkaran itu belum dibikin putus, tentu tidak dapat dimasuki jari manisnya, bahkan kelingkingnyapun belum tentu dapat masuk. Demikian kecil lingkaran itu. Dia membayang kan betapa kecil mungilnya jari manis ibunya.
Setelah Sultan Agung berhasil menundukkan seluruh daerah Jawa Timur bagian selatan, kecuali Blambangan, mulailah Mataram mengadakan persiapan untuk menundukkan Surabaya yang masih belum mau mengakui kekuasaan Sultan Agung. Akan tetapi melihat Kadipaten Tuban masih menjadi penghalang karena Adipati Tuban masih condong berpihak kepada Surabaya, Sultan Agung mengirim pasukannya untuk menaklukkan Tuban lebih dulu. Juga nampak tandatanda bahwa pihak Kumpeni Belanda yang amat dibenci Sultan Agung itu menghalanghalangi niat Mataram menyerbu Surabaya. Hal ini terbukti dengan udanya kapal-kapal perang Belanda yang besar dan dilengkapi meriam-meriam besar, tidak memungkinkan penyerangan melalui laut sehingga sukar untuk mengepung Surabaya.
Memang pada waktu itu, gubernur Kumpeni Belanda yang bernama Jan Pieterszoon Coen merasa khawatir bahwa Mataram akan menguasai Nusa Jawa dan hal ini tentu saja akan merupakan halangan besar bagi Kumpeni Belanda untuk memperluas kekuasaannya dan memperlebar sayapnya untuk dapat menguasai semua perdagangan mengeduk hasil bumi yang kaya raya dari Nusa Jawa. Karena itu Gubernur Jenderal Coen menyebar kaki tangannya untuk membujuk orang-orang cerdik pandai dan sakti untuk membantu Kumpeni Belanda, menjadi mata-mata dengan imbalan hadiah harta benda. Juga dia selalu menggunakan siasat untuk mengadu domba dan membangkitkan semangat daerah-daerah untuk memberontak kepada Mataram. Diam-diam Kumpeni Belanda membantu dan menyokong mereka yang mau memberontak terhadap Mataram. Akan tetapi hal ini dilakukan dengan rahasia agar tidak ketahuan karena Kumpeni Belanda juga menjaga agar tidak mengadakan permusuhan terbuka dengan Mataram yang kuat.
Demikianlah, melihat Kadipaten Tuban menjadi penghalang, Sultan Agung mengirim pasukan menyerbu Tuban. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Kadipaten Tuban jatuh dan takluk kepada Mataram. Setelah Tuban jatuh, mulailah Mataram mengerahkan pasukan untuk melakukan penyerangan ke Surabaya.
Akan tetapi ternyata Surabaya tidak mudah ditundukkan. Dengan bantuan dari Madura, juga secara diam-diam dibantu Kumpeni Belanda yang sengaja memasang kapal-kapalnya di sekitar pantai Gresik sehingga menutup kemungkinan penyerbun Mataram melalui laut, Surabaya mempertahankan diri sehingga berulang kali serbuan pasukan Mataram dapat digagalkan. Selama tiga tahun, dari tahun 1620 sampai tahun 1623, berulang kali serangan dilakukan Mataram dan Surabaya tetap dapat mempertahankan diri. Mataram hanya berhasil menduduki daerah-daerah di luar Surabaya yang menjadi daerah kekuasaan Surabaya, di antaranya Kadipaten Sukadana.
Demikianlah keadaan pada waktu itu. Surabaya masih belum dapat ditaklukkan dan melihat betapa Surabaya diperkuat oleh Madura, maka Sultan Agung mengubah siasatnya. Mataram hendak menyerang dan menaklukkan Madura lebih dulu karena kalau Madura sudah ditaklukkan, berarti Surabaya dapat dikepung dan akan lebih mudah dikalahkan. Sementara itu, di Kadipaten Arisbaya terjadi sedikit kekacauan setelah Adipati Arisbaya yang berjuluk Panembahan Tengah atau Pangeran Tengah wafat (1620). Pangeran Tengah ini mempunyai seorang putera yang bernama Raden Prasena yang pada saat ayahnya meninggal dunia masih merupakan seorang pemuda remaja berusia limabelas tahun.
Menurut ketentuan adat, semestinya dia yang menggantikan kedudukan adipati di Arisbaya menggantikan ayahnya yang wafat. Akan tetapi kedudukan ini didaulat oleh Pangeran Mas, yaitu adik mendiang Pangeran Tengah. Tanpa menimbulkan banyak heboh karena Pangeran Mas memiliki kekuasaan, dia menggantikan kedudukan kakaknya dengan alasan bahwa Raden Prasena masih terlampau muda untuk menjadi adipati yang harus memimpin Kadipaten Arisbaya. Betapapun juga, cara yang diambil Pangeran Mas ini diam-diam menimbulkan rasa tidak puas dan dianggap bertentangan dengan hukum.
Namun, kedudukan Pangeran Mas yang setelah menjadi Adipati Arisbaya berjuluk Pangeran Adipati Ngabehi Arisbaya amat kuat, terutama sekali karena dia didukung seorang datuk besar yang disegani dan ditakuti di Madura, yaitu Ki Harya Baka Wulung! Datuk sakti mandraguna inilah yang membuat semua pihak yang tidak setuju, tidak berani banyak cakap lagi. Ki Harya Baka Wulung diangkat menjadi penasihat di Kadipaten Arisbaya. Ki Harya Baka Wulung inilah yang membujuk Adipati Arisbaya untuk memhantu Surabaya ketika berulang kali diserang oleh Mataram. Bahkan Ki Harya Baka Wulung ini telah mengadakan persekutuan dengan Wiku Menak Koncar datuk Kadipaten Blambangan dan Kyai Sidhi Kawasa tokoh sakti mandraguna dari Kerajaan Banten.
Tiga orang datuk besar yang digdaya dan sakti mandraguna ini bekerja sama dengan satu tujuan, yaitu menentang Kerajaan Mataram. Mereka bertiga bahkan melakukan perjalanan ke daerah Mataram, diam-diam membujuk orang-orang yang memiliki kedigdayaan dan yang memiliki perkumpulan kuat untuk membantu Surabaya menentang Mataram! Dalam rangka kegiatan itulah mereka bertiga berada puncak Gunung Lawu dan membunuh Ki Bargowo yang tidak mau membantu Surabaya. Memang, mereka bertiga itu bertekad untuk membunuh tokoh-tokoh yang setia kepada Mataram.
Dalam peristiwa itulah mereka bertiga bertemu dengan Resi Tejo Wening dan dalam adu kesaktian terpaksa mereka mengakui keunggulan sang resi seperti diceritakan di bagian depan kisah ini. Setelah gagal menandingi Resi Tejo Wening, tiga orang datuk itu lalu saling berpisah, kembali ke daerah masing-masing. Ki Harya Baka Wulung kembali ke Kadipaten Arisbaya dan dia segera turun tangan membantu Pangeran Mas yang merebut kedudukan adipati dari tangan keponakannya, yaitu Raden Prasena. Selanjutnya Ki Harya Baka Wulung diangkat menjadi penasihat oleh adipati yang baru dan Raden Prasena oleh pamannya diharuskan meninggalkan istana kadipaten dan tinggal di Sampang agar mendapatkan pendidikan dari seorang pamannya yang lain, yaitu Pangeran Sante Merta.
Demikianlah, Ki Harya Baka Wulung menjadi seorang yang berkuasa besar, bahkan banyak kebijaksanaan yang diambil Adipati Ngabehi Arisbaya diatur olehnya. Juga Ki Harya Baka Wulung segera menempatkan putera tunggalnya, Dibyasakti, seorang pemuda berusia duapuluh lima tahun, menjadi senopati muda di Arisbaya! Ki Harya Baka Wulung mendapatkan sebuah rumah gedung megah dan dia hidup berdua saja dengan puteranya itu. Isterinya, ibu Dibyasakti, sudah lama meninggal dunia, bahkan pemuda itu tidak pernah melihat wajah ibunya yang meninggal dunia ketika melahirkan dia. Karena itu, Ki Harya Baka Wulung amat sayang kepada puteranya ini. Hampir seluruh aji kesaktiannya diajarkan kepada Dibyasakti sehingga pemuda itu menjadi seorang pemuda yang sakti mandraguna dan amat dibanggakan ayahnya.
Setelah Ki Harya Baka Wulung menjadi penasihat Kadipaten Arisbaya dan mengangkat puteranya menjadi senopati, dia menasihatkan Adipati Pangeran Mas untuk mengadakan hubungan dengan para bupati dan adipati lain di seluruh Madura untuk bersiap-siap menghadapi Mataram. Untuk menjadi utusan adipati, ditunjuk Dibyasakati sendiri untuk mengunjungi para adipati terutama Adipati Pamekasan yang memiliki pasukan yang besar dan kuat. Maka pada suatu pagi, berangkatlah Dibyasakti meninggalkan Arisbaya. Biarpun dia seorang senopati, namun dia tidak membawa pengiring atau pengawal yang dianggapnya hanya akan merepotkan saja.
Seorang diripun dia mampu menjaga diri. Setelah membawa surat-surat dari Sang Adipati Arisbaya, dia lalu menunggang seekor kuda pilihan, yaitu kuda Arab, pemberian hadiah dari Kumpeni Belanda. Memang pihak Kumpeni banyak memberi hadiah, terutama kuda-kuda yang didatangkan dari Arab, kuda yang besar dan kuat untuk menyenangkan hati para adipati sehingga mereka dapat membeli hasil bumi kadipaten itu, tentu saja yang mendatangkan keuntungan besar sekali untuk mereka. Kuda yang ditunggangi Dibyasakti adalah seekor kuda Arab yang merupakan seekor di antara lima ekor kuda Arab yang dihadiahkan Kumpeni kepada Kadipaten Arisbaya.
Gagah sekali pemuda itu, sesuai dengan kuda tinggi besar yang ditungganginya. Dibyasakti memang seorang pemuda yang tampak gagah perkasa. Usianya sekitar duapuluh lima tahun. Tubuhnya tinggi besar dengan kulit coklat mengkilat. Rabutnya hitam tebal agak keriting dibungkus kain pengikat kepala yang dilibatkan di kepalanya dengan bentuk yang gagah, khas Madura. Wajahnya kemerahan, alis tebal sepasang matanya lebar dan tajam seperti mata burung elang, hidungnya besar dan sebaris kumis tumbuh subur seperti kumis Sang Gatotkaca. Mulutnya membayangkan kekerasan hatinya dengan dagu berlekuk.
Sepasang lengan yang memegang kendali kuda itu tampak kokoh kuat, dengan otot melingkar-lingkar. Seorang pemuda yang tampak gagah perkasa. Sebatang keris panjang bergagang kayu cendana bertabur intan dengan warangka terukir indah terselip di pinggangnya, menambah kegagahannya. Kuda yang ditungganginya berlari congklang ketika dia meninggalkan Kadipaten Arisbaya dan semua orang yang berpapasan dengan dia memandang kagum dan juga takut karena semua orang mengenal pemuda yang gagah perkasa namun terkenal ringan tangan, keras hati, galak dan sombong ini.
Ki Harya Baka Wulung tidak mempunyai banyak murid. Akan tetapi para muridnya itu, yang sudah mengeluarkan banyak harta benda untuk dapat membujuk Ki Harya Baka Wulung mengajarkan ilmu-ilmunya kepada mereka, hanya menerima satu dua macam ilmu saja. Bahkan Raden Prasena sendiri, putera adipati yang telah wafat, juga menjadi muridnya. Akan tetapi Raden Prasena inipun tidak sepenuhnya menerima ilmu-ilmu Ki Harya Baka Wulung yang mewariskan seluruh ilmunya kepada puteranya, yaitu Dibyasakti yang setelah menjadi senopati menggunakan sebutan Raden di depan namanya!
Para adipati yang dikunjung Raden Dibyasakti menyambutnya dengan hormat setelah mereka mengetahui bahwa pemuda gagah perkasa itu adalah senopati muda Arisbaya dan menjadi utusan Sang Adipat. Mereka menanggapi surat dari Adipati Arisbaya dengan baik, dan menyatakan bersedia untuk bekerja sama menghadapi ancaman dari Mataram. Juga mereka menyatakan setuju dengan ajakan Adipati Arisbaya untuk membantu Surabaya kalau Mataram menyerang lagi karena bagi mereka, Surabaya merupakan benteng pertama yang melindungi mereka dari ancaman Mataram.
Pada suatu pagi, Raden Dibyasakti tiba di luar Kadipaten Pamekasan. Dia menjalankan kudanya perlahan dari arah barat menuju timur. Ketika melihat debu mengepul di depan, dia menghentikan kudariya dan mengamati penuh perhatian. Kiranya yang membuat debu mengepul itu adalah serombongan orang berkuda, terdiri dari belasan orang berpakaian sebagai prajurit, mengawal sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda datang dari arah timur menuju ke barat.
Setelah berhadapan, perwira komandan regu berkuda itu membentak kepada Raden Dibyasakti.
"Heii, ki-sanak yang menunggang kuda di depan! Cepat andika turun dari kuda dan minggir agar kami dapat lewat dengan leluasa!"
DIBYASAKTI adalah seorang pemuda yang berwatak angkuh. Dia merasa dirinya besar. Dia putera seorang tokoh sakti mandraguna yang berkedudukan tinggi di Kadipaten Arisbaya. Dia sendiri juga seorang yang memiliki kedigdayaan dan kedudukannya sebagai senopati membuat dia tidak rela mendapat perlakuan kasar. Andaikata perwira itu minta secara halus, mungkin dia akan minggirkan kudanya, mengalah karena merasa bahwa dia seoranng pendatang. Akan tetapi dia tidak suka mengalah menghadapi sikap kasar seperti itu yang sama sekali tidak menghargainya. Dia merasa direndahkan, bahkan dihina!
"Kalianlah yang harus minggir dan biarkan aku lewat dulu!"
Dia balas membentak sepasang matanya yang lebar dan tajam itu memandang galak.
"Eh, keparat! Berani engkau bersikap kurang ajar kepada kami? Bukalah mata dan telingamu! Kami sedang mengawal Gusti Tumenggung Surobayu! Hayo cepat turun dan berlutut menyembah!"
Bentak lagi komandan regu itu.
Kemarahan Dibyasakti semakin memuncak.
"Aku tidak sudi menyembah orang yang bukan menjadi sesembahanku, tak perduli siapapun adanya dia!"
"Babo-babo, keparat! Kamu menantang, ya? Orang macam engkau ini harus dihajar!"
Perwira itu memajukan kudanya dan dia mengangkat cambuk kudanya menyerang dengan ayunan cambuk ke arah Dibyasakti.
"Tarrr....!"
Cambuk melecut dan meluncur ke arah kepala Dibyasakti. Akan tetapi dengan tenang pemuda tinggi besar ini menyambut dengan tangan kirinya yan bergerak cepat menangkap ujung cambuk lalu dengan sentakan yang amat kuat dia menarik. Perwira itu terkejut, tak mampu mempertahankan diri dan diapun terguling dari atas kudanya! Perwira itu sesungguhya bukan seorang yang lemah. Dia seorang yang digdaya sehingga dapat terpilih menjadi perwira. Akan tetapi sekali ini dia bertemu dengan seorang pemuda yang sakti mandraguna. Sentakan tadi mengandung tenaga dalam yang teramat kuat dan datangnya begitu tiba-tiba sehingga perwira itu tidak sempat mempertahankan diri dan terguling jatuh.
Limabelas orang anak buahnya melihat ini segera berlompatan dari atas kuda mereka dan mereka mencabut golok dari pinggang mereka. Dibyasakti juga melompat turun dari atas punggung kudanya dan dia menyambut mereka dengan senyum mengejek di bibir. Dia memandang limabelas orang perajurit dan juga perwira yang tadi jatuh dan kini sudah bangkit kembali ikut mengepungnya. Golok mereka berkilauan tertimpa sinar matahari pagi.
"Orang muda, cepatlah menyerah sebelum kami terpaksa mencincang tubuhmu!"
Bentak perwira tadi. Bentakan ini cukup membuat kemarahan di hati Dibyasakti agak menurun. Bagaimanapun juga, perwira itu tidak bersikap sewenang-wenang mengandalkan pengeroyokan banyak orang dan sebelum mengeroyok memberi kesempatan kepadanya untuk menyerahkan diri. Untung bagi seregu prajurit itu karena sikap perwira itu membebaskan mereka dari bahaya maut. Karena kemarahannya mereda, Dibyasakti tidak berniat untuk membunuh mereka.
"Aku tidak bersalah, mengapa harus menyerah? Kalau kalian hendak mengenal siapa aku, maju dan keroyoklah. Ditambah seratus orang lagi aku tidak akan mundur!"
Mendengar jawaban yang congkak ini sang perwira memberi aba-aba nyaring.
"Serbu....!!"
Dan enambelas orang itu lalu menerjang maju. Akan tetapi mereka di sambut tamparan-tamparan dan tendangan yang cepat sekali datangnya dan dahsyat sehingga mereka kocar-kacir dan tubuh mereka berpelantingan. Perwira itu sendiri hanya dapat bertahan selama lima jurus saja. Akhirnya ketika dia membacokkan goloknya, golok yang tajam itu ditangkap begitu saja oleh tangan kiri Dibyasakti dan sekali renggut, golok itu terlepas dapi tangan pemegangnya dan sebuah tendangan mengenai perut sang perwira yang terlempar dan terbanting keras.
Tiba-tiba seorang laki-laki berusia limapuluh tahun turun dan keluar dari kereta itu. Dia seorang laki-laki tinggi kurus, berpakaian seperti seorang bangsawan.
"Tahan perkelahian dan semua prajurit mundurlah!"
Seru orang itu. Mendengar ini, para prajurit yang sudah panik dan kocar-kacir itu lalu mundur ke dekat kereta, membiarkan laki-laki itu menghadapi Dibyasakti. Dibyasakti sudah siap menghadapi lawan baru. Dia tahu bahwa orang ini tentu berbeda dengan para perajurit, tentu seorang yang memiliki kedigdayaan kalau diingat bahwa pangkatnya adalah seorang tumenggung. Tentu saja dia tidak ingin bermusuhan dengan ponggawa Pamekasan
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang hendak dikunjunginya, maka ia menghadapi laki-laki yang tadi disebut namanya sebagai Tumenggung Surobayu oleh perwira itu dengan sikap tenang.
Tumenggung Surobayu mengamati pemuda gagah perkasa di depannya dengan penuh perhatian. Diam-diam dia kagum melihat pemuda yang gagah itu, apalagi dia sudah melihat sepak terjangnya yang dahsyat ketika pemuda itu dengan tangan kosong menghadapi pengeroyokan enam belas orang perajurit dan membuat mereka yang memegang golok itu kocar-kacir.
"Orang muda, siapakah andika dan mengapa andika menghadang perjalananku?"
"Nama saya Raden Dibyasakti dan saya sama sekali tidak menghadang perjalanan andika."
"Hemm, akan tetapi aku melihat andika tadi berkelahi melawan para perajurit yang mengawal perjalananku!"
"Mereka itulah yang bersikap kasar dan sama sekali tidak menghormati saya, bahkan mereka pula yang lebih dulu menyerang saya. Saya hanya membela diri."
Tumenggung Surobayu mengangguk-angguk.
"Hemm, begitukah? Kalau benar demikian, maafkanlah para pengawalku. Agaknya andika bukan kawula Pamekasan, maka tidak mengenalku. Aku adalah Tumenggung Surobayu, panglima Pamekasan. Dari manakah andika datang dan ada keperluan apa andika hendak menuju ke Pamekasan?"
"Ah, kiranya paman Tumenggung Surobayu adalah panglima Pamekasan? Maafkan, paman, karena saya tidak mengetahui sebelumnya. Perkenalkan, saya Raden Dibyasakti adalah senopati muda dari Kadipaten Arisbaya dan saya memang hendak menghadap Sang Adipati Pamekasan untuk menyampaikan pesan Sang Adipati Arisbaya. Saya adalah utusan Kadipaten Arisbaya, paman."
Tumenggung Surobayu terkejut dan meinandang pemuda itu dengan mata terbelalak.
"Anakmas adalah seorang senopati muda dari Kadipaten Arisbaya? Ah! Tidak aneh kalau andika demikian digdaya. Sekali lagi maafkan para pengawal saya, anak-mas Dibyasakti."
"Saya juga minta maaf, paman tumenggung."
"Anakmas hendak menghadap Sang Adipati Pamekasan? Kalau begitu, biarlah saya menunda kepergian saya dan mari saya antarkan andika menghadap beliau."
"Terima kasih, paman."
Mereka berdua lalu memasuki kereta dan kuda milik Dibyasakti dituntun seoran perajurit atas perintah Tumenggung Surobayu. Mereka memasuki Kadipaten Pamekasan dan langsung Ki Tumenggung Surobayu mengantar tamunya menghadap Sang Adipati Pamekasan. Kereta itu berhenti di depan pintu gerbang istana kadipaten. Tumenggung Surobayu mengajak Dibyasakti memasuki gapura berjalan kaki. Para penjaga di depan istana kadipaten itu menyambut dengan hormat atasan mereka itu dan memberi tahu bahwa pada saat itu, sang adipati sedang berada di bagian belakang istana sedang berada di istal kuda bersama puterinya.
Sebagai seorang pembantu dekat yang dipercaya, mendengar ini Tumenggung Surobayu mengajak tamunya langsung saja menyusul ke istal yang berada di belakang istana kadipaten. Mereka tiba di bagian tempat memelihara kuda-kuda milik kadipaten. Tempat itu cukup luas, dengan bangunan istal-istal yang bersih dan di situ terdapat pula sebuah lapangan rumput yang luas di mana biasanya sang adipati bersama keluarganya menunggang kuda. Ketika mereka berdua tiba di situ, Tumenggung Surobayu dan Dibyasakti terkejut melihat seekor kuda tampan yang besar sedang marah. Di punggung kuda hitam itu duduk seorang gadis cantik yang tampak ketakutan dan berusaha mempertahankan diri agar jangan sampai terlempar dari atas punggung kuda yang sedang marah itu. Kuda itu meringik-ringkik, mengangkat kedua kaki depan ke atas dan mengguncang-guncangkan badannya seolah berusaha melempar penunggangnya dari atas punggungnya. Seorang laki-laki setengah tua yang melihat pakaiannya mudah dikenal sebagai Adipati Pamekasan, bersama dua orang perawat kuda, berusaha menenangkan kuda yang mengamuk itu. Akan tetapi usaha ini sia-sia belaka, bahkan dua orang perawat kuda itu sudah terpelanting terkena sepakan kaki kuda yang mengamuk itu.
Sang Adipati Pamekasan tampak panik Ketika dia melihat munculnya Tumenggung Surobayu, dia berseru.
"Adi Tumenggung cepat tolong puteriku....!"
Tumenggung Surobayu cepat berlar menghampiri dan menangkap kendali kuda dekat mulut binatang yang marah itu. Akan tetapi kuda itu malah menyerangnya dan berusaha menggigit lengannya. Tumenggung Surobayu terpaksa melepaskan kendali dan kuda itu sudah menyerang dengan kedua kaki depan yang diangkatnya tinggi-tinggi. Kuat sekali kedua kaki itu menghantam ke arah Tumenggung Surobayu. Panglima Pamekasan ini menangkis dengan kedua tangannya.
"Bresss....!"
Dia terpelanting roboh dan, kuda yang marah itu sudah mengangkat kedua kaki depannya lagi, siap untuk menginjak tubuh sang tumenggung. Keadaannyaa amat gawat dan gadis yang masih dapat bertahan di atas punggung kuda itu menjerit ngeri melihat kuda itu hendak menginjak tubuh sang tumenggung.
Pada saat itu, Dibyasakti cepat melompat ke depan. Bayangannya berkelebat dan dia sudah menangkap kedua kaki depan kuda itu, mengerahkan tenaga dan kuda itu tidak mampu bergerak lagi! Selamatlah Ki Tumenggung yang cepat menggulingkan tubuhnya dan bangkit berdiri. Kuda yang tidak
(Lanjut ke Jilid 07)
Seruling Gading (Seri ke 02 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 07
mampu menggerakkan dua kakinya yang ditangkap Dibyasakti itu kini meloncat-loncat dengan kaki belakangnya. Gerakannya demikian liar dan cepat sehingga gadis yang mati-matian mempertahankan diri di atas punggung kuda itu, tidak kuat bertahan lagi dan iapun terlempar ke atas dari punggung kuda ketika binatang itu meloncat-loncat dengan dua kaki belakangnya! Melihat ini, Dibyasakti melepaskan kedua kaki depan kuda dan mendorongnya.
Kuda itu terlempar ke belakang dan terbanting jatuh. Sementara itu, tubuh gadis itu melayang ke
bawah dan iapun menjerit ketakutan. Dibyasakti cepat menjulurkan kedua lengannya dan tubuh gadis cantik jelita itu mendarat dengan empuk di atas kedua lengan Dibyasakti yang kokoh kuat! Kedua lengan itu dengan tepat menyangga belakang pinggul dan belakang punggung gadis itu sehingga gadis itu berada dalam pondongan Dibyasakti. Tubuh gadis itu terasa lunak dan hangat dalam dekapannya, ketika gadis itu mengangkat muka memandang, muka mereka begitu berdekat Dibyasakti terpesona!
Dia adalah seorang pemuda yang sudah banyak bergaul dengan wanita cantik, bahkan dia terkenal sebagai seorang pemburu wanita dan di Arisbaya banyak wanita tergila-gila kepadanya. Akan tetapi sekali ini dia benar-benar terpesona! Dia seperti seorang laki-laki yang belum pernah melihat wanita cantik. Dan memang bagi Dibyasakti, dia merasa belum pernah melihat seorang perawan secantik menarik gadis dalam pondongannya itu. Mata itu! Hidung itu! Bibir itu! Dia seperti merasa dalam mimpi memondong seorang dewi dari kahyangan. Tanpa terasa dia memeluk lebih erat dan menekan tubuh itu ke dadanya! Hidungnya seperti mencium harum sejuta melati keluar dari tubuh gadis itu. Dia sampai lupa bahwa terlalu lama dia membiarkan tubuh yang harum, lembut dan lentur itu dalam pondongannya.
"Lepaskan aku....!"
Gadis itu berkata, kaki tangannya bergerak-gerak hendak melepaskan diri.
Barulah Dibyasakti teringat. Dia melepaskan tubuh itu dengan gerakan lembut dan hati-hati seolah menurunkan seorang bayi dari pondongannya. Begitu diturunkan dari pondongan, gadis itu lalu berlari ke dalam rangkulan ayahnya.
"Syukur kepada Gusti Allah engkau selamat, nini!"
Kata Adipati Pamekasan sambil merangkul puterinya.
Tumenggung Surobayu segera berkata.
"Wah, sungguh beruntung andika dapat Menyelamatkan sang puteri, anakmas! Kakangmas Adipati, orang muda ini adalah utusan dari Sang Adipati Arisbaya yang mohon menghadap paduka, maka saya bawa dia menyusul ke sini."
Dengan lengan kiri masih merangkul puterinya, adipati itu memandang Dibyasakti, lalu berkata.
"Utusan Sang Adipati Arisbaya? Siapa namamu, orang muda yang gagah? Dan apa kedudukanmu di Arisbaya?"
Dibyasakti memberi hormat dengan sembah.
"Saya bernama Raden Dibyasakti dan menjadi senopati muda di Arisbaya gusti."
"Senopati muda Arisbaya? Ah, pantas engkau begitu tangkas. Engkau telah menyelamatkan puteriku. nini Sriyatun, Dibyasakti, untuk itu kami berterima kasih sekali kepadamu dan tentu kami akan memberi hadiah kepadamu. Akan tetapi kulihat engkau tangkas dan sakti mandraguna, dapat menaklukkan Si Gagak Cemeng denga mudah, padahal kuda ini amat kuat dan tadi sedang mengamuk dan liar. Tentu engkau memiliki seorang guru yang sakti!"
"Saya menerima gemblengan dari ayah saya sendiri, gusti."
"Ah, begitukah? Dan siapa ayahmu yang sakti mandraguna itu?"
"Ayah saya menjadi penasihat di Kadipaten Arisbaya, nama ayah saya Ki Harya Baka Wulung."
"Jagad Dewa Bathara....!"
Adipati Pamekasan itu berseru dan wajahnya tampak gembira.
"Kiranya putera Kakang Harya Baka Wulung sendiri? Ha-ha-ha, kalau begitu engkau masih keponakanku sendiri, Dibyasakti. Kakang Harya itu seperti kakakku sendiri. Jangan sebut aku gusti, panggil paman saja! Sriyatun, sapa kang-masmu ini, dia ini seperti keponakanku sendiri!"
Dengan sikap malu-malu dan rikuh gadis itu membungkuk ke arah Dibyasakti dan mulutnya yang berbibir merah basah clan mungil itu berkata lirih.
"Kakangmas Dibyasakti.... !"
"Diajeng Sriyatun, aku girang andika tidak cidera tadi."
"Berkat pertolonganmu, kakangmas...."
"Ha-ha-ha, Dibyasakti. Engkau keponakanku sendiri dan utusan adimas Adipati Pangeran Mas di Arisbaya. Mari kita masuk dan bicara di dalam. Adimas Tumenggung, atur supaya penjinak kuda dapat menjinakkan Si Gagak Cemeng. Kuda itu belum jinak benar. Tadi ketika Sriyatun berkeras hendak mencoba menungganginya, dia menjadi binal dan mengamuk."
"Sendika, Kakangmas Adipati!"
Kata Tumenggung Surobayu sambil menyembah.
"Mari, anak-mas Dibya!"
Sang Adipa mengajak tamunya sambil menggandeng tangan puterinya, menuju ke istana kadipaten melalui pintu belakang, terus menuju ke ruangan tengah di mana dia mempersilakan pemuda itu duduk berhadapan dengan dia, sedangkan Sriyatun sudah mengundurkan diri masuk ke ruangan keputren. Setelah menyerahkan surat dari Adipati Arisbaya, Dibyasakti disambut dengan ramah oleh Adipati Pamekasan. Sang Adipati menyatakan persetujuannya denga penuh semangat.
"Memang kita harus menyatukan kekuatan untuk melawan Mataram!"
Kata nya.
"Sampaikan kepada adimas Adipati Arisbaya bahwa kami sudah siap dan harap jangan khawatir. Kalau pasukan Mataram berani mendarat di pesisir kita, aku sendiri yang akan memimpin pasukan untuk melawan mereka!"
Setelah berbincang-bincang kemudian disambut dengan perjamuan selamat datang, Dibyasakti mohon diri berpamit dari tuan rumah.
"Ah, kenapa tergesa-gesa, anak-mas? Engkau bukan hanya utusan adimas Adipati Arisbaya, melainkan engkau adalah keponakanku sendiri. Anggaplah engkau berkunjung ke rumah pamanmu sendiri dan engkau harus tinggal bermalam di sini selama dua tiga hari. Aku masih kangen dan banyak yang ingin kubicarakan denganmu, anak-mas!"
Adipati Pamekasan membujuk Dibyasakti dan akhirnya pemuda ini menerima juga tawaran Adipati Pamekasan untuk bermalam di situ selama dua malam. Ssesungguhnya, kalau Dibyasakti menerima tawaran itu adalah karena dia ingin sekali bertemu lagi dengan Sriyatun! Dia merasa rindu karena semenjak pertemuan pertama yang amat mengesankan hatinya itu, Sriyatun tidak pernah lagi menampakkan dirinya.
Bahkan sampai lewat malam pertama di kadipaten, dia belum juga dapat bertemu perawan itu. Dia merasa penasaran sekali, akan tetapi untuk bertanya tentang gadis itu kepada Sang Adipati, tentu saja dia merasa rikuh. Pada malam kedua, malam terakhir dia tinggal di Kadipaten Pamekasan, dia tidak tahan lagi.
Malam itu dia harus dapat bertemu atau setidaknya melihat Sriyatun untuk mengobati rasa rindunya. Malam ini terang bulan. Langit bersih dan cerah. Malam sejuk yang indah sekali. Sinar bulan mendatangkan suasana yang romantis. Tentu saja Dibyasakti tidak betah berada dalam kamarnya. Tanpa diketahui orang malam itu dia keluar dari kamarnya dan memasuki taman bunga yang letaknya di belakang kadipaten, di sebelah kiri tempat pemeliharaan kuda. Taman itu luas sekali, penuh dengan beraneka bunga. Bunga mawar beraneka warna, dan banyak bunga melati dan menur yang menyebarkan keharuman yang khas. Ada pula pohon bunga arum-dalu, kenanga, dan kantil yang membuat taman sari itu semerbak harum.
Ketika memasuki taman yang bermandikan cahaya bulan purnama itu, Dibyasakti merasa seperti tenggelam ke dalam lautan bunga yang harum memabokkan. Semangatnya seperti melayang-layang dan terbayanglah semua kemesraan dengan wanita-wanita cantik yang pernah dialaminya. Wajah-wajah cantik itu seperti meleyang-layang di depan matanya, kemudian semua wajah wanita cantik itu menghilang dan yang tinggal hanya sebuah wajah. Wajah Sriyatun! Dan rasa rindunya semakin menekan.
Aku harus menemuinya, pikirnya berbisik. Kalau perlu, aku akan menyusup ke dalarn keputren, seperti maling! Tidak akan sukar baginya. Dia harus menemuinya malam ini juga. Sekedar pamit, sekedar untuk menatap wajah itu sekali lagi! Dia harus!
Tiba-tiba dia mendengar suara orang. Cepat sekali tubuhnya sudah menyelinap ke balik serumpun bambu kuning yang tumbuh di situ dan mengintai. Dua sosok bayangan orang berjalan perlahan menuju ke situ. Ketika dua bayangan itu lewat dekat, jantungnya berdegup dan dia memusatkan kekuatan pandang matanya untuk dapat melihat lebih jelas lagi. Di bawah sinar bulan yang lembut, dia melihat Sriyatun sebagai satu di antara dua bayangan itu. Dan perawan yang dirindukannya itu tampak demikian cantik jelita, ayu manis merak ati. Tubuhnya seperti terbungkus cahaya bulan, seolah memancarkan kehangatan yang terasa olehnya. Ketika dia memperhatikan bayangan kedua, alisnya berkerut. Orang kedua itu adalah seorang muda yang bertubuh sedang, pakaian rapi dan wajahnya membuat dia merasa hatinya panas oleh cemburu karena wajah itu tampan sekali! Mereka melangkah perlahan melewatinya, dekat sekali sehingga dia dapat mendengar jejak langkah merek mendengar berkereseknya kain yang dipakai Sriyatun.
Setelah mereka lewat, Dibyasakti cepat bergerak, menyusup-nyusup dan membayangi kedua orang muda itu. Hatinya yang sudah panas itu menjadi semakin penasaran lagi ketika kini dia melihat pemuda itu memegang tangan kiri Sriyatun dan menggandengnya dengan sikap mesra. Dia mendengar sendiri degup jantungnya sehingga dia khawatir kalau-kalau degup jantungnya itu akan terdengar oleh dua orang yang dibayanginya.
Di tengah taman itu terdapat sebuah pondok bambu mungil tanpa dinding, han lantai dari papan, tiang dan atap saja. situ terdapat bangku-bangku panjang d biasanya keluarga sang adipati sering duduk di pondok ini, terutama kalau siang hari panas. Dua orang muda yang bergandengan tangan itu menuju ke pondok ini dan mereka duduk di atas bangku panjang, berdampingan. Mereka bercakap-cakap sambil duduk berdempetan dan kini lengan kanan pemuda itu merangkul pundak Sriyatun dengan amat mesra. Karena mereka bicara lirih sekali, terpaksa Dibyasakti harus bergerak mendekati dan bersembunyi di balik pohon kecil kemuning yang tumbuh di dekat pondok. Kini dia dapat mendengar suara mereka dengan jelas.
"". ah, benarkah kata-katamu itu, diajeng?"
Kata pemuda itu.
"Kakang-mas Karyadi, pernahkah aku berbohong kepadamu? Aku merasa yakin bahwa dia itu bukan orang baik-baik. Ketika dia menyelamatkan aku dan memondongku, aku dapat merasakan sentuhannya dan sinar matanya""huh, mengerikan, kakangmas....!"
Pemuda bernama Karyadi itu tertawa.
"Ha-ha-ha, kukira engkau hanya salah sangka saja, diajeng. Dia itu bukan orang biasa. Dia utusan Sang Adipati Arisbaya, dan itu seorang senopati muda! Dia sudah menyelamatkan dirimu, diajeng. Bagaimana engkau malah mencurigai dan tidak percaya kepadanya? Bukankah Kanjeng Paman Adipati sendiri menerimanya dengan ramah dan menganggap dia keponakan sendiri karena dia putera Ki Harya Baka Wulung yang amat terkenal karena sakti mandraguna itu? Di seluruh Madura, siapa yang tidak mengenal Ki Baka Wulung?"
Gadis itu mencibir.
"Terkenal kesesatannya maksudmu, kakang-mas?"
"Ssstt....! Kenapa engkau bilang begitu diajeng?"
Karyadi menyentuh bibir yang mungil dan merah basah itu seolah hendak mencegah gadis itu bicara yang bukan-bukan.
"Aku mendengar dari cerita ibuku sendiri, kakang-mas! Menurut cerita ibuku, Harya Baka Wulung itu dahulu di waktu mudanya, ketika berkunjung ke sini, sudah berani mencoba untuk menggoda ibuku. Karena itulah maka ibuku berpesan kepadaku agar jangan dekat-dekat dengan puteranya itu."
"Sudahlah, diajeng. Jangan khawatir dan jangan takut. Ada aku di sini, aku calon suamimu yang akan selalu melindungimu. Kalau ada aku di sampingmu, siapa yang akan berani mengganggumu?"
Setelah berkata demikian, pemuda itu merangkul dan memeluk kekasihnya. SriAun menghela napas manja dan lega, enyandarkan kepalanya di dada tunanginya itu. Dibyasakti yang sejak tadi mengintai dan mendengarkan percakapan itu, tentu saja menjadi marah bukan main. Gadis itu berani mencela nama ayahnya, berarti penghinaan! Dia memang terpesona dan tergila-gila kepada Sriyatun, akan tetapi kini kegandrungannya itu bercampur dendam kemarahan. Apalagi mendengar bahwa pemuda itu adalah calon suami gadis yang digandrunginya itu, habislah harapannya ituk dapat mempersunting Sriyatun. Otaknya yang licik itu diputar dan tiba-tiba ia sudah mengambil sebuah keputusan yang hanya dapat dipikirkan seorang yang dah kemasukan iblis.
"Maling hina! Berani mati engkau mengganggu sang puteri!"
Tiba-tiba Dibyasak melompat dan membentak.
Sepasang muda-mudi yang sedang bermesraan itu terkejut bukan main. Raden Karyadi, pemuda itu, adalah putera Tumenggung Surobayu dan sebagai putera tumenggung, tentu saja dia bukan seoral pemuda lemah dan mahir olah keperwiraan. Melihat ada orang melompat dan membentak, diapun cepat melepaskan rangkulannya dari pundak Sriyatun lalu melompat dan berdiri melindungi kekasihnya.
Akan tetapi Dibyasakti tidak memberi kesempatan kepadanya untuk bicara karena dia sudah menerjang dengan serangan pukulan tangan kanan yang dahsyat. Karyadi melihat pukulan itu cepat menangkis sambil miringkan tubuhnya.
"Wuuttt... dukkk...!!"
Ternyata kekuatan Karyadi belum mampu mengimbangi tenaga Dibyasakti yang dahsyat. Pertemuan kedua lengan itu membuat tubuh Karyadi terpelanting sampai keluar dari dalam pondok!
Melihat kejadian ini, Sriyatun terkeiut bukan main. Tadinya ia terbelalak memandang orang yang datang itu, akan tetapi ketika ia mengenal bahwa orang itu adalah Dibyasakti yang menjadi tamu ayahnya, dan melihat Dibyasakti membuat tunangannya terpelanting keluar pondok, ia menjerit.
"Kakang-mas Dibyasakti! Dia bukan maling, bukan penjahat. Dia itu kakang-mas Karyadi, tunanganku, calon suamiku!"
Akan tetapi Dibyasakti seolah tidak mendengar ucapan ini, atau memang dia tidak mau mendengarkan. Dia sudah melompat keluar dari pondok dan menyerang lagi ke arah Karyadi. Karyadi sudah siap siaga. Melihat Dibyasakti tetap menyerangnya walaupun Sriyatun telah memperkenalkan dirinya, dia tahu bahwa orang ini memang sengaja berniat jahat. Maka diapun mengerahkan tenaga dan kepandaiannya untuk menghindar dari serangan yang kedua itu.
Dia tidak berani menangkis, maklum bahwa tenaganya kalah kuat. Elakannya yang cepat membuat
pukulan Dibyasakti tadi luput dan Karyadi berseru nyaring.
"Ki-sanak, Ki-sanak, tahan dulu....!!"
Akan tetapi Dibyasakti yang sudah mengambil keputusan bulat untuk membinasakan pemuda yang menjadi kekasih Sriyatun itu, menggosok kedua telapak tangannya. Tampak asap hitam mengepul dan dia mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah Karyadi sambil membentak.
"Aji Kukus Langking.... !"
Aji pukulan sakti ini dahsyat bukan main. Asap hitam yang menyambar itu selain membawa hawa pukulan maut, juga kalau mengenai kulit lawan, asap itu dapat membakar seperti api! Karyadi terkejut dan cepat dia membuang diri ke atas tanah dan berguling menghindar sampai jauh. Ketika dia bangkit berdiri, dia sudah mencabut kerisnya. Pemuda ini mengambil keputusan untuk melawan mati-matian, bukan untuk menyelamatkan dirinya, melainkan terutama sekali untuk membela dan melindungi kekasihnya, Sriyatun. Kalau saja di situ tidak ada Sriyatun, dia tentu sudah melarikan diri karena dia maklum sepenuhnya bahwa dia tidak akan mampu menandingi lawan yang sakti mandraguna ini. Akan tetapi dia harus membela dan melindungi kekasihnya dengan taruhan nyawa. Maka, dia mencabut kerisnya dan masih berusaha untuk mengingatkan pemuda yang gagah seperti Gatotkaca itu.
Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo