Badai Laut Selatan 12
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Bagian 12
Sang Prabu Airlangga juga tidak melanggar kelajiman ini dan sebelum beliau mengundurkan diri untuk menjadi pertapa, kekuasaan sementara ia serahkan kepada pangeran tua, diembani oleh Ki Patih Narotama yang oleh Sang Prabu Airlang-ga dianggap sebagai wakil beliau pribadi. Hal ini menimbulkan iri dalam hati pangeran muda dan ibunya, maka mulailah mereka berusaha untuk mengenyahkan setidaknya mengurangi pengaruh dan kekuasaan pangeran tua. Dengan menggunakan barang-barang berharga seperti emas dan permata, pangeran muda ini mengumpulkan orang-orang pandai dan menjanjikan kedudukan-kedudukan mulia, mengadakan persekutuan dengan mereka yang memang memusuhi Prabu Airlangga dan menanti kesempatan untuk memberontak.
Di antara cara-cara yang digunakan pangeran muda untuk mengurangi kekuasaan kakak tirinya adalah mempergunakan orang-orang pandai membunuhi tumenggung-tumenggung dan senopati-senopati yang setia kepada Prabu Airlangga dan karenanya mereka taat akan perintah dan bersetia-pula kepada pangeran tua. Banyaklah sudah para tumenggung yang tewas tentu saja dengan dalih permusuhan pribadi. Bahkan Ki Patih Narotama sendiri sudah sering dihadang di tengah jaian dan dikeroyok. Hanya berkat kesaktiannya, selama itu Ki Patih masih dapat menyelamatkan diri. Dan karena adanya Ki Patih Narotama inilah pangeran muda masih belum berani terang-terangan berusaha merebut kekuasaan, apalagi Sang Prabu Airlangga sendiri masih hidup, biarpun sudah menjadi pertapa dan tidak mau mencampuri urusan duniawi.
Wisangjiwo adalah seorang pemuda yang cerdik. Ia tahu ke mana angin bertiup, sebentar saja bertugas di dalam keraton, tahulah ia akan persaingan ini dan tahulah ia fihak mana yang harus ia bantu. Karena ia dan ayahnya memang bermaksud memberontak, maka segera ia mendekati pangeran muda dan mengambil hati pangeran ini. Maka dalam waktu singkat saja Wisangjiwo ditarik oleh pangeran muda dan menjadi senopatinya, bahkan menjadi orang kepercayaannya. Melalui Wisangjiwo inilah pangeran muda dapat berkenalan dan menarik bantuan tokoh-tokoh yang memang sudah lama dihimpun oleh ayah Wisangjiwo, yaitu Adipati Joyowiseso.
Tentu saja begitu mendengar dari Ki Patih bahwa ada kemungkinan patung pusaka disembunyikan di muara Sungai Lorog, Wisangjiwo menjadi girang sekali dan tergesa-tega berangkat naik kuda ke daerah itu. la tidak heran mengapa Ki Patih justru menyuruh dia, karena hal ini baginya tidak aneh. Bukankah ia selalu bersikap hormat dan baik terhadap Ki Patih? Bukankah Ki Patih ini bekas kekasih gurunya, Ni Durgogini? Hal ini baru ia ketahui setelah ia bekerja di istana. Dan bukankah Ki Patih Narotama yang membantunya mendapatkan kedudukan di istana? Tanpa curiga sedikitpun, Wisangjiwo berangkat naik kuda. Kalau benar-benar ia dapat menemukan patung pusaka, hemmm... ia masih ragu-ragu apakah akan diserahkannya pusaka itu kepada pangeran muda. Bagaimana nanti sajalah, pikirnya dan dengan hati gembira ia mempercepat larinya kuda.
Di balik batang pohon, Pujo yang mengintai kedatangan Wisangjiwo, menjadi tegang seluruh tubuhnya. Melihat musuh besarnya ini, terbayanglah semua peristiwa sepuluh tahun yang lalu, peristiwa malam jahanam di dalam Guha Siluman. Kedua tangan Pujo dikepalkan erat-erat, matanya menjadi merah beringas, gigi atas dan bawah bertemu ketat menimbulkan bunyi berkerotan, jantungnya berdegup seakan hendak pecah, napasnya mendesis keluar di antara gigi yang merapat. Ketika kuda yang ditunggangi Wisangjiwo lewat, Pujo cepat-cepat lari membayangi sambil bersembunyi dari pohon ke pohon. Akhirnya, di dekat muara di mana air Sungai Lorog yang kemerahan memasuki laut yang airnya kebiruan, Wisangjiwo melompat turun dari atas kudanya.
Ia tidak mengikat kuda ini pada pohon, tanda bahwa kuda itu jinak dan baik. Kemudian Wisangjiwo melangkah ke kanan menyusuri pinggir muara, matanya memandang ke empat penjuru. Bagaimana di tempat yang sunyi ini disembunyikan patung pusaka? Apakah Ki Patih Narotama sengaja berbohong dan mempermainkannya? Akan tetapi hatinya berdebar ketika ia melihat sebuah pondok kecil di sudut sana, dekat hutan. Hemm, agaknya pondok itu ada penghuninya dan penghuni pondok itu agaknya yang tahu akan pusaka yang disembunyikan. Dengan langkah lebar Wisangjiwo berjalan menuju ke pondok. Akan tetapi tiba-tiba dari balik sebatang pohon meloncat keluar seorang laki-laki yang menghadapinya dengan muka beringas dan mata merah.
"Pujo...??!?"
Wisangjiwo berseru kaget sekali. Kaget dan heran, karena sungguh ia sama sekali tidak pernah menyangka akan bertemu dengan Pujo di tempat ini. Akan tetapi ia sama sekali tidak takut. Dahulu ia pernah kalah oleh Pujo di dalam guha itu, akan tetapi lain dulu lain sekarang. Ia telah memperdalam ilmunya. Pula, ia malah girang bertemu dengan musuh besarnya, yang telah mem-perkosa isterinya dan adiknya, dan telah menculik puteranya. Pujo tertawa menyeramkan, tawa mengandung dendam, benci, dan juga girang. Bertahun-tahun ia menanti datangnya saat ini dengan penuh ketekunan. Belum pernah sedetikpun api dendam yang menyala di dalam hatinya itu padam. Bahkan mengecilpun tidak kalau tak dapat dikatakan makin membesar.
"Wisangjiwo jahanam pengecut! Akhirnya kita berhadapan empat mata di tempat sunyi ini. Agaknya Dewa Keadilan sengaja mempertemukan kita agar semua perhitungan yang lalu dapat dibereskan sekarang juga. Wisangjiwo, sepuluh tahun lebih yang telah lalu, engkau melakukan perbuatan keji dan biadab. kau merobohkan aku dengan serangan pengecut dan curang, kemudian engkau melakukan perbuatan biadab terhadap isteriku. Nah, sekarang bersiaplah untuk menebus dosamu dengan nyawa!"
Wisangjiwo bertolak pinggang dan tertawa mengejek.
"Ha-ha-ha-ha! Benar-benar engkau pria yang sama sekali tidak jantan! Engkau memutar-balikkan fakta dan pandai melontarkan fitnah hanya untuk mencarikan dalih penutup perbuatan-perbuatanmu yang biadab. Ha-ha-ha!"
Pujo mengerutkan keningnya.
"Apa maksud kata-katamu yang busuk ini? kau berani menyangkal bahwa malam itu kau tidak datang ke Guha Siluman, memukul roboh aku secara curang kemudian engkau memperkosa isteriku yang telah terluka dan tak berdaya?"
Wisangjiwo menggeleng kepala cepat-cepat.
"Datang ke guha dan bertanding denganmu sampai isterimu dan engkau roboh, itu memang betul. Akan tetapi setelah itu aku pergi ke luar guha, sama sekali tidak memperkosa"
"Bohong...!!"
Saking marahnya Pujo sudah menerjang maju, memukul dahsyat sekali karena ia telah mempergunakan Aji Gelap Musti dalam keadaan dendam dan penuh kebencian.
Wisangjiwo selama sepuluh tahun inipun tidak tinggal diam, melainkan melatih diri dengan tekun. Betapa dahsyatnya pukulan Pujo, sekali miringkan tubuh pukulan itu menyambar lewat dan cepat Wisangjiwo membalas dengan ilmu pukulan Tirto Rudiro karena sejak turun dari kuda tadi, untuk menjaga bahaya ia sudah menggenggam ajimatnya kerang merah sehingga sewaktu-waktu dapat ia pergunakan. Hawa dingin menyambar ke arah lambung Pujo ketika pukulan Tirto Rudiro itu dilakukan lawan dari sebelah kanannya. Pujo yang tadi tak berhasil pukulannya, kini malah terus memutar tubuh ke kiri amat cepatnya sambil melakukan gerakan mendorong dengan lengan tangan kirinya yang mendahului tubuhnya membalik. Tentu saja ia mengerahkan tenaga saktinya dalam tangkisan ini karena maklum bahwa lawannya bukan orang lemah.
"Dukkk!"
Tepat sekali gerakan Pujo tadi karena tangan kirinya dengan jari-jari terbuka itu menangkis hantaman kepalan kanan Wisangjiwo. Kesudahannya, Pujo tergetar mundur tiga langkah, akan tetapi Wisangjiwo terhuyung ke belakang hampir roboh kalau ia tidak cepat-cepat meloncat untuk mematahkan tenaga benturan yang mendorongnya! Ketika Pujo hendak mendesak lagi, Wisangjiwo menyetopnya dengan tangan kanan diangkat dan membentak marah,
"Heh keparat Pujo. Jangan kira aku takut kepadamu. Kita sama-sama laki-laki gemblengan. Kalah dan maut dalam pertandingan bukan apa-apa! Akan tetapi kau bicaralah yang genah (masuk akal)! Jangan membuang fitnah ke kanan kiri seperti orang mabok saja. Hayo katakan, di mana kau sembunyikan puteraku yang kau culik?"
Senyum paksaan, senyum masam membayang di wajah yang muram itu.
"Apa yang kau kehendaki akan terjadi Wisangjiwo. kau ingin dia mati? Mudah. Ingin melihat dia menjadi penderita cacat, menjadi anggauta para jembel gelandangan atau menjadi anggauta maling dan rampok?"
"Setan iblis! kau apakan puteraku? kau bunuh dia? Jahanam keji, kau telah merusak kehormatan adikku, isteriku, dan kiranya kau malah telah membunuh puteraku. Di samping kekejianmu ini kau masih mendakwa aku yang bukan-bukan. Cuh, tak tahu malu! Laki-laki macam apa kau ini? Hayo, sekarang tidak perlu beradu suara lagi, biarlah senjata yang menentukan!"
Setelah berkata demikian Wisangjiwo menggerakkan tangannya dan tampaklah sinar hitam bergulung-gulung sambil memperdengarkan suara,
"Tar-tar-tar!"
Itulah cambuk sakti Sarpokenoko milik Ni Durgogini yang telah dihadiahkan kepada murid dan kekasih rupawan ini! Memang bukan cambuk sembarang cambuk. Cambuk pusaka ampuh yang dimainkan dalam ilmu yang hebat sehingga cambuk itu berubah menjadi sinar hitam yang bergulung-gulung yang mengeluarkan suara meledak-ledak dan mengeluarkan asap hitam tipis!
"Wuuut-tar-tar-tar!"
Gulungan sinar hitam cambuk Sarpokenoko menyambar ganas. Pujo mengenal senjata ampuh. Cepat ia menggedruk (menendang dengan tumit) tanah sehingga tubuhnya mencelat ke atas dengan kecepatan luar biasa. Cambuk Sarpokenoko menyambar-nyambar dan meledak-ledak di bawah kakinya. Akan tetapi sambaran ke tiga menyentuh ujung tumit kirinya dan Pujo terpaksa membuang diri ke kiri lalu tubuhnya jatuh ke tanah, terus bergulingan dan meloncat bangun dengan wajah agak pucat. Tumit kirinya terasa panas sekali.
"Ha-ha-ha, Pujo. Kepandaian hanya sebegitu akan tetapi berani mati engkau menuduh yang bukan-bukan kepadaku hanya untuk menutupi perbuatan-perbuatan yang rendah dan keji. Lebih baik lekas kau beritahu di mana puteraku, mungkin aku masih akan mempertimbangkan dosamu. Sebagai laki-laki sejati, aku tidak akan meributkan benar perkara wanita. Kalau kau berkeras hemmmmm, Sarpokenoko akan merobek-robek tubuhmu!"
Pujo tadi memang terkejut sekali. Ia tadi meloncat dengan Aji Bayu Tantra, ilmu meringankan tubuh ajaran Resi Bhargowo yang selama ini telah ia sempurnakan. Dan menilik gerakannya, Wisangjiwo tidak secepat itu sehingga dapat mengenai tumitnya dengan cambuk. Maka ia menduga bahwa tentu cambuk hitam itulah yang hebat, cambuk sakti yang amat ampuh dan ia kini berlaku hati-hati sekali.
"Wisangjiwo keparat sombong! Baru dapat menjilat tungkakku saja engkau sudah menyombong. kau kira aku kalah olehmu? Nah, majulah!"
Pujo menggerakkan tangan kanan dan sudah mencabut sebatang keris yang mengeluarkan sinar kehijauan.
Inilah keris pusaka yang ia namakan Banuwilis karena sinarnya yang kehijauan. Keris eluk sembilan yang pamornya seperti ombak Laut Selatan dengan airnya yang hijau saking dalamnya. Wisangjiwo tertawa mengejek, cambuknya melecut keras dan menyambar kepala Pujo. Pujo sudah siap sedia, sengaja ia tidak mengelak melainkan menangkis dengan kerisnya ke atas dengan pengerahan tenaga agar cambuk lawannya terbabat putus. Ketika ujung cambuk bertemu dengan mata keris, dari kedua senjata itu keluar hawa mujijat yang ampuh dan saling bertentangan. Keris Banuwilis tidak cukup kuat untuk dapat membabat putus Sarpokenoko, akan tetapi tenaga sakti yang tersalur melalui keris itu masih lebih kuat daripada tenaga Wisangjiwo sehingga cambuk itu terpental ke atas dan telapak tangan Wisangjiwo terasa panas dan sakit.
Marahlah senopati muda ini. Ia mengeluarkan gerengan keras dan cepat cambuknya bergerak menyambar-nyambar, dan diam-diam tangan kirinya sudah melolos keluar sehelai kain merah dari saku baju. Selama sepuluh tahun ini, selain memperoleh kemajuan dalam semua ilmu yang telah dimilikinya, juga Wisangjiwo menerima"hadiah"
Lain dari Ni Nogogini bibi guru yang menjadi juga kekasihnya, yaitu kain ini yang mengandung hawa beracun amat berbahaya. Sekali mengebutkan kain ini, bau yang harum akan tercium lawan dan betapapun tangguhnya lawan, tentu akan roboh pingsan mencium bau ini.
Senjata yang amat curang dan hanya digunakan oleh laki-laki yang suka mengganggu wanita baik-baik, atau setidaknya oleh orang yang suka merebut kemenangan dengan jalan apapun juga. Melihat betapa gulungan sinar cambuk hitam itu kini menyambar-nyambar membentuk lingkaran-lingkaran ruwet seperti banyak ular bermain-main, sukar diduga mana ujungnya yang akan menerjangnya, Pujo berlaku hati-hati sekali. Ia berdiri tegak memasang kuda-kuda, membiarkan sinar hitam itu bergulung-gulung mengitari atas kepalanya. Ketika sampai lama gulungan sinar hitam itu tidak menerjangnya, maklumlah ia bahwa Wisangjiwo memang hendak memancingnya agar ia mempergunakan kecepatan gerakan mengimbangi gerakan cambuk.
Pujo tahu akan hal ini dan tahu pula bahwa biarpun ia memiliki Bayu Tantra yang membuat ia mampu bergerak secepat gerakan cambuk, namun mana mungkin ia dapat bertanding kecepatan melawan sebatang cambuk yang digerakkan tangan? Lama-lama ia tentu akan lelah dan kalah. Oleh karena itulah, ia diam saja tidak melayani permainan cambuk lawan. Iapun maklum bahwa biarpun cambuk itu kini bergulung-gulung sinarnya di atas kepala, namun Wisangjiwo sedang menanti saat baik. Kalau ia terpancing dan melakukan serangan lebih dulu, tentu Wisangjiwo akan menjatuhkan serangannya secara tak tersangka-sangka. Di lain fihak, Wisangjiwo mendongkol dan kecewa sekali, juga kagum. Siasat pertempuran ini ia dapat dari gurunya belum lama ini.
"Menghadapi lawan tangguh yang sedang marah, biarkanlah ia bingung dengan bayangan cambuk berputar-putar di atas kepalanya, pancing dia supaya menggunakan kecepatan gerakan tubuhnya mengimbangi kecepatan gerak cambukmu. Nah,kalau sudah demikian, mudah saja merobohkannya. Baik dia menyerang dulu atau tidak, kau boleh gerakkan samputangan merah mengebut mukanya atau menangkis serangannya dan pada saat itu ujung cambukmu menghantam dari atas memilih Sasaran yang tepat."
Demikian itu ajaran dari gurunya. Akan tetapi sekarang Pujo diam saja, hanya berdiri memasang kuda-kuda dan menatap kepadanya penuh kewaspadaan, benar-benar membuat ia sendiri yang bingung! Akhirnya Wisangjiwo menjadi tidak sabar. Secara tiba-tiba ia menggerakkan saputangan merahnya dengan tangan kiri, dikebutkan ke arah muka Pujo lalu menyusul dengan gerakan cambuknya yang siap menghantam bagian berbahaya sesuai dengan gerakan Pujo apabila mengelak serangan saputangan merah.
(Lanjut ke Jilid 12)
Badai Laut Selatan (Seri ke 03 "
Serial Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 12
Pujo melihat bayangan merah saputangan ini, cepat menahan napas, lalu mengerahkan hawa bakti meniup dari mulutnya, dibarengi tangan kirinya menyampok dari depan. Lima jari tangannya berkembang menyambut saputangan merah dan...
"Breeittt...!!!"
Pecahlah kain merah itu, pecah dan hangus lalu hancur, tidak kuat senjata mujijat yang beracun itu bertemu dengan hawa pukulan Pethit Nogo yang dilancarkan tangan kiri Pujo. Dalam kaget dan marahnya, Wisangjiwo menggerakkan Sarpokenoko yang melecut dan ujungnya bagaikan paruh elang mematuk ubun-ubun kepala Pujo.
Celakalah Pujo jika serangan ini mengenai sasaran. Tentu ubun-ubun kepalanya akan pecah. Akan tetapi ketika tadi menghancurkan senjata kain merah lawan, Pujo sudah siap sedia, sudah dapat menduga bahwa tentu Wisangjiwo akan menyusul dengan serangan susulan yang menggunakan cambuknya. Maka giranglah hatinya melihat lawannya marah dan tidak sabar, karena makin marah dan tidak sabar keadaan seorang lawan, makin mudah diatasi. Melihat datangnya lecutan cambuk, ia tidak menangkis dengan kerisnya karena maklum bahwa tangkisan tidak dapat mengalahkan lawan. Secepat kilat tangan kirinya bergerak ke atas dan di lain detik, ujung cambuk itu sudah terjepit jari-jari tangan kirinya yang masih mengerahkan Aji Pethit Nogo.
"Cappp!"
Sekali terjepit, ujung cambuk itu tak mungkin dapat terlepas lagi.
Wisangjiwo makin kaget, akan tetapi selagi ia berusaha menarik cambuknya, ujung keris Banuwilis dengan tak tersangka-sangka telah meluncur ke depan dan telah menusuk pergelangan tangan kanannya. Wisangjiwo berseru kaget, terpaksa mengelak, namun masih ada ujung keris melukai pangkal ibu jari tangan kanannya. Rasa nyeri membuat ia terpaksa melepaskan gagang cambuk dan saking marah melihat cambuknya terampas ia mengirim tendangan kilat sekenanya. Tendangan memang berhasil mengenai paha kiri Pujo, akan tetapi pada saat itu, lehernya terpukul oleh tangan kanan Pujo yang sudah membalikkan kerisnya sehingga bukan mata keris yang menusuk leher, melainkan gagang keris yang keras. Wisangjiwo mengeluh dan roboh terguling, matanya berkunang-kunang.
"Aduhhh, mati aku...!"
Ia mengeluh dan sebuah tendangan keras yang mengenai pangkal telinganya membuat ia tak dapat mengeluh lagi dan tidak ingat apa-apa. Akan tetapi Wisangjiwo tidak mati, atau setidaknya belum mati ketika ia siuman kembali. Ia sadar dan mendapatkan dirinya berdiri bersandarkan batang pohon dalam keadaan terikat erat-erat pada batang pohon dengan kedua lengannya ditelikung ke belakang. Bahkan bagian lehernyapun dikalungi tambang yang ternyata adalah cambuknya sendiri, cambuk Sarpokenoko! Ketika berusaha meronta, ia merasa sakit-sakit pada lengannya dan lehernya makin tercekik, maka ia tidak lagi meronta dan memandang kepada musuhnya yang berdiri di depannya, memandangnya sambil tersenyum-senyurn, senyum iblis!
"Pujo, aku sudah kalah. Kenapa engkau tidak membunuhku saja? Untuk apa mesti mengikatku di sini?"
"Untuk apa? Terlalu enak kalau kau dibunuh begitu saja!"
"Hemm, Pujo, begitu bencikah engkau kepadaku? Memang aku pernah mengganggumu ketika kau dan isterimu bertapa di Guha Siluman, akan tetapi pembalasanmu sungguh keterlaluan. Aku hanya merobohkan kau dan isterimu, karena hatiku panas disebabkan engkau dahulu tidak ikut mempertahankan Selopenangkep dari serbuan balatentara Mataram. Akan tetapi, hanya sampai di situ saja perbuatanku. Setelah engkau dan isterimu roboh karena... hemm, terus terang saja,karena akalku, aku lalu pergi meninggalkan guha. Akan tetapi pembalasanmu sungguh berlebihan. kau menyebu Selopenangkep, membunuh banyak pengawal bahkan hamper membunuh ayahku, kemudian kau memperkosa Roro Luhito adikku, menculik kemudian memperkosa isteriku, dan membawa pergi puteraku! Dan kau masih belum puas dengan perbuatan-perbuatan keji itu! Pujo, apakah kau sudah menjadi gila, ataukah kau berubah menjadi iblis?"
Tentu saja makin panas dan marah hati Pujo mendengar ini. Ia tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha! Tiada manusia di dunia ini yang suka mengakui akan kesalahannya! Apalagi manusia macam engkau, Wisangjiwo! Karena banyaknya manusia macam engkau inilah maka dunia ini menjadi makin kotor dan makin keruh, karena itu sebaiknya orang macam engkau ini dibasmi habis! Memang semula aku hendak memperkosa isterimu di guha, hendak kulakukan persis seperti yang kau lakukan terhadap isteriku. Sayang aku bukan manusia macam engkau sehingga aku tak sanggup melakukan hal itu. Ocehanmu tentang memperkosa isterimu dan adikmu boleh saja kau keluarkan, akan tetapi aku sama sekali tidak melakukan hal itu. Andaikata ada orang lain melakukan hal itu, sudah menjadi bagianmu, karena hokum karma takkan melepaskan korbannya. Tentang anakmu, haha-ha! kau tunggu saja, aku sengaja mendidik dia untuk membunuhmu, Wisangjiwo!"
Wisangjiwo terpekik ngeri, mukanya pucat. Maklum ia apa yang akan dilakukan Pujo. Agaknya puteranya itu dipelihara dan dididik Pujo dan ditanamkan dalam jiwa anaknya itu bahwa dia adalah musuh anaknya sendiri, dan setelah sekarang ia menjadi tawanan, agaknya Pujo menanti datangnya anak itu untuk turun tangan membunuhnya! Inilah sebabnya mengapa ia diikat erat-erat pada pohon agar supaya tidak dapat melawan jika anak itu turun tangan. Tadinya ia merasa heran mengapa dia yang sudah kalah masih harus diikat, padahal kalau Pujo hendak membunuhnya, adalah amat mudah.
"Pujo...! Kuminta kepadamu demi dewata yang agung lekas bunuh saja padaku agar punah sudah perhitungan kita. Akan tetapi, kau kembalikan puteraku ke kadipaten..."
Ia memohon, mukanya masih pucat sekali. Pujo tersenyum, tangan kirinya mencengkeram baju dekat pundak, tangan kanannya mencengkeram keris Banuwilis.
"Keparat! Sekarang kau ada muka untuk minta-minta? kau tidak ingat betapa aku hampir gila mengingat akan kebiadabanmu terhadap isteriku dahulu? Hemmm, seluruh urat syaraf di tubuhku mendesak agar kucincang tubuhmu sekarang juga dengan keris ini! Akan tetapi terlampau enak bagimu, Wisangjiwo, terlampau enak dan terlalu lekas mampus. kau tunggulah...! Engkau laki-laki perusak wanita, mengandalkan kedudukan, harta benda dan wajah tampan. Bagaimana kalau kubuntungkan saja hidungmu? Dan kedua telingamu? Bagaimana kalau kurajang mukamu sehingga kelak setiap orang wanita yang memandang mukamu, biar nenek-nenek sekalipun, akan muntah karena jijik dan muak?"
Gelora dendam membuat Pujo bicara seperti orang tidak waras lagi pikirannya, matanya merah dan mukanya menjadi buas sehingga Wisangjiwo makin pucat dan ngeri. Biarpun Wisangjiwo merasa tidak pernah memperkosa isteri Pujo, namun mulailah ia menyesali perbuatan-perbuatannya yang lalu. Memang banyak sudah ia merusak anak isteri orang dan inilah agaknya buah daripada perbuatannya, atau hokum karma daripada semua perbuatannya itu. Ia merasa ngeri karena tahu bahwa dalam keadaan murka seperti itu bukan tidak mungkin Pujo melaksanakan ancamannya yang menyeramkan. Ketika keris di tangan Pujo menggigil dan sudah terangkat, Wisangjiwo meramkan matanya dan...
"Kakangmas Pujo...!!"
Keris itu tertahan dan Pujo mencengkeram baju Wisangjiwo makin erat saking kagetnya. Wisangjiwo juga membuka matanya dan melihat seorang wanita cantik jelita datang berlari seperti terbang cepatnya. Wisangjiwo terkejut bukan main karena wanita itu bukan lain adalah Kartikosari! Kartikosari yang lebih cantik menarik daripada dahulu, akan tetapi Kartikosari dengan sepasang mata yang bersinar-sinar penuh dendam memandang kepadanya!
"Kakangmas Pujo, biarlah aku yang membalas jahanam terkutuk ini!"
Seru Kartikosari girang ketika ia sudah tiba di tempat itu.
Pujo masih tak mampu mengeluarkan kata-kata, bahkan kedua kakinya menggigil ketika ia memandang kepada isterinya, hatinya penuh keharuan, penuh penyesalan, penuh rindu. Munculnya Kartikosari di saat ia berhasil menangkap musuh besar ini sungguh-sungguh tak pernah ia sangka. Ia hanya memandang wajah isterinya itu tanpa berkedip, mukanya pucat dan ketika mendengar permintaan Kartikosari, ia tidak dapat menjawab, hanya melangkah mundur dan memandang seperti orang mimpi. Dengan gerakan ringan dan cepat sekali sehingga amat mengherankan hati Pujo yang maklum bahwa isterinya dahulu tidaklah secepat itu gerakannya, Kartikosari meloncat ke depan Wisangjiwo yang memandangnya dengan mata terbelalak. Sinar mata Kartikosari penuh kebencian menyalanyala dan kedua tangannya bergerak ke depan.
"Plak-plak-plak-plak!"
Empat kali tangannya menampar kedua pipi. Wisangjiwo merintih biarpun ia telah sekuat tenaga menahan sakit. Ternyata kulit pipinya hancur oleh tamparan itu dan penuh darah saking hebatnya tamparan telapak tangan Kartikosari!
"Manusia berhati binatang! Anjing busuk hina-dina!"
Kartikosari memaki dengan mata berapi-api."Aku akan merobek dadamu, akan kukeluarkan jantungmu, kuminum darahmu! Akan tetapi lebih dulu akan kucokel kedua matamu!"
Wisangjiwo merasa ngeri. Menghadapi wanita ini kiranya lebih mengerikan daripada menghadapi kemarahan Pujo tadi. Akan tetapi ia membesarkan hatinya dan memaksa senyum biarpun kedua pipinya merasa nyeri kalau digerakkan, lalu berkata lemah,
"Kalian pengecut-pengecut boleh melakukan kepadaku apa saja kepada orang yang terikat tak mampu membalas!"
"Bedebah! kau masih berani bicara begitu? Tak ingat akan perbuatanmu sendiri dahulu? kau kira aku takut kepadamu jika kau terlepas? Cihh, tak tahu malu! Boleh kau kulepaskan, biar lebih enak aku menghajarmu!"
Setelah berkata demikian, Kartikosari merenggut dengan kedua tangannya ke arah tambang yang mengikat tangan dan dada Wisangjiwo. Hebat sekali kepandaian wanita ini sekarang, sekali renggut saja tali-tali yang kuat itu putus semua! Setelah kedua tangannya bebas, Wisangjiwo cepat melepaskan cambuk Sarpokenoko yang melilit lehernya. Ia merasa betapa kedua pergelangan tangannya sakit-sakit setelah terlepas daripada belenggu, dan hampir sukar digerakkan karena darahnya tidak lancar jalannya.
Karena itu, ia lalu memencet-mencet kedua pergelangan tangannya untuk memperlancar jalan darahnya. Kartikosari berdiri menanti sambil memandang dengan senyum mengejek, sama sekali tidak takut melihat musuhnya bebas dan sudah memegang sebatang cambuk. Akan tetapi ketika ia melihat ke arah jari-jari tangan yang bergerak-gerak memencet-mencet pergelangan tangan itu, tiba-tiba ia menjadi pucat, menjerit lirih dan tubuhnya terhuyung-huyung hendak roboh! Pujo kaget sekali dan cepat ia merangkul pundak isterinya agar tidak sampai jatuh. Mendapatkan kesempatan ini, Wisangjiwo yang tahu bahwa nyawanya di tepi jurang kematian itu lalu melarikan diri. Pujo menjadi marah dan melepaskan rangkulannya dan pundak Kartikosari sambil membentak.
"Jahanam busuk hendak lari ke mana?"
Akan tetapi sebelum ia sempat meloncat dan mengejar, lengannya dipegang Kartikosari yang mencegahnya. Pujo kaget dan heran, menoleh dan memandang dengan kening berkerut.
"Jangan kejar dia...!"
"Mengapa? Aku harus bunuh dia!"
Kartikosari menggeleng kepala dan wajah yang ayu itu nampak kecewa.
"Bukan dia... ahhhh, bukan dia..."
"Nimas Sari... apa maksudmu?"
Pujo memegang pundak isterinya dan menatap wajah yang sudah bertahun-tahun ia rindukan ini.
"Bukan dia orangnya... ah, selama bertahun-tahun ini aku menjatuhkan dendam kepada orang yang sama sekali tidak berdosa, dan agaknya engkau juga, kakangmas Pujo. Aduh, makin payah penanggungannya kalau begini!"
Kartikosari merenggutkan tangannya yang dipegang suaminya, dan membanting-banting kakinya dengan marah. Tergetar hati Pujo menyaksikan ini. Terbayang depan matanya betapa dahulu isterinya juga membanting-banting kakinya kalau sedang marah-marah dalam kemanjaan. Akan tetapi sekarang lenyaplah sikap manja itu, dan kemarahannya benar-benar tidak dibuat-buat.
"Sari... apa maksudmu? kau bilang bahwa bukan Wisangjiwo orangnya? Bukan dia musuh kita?"
Dalam suara Pujo terkandung kegetiran dan kepahitan, bahkan terbayang keraguan dan kecurigaan. Selama sepuluh tahun bertapa ini, perasaan Kartikosari peka sekali maka cepat ia membalikkan tubuh menoleh, menatap wajah suaminya dengan pandang mata seakan-akan menembus jantung Pujo.
"Kau kau masih tak berubah! kau laki-laki penuh cemburu! kau menyangka aku sengaja melindungi dia, bukan? Celaka!"
Merah wajah Pujo. Ingin ia memukul mukanya sendiri. Memang tak dapat disangkalnya, ada perasaan dan dugaan demikian itu tadi menyelinap dalam benaknya. Ia menunduk, lalu tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut di depan isterinya.
"Nimas Sari, isteriku jangan kau memandangku seperti itu... ah, isteriku, kau tidak tahu betapa hebat kesengsaraanku selama sepuluh tahun ini. Kartikosari, kau kembalilah kepadaku, nimas. Jangan kau tinggalkan aku lagi. Aku percaya kepadamu, biarlah dewata menghancur leburkan diriku kalau aku tak percaya kepadamu. Aku cinta padamu, nimas, dan aku tidak sanggup hidup jauh daripadamu. Marilah, nimas, mari kita bangun kembali rumah tangga kita...
"Tidak...! Tidak... kakangmas Pujo. Belum tiba saatnya!"
"Nimas Sari... tega benarkah engkau membiarkan aku hidup merana seperti orang gila tidak kasihankah engkau kepadaku...?"
"Kakangmas Pujo, coba kau ingat-ingat, alangkah serupa keadaan kita sekarang ini dengan sepuluh tahun yang lalu di dalam guha, hanya akulah waktu itu yang memohon-mohon akan tetapi engkau yang membalas dengan penghinaan dan fitnahan keji..."
"Aduh, nimas... ampunkahlah aku. Ketika itu aku gila oleh malapetaka yang menimpa kita, aku gila dan tetap bersikap tidak adil kepadamu, nimas. Namun kegilaanku itu telah kutebus dengan penderitaan hidup bertahun-tahun. kau ampunkanlah aku, nimas... dan marilah kita hidup bersama kembali, membangun cinta kasih kita yang porak-poranda dilanda badai nimas Sari, aku selamanya tak pernah kehilangan cinta kasihku kepadamu dan aku tahu bahwa kaupun selalu mencintaiku, nimas..."
Suara Pujo memelas sekali. Melihat dia berlutut mengembangkan kedua lengan, dengan suara gemetar dan muka pucat, mata penuh permohonan, mulut seperti orang hendak menangis, hati siapa yang kuat menahan? Apalagi hati Kartikosari yang memang mencinta suaminya, serasa ditusuk-tusuk jarum rasa jantungnya. Ingin ia menjatuhkan diri berlutut, membiarkan dirinya di dalam pelukan suaminya yang aman sentausa, membiarkan dirinya dibelai dan dicumbu laki-laki yang setiap malam ia rindukan dan impikan. Akan tetapi ia mengeraskan hatinya. Ia membuang muka untuk menyembunyikan air matanya yang bercucuran membasahi pipi, tangan kirinya ia goyang-goyang perlahan, kemudian berkatalah wanita ini dengan suara bercampur isak.
"Belum tiba waktunya, kakangmas. Engkau belum berhasil menghukum orang yang mendatangkan aib dan sengsara kepada kita, bagaimana kau ada muka untuk mengajak aku kembali? Kakangmas Pujo, sebelum kulihat dia yang telah merusak kebahagiaan kita itu menggeletak tak bernyawa di depan kakiku, mana mungkin aku dapat kembali kepadamu? Tadinya kusangka Wisangjiwo orangnya ah, kiranya bukan dia... bukan dia...!"
Suara Kartikosari kecewa sekali dan kini ia menangis betul-betul.
"Kalau begitu, siapakah, nimas? kau sungguh membikin hatiku bingung. Bukan sekali-kali aku menyangka engkau melindunginya, ohhh, sama sekali tidak. Akan tetapi, ketika itu, bukankah Wisangjiwo si keparat yang bertempur dengan kita? Bukankah tidak ada orang lain terdapat di dalam guha di malam jahanam itu? Maka betapa aku takkan heran dan bingung mendengar kau memastikan bahwa bukan dia orangnya yang menjadi musuh besar kita?"
Kartikosari menghapus air matanya. Kini wajahnya menjadi beringas kembali, penuh kemarahan.
"Bukan dia memang! Kakangmas Pujo, kau tidak tahu dan karena pada waktu itu engkau seperti gila karena cemburu, maka aku tidak sempat memberi tahu. Sekarang ketahuilah bahwa biarpun pada waktu itu aku tidak berdaya karena terluka, namun aku masih berhasil mendatangkan cacad kepada si laknat terkutuk. Aku telah berhasil menggigit sampai putus sebagian daripada kelingking tangan kirinya."
Ia meraba-raba ke dalam kembennya, mengeluarkan sebuah benda kecil dan melemparkannya kepada Pujo yang masih berlutut di atas tanah."Inilah dia kelingking itu. Musuh kita sekarang tidak mempunyai jari kelingking pada tangan kirinya! Dan kulihat Wisangjiwo tadi masih lengkap jari tangannya, oleh karena itu tanpa ragu kukatakan bahwa bukan dia si jahanam malam itu! Nah, kakangmas, aku girang melihat engkau masih hidup dan selamat serta sehat. Biarlah kita berpisah sekarang dan baru kita mungkin berkumpul lagi kalau sudah berhasil aku melihat musuh kita menggeletak tanpa nyawa di depan kakiku. Selamat tinggal, kangmas...!"
Kartikosari memandang suaminya penuh kasih sayang yang mesra untuk beberapa lamanya, kemudian ia membalikkan diri sambil terisak dan lari dengan cepat sekali meninggalkan Pujo.
Pujo hanya membisikkan nama isterinya, mukanya pucat dan matanya tertuju kepada benda kecil di depannya, sepotong jari kelingking yang sudah kering. Pikirannya berputar-putar membuatnya nanar dan pening. Terang bukan Wisangjiwo kalau begitu. Akan tetapi mengapa? Bagaimana? Siapa gerangan? Dan dia sudah membalas kepada keluarga Wisangjiwo! Dia sudah menculik Joko Wandiro. Ah, dia sudah bertindak terlalu jauh. Jadi Wisangjiwo tidak berdosa? Siapakah dia yang melakukan perbuatan biadab di malam jahanam itu. Orang tanpa kelingking kiri? Tiba-tiba Pujo meloncat berdiri, serasa pernah ia melihat orang yang tak berkelingking kiri. Akan tetapi lupa lagi ia di mana, dan lupa pula bilamana dan siapa. Ia membungkuk, mengambil benda mengerikan itu lalu menyimpannya dalam saku.
Ketika ia memandang ke depan, bayangan Kartikosari telah lenyap. Betapapun juga, agak terhibur hatinya bahwa isterinya masih hidup, isterinya masih cantik jelita dan ia tahu dari pandang mata isterinya bahwa Kartikosari masih mencintanya, bahwa isterinya itu menanti sampai musuh besar mereka itu terbalas, baru suka kembali kepadanya. Wajah Pujo mulai tampak berseri, tidak seperti biasanya muram-suram. Kini ada titik api menerangi wajahnya, titik api harapan yang membuat hidupnya berarti. Dengan girang ia lalu berlutut dan menelungkup di atas tanah di tempat Kartikosari tadi berdiri. Dibelai-belainya rumput hijau yang masih rebah terinjak kaki isterinya, diciuminya rumput itu penuh rindu sambil berbisik-bisik,
"Sari... Sari"
Pujo sama sekali tidak pernah mimpi bahwa tak jauh dari situ, di tengah hutan, Kartikosari juga menangis sambil memeluk batang pohon. Kartikosari menciumi tangannya yang tadi terpegang Pujo sambil berbisik,
"Kakangmas Pujo kasihan kau... begitu kurus dan pucat... tapi cinta kasihmu belum bersih daripada cemburu, kangmas... sehingga tak berani aku bercerita tentang Endang... hu-hu-hukk... kangmas, bilakah kita dapat berkumpul kembali..?"
Sampai lama wanita ini menangis, memeluki batang pohon dan bersambat menyebut-nyebut nama suaminya, kemudian baru ia pergi dengan cepat sekali. Hatinya pepat karena kini musuh besarnya menjadi teka-teki setelah ternyata bahwa Wisangjiwo tidak buntung kelingkingnya. Ia menduga-duga akan tetapi tetap saja tidak dapat menerka siapa gerangan laki-laki yang telah melakukan perbuatan biadab atas dirinya di malam jahanam dalam guha sepuluh tahun yang lalu itu.
Kenyataan bahwa kakek tua renta yang rambut dan cambangnya sudah putih semua itu memondong mereka dengan sikap hati-hati, yang wajahnya membayangkan keramahan dan larinya secepat terbang, membuat Joko Wandiro dan Endang Patibroto akhirnya tidak meronta-ronta lagi dan mandah saja dibawa lari. Baik Endang Patibroto maupun Joko Wandiro adalah anak-anak yang cerdik dan mereka dapat menduga bahwa kakek ini tentulah bukan orang yang mempunyai niat buruk terhadap mereka. Joko Wandiro pernah mendapat pesan ayahnya bahwa kelak kalau ayahnya meninggalkannya, dia akan disuruh tinggal bersama seorang resi yang sakti mandraguna, yaitu kakek gurunya sendiri yang kata ayahnya bernama Resi Bhargowo dan tinggal di tepi Laut Selatan sebelah barat. Kalau kakek gurunya itu seperti kakek ini saktinya, alangkah senang hatinya.
"Kek, kami akan kau bawa ke mana, kek?"
Akhirnya Joko Wandiro tak dapat menahan lagi hatinya dan bertanya. Kakek itu tertawa tanpa memperlambat larinya.
"Kubawa ke tempat tinggalku."
"Tetapi ayah akan mencari-cariku, kek! Diakan kebingungan tidak tahu ke mana aku kau bawa pergi,"
Kata pula Jo ko Wandiro.
"Heh-heh-heh, biarlah, kelak juga kau akan bertemu kembali dengan ayahmu."
Kakek itu lari makin cepat lagi sehingga suara angin bertiup keras di telinga kedua orang anak itu.
"Kakek, kalau ibuku tahu kau menculikku, tentu kau akan dibunuh!"
Tiba-tiba Endang Patibroto berkata, suaranya nyaring, penuh ancaman.
"Ha-ha-ha, ibumu takkan berani membunuh aku, angger!"
Endang Patibroto mengerutkan keningnya. Ia seorang anak yang keras hati dan tidak mau kalah. Ia menganggap ibunya seorang yang paling sakti di dunia ini, masa tidak berani menghadapi kakek ini? Karena ibunya kalah tua barangkali?
"Kalau ibu tidak berani, aku juga punya kakek yang sakti, kau tentu akan dicekik!"
Katanya mendongkol. Namun kakek itu malah makin keras tertawa dan tidak menjawab. Sementara itu, diam-diam Joko Wandiro memperhatikan gerak kaki kakek yang menggendongnya dan ia amatlah kagum. Kedua kaki kakek itu benar-benar seperti tidak menyentuh bumi, tidak ada suaranya namun amatlah cepat larinya, dan amat tinggi loncatannya.
"Kek, kau hebat sekali. Akan tetapi belum tentu kakek akan dapat menangkan kakekku!"
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Joko Wandiro.
"Kakek guruku amat sakti."
"Kakek gurumu? Siapa dia?"
"Kakek guruku adalah guru ayahku bernama Resi Bhargowo!"
"Wah, bohong! kau tidak tahu malu!"
Tiba-tiba Endang Patibroto berteriak marah.
"Eh, eh, mengapa kau marah-marah dan memaki orang?"
Joko Wandiro menegur.
"Kau tak tahu malu! Resi Bhargowo adalah kakekku! Ayah ibuku adalah murid Resi Bhargowo yang tinggal di Bayuwismo. Bagaimana kau berani mengaku-aku sebagai kakek gurumu? Cih, tak bermalu!"
"Kau yang tak tahu malu. Ayahku adalah murid terkasih Resi Bhargowo!"
"Bohong!"
"Kau yang bohong!"
"Kek, turunkan aku. Biar kuhajar mulutnya yang lancang!"
Endang Patibroto marah-marah.
"Boleh kau coba!"
Tantang Joko Wandiro. Kakek itu tertawa, akan tetapi keningnya berkerut dan ia menggeleng-geleng kepalanya. Ia berhenti berlari, menurunkan Endang Patibroto dan memegang muka yang ayu itu dalam kedua tangannya, memandangi penuh perhatian, kemudian berkata,
"Kau memang anaknya, tak salah lagi. Cah ayu, kau adalah cucuku. Ibumu, Kartikosari, adalah puteri tunggalku."
Endang Patibroto yang sedang marah kepada Joko Wandiro itu kini terbelalak memandang kakek itu. Wajah kakek yang menyeramkan dan menimbulkan rasa takut inikah kakeknya?
"Siapakah engkau, kek?"
"Aku Bhagawan Rukmoseto, cucuku."
"Ah, kalau begitu kau tak mungkin kakekku! Kakekku bernama Resi Bhargowo!"
"Ha-ha-ha, memang sepuluh tahun yang lalu namaku Resi Bhargowo, akan tetapi sekarang julukanku Bhagawan Rukmoseto. Lihatlah, rambutku sudah putih semua. Cucuku yang manis, namamu siapakah?"
"Namaku Endang Patibroto."
Diam-diam kakek itu terkejut. Mengapa Kartikosari menamakan puterinya demikian? Rahasia apakah yang telah terjadi sehingga puterinya itu berpisah dari suaminya? Kemudian ia berpaling kepada Joko Wandiro dan memandang tajam. Bocah inipun sejak tadi mendengarkan dengan mata terbelalak. Tiada hentinya ia memperhatikan kakek ini dan menjadi ragu-ragu. Jadi kakek inikah guru ayahnya? Melihat Joko Wandiro, Bhagawan Rukmoseto juga kagum. Anak ini bukan anak sembarangan dan sudah sepatutnya kalau menjadi cucu muridnya pula. Akan tetapi mengapa anak ini mengaku sebagai putera Pujo? Sering ia melihat dari jauh betapa seperti Endang Patibroto dilatih Kartikosari, anak laki-laki ini digembleng oleh Pujo secara hebat.
"Anak baik, sekarang tiba giliranmu. kau anak siapa?"
"Ayahku Pujo dan menurut ayah guru ayah bernama Resi Bhargowo"
Ia meragu. Bhagawan Rukmoseto tersenyum.
"Memang tidak keliru. Ayahmu itu muridku, angger. Akulah kakek gurumu."
Mendengar ini, serta-merta joko Wandiro menjatuhkan diri berlutut dan menyembah. Makin girang hati kakek itu dan ia mengelus-elus kepala Joko Wandiro.
"Siapakah namamu, nak?"
"Namaku Joko Wandiro, eyang."
"Ayahmu bernama Pujo. Dan ibumu? Siapakah ibumu?"
Joko Wandiro hanya menggeleng kepala.
"Tidak tahu, eyang. Ayah tidak pernah menceritakan tentang ibu,"
Si kakek mengelus-elus jenggotnya lalu berpaling kepada Endang Patibroto.
"Dan kau, angger. Siapakah nama ayahmu?"
Gadis cilik itu menggeleng kepala keras-keras.
"Tidak tahu!"
Berkerut kening yang sudah putih itu.
"Ah, cucu-cucuku, mari kita lanjutkan perjalanan. Kalian ikut bersamaku mempelajari ilmu. Dunia sedang kacau-balau, permusuhan terjadi di mana-mana, perebutan kekuasaan membuat orang saling bunuh, iblis dan setan merajalela, lebih baik kalian belajar ilmu bersama kakek di tempat sunyi. Hayo!"
Tanpa menanti jawaban kedua orang anak itu, Bhagawan Rukmoseto sudah menyambar tubuh mereka lagi dan di lain saat ia sudah berlari secepat terbang meninggalkan tempat itu, menuju ke timur. Bhagawan Rukmoseto tinggal di Pulau Sempu yang sunyi. Untuk menyeberang ke pulau kosong itu ia menggunakan sebuah perahu yang disembunyikannya di dalam semak-semak di tepi Laut Selatan. Baik Joko Wandiro maupun Endang Patibroto tadinya merasa tidak senang karena merasa dipaksa dan diculik oleh orang tua yang mengaku menjadi kakek mereka itu, akan tetapi setelah kakek itu memastikan bahwa ayah Joko Wandiro dan ibu Endang Patibroto kelak pasti akan datang ke situ, mereka berdua merasa terhibur.
Hanya anehnya, di antara kedua orang anak itu seakan-akan terdapat rasa saling iri, seakan-akan mereka bersaing dan tidak mau saling mengalah sehingga diam-diam kakek pertapa itu merasa prihatin sekali, juga terheran-heran. Apalagi ketika ia mencoba tingkat mereka, ia mendapat kenyataan bahwa tingkat mereka itu tidak banyak selisihnya dan memang tidak salah lagi, ilmu yang mereka pelajari adalah ilmu daripadanya, yaitu Bayu Tantra dan pukulan Gelap Musti. Maka mulailah ia menggembleng keduanya dengan ilmu-ilmu yang tinggi, karena kakek yang waspada ini maklum bahwa kedua orang cucunya ini akan hidup dalam jaman yang kacau dan penuh dengan perang. Juga dalam mempelajari ilmu yang diturunkan kakek itu, kedua orang anak ini selalu berlomba dan bersaing.
Namun sifat ini sesungguhnya malah membuat mereka cepat sekali maju. Sifat tidak mau kalah dan ingin mengatasi yang lain inilah justeru membuat mereka tekun sekali berlatih dan kemajuan yang mereka peroleh luar biasa sekali. Kurang lebih setahun kemudian semenjak mere katinggal bersama Bhagawan Rukmoseto, pada suatu senja kakek itu tampak datang mendayung perahu ke pulau itu dengan wajah penuh kerut-merut dan sinar mata sayu. Begitu ia melompat ke atas pulau, ia segera memanggil kedua orang cucunya dan masuklah mereka bertiga ke dalam pondok kecil yang menjadi tempat tinggal mereka. Dua orang anak itu bersila, bersujut di depan kakek ini dengan hati berdebar. Melihat wajah yang biasanya berseri dan ramah itu kini kelihatan marah dan gelisah, dua orang anak ini dapat menduga pasti telah terjadi hal yang hebat.
"Cucu-cucuku, aku telah bertemu dengan orang tua kalian dan mereka telah kuberi tahu bahwa kalian berada bersamaku."
Endang Patibroto bersorak girang.
"Eyang, kenapa ibu tidak diajak ke sini?"
"Sstttt...!"
Joko Wandiro mencela. Gadis cilik itu menjebi kepadanya dan mengernyitkan hidung mengejek. Sejenak keduanya saling melotot. Bhagawan Rukmoseto menarik napas panjang.
"Cucu-cucuku, kalian ini biarpun bukan saudara sekandung, akan tetapi terhitung saudara seperguruan. Mengapa tidak bisa akur dan selalu bercekcok saja?"
"Dia yang selalu mulai dulu, eyang,"
Kata Joko Wandiro.
"Ah, tidak, eyang. Dia itu anak laki-laki tidak pernah mau mengalah."
"Aaahhh!"
"Aahhhhh!"
Kembali keduanya saling pandang melotot. Bhagawan Rukmoseto tersenyum.
Kakek ini memang telah menjumpai Pujo dan juga telah menjumpai puterinya. Mereka telah mengaku terus terang apa yang terjadi sepuluh tahun yang lalu, maka ia tahu bahwa Joko Wandiro sesungguhnya adalah putera Wisangjiwo, sedangkan Endang Patibroto puteri Pujo dan Kartikosari. Akan tetapi bukan hal ini yang membuat kakek itu pulang dengan wajah keruh. Melainkan apa yang ia lihat dan dengar tentang keadaan di Kerajaan Kahuripan. Permusuhan menjadi-jadi di antara Pangeran Tua dan Pangeran Muda. Kini permusuhan dan persaingan terjadi secara terang-terangan, tidak sembunyi-sembunyi lagi seperti dulu. Bentrokan antara jagoan-jagoan mereka setiap hari terjadi. Para ponggawa terpecah dua, memihak pilihan masing-masing. Juga para adipati di luar Kerajaan mulai terpecah-pecah bahkan sudah mulai saling serang sendiri.
Perang saudara yang hebat sudah membayang, takkan mungkin dapat dicegah lagi. Bunuh-membunuh mulai terjadi. Kedua pihak saling menarik bala bantuan, orang-orang sakti dan para pertapa yang biasanya bersembunyi di gunung-gunung dan pekerjaannya hanya mengejar ilmu kebatinan dan bertapa memujikan selamat dan sejahtera bagi dunia dan isinya, kini mulai turun gunung, keluar dari tempat sembunyi masing-masing untuk ikut berlomba memperebutkan kedudukan Kebajikan menyuram, kekuasaan iblis dan setan menonjol. Dan kini, di depan matanya sendiri, dua orang anak kecil yang masih bersih pikiran dan hatinya, agaknya tidak terluput pula dari pengaruh hawa jahat yang merajalela menguasai dunia. Ia lalu menggerakkan tangannya, merangkul kedua orang anak itu di kanan kiri.
"Endang Patibroto, kau adalah cucuku. Ibumu itu puteri tunggalku. Oleh karena itu engkau harus taat kepadaku. Dan kau, Joko Wandiro, biarpun bukan keluarga, namun sama saja. kau cucu muridku dan akupun sayang kepadamu. Kalian ini ada hubungan keluarga seperguruan, oleh karena itu sama sekali tidak boleh bermusuhan. Kelak kalian harus bantu-membantu tidak boleh berselisih dan bermusuhan. Ketahuilah, dunia sedang kacau dan tenaga kalian kelak amatlah dibutuhkan untuk membantu para dewata memulihkan ketentraman. Kini orang-orang jahat yang memiliki kesaktian luar biasa sedang merajalela, oleh karena itu kalian harus tekun belajar di sini. Marilah, cucu-cucuku, mari ikut denganku. Ada semacam rahasia yang harus sekarang juga kuberitahukan kalian sebelum terlambat. Mari kalian ikut denganku."
Keluarlah mereka bertiga dari dalam pondok. Hari telah senja dan matahari telah bersembunyi di langit barat, hanya tinggal cahaya layung (merah kekuningan) yang masih menerangi sebagian permukaan bumi bagian barat.
Bhagawan Rukmoseto menggandeng tangan Endang Patibroto di kiri sedangkan Joko Wandiro berada di kanannya. Mereka berjalan perlahan menuju ke barat, menuju ke sinar layung kemerahan, mendekati pantai pulau sebelah barat yang ditumbuhi pandan. Setelah mereka tiba dekat pandan yang memenuhi tempat itu, terdengar suara keras dan burung-burung camar yang menjadikan tempat itu sebagai sarang, beterbangan sambil mengeluarkan suara hiruk-pikuk, agaknya marah karena tempat mereka terganggu. Akan tetapi Bhagawan Rukmoseto terus mengajak mereka menyelinap di antara pandan-pandan yang tebal dan akhirnya mereka tiba di depan sebuah guha kecil yang tersembunyi di antara pandan.
"Cucu-cucuku, di tempat ini tersimpan sebuah benda yang pada saat sekarang ini dijadikan perebutan semua manusia di dunia. Kalau ada yang tahu bahwa benda ini berada di sini, hemmm... agaknya nyawa kita akan terancam bahaya maut."
"Ihhh, benda apakah itu, eyang?"
"Benda apakah eyang dan mengapa eyang menyimpannya di sini?"
Tanya pula Joko Wandiro. Kakek itu menarik kedua orang cucunya duduk di atas batu depan guha, lalu bercerita.
"Dengarlah baik-baik, cucuku. Hanya kepada kalianlah aku mempercayakan benda ini, dan hanya kepada kalianlah aku mempertaruhkan kepercayaanku. Ketahuilah, Kerajaan Mataram yang kemudian disebut Kerajaan Medang dan kini disebut Kahuripan, memiliki sebuah pusaka yang menjadi lambang kejayaan Kerajaan. Apabila pusaka itu lenyap dari Kerajaan, hal itu berarti bahwa Kerajaan akan. menyuram, berarti akan terjadi perang dan perebutan kekuasaan. Dahulu beberapa kali pusaka itu lenyap dan akibatnya memang hebat. Belum lama ini, pusaka itu lenyap pula tercuri oleh orang jahat, dan inilah sebabnya mengapa kini Kerajaan Kahuripan mulai menyuram dan mulailah terjadi perebutan kekuasaan antara Pangeran Tua dan Pangeran Muda. Tidak itu saja, malah orang-orang cerdik pandai mulai berlomba untuk mencari dan memperebutkan benda keramat itu, oleh karena sesungguhnya benda itu luar biasa sekali, siapa yang memilikinya menjadi seorang yang paling sakti dan mempunyai wahyu mahkota, berhak menjadi Raja! Secara kebetulan sekali, pusaka itu terjatuh ke dalam tanganku, ketika dibawa lari penjahat dan kusimpan di sini."
"Aiihhhh...!"
"Hebat...!"
"Hemm, mengapa kalian ribut-ribut?"
Kakek itu memandang tajam.
"Oh, tidak, eyang. Hanya... kalau begitu tentu eyang berhak menjadi Raja?"
Kata Endang Patibroto. Kakek itu tertawa.
"Tidak, cucuku. Aku seorang yang masih setia kepada sang prabu di Kahuripan. Sang prabu sendiri mengundurkan diri tidak suka lagi menjadi Raja dan kini menjadi pertapa, masa aku seorang pendeta ingin menjadi Raja? Tidak. Hanya aku merasa prihatin menyaksikan keadaan perebutan kekuasaan itu. Kalau mereka itu tahu bahwa pusaka berada di sini, sudah pasti mereka akan memperebutkannya dan keadaan akan menjadi lebih geger lagi. Aku sudah tua, aku tidak ingin menduduki kemuliaan, bahkan tidak ingin aku terseret ke dalam urusan-urusan Kerajaan. Akan tetapi kalian adalah orang-orang muda yang harus mengisi hidup kalian dengan darma sebagai keturunan satria dan pertapa. Oleh karena itulah, kalian akan kugembleng di pulau ini dan pusaka itu kuserahkan kepada kalian. Kelak harus kalian yang mengembalikan pusaka itu ke Kerajaan, akan tetapi harus kalian kembalikan kepada seorang Raja yang benar-benar bijaksana, karena sekali pusaka itu terjatuh ke dalam tangan Raja lalim, rakyat tentu akan celakalah."
Joko Wandiro adalah seorang yang cerdik.
"Eyang, mengapa eyang mengajak aku dan Endang sekarang ke tempat ini? Kami berdua masih kecil, bagaimana mampu melindungi pusaka itu? Ataukah, eyang mengajak kami hanya agar mengetahui tempatnya saja?"
Bhagawan Rukmoseto mengelus kepala Joko Wandiro.
"Kau benar. Bukan hanya untuk mengetahui tempatnya, melainkan akan kuberikan sekarang juga."
"Sekarang...??"
Endang Patibroto bersorak, girang dan kaget. Bhagawan Rukmoseto mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya.
"Orang-orang di dunia hitam sudah mulai tahu akan tempat persembunyianku ini dan mulai curiga. Tak lama lagi tentu mereka akan mencari ke sini dan akan memaksaku mengaku. Oleh karena itu, biarlah pusaka itu kuberikan kepada kalian berdua karena mereka tentu tidak akan mengira bahwa pusaka yang sepenting itu kuberikan kepada dua orang anak kecil. Aku hanya bertindak menurutkan naluri dan agaknya Dewata yang memberi petunjuk kepadaku, cuku-cucuku."
Kakek itu lalu merangkak memasuki guha kecil itu dan tak lama kemudian ia sudah keluar lagi membawa sebuah bungkusan kain kuning. Dua orang anak itu duduk bersila dan memandang dengan mata terbelalak. Apalagi ketika kakek itu membuka bungkusan kain kuning, Endang Patibroto berseru girang.
"Golek kencono (boneka emas)!! Aduhhh bagusnya! Eyang, berikan aku saja!"
Bhagawan Rukmoseto tertawa, akan tetapi tiba-tiba ia memandang ke sekelilingnya seperti orang ketakutan.
"Kalian mendengar sesuatu tadi?"
Dua orang anak itu menggeleng kepala. Adapun Joko Wandiro merasa kecewa karena kiranya pusaka itu hanyalah sebuah boneka emas, mainan seorang anak perempuan!
"Pusaka ini macam dua,"
Katanya berbisik,"Karena itu akan kujadikan dua dan seorang menyimpan sebuah. Cucuku Endang, kau boleh memilih. Nah, kau terimalah ini dan kau pilih, yang mana kau suka."
Endang Patibroto menerima patung kencana itu, memutar-mutar dan memeriksa lalu tanpa ia sengaja tangan kanannya kena cabut gagang keris di sebelah bawah. Sinar yang menggiriskan hati berkelebat ketika keris pusaka Brojol Luwuk tercabut.
"Aku pilih ini, eyang...!"
Endang Patibroto berseru girang dan gadis cilik ini melemparkan patung emas yang menjadi warangka itu kearah Joko Wandiro!
Joko menerima dan bibirnya cemberut. Untuk apa sebuah patung emas bagi seorang anak laki-laki? Ia memandang ke arah keris di tangan Endang Patibroto dengan penuh kagum dan ingin. Juga Bhagawan Rukmoseto memandang anak perempuan itu dengan tercengang. Dia terheran-heran mengapa anak itu memegang keris sedemikian cocok, seakan-akan memang keris itu sudah sejak dahulu dikenalnya. Keris itu memang bukan keris besar, hanya keris tanpa ganja seperti sebuah keris biasa, akan tetapi begitu digerakkan sedikit saja keluarlah sinar yang aneh. Ketika kakek itu menoleh ke arah Joko Wandiro, ia melihat anak laki-laki itu memandangi patung. Anak ini dapat membawa diri, pikirnya. Ia tahu bahwa anak ini kecewa mendapat bagian patung, akan tetapi sama sekali tidak diperlihatkan.
"Joko, benda di tanganmu itu bukanlah benda biasa. Itulah benda keramat yang menjadi pujaan sekalian Raja di Mataram dahulu. Sekarang dengarlah kalian baik-baik. Kedua pusaka itu seharusnya menjadi satu. Patung itu merupakan warangka atau tempat pusaka di tangan Endang itu. Dan pusaka itu adalah pusaka Mataram yang menjadi lambang kemakmuran Mataram. Kini Kerajaan sedang kacau balau. Orang-orang jahat memperebutkan kedudukan dan saling berlomba mendapatkan singgasana. Oleh karena itulah belum waktunya pusaka ini kembali ke Mataram. Maka aku sengaja memberikan kepada kalian berdua dengan dipisah, agar tidak mudah kedua-duanya jatuh ke tangan orang jahat. Endang dan kau Joko. Setelah pusaka ini berada di tangan kalian, sekarang juga kalian harus mencari tempat persembunyian, kalian harus sembunyikan pusaka-pusaka itu di tempat yang aman, yang hanya kalian saja yang mengetahui. Dan ingat, biarpun nyawa kalian terancam, jangan sekali-kali kalian beritahukan kepada orang lain tentang pusaka itu. Kalian adalah cucu-cucuku, maka aku mempercayakan pusaka ini kepada kalian. Dapatkah kalian kupercaya?"
"Aku akan melindungi pusaka ini dengan nyawaku, eyang!"
Endang Patibroto berkata sambil mainkan keris itu. Ia cekatan dan lincah sehingga ketika ia menggerakkan kerisnya tampak sinar berkilauan dan terdengar suara seperti halilintar.
Maling Budiman Pedang Perak Karya Kho Ping Hoo Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Suling Naga Karya Kho Ping Hoo