Badai Laut Selatan 13
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Bagian 13
"Saya akan mentaati perintah eyang guru,"
Jawab Joko Wandiro.
"Bagus, kalau begitu sekarang juga kalian lekas pergi menyembunyikan pusaka-pusaka itu. Aku menanti di sini."
Tanpa menanti perintah dua kali karena anak-anak itu memang cerdik dan tahu bahwa pusaka-pusaka di tangan mereka itu amat diingini orang-orang jahat di dunia, Joko Wandiro dan Endang Patibroto berlari pergi, seorang ke barat seorang ke timur. Joko Wandiro tiba di tepi pulau itu yang penuh batu karang dan di situ terdapat banyak guha-guha batu. Akan tetapi guha itu demikian banyaknya dan bentuknya serupa. Bagaimana kalau kelak ia lupa lagi? Pula, tempat seperti ini malah mencurigakan orang. Ia harus menyembunyikan patung kecil itu di tempat yang tidak disangka-sangka orang, pikirnya. Akan tetapi di mana? Tiba-tiba wajahnya yang tampan berseri ketika ia memandang kepada sebatang pohon randu yang besar.
Pulau ini kosong, tidak ditinggali orang. Andaikata ada orang di pulau itu membutuhkan kayu, tak mungkin susah-susah menebang pohon besar ini, pikirnya. Banyak terdapat kayu di sekitar tempat itu, tinggal ambil saja. Pula, kayu randu adalah kayu yang lemah, tidak baik untuk dibuat apapun, kurang kuat. Joko Wandiro lalu mengambil sebuah batu yang tajam runcing dan dengan senjata ini naiklah ia ke atas pohon randu. Di ujung batangnya yang paling atas, ia mulai membuat lubang dengan batu itu, dengan perlahan-lahan dan hati-hati. Karena kayu randu memang tidak keras, akhirnya ia berhasil membuat sebuah lubang cukup besar dan disembunyikannya patung emas itu ke dalam lubang yang segera ia tutup dengan kulit kayu randu yang tadi ia buka.
Tempat yang amat aman dan tak seorangpun manusia akan menyangka bahwa di dalam batang randu itu terdapat sebuah pusaka yang dijadikan rebutan orang sedunia! Girang sekali hati Joko Wandiro. Akan tetapi ketika ia membuang batu tajam itu dan mulai merayap turun, tiba-tiba kakinya terasa sakit bukan main dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika betisnya itu dililit seekor ular hijau sebesar ibu jari kaki yang menggigit tungkaknya. Ia berteriak dan pegangannya pada pohon terlepas, tubuhnya roboh terguling. Ia memegang tubuh ular itu dan merenggutkannya dari kaki, akan tetapi ular yang berwarna hijau itu membelit tangannya dan kini malah menggigit pergelangan tangannya. Seluruh tubuhnya terasa panas dan sakit-sakit,
"Aduh, eyang... celaka"
Ia berlari, dan dalam marahnya karena ular itu tidak dapat ia lepaskan dari lengan, iapun lalu menggigit leher ular hijau itu. Belum jauh ia berlari, tubuhnya sudah terguling roboh dan ia pingsan. Ular itu masih menggigit pergelangan lengannya, akan tetapi ia sendiripun masih menggigit leher ular itu sampai hampir putus! Sambil menggigit Joko Wandiro mengisap dan mengisap terus saking marah dan bencinya sehingga tanpa ia sadari ia telah minum darah ular, darah berikut racun ular yang terasa manis! Sementara itu, Endang Patibroto juga kebingungan ketika ia tiba di pantai timur. Pantai sebelah ini amat indah, penuh rumput dan terdapat beberapa belas batang pohon nyiur yang tinggi-tinggi.
Kemana ia harus menyembunyikan sebatang keris itu? Ditanam dalam tanah? Hanya itulah cara yang ia ketahui. Ia memilih sebatang pohon yang paling besar, kemudian mulailah ia menggali tanah, mempergunakan keris pusaka itu! Agaknya para tokoh sakti di empat penjuru dunia akan meringis kalau melihat betapa pusaka yang mereka impi-impikan itu kini dipakai menggali tanah oleh seorang anak kecil, seakan-akan pusaka itu hanyalah sebatang pisau dapur saja! Mendadak Endang Patibroto terkejut. Hampir saja kepalanya tertimpa kelapa yang berjatuhan dari atas. Ia menengok ke atas dan alangkah kagetnya ketika melihat betapa buah-buah kelapa dari batang itu rontok semua dan daunnya menjadi kering, juga batang kelapa menjadi kering sama sekali. Ia tidak tahu bahwa pohon kelapa itu tidak kuat menerima hawa mujijat keris pusaka yang menggali tanah di bawahnya!
"He, bocah ayu, kau sedang apa di situ?"
Endang Patibroto kaget seperti disengat kalajengking. Ia tersentak dan mencelat berdiri, menyembunyikan keris di belakang tubuhnya sambil memandang. Kiranya, tanpa ia ketahui, ada sebuah perahu mendarat tak jauh dari tempat itu. Sebuah perahu kecil yang ditumpangi dua orang laki-laki yang memandangnya sambil menyeringai menakutkan. Seorang di antara mereka masih muda, mukanya pucat matanya juling. yang ke dua sudah agak tua, akan tetapi mukanya kasar bercambang-bauk dan matanya melotot seperti hendak meloncat keluar dari tempatnya. Endang Patibroto mundur-mundur, tetap menyembunyikan kerisnya di belakang tubuh sambil memandang mereka yang meloncat ke darat.
"Ha-ha-ha, masih kecil sudah cantik jelita. Eh, cah ayu, apakah kau anak peri penjaga pulau kosong ini?"
Kata si muka pucat dengan sikap ceriwis sekali.
"Mari beri pamanmu cium selamat datang, ya?"
"Jangan main-main, siapa tahu dia itu keluarganya. Eh, genduk (sebutan anak perempuan), tahukah kau di mana rumah bapa Resi Bhargowo?"
Endang Patibroto hanya menggeleng dan sepasang matanya yang lebar dan bening itu memandang tak pernah berkedip. Dua orang itu masing-masing membawa golok besar yang diselipkan di pinggang dan sikap mereka itu jelas membayangkan watak yang kasar dan kejam.
"Anak manis, kau tinggal bersama siapa di pulau ini? Mana ibumu? Wah,ibumu tentu masih muda dan cantik heh-heh!"
Si juling berkata, lagi sambil mendekati.
"Adi Wirawa, jangan lupakan tugas kita. Kita di sini menyelidik, bukan bersenang-senang!"
Si cambang-bauk menegur.
"Ah, kakang, bekerja saja tanpa senang-senang, membosankan. Anak ini manis sekali, ibunya tentu cantik. Biar kugendong dia dan kita ajak dia pulang, siapa tahu di rumahnya kita bisa bertemu dengan Resi Bhargowo, ha-haha! Hayo, nduk cah ayu, mari kugendong. Diupah cium, ya?"
Ia mendesak maju. Endang Patibroto masih mundur-mundur dan tangannya disembunyikan di belakang tubuh. Ketika si juling itu menubruk maju sambil tertawa-tawa, tiba-tiba dengan gerakan gesit Endang Patibroto miringkan tubuh, tangan kanannya menyambar ke depan laksana kilat cepatnya.
"Aduhhhh... mati aku...!!"
Si Juling itu terjengkang, menggelepar seperti seekor ayam dipotong lehernya, berkelojotan menggeliat-geliat kemudian tak bergerak lagi, tubuhnya kering dan hangus, mati seketika! Temannya berdiri terbelalak, matanya yang lebar itu makin lebar lagi dan kumisnya yang tebal menggetar-getar. Ia memandang anak perempuan itu dengan heran dan marah. Anak itu paling banyak berusia sepuluh atau sebelas tahun, dengan sebatang keris di tangan, bagaimana dapat membunuh temannya? Dan mengapa temannya itu tidak kelihatan terluka, akan tetapi mati sedemikian mengerikan, bajunya hangus semua, kulitnya juga hangus dan kering? Akan tetapi kemarahannya meluap-luap dan ia sudah mencabut goloknya yang lebar dan besar.
"Bocah keparat! Bocah setan...!"
Ia menerjang dengan goloknya, lupa bahwa yang dihadapinya hanyalah seorang anak perempuan kecil. Namun Endang Patibroto adalah seorang bocah gemblengan yang sejak kecil sudah melatih diri dengan ilmu silat tinggi. Melihat golok itu berkelebat menerjangnya, ia cepat trengginas melompat ke samping sambil menggerakkan tangan kanan menyampok dari kanan.
"Trangggg...!!"
Si brewok menjerit kaget karena goloknya telah patah menjadi empat potong begitu bertemu dengan keris di tangan anak itu dan sebelum ia tahu apa yang terjadi, kedua kakinya sudah lumpuh ketika keris itu mengeluarkan cahaya sehingga ia tidak mampu bergerak lagi. Sepasang mata yang lebar dari si brewok itu terbelalak ketakutan, mulutnya terbuka tanpa dapat mengeluarkan suara, hanya kedua tangannya menolak seolah-olah dengan gerakan itu ia akan dapat melindungi tubuhnya. Akan tetapi benda bercahaya itu tetap saja datang menyentuh dadanya.
"Aauuughhh!"
Hanya keluhan ini yang keluar dari mulutnya karena iapun mengalami nasib seperti si juling, tubuhnya menjadi kering dan hangus, mati seketika!
Sejenak Endang Patibroto berdiri tercengang. Keris pusaka Brojol Luwuk masih berada di tangan kanannya. Sedikitpun tidak ada tanda darah di ujung keris itu. Anak perempuan yang baru berusia sepuluh tahun lebih ini sedikitpun tidak merasa ngeri bahwa tangannya telah membunuh dua orang lagi. Setahun yang lalu, ketika ia dan Joko Wandiro dihadang perampok-perampok, iapun dengan berani telah melukai dan membunuh dua orang perampok. Akan tetapi sekarang lain lagi. Ia melihat betapa ampuh dan hebatnya keris di tangannya dan ia tercengang. Keris itu seakan-akan hidup kalau ia berhadapan dengan musuh, seakan-akan dapat bergerak sendiri dan sedikit menyentuh tubuh lawan saja sudah cukup membuat lawan roboh tewas dalam keadaan mengerikan, yaitu hangus dan kering!
Di dalam hatinya, Endang Patibroto merasa girang bukan main, akan tetapi juga khawatir. Ia girang bahwa setelah setahun menerima gemblengan eyangnya, kini dalam menghadapi dua orang lawan itu gerakannya tidak ragu-ragu dan ia merasa betapa mudah mengalahkan lawan, girang pula bahwa ia telah memiliki keris pusaka yang ampuhnya menggiriskan. Geli hatinya kalau teringat olehnya betapa Joko Wandiro mendapatkan bagian patung kencana. Teringat akan ini, Endang Patibroto tersenyum geli. Biarlah Joko Wandiro mencari setendang dan menggendong golek kencana itu dan bertembang meninabobokkan! Alangkah lucunya! Akan tetapi hatinya khawatir melihat dua orang lawan yang sudah hangus tubuhnya itu.
Eyangnya tentu akan marah bukan main. Kata eyangnya, pusaka itu adalah pusaka keratin Mataram yang ampuh dan terpuja. Kalau eyangnya melihat ia menggunakan pusaka itu untuk membunuh dua orang, tentu eyangnya akan marah. Selain itu, kemana ia dapat menyimpan pusaka keris di tangannya? Pusaka ini luar biasa ampuhnya dan sekarang tahulah ia bahwa saking ampuhnya, pohon nyiur tadi seketika menjadi kering dan mati ketika ia hendak mengubur keris itu di bawah pohon. Ia memandang keris di tangannya itu penuh perhatian. Kalau dilihat sepintas lalu, keris pusaka ini tidaklah amat aneh. Keris biasa saja berlekuk tujuh dan berwarna abu-abu. Akan tetapi karena tahu akan keampuhannya yang sudah terbukti, maka timbul rasa sayang besar sekali dalam hati anak itu dan ia mendekap keris itu di depan dadanya yang mulai membayangkan bagian menonjol.
"Tidak,"
Kata hatinya.
"Keris ini tidak akan kutinggalkan, akan kusimpan bersamaku, kubawa selalu. Aku harus pergi dari sini, kalau eyang marah melihat dua mayat ini kemudian minta kembali keris pusaka, aku rugi! Lebih baik aku pergi dan mencari ibu. Ibu tentu akan bangga melihat keris ini!"
Pikiran ini datang sekonyong-konyong dalam benaknya ketika Endang Patibroto melihat perahu yang ditumpangi dua orang tadi. Kesempatan baik baginya untuk pergi. Tanpa ragu-ragu lagi ia menyembunyikan keris pusaka di balik kembennya, kemudian lari menghampiri perahu dan mendorongnya ke tengah melawan ombak. Semenjak kecil sudah biasa dia bersama ibunya bermain-main dengan ombak laut yang jauh lebih besar daripada ombak di pantai pulau ini, dan bermain perahu tentu saja merupakan permainan sehari-hari baginya. Setelah berhasil melalui buih ombak yang memecah di pantai, perahunya mulai melaju ke tengah samudera dalam penyeberangan menuju ke daratan!
"Kakangmas Pujo...!"
Pujo yang sedang duduk termenung di depan pondoknya, terkejut. Pikirannya sedang sibuk, hatinya gelisah. Pertemuannya dengan Kartikosari beberapa hari yang lalu mendatangkan bermacam perasaan kepadanya. Rasa cinta, sesal, duka, dan kecewa, namun ada juga harapan yang membuatnya gembira. Isterinya masih hidup, masih mencintanya. Hal ini mudah saja ia duga, karena bukankah cinta kasih itu terpancar jelas dari pandang matanya? Namun kegembiraan dan harapan untuk kelak dapat bersatu dengan isterinya terganggu bermacam-macam kenyataan.
Musuh besar mereka, si laknat yang melakukan perbuatan terkutuk terhadap isterinya di malam jahanam di Guha Siluman itu, belum terbalas. Bahkan mengetahuinya siapapun belum! Bukan Wisangjiwo Inilah yang membikin hatinya risau dan gelisah. Kalau bukan Wisangjiwo, berarti dosa putera adipati itu tidaklah sebesar yang disangka sebelumnya. Dan dia sudah membalas dengan hebat! Sudah menculik puteranya, dan membuat isterinya gila Diam-diam rasa sesal menyusupi perasaan hati Pujo. Semua ini ditambah lagi dengan kenyataan bahwa sudah sepekan ini Joko Wandiro yang ia suruh mencari kuda di dusun belum juga datang! Ia merasa gelisah dan mengambil keputusan untuk menyusul dan mencarinya kalau hari ini belum juga pulang anak itu.
Anak Wisaigjiwo yang diculiknya, akan tetapi anak yang ia sayang sebagai murid, bahkan seperti telah menjadi puteranya sendiri. Suara wanita memanggilnya itu benar-benar mengejutkannya, akan tetapi juga sejenak wajahnya berseri karena timbul harapannya bahwa Kartikosari akhirnya datang kepadanya! Akan tetapi setelah menengok, ia cepat bangkit berdiri dengan wajah terheran-heran. Wanita memang yang memanggilnya tadi, seorang wanita yang cantik manis, akan tetapi sama sekali bukanlah isterinya. Bukan Kartikosari! Usianya memang sebaya, mungkin hanya dua tiga tahun lebih muda daripada Kartikosari. Wajahnya manis, pandang matanya tajam, tubuhnya ramping padat, akan tetapi pada saat itu air mata turun mengalir di sepanjang kedua pipinya.
"Anda siapakah...?"
Akhirnya Pujo dapat bertanya sambil melangkah maju. Wanita itu terisak, mengusap air mata dengan tangan kirinya. Akan tetapi hanya sebentar karena ia sudah dapat menguasai perasaannya kembali. Air matanya tidak mengucur lagi ketika ia mengangkat mukanya yang menjadi kemerahan dan menatap wajah Pujo dengan pandang mata tajam.
"Kakangmas Pujo, sepuluh tahun lamanya aku mencari-carimu. Setelah kini bertemu engkau tidak mengenalku lagi! Alangkah pahitnya kenyataan ini! Kakangmas Pujo, kelirukah penilaianku dalam hati tentang dirimu? Bukankah engkau seorang laki-laki jantan yang tidak akan mengingkari semua perbuatanmu, seorang satria yang berani mempertanggung jawabkan perbuatannya? Kakangmas, lupakah kau kepadaku, kepada... Roro Luhito...?"
Ia terisak lagi dan beberapa butir air mata bertitik ke atas pipi. Pujo teringat. Pantas saja tadi serasa pernah ia melihat wanita ini! Akan tetapi mengapa seperti itu sikapnya dan seperti itu pula bicaranya? Pujo mengerutkan kening dan menduga-duga akan tetapi tetap tidak dapat mengerti. Ia mengangguk dan berkata,
"Ah, teringat aku sekarang. Engkau Roro Luhito puteri sang adipati di Selopenangkep yang dulu ikut pula mengepungku, bukan? Akan tetapi apa artinya semua ucapanmu tadi?"
Seketika berhenti tangis wanita itu. Kedua matanya yang masih berkaca-kaca (membasah) itu terbelalak memandang. Mata yang indah dan bening. Mulut yang mungil itu bergerak-gerak ketika giginya menggigit-gigit bibir bawah. Bibir yang berkulit tipis, merah dan penuh. Kedua tangan diangkat ke pinggang, mengepal dan jarinya meremas remas. Jari-jari kecil meruncing.
(Lanjut ke Jilid 13)
Badai Laut Selatan (Seri ke 03 "
Serial Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 13
"Kau... kau pura-pura tidak tahu...? Pura-pura lupa? Serendah inikah budimu? Benarkah engkau begini... begini... pengecut??"
Pujo menjadi makin heran, akan tetapi lapun merasa tak senang disebut pengecut dan rendah budi.
"Roro Luhito! Hati-hatilah engkau dengan kata-katamu! Aku tidak akan mengingkari semua perbuatanku dan aku sama sekali bukanlah seorang pengecut yang rendah budi. Memang benar, sepuluh tahun yang lalu aku telah menyerbu gedung ayahmu, melukai ayahmu dan membunuh beberapa orang pengawal. Kemudian aku telah menculik isteri dan putera kakakmu! Tidak kusangkal bahwa aku kemudian telah meninggalkan isteri kakakmu di Guha Siluman dan membawa lari putera kakakmu! Nah, aku tidak menyangkal semua perbuatanku. Habis, kau mau apa? Hendak membalas dendam?"
Akan tetapi pengakuan Pujo ini sama sekali tidak memuaskan hati Roro Luhito, bahkan membuat ia makin marah. Hampir berteriak ia ketika berkata,
"Bagus! Hanya itukah yang kau lakukan? Mengapa engkau tidak menyebut-nyebut perbuatan yang kau lakukan terhadap aku?"
"Perbuatan yang kulakukan terhadapmu?"
Pujo mengingat-ingat, lalu tertawa."Ahh, ketika engkau ikut mengeroyokku? Dan kau terguling roboh? Hanya untuk perbuatan itu saja engkau mencari-cariku sampai sepuluh tahun?"
Pujo makin terheran-heran, apalagi ketika teringat betapa sikap wanita ini tadi amat mesra memanggilnya, sama sekali bukan sikap seorang yang hendak menuntut balas atas kekalahannya dahulu. Kini pandang mata Roro Luhito seperti mengeluarkan api saking marahnya.
"Pujo! Engkau tidak mengaku tentang perbuatanmu dalam... dalam... bilikku...?"
Pujo tertegun. Wanita ini tidak main-main agaknya. Akan tetapi, ia tak pernah merasa melakukan sesuatu dalam biliknya! Ia mengingat-ingat keras akan tetapi tidak menemui jawaban. Gilakah wanita ini? Sayang kalau gila, wanita begini manis. Ia menggeleng kepala.
"Aku tidak... penah memasuki bilikmu"
"Keparat! Kalau kau menyangkal, berarti kau harus mampus di tanganku!"
Roro Luhito mengeluarkan pekik menyeramkan, seperti bukan pekik seorang manusia, lebih mirip pekik seekor monyet betina. Akan tetapi terjangannya hebat sekali, tubuhnya sudah menyerbu ke depan, kedua tangan mencengkeram, kedua kaki menendang, cepat dan dahsyat seperti topan mengamuk!
"Haaaiiittt!!"
Pujo terkejut sekali dan mengeluarkan teriakan ini sambil cepat mengelak dan menggunakan tangannya menangkis.
Alangkah kagetnya ketika lengannya bertemu dengan tangan Roro Luhito, ia merasa hawa panas menyambar dari tangan itu. Serangan wanita ini tak boleh dipandang ringan. Di lain fihak Roro Luhito juga terkejut karena tubuhnya terpental ke belakang ketika lengannya ditangkis. Memang Roro Luhito yang sekarang berbeda dengan puteri Adipati Selopenangkep sepuluh tahun yang lalu. Ia telah digembleng oleh gurunya, Resi Telomoyo dan menerima banyak ilmu. Bukan sembarang ilmu. Aji Sosro Satwo (Seribu Binatang) dan Kapi Dibyo membuat ia menjadi kuat dan tangkas, memiliki tenaga mujijat yang timbul dari hawa sakti di dalam tubuh yang sudah dapat dihimpunnya. Namun, menghadapi Pujo ia kalah latihan dan kalah tenaga. Melihat dengan gerakan yang amat sigap dan cepat wanita itu sudah hendak menerjangnya lagi, Pujo cepat mengangkat tangan dan berkata,
"E-ehh... setop! Setop dulu!"
"Mau bicara apa lagi?"
Roro Luhito membentak marah, akan tetapi sepasang matanya yang bening berair.
"Roro Luhito, sikapmu membuat orang penasaran dan tidak mengerti. Kalau kau marah dan hendak membalasku karena perbuatanku seperti yang telah kuceritakan tadi, yaitu menculik keponakanmu, melukai ayahmu, mengalahkan kau dan membunuh beberapa orang pengawal ketika aku menyerbu Selopenangkep, aku dapat menerimanya dan tidak akan menjadi penasaran. Akan tetapi, kau menuduhku melakukan sesuatu terhadapmu di dalam bilikmu! Nanti dulu!"
Pujo menghindar dari sebuah serangan kilat."Dengarkan dulu! Sungguh mati aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan! Perbuatan apakah itu?"
Tentu saja amat sukar bagi seorang gadis seperti Roro Luhito untuk menceritakan peristiwa sepuluh tahun yang lalu, pada malam hari di dalam biliknya yang gelap Ia menganggap bahwa Pujo ini berpura-pura saja, atau agaknya sengaja hendak membikin dia malu dan hendak memaksa dia yang mengadakan pengakuan. Hal ini membuat kemarahannya meluap-luap dan ia segera menerjang setelah membentak,
"Boleh saja kau pura-pura tidak tahu! Akan tetapi engkau atau aku harus mati untuk menebus peristiwa jahanam itu!"
Kembali tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk banyak bicara, Roro Luhito sudah menerjang lagi dengan gerakan yang amat cepat, secepat monyet melompat, dan bukan hanya tangan kirinya yang mencengkeram ke arah muka lawan mengarah kedua mata,
Akan tetapi juga tangan kanannya yang sudah mencabut cundrik itu menghantam ke arah dada dengan tusukan kilat. Bukan main hebatnya serangan ini, dilakukan selagi tubuhnya masih mencelat di atas udara! Pujo benar-benar kaget. Sepuluh tahun yang lalu pernah ia menghadapi gadis ini ketika ia dikeroyok di Kadipaten Selopenangkep, akan tetapi tidaklah sehebat ini gerakan gadis itu. Gerakannya sekarang selain tangkas dan kuat, juga amat aneh, sepertj gerakan seekor binatang buas. Dalam keheranannya, Pujo berlaku hati-hati. Cepat ia menggerakkan tubuh miring ke kanan untuk menghindarkan diri daripada cengkeraman tangan lawan. Adapun tusukan cundrik itu terpaksa ia tangkis dengan tamparan jari-jari yang menggunakan Aji Pethit Nogo.
"Plakk!"
"Aduh...!"
Cundrik itu terlepas dari tangan Roro Luhito yang merasa betapa tangan kanannya seakan-akan remuk semua tulangnya dan menjadi lumpuh. Ia terguling roboh ke atas pasir, akan tetapi cepat sekali ia sudah meloncat dan tiba-tiba tangan kirinya menyambar. Pujo berusaha mengelak akan tetapi karena serangan wanita yang sudah ia robohkan itu benar-benar sama sekali tidak pernah diduganya, sebagian dari pasir yang disebarkan oleh Roro Luhito itu mengenai matanya.
Pujo mengeluh, kedua matanya pedas dipejamkan dan ia terhuyung ke belakang. Roro Luhito tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan kakinya menendang, tepat mengenai dada Pujo yang terjengkang ke belakang dan jatuh terbanting ke atas pasir. Roro Luhito yang sudah meluap kemarahannya itu menubruk, dengan maksud menghabiskan nyawa lawannya dengan pukulan-pukulan maut. Tentu saja Pujo juga maklum akan bahaya ini, biarpun kedua matanya untuk sementara tak dapat ia buka, namun telinganya dapat menangkap sambaran tubuh dan tangan Roro Luhito yang menubruknya. Ia menggulingkan tubuh ke kiri sehingga tubrukan Roro Luhito mengenai tempat kosong dan Pujo yang tahu bahaya ini dengan mata masih terpejam cepat meringkusnya dan memegang kedua tangannya.
"Lepaskan! Setan keparat... lepaskan...!"
Roro Luhito menjerit-jerit dan bergumullah kedua orang itu di atas pasir yang halus. Karena kemarahannya Roro Luhito menjadi ganas dan buas dan dalam usahanya membebaskan kedua pergelangan tangannya yang terpegang erat-erat oleh tangan Pujo, ia meronta-ronta, bahkan lalu menggigit! Karena Pujo masih meram dan mereka bergumul tak teratur dalam ilmu perkelahian lagi, maka pipi kiri Pujo tergigit.
"Aduhhhhh!! Adu-du-duhhh lepaskan! Eh, kok mengigit...!"
Saking sakitnya Pujo mengaduh-aduh dan cepat ia mengerahkan tenaganya melemparkan tubuh Roro Luhito ke depan, lalu cepat meloncat berdiri. Untung, rasa pedas pada matanya membuat air matanya bercucuran dan air mata inilah yang mencuci dan membawa keluar pasir yang memasuki matanya sehingga pada saat itu Pujo sudah mampu membuka mata kirinya.
"Brukkk!"
Tubuh Roro Luhito terlempar dan terbanting keras. Untung bahwa tempat itu adalah pesisir laut yang banyak pasirnya sehingga terbanting sekeras itu hanya terasa pedas dan agak njarem bagian pinggulnya. Roro Luhito menyumpah-nyumpah ketika bangkit sambil mengelus pinggulnya. Juga Pujo menyumpah-nyumpah ketika meraba pipi kirinya yang berdarah. Kini ia berhasil pula membuka mata kanannya. Kedua matanya merah dan masih berair, akan tetapi sudah terbebas dari pasir. Mereka kini berdiri berhadapan, dalam jarak tiga meter, saling pandang, penuh kemarahan.
"Kau... perempuan liar!"
Pujo memaki, timbul kemarahannya.
"Dan kau... laki-laki pengecut!"
Roro Luhito balas memaki, juga marah sekali karena hatinya telah dikecewakan. Sama sekali tak disangkanya bahwa Pujo menyangkal perbuatannya sepuluh tahun yang lalu, perbuatan yang disangkanya benar-benar berlandaskan cinta kasih seperti yang dibisikkannya sepuluh tahun yang lalu. Betapa kecewa hatinya kini. Sepuluh tahun ia mengharap-harapkan pertemuan ini, mengharapkan penerimaan Pujo dengan hati gembira dan perasaan bahagia, mengharapkan dapat menjadi isteri Pujo, selain untuk menebus aib juga untuk melaksanakan hasrat hatinya yang mencinta. Siapa kira, Pujo selain menyangkal, juga memakinya dan kini bahkan melawan dan mengalahkannya.
Rasa kecewa membuat ia menjadi nekad dan kini hanya ada satu harapan di hatinya, yaitu membunuh laki-laki yang ia cinta dan yang mengecewakan hatinya ini, kemudian membunuh diri sendiri!. Roro Luhito yang sudah nekat Itu lalu menerjang maju lagi sambil mengeluarkan pekik yang melengking tinggi seperti pekik tantangan marah seekor monyet betina yang diganggu anaknya. Ia telah mengeluarkan semua ajinya yang ia peroleh dari gurunya, Resi Telomoyo. Mendengar pekik yang mengiringi Aji Sosro Satwo ini, semua binatang buas di dalam hutan tentu akan lari tunggang-langgang. Seekor harimau yang liar sekalipun akan lari bersembunyi mendengar pekik ini! Tubuh Roro Luhito melompat ke depan, kaki tangannya melakukan serangan bertubi-tubi yang sifatnya liar ganas, namun juga amat berbahaya.
Pujo maklum bahwa wanita ini tak boleh dipandang ringan, maka iapun lalu mengerahkan ajinya, Aji Bayu Tantra yang membuat tubuhnya ringan laksana kapas gesit laksana burung srikatan, juga ia mengerahkan Aji Pethit Npgo ke dalam sepuluh jari tangannya. Biarpun ia sama sekali tidak mempunyai niat membunuh wanita ini, namun tanpa Aji Pethit Nogo, agaknya tidak akan mudah baginya untuk mengatasi kedahsyatan serangan Roro Luhito. Bukan main cepatnya gerakan kedua orang itu. Ketika Roro Luhito menerjang dan menyerang bertubi-tubi dan Pujo mengelak ke sana ke mari mengandalkan ilmunya Bayu Tantra, lenyaplah kedua orang itu, yang tampak hanya bayangan mereka berkelebatan dan kadang-kadang bergumul menjadi satu.
Ketika mendapat kesempatan menangkis, Pujo mempergunakan jari tangannya untuk dikipatkan ke arah lengan Roro Luhito. Akan tetapi wanita inipun bukanlah seorang wanita biasa. Ia cukup cerdik dan maklum bahwa lawannya memiliki jari-jari tangan yang kuat dan mengeluarkan hawa panas yang bukan main, maka setiap kali Pujo menangkis, ia selalu menarik kembali tangannya untuk diganti dengan pukulan lain yang lebih berbahaya dan yang kecepatannya tak mungkin dapat ditangkis kecuali hanya dielakkan secara cepat pula. Gerakan Roro Luhito selain cepat juga aneh dan bertubi-tubi. Kadang-kadang kelihatan seperti gesitnya seekor Kera, kadang-kadang seperti menyambarnya seekor burung elang, atau seperti ganasnya harimau menerkam.
Memang Ilmu Silat Sosro Satwo ini, sesuai dengan namanya yang berarti Seribu Binatang, mengambil inti sari daripada gerakan bermacam-macam binatang hutan. Repot juga Pujo menghadapi ilmu silat yang aneh itu. Untung ia menang kuat dan tubuhnya kebal, kalau tidak, ia bisa kalah oleh lawannya. Belum pernah ia berhasil menangkis, malah sudah tiga kali ia kena tendangan dan pukulan yang cukup membuat matanya berkunang, akan tetapi tidak cukup kuat untuk membuatnya roboh. Kembali karena bingung menghadapi serangan Roro Luhito yang gayanya berputaran seperti lagak seekor ayam jago, lambung kirinya kena di"jalu,"
Yaitu ditendang dengan gaya seperti seekor ayam jago meneladung (menendang).
"Ngekkk!"
Terasa juga kali ini. Lambungnya kena digajul keras sekali. Sejenak Pujo terengah, akan tetapi gerakan Roro Luhito yang menendang sambil meloncat itu membuat rambutnya yang panjang terurai ke depan. Pujo tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Tangan kirinya meraih dan rambut panjang itu dapat dijambaknya dan ditarik sehingga tubuh Roro Luhito terhuyung.
"Athooooouu!"
Ia menjerit-jerit kesakitan."Lepaskan! Curang kau!."
Akan tetapi Pujo yang masih mulas perutnya karena lambungnya digajul tadi, sudah menampar dengan tangannya, ke arah tengkuk.
"Plakkk!"
Tidak keras tamparan itu, namun karena jari tangannya masih mengandung hawa sakti Aji Pethit Nogo, cukup membuat tubuh Roro Luhito terpelanting dan tak dapat bangun kembali. Wanita itu merintih-rintih dan memegangi tengkuknya yang rasanya seperti patah-patah!
"Heh si keparat Pujo! kau tidak menerimanya dengan baik-baik malah berani merobohkannya? Aku tidak terima!"
Terdengar suara keras, sesosok bayangan melesat dan menyambar ke arah kepala Pujo dari atas. Pujo terkejut sekali, cepat ia menggerakkan kaki, tubuh ditekuk ke bawah sehingga kakinya lurus dengan tanah. Cepat sekali gerakannya mengelak ini, karena ia tahu akan kehebatan serangan dari atas maka ia menggunakan jurus kelit Kemul Bantolo (Berselimut Tanah). Akan tetapi sungguh tak disangkanya dan amat mengejutkan hatinya karena sungguhpun serangan pertama itu dapat ia elakkan, akan tetapi secara aneh sekali kaki penyerang itu dapat menyeleweng dan mendupak (menendang) pundaknya dengan kecepatan yang tak mungkin ia elakkan lagi! Selain terkejut, juga Pujo merasa nyeri pundaknya. Tendangan itu tidak mengenai secara tepat, namun cukup membikin nyeri, tanda bahwa ini telah menggunakan tenaga hebat yang keluar dari hawa sakti!.
Pujo membanting diri ke kiri terus bergulingan untuk menghindarkan diri dari serangan susulan, kemudian ia melompat dan membalikkan tubuh dengar sigap dan siap dengan kuda-kuda yanj kuat. Baru sekarang ia dapat melihal lawannya. Kiranya lawannya adalah seorang kakek yang sudah putih semua rambutnya, akan tetapi kakek itu mukanya buruk sekali, dahinya nonong, matanya cekung, hidungnya pesek, dagunya menonjol ke depan. Muka seekor monyet! Dan sungguhpun kaki dan tangannya tidak berbulu seperti seekor monyet, akan tetapi karena kulitnya agak putih dan rambutnya sudah putih semua, kakek ini benar-benar mirip dengan seekor kera putih berpakaian! Kakek yang aneh ini dengar gerakan yang aneh sekali telah menghampiri Roro Luhito dan beberapa kali mengurut-urut tengkuk gadis itu dan seketika Roro Luhito dapat bangkit kembali.
"Bapa resi, dia menyangkal, malah menyerangku!"
Kata Roro Luhito dengan sikap dan suara manja."Harap bapa resi suka membunuh dia untuk membalas sakit yang ia datangkan kepada diriku!"
"Jangan khawatir, muridku yang denok. Heh, Pujo, kau laki-laki pengecut, berani berbuat tidak berani bertanggung jawab! kau telah memperkosa muridku, akan tetapi dia bersedia memaafkan perbuatanmu bahkan ingin bersuwita (menghamba) kepadamu, menerima sekalipun menjadi isterimu yang ke dua. Akan tetapi engkau tidak hanya menyangkal perbuatanmu yang rendah, malah telah merobohkannya. Aku Resi Telomoyo tidak suka bermusuhan dengan orang muda, akan tetapi sekali ini apa boleh buat, karena mertuamu Resi Bhargowo tidak ada, aku sendirilah yang akan memberi hajaran kepadamu!"
Kalau saja tidak sedang menghadapi keadaan yang gawat dan berbahaya, juga kalau saja Pujo tidak sedemikian terkejutnya mendengar ia didakwa memperkosa Roro Luhito, tentu Pujo takkan dapat menahan ketawanya menyaksikan sikap kakek itu yang sambil bicara panjang lebar tiada hentinya menggaruk-garuk kepala, punggung atau bebokongnya, persis tingkah laku seekor monyet! Akan tetapi ia terlampau kaget dan dengan muka merah ia berkata,
"Resi adalah gelar bagi seorang pertapa yang sidik paninggal (tajam pandangan) dan tidak hanya mendengarkan fitnah sepihak! Aku tidak pernah merasa melakukan perbuatan serendah itu, bagaimana aku dapat mempertanggung jawabkannya?"
"Jahanam keparat! Kalau kau tidak melakukan kekejian itu, apa perlunya aku mencarimu sampai sepuluh tahun? Apa perlunya aku minggat dari kadipaten? kau memang manusia rendah, pengecut yang selain mendatangkan aib dengan keji juga telah menculik kakak ipar dan keponakanku!"
Saking marahnya Pujo sampai tak dapat menjawab dan saat itu dipergunakan oleh Resi Telomoyo yang memang wataknya keras itu untuk menerjangnya lagi.
Seperti juga Roro Luhito tadi, dalam penyerangannya ini kakek itu mengeluarkan suara geraman seperti seekor monyet jantan. Akan tetapi sepak terjangnya jauh berbeda dengan muridnya. Kakek ini jauh lebih ampuh gerakannya dan kedua tangan kakinya mendatangkan angin bersiutan tanda bahwa tenaga yang ia keluarkan mengandung hawa sakti yang dahsyat. Pujo juga marah, menganggap kakek ini keterlaluan, menjatuhkan tangan besi tanpa pemeriksaan lebih dulu. Ia bergerak dengan Aji Bayu Tantra, demikian cepatnya ia bergerak sampai tubuhnya lenyap menjadi bayangan berkelebatan, dan dengan pengerahan tenaga ia menerjang, kadang-kadang dengan Aji Gelap Musti, kadang-kadang dengan Aji Pethit Nogo yang ampuh.
"Wah-wah, kau hebat, orang muda!"
Kakek itu sambil menghindar ke sana ke mari dengan sigapnya memuji. Dengan kecepatan dan gerakan aneh, kakek itu meloncat-loncat dan membingungkan Pujo. Tadi menghadapi Roro Luhito saja ia sudah bingung dan beberapa kali kena dipukul. Apalagi sekarang. Hanya bedanya, kalau tadi menghadapi Roro Luhito ia segan menurunkan pukulan maut, kini menghadapi kakek yang ia tahu amat sakti itu ia tidak segan-segan mengeluarkan semua ajiannya, bahkan mengerahkan tenaga mujijat yang ia latih selama ini melawan gelombang Laut Selatan.
"Luar biasa!"
Seru Resi Telomoyo sambil menggulingkan diri di atas pasir ketika jari-jari tangan Pujo menyambar dengan Aji Pethit Nogo sehingga mengeluarkan suara nyaring seperti cambuk menyambar. Sambil bergulingan kakek ini menggunakan tipu seperti yang dipergunakan Roro Luhito.
Pasir berhamburan menyambar ke muka Pujo. Baiknya Pujo tadi sudah mengalami akibat tipu ini sehingga ia sudah waspada dan melihat bayangan pasir menyambar, ia sudah menutup mata dan mengelak. Namun pasir yang hanya merupakan butir-butiran kecil itu ketika mengenai kulit muka dan leher, terasa seperti jarum-jarum yang runcing menusuk-nusuk! Ia kaget sekali dan baiknya Pujo dapat menyalurkan hawa sakti ke bagian yang terserang sehingga kulitnya hanya lecet-lecet saja akan tetapi pasir tidak dapat menembus. Dari ini saja sudah dapat dibayangkan betapa hebatnya tenaga dalam kakek seperti monyet itu. Orang biasa saja terkena sambaran pasir ini tentu akan tewas karena pasir itu akan terus menembus kulit daging, bahkan mungkin dapat menembus tulang, tiada ubahnya seperti peluru-peluru baja!
"Wah-wah, tidak kecewa kau menjadi murid Resi Bhargowo!"
Kembali kakek itu bicara sambil menerjang terus."Sayang kau mata keranjang dan pengecut!"
Makin marahlah Pujo. Ia mencelat ke belakang agak jauh dan tahu-tahu ia sudah mencabut kerisnya, yaitu pusaka Banuwilis yang mengeluarkan cahaya hijau. Keris berlekuk sembilan ini mencorong dan hawanya seperti seekor ular hijau berbisa. Namun Resi Telomoyo tidak gentar, hanya tersenyum mengejek.
"Ha-ha! Belum lecet kulitmu, belum patah tulangmu, sudah mengeluarkan pusaka! Ha-ha-ha!"
"Resi Telomoyo! Entah perbuatan kita yang mana dan kapan yang menghasilkan akibat saat ini. Aku tidak pernah memusuhi anda dan murid anda, akan tetapi andika agaknya menghendaki kematianku! Apa boleh buat, kalau memang hendak mengadu nyawa, silakan!"
Pujo memasang kuda-kuda dengan keris pusaka di tangannya, siap untuk membunuh atau dibunuh!
"Ha-ha-ha! Mengakui dan menyesali perbuatan sendiri memang merupakan perkara yang paling sulit dilakukan di dunia ini! Betapapun buruk perbuatan sendiri, selalu dipandang dan dicari segi-segi kebaikannya. Aku tidak ingin membunuhmu, hanya ingin memaksamu mempertanggung-jawabkan perbuatanmu terhadap muridku. Hayo, kau boleh gunakan pusakamu, orang muda. Murid sama dengan anak, kalau guru tidak membela muridnya, orang tua tidak membela anaknya, habis apa gunanya menjadi guru atau orang tua? Kerahkan semua tenagamu, keluarkan semua aji kesaktianmu kalau kau mau mengenal Resi Telomoyo!"
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pujo makin mendongkol hatinya. Agaknya percuma saja bicara dengan dua orang itu. Menyangkalpun tidak akan ada gunanya karena tidak dipercaya Maka ia lalu berseru,
"Baik, hati-hatilah, sang resi. Awas pusakaku!"
Ia menubruk maju dan menerjang dengan hebat. Bukan main hebatnya serangan Pujo ini. Kerisnya menyambar-nyambar, lenyap ujudnya berubah menjadi segulung sinar hijau. Sedangkan tangan kirinya dengan pengerahan tenaga dalam mengimbangi terjangan kerisnya dengan pukulanpukulan jari Pethit Nogo!. Baiknya Resi Telomoyo adalah seorang pertapa sakti yang sudah tinggi sekali tingkat ilmunya.
Ia seorang pemuja dan penyembah tokoh pewayangan Hanuman (Anoman), kera putih yang terkenal sakti mandraguna di jaman Ramayana, kera putih yang menjadi senopati dan yang seorang diri berani menyerbu Kerajaan Alengka, mempermainkan Raja denawa Prabu Dasamuka beserta semua perajuritnya. Resi Telomoyo memiliki aji yang membuat tubuhnya dapat bergerak laksana terbang, ringan seperti kapas, cepat seperti halilintar menyambar, dan hawa sakti di tubuhnya sudah mencapai tingkat yang amat tinggi karena ia gentur tapa (tekun bertapa), waspada dan sakti mandraguna. Hanya sayangnya, yang ia puja adalah seorang tokoh bertubuh monyet, dan agaknya karena memang ia lebih menyayang monyet daripada manusia, maka kekasaran, kenakalan, dan kelucuan seekor monyet menular kepada nya.
Ia suka main-main, kadang-kadang kasar dan nakal. Pandang matanya yang waspada sebetulnya menyadarkan perasaannya bahwa Pujo adalah seorang laki-laki yang baik dan agaknya tidak melakukan perbuatan hina terhadap muridnya. Akan tetapi ia juga merasa yakin bahwa muridnya tidak membohong kepadanya. Kalau disuruh memilih, percaya yang mana, tentu saja tanpa ragu-ragu lagi ia lebih percaya muridnya! Pula, melihat orang muda itu memiliki kesaktian tinggi juga, timbul keinginan hatinya untuk melawan dan mengalahkannya!. Pertandingan berlangsung seru. Baru sekarang Roro Luhito melihat dengan mata sendiri betapa saktinya Pujo! Tahulah ia kini bahwa tadi Pujo sengaja banyak mengalah terhadapnya.
Kalau tadi Pujo seperti sekarang ini sepak terjangnya, ia harus mengakui bahwa ia takkan kuat menghadapi Pujo lebih dari dua puluh jurus. Gurunya memang hebat. Akan tetapi agaknya mengalahkan Pujo yang memegang keris pusaka, bukan merupakan hal yang mudah. Diam-diam ia merasa kagum kepada Pujo dan mau tidak mau ia harus mengakui bahwa cinta kasih yang terpendam di hatinya bukan lenyap oleh kemarahannya, bahkan makin menjadi. Ia menghela napas berulang-ulang saking pedih hatinya oleh penolakan dan penyangkalan Pujo. Bisikan-bisikan Pujo di dalam bilik dahulu! Pernyataan cintanya! Masih terngiang di telinganya bisikan pada peristiwa di malam hari itu, sepuluh tahun yang lalu. Masih terasa kehangatan lengan yang merangkulnya dan masih bergema bisikan halus,
"Luhito, aku Pujo, aku tahu, engkau suka kepadaku seperti aku mencintaimu..."
Dan sekarang Pujo menyangkal perbuatannya itu! Berpikir begini, panas lagi hatinya, panas dan kecewa, maka menangislah ia terisak-isak sambil mendeprok (terduduk) di atas pasir. Pandang mata Resi Telomoyo amat tajam. Biarpun ia sedang bertanding seru dengan Pujo, akan tetapi ia dapat melihat muridnya yang menjatuhkan diri di atas tanah dan menangis terisak-isak dengan sedihnya.
Melihat ini, kemarahannya meluap. Ia harus merobohkan pemuda ini dan memaksanya menerima muridnya sebagai isteri! Tiba-tiba ia mengeluarkan pekik yang amat dahsyat. Pekik yang disertai hawa sakti sedemikian hebatnya sehingga Pujo sendiri hampir tergetar tubuhnya, dan menggigil tangan yang memegang keris. Saat itu dipergunakan oleh Resi Telomoyo untuk menendang pergelangan tangan yang memegang keris. Tendangan yang amat keras sehingga terlepaslah sambungan pergelangan tangan Pujo. Keris pusakanya terlempar dan sebelum ia tahu apa yang terjadi, tubuhnya sudah terangkat dan terbanting di atas pasir. Matanya berkunang, kepalanya pening dan sejenak Pujo tidak mampu bangun.
"Kakangmas Pujo...!"
Jerit ini disusul berkelebatnya sesosok bayangan yang gerakannya cepat sekali. Tahu-tahu seorang wanita cantik muncul di depan Resi Telomoyo. Dia ini bukan lain adalah Kartikosari. Melihat suaminya menggeletak tak berdaya dan kakek yang wajahnya buruk menyeramkan berdiri di situ sedangkan seorang wanita cantik menangis tak jauh dari situ, Kartikosari langsung menerjang Resi Telomoyo. Resi ini tadinya terkesima karena tidak mengenal siapa wanita yang luar biasa cantiknya ini sehingga ia memandang rendah. Pukulan dari Kartikosari adalah pukulan dengan Aji Gelap Musti, dilakukan cepat sekali karena selama waktu sepuluh tahun ini Kartikosari memperdalam ilmunya dan berhasil menciptakan gerakan yang diambil dari gerakan burung camar di tepi laut.
"Plak! Desssssss!!"
Resi Telomoyo yang tidak menyangkanyangka wanita itu sedemikian hebatnya, kena ditampar lehernya dan ditonjok perutnya. Ia gelayaran (sempoyongan), jatuh terduduk dan melongo saking herannya.
"Waduh, galak dan tangkas!"
Ia memuji. Kartikosari sejenak melongo juga. Pukulannya tadi adalah pukulan Gelap Musti dan jangankan perut seorang manusia kalau tidak pecah atau remuk isinya, batu karang sekalipun terkena hantamannya tadi akan remuk! Akan tetapi kakek aneh itu hanya jatuh terduduk, dan matanya kethap-kethip seperti orang terheran saja, sama sekali tidak seperti orang habis dipukul. Maklumlah ia bahwa kakek ini seorang sakti, maka cepat ia berlutut dekat suaminya yang sudah dapat bangun duduk.
"Bagaimana, kakangmas? kau... kau terluka"?"
Pujo serasa mimpi. Benar-benar Kartikosari sekarang yang berada di dekatnya, memeluk pundaknya dan dengan wajah yang gelisah bertanya kalau-kalau ia terluka. Tanda kasih sayang terbayang jelas di wajahnya yang selalu dirindukannya itu. Tak dapat lagi ia menahan hasrat hatinya. Dirangkulnya leher isterinya, dibelai dan hendak diciumnya! Kartikosari membuang muka mengelak.
"Hussshh, orang lain melihat...!"
Barulah Pujo teringat dan sadar cepat ia menarik tubuh Kartikosari bangun dan berdiri. Resi Telomoyo sudah berdiri pula, memandang dan menyeringai.
"Ho-ho-ho! Kebetulan sekali! engkau isterinya? Engkau isteri Pujo? Kalau begitu engkau tentu puteri Resi Bhargowo! Ha-ha, sungguh kebetulan.dengarlah engkau akan kelakuan suamimu yang bagus itu! Dia telah meng..."
"Bapa guru, diam!!!"
Tiba-tiba Roro Luhito menjerit meloncat berdiri dan menubruk gurunya sambil menangis.
"Bapa guru, haruskah aku menderita malu dan terhina di depan banyak orang lain? Biarlah aku yang menghadapi Pujo!"
Roro Luhito adalah seorang wanita yang berwatak keras. Sebentar saja ia sudah berhasil menekan perasaannya. Matanya masih merah, akan tetapi tidak ada air mata mengalir turun. Dengan pandang mata penuh benci dan dendam. Ia memandang Pujo, dan hanya mengeriing sejenak ke arah Kartikosari yang diam-diam ia puji kecantikannya.
"Pujo, kau tadi bilang bahwa kau tidak mempunyai permusuhan dengan aku. Sekarang, aku minta engkau sebagai seorang ksatria jantan, sebagai laki-laki sejati, di depan isterimu, kau ceritakanlah apa yang terjadi di Kadipaten Selopenangkep sepuluh tahun yang lalu! Kalau kau menceritakan kesemuanya dan memang tepat, biar aku mengalah dan pergi. Akan tetapi kalau sebaliknya aku pasti akan mengadu nyawa denganmu!"
"Kakangmas, siapakah dia ini dan kakek itu? Jangan takut, biarlah kuhadapi mereka!"
Kartikosari hendak melangkah maju, akan tetapi Pujo memegang lengannya dan berkata halus,
"Jangan, nimas. Urusan ini adalah urusan salah faham dan fitnah, memang harus dibikin terang agar jangan menjadi jadi."
Pujo melarang isterinya karena ia tahu bahwa biarpun Kartikosari kini agaknya memperoleh kemajuan pesat dengan ilmunya, namun belum tentu dapat mengatasi Resi Telomoyo yang demikian saktinya. Selain itu, ia kini percaya bahwa betul-betul aib yang menimpa diri Roro Luhito dan bahwa di balik peristiwa ini tentu terselip rahasia yang harus dipecahkan. Ia melangkah maju dan berdiri berhadapan dengan Resi Telomoyo dan Roro Luhito, terpisah dua meter saja jauhnya. Kartikosari masih digandengnya. Kemudian ia menarik napas panjang dan berkata,
"Roro Luhito dan juga paman Resi Telomoyo, harap suka dengarkan baik-baik penuturanku. Aku bersumpah demi kehormatanku sebagai satria kepada Hyang Maha Pamungkas, bahwa apa yang kuceritakan ini adalah yang sebenar-benarnya, tidak lebih maupun kurang daripada hal-hal yang sebenarnya terjadi."
Ia menarik napas panjang, mengajak isterinya duduk di atas pasir sambil mempersilakan kedua orang guru dan murid itu untuk duduk pula. Resi Telomoyo yang memang yakin bahwa orang muda di depannya ini bukan orang jahat, segera menjatuhkan diri duduk di pasir seenaknya, sedangkan Roro Luhito melihat tiga orang itu duduk, biarpun dengan ragu-ragu, akhirnya duduk pula bersimpuh, matanya menatap wajah Kartikosari yang cantik dan berwibawa. Diam-diam ia merasa iri betapa kedua suami-isteri itu bergandeng tangan dengan sikap mesra, penuh cinta kasih.
"Sepuluh tahun yang lalu, aku mempunyai dendam sedalam lautan terhadap Wisangjiwo, dendam yang hanya dapat diselesaikan dengan menyabung nyawa. Oleh karena dendam itu semata maka pada malam hari itu aku menyerbu Kadipaten Selopenangkep. Maksud hatiku hendak mencari Wisangjiwo dan membunuhnya. Akan tetapi sayang sekali, Wisangjiwo tidak berada di kadipaten dan karena mata gelap saking besarnya rasa dendam kesumat, aku mengamuk, membunuh beberapa orang pengawal, melukai Adipati Joyowiseso, akan tetapi akhirnya aku tertangkap. Aku tetap tidak mau mengaku dendam apa yang kurasakan terhadap Wisangjiwo. Aku disiksa dan akhirnya dihukum perapat."
"Ohhh...!"
Kartikosari yang belum mendengar cerita ini berseru kaget dan jari-jari tangannya yang halus mencengkeram tangan suaminya. Pujo menoleh kepadanya dan mengangguk-angguk, mengeriing kepada Roro Luhito dan Resi Telomoyo lalu berkata,
"Lihat, isteriku sendiripun baru sekarang dapat mendengarkan ceritaku karena akibat perbuatan Wisangjiwo itu telah membuat kami suami-isteri berpisah pula sampai sepuluh tahun!"
"Hemmm...!"
Resi Telomoyo mengangguk-angguk dan menggaruk-garuk punggung serta kepalanya. Sejak tadi Kartikosari memperhatikan gerak-gerik Resi Telomoyo ini dan di dalam hatinya ia merasa geli dan baru sekarang ia melihat betapa kakek ini mirip benar, baik muka maupun gerak-gerik, dengan seekor kera putih yang besar!
"Hukuman perapat tidak berhasil membunuhku dan akhirnya muncullah Jokowanengpati yang pada malam hari itu turun tangan dan membuat aku tertangkap."
"Jokowanengpati murid uwa guru Empu Bharodo?"
Kartikosari tercengang Pujo mengangguk.
"Dia menjadi tamu kadipaten ketika itu dan membantu kadipaten sehingga aku tertangkap. Akan tetapi ketika hokum perapat dijalankan dan tidak berhasil membunuhku, kakang Jokowanengpati datang dan membawaku kembali ke dalam tahanan. Ternyata dia bermaksud baik terhadap aku, mengingat kita masih saudara seperguruan. Dia membalik terhadap kadipaten, malam itu ia membebaskan aku, malah dia pula yang membantu menculik isteri Wisangjiwo dan puteranya, membantu aku keluar dari kadipaten dan setelah jauh baru dia menyuruhku cepat-cepat pergi membawa isteri Wisangjiwo dan puteranya."
"Ahhh, kau lakukan hal itu??"
Suara Kartikosari benar-benar membayangkan hati kaget dan heran. Pujo menepuk-nepuk lengan isterinya, menyabarkan hatinya.
"Karena tidak berhasil mendapatkan Wisangjiwo, aku seperti kemasukan iblis saking kecewa dan marahku, maka kuculik isteri dan puteranya. Akan tetapi jangan salah sangka, demi Dewata yang Agung, aku tidak melakukan hal-hal yang melanggar susila terhadap wanita itu, nimas."
Kemudian Pujo menoleh kepada dua orang bekas lawannya. Ia melihat betapa sepasang mata Roro Luhito terbelalak, pandang matanya liar dan sepasang alis yang hitam kecil itu berkerut-kerut.
"Lalu bagaimana...? Lalu bagaimana...??"
Desak Roro Luhito, dadanya yang membusung tertutup kemben itu bergelombang turun-naik, napasnya agak terengah tanda bahwa di dalam hatinya timbul perasaan yang tegang.
"Kubawa mereka ke Guha Siluman, kutinggalkan isteri Wisangjiwo di dalam guha akan tetapi kubawa lari puteranya yang selanjutnya kujadikan muridku dan kuanggap anak sendiri..."
"Dia Joko Wandiro...??"
Kini Kartikosari yang memegang lengan suaminya, bertanya, suaranya gugup.
"Benar. Eh, bagaimana kau bisa tahu, nimas?"
Tanya Pujo heran, menoleh kepada isterinya. Akan tetapi, sebelum Kartikosari menjawab, Roro Luhito sudah melompat berdiri dengan gerakan cepat. Pujo, Kartikosari, dan juga Resi Telomoyo memandang kaget. Wajah gadis itu pucat sekali, matanya bergerak-gerak liar, hidungnya kembang-kempis, dadanya terengah-engah.
"Pujo... Pujo... kau bersumpahlah sekali lagi... bahwa apa yang kau ceritakan semua itu tadi adalah yang sebenarnya terjadi?"
"Aku bersumpah demi Dewata Agung!"
"Dan bukannya engkau terlepas karena bantuan gurumu Resi Bhargowo, kemudian gurumu membantumu menculik isteri dan putera kangmas Wisangjiwo dan engkau sendiri memasuki... bilikku?"
"Tidak sama sekali! Dari mana datangnya fitnah itu?!?"
Pujo melompat berdiri, juga Kartikosari dan Resi Telomoyo. Mereka sama-sama menjadi tegang.
"Kata kakangmas Jokowanengpati engkau memasuki bilikku... dan kau dibantu Resi Bhargowo maka dia tidak berdaya dan... aduh Jagad Dewa Batara...! Tahulah aku sekarang! Dialah orangnya! Dia si keparat Jokowanengpati..., ya Dewa... Gusti Maha Agung, cabut sajalah nyawaku... bapa guru...!"
Roro Luhito menubruk gurunya dan rebah pingsan dalam pelukan Resi TeHomoyo. Resi Telomoyo memandang Pujo bingung, bertanya,
"Anakmas, apa sebenarnya yang terjadi?"
Pujo menggeleng kepala.
"Aku sendiri bingung, paman. Bawalah dia ke pondok, dia perlu istirahat dan menenangkan perasaannya yang terguncang hebat."
Kakek itu mengangguk, memondong tubuh muridnya dan membawanya memasuki pondok Pujo. Pujo dan isterinya memandang sampai kakek itu lenyap di balik pintu pondok.
"Kakangmas! Jadi putera Wisangjiwokah yang bernama Joko Wandiro?"
"Betul, nimas. Tadinya hendak kudidik dia agar kelak memusuhi ayahnya sendiri. Bagaimana kau bisa tahu?"
"Ah, kakangmas... celaka! Aku khawatir sekali. Dia dan... anak kita telah lenyap..."
Saking kagetnya Pujo melepaskan tangan Kartikosari yang memegang lengannya sambil melompat mundur sejauh lima meter lebih. Benar-benar kaget sekali dan tadi ia meloncat seperti menghindarkan diri dari serangan maut! Kini matanya terbelalak, kakinya bergerak lambat-lambat maju, bibirnya gemetar ketika ia bertanya,
"Anak... anak... kita...??"
Kartikosari tak dapat menahan diri lagi. Ia menjatuhkan dirinya bersimpuh di atas pasir, mengangguk-angguk sambil menangis, lalu keluar kata-katanya tersendat-sendat,
"Ketika... kita berpisah... aku... aku sudah mengandung aku... lari dan bersembunyi ke Karang Racuk... memelihara dan mendidiknya di sana..."
Pujo melompat dan menubruk isterinya, mendekapnya dan air mata membanjir di pipinya,
"Aduh Gusti... terima kasih! Nimas Sari, di mana anak kita...? Laki-laki atau perempuankah? Siapa namanya?"
"Kunamakan dia Endang Patibroto..."
Pujo terharu sekali mendengar nama ini, dipandangnya wajah isterinya, lalu didekapnya kepala itu ke dadanya, diciumnya.
"Ampunkan aku, Sari kau ampunkan aku yang bermata namun tak dapat melihat betapa engkau sesungguhnya seorang wanita sesuci-sucinya, seorang puteri yang patut menjadi tauladan. Aku bodoh bebal dan pengecut. kau ampunkan aku, nimas...,..."
Pujo lalu berlutut dan hendak meraih dan mencium jari kaki Kartikosari. Naik sedu-sedan dari dada wanita itu dan cepat ia merangkul leher suaminya, melarang suaminya melakukan perbuatan itu.
"Jangan, kakangmas! Tak baik seorang suami merendahkan diri macam ini! Aku tetap isterimu, aku selamanya tetap mencinta dan setia kepadamu, kakangmas."
Mereka berdekapan, merasa seakan-akan diterbangkan angin, terapung-apung di angkasa raya, penuh bahagia, menemukan kembali kehilangan yang sepuluh tahun membuat mereka merana.
"Di mana dia, nimas. Di mana Endang Patibroto anakku?"
Kartikosari tersentak kaget, lalu melepaskan diri dari pelukan.
"Inilah sebabnya mengapa aku datang ke sini kakangrnas. Ketika beberapa hari yang lalu aku bertemu Joko Wandiro dan mendengar tentang kau, aku lari ke sini, meninggalkan Joko Wandiro dan Endang Patibroto yang kusuruh kembali kepantai. Akan tetapi ketika aku kembali ke sana, mereka tidak ada. Mereka lenyap dan kulihat ada lima orang penjahat sudah menggeletak menjadi mayat. Aku gelisah sekali, kakangrnas...entah di mana adanya mereka berdua..."
Pujo termenung dan juga cemas, Kiranya Joko Wandiro yang disuruhnya mencari kuda itu bertemu dengan Kartikosari. Pantas sampai kini belum pulang. Dan sekarang anak itu, bersama-sama anak kandungnya sendiri, mereka telah lenyap tak meninggalkan bekas! Ia bertemu isterinya akan tetapi berbareng kehilangan muridnya yang terkasih dan anak kandungnya yang belum pernah ia lihat! Pada saat itu, Resi Telomoyo keluar dari pondok bersama Roro Luhito. Wanita itu tidak menangis lagi dan wajahnya amat pucat, rambutnya kusut, matanya sayu. Ia melangkah mendekati Pujo dan Kartikosari yang sudah bangkit berdiri, lalu berkata kepada Pujo,
"Kakangmas Pujo, harap kau ampunkan kesalahanku yang telah menuduhmu. Aku mengerti sekarang. Jokowanengpati yang telah melakukan hal itu kemudian menjatuhkan fitnah kepadamu. Agar tiada awan gelap lagi mengeruhkan pikiran kita, bolehkah aku mengetahui, apa yang telah dilakukan oleh kakangmas Wisangjiwo maka engkau begitu membencinya?"
Pujo memandang isterinya yang juga menatapnya, kemudian Kartikosari yang menjawab,
"Diajeng Roro Luhito, memang ada permusuhan antara kakakmu dengan kami suami-isteri. Malah beberapa hari yang lalu kami telah berhasil menangkapnya. Akan tetapi ternyata kami telah salah duga. Sungguhpun kakakmu itu pernah memusuhi kami, akan tetapi bukan dialah orang yang sebenarnya kami cari. Kami juga telah salah duga, seperti engkau salah menduga suamiku tadi. Tidak ada urusan apa-apa lagi antara keluargamu dengan kami, diajeng. Bahkan keponakanmu, Joko Wandiro, juga dididik baik-baik oleh suamiku, malah menjadi muridnya. Sekarang dia bersama anak kami yang kusuruh menanti di Karang Racuk, telah lenyap entah ke mana. Kami sedang bingung memikirkannya dan hendak berusaha mencari mereka."
Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Suling Naga Karya Kho Ping Hoo