Ceritasilat Novel Online

Badai Laut Selatan 19


Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Bagian 19



"Hih-hih-hih, bocah bagus. Darahmu tentu manis, dagingmu gurih! Tapi kau berani melawan aku, hah? Hih-hih-hih-hikk! Lihat kekuasaanku bocah! Lihat baik-baik! kau akan dimakan senjatamu sendiri, hih-hih-hik!"

   Nenek buruk rupa itu menudingkan telunjuk kanannya ke arah Joko Wandiro. Dari tangan yang menunjuk ini seakan-akan keluar getaran aneh yang berputar-putar amat kuatnya sehingga Joko Wandiro tak dapat mempertahankan diri lagi. Pemuda tanggung ini merasa betapa dirinya seakan-akan dibawa angin puyuh yang kuat, serasa tubuhnya berpusing dan kepalanya menjadi pening, matanya berkunang. ILa meramkan matanya, yang masih terdengar suara eyang gurunya memanggil, akan tetapi suara itu datangnya dari jauh sekali, hanya terdengar gemanya saja,

   "Joko...! Joko Wandiro...!"

   Akan tetapi Joko Wandro tidak mengandalkan pertolongan dari luar lagi karena ia sudah terseret oleh perputaran getaran yang luar biasa itu. Ia melihat, sungguhpun kedua matanya dipejamkan, betapa di sekeliling tubuhnya tampak wajah nenek yang mengerikan itu, dengan bau mulutnya yang amis busuk, bercampur bau wangi yang memuakkan Maka ia lalu mengerahkan tenaganya, menggerakkan kedua goloknya untuk membacok dan menusuk!

   "Hi-hi-hi-hik! Hayo bacok dan tusuk, biar kuhisap darahmu yang keluar, biar kuhisap darahmu yang keluar, biar kuganyang dagingmu, kukremus tulangmu!"

   Dalam pandangan Joko Wandiro, ia membacok dan menusuk ke arah tubuh nenek iblis itu, padahal sebetulnya ia telah terjatuh di bawah pengaruh sihir dan dalam pandangan orang lain, sepasang goloknya itu ia bacok dan tusukkan ke arah... tubuhnya sendiri!

   Untung baginya bahwa pada saat itu ia berada bersama tiga orang kakek sakti mandraguna. Ketika tadi ia menerjang nenek iblis, Empu Bharodo sudah berdiri, tangan kirinya membawa tempat air dan tanah, tangan kanan memegang setangkai bunga cempaka. Kini kakek itu memercik-mercikkan air dengan bunga yang dicelupkan ke dalam tempat air, bibirnya membaca mantera. Terjadilah pemandangan yang tak masuk akal bagi orang-orang biasa. Namun sungguh merupakan kenyataan yang tak dapat dibantah lagi. seperti orang mabok, Joko Wandiro menggunakan kedua goloknya untuk membacok dan menusuk tubuhnya sendiri.

   Bajunya menjadi robek compang-camping akibat bacokan dan tusukan golok tajam pemberian Ki Tejoranu. Akan tetapi anehnya, kulit tubuhnya sedikitpun tidak lecet, apalagi terluka. Sihir yang dilakukan nenek iblis itu membuat ia seperti mabok dan membacoki tubuh sendiri yang disangka tubuh si nenek, sebaliknya, percikan air Empu Bharodo membuat tubuhnya seakan-akan menjadi kebal. Sihir dibalas sihir. Kasihan Joko Wandiro yang menjadi korban, melakukan hal-hal yang sama sekali di luar kehendaknya. Empu Bharodo menghampiri Joko Wandiro, menaruh tangan kiri di atas kepalanya, meraba ubun-ubunnya. Seketika Joko Wandiro sadar dan alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa sepasang goloknya itu ia gerakkan sendiri membacok paha dan menusuk perut.

   Cepat ia menahan kedua tangannya, bengong terlongong melihat bajunya compang-camping, melihat nenek iblis terkekeh-kekeh dan di depan nenek itu kini berdiri Empu Bharodo dengan sikap tenang. Nenek itu mengeluarkan suara menggereng seperti seekor harimau dan mukanya menjadi menakutkan sekali. Joko Wandiro yang masih berdiri terbelalak itu makin kaget ketika melihat api keluar dari mulut si nenek iblis. Apikah itu yang tersembur keluar dari mulut dan menerjang ke arah Empu Bharodo? Ataukah lidah si nenek yang panjang dan menyalanyala? Empu Bharodo membaca mantera, lalu memercikkan air dari bunga cempaka yang dicelup dalam tempayan air. Percikan air itu berkilau putih menyambar ke arah lidah api.

   "Cesssssss...!"

   Asap mengepul tebal dan tercium bau sangit. Si nenek iblis menjerit-jerit, tangan kiri menggaruk-garuk mulutnya yang kini tidak mengeluarkan lidah api lagi, sedangkan tangan kanan dengan jari-jari berkuku panjang itu diulur ke depan ketika ia menerjang maju dan untuk menubruk dan mencekik leher Empu Bharodo.

   "Pergilah...!!"

   Bentak Empu Bharodo sambil menyambitkan kembang ke arah nenek iblis. Nenek itu terhuyung ke belakang, mulutnya mengeluarkan jerit melengking panjang dan lenyaplah tubuhnya.

   "Heh, Wirokolo!"

   Terdengar Empu Bharodo berkata lantang.

   "Kalau engkau hendak menghadap Sang Resi Jatinendra, datanglah saja. Apa perlunya engkau pamer dengan ilmu hitam Calon Arang yang hanya patut untuk menakut-nakuti anak kecil?"

   Setelah berkata demikian, Empu Bharodo dengan langkah tenang kembali ke tempatnya di depan mulut guha lalu duduk bersila seperti tadi, tenang dan seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu.

   "Joko, kau kembalilah ke sini..."

   Terdengar Resi Bhargowo berkata. Akan tetapi sebelum Joko Wandiro sempat bergerak, tiba-tiba muncullah lima orang tinggi besar berloncatan ke depan Sang Resi Jatinendra.

   Lima orang tinggi besar itu muncul sambil tertawa bergelak, di tangan masing-masing memegang sebatang golok besar yang berkilauan tertimpa sinar matahari membayangkan ketajamannya. Tanpa bicara sesuatu, lima orang itu serentak lalu menerjang pertapa yang masih duduk bersamadhi itu. Melihat hal ini, tentu saja Joko Wandiro tidak mau tinggal diam. Sepasang golok tipis pemberian Ki Tejoranu masih berada di kedua tangannya dan kini ia melihat bahwa lima orang itu walaupun tinggi besar, namun jelas adalah manusia-manusia biasa bukan iblis macam nenek tadi. Pula, menilik gerakan mereka, kelima orang ini hanya memiliki tenaga kasar yang besar saja. Maka cepat sekali tubuhnya mencelat ke depan dan kedua goloknya berkelebat membentuk gulungan sinar putih.

   "Trang-trang-cringgg...!!"

   Golok tiga orang musuh yang berada paling depan berhasil ditangkisnya dan tiga batang golok itu mental kembali. Lima orang pengeroyok yang tinggi besar itu berseru kaget dan membelalakkan mata. Tak seorangpun di antara mereka yang kini tertawa lagi. Sebaliknya, mereka mengeluarkan suara gerengan marah ketika mendapat kenyataan bahwa yang menangkis golok-golok mereka tadi hanyalah seorang pemuda tanggung.

   "Bocah keparat! kau kepingin mampus??"

   Lima orang itu serentak menerjang dengan golok besar mereka ke arah Joko Wandiro. Melihat datangnya lima batang golok dengan kekuatan yang besar, Joko Wandiro maklum bahwa tenaganya tak mungkin menandingi lima orang ini sekaligus.

   Tadipun ketika menangkis tiga batang golok, ia merasa betapa kedua lengannya menjadi linu, tanda bahwa tenaga tiga orang itu benar-benar amat kuat. Maka, anak yang cerdik ini tidak lagi mau mengadu tenaga melawan lima orang sekaligus, melainkan cepat ia mempergunakan kegesitan tubuhnya, menggunakan Aji Bayu Tantra sehingga tubuhnya dengan ringan dan gesit sekali menyelinap ke samping sebelum lima batang golok datang membacok. Kemudian kedua kakinya bergerak menurut pelajaran ilmu silat yang ia pelajari dari Ki Tejoranu, golok-golok di kedua tangannya melakukan gerakan menggunting ke arah lawan yang paling depan. Si tinggi besar itu kaget ketika tadi melihat bocah yang menjadi lawannya berkelebat ke samping dan kini melihat dua gulungan sinar putih menerjangnya.

   Ia berusaha untuk membabitkan golok besarnya sambil memutar tubuh menghadapi Joko Wandiro, namun ia kalah gesit. Tiba-tiba ia menjerit keras, lengan kanannya termakan golok Joko Wandiro yang menggunting sehingga terpaksa ia melepaskan golok besarnya sambil melompat mundur memegangi lengan kanan yang mengucurkan darah. Joko Wandiro tidak berhenti sampai di situ saja. Melihat hasil serangannya, ia melanjutkan gerakan kakinya, dengan gerakan mantap mengatur langkah-langkah maju dalam gerak ilmu silat Ilmu Golok Lebah Putih, sepasang goloknya mendesing-desing ketika diputar ke depan. Empat orang lawannya juga sudah menghadapinya, marah sekali melihat seorang kawan mereka dikalahkan.

   "Ommm... damai-damai-damai jangan kotorkan tempat ini dengan darah...!"

   Terdengar suara halus dan tiba-tiba saja Joko Wandiro dan keempat orang lawannya merasa kedua lengan mereka lemas sehingga semua senjata yang dipegang terlepas dan runtuh ke atas tanah!. Joko Wandiro seorang yang cerdik. Ia tadi melirik dan melihat bahwa ucapan itu keluar dari mulut pendeta yang sejak tadi duduk diam di depan, kemudian melihat pula betapa tangan kiri pendeta itu digerakkan ke depan, maka tahulah ia bahwa yang menjatuhkan semua senjata itu adalah hawa pukulan jarak jauh yang hebat luar biasa! Ia tahu pula bahwa pendeta yang sakti itu tidak menghendaki pertumpahan darah.

   Adapun keempat orang tinggi besar itu menjadi makin marah, tidak mengerti mengapa semua senjata mereka terlepas begitu saja dari pegangan. Mereka mengira bahwa bocah itulah yang main gila, maka dengan gerakan ganas mereka lalu maju menubruk, kedua lengan dikembangkan, jari-jari tangan terbuka siap mencekik leher, mulut terbuka lebar tiada ubahnya harimau-harimau lapar menubruk mangsa! Namun Joko Wandiro sudah bergerak lebih cepat daripada mereka yang lamban dan hanya mengandalkan kekuatan tubuh. Dengan menyelinap ke kiri, ia membuat tubrukan empat orang itu gagal, kemudian sebelum empat orang itu mampu menerjangnya lagi, selagi mereka terhuyung ke depan, dari samping Joko Wandiro menghantam seorang diantara mereka yang terdekat dengan menggunakan pukulan Pethit Nogo.

   "Trakk!!"

   Jari-jari tangan yang kecil itu dilecutkan ke arah iga dan biarpun jari tangan itu tidak berapa besar, namun mengandung Aji Pethit Nogo yang ampuhnya menggila. Seketika si tinggi besar itu menjerit kesakitan, roboh bergulingan dan mengaduh-aduh, tak dapat bangkit kembali karena dua buah tulang Iganya patah!. Mendapatkan kemenangan ini, besar hati Joko Wandiro. Ia tidak menanti sisa lawannya yang tiga orang lagi itu bergerak.

   Selagi mereka bengong saking heran melihat bocah itu mampu merobohkan seorang kawan lagi hanya dalam segebrakan, ia telah meloncat maju, gerakannya cepat, kaki tangannya bergerak laksana halilintar menyambar dan terdengarlah pekik susul-menyusul ketika tiga orang itu dihajar tendangan dan pukulan ampuh sehingga tubuh mereka bergelimpangan. Hebat sepak terjang Joko Wandiro, seperti Raden Gatotkaca mengamuk di antara keroyokan buto-buto (raksasa) galak!. Mendapat kesempatan ini, selagi para lawannya jatuh bangun, Joko Wandiro sudah menyambar sepasang goloknya lagi karena ia khawatir kalau-kalau sepasang goloknya itu dirampas lawan. Pada saat ia membungkuk dan mengambil sepasang goloknya, tiba-tiba ada angin keras menyambar dari depan.

   Joko Wandiro terkejut, maklum bahwa ada serangan yang hebat. Cepat ia mengelak sambil membabat dengan golok kanannya, akan tetapi tubuhnya terlempar dan golok kanannya terlepas ketika sebuah kaki menyambar dengan kekuatan yang dahsyat! Joko Wandiro terbanting roboh, matanya berkunang-kunang akan tetapi ia tidak mengalami cedera. Cepat ia menggulingkan tubuhnya ke arah golok yang terlepas tadi dan begitu ia meloncat bangun, ia sudah siap dengan sepasang golok di tangan, menghadapi segala kemungkinan dengan sikap gagah dan memasang kuda-kuda amat kokohnya. Kiranya di sebelah depan telah berdiri dua orang laki-laki tinggi besar berkulit hitam, rambutnya panjang terurai dan sepatutnya dua orang ini menjadi raksasa-raksana dalam cerita jaman dahulu!

   Tidak hanya segala-galanya pada kedua orang itu jauh lebih besar daripada orang biasa, juga mata mereka yang besar menonjol keluar itu kemerahan, wajah mereka buas dan mengerikan. Agaknya mereka itu saudara kembar, karena segala-galanya, dari rambut, wajah, bentuk tubuh sampai pakaian mereka, serupa. Sukar sekali membedakan satu dari yang lain kalau saja senjata mereka tidak berbeda. yang seorang memegang sebatang tombak yang dihias rambut di leher tombak, sedangkan orang ke dua memegang sebatang ruyung yang bergigi, amat menyeramkan. Namun Joko Wandiro tidak menjadi gentar. Sekali sudah terjun ke dalam gelanggang yuda, ia tidak mengenal takut lagi. Dengan hati-hati ia bersiap sedia menghadapi dua lawan yang nggegirisi (menggiriskan) ini. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan eyang gurunya,

   "Joko, mundur kau!"

   Joko Wandiro tidak berani membantah, dan ia lalu mengundurkan diri, kembali duduk bersila seperti tadi, di mulut guha di belakang Resi Jatinendra. Adapun Resi Bhargowo kini sudah berdiri dan dengan langkah tenang ia maju ke depan menyambut dua orang raksasa itu.

   "Anak baik, kau patut menjadi cucu murid adi resi"

   Demikian bisikan Empu Bharodo di sebelah kanan Joko Wandiro. Anak ini menengok dan melihat betapa kakek itu tersenyum ramah, lalu membungkuk dengan sikap merendah. Kemudian mereka lalu memandang ke depan untuk menonton bagaimana Resi Bhargowo akan menghadapi dua orang lawan yang buas itu. Resi Bhargowo bersikap tenang saja. Sejenak ia beradu pandang dengan kedua lawannya, kemudian ia berkata,

   "Kisanak, siapakah gerangan andika berdua? Dan mempunyai keperluan apa mendatangi pertapaan Jalatunda?"

   "Heh-heh-heh, aku adalah Gagak Kunto!"

   Jawab raksasa yang memegang lembing atau tobak berhias rambut.

   "Dan akulah Gagak Rudro!"

   Jawab orang ke dua sambil mengamang-amangkan senjata ruyungnya yang mengerikan. Resi Bhargowo sudah menduga akan hal ini. Tentu saja dia sudah mendengar nama kedua orang ini yang merupakan jagoan-jagoan dari Kerajaan Wengker yang sudah hancur.

   Tadi ketika mendengar suara burung gagak yang diikuti oleh semua burung lain, dia sudah dapat menduga bahwa suara itu bukan keluar dari mulut burung gagak sewajarnya. Kiranya kedua orang"Gagak"

   Inilah yang datang! Dia sudah mendengar bahwa Gagak Kunto dan Gagak Rudro (Gagak Bertombak dan Gagak Buas) adalah bekas perwira-perwira Kerajaan Wengker, orang-orang kepercayaan mendiang Sang Prabu Baka dan memiliki kesaktian-kesaktian tinggi, yang merupakan ahli-ahli ilmu hitam seperti biasa dimikili para jagoan Wengker. Maka ia bersikap hati-hati dan menanti keterangan selengkapnya. Melihat betapa pertapa yang kelihatan kecil itu tidak kaget mendengar nama mereka, Gagak Kunto berkata lagi, suaranya membentak marah,

   "Tua bangka kecil kurus kering, kau minggirlah! Kami datang mewakili kakang Wirokolo!"

   "Hemmm, kalau Wirokolo ada niat menghadap Sang Agung Resi Jatinendra, mengapa ia tidak langsung menghadap sendiri? Mengapa ia menyuruh pula kalian? Mundurlah, dan sampaikan kepada Wirokolo bahwa lebih baik dia sendiri yang maju."

   Dua orang raksasa itu makin marah.

   "Heh, keparat sombong, siapakah engkau berani menentang sepasang Gagak Sakti? Apakah kau sudah bosan hidup?"

   "Gagak Kunto dan Gagak Rudro, aku bicara baik-baik kepada kalian, sebaliknya kalian begitu jumawa. Ketahuilah, aku adalah Bhagawan Rukmoseto."

   "Bhagawan Rukmoseto??"

   Gagak Kunto mengulang, mengingat-ingat nama yang tak dikenalnya ini.

   "Ya, dahulu disebut Resi Bhargowo."

   "Ha-ha-ha! Resi Bhargowokah kiranya engkau, tua Bangka kerdil? Minggirlah, apa kau belum mendengar nama Gagak Kunto? Minggir dan biarkan kami bicara dengan Sang Prabu Airlangga!"

   "Hemm! Wirokolo hanya seorang senopati taklukan, namun masih mewakilkan orang-orang kasar macam kalian. Tentu saja kalian tidak cukup berharga untuk menghadap Sang Agung Resi Jatinendra, dan akulah wakil beliau untuk menandingi segala tingkahmu!"

   "Aauugggh, bojleng iblis laknat! Bhargowo, berani engkau melawan senjata pusakaku ini?"

   Gagak Kunto mengamangkan tombaknya.

   "Majulah, siapa takut kepadamu?"

   "Keparat sombong! Hayo keluarkan senjatamu!"

   "Senjataku adalah kebenaran. Majulah kalian berdua, aku takkan mundur setapakpun!"

   "Babo-babo...!!"

   Gagak Rudro tak dapat menahan kemarahannya lagi dan ia mendahului saudaranya, menerjang dengan ruyungnya yang mengerikan.

   "Wuuuuuttt...!!"

   Angin besar menyambar ketika ruyung ini bergerak. Namun dengan gerakan ringan dan sikap tenang sekali Resi Bhargowo menggeser kaki miringkap tubuh. Ruyung itu lewat di samping tubuhnya bagaikan waringin tumbang, menghantam tanah membuat batu-batu kerikil pecah dan terbang berhamburan disusul debu mengepul tebal.

   Serangan gagal ini dalam detik selanjutnya sudah disusul tombak meluncur bagaikan kilat menyambar, menusuk ke arah dada Resi Bhargowo. Demikian cepatnya serangan maut ini sehingga Joko Wandiro yang menonton merasa ngeri dan khawatir. Baginya, eyang gurunya terlalu tenang, sehingga tampaknya seperti lambat. Kalau dia yang diserang tombak seperti itu, tentu sudah cepat-cepat meloncat ke samping. Akan tetapi eyang gurunya seakan-akan menanti datangnya ujung mata tombak, dan setelah kurang sejengkal dari kulit dadanya, barulah eyang gurunya itu miringkan tubuh tanpa menggeser kaki! Sebuah kelitan yang amat berbahaya dan pula amat berani, namun juga merupakan awal jurus yang ampuhnya menggiriskan!

   Hanya beberapa detik saja terjadinya, tahu-tahu tombak yang meluncur lewat itu telah tertangkap di bawah ketiak lengan kiri sang resi, dikempit dengan pengerahan tenaga dalam, kemudian dalam detik berikutnya disusul dengan tamparan yang menggunakan jari tangan kanan.

   "Werr... plakkk!!"

   Itulah tamparan Pethit Nogo yang tepat mengenai pundak kiri Gagak Kunto! Joko Wandiro hampir saja bersorak menyaksikan hasil mentakjubkan eyang gurunya dalam jurus pertama ini. Tubuh Gagak Kunto seperti kemasukan aliran halilintar, matanya terbelalak rambutnya bangkit berdiri kemudian tubuhnya mencelat ke belakang sampai lima meter jauhnya, lalu terbanting roboh dan di situ ia terengah-engah sambil memegangi pundaknya. Biarpun ia memiliki kekebalan, namun pukulan Pethit Nogo tadi berhasil meremukkan tulang pundaknya!

   "Si keparat Bhargowo...! Berani kau... menjatuhkan saudaraku??"

   Dengan muka merah dan mata terbelalak mulut berliur sakiing marahnya, Gagak Rudro menubruk dan menggerakkan ruyungnya yang besar dan berat itu, mengancam kepala dan tubuh lawan. Gerakannya cepat dan amat kuat, serangannya susul-menyusul sehingga terpaksa Resi Bhargowo menggunakan ilmu kesaktiannya, dengan Aji Bayu Tantra ia berkelit ke sana ke mari dengan amat gesitnya. Mengagumkan sekali kalau dilihat betapa seorang kakek yang sudah tua, rambutnya sudah putih semua seperti Resi Bhargowo ini, masih dapat bergerak sedemikian gesitnya, tiada ubahnya seekor burung sriti yang bergerak melesat ke sana-sini menghindarkan diri dar ipada ancaman ruyung maut.

   (Lanjut ke Jilid 19)

   Badai Laut Selatan (Seri ke 03 "

   Serial Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 19

   Saking cepatnya gerakan ruyung, terdengar suara"werrwerr-werr!"

   Tiada hentinya dan daun-daun di dahan pohon bergoyang-goyang seperti tertiup angin keras. Kelihatannya Sang Resi Bhargowo terdesak dan tak mampu membalas, padahal sesungguhnya, pertapa sakti yang tenang ini sedang menanti kesempatan baik untuk sekali pukul meruntuhkan lawan. Ketika ruyung itu lewat dari atas hendak menghantam kepalanya, ia menanti dan sengaja memperlambat gerakan.

   "Remuk kepalamu!"

   Gagak Rudro sudah berseru girang sekali, yakin bahwa kali ini ruyungnya tentu akan mendapat"makanan"

   Otak dan darah kepala yang remuk.

   "Werr... wuuutttt!!"

   Ruyung meluncur cepat karena Resi Bhargowo baru dekat, maka ruyung itu tidak dapat ditahan oleh Gagak Rudro, terus meluncur ke bawah dan menghantam tanah. Akan tetapi kali ini Resi Bhargowo sudah melihat kesempatan baik. Jari-jari tangan kirinya menyambar ke depan dan"Krakk!!!"

   Pangkal lengan kanan Gagak Rudro dekat pundak patah tulangnya dan ruyungnya terlepas dari pegangan.

   "Aduhh..., tobat...!"

   Gagak Rudro berteriak kesakitan dan menggulingkan tubuh menjauhi lawan, takut menerima hantaman ke dua. Akan tetapi Resi Bhargowo tidak menyerang lagi, melainkan berdiri tegak dan tersenyum pahit.

   "Orang-orang macam kalian ini masih berani membikin ribut? Hayo, kalau masih belum bertobat, majulah lagi, keluarkan semua kedigdayaan kalian, sepasang Gagak yang jahat! Kalau sudah mengaku kalah, pergilah dan ajak kelima orang anak buahmu!"

   Tiba-tiba terdengar suara mendeis-desis ketika Gagak Kunto dan Gagak Rudro pergi diikuti lima orang anak buah mereka yang tadi roboh oleh Joko Wandiro. Suara mendesis-desis ini makin tajam dan nyaring setelah tujuh orang itu tak tampak bayangannya lagi. Kemudian terdengar bentakan dengan suara parau.

   "Babo-babo, Resi Bhargowo! Sumbarmu seperti dapat menumbangkan puncak Mahameru! Jangan tekebur hanya karena dapat mengalahkan segala perajurit rendahan. Akulah lawanmu!!"

   Mendadak terdengar suara keras seperti pohon beringin tumbang dan sesosok tubuh inggi besar menyambar turun, kini berdiri tegak di depan Resi Bhargowo.

   Joko Wandiro yang memandang penuh perhatian, terkejut melihat raksasa yang baru muncul ini. Tubuhnya sama tinggi besar dengan sepasang gagak tadi, akan tetapi wajahnya lebih menyeramkan karena berwarna merah. Bibirnya yang pucat tak dapat rapat menutup giginya yang besar-besar dan di kedua ujungnya bertaring! Matanya melotot dan tak pernah kelihatan berkedip. Tubuhnya bagian atas tidak berbaju sehingga tampak otototot sebesar dadung membelit-belit tubuh yang kulitnya berbulu itu. Akan tetapi yang paling menyeramkan adalah lima ekor ular belang yang menghias tubuhnya. Seekor yang paling panjang membelit leher seperti kalung,dua ekor di kedua pergelangan tangan dan dua ekor pula membelit pergelangan kaki yang telanjang. Lima ekor ular berbisa inilah yang mengeluarkan suara mendesis-desis itu.

   "Wirokolo! Akhirnya engkau muncul juga! Engkau mau apa? Jangan kira Resi Bhargowo takut kepadamu!"

   "Haaaahhh! Sombong sekali engkau, keparat! Rasakanlah ampuhnya Anolo Hasto (Tangan Api)!"

   Berkata demikian, Wirokolo menggosok-gosok kedua telapak tangannya dan dari kedua telapak tangan yang saling digosokkan itu mengepul asap hitam dan tercium bau sangit seperti kulit atau rambut terbakar. Kedua telapak tangan itu kini tampak merah seperti besi dibakar. Kemudian Wirokolo bertepuk tangan. Terdengar ledakan seperti geledek dan tampak bunga api berpijar! Benar-benar ilmu yang mujijat dan dahsyat. Tiba-tiba Wirokolo membentak keras tubuhnya yang tinggi besar itu menerjang maju, kedua tangannya menampar bertubi-tubi. Resi Bhargowo dengan sikapnya yang tenang itu mengelak sambil menangkis, karena gerakan lawan yang sedemikian cepatnya, mengimbangi gerakannya sendiri Aji Bayu Tantra, tak mungkin dihadapi dengan kelitan-kelitan saja, harus dihadapi dengan tangkisan,keras lawan keras.

   "Desss...!!"

   Benturan kedua tangan orang-orang sakti ini merupakan pertemuan dua tenaga dahsyat. Dari tangan Wirokolo memercik bunga api menyilaukan mata dan terjangannya tertahan, Akan tetapi Resi Bhargowo terhuyung-huyung ke belakang, terdorong oleh tenaga lawan yang bukan main dahsyatnya!

   "Huah-hah-hah-hah! Sebegitu saja kekuatanmu, Resi Bhargowo?"

   Wirokolo mengejek sambil menerjang terus menggunakan kedua tangannya yang seakan-akan telah berubah menjadi dua tangan baja membara. Memang hebat kepandaian Wirokolo ini. Hal ini tidaklah amat mengherankan kalau diingat bahwa ia bekas senopati Kerajaan Wengker dan merupakan senopati yang sakti nomor dua sesudah Dibyo Mamangkoro. Wirokolo adalah adik seperguruan Dibyo Mamangkoro, dan dalam perang antara Wengker melawan pasukan Kahuripan dahulu, dia merupakan lawan tangguh yang hanya dapat dipukul mundur setelah banyak perwira tewas dan akhirnya Ki Patih Narotama sendiri yang turun tangan di medan yuda.

   Semenjak kekalahannya dalam perang itu yang mengakibatkan tewasnya Sang Prabu Boko di tangan Sang Prabu Airlangga sendiri dan hancurnya Kerajaan Wengker, seperti juga Dibyo Mamangkoro, senopat Wirokolo ini lari menyembunyikan diri dan bertapa sambil menggembleng diri sehingga ilmu kepandaiannya meningkat tinggi. Resi Bhargowo bukanlah tokoh sembarangan. Dengan Aji Bayu Tantra dan ilmu pukulan Phetit Nogo dia sudah merupakan seorang sakti yang jarang tandingannya, apalagi dia telah memiliki tenaga sakti yang bertingkat tinggi. Dalam pertandingan di Pulau Sempu, menghadapi serbuan para utusan Pangeran Anom, Resi Bhargowo telah membuktikan kesaktiannya.

   Akan tetapi sekarang, berhadapan dengan Wirokolo, dia benar-benar terdesak dan jelas bahwa tingkat kesaktiannya kalah tinggi Dengan ajinya Bayu Tantra, Resi Bhargowo hanya dapat mengelak untuk menyelamatkan diri dari serbuan kedua tangan membara itu. Ada kalanya ia mampu membalas sekali dua dengan pukulan Pethit Nogo yang ampuh, namun pukulan inipun membalik ketika bertemu dengan hawa Anolo Hasto yang panas seperti Kawah Condrodimuka. Juga pukulan Pethit Nogo yang tidak terlalu tepat kenanya, tidak mempan terhadap tubuh Wirokolo yang keras dan kebal. Hanya dalam kecepatan saja Resi Bhargowo dapat mengimbangi lawan sehingga ia masih dapat bertahan, namun jelas bahwa pukulan-pukulannya kalah ampuh dan tenaga dalamnya kalah kuat.

   "Huah-hah-hah! Resi Bhargowo, begini saja kekuatanmu? Hah-hah-hah!"

   Wirokolo terkekeh-kekeh dan ia benar-benar menguasai pertandingan itu sehingga kini Resi Bhargowo sama sekali tidak diberi kesempatan untuk membalas, melainkan meloncat ke sana ke mari, mengelak dan sedapat mungkin menangkis. Namun setiap kali menangkis, ia terpental dan terhuyung-huyung.

   "Wirokolo manusia iblis! Masih belum bertobat engkau sejak dahulu?"

   Suara ini keluar dari mulut Empu Bharodo yang ternyata sudah maju dan membantu adik seperguruannya. Begitu suaranya terdengar, orangnya sudah datang dan tangannya sudah menampar. Bukan main cepatnya gerakan Empu Bharodo. Memang, dalam hal ilmu meringankan tubuh dan gerak cepat, agaknya sukar dicari bandingnya karena Empu Bharodo memiliki Aji Bayu Sakti! Gerakannya ringan dan cepat sekali sehingga tahu-tahu tangannya menampar seperti kilat, tak sempat ditangkis maupun dielakkan lagi oleh Wirokolo.

   "Plakk!"

   Tamparan itu tepat mengenai dada Wirokolo, sebuah tamparan dahsyat yang didasari ilmu pukulan Jonggring Saloko.

   "Huah-hah-hah! Tanganmu empuk seperti tangan perempuan, Empu Bharodo pendeta cacingen!"

   Wirokolo yang hanya tergeser selangkah oleh tamparan itu tertawa mengejek lalu balas memukul dengan tangannya yang merah membara. Namun dengan amat cepatnya Empu Bharodo mengelak sehingga pukulan ini mengenai tempat kosong. Juga desakan yang bertubi-tubi merupakan pukulan berantai sampai tujuh kali, sama sekali tidak dapat menyentuh ujung baju si pertapa yang amat cepat gerakannya ini.

   Setelah Empu Bharoflo turun tangan membantu Resi Bhargowo, pertandingan menjadi lebih ramai, tidak berat sebelah seperti tadi. Kalau tadi Resi Bhargowo terdesak hebat dan hanya mampu mengelak ke sana ke mar i, sekarang dengan bantuan Empu Bharodo keadaan berubah. Biarpun tubuh Wirokolo kebal dan amat sakti sehingga tidak roboh oleh pukulan Pethit Nogo maupun pukulan Jonggring Saloko, namun karena kini kedua orang pertapa itu menujukan pukulan-pukulan mereka ke bagian-bagian tubuh yang lemah, raksasa yang sakti itu menjadi repot juga. Ia sudah mengamuk dan balas memukul atau mencengkeram dengan kedua tangan yang membara, namun gerakan kedua orang lawannya itu terlalu gesit sehingga semua balasan serangannya gagal.

   "Plakk!! Dess...!!"

   Tamparan Pethit Nogo oleh jari tangan Resi Bhargowo mengenai pundaknya dan selagi terhuyung, ia dihantam oleh tangan kiri Empu Bharodo yang mengenai lambungnya.

   Biarpun dua pukulan ampuh ini tidak merobohkannya, namun cukup membuat tulang pundak ngilu dan perut mulas. Bangkit lah kemarahan Wirokolo. Untuk mempergunakan ilmu hitam seperti tadi, ia maklum tidak akan ada gunanya karena Empu Bharodo adalah seorang ahli dalam hal ilmu sihir, sehingga ilmu hitam seperti yang telah ia keluarkan tadi, yaitu Calon Arang, juga dapat dipukul buyar. Maka kini Wirokolo mengeluarkan teriakan keras sekali sehingga bumi seakan goncang, pohon-pohon bergoyang dan banyak daun pohon berguguran. Di saat lain Wirokolo telah menerjang maju dengan hebat sekali. Kini ular-ular yang tadinya melingkar di pergelangan tangannya, ikut bergerak dan setiap kali ia menghantam, maka ular di pergelangan tangan ikut pula menyambar dan menggigit.

   Demikian pula ular-ular di kedua kakinya. Bahkan ular di lehernya mengulur leher dan menyemburkan uap berbisa! Semua ini masih ditambah lagi dengan sepasang tombak pendek yang entah kapan telah dicabut oleh Wirokolo dari belakang pinggangnya. Hebat bukan main raksasa ini sehingga Resi Bhargowo dan Empu Bharodo terkejut juga dan melompat mundur. Empu Bharodo cepat mengeluarkan tombaknya, tombak pusaka yang tadi ia letakkan di depan guha, sedangkan Resi Bhargowo juga menyambar tombak milik Gagak Kunto yang tadi ia rampas. Mereka kini sudah siap dengan senjata di tangan, siap untuk bertanding mati-matian menghadapi lawan yang amat sakti itu.

   "Kakang berdua Bharodo dan Bhargowo, harap kalian mundur dan biarkan Wirokolo menjumpai aku."

   Suara ini halus, namun mengandung getaran penuh wibawa. Mendengar suara ini, seketika kedua orang pertapa itu melangkah mundur dan kembali duduk bersila di tempat semula.

   Napas mereka agak terengah, tanda bahwa pertandingan melawan Wirokolo tadi benar-benar amat berat bagi mereka yang sudah berusia lanjut. Diam-diam Joko Wandiro merasa khawatir sekali. Kalau kedua orang kakek sakti ini tidak mampu mengalahkan lawan, bagaimanakah kakek di depan itu akan menghadapinya seorang diri? Sementara itu, Wirokolo dengan kedua tombak pendek di tangan, tertawa bergelak sampai perutnya yang besar bergerak-gerak dan mukanya yang beringas menengadah. Kemudian ia menghentikan tawanya dan melangkah maju menghampiri Resi Jatinendra yang masih duduk bersila, akan tetapi kini tidak bersamadhi lagi, sepasang matanya terbuka, memandang penuh kelembutan dan bibirnya tersenyum ramah.

   "Kisanak, apakah kau yang bernama Wirokolo?"

   Pertanyaan ini terdengar halus dan sedikitpun tidak membayangkan kemarahan atau permusuhan.

   "Huah-hah-hah! Sang Prabu Airlangga, betul aku Wirokolo!"

   "Wirokolo, aku sekarang bukan lagi sang prabu, melainkan Resi Gentayu atau Resi Jatinendra. Andika bertekad datang ke Jalatunda, ada keperluan apakah? Katakan jangan meragu karena apapun permintaanmu, jika aku kuasa memberi, akan kuberikan kepadamu."

   "Huah-hah, Raja Airlangga! Jangan coba bersembunyi di balik kedok pertapa! Setelah kedua orang jagoanmu tak dapat mengalahkan aku, engkau lalu menggunakan kata-kata manis untuk menyenangkan hatiku? Engkau menjadi ketakutan? Takut kepadaku? Hah-hah, Sang Prabu Airlangga yang dahulu disohorkan gagah perkasa itu kini menjadi seperti harimau kehilangan kukunya, garuda kehilangan sayapnya!"

   Di dalam hatinya Joko Wandiro terkejut ketika mendengar bahwa kakek pertapa yang tenang dan ramah itu ternyata adalah sang prabu sendiri! Hatinya berdebar penuh kekhawatiran, akan tetapi melihat sikap yang kurang ajar dan sombong dari Wirokolo, jiwa satrianya memberontak, semua urat syaraf di tubuhnya menegang dan hampir tak dapat ia menahan dirinya yang hendak meloncat dan menandingi raksasa sakti itu. Akan tetapi Sang Prabu Airlangga atau Resi Jatinendra sendiri sama sekali tidak kelihatan marah mendengar ejekan dan cemoohan itu, melainkan tersenyum dan suaranya tetap halus dan ramah,

   "Satu-satunya hal yang kutakuti di dunia ini hanyalah kalau-kalau aku menyeleweng daripada kebenaran tanpa kusadari, Wirokolo. Selain itu, tidak ada yang kutakuti, juga engkau tidak. Aku telah sadar, Wirokolo, bahwa penggunaan kekerasan adalah penyelewengan manusia yang paling parah. Dari kekerasan inilah timbulnya segala perkosaan dan kerusakan, wahai kisanak, demi kebaikanmu sendiri, hentikanlah segala kekerasanmu dan katakanlah apa yang kau kehendaki dan aku akan memberikannya kepadamu."

   Sejenak sunyi menyambut ucapan yang amat sedap didengar ini. Suasana sunyi yang mengamankan hati, sunyi yang amat indah di mana tidak ada sesuatu yang mengganggu perasaan. Akan tetapi hanya sebentar karena segera terganggulah getaran damai yang timbul dari sabda sang resi itu oleh suara Wirokolo,

   "Heh, Airlangga! Siapa percaya obrolanmu? kau tanya apa kehendakku? Aku menghendaki nyawamu! Lihat, aku akan membunuhmu!!"

   Wirokolo mengamang-amangkan kedua tombaknya dengan sikap mengancam sambil melangkah makin dekat. Akan tetapi sang resi tersenyum, kemudian terdengar kata-katanya penuh wibawa sehingga ucapan yang keluar dari mulut sang resi mengandung getaran dan gema,

   "Hai Wirokolo, dengarlah baik-baik selagi engkau mendapat kesempatan mendengar kebenaran ini. Siapakah engkau ini yang akan dapat membunuh Aku? Siapakah engkau ini yang akan dapat menentukan mati hidup seseorang? yang tidak berawal takkan berakhir, dan Aku tidak berawal, maka tidak berakhir pula. yang tidak terlahir, takkan mati, dan Aku tidak terlahir. yang berawal dan terlahir hanyalah tubuhku, maka yang berakhir atau mati kelak hanya tubuhku. Jangan kira engkau akan dapat membunuhku, oh, Wirokolo, engkau tersesat amat jauh kalau berpikir demikian! Sebaliknya tubuhku ini takkan terluput daripada kematian, namun jangan pula mengira bahwa engkau yang akan menentukan mati hidup tubuhku, karena hal itu tidak berada dalam kekuasaanmu atau kekuasaan siapapun juga.Di samping bahwa engkau tidak berdaya untuk menguasai mati hidup seseorang, juga Aku telah diwajibkan menjaga wadah di mana Aku tinggal berupa tubuh ini, Wirokolo! Karena kalau tidak kulakukan hal itu, maka berarti meninggalkan wajib dan hal ini menyalahi keadaan!"

   
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kembali sunyi yang mendalam menyambut ucapan Sang Resi Jatinendra ini. Lebih lama daripada tadi. Tiada suara terdengar, bahkan angin sekalipun seperti berhenti bertiup untuk menghormati kata-kata yang merupakan untaian mutiara keluar dari mulut sang resi. Mutiara filsafat yang menjadi ajaran Sang Bhatara Wishnu, dituangkan dalam Bagawad Gita, yaitu ketika Sri Kresna (titisan Wishnu) memberi wejangan kepada Sang Arjuna dalam perang Bharatayuda. Akan tetapi, semua ajaran dan filsafat yang baik hanya dapat memasuki sanubari orang yang hatinya terbuka untuk kebajikan. Hati Wirokolo sama sekali tertutup oleh nafsu-nafsu duniawi yang menggelora sehingga kesadarannya terselimut oleh uap hitam yang timbul dari hawa nafsu, membuat mata sadarnya sementara menjadi buta akan kebenaran. Ia tertawa bergelak penuh ejekan, lalu berkata,

   "Apapun yang kau katakan, Airlangga, takkan dapat menahan kehendakku membunuhmu. Hendak kulihat apakah engkau mampu mengelakkan diri daripada mati di tanganku, huah-hah-hah!"

   "Sesukamulah, Wirokolo. Aku sudah memperingatkanmu!"

   Wirokolo kemudian menggunakan sepasang tombaknya. Karena ia maklum bahwa pertapa tua yang duduk bersila itu adalah Sang Prabu Airlangga yang amat sakti. Dahulupun Rajanya yang terkenal sakti, Sang Prabu Boko, tak sanggup melawan, maka kini ia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ajinya. Sebelum menerjang maju, ia berkemak-kemik membaca mantera dan muncullah bayangan nenek tinggi besar yang tadi muncul dan kemudian mundur karena dikalahkan Empu Bharodo. Nenek Calon Arang itu tampak bayangannya di belakang Wirokolo! Ketika Wirokolo menggereng, tidak hanya kedua telapak tangannya yang membara, bahkan mulutnya seakan-akan mengeluarkan api bernyala dahsyat, matanya mencorong seperti ada api di dalamnya. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,

   "Iblis jahat! Biar aku mengadu nyawa denganmu!"

   Bentakan ini keluar dari mulut Joko Wandiro yang sudah meloncat maju sambil menggerakkan sepasang goloknya. Hati anak ini tidak dapat menahan lagi menyaksikan sikap Wirokolo yang dahsyat itu. Ia merasa ngeri membayangkan betapa pertapa bekas Raja itu sama sekali tidak melawan menghadapi ancaman yang begitu buasnya. Maka tanpa berpikir panjang lagi, mengikuti getar hatinya, ia sudah meloncat dan menerjang Wirokolo dengan sepasang goloknya.

   "Joko...!"

   Resi Bhargowo berteriak, namun terlambat karena anak itu sudah menggerakkan tubuh dan goloknya, bagaikan seekor harimau muda menerjang Wirokolo dengan kecepatan mengagumkan. Wirokolo sama sekali tidak menduga bahwa dirinya akan diserang seorang anak-anak, menjadi terheran-heran dan hanya memandang dengan mata terbelalak.

   "Werr... werr...! Trangg... trangg...!!"

   "Heh-heh-heh!"

   Wirokolo tertawa dan sekali lengannya bergerak, tubuh Joko Wandiro terlempar dan roboh bergulingan, pingsan! Tadi sepasang golok anak ini dengan tepat mengenai sasaran, yaitu di dada dan pundak. Akan tetapi, sepasang golok itu membalik seperti menghantam baja saja ketika bertemu dengan tubuh Wirokolo yang kebal, dan sekali raksasa itu menampar, Joko Wandiro terlempar dan pingsan.

   "Huah-hah, Airlangga, setelah kehabisan jago tidak malukah engkau mengajukan seorang bocah? Nah, terimalah kematianmu!"

   Tubuh yang tinggi besar itu kini menerjang maju, sepasang tombaknya diputar-putar. Akan tetapi Sang Resi Jatinendra sama sekali tidak bergerak, hanya memandang dengan senyum menghias bibir dan masih duduk bersila di atas batu.

   "WuuuutttH Desssss!!"

   Bunga api berhamburan ketika batu yang diduduki Resi Jatinendra pecah ujungnya, dihantam tombak pendek di tangan kanan Wirokolo. Akan tetapi anehnya, Resi Jatinendra masih duduk bersila di situ sambil tersenyum, seujung rambutpun tidak bergeming, apalagi terluka, tombak itu tadi kelihatan tepat mengenai dada pertapa bekas Raja ini!. Sejenak Wirokolo terbelalak kaget, akan tetapi ia menjadi makin marah dan penasaran. Ia sama sekali tidak merasa betapa bayangan nenek mengerikan Calon Arang di belakangnya mundur-mundur ketakutan satelah dekat dengan sang pertapa. Selagi Wirokolo melangkah mundur lalu mengambil ancang-ancang untuk menerjang lebih hebat lagi, tiba-tiba menyambar angin keras dari samping, dibarengi bentakan nyaring,

   "Bedebah Wirokolo, pergilah!!"

   Angin itu menyambar datang, lalu tampak kaki tangan orang bergerak menerjang Wirokolo! Raksasa itu berusaha menangkis dan melawan, namun sia-sia belaka. Tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat seperti daun kering ditiup angin, terlempar sampai sepuluh meter jauhnya dan jatuh berdebuk seperti batang pohon pisang tumbang! Ketika raksasa yang sejenak merasa nanar kepalanya itu merangkak bangun sambil menyumpah-nyumpah marah lalu memandang, kiranya yang menyambar dan menghantamnya seperti terjangan Sang Haryo Werkudoro itu bukan lain adalah Ki Patih Narotama!.

   "Si keparat Wirokolo! Berani engkau mengganggu junjunganku? Hayo majulah dan kerahkan semua kedigdayaanmu. Inilah musuh lamamu, akulah tandingmu!"

   Wirokolo merasa ngeri. Bertahun-tahun yang lalu, ia sudah merasai betapa keras pukulan tangan Ki Patih Narotama!, betapa cepat tendangan kakinya. Bahkan kakak seperguruannya sendiri, Dibyo Mamangkoro yang lebih sakti, setelah mengerahkan semua kedigdayaannya dan bertanding yuda melawan Patih ini, akhirnya harus mengakui keunggulan Ki Patih. Dan melihat akibat terjangan Ki Patih tadi, yang mampu melemparkan ia sampai jauh, membuktikan bahwa selama ini ilmu kesaktian Ki Patih juga maju pesat.

   "Cukuplah, kakang Narotama! Jika engkau membalas kekerasan dengan kekerasan pula, akan berlarut-larut jadinya."

   Suara ini diucapkan oleh Resi Jatinendra, dan Ki Patih Narotama merasa seakan-akan kepalanya disiram air wayu yang dingin. Ia segera sadar betapa ia berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang seperti Sang Werkudoro di depan junjungannya yang masih duduk bersila, maka cepat-cepat ia mengebutkan ujung kakinya, lalu duduk bersimpuh penuh hormat.

   "Mohon maaf, yayi (adinda) prabu tidak kuat hati hamba menyaksikan kesombongan Wirokolo."

   Pada saat itu, Joko Wandiro sudah siuman dari pingsannya-Ia lalu meraih sepasang goloknya yang terlepas dekat disitu lalu bersila lagi, terheran-heran betapa kakek yang dikenalnya sebagai Ki Patih Narotama yang sakti, kini sudah bersimpuh menghadap Sang Prabu Jatinendra. Sementara itu Wirokolo yang gentar menghadapi Ki Patih Narotama, lalu bangkit dan mengamang-amangkan sepasang tombaknya, lalu berkata dengan penuh geram,

   "Airlangga dan Narotama! Sekarang kalian boleh tertawa-tawa atas kemenangan kalian. Akan tetapi awas, kelak akan datang saatnya kami membalas dendam! Kami akan selalu berusaha agar Kahuripan menjadi ajang perang saudara, sehingga terkutuklah semua keturunanmu sampai terbasmi habis. Huah-hah-hah!"

   Suara ketawa manusia iblis ini masih terdengar dari jauh biarpun orangnya sudah lenyap tak tampak lagi.

   "Kakang Narotama, apakah yang menyebabkan kakang datang menemui aku? Bukankah engkau amat dibutuhkan di Kotaraja, kakang?"

   "Duhai gusti junjungan hamba! Yayi prabu... hamba datang membawa berita buruk. Kalau paduka tidak lekas datang ke istana dan melerai, agaknya akan terjadilah apa yang dikatakan Wirokolo tadi. Pertentangan antara Gusti Pangeran Sepuh dan Gusti Pangeran Anom tak dapat hamba cegah lagi, perang saudara sudah meletus secara terbuka. Duh yayi prabu, tegakah hati paduka membiarkan perang dan bunuh-membunuh antar keluarga?"

   Resi Jatinendra mengerutkan kening memejamkan mata, lalu meraba dadanya sambil menarik napas panjang.

   "Duhai Dewata yang berwenang menguasai jagad raya! Sudah mulaikah malapetaka yang didahului lenyapnya pusaka Mataram dan terpisahnya keris dari warangkanya?"

   Sejenak pertapa ini menundukkan mukanya, kemudian berkata kepada Ki Patih Narotama,

   "Wahai kakang Narotama, sampai sedemikian rupakah mereka berlomba memperebutkan kekuasaan, memperebutkan kedudukan selagi aku masih hidup?"

   Di dalam ucapan ini terkandung rasa duka.

   "Gusti junjungan hamba. Sekali-kali bukan hamba berat sebelah atau memihak. Akan tetapi menurut pendapat hamba, Gusti Pangeran Anom yang berusaha mempergunakan kekerasan untuk merampas kekuasaan dari rakandanya. Banyak tokoh-tokoh sakti yang menyeleweng daripada kebenaran dipergunakan tenaganya oleh Gusti Pangeran Anom. Betapapun juga, andaikata perang berlarut-larut, hamba terpaksa memihak kepada Gusti Pangeran Sepuh, hanya karena mereka itu menjadi kaki tangan Gusti Pangeran Anom."

   "Hemm, sampai sedemikian hebat? Kakang Narotama, tentu saja aku takkan membiarkan darah mengalir di antara mereka. Akan tetapi, kakang. Sungguh kecewa hatiku mendengar pelaporanmu dan mendapat kenyataan bahwa engkau masih memihak seorang di antara mereka. Kalau engkau tidak berada di atas keduanya dan memihak, tentu akan lebih hebat kesudahannya, kakang. Apakah kau menghendaki aku turun tangan pula membantu Pangeran Anom?"

   "Duhai, yayi prabu... bukan begitu maksud hamba..."

   Sang resi tersenyum pahit.

   "Kalau kau yang maju dalam medan yuda, kakang Narotama, siapa lagi yang akan menjadi lawanmu? Tentu keadaan menjadi berat sebelah dan agaknya baru akan seimbang kalau aku maju pula menjadi lawanmu agar seimbang dan adil."

   "Ampun, yayi prabu...!"

   "Kakang, ingatlah bahwa apapun yang terjadi, mereka itu keduanya adalah puteraku, keduanya adalah darah keturunanku. Oleh karena itu, berjanjilah bahwa sejak detik ini, engkau tidak akan turun tangan mencampuri pertikaian mereka, tidak akan turun tangan memusuhi seorang di antara putera-puteraku, ialah keponakan-keponakanmu sendiri."

   "Hamba berjanji!"

   Jawab Ki Patih Narotama, suaranya gemetar.

   "Dan berjanji bahwa setelah aku tidak berada lagi di sini, kau tetap tidak akan turun tangan memusuhi seorang di antara putera-puteraku, kakang Narotama?"

   "Hamba berjanji!"

   "Nah, puaslah hatiku, kakang. Sekarang aku hendak datang sendiri ke istana untuk menghentikan keributan yang tiada guna itu. kau tidak perlu ikut, kakang, karena aku tidak akan memerlukan bantuan kekerasan. Biarlah kedua kakang Empu Bharodo dan Resi Bhargowo menyertaiku."

   Setelah berkata demikian, Resi Jatinendra atau Resi Gentayu itu memberi isyarat kepada dua orang pertapa yang segera bangkit berdiri, siap mengikuti perjalanan junjungan itu ke Kotaraja. Joko Wandiro cepat bangkit pula hendak mengikuti eyang gurunya, akan tetapi Resi Bhargowo segera melarangnya sambil berkata,

   "Joko Wandiro, engkau tinggallah di sini bersama gusti Patih yang tentu akan sudi memberi petunjuk-petunjuk kepadamu. Perjalanan eyangmu mengantar sang agung Resi Jatinendra ke medan yuda takkan makan waktu terlalu lama."

   Joko Wandiro menjadi kecewa sekali. Bukankah menurut Ki Tejoranu, sangat boleh jadi ayahnya berada pula di Kotaraja, ikut dalam perang? Akan tetapi, ia tidak berani membantah, apalagi ia amat takut kepada Resi Jatinendra yang bersikap agung dan penuh wibawa itu. Maka ia lalu bersimpuh kembali, menundukkan mukanya. Tiba-tiba Resi Jatinendra menahan langkahnya, menoleh ke arah Joko Wandiro, memandang sejenak, lalu berkatalah sang resi kepada Resi Bhargowo,

   "Inikah cucumu, kakang Resi Bhargowo?"

   "Betul, Joko Wandiro ini adalah cucu murid hamba, adi resi."

   "Bagian apakah yang diterimanya? Keris ataukah warangka?"

   "Dia mendapatkan warangkanya, patung kencana."

   Resi Jatinendra mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya.

   "Heh, orang muda! Sudah kau sembunyikan patung kencana itu?"

   Tiba-tiba sang resi bertanya. Joko Wandiro mengangkat muka lalu menyembah.

   "Sudah, eyang."

   "Bagus!, Kakang Narotama, anak ini tadi sudah membuktikan kebulatan hatinya untuk menentang kejahatan. Hanya dia inilah yang kelak boleh kita harapkan. Engkau sudah sepatutnya mendidiknya, kakang."

   Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban Sang Resi Jatinendra meninggalkan tempat itu, diikuti dari belakang oleh Empu Bharodo dan Resi Bhargowo. Setelah tiga orang kakek itu pergi, Narotama Patih sakti itu memandang penuh perhatian kepada Joko Wandiro, wajahnya berseri ketika ia mengingat kembali ucapan Sang Resi Jatinendra junjungannya yang ia cinta seperti saudara kandung sendiri.

   "Anak muda, apakah namamu Joko Wandiro?"

   Kemudian ia bertanya sambil menatap wajah yang menunduk itu.

   "Betul sekali, gusti Patih,"

   Jawab Joko Wandiro penuh hormat. Ki Patih Narotama tercengang.

   "Heh? Engkau sudah tahu siapa aku?"

   Joko Wandiro menyembah.

   "Hamba sudah tahu bahwa paduka adalah Gusti Patih Kanuruhan, juga disebut Gusti Patih Narotama."

   "Joko Wandiro, pernahkan kita saling berjumpa?"

   "Penah, gusti. Akan tetapi paduka tidak melihat hamba, yaitu ketika paduka bertanding dikeroyok oleh Cekel Aksomolo dan teman-temannya, karena hamba bersembunyi di atas pohon."

   "Hemm... hemmm..."

   Narotama mengelus-elus jenggotnya

   "Mereka mengeroyokku dekat muara Sungai Lorog. Joko Wandiro, katanya engkau cucu murid Resi Bhargowo. Siapakah gurumu?"

   "Guru hamba adalah ayah hamba sendiri yang bernama Pujo, yang dahulu datang membantu paduka dalam pertandingan."

   "Aaaaahh...?"

   Narotama makin tertarik dan mengelus-elus jenggotnya, keningnya berkerut. Tepat sekali, pikirnya. Anak ini berdarah satria. Dipandang sekelebatan saja sudah nampak bakatnya menjadi satria perkasa. Dan terutama sekali, Sang Resi Jatinendra sendiri yang tentu saja awas paningal itu telah memujinya. Lebih-lebih lagi, anak ini agaknya menyimpan pusaka Mataram, patung kencana Sri Bathara Wishnu! Dia tadi telah berjanji takkan turun tangan mencampuri urusan antara para pangeran.

   Hemm..., betapapun juga, junjungannya tak dapat melupakan kasih sayang terhadap putera, maklum bahwa kalau dia turun tangan, tentu ada puteranya yang menjadi korban. Akan tetapi, bagaimana kalau Pangeran Anom yang ia tahu benar mengadakan hubungan dan dibujuk-bujuk kakeknya, Maha Raja Sriwijaya untuk merebut kedudukan di Kahuripan? Dan Pangeran Anom yang ibunya seorang puteri Sriwijaya itu mempergunakan tokoh-tokoh bekas musuh Sang Prabu Airlangga! Bagaimana ia dapat mendiamkan saja kalau kelak Pangeran Anom membuat gara-gara? Akan tetapi ia telah berjanji kepada junjungannya dan ia maklum bahwa lebih baik ia mati daripada melanggar janjinya itu.

   "Engkau sudah sepatutnya mendidiknya, kakang."

   Demikian ucapan Sang Resi Jatinendra tadi ketika hendak pergi. Narotama tersenyum.

   Betapapun juga ia hampir lupa akan kebijaksanaan junjungannya itu. Kini mengertilah dia. Sang Resi Jatinendra tidak menghendaki ia kelak turun tangan ikut berperang saudara, karena sang resi menganggap ia kakak sendiri, berarti paman putera-puteranya! Tentu saja tidak rela hati Sang Resi Jatinendra kalau Narotama ikut berperang antar saudara. Dan tadi junjungannya telah memberi"jalan keluar,"

   Yaitu dengan jalan menurunkan kepandaian kepada seorang murid yang tepat! Seorang murid yang kelak dapat menggantikannya menggunakan kepandaian untuk menjamin ketentraman Kerajaan, membela yang benar menghancurkan yang salah, siapapun adanya yang benar atau yang salah itu. Menjadi penggantinya membela kebenaran dan keadilan, karena dia sendiri tidak mungkin dapat turun tangan, terbelenggu oleh janjinya tadi!

   "Joko Wandiro, maukah engkau menjadi muridku?"

   Saking heran, kaget dan juga girang Joko Wandiro mengangkat muka dan memandang dengan sepasang matanya yang bersinar-sinar. Ia tadi sudah menyaksikan betapa hebat sepak terjang Ki Patih yang sakti, bahkan dahulu pernah pula menikmati kesaktian kakek ini dikeroyok oleh tokoh-tokoh pandai. Tentu saja ia suka sekali menjadi murid Ki Patih Narotama yang menurut kabar adalah seorang yang paling sakti di Kahuripan, kecuali Sang Prabu Airlangga sendiri tentunya. Maka cepat-cepat ia menyembah.

   "Hamba suka sekali, gusti Patih..."

   "Bagus, dan mulai sekarang jangan menyebut gusti Patih kepadaku, melainkan bapa guru. Sekarang jawablah, apakah engkau tadi menyaksikan segala peristiwa yang terjadi di sini?"

   Joko Wandiro mengangguk. Ki Patih Narotama bermaksud mengambil murid Joko Wandiro hanya dengan satu tujuan, yaitu agar kelak ia mempunyai wakil penjaga keselamatan Kerajaan Kahuripan yang ia cinta, agar ia dapat mewakilkan muridnya untuk mempertahankan kebenaran dan keadilan di Kahuripan tanpa dia sendiri turun tangan. Maka ia ingin agar anak yang menjadi muridnya ini mengerti benar akan keadaan di Kerajaan Kahuripan, mengenal pula musuh-musuh Sang Prabu Airlangga yang amat banyak dan amat sakti, di antaranya Wirokolo tadi.

   "Mengertikah engkau akan segala peristiwa yang terjadi tadi, muridku? Kalau ada yang belum kau mengerti, sekarang juga kau boleh bertanya dan aku akan memberi penjelasan."

   Berkata demikian, Narotama lalu duduk di atas batu di depan Joko Wandiro. Girang hati anak ini. Tidak saja ia diterima menjadi murid kakek sakti mandraguna ini, juga ia mendapat kenyataan bahwa gurunya ini amat peramah dan sabar. Maka ia lalu segera mengajukan pertanyaan tentang peristiwa yang amat mengesankan hatinya tadi.

   "Bapa guru, sebelum manusia iblis Wirokolo tadi muncul, terjadi peristiwa aneh sekali. Serombongan kelelawar yang jumlahnya beribu-ribu datang menyerang ke sini, disambut ribuan burung sriti yang mengalahkan dan mengusir mereka. Bagaimana hal itu bisa terjadi, bapa guru?"

   "Hal itu terjadi karena aji yang disebut Panji Satwo. Aji ini adalah aji penakluk segala macam binatang. Akan tetapi seperti juga semua ilmu di dunia ini, bisa dihitamkan atau diputihkan oleh pelakunya. Segala aji di dunia ini bisa menjadi ilmu yang baik, bisa juga buruk, tergantung dari si manusia sendiri. Wirokolo menggunakan Aji Panji Satwo untuk melakukan hal-hal keji, maka ia memilih rombongan kelelawar untuk menyesuaikan diri. Di lain fihak, kakang Empu Bharodo juga menggunakan aji itu dan barisannya adalah burung-burung sriti yang memang bersarang di dalam guha. Pilihan tepat untuk mengusir kelelawar itu."

   Joko Wandiro merasa kagum, juga bangga.

   "Bapa guru, sesudah kelelawar-kelelawar itu dikalahkan dan pergi, lalu muncul nenek mengerikan yang mengeluarkan lidah api. Hamba pukul dan serang dia dengan golok, namun pukulan dan bacokan hamba tembus saja, seakan-akan tubuhnya hanya bayangan. Siapakah dia itu, bapa guru, dan mengapa setelah disambit puspa (bunga) oleh eyang Empu Bharodo, dia lenyap?"

   "Aahhh, sungguh keji si Wirokolo."

   Kakek sakti itu menghela napas."Untung ada kakang Empu Bharodo yang ahli dalam hal ilmu sihir. Kalau tidak kedigdayaan saja akan sukar mengalahkan Wirokolo. Ketahuilah, muridku. Nenek itu adalah iblis ciptaan ilmu hitam Calon Arang yang amat keji, juga amat dahsyat sukar dikalahkan. Kalau si Wirokolo sudah memiliki ilmu macam itu, sungguh ia merupakan manusia iblis yang berbahaya dan sudah selayaknya dibasmi. Sayang bahwa junjungan kita tadi melarang, kalau tidak, tentu sudah kubinasakan si jahat Wirokolo."

   "Siapakah dia itu, bapa guru? Dan mengapa dia memusuhi Sang Prabu Airlangga?"

   "Dia seorang bekas senopati Kerajaan Wengker yang dahulu dikalahkan oleh tentara Kahuripan. Agaknya ia masih mendendam dan hendak menuntut balas."

   Kemudian Ki Patih Narotama menyuruh muridnya memperlihatkan semua ilmu yang pernah dipelajarinya, dan mulailah ia memberi petunjuk-petunjuk yang didengarkan oleh Joko Wandiro penuh perhatian. Mulailah Joko Wandiro menerima gemblengan dari kakek sakti ini dan dari permulaannya, anak ini sudah dapat melihat bahwa gemblengan dari kakek sakti ini, dan dari permulaannya, anak ini sudah dapat melihat bahwa gemblengan ini jauh bedanya dengan gemblengan-gemblengan yang pernah ia terima, dapat mengerti bahwa gurunya ini memiliki ilmu kesaktian yang amat hebat. Maka iapun amat tekun mengikuti pelajaran yang diberikan Ki Patih Narotama.

   "Serbuuuuuu...! Hantam...!!"

   "Gempurr...! Bunuh...!! Hidup Pangeran Anom...!!"

   "Hayo maju...! Habiskan antek antek Sriwijaya! Hidup Pangeran Sepuh...!!"

   Teriak pekik menggegap-gempita. Debu mengebul tinggi menggelapkan udara. Kilatan keris, tombak, kelewang dan senjata-senjata lain menyilaukan mata. Derap kaki dan ringkik kuda menambah gaduh. Perang campuh terjadilah. Perang saudara antara pasukan-pasukan Pangeran Sepuh dan pasukan-pasukan Pangeran Anom!

   

Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini