Badai Laut Selatan 2
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
"Tar-tar-tar!"
Ledakan-ledakan seperti halilintar menyambar dan batu karang di langit-langit guha yang terkena ujung cambuk rontok semua berhamburan. Inilah ilmu Cambuk Sarpokenoko yang merupakan inti darl pada kesaktian Ni Durgogini, yang sudah menurun kepada murid tunggalnya yang terkasih.
"Hemm, Raden Wisangjiwo, sesungguhnya di antara kita tidak terdapat permusuhan mengapa, engkau begini mendesakku, bahkan telah melukai isteriku? Aku mengenal cambukmu, apakah kau benar-benar hendak mengadu nyawa?"
"Pengecut Pujo, tak usah banyak cerewet. Saat ini kematianmu sudah di depan mata. kau mampus dan isterimu menjadi milikku semalam suntuk."
"Keparat"
Pujo marah sekall dan menerjang ke depan dengan tangan terbuka. Biasanya dalam ilmu silat pukulan tangan terbuka dilakukan dengan jari-jari tangan saling berapatan dan ibu jari ditekuk ke dalam. Akan tetapi Ilmu Pethit Nogo lain lagi, mempunyai keistimewaan tersendiri. Ilmu Pethit Nogo ini bukan mengandalkan keampuhannya pada pukulan tangan miring atau keampuhan epek-epek (telapakan) tangan. Melainkan mendasarkan keampuhannya pada ujung-ujung jari tangan! Ujung-ujung jari tangan inilah yang menjadi pethit (ekor) naga. Oleh karena itu, jari-jari itu tidak merapat satu kepada yang lain, melainkan terpisah seperti kaki burung garuda, namun lurus-lurus tidak melengkung atau mencengkeram.
"Tar-tar! Wesss Ciuuuttt"
Cambuk Sarpokenoko benar-benar ampuh sekali, ketika diputar membentuk bayang-bayang hitam namun dayanya seperti halilintar menyambar, hawa pukulannya saja sudah terasa panas dan kalau mengenal tubuh manusia, konon akibatnya seperti sambaran petir, kulit tubuh bisa mlonyoh seperti tersiram air mendidih!
(Lanjut ke Jilid 02)
Badai Laut Selatan (Seri ke 03 "
Serial Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 02
Namun Pujo sudah cukup waspada. la cepat mempergunakan Aji Bayu Tantra sehingga tubuhnya menjadi ringan seperti sehelai daun dan cepat seperti angin, kemanapun juga ujung cambuk lawan menerjang, tubuhnya sudah mendahului berpindah tempat. Kadang-kadang kedua tangannya yang mainkan ilmu silat Pethit Nogo menyambar dengan serangan balasan yang dahsyat. Bahkan jari-jari tangan yang sudah kemasukan Aji Pethit Nogo, kadang-kadang berani menangkap ujung cambuk dan begitu bertemu, ujung cambuk seperti menghantam karet, terpental kembali memukul pemegangnya!.
Raden Wisangjiwo makin penakaran dan marah. Beberapa kali hampir saja ia termakan jari-jari tangan ampuh itu, karena setiap kali menyerang, gerakan lawannya cepat sekali membuat ia repot dan hampir tidak mendapat kesempatan mengelak. Maklum bahwa ia tak dapat mengatasi kehebatan lawan hanya dengan Ilmu Cambuk Sarpokenoko, dengan kemarahan meluap-luap Raden Wisangjiwo lalu memindahkan cambuk ke tangan kiri, tangan kanannya mengeluarkan Kerang Merah dan mulailah ia menggunakan ajinya Tirto Rudiro di samping Ilmu Cambuk Sarpokenoko! Bukan main hebatnya pertandingan antara dua orang muda murid guru-guru yang sakti ini.
Setengah jam lebih mereka bertanding, dan mulut guha sudah mulai gelap. Raden Wisangjiwo berseru keras ketika tangan kanannya memukulkan Aji Tirto Rudiro. Ketika Pujo menggunakan tangan kiri menangkis, cambuknya sudah menyambar dengan cara melibat dari belakang, mengarah leher lawan. Pujo tak sempat mengelak karena lengan kirinya masih"lekat"
Dengan lengan kanan lawan, maka cepat ia menundukkan kepala dan tangan kanannya menangkap ujung cambuk! Hebat cengkeraman tangan dengan jari-jari yang merupakan Pethit Nogo ini, sekali ia mengerahkan tenaga membetot, terdengar suara keras dan cambuk itu patah ujungnya!. Raden Wisangjiwo kaget, kembali tangan kanannya memukul, namun tertangkis tangan kiri dan pada saat itu Pujo sudah menggunakan tangan kanannya menampar pundaknya.
"Plakkkk!"
Kelihatannya perlahan saja jari-jari tangan kanan Pujo menyentuh pundak, akan tetapi akibatnya hebat karena inilah pukulan Pethit Nogo!
"Aduuhhhh...!"
Raden Wisangjiwo berseru kesakitan, tubuhnya terlempar dan sekali lagi terbanting pada dinding guha. Pujo tidak memperdulikannya lagi, melainkan cepat-cepat ia menghampiri istcrinya. Kartikosari sudah siuman, akan tetapi wanita ini merasa betapa isi dadanya panas seperti terbakar, kepalanya pening dan seluruh tubuhnya sakit-sakit. Maka ia telah duduk bersila, tidak berani membagi perhatian ke luar, melainkan mengeraskannya ke dalam untuk mengumpulkan hawa murni dan menghalau hawa beracun yang mengeram di dalam tubuhnya.
Melihat keadaan isterinya, Pujo kaget sekali. Begitu memegang pergelangan tangan isterinya dan memandang wajahnya dalam keadaan remang-remang itu, maklumlah ia apa yang terjadi. Isterinya terserang pukulan berbisa dan perlu segera ditolong. Keadaan isteri terkasih inilah yang membuat Pujo terlengah. Ia lalu duduk bersila di depan Kartikosari, menempelkan telapak kedua tangannya kepada telapak tangan isterinya, lalu ia mengumpulkan daya cipta dan mengerahkan ajinya sehingga hawa sakti dari dalam tubuhnya mengalir bagaikan air bah melalui telapak tangan mereka, masuk ke dalam tubuh isterinya dan merupakan tenaga maha kuat membantu isterinya menghalau pergi hawa beracun.
Pujo memang terlalu baik hati. Kalau saja ia tadi tidak menaruh kasihan kepada Raden Wisangjiwo sehingga dalam pukulannya ia mengerahkan seluruh tenaganya, tentu lawan itu telah tewas. Kalau saja ia tidak terlalu percaya bahwa lawan tentu malu untuk melakukan penyerangan gelap, tentu ia takkan selengah itu, atau kalau saja ia tidak terlalu khawatir akan keadaan isterinya yang tercinta, tentu ia akan berlaku hati-hati. Akan tetapi, setiap kejadian di dunia ini memang sudah teratur terlebih dahulu oleh kekuasaan yang melebihi segala kekuasaan di dunia. Ada saja sebabnya sehingga terjadilah hal yang semestinya terjadi. Pujo yang sedang tekun mengerahkan tenaga dalam, sama sekali tidak tahu bahwa Raden Wisangjiwo berindap-indap menghampirinya dari belakang, menggenggam Kerang Merah lalu menggerakkan tangan kanan menghantam punggungnya.
"Dessss...!!"
Hebat pukulan ini. Biarpun Raden Wisangjiwo sudah terluka, namun ilmu pukulan Tirto Rudiro ini memang hebat. Seketika tubuh Pujo terguling dan menggigil kedinginan, juga Kartikosari terserang pula, namun tidak sehebat suaminya. Wanita ini terguling dan pingsan kembali. Pujo berusaha bangun, akan tetapi sebuah tendangan membuatnya terlempar ke sudut guha.
"Huah-ha-ha-hahI Pujo, kau mau bisa apakah sekarang? Aku tidak akan membunuhmu, biarlah kau saksikan betapa isterimu menjadi milikku malam ini. Huah-ha-ha-hah!"
Seperti seorang mabok atau gila, Raden Wisangjiwo menghampiri tubuh Kartikosari yang menggeletak miring dalam keadaan tak sadar. Memang putera adipati itu mabok, mabok oleh nafsunya sendiri. Dan memang ia gila, karena orang yang mabok oleh nafsunya sendiri, yang diperhamba nafsu, tiada ubahnya seorang gila yang hilang akan kesadarannya sebagai manusia. Bahagialah dia yang dapat menguasai nafsunya, sebaliknya celakalah mereka yang menjadi hamba dari pada nafsunya sendiri!.
Biarpun keadaan sudah remang-remang, namun masih tampak jelas tubuh berbentuk indah tergolek di depannya. Dengan kasar Raden Wisangjiwo menggunakan kakinya menggerakkan tubuh Kartikosari sehingga terlentang. Sebagian rambutnya yang panjang terurai itu menutupi muka dan leher yang putih menguning. Dalam pertandingan tadi kainnya mengendur ikatannya sehingga agak melorot dan membayangkan keindahan dadanya. Raden Wisangjiwo menelan ludah, lalu tertawa dan kedua tangannya menjangkau. Tiba-tiba ia tersentak kaget dan melangkah mundur, keningnya berkerut. Ketika tangannya menjangkau hendak menjamah, terasa olehnya Kerang Merah tergenggam ditangan kanannya tadi ia menggunakan Kerang Merah untuk memukul Pujo dengan Aji Tirto Rudiro.
Kerang Merah inilah yang mengingatkan dia. Bibi gurunya berpesan agar ia memperdalam ilmu sakti Tirto Rudiro, akan tetapi ia harus berpantang, tidak boleh mendekati wanita selama dua puluh satu hari! Dan baru sehari saja kini ia akan melanggar pantangan. Jantungnya berdebar dan seluruh tubuhnya terasa dingin. Untung ia teringat. Ilmunya harus diperdalam, apalagi setelah ada permusuhan ini. Resi Bhargowo tak boleh dibuat main-main. Ia menoleh dan melihat betapa Pujo masih menggeletak tak bergerak. Siapa tahu Pujo tewas karena pukulannya tadi. Tentu Resi Bhargowo takkan tinggal diam. Ia bergidik mengingat hal ini. Baru muridnya saja, Pujo sudah sedemikian saktinya, apa lagi gurunya!. Rasa takut menggerogoti hati Raden Wisangjiwo, membuat nafsu berahinya lenyap dan sirna seketika.
Ia menghampiri Pujo yang tak bergerak-gerak, lalu meludah dan tertawa bergelak sambil melompat keluar dari dalam guha. Ia harus cepat-cepat pergi mendapatkan gurunya, Ni Durgogini untuk menceritakan kejadian ini agar gurunya dapat membelanya apa bila Resi Bhargowo mencarinya dan membalas. Suara ketawanya masih terdengar bergema, makin lama makin lemah, ketika Raden Wisangjiwo berlompat-lompatan naik meninggalkan pantai selatan yang menyeramkan ini, naik melalui jalan yang sukar itu menuju ke atas tebing. Pujo membuka matanya. Guha mulai gelap. Ia cepat bangkit duduk karena teringat kepada isterinya. Ketika ia memandang, hampir ia pingsan kembali. Isterinya sedang meronta-ronta, menggunakan tangan kaki menolak seorang laki-laki yang hendak memeluknya, memperdengarkan sedu sedan dan isak-tangis.
"Raden Wisangjiwo, lepaskan dia...!"
Pujo melompat bangun dan meringis karena rasa nyeri menusuk jantungnya, dan tubuhnya tiba-tiba menggigil kedinginan. Orang itu kaget dan melepaskan Kartikosari. Wanita ini sebetulnya adalah seorang wanita sakti yang tidak akan mudah begitu saja dipermainkan orang. Akan tetapi ia masih setengah lumpuh oleh daya pukulan Tirto Rudiro sehingga tenaga saktinya untuk sementara lenyap dan ia mengadakan perlawanan dengan tenaga seorang wanita biasa. Sambil memaksakan diri Pujo sudah bangkit dan terhuyung-huyung menerjang orang yang disangkanya Raden Wisangjiwo itu, namun dengan gerakan sigap sekali orang itu mengelak ke samping sambil mengayun kaki. Tanpa dapat dicegah lagi Pujo kena tertendang dadanya dan tubuhnya terlempar kembali ke sudut guha.
Tendangan orang itu antep sekali dan rasanya dadanya seperti akan melesak, napasnya sesak. Pujo hendak bergerak bangun, akan tetapi sia-sia. Tenaganya habis dan seluruh tubuhnya sakit-sakit, matanya berkunang-kunang, kepalanya pening dan ia hampir pingsan. Hanya jerit isterinya yang menyeretnya ke alam kesadaran, yang membuat ia terpaksa membuka matanya menembus cuaca remang-remang, la melihat betapa isterinya meronta-ronta, kemudian terdengar kain terobek disusul lengking isterinya yang seakan-akan mencabut jantungnya. Pujo mengerahkan tenaga melompat bangun, akan tetapi hal ini membuat ia menyemburkan darah hidup dan roboh kembali, pingsan. Suara terakhir yang didengarnya hanyalah lengking mengerikan di tengah-tengah suara ketawa iblis!
Siapakah sesungguhnya manusia iblis yang disangka Raden Wisangjiwo oleh Pujo dan Kartikosari itu? Bagaimana ia bias tiba secara kebetulan pada saat Pujo dan isterinya terluka dan tak berdaya?. Dia juga seorang pemuda yang tampan, seorang pemuda perkasa yang biasanya dianggap sebagai seorang pendekar gemblengan. Sesungguhnya dia bukanlah orang asing, bahkan ada hubungan seperguruan yang dekat dengan Pujo dan Kartikosari, karena dia inilah Jokowanengpati, seorang di antara murid-murid terpandai dari Empu Bharodo di Mataram!
Empu Bharodo adalah seorang pendeta yang amat terkenal di Mataram, bahkan dihormati oleh Raja Airlangga sendiri yang menganggapnya sebagai seorang pertapa sakti mandraguna yang sukar dicari tandingnya. Sebagai murid seorang pertapa sakti seperti Empu Bharodo, sudah tentu saja Jokowanengpati amatlah tangguh. Adapun Empu Bharodo adalah terhitung kakak seperguruan atau kakak angkat dari Resi Bhargowo, maka sesungguhnya di antara Jokowanengpati dan suami-isteri di Guha Siluman itu masih terdapat pertalian atau hubungan seperguruan atau sealiran. Agaknya hubungan dengan Empu Bharodo yang membantu Mataram inilah yang membuat Resi Bhargowo melarang anak dan muridnya membantu perjuangan menentang Mataram setahun yang lalu.
Dua tahun yang lalu, pernah Empu Bharodo mengusulkan perjodohan dengan keponakannya, Kartikosari dengan Jokowanengpati, akan tetapi usul itu ditolak oleh Resi Bhargowo yang sudah waspada akan isi hati anaknya yang jatuh cinta kepada murid tunggalnya sendiri, Pujo. Penolakan ini bagi Empu Bharodo bukan apa-apa dan sudah sewajarnya, namun tidak demikianlah bagi Jokowanengpati. Diam-diam ia sudah tergila-gila kepada Kartikosari yang denok ayu, sehingga membuat ia gandrung-gandrung rindu dendam mabok kepayang. Agaknya sudah menjadi kehendak Dewata bahwa inilah yang menjadi lantaran runtuhnya pertahanan batin Jokowanengpati, ataukah memang pada dasarnya pemuda ini tidak memiliki batin yang kuat.
Kalau tadinya ia merupakan seorang ksatria utama pembela kebenaran dan keadilan, seorang murid yang disayang gurunya karena selalu mengutamakan kebajikan, setelah kegagalan perjodohan itu, Jokowanengpati melampiaskan nafsu dan kekecewaannya kepada dara-dara di luar Kotaraja! Ia menculik, mempermainkan dan memperkosa gadis-gadis, bahkan isteri orang yang muda dan cantik, asal yang menggerakkan seleranya tentu akan ia culik, mengandalkan kepandaiannya! Makin la turuti, makin menggelora iblis menguasai dirinya, makin menghebat nafsunya sehingga akhirnya ia dicari oleh Empu Bharodo untuk disuruh mempertanggung jawabkan semua perbuatannya yang keji. Namun Jokowanengpati melarikan diri, merantau ke barat dan terkenallah ia sebagai seorang tampan, sakti dan cabul.
Betapapun juga, Jokowanengpati tidak melupakan bahwa ia harus selalu menggembleng diri dan memupuk kepandaiannya, karena kalau tidak, tentu ia kelak akan celaka, apalagi kalau sampai bertemu dengan gurunya. Inilah sebabnya maka Jokowanengpati pergi ke Guha Siluman untuk bertapa, karena daerah pantai Laut Selatan ini memang terkenal sebagai daerah yang baik sekali untuk bertapa dan mencari pusaka bagi para ahli tapa dan pendekar. Sudah dua hari dua malam Jokowanengpati bertapa di sebelah dalam Guha Siluman, di sudut sebelah dalam yang amat gelap, bertapa sambil duduk bersila di atas batu karang yang menonjol setinggi satu meter berbentuk runcing. Ia telah mewarisi Ilmu Bayusakti dari gurunya, maka ia sanggup bertapa di atas batu karang yang meruncing itu selama dua hari dua malam.
Pada senja itu ketika Pujo dan Kartikosari memasuki guha, Jokowanengpati sesungguhnya sudah berada di sebelah dalam guha! Ia kaget sekali, mula-mula mengira bahwa kedatangan dua orang yang dikenalnya itu merupakan utusan gurunya untuk menangkapnya. Betapa lega hatinya mendengar percakapan suami-isteri itu yang sama sekali tidak ada hubungan dengan dirinya dan ia terbelalak dengan jantung berdebar-debar melihat suami-isteri itu menanggalkan seluruh pakaian. Karena suami-isteri itu berada di mulut guha dan dia berada di sebelah dalam guha yang amat gelap, tentu saja semua perbuatan mereka itu dapat ia lihat dengan jelas sekali.
Maka ia dapat menyaksikan semua gerak-gerik Kartikosari yang dahulu membuat ia mabok kepayang. Kini melihat wanita yang pernah dicintainya secara diam-diam itu menanggalkan pakaian dan duduk bersila bertelanjang bulat, Jokowanengpati hampir tak kuat menahan gelora hatinya. Jantungnya meloncat-loncat serasa hendak copot, matanya melotot dan berkali-kali ia menelan ludah. Namun ia cukup mengerti bahwa suami-isteri itu adalah murid-murid paman gurunya, Resi Bhargowo yang sakti mandraguna. Tak berani ia berlaku lancang menurutkan nafsu hatinya. Maka iapun hanya dapat menubruk, mendekap dan membelai-belai Kartikosari dalam benaknya yang kotor saja.
Kemudian muncullah Raden Wisangjiwo yang mengakibatkan terlupanya Pujo dan isterinya karena kecurangannya. Tentu saja kalau ia mau, Jokowanengpati dapat membantu mereka. Akan tetapi Jokowanengpati sekarang bukanlah murid Empu Bharodo yang dahulu. Melihat perbuatan Wisangjiwo itu, ia malah menyeringai kegirangan. Ia hanya bersiap memberi hajaran kepada Radlen Wisangjiwo kalau pemuda bangsawan ini mengganggu Kartikosari. Namun akhirnya Raden Wisangjiwo yang juga sudah terluka, mengurungkan niatnya mengganggu dan pergi meninggalkan guha, meninggalkan Pujo dan Kartikosari yang sudah terluka hebat dan setengah pingsan. Manusia adalah makhluk yang paling lemah di antara segala makhluk sehingga mudah terombang-ambing di antara kebaikan dan kejahatan.
Sekali hati ini dikuasai nafsu, apa saja akan dilakukannya demi pemuasan nafsu hati. Hati nurani tertutup tabir dari asap hitam yang timbul dari nafsu, segala pertimbangannya patah dan satu-satunya hasrat hanya pelaksanaan dan pemuasan nafsu yang telah menguasai dirinya.Demikian pula halnya dengan Jokowanengpati. Sejak kemarin ia memang telah tenggelam dalam nafsu berahi, namun karena tiada kesempatan, ia masih menahan diri karena pertimbangan keselamatannya. Kini, begitu melihat kesempatan terbuka, gejolak nafsunya tak dapat ia tahan lagi. Tak mungkin ia dapat menyia-nyiakan kesempatan yang demikian baiknya. Di dalam guha sudah gelap, mereka takkan dapat mengenalnya lagi dan diapun muda serta tampan seperti Raden Wisangjiwo. Demikianlah, tanpa membuka mulut mengeluarkan suara, Jokowanengpati menjadi iblis menerkam Kartikosari.
Pujo bermimpi. Serasa ia hanyut, diseret dan dipermainkan ombak laut yang bergelora, diangkat tinggi, dibanting dan diangkat kembali. Betapapun ia berusaha untuk berenang ke pantai, ombak selalu menyeretnya kembali ke tengah. Dinginnya bukan main ketika ia dipermainkan ombak, serasa ditusuk-tusuk tulang sungsum, membeku jantungnya dan kaku-kaku seluruh tubuhnya. Hampir tak tertahankan lagi rasa sakit-sakit, hampir ia menangis dan menjerit-jerit kesakitan kalau saja ia tidak teringat bahwa hal demikian bukanlah laku seorang gagah. Lebih baik mati saja. Ia sudah menyerahkan diri, tidak mau lagi melawan ombak mendahsyat, menyerahkan diri dan pasrah kepada kehendak Dewata, menanti datangnya Sang Batara Kala mencaplok tubuhnya dan Sang Batara Yamadipati menjemput nyawanya. Tiba-tiba ia mendengar suara memanggil,
"Kakangmas Pujo..."
Seruan memanggil yang terdengar jauh sekali, akan tetapi berulang-ulang dan makin lama makin jelas. Suara Kartikosari! Suara isterinya yang tercinta! Suara yang seakan-akan mengembalikan semangatnya, mendatangkan tenaga mujijat ke dalam tubuhnya yang sudah lemah dan kaku. Ia mengerahkan tenaganya dan mulai melawan ombak lagi, berenang ke pantai. Suara itu makin jelas, bahkan kini bercampur dengan isak-tangis.
"Duhai kangmas Pujo... dosa apakah yang kita perbuat... sehingga kita mengalami semua ini...?"
Suara isterinya terputus-putus oleh sedu sedan. Isterinya! Kartikosari di dekatnya! Lenyaplah semua ombak, dan kesadaran kembali memasuki benaknya. Di dalam guha, diserang Raden Wisangjiwo, bertempur, terluka dan... dan... isterinya meronta-ronta dalam pelukan Raden Wisangjiwo... terdengar kain terobek dan lengking isterinya mengerikan! Pujo mengerutkan kening, tak berani membuka matanya. Terlampau buruk mimpi itu. Mimpi? Punggungnya masih terasa sakit dan dingin, bekas pukulan berbisa lawan. Dadanya juga masih terasa sakit, bekas tendangan kaki lawan. Mimpi? Bukan mimpi! Kenyataan! Dan Kartikosari?.
"...Kakangmas... mengapa kau diam saja...? Apakah kau sudah mati, kangmas...? Kalau kau mati, akupun ikut...,aduhhh, memang lebih baik kita mati..."
Tangis Kartikosari makin menjadi, terisak-isak dan tersedu-sedu, air matanya menjatuhi muka Pujo, rambutnya yang terurai menyapunyapu dada dan leher. Pujo membuka mata. Air mata isterinya amat panas menyentuh pipi dan dahinya. Silau matanya karena ternyata sinar matahari pagi telah menerobos masuk ke dalam guha.
"Kakangmas Pujo..."
Ia bangun duduk. Mereka berpandangan. Pujo menjelajahi tubuh isterinya dengan pandang matanya. Rambut yang hitam panjang terurai itu kusut, amat hitam membuat wajah berbentuk mendaun sirih itu makin pucat tampaknya, wajah cantik pucat yang basah oleh air mata yang masih bertetesan turun tiada hentinya, hidung yang berkembang-kempis oleh tangis, bibir yang bergerak-gerak, merah sekali karena di ujungnya berdarah. Pandang matanya menurun. Dada yang bergerak menggelombang, agak terengah-engah oleh tangis pula, dada membusung yang hampir tak tertutup kain. Kain robek! Kain itu telah robek lebar sekali dan kini dibalutkan sedapatnya untuk menutupi tubuh. Teringatlah Pujo. Terbayang semua olehnya. Kain robek menutup tubuh yang tidak bersih lagi!.
"Kakangmas Pujo...!"
Kartikosari menjerit cemas.
"Kau... kau kenapa...? Jangan pandang aku seperti itu, kangmas..., jangan...!"
Kartikosari menjerit dan menangis sambil merangkul suaminya. Akan tetapi Pujo menangkis dan mendorong tubuh isterinya. Kartikosari terjengkang, lalu merayap bangun dan memandang suaminya dengan sepasang mata terbelalak, dihias air mata yang menetes-netes turun. Ia menjangkau kembali, hendak menyentuh pundak suaminya.
"Jangan kau sentuh aku!"
Tiba-tiba Pujo membentak, suaranya parau setengah terisak, wajahnya pucat dan matanya terbelalak setengah melotot.
"Kangmas..."
"...Kau..., kau sudah... ternoda olehnya...?"
Ucapan ini setengah menuduh setengah bertanya, mengandung harap-harap cemas. Kartikosari menatap wajah suaminya beberapa saat, matanya penuh mengandung sesal, ujung hidung yang mancung Itu bergerak-gerak, bibirnya berkomat-kamit tanpa dapat mengeluarkan kata-kata, air matanya bercucuran seperti air hujan. Tiba-tiba ia menjerit dan menutup muka dengan kedua tangannya, menangis terisak-isak, pundaknya bergerak-gerak, tangis yang amat memilukan hati, akan tetapi bagi Pujo merupakan tanda bahwa dugaannya tepat, bahwa harapannya hancur. Ia mengepal tinju dan memukuli lantai guha tanpa disadarinya sehingga kedua tangannya sampai lecet-lecet dan berdarah. Tanpa pengerahan tenaga sakti, tangannya adalah tangan manusia biasa.
"...Kangmas Pujo... ahhh, kangmas... aku... aku tak berdaya... aku... aku terluka... kehilangan tenaga dan dia... dia kuat sekali..."
Akhirnya Kartikosari dapat berkata, menurunkan kedua tangannya. Mukanya makin pucat dan tubuhnya menggigil ketika ia mendekat hendak merangkul suaminya.
"Jangan sentuh aku dengan tubuhmu yang kotor dan hina!"
Pujo membentak.
"Jangan seret aku ke dalam lumpur kehinaan!"
Bentakan dan makian ini seakan-akan merupakan tamparan pada muka Kartikosari, membuatnya tersentak kaget dan mundur. Matanya terbelalak seperti mata kelinci ketakutan bertemu harimau.
"Kangmas... Kenapa kau sesalkan aku...? Kenapa kau mencaci-maki aku...? kau tahu, aku tidak berdaya, aku terpaksa... ahhhh... kangmas... mengapa kau memandangku seperti itu? kau tahu, malapetaka itu bukan salahku... aku tidak berdaya..."
"Kenapa kau tidak bunuh diri? Huh, agaknya kau mengalami kesenangan dengan dia, ya? Perempuan hina...!"
"Kangmas... ohhh... kangmas Pujo... tega benar kau mencaciku seperti itu... aduh, kangmas..."
Sukar sekali Kartikosari bicara karena isak-tangisnya merampas semua kata, membuat napasnya sesak dan ia roboh pingsan!.
Pujo tetap duduk bersila, wajahnya yang pucat itu mengeras, keningnya berkerut, matanya berapi-api, dadanya turun naik. Matanya menatap tubuh isterinya yang tergolek di depan kakinya, tubuh yang hampir telanjang. Keindahan bentuk tubuh Isterinya yang tersinar matahari pagi itu kini tidak lagi mendatangkan rasa berahi dan bangga, malah merupakan tusukan yang membuat hatinya terasa perih sekali. Tubuh yang sudah dijamah orang lain! Kotor, penuh aib dan noda! Ia membuang muka ketika tubuh itu bergerak-gerak kembali. Kartikosari siuman sambil terisak, kemudian merangkak bangun dan muka yang pucat itu menengadah, mencari-cari pandang mata suaminya, mencari-cari sinar mata penuh kasih yang biasa memancar dari mata suaminya.
"Kakangmas Pujo, aku bersembah sujut di depan kakimu, kangmas..., harap kangmas sadar kembali. Benar aku telah ternoda orang, akan tetapi... kau maklum bahwa hal itu terjadi di luar kemauanku. Aku tidak berdaya..."
"Cukup! kau tadi bilang lebih baik mati. Itu benar sekali. Kenapa tidak lekas-lekas mati, mau tunggu apa lagi?"
"Kakangmas Pujo! Benarkah yang bicara ini kakangmas Pujo, suamiku yang amat mencintaiku, yang bijaksana dan luas pandangan? Kangmas..."
"Cukup. Lebih baik kau mampus!"
Pujo membentak. Kartikosari bangkit berdiri. Air matanya berhenti mengucur, namun pandang matanya seperti lampu kehabisan minyak.
"Kangmas Pujo, memang aku lebih senang mati, akan tetapi bersamamu. Percayalah, andaikata kau tewas, aku pasti akan menyusulmu. Kakangmas Pujo suamiku, sekali lagi aku peringatkan bahwa apapun yang terjadi, aku tetap isterimu yang setia dan mencintamu. Sadarlah bahwa apa yang terjadi adalah di luar kemauanku..., ingatlah akan cinta kasihmu, kakangmas. seperti samudera, seperti kuku hitam, seperti ujung rambut? Kangmas, ingatlah..."
Bergerak-gerak bibir Pujo dan hampir saja air matanya runtuh. Hatinya terharu sekali, lebih-lebih mendengar kini isterinya terisak-isak sedih. Ia hendak bicara, akan tetapi kerongkongannya tersumbat. Akhirnya ia membentak,
"Cukup!, Aku tidak mau dekat lagi denganmu! kau kotor, ternoda, penghinaan yang takkan dapat tercuci bersih biar dengan maut sekalipun. Aku... aku benci kepadamu!"
"Aduh, kakangmas..."
Tubuh Kartikosari lemas dan roboh lagi terguling, berlutut di depan kaki Pujo.
"Kau ampunkan aku, kakangmas... jangan putuskan cinta kasih kita..."
"Hemm, perempuan rendah, kau masih berpura-pura lagi? Lebih baik kau lekas pergi menyusul Raden Wisangjiwo dan ikut padanya,kan lebih senang Jadi selirnya, atau jadi pelayannya, dia tampan dan kaya raya, putera bangsawan pula. Pada lahirnya saja kau pura-pura menyesal, sebenarnya dalam batin kau amat senang kepadanya. Huh, hina dina!"
Seakan-akan ditusuk keris berkarat rasa hati Kartikosari. Betapapun besar cinta kasihnya kepada Pujo, namun ia adalah puteri tunggal Resi Bhargowo. Tiba-tiba ia meloncat bangun dan berdiri,sikapnya agung, matanya memancarkan sinar berapi. Dengan tenang ia membereskan pakaiannya, membalut ketat dan erat-erat, lalu ia berkata, suaranya berbeda sekali dengan tadi, kini tenang, berwibawa, dan penuh rasa penasaran.
"Kangmas Pujo! kau melampaui batas, Agaknya iblis yang menguasai hati jahanam Wisangjiwo, tertinggal di sini dan kini menguasai hatimu dalam bentuk lain. kau cemburu dan iri hatil kau tidak mau melihat kenyataan dan sekarang aku berani menyatakan bahwa kau sebenarnya pengecutl kau diperhamba nafsu sendiri sehingga buta melihat kenyataan. kau seorang yang terlalu sayang, terlalu memanjakan diri sendiri sehingga tidak melihat keadaan lain orang. kau buta sehingga tidak melihat betapa malapetaka ini membuat aku jauh lebih menderita lahir batin daripada engkau! Demikian pengecut engkau, demikian mementingkan diri sendiri sehingga kau bukannya menaruh kasihan kepada isterimu, malah kau mencaci-makinya dengan fitnah-fitnah keji. Bukannya kau mencari daya membalas dendam kepada orang yang telah menghina kita, sebaliknya kau malah secara keji menyiksa hatiku. Ini semua membuktikan bahwa cintamu adalah cinta jasmani belaka, cinta yang berdasarkan nafsu berahi semata. Karena cintamu dangkal dan hanya tubuhku yang kau cinta, maka kau kecewa melihat tubuhku dinodai orang lain, padahal kau maklum seyakinnya bahwa batinku sama sekali tidak ternoda, bahwa cintaku sama sekali tidak pernah goyah. Kangmas Pujo, kau picik dan buta. kau menghina dan menyakiti hatiku. Karena aku cinta kepadamu, maka rasanya hatiku lebih sakit lagi, lebih sakit daripada perbuatan si jahanam Wisangjiwo kepadaku. Alangkah inginku membunuhmu di saat ini, lalu membunuh diri sendiri. Akan tetapi aku harus hidup, aku harus membalas semua penghinaan ini. Dan aku... aku tetap mencintaimu sampai akhir hidupku. Kangmas Pujo..., suamiku..., kekasihku..., selamat tinggal...!"
Kartikosari terisak-isak, lalu berjalan keluar dari guha. Akan tetapi setibanya di sudut guha, di mana semalam ia rebah, ia melihat sesuatu. Sejenak ia tertegun, lalu dipungutnya sepotong jari kelingking, digenggamnya erat-erat, kemudian ia melompat keluar sambil menangis terisak-isak.
Pujo masih bersila tak bergerak seperti patung. Semua ucapan Kartikosari menghunjam di jantungnya. Tepat dan cocok, demikian bisik kesadaran batinnya. Namun nafsu hati mencibirkan bibirnya. Mengenang dan membayangkan betapa tubuh isteri yang menjadi miliknya seumur hidup itu dijamah orang, dipermainkan dan dibelai, otak dan hatinya panas sekali dan ia sanggup membenci segala apa di dunia ini, termasuk dirinya sendiri. Dendam kepada Raden Wisangjiwo! Ya, benar! Itulah tujuan hidupnya kini. Membalas dendam yang hebat ini, sehebat badai Laut Selatan. Masih terdengar olehnya isak-tangis Kartikosari yang meninggalkan guha dan terdengar suara isterinya,
"Dendam sedalam Laut Selatan! Tunggu saja kau, jahanam, tunggu kau datangnya pembalasanku. Akan kupicis (kerat-kerat) mukamu, akan kuhisap darahmu, kukeluarkan dan ganyang jantungmu, kukeluarkan isi perutmu dan kujadikan umpan burung gagak dan ikan hiu. Tunggu saja kau. ..hi-hi-hi-hik!"
Pujo terlompat kaget dan bulu tengkuknya meremang.
"Kartikosari... mengapa..., mengapa engkau?"
Demikian bisik hatinya. Belum pernah ia mendengar isterinya tertawa seperti itu. Sayang, sayang rasa cemburu telah meracuni hati nuraninya. Kalau saja ia menyusul isterinya dan merangkulnya, menghiburnya, mungkin belum terlambat. Akan tetapi sayang, Pujo melompat keluar dari Guha Siluman bukan untuk mengejar isterinya, melainkan untuk lari ke jurusan yang berlawanan, isterinya ke kiri dia ke kanan, lalu melompat-lompat menahan rasa nyeri akibat luka-lukanya meninggalkan Guha Siluman.
Ajaib. Pagi hari yang tadi cerah itu tiba-tiba menjadi gelap. Badai yang sudah diramalkan oleh sibuknya burung-burung walet meninggalkan guha-guha semalam, tiba-tiba muncul. Angin bertiup, air bergelombang, makin lama makin menghebat, cuaca di permukaan laut menjadi gelap, suara angin bersiutan disambut suara gelegar ombak menghantam batu-batu karang. Makin lama makin tinggi, makin lama makin besar. Mula-mula ujung ombak yang memukul batu karang di bawah Guha Siluman hanya muncrat ke atas, percikan air membasahi mulut guha. Akan tetapi makin lama badai mengamuk makin hebat, ombak makin tinggi sehingga ombak raksasa melontarkan air masuk ke dalam guha Air menyerbu masuk dan keluar lagi mengalir seperti air bah.
Semua yang berada di dalam guha dihanyutkan keluar, seakan-akan Laut Selatan hendak mencuci Guha Siluman daripada noda-noda semalam"
Sayang! Bekas-bekas noda dapat dicuci, akan tetapi goresan luka di hati tak mungkin dapat disembuhkan. Peristiwa semalam di dalam Guha Siluman disusul badai Laut Selatan yang amat hebat, yang menumbangkan banyak pohon, menggetarkan gunung-gunung, menggugurkan banyak batu-batu karang besar menutup guha-guha lama membentuk guha-guha baru. Agaknya badai Laut Selatan ini telah memberi peringatan bahwa peristiwa malam jahanan itu akan menimbulkan hal-hal hebat seperti badai mengamuk!. Badai di Laut Selatan ditimpali hujan ribut di atas bukit pantai, yaitu bukit atau Pegunungan Seribu.
Kilat menyambar-nyambar, seakan-akan para dewata marah-marah kepada seorang pemuda yang menyelinap di antara pohon-pohon kemloko yang buahnya jatuh berhamburan. Pemuda ini menyumpah-nyumpah karena pakaiannya basah kuyup dan lebih sering menyumpah ketika tangan kirinya terasa perih oleh air hujan. Ia berteduh di bawah sebatang pohon randu alas, menghapus mukanya yang penuh air dan peluh, lalu memandang tangan kirinya. Jari tangan kirinya tinggal empat buah. Ketika ia hendak meninggalkan guha menjelang fajar, ketika tangan kirinya membelai muka yang halus cantik, wanita yang tadinya lemas tak berdaya itu pada saat terakhir seakan-akan dapat menghimpun tenaga, menjadi liar dan jari tangannya yang membelai bibir dengan cubitan, telah digigit. Kelingkingnya putus oleh gigitan itu!.
"Iblis betina...!"
Ia menyumpah-nyumpah sambil melanjutkan perjalanan, berlari-lari menuruni lereng, mulutnya sebentar tersenyum sebentar menyeringai ketakutan. Ia tersenyum kalau teringat akan wanita bekas kekasihnya itu, akan tetapi Jokowanengpati, pemuda ini menyeringai khawatir kalau ia mengingat betapa ia menghadapi bahaya kalau Kartikosari atau Pujo mengenalnya.
Akan tetapi semalam itu amat gelap di guha, dan tak pernah ia mengeluarkan kata-kata, tak mungkin Pujo atau Kartikosari sekalipun, dapat mengenalnya. Sementara itu di sepanjang pantai sebelah timur Guha Siluman, yang penuh batu-batu karang, Kartikosari berlari-lari sambil menangis menjerit-jerit, kadang-kadang tertawa bergelak-gelak. Wanita ini berlari dengan pakaian tidak karuan, rambut riap-riapan sampai ke pinggang. Angin badai mengamuk ia tidak peduli. Berkali-kali ombak besar datang sampai di batu karang di mana ia berloncatan, seakan-akan ia ditelan ombak berikut batu karang. Namun setelah ombak kembali ke tengah, ia masih saja kelihatan berloncatan dengan pakaian, tubuh, dan rambut basah kuyup.
"Kakangmas Pujo... aduh, kangmas..., kau tega benar kepadaku..,...! Awas kau Wisangjiwo, kuhancur lumatkan kepalamu, hi-hi-hi-hik, ha-hah!"
Badai masih mengamuk hebat ketika Kartikosari tiba jauh di timur sampai di daerah yang disebut Karang Racuk. Ia berhenti di sana karena pantai telah terputus oleh sebuah teluk, yaitu Teluk Baron. Namun hanya sebentar saja Kartikosari termenung, kemudian dengan nekat ia meloncat ke bawah, ke air laut yang bergolak naik diamuk badai.
Air mengganas, badai membuat laut bergelombang sebesar anak bukit, demikian besar dan dahsyatnya Laut Selatan sehingga tubuh Kartikosari yang mencebur itu kelihatannya hanya seperti sebuah titik hitam yang segera lenyap ditelan ombak! Namun, beberapa menit kemudian, tubuh Kartikosari terdampar di pantai teluk, di atas pasir yang halus. Ombak yang terakhir mempermainkannya sedemikian besarnya sehingga tubuhnya dilontarkan jauh ke pantai pasir dan ia tertinggal di situ, tak tercapai oleh ombak lain yang datang bergulung-gulung. Lidah ombak yang menjulur ke pantai pasir paling jauh hanya mencapai kedua kakinya yang tak tertutup kain lagi, putih kekuningan seperti perut ikan hiu. Wanita itu tak bergerak-gerak. Ia pingsan di pantai Teluk Baron yang sunyi senyap.
Dari dalam hutan dekat pantai terdengar auman harimau, disusul bunyi rombongan kera yang bercicitan takut. Beberapa ekor burung gagak terbang berputar-putar di atas tubuh yang rebah tak bergerak, makin lama makin rendah lalu hinggap di atas batu karang yang menonjol keluar dari pasir, hinggap di situ tak bergerak seperti patung dan mata melirik ke arah tubuh manusia yang tak bergerak gerak itu. Burung-burung gagak ini maklum bahwa manusia yang rebah tak berkutik itu belum mati, mungkin akan mati dan mereka hanya mau mendekati bangkai. Mereka sabar menunggu. Akan tetapi tak lama kemudian rombongan burung gagak itu terbang ke atas sambil mengeluarkan bunyi nyaring,
"Gaaaaok... gaaaok... gaaaokk!"
Dan terbang makin jauh. Suara burung-burung ini mengandung kecewa, karena manusia yang tadinya disangka akan mati ternyata dapat bergerak dan bangkit, lalu berlutut di atas pasir sambil menangis tersedu-sedu. Hancur hati Kartikosari ketika ia siuman kembali dan mendapatkan dirinya berada di pantai, di atas pasir halus.
"Duhai Dewata yang agung... mengapa hamba masih hidup? Masih kurangkah hukuman penderitaan yang ditimpakan kepada diri hamba? Aduh, Dewa... dosa apakah gerangan yang hamba lakukan dalam kehidupan yang lalu? Bapa... bapa resi... tak mungkin aku dapat kembali ke Sungapan, aku malu berjumpa dengan bapa... aduh bapa resi, bagaimanakah anakmu ini, bapa...!"
Kartikosari menangis, mengeluh, menyembah-nyembah dan bersambat kepada para dewata, kepada ayahnya Resi Bhargowo, kepada ibunya yang telah tiada. Namun, hanya deru dan ombak membadai yang menjawabnya, deru ombak yang berpengaruh, yang menelan semua tangis dan keluhnya, yang membungkam auman harimau dan suara margasatwa di dalam hutan, yang membuat binatang yang betapa buaspun lari ketakutan menjauhi pantai. Lambat-laun, tampak perubahan pada sikap Kartikosari. Ia meloncat tinggi dan dengan sikap orang menghadapi lawan, dengan muka beringas, mata berapi-api, ia memasang kuda-kuda mengepalkan tinju menghadapi Laut Selatan yang menggelora, kemudian ia memekik, suaranya tinggi nyaring hendak mengatasi gemuruh sang badai,
"Badai Laut Selatan! Saksikanlah sumpahku! Mulai saat ini aku bukanlah puteri Resi Bhargowo lagi, melainkan puterimu! Mulai saat ini akupun bukan isteri Pujo lagi, melainkan isterimu! Ya, aku puteri Laut Selatan, aku isteri Badai Laut Selatan. Ha-ha-ha, aku akan mengamuk seperti badai!"
Ia berteriak-teriak, menyambut datangnya ombak, bermain-main dengan ombak seakan-akan menyambut suaminya yang tercinta, lalu bergulingan ke atas pantai pasir bersama ombak, tertawa-tawa seperti sedang bersendau-gurau dengan suami yang tercinta! Badai Laut Selatan mengamuk hebat. Tidak hanya daerah Guha Siluman dan Teluk Baron yang diamuk, juga pasisir Karang Tumaritis dan daerah Sungapan dilanda badai pula. Malam terjadinya peristiwa jahanam di dalam Guha Siluman itu mengakibatkan getaran hebat dalam batin Resi Bhargowo. Kakek ini tengah bersamadhi setengah pulas pada malam hari itu. Tiba-tiba ia tersentak kaget dan sadar, lalu membetulkan letak kedua kakinya yang bersila, tangan kanan meraba dada kiri, tangan kiri meraba dahi, keningnya bergerak-gerak.
"Jagad Dewa Batara... terlaksanalah segala kehendak Hyang Widi! Getar begini hebat mengguncang batin, ujian apa gerangan yang akan kuhadapi"
Sebagai jawaban pertanyaan sang resi terdengarlah deru angin kencang, disusui derap kaki mendekat pintu pondok pemujaan, lalu terdengar suara cantrik Wisudo,
"Sang resi...! Sang resi...!"
Pintu pondok terbuka dan muncullah cantrik Wisudo dengan muka pucat dan gugup.
"Cantrik, kau nyalakan lebih dulu pelita di sudut itu, agar terang,"
Suara Resi Bhargowo terdengar lirih dan halus, penuh ketenangan. Cantrik Wisudo meraba-raba dalam gelap, bertemu dian dan berusaha menggores batu api membuat api. Namun sia-sia, karena tangannya gemetar dan gugup sekali.
"Tenang... tenang..., tenang..., Wisudo. Tiada kesukaran yang tak dapat diatasi dengan modal ketenangan."
Mendengar kata-kata ini, lenyaplah kegugupan cantrik Wisudo dan akhirnya ia berhasil menyalakan pelita dan bilik sederhana itu menjadi terang.
"Urusan apakah yang memaksa engkau malam-malam begini datang kepadaku, cantrik?"
"Maafkan saya, sang resi. Akan tetapi... bahaya datang mengancam... badai akan mengamuk...!"
Resi Bhargowo mengangguk-angguk,
"Kau sudah melihat tanda-tandanya?"
"Sudah, sang resi. Juga teman-teman datang melapor. Burung-burung walet berbondong keluar dari dalam guha-guha, bercicit bingung di atas guha menguatirkan sarang yang mereka tinggali. Monyet-monyet menjauhi tebing di pinggir pantai, burung-burung gagak berdatangan ke pantai dari gunung, sebaliknya burung-burung elang laut mengungsi ke gunung. Langit sebelah selatan hitam oleh awan mendung, permukaan laut amat tenang seolah-olah tidak bergerak. Agaknya akan luar biasa besarnya badai yang datang mengamuk, sang resi."
"Kalau begitu, kau cantrik Wisudo bersama dua orang temanmu pergilah ke barat, beri peringatan kepada para nelayan dan penduduk pantai agar meninggalkan pantai dan bantu mereka. Juga cantrik Wistoro bersama dua orang teman lain membantu penduduk di sebelah timur. Berangkatlah kalian sekarang juga."
"Tapi... tapi sang resi... kalau semua cantrik pergi, bagaimana dengan pondok Bayuwismo di Sungapan ini? Tidak ada yang membantu sang resi..."
"Heh, cantrik Wisudo! Lupakah engkau bahwa menolong orang lain adalah hal pertama, menolong diri sendiri hal terakhir?"
"Ohhh... baik sang resi, perkenankan saya dan teman-teman berangkat sekarang juga."
"Berangkatlah, aku segera menyusul."
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sepergi cantrik Wisudo dan teman-temannya mentaati perintah Resi Bhargowo, kakek ini masih duduk termenung. berulang kali menarik napas panjang menenangkan jantungnya yang berdebar-debar. Getaran yang mengguncangkan batinnya makin menghebat dan akhirnya ia keluar dari pondok dengan tongkat di tangan. Ia menengadah memandang ke angkasa, melihat laksaan bintang menghias angkasa di atas pantai, lautpun tenang-tenang saja, akan tetapi angin bertiup keras dan angkasa di selatan gelap pekat. Dari pengalamannya ber puluh tahun tinggal di pantai, Resi Bhar-gowo dapat menduga bahwa badai akan tiba di pagi hari, dan saat itu sudah jauh lewat tengah malam, jadi tidak lama lagi badai akan mengamuk. Kembali ia menghela napas karena guncangan batinnya makin menghebat.
"Terserah kehendak Hyang Widi..."
Bisiknya, kemudian tubuhnya melesat dan lenyap ditelan gelap malam. Pada keesokan harinya, bersama dengan munculnya sang surya (matahari), datanglah badai yang telah dinanti-nanti dengan. hati gelisah itu. Badai yang amat hebat, mengamuk di sepanjang pantai Laut Selatan. Resi Bhargowo tidak tinggal diam. Bersama enam orang cantriknya, kakek ini menolong para nelayan dan penduduk pantai, menaiki perahu ke tempat aman, mengungsikan anakanak, wanita dan ternak ke atas bukit karang yang kiranya takkan terjangkau lidah ombak badai, mengangkuti barang-barang kebutuhan ke tempat aman dan terpaksa meninggalkan pondok-pondok dan gubuk-gubuk bersunyi sendiri di tepi pantai menghadapi sebuah badai yang mengganas.
Dengan mata terbelalak para penduduk pantai itu melihat dari atas, di tempat persembunyian mereka, betapa gubuk-gubuk dan pondok-pondok mereka beterbangan dilanda badai, sebagian pula dicabut ombak dan dihempaskan ke batu-batu karang sampai hancur berkeping-keping! Lewat tengah hari setelah badai mereda, enam orang cantrik sibuk mengkumpulkan barang-barang yang masih dapat dipakai, sisa-sisa dari pondok Bayuwismo yang hanyut dan hancur oleh badai. Namun Resi Bhargowo tidak tampak bersama mereka. Pada saat itu, Resi Bhargowo telah berdiri di mulut Guha Siluman, berdiri seperti patung, bersandar pada tongkatnya dan sepasang matanya memandang ke dalam guha tanpa berkedip.
Tiada bekas dari sepasang orang muda itu, tidak ada tanda-tanda bahwa puterinya, Kartikosari dan mantunya, Pujo pernah bertapa di tempat ini. Padahal ia maklum betul bahwa anak dan mantunya itu pasti mematuhi nasehatnya, bertapa di dalam guha ini. Apakah mereka hanyut oleh ombak dalam badai? Ataukah mereka berhasil menyelamatkan diri? Akan tetapi, menurut perhitungannya, ketika badai mulai, anak dan menantunya itu pasti sedang berada dalam keadaan bersamadhi sehingga amat boleh jadi tidak mendengar keributan badai. Kalau demikian halnya, tidak ada jalan lagi untuk menyelamatkan diri. Tiba-tiba tubuh kakek itu menggigil, matanya memandang ke sudut guha, terbelalak, keningnya berkerut-kerut.
"Ya Jagad Dewa Batara. ampunilah kiranya hambaMu ini dan berilah kekuatan untuk menerima segala akibat karma dengan tenang dan sadar..."
Ia memuji sambil meramkan mata. Tenanglah hatinya ketika ia membuka mata kembali memandang ke sudut. Kemudian perlahan-lahan ia menghampiri sudut guha membungkuk dan mengambil sebuah benda kecil yang menancap pada lantai karang. Sebuah benda kecil mengkilap, yang ia kenal sebagai tusuk sanggul rambut puterinya, terbuat daripada emas, berbentuk bunga seruni, hiasan rambut buatannya sendiri!
Ia menggenggam tusuk sanggul itu, menggenggam erat-erat, menahan rasa nyeri dari hati yang seperti disayat-sayat. Suara berkelepekan membuat ia membuka kembali matanya yang tadi dipejamkan, menoleh ke sebelah dalam guha. Di bagian karang yang rendah masih tertinggal air laut dan di situlah tampak seekor ikan berkelepekan karena kekurangan air. Agaknya ikan itu terbawa oleh ombak ketika badai mengamuk dilontarkan ke dalam guha bersama ombak dan ketika ombak kembali ke laut, ikan sebesar paha itu tertinggal di situ. Sejenak Resi Bhargowo hanya memandang, ia masih terlalu tenggelam dalam kekhawatiran dan duka memikirkan keadaan puteri dan mantunya, akan tetapi sejenak kemudian kakek itu melangkah ke arah ikan, dipegangnya ikan itu dengan tangan lalu ia melangkah keluar guha.
"Ikan, kubantu engkau pulang ke asalmu. Sekiranya anak mantuku tersesat ke daerahmu, harap kau suka membantu mereka pulang ke darat!"
Kakek itu menggerakkan tangan dan melesatlah ikan itu ke udara, kemudian jatuh ke dalam laut, menyelam dan tidak muncul lagi. Resi Bhargowo menghela napas, sekali lagi memeriksa ke dalam guha yang telah bersih dicuci oleh ombak kemudian pergi meninggalkan guha, pulang ke Sungapan.
Setelah bersama enam orang cantriknya membangun kembali pondok Bayuwismo yang runtuh oleh badai, Sang Resi Bhargowo menyuruh para cantriknya untuk pergi mencari anak dan menantunya. Namun usaha itu sia-sia belaka. Para cantrik pulang dengan tangan hampa. Mereka tidak dapat menemukan Kartikosari atau Pujo, bahkan tidak mendengar berita tentang mereka, tidak pula mendengar mayat-mayat mereka terdampar di pinggir laut. Semenjak itu, terjadi perubahan pada diri Resi Bhargowo. Rambut dan jenggotnya tiba-tiba menjadi putih seluruhnya, seputih perak. Setahun kemudian Resi Bhargowo meninggalkan Bayuwismo di Sungapan, meninggalkannya dalam rawatan enam orang cantrik, kemudian mengembara dengan memakai julukan baru, yaitu Bhagawan Rukmoseto (Rambut Putih).
* * *
"Tarrr...! Wessss..., tar-tarrrr...!!"
Sinar menyilaukan mata menyambar dan,
"Krakkkk... bruuuukkk...!"
Pohon sebesar manusia yang tinggi itu tumbang! Raden Wisangjiwo meramkan matanya penuh kengerian. Ia maklum bahwa sekali cambuk Sarpokenoko di tangan gurunya itu menyentuhnya, tubuhnya akan hangus dan nyawanya takkan tertolong lagi.
"Berlutut engkau!"
Suaranya nyaring namun merdu. Ia amatlah cantiknya dengan rambut yang digelung lebar terhias bunga-bunga segar mawar melati,
Ujung gelung rambut itu terurai di leher kanan terhias untaian bunga melati sedangkan di atas kepala terhias hiasan rambut dari emas bermata intan berbentuk ular kembar memadu kasih. Wajahnya yang bulat seperti bulan purnama itu dihalus putihkan oleh bedak cendana sedangkan rambutnya hitam halus oleh minyak sari bunga. Tubuhnya agak gemuk padat dan dadanya membusung, tertutup kemben sutera berkembang merah dengan dasar ungu, pinggangnya dipaksa agar ramping oleh balutan ikat pinggang berwarna kuning. Kainnya amat indah buatan tanah Hindu, dan gelang emas menghias kedua pergelangan tangan dan kakinya. Sebuah keris kecil terselip di ikat pinggangnya dan sebuah cambuk yang mengerikan, cambuk berwarna kuning mengkilap yang seakan-akan hidup dan mendatangkan hawa maut yang serem, berada di tangannya.
Inilah dia Ni Durgogini, seorang manusia yang terkenal sebagai manusia iblis yang sakti, yang tidak diketahui berapa usia sebenarnya namun agaknya belum ada tiga puluh tahun, cantik dan buas, liar dan ganas, guru Raden Wisangjiwo, ya guru ya kekasih!. Dengan kedua kaki gemetar Raden Wisangjiwo berlutut dan menyembah di depan kaki gurunya. Wanita di depannya ini kadang-kadang jinak dan merupakan seorang kekasih yang bernafsu jalang, memejamkan mata dan mengeluarkan suara seperti seekor kucing manja dalam belaiannya. Akan tetapi kalau sudah datang kemarahannya seperti sekarang ini, ia menjadi ganas dan amat berbahaya, karena membunuh siapa saja merupakan hal lumrah! Karena maklum akan watak gurunya inilah maka Raden Wisangjiwo kini berlutut dengan tubuh gemetar.
"Ampun, Dewi..."
Memang menyimpang daripada aturan biasa. Raden Wisangjiwo menyebut gurunya "Dewi,"
Hal ini untuk memenuhi perintah gurunya yang aneh itu. Agaknya karena sang murid juga menjadi kekasih, maka Ni Durgogini tidak sudi disebut guru dan minta disebut dewi!
"Hemmm, kau tahu akan dosamu?"
"Ampun, sungguh mati saya tidak tahu mengapa dating-datang mendapat amarah Sang Dewi..."
Setengah menyanjung Raden Wisangjiwo berkata.
"Kedatangan saya menghadap Dewi adalah untuk mohon pertolongan karena saya telah bertanding dan melukai murid-murid Resi Bhargowo maka tanpa pertolongan Dewi, nyawa saya dalam bahaya..."
"Tarrr..."
Raden Wisangjiwo terkejut sekali ketika ujung cambuk meledak di atas kepalanya. Ia diam-diam merasa heran mengapa gurunya semarah ini dan agaknya tidak main-main.
"Nyawamu berada dalam tanganku, bagaimana bias terancam orang lain? Wisangjiwo, dari mana kau selama tiga hari ini?"
Suaranya tetap merdu dan halus, akan tetapi mengandung nada yang tajam mengiris jantung. Mampus aku, pikir Raden Wisangjiwo. Agaknya gurunya maklum akan perbuatannya selama tiga hari bersama Ni Nogogini!
"Saya... saya bertapa di pantai selatan mencari anugerah dewata, bertemu dengan puteri dan mantu Resi Bhargowo dan bertempur. Berkat ilmu pemberian Dewi yang sakti, saya mendapat kemenangan dan..."
"Sebelum itu! Dengan siapa kau di pantai? Dan dari mana kau mendapatkan ajian (ilmu) Tirto Rudiro dengan Kerang Merahnya? Jawab!"
Pucat seketika wajah Raden Wisangjiwo mendengar ini. Yakin sudah kini bahwa gurunya telah tahu kesemuanya dan membohong tidak ada artinya lagi, maka dengan penuh hormat ia menyembah dan menjawab,
"Saya tidak akan membohong, Dewi. Mana saya berani menyembunyikan sesuatu dari Sang Dewi yang bijaksana dan waspada? Sesungguhnya, di pantai selatan saya berjumpa dengan yang terhormat bibi guru Ni Nogogini dan beliau berkenan menurunkan Ilmu Tirto Rudiro kepada murid keponakannya."
"Huh! Bibi guru yang terhormat, ya? Siapa tidak mengenal nimas Nogogini? Hayo jawab, mengapa dia menurunkan Tirto Rudiro kepadamu? Jawab!"
"Dewi yang mulia, guru hamba yang sakti, mengapa Dewi bertanya demikian? Bukankah Ni Nogogini adalah bibi guru saya? Apa salahnya seorang bibi guru menurunkan ilmunya kepada seorang murid keponakannya?"
"Cihhh!"
Durgogini meludah melalui lidah dan giginya yang putih dengan Sikap menghina."Tak mungkin dia mengajar ilmu kepadamu tanpa upah! Hayo katakan apa upahnya? Tentu dia mengajak engkau bermain gila, bukan?"
"Tidak...! Tidak, Dewi! Masa beliau mau merendahkan diri untuk bermain-main dengan murid keponakannya..."
"Ahhh! Jadi kalau seorang bibi guru atau seorang guru bermain-main dengan muridnya kau anggap rendah, ya?"
"Eh... ohhh, bukan begitu maksud saya... eh, sama sekali tidak, Dewi Andaikata bibi guru mengajak saya bermain-main, sayapun tidak akan sudi. Dia... eh, dia sudah tua, dan gandanya (baunya)... amis!"
"Hi-hi-hi-hikk! Tentu saja amis karena selalu bermain-main dengan ikan-ikan di laut. Menjijikkan! Wisangjiwo, kau benar-benar tidak berjina dengannya?"
'Tidak, Dewi, sungguh mati..."
"Berani bersumpah?"
"Berani!"
Ni Durgogini menggerakkan cambuk Sarpokenoko yang melecut-lecut di udara dan terdengar ledakan-ledakan seperti petir menyambar.
"Bangunlah!"
Lapang sudah dada Raden Wisangjiwo, akan tetapi ia masih cemas menyaksikan cambuk itu melecut-lecut. Ia bangkit berdiri dan memasang senyum semanis-manisnya agar wajahnya yang tampan itu kelihatan makin bagus.
"Syukur dan terima kasih bahwa Dewi tidak marah lagi. Lemah lunglai seluruh tubuh saya kalau Dewi marah-marah..."
"Keluarkan kerang emasmu dan kau serang aku dengan Tirto Rudiro!"
Kembali Raden Wisangjiwo terkejut.
"Eh... ini... ini... saya tidak berani..."
"Kau berani rnenbantah? Hem kalau tidak lekas-lekas kau lakukar perintahku, pecah kepalamu oleh Sarpo kenoko!"
"Saya... mana berani membantah? Hanya... ah, mengapa Dewi agaknya tidak mau mengampuni saya? Kalau memang Dewi kehendaki, akan saya buang saja kerang emas ini..."
"Uhhh, bocah tolol. Aku hanya hendak melihat bagaimana hebatnya Tirto Rudiro dari nini Nogogini, dan sekalian memperlihatkan kepadamu, membuka matamu bahwa percuma saja kau mempelajari ilmu orang lain sedangkan gurumu sendiri merupakan gudang ilmu, hanya engkau yang kurang berbakat dan malas. Hayo serang!"
Mendengar ucapan ini, lega hati Raden Wisangjiwo. Ia mengambil kerang emas, menggenggam di tangan kanannya, lalu maju menyerang gurunya dengan pukulan Tirto Rudiro sambil berkata,
"Maafkan saya!"
"Wuuuutttt... dessss...!!"
Pukulan ampuh meluncur disambut telapak tangan halus lunak. Akibatnya, tubuh Raden Wisangjiwo terlempar ke belakang, terjengkang dan bergulingan. Pemuda ini merangkak bangun, matanya berkunang, kepalanya pening sehingga ia harus menggoyang-goyang kepalanya sejenak, baru peningnya hilang.
"Hemmm, kau memandang rendah gurumu, ya? Mengapa tidak mempergunakan semua tenagamu? Hayo serang lagi, dengan tenaga penuh."
"Saya tidak berani, mana saya akan kuat menerima tangan Ampak-ampak Dewi yang ampuhnya menggila tanpa tanding?"
Kata Raden Wisangjiwo. Pemuda ini maklum bahwa ilmu pukulan telapak tangan gurunya yang bernama Aji Ampak-ampak amatlah berbahaya, salah-salah ia akan mampus konyol. Aji Ampak-ampak berhawa dingin, seperti ampak-ampak, yaitu halimun tebal yang dingin sekali, membekukan segala yang basah, sehingga sekali digunakan untuk memukul lawan, lawan itu akan mati seketika dengan darah membeku. Ilmu ini adalah ilmu keturunan dari perguruan Ni Durgogini dan Ni Nogogini, merupakan ilmu rahasia yang jarang dikeluarkan kalau tidak perlu sekali.
Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo