Ceritasilat Novel Online

Badai Laut Selatan 20


Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Bagian 20



Kalau di waktu-waktu yang lalu hanya terjadi bentrokan-bentrokan kecil, pelototan mata dan saling melontarkan sindir ejek, kini meledaklah perang yang sekian lama ditekan-tekan. Perang terbuka antar pasukan. Bertempat di alun-alun, dimana biasanya hanya dipergunakan untuk latihan-latihan perang. Darah mulai muncrat, mayat mulai berserakan, pekik kemarahan bercampur dengan jerit kesakitan, diseling sorak-sorai dan tangis. Udara makin gelap. Perang campuh yang liar, buas, dan kacau-balau. Amat sukar membedakan mana kawan mana lawan dalam perang campuh seperti itu. Apalagi banyak diantara mereka yang serupa pakaiannya, bahkan banyak yang dahulunya menjadi kawan kini menjadi lawan karena yang seorang berfihak Pangeran Sepuh, yang lain berfihak Pangeran Anom.

   Riuh rendah suara mereka yang beryuda. Keris-keris pusaka yang biasanya hanya diberi "Makan"

   Kembang menyan pada hari-hari baik, kini dihunus dari warangka dan diberi kesempatan sebanyaknya untuk berpuas-puasan minum darah manusia yang masih segar dan panas! Banyak golok dan kelewang menyambar-nyambar, bacok-membacok, tusuk-menusuk. Tombak-tombak berluncuran mencari sasaran perut yang lunak. Ada pula yang sudah kehilangan pedang dan tameng (perisai), bergulat mengandalkan kaki tangan, saling hantam, saling tendang, bahkan ada yang dalam keadaan darurat tidak segan-segan menggunakan gigi menggigit. Hebat dan dahsyat perang itu. Keris mencari jantung, tombak mencari usus, golok menyambar leher, ruyung mencari otak!

   "Kawan-kawan, maju terus...!! Habiskan lawan, hancur-leburkan anak buah Pangeran Sepuh yang khianat...!!!"

   Teriakan nyaring ini mengatasi semua kegaduhan dan jelas bukan keluar dari mulut orang sembarangan. Orang yang dapat mengeluarkan teriakan sehebat itu tentulah memiliki ilmu kesaktian tinggi. Dan memang benar. Teriakan ini keluar dari mulut seorang laki-laki gagah perkasa, menunggang seekor kuda putih, bersenjatakan sebatang tombak yang bergagang panjang. Mata tombak yang berkilauan dan mengeluarkan cahaya kehijauan itu menandakan bahwa tombak itu adalah sebuah pusaka ampuh yang mengandung bisa maut.

   Melihat dia menunggang seekor kuda besar dan garang, pula melihat pakaiannya yang mentereng, mudah dimengerti bahwa laki-laki gagah itu tentulah seorang panglima Pangeran Anom, apalagi teriakannya jelas menyatakan fihak mana yang ia bela. Siapakah panglima ini? Bukan lain dia adalah Joko Wanengpati! Setelah mengalami kekalahan di Kadipaten Selopenangkep, takut menghadapi Pujo dan Kartikosari yang dibantu oleh Roro Luhito dan bahkan kemudian oleh Resi Telomoyo, Jokowanengpati cepat melarikan diri kembali ke Kotaraja. Ia langsung menghadap junjungannya, yaitu Pangeran Anom, menceritakan bahwa Kadipaten Selopenangkep yang telah dikuasainya itu direbut kembali oleh Pujo dan kawan-kawannya.

   "Tidak salah lagi, gusti pangeran! Pujo dan kawan-kawannya tentulah menjadi kaki tangan Pangeran Sepuh. Hamba tidak dapat menahan mereka oleh karena pasukan mereka jauh lebih kuat, pula hamba tidak mempunyai pembantu. Apabila paduka mengijinkan, biarlah hamba kembali ke sana membawa pasukan besar dan hamba akan mohon bantuan bibi Nogogini dan bibi Durgogini. Akan hamba seret semua pengkhianat itu ke bawah kaki paduka!"

   Akan tetapi Pangeran Anom mempunyai rencana lain. Urusan perebutan Kadipaten Selopenangkep tidaklah begitu penting, karena hal itu dilakukan hanya untuk memberi hukuman kepada keluarga Wisangjiwo yang"menyeberang"

   Kepada Pangeran Sepuh!.

   "Jokowanengpati, urusan di Selopenangkep itu cukuplah, karena aku sudah puas mendengar kau berhasil membasmi keluarga Adipati Joyowiseso. Kiranya hukuman itu sudah cukup untuk membuka mata Wisangjiwo si pengkhianat. Sekarang kita harus memusatkan tenaga di sini karena saatnya sudah cukup masak untuk memperlihatkan kekuatan kita disini. kau pergilah menemui kedua bibimu itu, juga paman Cekel Aksomolo dan yang lain-lain, suruh mereka menghadap malam ini untuk berunding."

   Persiapan yang diadakan Pangeran Anom untuk meledakkan perang saudara itu diatur sampai berbulan-bulan. Makin lama suasana makin tegang. Kedua fihak saling mengirim mata-mata untuk menyelidiki keadaan masing-masing. Hanya karena mengingat bahwa Sang Prabu Airlangga masih hidup saja yang membuat perang terbuka masih selalu tertekan dan tertunda.

   Di samping itu, selalu ada Ki Patih Narotama yang berusaha sekuat tenaga mempergunakan pengaruh dan kekuasaannya untuk mencegah segala macam pertentangan yang terjadi di Kotaraja. Baik fihak pasukan Pangeran Sepuh maupun Pangeran Anom, tidak berani berkutik kalau Ki Patih muncul melerai pertikaian yang timbul di antara mereka. Tentu saja persiapan-persiapan kedua fihak yang makin menghebat dan makin menegangkan hati ini tak terlepas dari pandang mata Ki Patih Narotama yang amat waspada. Ia merasa prihatin sekali dan diam-diam di luar tahu para senopati dan punggawa keraton lainnya, ia menemui kedua pangeran itu. Pertama-tama ia menemui Pangeran Sepuh dan dengan cara halus menyatakan ke khawatirannya dan tidak persetujuannya akan persiapan-persiapan perang itu. Pangeran Sepuh mengerutkan keningnya dan menjawab,

   "Paman Patih, apakah paman mengira bahwa saya suka akan perang saudara? Akan tetapi sebagai saudara tua, tentu saja saya tidak sudi diperhina oleh saudara muda. Ramanda prabu mengundurkan diri pergi bertapa. Tugas pemerintahan memang diwakilkan kepada paman, akan tetapi untuk urusan dalam istana, sudah sepatutnya kalau saya sebagai putera tertua mewakili ramanda prabu. Kalau saudara muda saya hendak memberontak merampas kekuasaan, sayalah yang wajib memberi hajaran kepadanya!"

   Ki Patih Narotama hanya menghela napas panjang. Ia maklum bahwa kesalahan memang diperbuat oleh Pangeran Anom, maka ia tidak membantah atau menyalahkan Pangeran Tua. Dengan pengharapan akan dapat memberi nasehat dan peringatan kepada Pangeran Anom Ki Patih Narotama pergi menghadap Pangeran Anom. Akan tetapi di sini ia malah penerima jawaban yang menyakitkan hati.

   "Engkau hanya seorang Patih, paman! Perlu apa mencampuri pertikaian antar saudara? Sudah jelas bahwa setelah rama prabu pergi bertapa, Pangeran Sepuh menjadi sombong dan mengagulkan diri sebagai putera sulung, seakan-akan rama prabu sudah seda (mati) dan dia yang menggantikan menjadi Raja! Huh, kalau memang dia hendak menjadi Raja mendasarkan kekerasan, akupun bisa berbuat serupa! Tinggal engkau pilih, paman Patih, engkau membela Pangeran Sepuh, ataukah membantu aku!"

   Hati Ki Patih Narotama menjadi panas karena marah, namun ia menekan perasaannya dan berkata sabar,

   "Hamba adalah pePatih dalam rama paduka, oleh karena itu pula hanya sabda rama paduka yang akan hamba taati. Kalau paduka dan Gusti Pangeran Sepuh tidak suka mendengar nasehat orang tua, biarlah hamba pergi menghadap rama paduka dan mohon keputusan."

   Demikianlah Ki Patih Narotama lalu pergi meninggalkan keraton menuju ke pertapaan Jalatunda seperti yang telah diceritakan di depan. Sepergi Ki Patih permusuhan semakin menghebat karena diantara para pasukan tidak ada lagi yang ditakuti. Pada saat tegang ituiah datangnya Wisangjiwo, Pujo, Kartikosari, Roro Luhito dan Resi Telomoyo, menghadap Pangeran Sepuh yang diterima dengan hati girang. Akhirnya perang saudara pecah dan perang tanding mati-matian itu terjadi di alun-alun! Kedua fihak sama kuat, karena mereka itupun mendapatkan latihan perang yang sama pula. Makin lama perang campuh makin menghebat karena kedua fihak selalu mendapat tambahan bantuan. Ketika Jokowanengpati yang menunggang kuda putih muncul di medan yuda memberi semangat kepada para pasukan, sepak terjangnya bukan main hebatnya.

   Tombaknya menyambar-nyambar dan kemana saja kudanya melompat, tentu beberapa orang perajurit pasukan Pangeran Sepuh roboh bergelimpangan. Ada yang tertombak perutnya sampai ususnya terurai keluar, atau kepalanya pecah karena hantaman gagang tombak, ada pula yang terinjak-injak kuda putih! Pendeknya, di mana kuda putih yang ditunggangi Jokowanengpati tiba, tentu terjadi geger. Tak seorangpun perajurit atau perwira sanggup menanggulangi sepak terjang Jokowanengpati. Berita yang menggemparkan para perajurit Pangeran Sepuh ini terdengar oleh Wisangjiwo yang menyertai para senopati Pangeran Sepuh. Mendengar akan majunya Jokowanengpati ke medan yuda, Wisangjiwo menjadi marah sekali.

   Itulah musuh besarnya dan mendengar namanya saja sudah membuat dada serasa meledak. Sambil berkerot gigi, Wisangjiwo menyambar tombak dan melompat ke atas kudanya, langsung menyerbu ke medan yuda, mencari-cari di mana adanya musuh besar itu. Akhirnya ia melihat Jokowanengpati di ujung selatan. Dikepraknya kuda tunggangannya dan dengan kemarahan meluap-luap ia membalapkan kuda menghampiri musuhnya. Dua ekor kuda berhadapan muka. Dua orang musuh beradu pandang penuh kebencian. Sejenak mereka hanya saling pandang seakan-akan dua ekor jago mengukur keadaan lawan. Para perajurit cepat-cepat mundur untuk memberi kesempatan kepada dua jagoan mereka bertanding. Demikian tegang keadaannya sehingga beberapa orang perajurit kedua fihak sampai sejenak lupa berperang dan menjadi penonton!

   "Si bedebah Jokowanengpati!"

   Akhirnya dengan dada terengah-engah saking marahnya Wisangjiwo menudingkan telunjuk kirinya sambil mengempit tombak di ketiak kanan."Engkau manusia berhati iblis, mencemarkan namaku dengan perbuatan terkutuk! Engkau telah menodai keluarga kami, dan akhirnya engkau telah menyerbu Selopenangkep melukai ayah, membunuh ibu dan sekeluarga! Aku bersumpah akan mengadu nyawa denganmu, keparat!"

   "Babo-babo!! Wisangjiwo, kau manusia khianat! Urusan yang lain bukanlah urusanmu! Tentang keluargamu di Selopenangkep, mereka itu menjadi korban pengkhianatanmu sendiri sehingga menerima hukuman dari Gusti Pangeran Anom. Manusia tak tahu malu, tentang urusan wanita, engkau melebihi aku, mengapa banyak cerewet? Engkau bersumpah ingin mampus di tanganku? Mudah, sobat. Majulah, ha-haha!"

   Wisangjiwo tak dapat mengeluarkan kata-kata lagi. Dadanya terlalu panas sampai-sampai lehernya serasa tercekik. Dengan penuh kegeraman ia lalu menendang perut kudanya yang melonjak ke depan sambil memutar tombak dan menyerang dengan tusukan kilat. Jokowanengpati sudah siap dan menangkis.

   "Traaangggg...!!"

   Bunga api berpijar ketika dua senjata itu bertemu. Segera keduanya terlibat dalam perang tanding mati-matian. Keduanya sama cekatan, sama kuat dan sama pandai dalam seni tempur di atas kuda menggunakan lembing. Para perajurit yang menjadi penonton bersorak-sorak memberi semangat kepada jago masing-masing.

   Di bagian lain dalam perang campuh itu, tampak orang-orang sakti yang membantu Pangeran Anom ikut pula memperlihatkan jasa mereka. Cekel Aksomolo sebetulnya merasa sungkan untuk berperang melawan perajurit-perajurit biasa yang sama sekali bukanlah lawannya. Demikian pula Ki Warok Gendroyono dan Ki Krendoyakso. Akan tetapi anak buah Ki Krendoyakso yang jumlahnya seratus orang lebih itu tanpa menanti komando lagi sudah berpesta-pora dalam perang. Mereka adalah perampok-perampok yang liar dan ganas, tentu saja berperang dan membunuh orang merupakan kegemaran mereka! Ni Nogogini dan Ni Durgogini juga berada di situ, akan tetapi dua orang wanita sakti itu kini bertugas menjaga keselamatan Pangeran Anom yang menunggang seekor kuda kemerahan dan berdiri dari tempat tinggi menonton perang.

   Keselamatan sang pangeran ini tentu saja penting, maka tugas menjamin keselamatannya diserahkan kepada dua orang wanita sakti itu. Hal ini menggembirakan hati Ni Durgogini dan Ni Nogogini, karena seperti juga yang lain-lain, mereka merasa tak senang harus bertanding melawan orang-orang yang tidak berarti! Ketika dari dalam barisan Pangeran Sepuh muncul Pujo, Kartikosari, Roro Luhito, dan Resi Telomoyo yang mengamuk seperti badai mengganas, barulah timbul kegembiraan di hati Cekel Aksomolo dan teman-temannya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian silat dan kesaktian, belum pernah belajar seni yuda di atas kuda, maka mereka ini maju bertanding dengan berloncatan ke sana ke mari seperti burung-burung menyambar.

   "Heh-heh-hu-huhh! Munyuk monyet mendem (mabok)! Sungguh menggembirakan sekali dapat bertemu denganmu di sini. Resi Telomoyo munyuk monyet lutung keparat, sekarang kau takkan dapat melarikan diri lagi!"

   Cekel Aksomolo segera menyambut amukan Resi Telomoyo ini dengan ayunan tasbihnya. Resi Telomoyo sudah mengenal keampuhan tasbih Cekel Aksomolo, maka ia cepat mengelak lalu meloncat ke samping dan kakinya tahu-tahu sudah menyepak dari samping ke arah lambung kiri, cepat sekali. Untung Cekel Aksomolo juga sudah mengenal gerakan cepat manusia seperti Raja kera ini, maka ia dapat cepat mengelak, akan tetapi hampir saja lambungnya tercium tungkan (tumit) ngapal sehingga ia kaget sekali dan meloncat mundur.

   "Ha-ha-ha! Lagi-lagi cekel bongkok, tua bangka kurus kering matanya juling sumbarnya seperti gonggongan anjing tapi tukmis (gila perempuan)! Ke mana-mana bertemu si cekel bongkok, betul-betul sial dangkalan!"

   Cekel Aksomolo merasa kalah kalau harus berdebat atau saling ejek dengan kakek Resi Telomoyo, maka sambil menggereng marah ia lalu menerjang lagi sambil memutar senjatanya yang luar biasa. Di lain fihak, Resi Telomoyo juga tidak berani main-main lagi dan ia harus memusatkan perhatiannya dalam pertandingan ini kalau tidak mau mati konyol, karena memang lawannya itu biarpun tua renta dan bongkok, sesungguhnya memiliki kesaktian yang menggiriskan. Sementara itu, Pujo dan kedua orang isterinya juga mulai terjun ke medan yuda. Melihat betapa Resi Telomoyo sudah mulai berhantam menghadapi Cekel Aksomolo, Pujo sambil menghantam ke depan dan menendang ke kanan kiri, berkata kepada Kartikosari dan Roro Luhito,

   "Kalian bantu paman resi! Aku akan mencari Jokowanengpati"

   Setelah berseru demikian, ia membuka jalan darah, merobohkan beberapa orang perajuril musuh lalu menerjang terus ke tengah untuk mencari musuh besarnya. Kartikosari dan Roro Luhito tadi memang bersama Pujo terjun ke dalam medan perang dengan maksud hendak mencari musuh besar itu. Kini melihat Pujo menerjang maju seorang diri, diam-diam mereka ingin menyertainya. Akan tetapi, mereka berduapun maklum bahwa Cekel Aksomolo adalah seorang yang sakti mandraguna, maka meninggalkan Resi Telomoyo menghadapinya seorang diri, juga tidak baik.

   "Kita terjang dia, habiskan sekarang, kemudian menyusul kangmas Pujo!"

   Kata Kartikosari. Roro Luhito mengangguk lalu mereka lari mendekati tempat di mana Resi Telomoyo dan Cekel Aksomolo sedang bertanding. Beberapa orang perajurit lawan yang menghalang jalan roboh oleh mereka sehingga para perajurit lain makin gentar dan cepat menjauhi dua orang puteri yang tandangnya (sepak terjangnya) seperti dua ekor singa betina itu. Melihat datangnya dua orang wanita ini, Resi Telomoyo girang dan berkata,

   "Ha! Bagus kalian datang. Mari bantu aku, kita rencak (sikat bersama) cekel kal-kel yang berbau busuk ini!!"

   "Wuuut... singgg...!!"

   Hampir saja kepala Resi Telomoyo kena disambar tasbih.

   "Jebol polomu!!"

   Cekel Aksomolo berseru penuh kemarahan. Namun Resi Telomoyo memiliki gerakan yang amat gesit. Dengan jalan membanting tubuh ke belakang lalu berjumpalitan sampai tiga kali ia dapat terhindar dari ancaman maut dan ketika ia berdiri kembali, kedua tangannya sudah menggenggam tanah. Melihat lawannya menerjang datang, ia memekik dan kedua tangannya bergerak ke depan. Kagetlah Cekel Aksomoio ketika tanah dan debu menyambar ke arah mukanya.

   "Uuuuh, setan keparat, curang kau...!"

   Teriaknya dan terpaksa ia melompat mundur kebelakang sambil meramkan mata. Saat itu dipergunakan oleh Resi Telomoyo untuk membalas dengan serangan kilat. Kaki tangannya bergerak seperti mesin cepatnya mengirim serangan bertubi-tubi dan berganti-ganti. Namun semua serangannya dapat digagalkan lawan yang cepat memutar tasbih membentuk payung melindungi dirinya. Ketika Kartikosari dan Roro Luhito hendak meloncat maju membantu Resi Telomoyo, dari dalam barisan musuh meloncat keluar pula dua orang laki-laki tinggi besar seperti raksasa.

   Mereka ini bukan lain adalah Ki Warok Cendroyono dan Ki Krendoyakso yang semenjak tadi menanti-nanti datangnya lawan tangguh!. Mereka juga enggan bertempur dengan perajurit-perajurit yang sama sekali bukan tandingan mereka. Ketika melihat Cekel Aksomolo menemukan tanding Resi Telomoyo yang sakti, mereka sudah gatal-gatal tangan hendak ikut bertanding. Kemudian mereka melihat sepak terjang dua orang wanita cantik yang luar biasa itu, yang gerakannya merobohkan perajurit-perajurit seperti orang membabat rumput saja. Ketika melihat bahwa dua orang wanita cantik itu teman Resi Telomoyo, maka keduanya tanpa diperintah lagi lalu melompat maju dan menyambut dengan teriakan garang,

   "Hemmm, biasanya aku pantang melawan wanita! Akan tetapi kulihat engkau bukan wanita biasa, melainkan seorang perajurit gemblengan. kau siapakah? Kalau mempunyai kepandaian, hayo maju dan lawanlah Warok Gendroyono! Kalau kau takut, lebih baik lekas-lekas mundur, di sini bukan tempat wanita berlagak!"

   Mendengar kata-kata kasar itu, Kartikosari menudingkan kerisnya ke arah hidung Warok Gendroyono sambil membentak,

   "Warok celaka tak perlu menyombong! Sebentar lagi kau tentu mampus di tangan Kartikosari!"

   Baru saja terhenti kata-kata itu, tubuh Kartikosari sudah mencelat ke depan dengan gerakan cepat laksana burung terbang dan ujung kerisnya sudah mengancam ulu hati lawan!

   "Haaaiiitttl"

   Warok Gendroyono terkejut sekali. Tak disangkanya sama sekali bahwa wanita ini sedemikian cepat gerakannya. Untung baginya, ketika terjun ke gelanggang pertempuran tadi ia sudah melolos kolor mautnya sehingga kini menghadapi serangan kilat yang sukar dielakkan itu ia dapat memutar kolornya untuk menangkis.

   "Desssss...!!"

   Kartikosari merasa betapa tangannya yang memegang keris tergetar oleh tangkisan kolor. Diam-diam ia kaget dan cepat melompat mundur. Kini keduanya saling pandang dan diam-diam mereka mengerti bahwa lawan di depan adalah orang yang tak boleh dipandang ringan, merupakan lawan yang kuat. Dari getaran ujung kolornya Warok Gendroyono juga maklum bahwa wanita ini tidak hanya memiliki kecepatan laksana burung srikatan, akan tetapi juga memiliki tenaga dahsyat yang digerakkan hawa sakti yang kuat.

   (Lanjut ke Jilid 20)

   Badai Laut Selatan (Seri ke 03 "

   Serial Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 20

   Dari getaran ujung kolornya. Warok Gendroyono juga maklum bahwa wanita ini tidak hanya memiliki kecepatan laksana burung srikatan, akan tetapi juga memiliki tenaga dahsyat yang digerakkan hawa sakti yang kuat. Maka ia tidak berani memandang ringan dan setelah mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau terluka, Warok Gendroyono lalu balas menyerang dengan terjangan dahsyat sambil menggerakkan kolor mautnya yang ampuh. Kolor Ki Bandot lenyap bentuknya menjadi segulung sinar berhawa panas yang melingkar-lingkar dan menyambar-nyambar.

   Namun Kartikosari tidak menjadi gentar. Ia mengimbangi kedahsyatan senjata lawan dengan gerakan lincah, berkelebat ke sana ke mari sambil mencari lowongan untuk balas menyerang, kadang-kadang dengan tusukan kerisnya, ada kalanya dengan pukulan jarak jauh yang tidak kalah dahsyatnya. Ki Krendoyakso sudah menghadapi Roro Luhito. Kepala rampok dari Bagelen ini, selain sakti dan suka mempelajari ilmu hitam, juga ahli racun dan mempunyai kesukaan seperti Sang Prabu Boko, yaitu makan daging dan minum darah bayi, juga agak mata keranjang. Kini berhadapan dengan Roro Luhito, ia memandang dengan sepasang matanya yang lebar seperti mata kerbau. Dengan lahap pandang matanya menjelajahi wajah yang ayu manis, tubuh yang denok montok, lalu ia tertawa dan berkata,

   "Duhai, Dewata Agung! Bagaimana seorang bidadari yang begini denok ayu terjun ke dalam kancah perang yang seperti neraka? Aduh sayang, wong manis..."

   Tiba-tiba kaki tangan Roro Luhito bergerak sedikit dan dengan ibu jari kakinya ia telah menendang segumpal tanah berikut kerikil yang menyambar cepat ke arah muka Ki Krendoyakso! Hebat serangan ini dan tentu saja kepala rampok itu tidak sudi membiarkan mukanya, apalagi matanya, dihantam tanah dan kerikil.

   Cepat ia menyampok dengan tangannya di depan muka sambil mengejap-ngejapkan mata dan melangkah mundur. Akan tetapi tubuh Roro Luhito secepat kilat sudah keloncat ke depan, kaki kanannya menggunakan tungkak (tumit) menggedruk (menginjak keras) ke arah kaki kiri Ki Krendoyakso, diikuti dengan kaki kiri yang menendang ke arah pusar!. Ki Krendoyakso kelabakan! Tak disangkanya lawan yang begini denok ayu ternyata dapat melakukan serangan yang aneh dan hebat, cepat dan tak disangka-sangka. Ia mengelak dengan langkah ke belakang lalu menggunakan tangan menangkis tendangan. Siapa kira, tendangan itu hanyalah pancingan belaka. Begitu Ki Krendoyakso menangkis dan perhatiannya terpusat ke bawah, tangan Roro Luhito sudah melayang ke depan, dengan jari-jari dilonjorkan menusuk kearah lambung.

   Melihat betapa tusukan jari tangan itu mendatangkan angin bersiut, Ki Krendoyakso tak berani memandang rendah. Tentu saja ia seorang yang kebal dan sering menyombongkan kekebalannya. Tubuhnya kuat dan dapat menahan bacokan atau tusukan senjata tajam. Akan tetapi ia cukup maklum bahwa jari-jari tangan yang diisi hawa sakti mendatangkan tenaga dahsyat yang jauh melebihi segala macam senjata tajam kuatnya! Maka ia tidak berani main-main dan kembali kedua tangannya menangkis dan berusaha mencengkeram tangan kanan wanita Itu. Akan tetapi, lagi-lagi ia kecelik, karena tusukan dahsyat inipun hanya gerak palsu belaka dan tahu-tahu tangan kiri Roro Luhito sudah menyambar dan menampar mukanya tanpa dapat dicegah lagi.

   "Plakkk...!!"

   Kalau bukan Ki Krendoyakso yang menerima tamparan ini, tentu sudah roboh dengan tengkorak pecah! Biarpun Ki Krendoyakso tidak roboh binasa oleh tamparan yang begitu dahsyatnya, namun tetap saja ia menjadi bileng (pening), matanya berkunang-kunang dan pipinya yang kena tampar berdenyut-denyut seperti hendak pecah!. Dengan kemarahan meluap ia lalu menyambar ruyungnya yang mengerikan, yaitu penggada Wojo Ireng yang berat dan besar, lalu dengan membabi buta ia menerjang ke depan, satu-satunya niat di hati hendak menghancur lumatkan tubuh yang denok itu.

   Pipi kanannya mulai membengkak biru dan untung bahwa kulit mukainya memang hitam sekali sehingga warna biru itu tidaklah tampak nyata, hanya kelihatan pipinya menggembung saja. Roro Luhito sudah siap sedia. Dengan gerakan cepat sekali ia mengelak, lalu mainkan Ilmu Silat Sosro Satwo yang memiliki gerakan aneh dan cepat. Sebentar saja mereka berdua sudah terlibat dalam pertandingan mati-matian. yang seorang mengandalkan kekuatan, yang lain lebih mengandalkan kecepatan gerak. Sementara itu Pujo sudah menerjang ke tengah. Sepak terjangnya menggiriskan fihak musuh. Keris di tangan kanannya dan kepalan tangan kirinya benar-benar hebat sekali, tidak pernah harus mendua kali. Sekali pukul atau sekali tusuk, pasti seorang perajurit musuh roboh tak kuasa bangun kembali, paling ringan pingsan! Tiba-tiba terdengar bentakan,

   "Itu dia si jahanam Pujo! Kepung dia! Bunuh! Jangan sampai lolos."

   Ketika Pujo melirik ke kanan, ia melihat Jokowanengpati berdiri dan menudingkan telunjuk kiri ke arahnya sambil mengacung-acungkan sebatang keris. Kemarahan Pujo memuncak, juga ia merasa khawatir. Tadi ketika ia menerjang ke tengah, ia sudah dapat melihat betapa Wisangjiwo sedang bertanding melawan Jokowanengpeti mempergunakan lembing dan menunggang kuda. Ia ingin cepat-cepat dapat mendekat dan membantu Wisangjiwo mengeroyok musuh besar itu.

   Akan tetapi terlalu banyak perajurit musuh menghalangnya sehingga ia harus mengamuk hebat membuka jalan darah. Kini tahu-tahu Jokowanengpati muncul tanpa kuda. Hal ini berarti bahwa Wisangjiwo tentu telah roboh oleh musuh besar itu! Maka ia menjadi marah sekali, tangan kirinya sekali bergerai berturut-turut memukul kepala dua orang lawan menyusul kerisnya yang merobohkan lawan ke tiga. Ia segera dapat bertanding melawan musuh besarnya, Jokowanengpati. Pengecut, pikirnya gemas. Setelah bertemu di medan perang, tidak segera menyambutnya melainkan mengerahkan pasukan untuk mengeroyoknya! Pujo sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu, Jokowanengpati sendiri telah terluka! Luka yang tidak ringan, yang ia derita dalam pertandingannya tadi melawan Wisangjiwo.

   Akan tetapi ia menyembunyikan hal ini ketika melihat munculnya Pujo, dan cepat mengerahkan pasukan untuk mengeroyok dan membunuh orang yang amat dibencinya itu, karena Pujo merupakan ancaman bagi hidupnya. Ia tadi telah merasakan betapa Wisangjiwo merupakan lawan yang tangguh dan berat. Sebagai seorang yang menghambakan diri kepada pangeran dan diangkat menjadi senopati muda, tentu saja Wisangjiwo telah mempelajari ilmu bermain lembing di atas punggung kuda. Kalau dibuat bandingan secara umum, memang kesaktian Jokowanengpati setingkat lebih tinggi daripada Wisangjiwo. Akan tetapi Wisangjiwo bertempur dengan semangat berkobar-kobar, dengan dada penuh dendam, dengan kemarahan meluap-luap sehingga sukarlah bagi Jokowanengpati untuk mengalahkannya.

   Di antara perajurit-perajurit kedua fihak yang berperang campuh kacau-balau, dua orang musuh besar ini saling terjang, Saling tusuk dan tangkis. Sedemikian keras dan sering tombak mereka beradu sehingga kedua telapak tangan Wisangjiwo lecet-lecet karena sesungguhnya dalam hal tenaga sakti, ia kalah kuat. Kuda tunggangan mereka sudah terengah-engah mandi peluh karena sejam lebih mereka bergerak-gerak, meronta ke kanan kiri tiada hentinya. Debu mengebul dari bawah kaki kuda. Bahkan ada kalanya pertandingan mati-matian itu menyeret mereka sehingga kaki kuda mereka menginjak-injak mayat dan tubuh mereka yang terluka. Jokowanengpati merasa gemas dan marah sekali mengapa sampai sekian lamanya ia masih belum mampu merobohkan Wisangjiwo yang ulet.

   Kalau saja pertandingan itu tidak dilakukan di atas kuda dan merupakan pertandingan ketangkasan biasa, ia yakir takkan begini sukar baginya untuk mengalahkan lawan. Akan tetapi, dengan bertanding di atas kuda mempergunakan senjata tombak panjang, ia kurang leluasa untuk mempergunakan ilmu-ilmunya. Selain itu, ia kalah gagah mainkan tombak dan kalah latihan menunggang kudu Untung ia menang cepat sehingga kekalahan itu dapat ditebus. Betapapun juga, agaknya pertandingan ini kalau dilanjutkan akan makan waktu terlalu lama sampai ia dapat merebut kemenangan. Otak yang cerdik penuh tipu muslihat dan siasat itu berputar-putar mencari akal. Ketika ujung tombak Wisangjiwo meluncur ke arah lehernya, Jokowanengpati menangkis, kemudian ia membalas dengan serangan bertubi-tubi sambil membentak,

   "Wisangjiwo pengkhianat! Terimalah kematianmu!"

   Sepenuh tenaga dan mengandalkan kecepatannya ia menyerang secara bersambung. Tadi sudah sering ia menggunakan siasat ini tanpa hasil, malah kalau diteruskan, dialah yang menderita rugi.

   Dalam hal permainan tombak panjang, fihak penangkis berada di fihak yang kuat, karena tangkisan dilakukan dari samping dengan ujung lebih pendek ini tenaganya lebih besar, apalagi diperkuat dengan luncuran tombak yang menyerang. Dalam hal permainan tombak, si penangkis sama artinya menjadi si penyerang sungguhpun yang diserang bukan tubuh lawan melainkan tombak lawannya. Kalau diteruskan, fihak si penyerang yang dihantam tombaknya dari samping ini lama-lama akan kehabisan tenaga dan ada bahayanya tombak yang dipegangnya akan patah atau terlepas dari pegangan. Wisangjiwo yang amat gagah mainkan tombak, diam-diam menjadi girang sekali. Ia tidak gentar akan serangan yang bertubi-tubi itu dan ia maklum bahwa kalau Jokowanengpati melanjutkan serangan bertubi-tubi itu,

   Terbukalah kesempatan baginya untuk mengalahkan lawan yang amat tangguh ini. Akan tetapi, sungguh Wisangjiwo belum tahu betul akan kelicikan siasat lawannya. Jokowanengpati amat licik dan curang. Ia sengaja melakukan serangan berantai itu untuk membuat lawan lengah, bahkan ia pura-pura seperti orang kehabisan tenaga. seri muka Wisangjiwo yang merasa gembira menyaksikan Jokowanengpati seperti orang kehabisan tenaga, tidak terlepas dari pandang matanya yang tajam. Ketika ia menusuk untuk kesekian kalinya ke arah lambung dan Wisangjiwo menangkis dengan gerakan keras, Jokowanengpati sengaja membiarkan dirinya terhuyung ke depan dari atas kuda. Akan tetapi diam-diam ia menggerakkan ujung tombaknya ke depan dan...

   "Crattt"

   Ujung tombak yang runcing itu telah menembus dada kuda tunggangan Wisangjiwo! Kuda itu meringkik kesakitan lalu mengangkat tubuh depan keatas, meronta-ronta.

   "Keparat!! Curang engkau...!!!"

   Wisangjiwo memaki marah, akan tetapi mukanya menjadi pucat karena ia maklum bahwa keadaannya amat berbahaya. Sungguh tidak disangkanya bahwa lawannya akan melakukan hal yang amat curang itu.

   Melukai kuda lawan merupakan hal yang dipantang semua satria dalam medan yuda, karena hal ini membayangkan kerendahan watak dan kecurangan yang memalukan! Wisangjiwo berusaha untuk menguatkan kedua kakinya menenangkan kudanya, akan tetapi kudanya telah mengalami luka parah. Ujung tombak tadi sudah menembus dada menyentuh jantung sehingga kuda itu kini terhuyung-huyung ke depan sambil berputaran. Wisangjiwo ikut terputar dan tiba-tiba tombak jokowanengpati meluncur cepat menusuk dadanya dari kanan. Wisangjiwo menggunakan tombak, berusaha menangkis. Tangkisannya berhasil, akan tetapi karena kedudukan tubuhnya miring dan hamper jatuh, tombak Jokowanengpati tidak dapat dihalau pergi dan meleset, terus menancap pada dekat pundak kanannya!

   "Aduhhh...!!"

   Wisangjiwo merintih.

   "Ha-ha-ha-ha!"

   Jokowanengpati tertawa bergelak sambil mencabut tombaknya. Akan tetapi suara ketawanya terhenti seketika terganti seruan kaget dan matanya terbelalak ketika ia melihat betapa Wisangjiwo ikut terbawa oleh tombak yang akan dicabutnya dan kini dengan wajah mengerikan Wisangjiwo menubruknya! Ternyata Wisangjiwo yang sudah terluka parah itu menjadi nekat. Meminjam tenaga betotan lawan, ia membiarkan dirinya terbawa, bahkan lalu meloncat dari punggung kudanya dan sambil menubruk ia mengirim pukulan dahsyat ke arah dada Jokowanengpati.

   "Desss...!!"

   Biarpun Jokowanengpati berusaha mengelak, namun dada kirinya masih terkena hantaman sehingga ia roboh terguling dari atas kudanya sambil menyeret tubuh Wisangjiwo bersamanya. Sayang bahwa Wisangjiwo sudah menderita luka hebat sehingga tenaganya tinggal sepertiga bagian saja.

   Kalau tidak, agaknya belum tentu Jokowanengpati dapat menahan pukulan yang tak tersangka-sangga tadi, karena diam-diam Wisangjiwo telah menggenggam kerang merah dan pukulannya tadi mengandung Aji Tirto Rudiro. Namun karena tenaganya tinggal sepertiga, Jokowanengpati hanya merasa seluruh isi dadanya menjadi dingin dan beku untuk sejenak saja. Sebagai seorang muda yang menjadi kekasih Ni Durgogini dan Ni Nogogini, tentu saja ia mengenal pukulan ini dan cepat-cepat ia mengerahkan tenaga dalam untuk melawannya. Namun Wisangjiwo benar-benar sudah menjadi nekat. Ketika tubuh mereka terguling bersama dari atas punggung kuda, Wisangjiwo sudah mencengkeram leher lawannya dan kini ia mengerahkan sisa tenaga yang ada untuk mencekik leher lawan.

   Jokowanengpati meronta-ronta sekuat tenaga, bahkan menggunakan kedua tangannya untuk merenggut lepas kedua tangan lawan dari lehernya, namun sia-sia belaka. Dalam keadaan terluka parah dan dalam kemarahan yang mendidih, Wisangjiwo mencekik dengan tekad bulat untuk mengadu nyawa. Jokowanengpati mulai panik. Ia tak dapat bernapas dan cekikan yang amat kuat itu membuat lehernya serasa hendak patah tulangnya, telinganya mengiang-ngiang dan pandang matanya menjadi merah dan gelap. Celaka, pikirnya. Orang ini sudah nekat dan kalau ia tidak cepat-cepat dapat membebaskan diri dari cekikan, tentu ia akan mati konyol! Tombaknya masih menancap di dada atas Wisangjiwo dan kini darah menetes-netes dari gagang tombak itu.

   "Keparat... mampus kau...! Rasakan pembalasanku atas penghinaanmu kepada Roro Luhito... isteriku... kepada ibu dan ayah...!"

   Suara Wisangjiwo mendesis-desis, matanya merah, wajahnya amat menyeramkan. Jokowanengpati menahan diri agar tidak pingsan, tangannya meraba gagang keris di pinggang belakang, berkutetan dan berhasil menghunus keris.

   "Creppp!!"

   Kerisnya memasuki lambung Wisangjiwo sampai ke gagangnya. Tubuh Wisangjiwo menegang. Kedua tangan yang mencekik leher mendadak menjadi makin kuat sehingga hampir patah tulang leher Jokowanengpati! Cepat-cepat ia mencabut kerisnya dan menghunjamkannya lagi ke dalam perut lawan.

   "Creppp!!"

   Kali ini Wisangjiwo mengeluh, lalu tubuhnya lemas. Jokowanengpati meronta, melepaskan diri dan meloncat bangun.

   Sejenak ia memejamkan mata karena pandang matanya berkunang, kepalanya berdenyut-denyut, lehernya sakit dan juga dada kirinya masih ngilu. Ketika ia membuka matanya kembali, tubuh Wisangjiwo sudah telentang di depan kakinya, darah bercucuran dari dua lubang bekas tusukan kerisnya, tombaknyapun masih menancap di dada. Wisangjiwo sudah tak bergerak-gerak lagi. Dengan marah Jokowanengpati menyepak bekas lawannya dan pada saat itu ia melihat Pujo mengamuk tak jauh dari tempat itu. Melihat musuh besar yang berbahaya ini, ia terkejut. Ia maklum bahwa Pujo merupakan lawan yang lebih berat dan lebih berbahaya daripada Wisangjiwo, sedangkan dia sendiri sudah terluka cukup parah. Tak sanggup rasanya kalau ia harus menghadapi Pujo seorang diri. Maka ia lalu mengerahkan pasukan untuk mengeroyok Pujo.

   Pujo tidak gentar. Melihat Jokowanengpati, makin menggelora semangatnya karena ia ingin cepat-cepat dapat berhadapan dengan musuh besarnya itu. Akan tetapi kepungan makin diperketat. Biarpun ia telah banyak merobohkan para perajurit, namun belum juga ia terbebas dari kepungan. Bahkan kini Jokowanengpati mengerahkan pasukan bertombak. Menghadapi kurungan lawan yang memegang senjata panjang ini, Pujo menjadi repot juga. ia tidak takut menghadapi hujan tombak, akan tetapi sukar baginya untuk merobohkan para pengeroyoknya seperti tadi. Dengan marah ia menyimpan kerisnya, merampas sebatang tombak dan dengan senjata panjang inilah ia menghajar para pengeroyoknya. Sampai remuk-remuk dan patah-patah tombaknya setelah ia merobohkan belasan orang. Ia merampas lain tombak dan mengamuk terus sambil berteriak keras,

   "Jokowanengpati manusia pengecut! Hayo layani aku sampai seorang di antara kita mandi darah!"

   Akan tetapi Jokowanengpati tidak memperdulikan maki-makiannya melainkan dari luar memberi petunjuk-petunjuk kepada para perajurit. Betapapun saktiny Pujo, menghadapi keroyokan yang tak kunjung habis itu, ia menjadi lelah dan repot juga. Kemarahannya meluap dan ia mengamuk seperti banteng ketaton (terluka)! Sementara itu pertandingan antara Cekel Aksomolo melawan Resi Telomoyo juga amat ramai dan menarik. Seperi biasa, dalam menghadapi lawan tangguh Cekel Aksomolo mengandalkan tasbihnya dan ia lalu menggerakkan tasbih itu tidak hanya untuk menyerang dengan pukulan-pukulan dan sambaran-sambaran yang dapat merenggut nyawa,

   Akan tetapi d samping ini ia juga mengerahkan hawa sakti di dalam tubuhnya untuk disalurkar melalui lengannya dan "Mengisi"

   Bunyi tasbihnya yang demikian nyaring dan aneh sehingga bagi lawan yang kurang kuat batinnya, mendengar suara biji-biji tasbih yang saling beradu ini saja sudah cukup untuk merobohkannya! Karena kehebatan suara tasbihnya inilah maka pertandingan antara kedua orang kakek sakti ini menjadi terpisah daripada lainnya. Tidak ada perajurit, baik dari pasukan Pangeran Anom maupun pasukan Pangeran Sepuh, berani mendekati pertandingan ini setelah beberapa orang perajurit kedua belah fihak roboh setelah mendengar suara berkeritik yang memecahkan kendangan telinga dan melumpuhkan otot dan bayu itu! Pertandingan antara mereka terjadi seru tanpa saksi dekat.

   Namun sekali ini, Cekel Aksomolo benar-benar bertemu tanding! Kakek pertapa pemuja Sang Kapi Hanoman itu bukanlah orang sembarangan. Biarpun tandangnya (sepak terjangnya) kadang-kadang aneh dan lucu menggelikan, suka garuk-garuk bokong, suka melawak dengan sikap nyelelek (ugal-ugalan), namun sesungguhnya ia memiliki hawa sakti yang amat kuat, batinnya sudah matang dan ia termasuk seorang yang sakti mandraguna. Suara berkeritikan mujijat yang merobohkan banyak perajurit itu, sama sekali tidak mempengaruhinya, bahkan kakek in lalu membalas dengan aji yang serupa hanya beda macamnya saja. Ia mere-mere seperti seekor kera tulen, bahka mengeluarkan suara seperti kera.

   Suara ini amat tidak sedap memasuki telinga seakan-akan mengorek-ngorek telinga dengan benda tajam yang keras. Kalau orang biasa saja yang menjadi lawan mendengar suara ini tentu akan merasa telinganya pecah-pecah dan menyerah tanpa berkelahi lagi!. Karena keduanya maklum bahwa aji penaluk melalui suara ini tidak ada gunanya kalau digunakan terhadap lawan maka kini mereka lalu mengandalkan ilmu silat mereka. Cekel Aksomolo biarpun seorang kakek bongkok dan tua renta tangannya seperti lumpuh, namun sesungguhnya ia seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tidak hanya ilmu kebatinan dan ilmu hitam, juga ilmi silatnya hebat. Tasbih yang merupakai senjata pusaka ampuh itu berada di tangannya seakan-akan berubah menjadi halilintar.

   Tasbih itu lenyap bentuknya ketika ia gerakkan berubah menjadi sinar yang melingkar-lingkar aneh mengeluarkan bunyi aneh dan angin gerakannya mengandung hawa panas. Jangankan terkena sambaran tasbihnya sendiri, baru. tersambar oleh angin gerakannya saja sudah membuat kulit manusia biasa terkupas seperti terkena air mendidih. Namun Resi Telomoyo juga hebat. Biarpun ia hanya mempergunakan sebatang cabang pohon untuk dipakai sebagai senjata, namun ternyata cabang pohon biasa itu di tangannya berubah menjadi senjata ampuh. Suara nyaring terdengar tiap kali cabang pohon bertemu tasbih, seolah-olah tanah tergetar dan asap mengebul dari cabang pohon itu! Mereka serang-menyerang, desak-mendesak, sukar sekali menentukan siapa yang akan menang.

   Juga pertandingan antara Ki Warok Gendroyono melawan Kartikosari amat ramai dan setanding. Sesungguhnya, dalam gerakan ilmu silat, Kartikosari menang seusap, akan tetapi Ki Warok Gendroyono dapat menutup kekalahannya itu dengan tubuhnya yang kebal sehingga tusukan keris yang tidak mengenai tepat, kalau hanya meleset saja, tidak akan melukainya, paling-paling membuat kulitnya lecet sedikit. Sudah beberapa kali keris Kartikosari mengenai tubuhnya, meleset sehingga mengejutkan wanita sakti itu. Adapun senjata Ki Bandot, kolor maut itu, juga amat berbahaya dan Kartikosari cukup maklum bahwa sekali saja kepala atau dadanya kena hantaman kolor, tentu maut tebusannya. Oleh karena inilah ia berkelahi dengan hati-hati sekali, mengandalkan kecepatan gerak tubuhnya.

   Sayang sekali keadaan Roro Luhito tidak seramai teman-temannya. Menghadapi Ki Krendoyakso yang sepak terjangnya buas dan liar, wanita ini menjadi panik. Belum banyak pengalamannya bertempur dan Ki Krendroyakso benar-benar seorang liar yang menyeramkan. Ruyungnya yang besar dan berat itu mendatangkan angin lesus, dan selain ruyungnya, juga lengan kirinya yang besar selalu menjangkau hendak mencengkeram, dari mulutnya keluar gerengan-gerengan seperti binatang buas dan keringatnya berbau sengit menyengat hidung. Ketika ramai-ramainya bertanding, Ki Krendoyakso yang kaya keringat ini menggerakkan tubuh, keringatnya memercik ke depan, tanpa disengaja mengenai muka Roro Luhito, dekat hidung dan mulut. Hampir dia muntah-muntah!

   "Iblis laknat menjijikkan!!"

   Ia memaki-maki untuk mencegah agar jangan sampai muntah-muntah, lalu ia menggunakan Aji Sosro Satwo dan tubuhnya berkelebat amat cepatnya. Hanya dengan kecepatan tubuhnya ia mampu menjaga diri, akan tetapi karena ia selalu mengelak dan merasa jijik untuk berkelahi mendekat, iapun tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang. Lucu pertandingan ini. Biarpun Roro Luhito tampak diserang terus, namun dengan kelincahannya inipun ia telah membuat Ki Krendoyakso pening dan lelah. seperti seekor celeng besar menghadapi gangguan seekor lebah, atau seekor anjing digoda seekor lalat. Perang campuh antara pasukan Pangeran Muda dan pasukan Pangeran Sepuh berlangsung makin hebat, makin buas dan kejam.

   Alun-alun yang biasanya bersih itu kini penuh mayat bergelimpangan, darah bergelimangan, bau darah amis menyesakkan dada mengotorkan udara. Teriakan-teriakan yang keluar dari kerongkongan parau makin liar dan jerit tangis yang terluka melengking tinggi. Debu mengebul tebal dan tinggi, menggelapkan alun-alun dan sekitarnya. Perang campuh besar-besaran ini berlangsung hamper sehari penuh, agaknya hanya akan berhenti kalau mata sudah tak dapat membedakan kawan atau lawan karena malam tiba, untuk dilanjutkan esok hari dan seterusnya. Tiba-tiba bertiup angin keras yang menerbangkan debu yang menggelapkan medan yuda, dan suara yang lembut namun berpengaruh terbawa oleh angin ini sehingga terdengar oleh semua yang sedang berperang.

   "Haaiii... para kawula di Kahuripan! Hentikanlah segera pertumpahan darah ini!"

   Suara ini amat jelas dan penuh wibawa, membuat mereka yang mendengar tersentak kaget dan menghentikan gerakan senjata masing-masing lalu menengok dan mencari-cari dengan pandang mata untuk melihat apakah pendengaran mereka tidak keliru. Semua orang yang sedang berperang itu mengenal belaka suara ini.

   Dan tampaklah oleh mereka bahwa pendengaran mereka benar. Di atas pegunungan kecil yang berada di sebelah selatan alun-alun, Berdiri tiga orang kakek. Kakek yang berdiri di depan itulah yang berseru menghentikan perang. Tampak betapa kakek itu mengangkat tangan kanan ke atas, menggerak-gerakkan tangan itu, dari mulutnya keluar seruan itu berkali-kali. Tak salah lagi, demikian para perajurit dan perwira berpikir dengan hati berdebar, itulah Sang Prabu Airlangga yang telah mengundurkan diri menjadi pendeta! Tak seorangpun di antara mereka yang tidak gentar hatinya melihat Sang Prabu Airlangga, lemas lutut mereka dan para perajurit yang berada di depan, baik mereka itu anak buah pasukan Pangeran Anom maupun anak buah pasukan Pangeran Sepuh segera menjatuhkan diri berlutut didahului oleh para perwira.

   Perbuatan ini diikuti oleh perajurit-perajurit yang berada di sebelah belakang. Menyaksikan ini, dua orang kakek yang mengapit Sang Prabu Airlangga atau Sang Resi Jatinendra, mengangguk-anggukkan kepala dengan penuh kagum. Mereka ini adalah Empu Bharodo dan Resi Bhargowo. Dua orang pertapa sakti ini makin kagum dan tunduk kepada junjungan ini yang ternyata masih memiliki wibawa yang bukan main besarnya. Dua orang pangeran juga melihat munculnya ayah mereka. Pucat wajah mereka dan serta-merta mereka berdua meninggalkan barisan masing-masing, lari menghampiri Resi Jatinendra. Akan tetapi karena pangeran Anom menghampiri dengan berkuda sedangkan Pangeran Sepuh sudah turun dari kuda, maka Pangeran Anom yang lebih dahulu tiba di situ.

   Pangeran ini segera meloncat turun dari kuda berlari menubruk kaki ayahnya sambil menangis! Pendeta itu mengelus-elus jenggotnya dengan tangan kiri dan menyentuh kepala puteranya dengan tangan kanan. Dia amat sayang kepada putera-puteranya, terutama putera bungsu ini. Kemudian ia melirik kepada Pangeran Sepuh yang juga telah tiba di situ dan kini berlutut pula di depannya, di belakang Pangeran Anom sambil menundukkan muka. Sejak putera-puteranya masih kecil, selalu Sang Prabu Airlangga menekankan kerukunan kepada mereka, mendidik mereka agar hidup rukun, yang muda tunduk kepada yang tua, sebaliknya yang tua mengalah kepada yang muda. Maka kini ia merasa prihatin sekali menyaksikan perang saudara antara kedua puteranya itu.

   "Hemm, anak-anakku. Mengapa kalian mengadakan perang saudara dan membiarkan bunuh-membunuh macam ini?"

   Dalam pertanyaan ini, sungguhpun suaranya halus dan wajahnya masih tetap bersinar, namun terkandung hati trenyuh.

   "Duh rama...!"

   Pangeran Anom mendahului kakaknya dan menangis makin keras."Semenjak rama pergi bertapa, Pangeran Sepuh selalu menindas hamba, selalu menghina hamba, mengandalkan kedudukannya sebagai putera sepuh (tua), sebagai putera permaisuri pertama! Rama hamba diperhina, tak dipandang sebelah mata, dianggap adik tiri yang terbenci kalau hamba tidak mempertahankan diri, agaknya hamba sudah disuruhnya bunuh!"

   Sang Prabu Airlangga yang sudah menjadi pertapa itu adalah seorang bijaksana, seorang waspada, tentu saja tidak mudah dibujuk dan dibakar oleh omongan-omongan seperti itu. Namun, betapapun juga dia seorang manusia yang tak terlepas daripada ikatan kasih, maka keningnya berkerut ketika ia menegur Pangeran Sepuh,

   "Bukankah sejak dahulu aku selalu memperingatkan agar yang tua pandai mengalah? Lebih tua berarti lebih matang jiwanya, lebih luas pandangannya, dan lebih bijaksana. Mengapa membiarkan keadaan menjadi berlarut-larut sehingga timbul perang saudara yang begini menyedihkan?"

   Pangeran Sepuh orangnya pendiam, seperti ibunya. Dengan sepenuh hati ia bersujut dan menjawab,

   "Mohon beribu ampun, rama. Mengenai semua peristiwa yang terjadi, hamba yakin bahwa rama tentu telah dapat menyelami dan mengetahui akan keadaannya."

   Makin dalam kerut merut di wajah yang tadinya berseri itu. Jawaban ini cukup bagi Sang Resi Jatinendra, cukup membuat ia maklum akan perbedaan antara kedua orang puteranya, juga cukup membuat ia menduga bahwa kalau diselidiki, tentu kesalahan berada di fihak Pangeran Anom. Menyelidiki urusan ini, menekankan kesalahan-kesalahan, berarti malah memperhebat permusuhan di antara mereka. Maka ia berkata, suaranya penuh wibawa,

   "Yang tua mengalah, yang muda menunduk, inilah kewajiban di antara saudara, berlandaskan cinta kasih. Segala macam persoalan yang timbul, hanya dapat diselesaikan baik-baik secara damai dengan perundingan. Mengapa suka menghamba nafsu dan melakukan perang saudara yang mengakibatkan pertumpahan darah antara saudara? Wilayah Kahuripan amat luas, dibagi duapun kalian masih akan mendapatkan bagian masing-masing yang cukup luas. Untuk apa diperebutkan?"

   Perang saudara itu serentak berhenti. Melihat munculnya Sang Prabu Airlangga sendiri yang menghentikan perang, gentarlah rasa hati para pembantu Pangeran Anom yang pada saat itu masih bertanding. Cekel Aksomolo maklum bahwa, menghadapi bekas Raja Kahuripan yang amat sakti mandraguna itu, ia dan kawan-kawannya takkan dapat berbuat sesuatu, bahkan melihat perang terhenti secara mendadak, iapun lalu menghentikan serangannya terhadap Resi Telomoyo, lalu terbungkuk-bungkuk menyelinap pergi di antara banyak perajurit yang bersimpang-siur. Demikian pula pertandingan Roro Luhito, terhenti dengan sendirinya. Seperti juga Cekel Aksomolo, dua orang raksasa ini mengundurkan diri dan menanti keputusan Pangeran Anom yang masih menghadap ayahnya bersama Pangeran Sepuh.

   Kartikosari dan Roro Luhito yang pada hakekatnya datang ke Kotaraja terutama sekali untuk mencari musuh besar mereka, kinipun kehilangan nafsu bertempur melihat perang dihentikan. Secara pribadi, mereka tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan dua orang raksasa tadi. Maka mereka lalu cepat menyelinap maju, memasuki bagian yang tadi menjadi wilayah musuh, untuk mencari Jokowanengpati. Sementara itu, Resi Telomoyo yang tadi ketika bertanding melawan Cekel Aksomolo sempat melihat Pujo menerjang ke tengah barisan, juga sudah menyelinap pergi untuk mencari Pujo karena ia merasa khawatir kalau-kalau Pujo yang terpisah dari mereka bertiga tadi mengalami celaka.

   
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kakang Wisangjiwo...! Aduh, kakang... kenapa kau sampai begini...!"

   Roro Luhito menubruk tubuh yang rebah miring mandi darah itu, memeluk dan menangis. Kartikosari berdiri dan memandang.

   Kasihan, pikirnya. Biarpun Wisangjiwo ini dahulu bukan manusia baik-baik dan telah menyeleweng jauh daripada kebenaran, akan tetapi akhir-akhir ini telah insyaf dan berusaha kembali ke jalan benar. Siapa mengira, putera Adipati Selopenangkep akan mengakhiri hidupnya di medan perang dalam keadaan mengerikan. Tubuh yang disangka sudah mati itu bergerak perlahan, telentang sehingga kini tampak luka-luka di sebelah depan tubuhnya, di dada dan perut. Darah sudah tak mengucur lagi, akan tetapi di atas tanah tergenang darah dan pakaiannya juga penuh darah. Wisangjiwo membuka matanya. Melihat bahwa wanita yang memeluknya adalah Roro Luhito, matanya terbelalak dan dengan sukar sekali agaknya dengan pengerahan tenaga penghabisan, ia berkata, menudingkan telunjuknya,

   "Jok... Jokowanengpati... dia lari ke sana...!"

   Tiba-tiba tubuhnya berkelojotan lalu lemas. Nyawanya melayang pergi. Roro Luhito maklum kakak tirinya sudah mati, akan tetapi pada saat itu kemarahan dan dendam lebih daripada kedukaan. Ia meletakkan tubuh kakaknya yang tadi ia sangga itu ke atas tanah, lalu meloncat berdiri. Bagaikan mendapat komando, keduanya serentak lari ke arah yang ditunjuk oleh Wisangjiwo tadi, berlari cepat seperti berlomba. Beberapa perajurit yang mereka terjang terguling dan banyak orang memaki-maki Namun Kartikosari dan Roro Luhito tak perduli, terus lari sampai mereka keluar dari alun-alun yang penuh perajurit. Suara derap kaki kuda mengejutk mereka, membuat mereka menoleh.

   "Itu dia!"

   Seru Roro Luhito. Memang benar Jokowanengpati telah menunggang kuda dan membalapkan kudanya itu, menuju selatan.

   "Kejar...!"

   Kartikosari berseru.

   Mereka lari ke arah kiri di mana terdapat beberapa ekor kuda yang dituntun perajurit Pangeran Anom. Agaknya binatang-binatang itu kuda tunggangan para perwira yang kini turun dari kuda dan entah ke mana perginya. Tak berkata sesuatu, Kartikosari dan Roro Luhito menggerakkan tangan dan kaki dan sekejap saja mereka berdua telah menunggangi kuda rampasan, membiarkan dua orang perajurit yang tiba-tiba didorong roboh terlentang itu bengong terlongong kemudian menyumpah-nyumpah!. Kartikosari mendapatkan kuda berbulu dawuk, sedangkan Roro Luhito menunggang kuda berbulu merah. Sekali lagi terdengar derap kaki kuda membalap ke selatan ketika dua orang wanita ini mengejar Jokowanengpati yang sudah tidak tampak lagi bayangannya.

   Resi Telomoyo menemukan Pujo dalam keadaan payah. Pujo bermandi peluh dan ia lelah sekali bahkan ada beberapa luka ringan di tubuhnya. Untung tadi bahwa perang terhenti tiba-tiba, kalau tidak, tentu ia terancam bahaya maut. Jokowanengpati yang curang itu tidak pernah maju sendiri, melainkan terus-menerus menambah bala bantuan sehingga Pujo dikeroyok oleh puluhan orang perajurit. Biarpun Pujo tidak gentar dan mengamuk serta merobohkan banyak sekali lawan, namun kalau pertandingan keroyokan seperti itu dilanjutkan, tentu ia akan kehabisan napas dan tenaga sehingga akhirnya ia akan mati di ujung puluhan senjata!. Maka begitu perang terhenti, ia berdiri dengan keris di tangan, mengatur napas dan memulihkan tenaganya.

   Biarpun semua orang berhenti bertempur, namun mengingat akan kelicikan Jokowanengpati, Pujo tidak berani bersikap lengah. Ia beristirahat, namun dengan keris di tangan, siap membela diri mati-matian. Ia tidak tahu betapa Jokowanengpati sudah menjadi ketakutan begitu melihat bahwa perang dihentikan oleh Sang Prabu Airlangga sendiri. Sebagai seorang yang telah menumpuk dosa, melihat Pujo, Kartikosari dan Roro Luhito berada pula di Kotaraja, setelah kini ia tidak dapat berlindung lagi di belakang Pangeran Anom karena perang dihentikan, tentu saja Jokowanengpati menjadi ketakutan. Ia pikir lebih baik lolos lebih dahulu dan setelah ia merasa yakin takkan dapat dijangkau tangan orang-orang yang mendendam, baru ia akan kembali menghambakan diri kepada Pangeran Anom. Untung, pikirnya, Pujo sudah amat lelah sehingga tidak dapat mengejarnya.

   Ia sendiri menderita luka yang cukup hebat akibat pukulan Wisangjiwo tadi, sehingga kalau dalam keadaan seperti ini ia harus menghadapi Pujo, ia merasa berat dan khawatir. Girang hati Pujo mendengar bahwa kedua orang isterinya tidak mengalami luka dalam perang itu sungguhpun hatinya kaget ketika Resi Telomoyo menceritakan bahwa kedua orang isterinya itu mendapatkan lawan yang amat berbahaya, yaitu Ki Warok Gendroyono dan Ki Krendoyokso! Mereka berdua lalu kembali untuk mencari Kartikosari dan Roro Luhito, namun kedua orang wanita itu tidak tampak bayangannya. Pujo yang merasa tidak enak hatinya, minta agar Resi Telomoyo kembali lebih dahulu ke pasanggrahan yang disediakan untuk mereka oleh Wisangjiwo di kompleks Istana Pangeran Sepuh.

   "Paman resi, saya tidak dapat beristirahat dengan tenang sebelum melihat mereka kembali dengan selamat. Kemana gerangan mereka pergi? Bukankah perang sudah dihentikan? Saya hendak mencari mereka."

   Demikian kata Pujo yang kembali ke alun-alun dan menyelinap ke tengah dimana tadi terjadi perang hebat. Perajurit-perajurit kedua fihak kini sedang mengangkuti mereka yang tewas dan terluka. Namun tidak tampak bayangan kedua isterinya. Kalau Kartikosari dan Roro Luhito berada di antara mereka, tentu mudah terlihat olehnya karena perajurit-perajurit itu adalah laki-laki semua. Akhirnya setelah bertanya-tanya, Pujo mendengar bahwa kedua orang isterinya itu merampas kuda dan membalapkan kuda ke arah selatan.

   

Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini