Ceritasilat Novel Online

Badai Laut Selatan 24


Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Bagian 24



"Hamba akan pergunakan segala ilmu yang hamba dapat berkat bimbingan bapa guru yang bijaksana, untuk melakukan prikebajikan, membela kebenaran dan keadilan, memberantas, menindas, dan melenyapkan kejahatan, melindungi kau m lemah tertindas, menentang mereka yang sewenang-wenang adigang-adigung-adiguna mengandalkan kepintaran, kedudukan, kekuasaan, dan kekuatan untuk bersimaharajalela meiakukan kejahatan yang menyusahkan lain orang. Semoga hamba akan selalu ingat akan hal itu seperti yang diajarkan oleh bapa guru."

   Resi Narotama mengangguk-angguk.

   "Benar, angger. Kalau demikian, tidak percuma kau berjerih payah selama bertahun-tahun mempelajari ilmu. Baik buruknya ilmu, bersih kotornya kepandaian yang dimiliki, tergantung daripada penggunaannya. Betapapun baik ilmu, betapa tinggi kepandaian, kalau dipergunakan untuk kejahatan, maka ilmu itupun akan menjadi ilmu jahat. Hitam putihnya ilmu tergantung daripada pemakaiannya. Ilmu merupakan alat, angger. Tiada bedanya dengan sebatang golok. Kalau golok dipergunakan untuk membabat alang-alang, menebang kayu membuat alat rumah tangga, golok itu merupakan alat berguna. Akan tetapi kalau dipergunakan untuk membacok leher manusia lain tanpa dosa, golok itu menjadi alat pembunuh keji! Oleh karena itu, bahagialah orang yang pandai mempergunakan ilmu untuk kebajikan dan terutama sekali, untuk mendatangkan manfaat bagi orang-orang Iain. Sebaliknya, kasihanlah mereka yang setelah dikaruniai ilmu lalu menjadi besar kepala, sombong dan merasa diri sendiri paling pintar, paling jagoan sehingga ia terperosok ke dalam jurang kegelapan, melakukan segala tindak maksiat dan kejahatan."

   "Hamba perhatikan segala perintah bapa guru"

   Jawab Joko Wandiro.

   "Kulanjutkan lagi pertanyaanku sebagai ujian terakhir dan bekal bagimu, kulup Joko Wandiro. Setelah kau mengerti kegunaan ilmu yang kau pelajari itu untuk melakukan kebajikan, apakah pamrihmu dalam melakukan kebajikan? Apakah untuk membikin puas hati? Apakah dengan pamrih agar Dewata kelak memberi ganjaran kemuliaan di kahyangan? Apakah ingin agar dicinta orang, dipuja dan disebut satria budiman dan perkasa? Ataukah ingin kelak diganjar kedudukan tinggi oleh Raja? Heh, kulup Joko Wandiro, katakan kepada gurumu, apakah pamrihmu hendak mempergunakan ilmu guna kebajikan?"

   "Ampun kalau jawaban hamba keliru dan mohon petunjuk, bapa guru. Sesungguhnya, kalau hamba pergunakan ilmu yang ada pada hamba untuk kebajikan, hamba tiada berpamrih apa-apa di dalam hati hamba, bapa."

   "Hemm..., tidak berpamrih? Lalu, apa dasarnya? Mengapa engkau memilih kebajikan, mengapa tidak memilih sebaliknya? Ada dasarnya maka engkau hendak mempergunakan ilmu untuk perbuatan bajik, membela kebenaran dan keadilan dan sebagainya tadi?"

   "Sesungguhnya memang ada dasarnya, bapa guru. Sesuai dengan segala petunjuk dan nasehat bapa, kalau hamba tidak keliru, dasarnya adalah pelaksanaan kewajiban, tidak ada dasar lain!"

   Kembali Resi Narotama mengangguk-angguk dan mengelus-elus jenggot memelintir kumisnya yang penuh uban.

   "Mendasarkan segala langkah di dalam hidup di atas kewajiban! Sungguh baik sekali ini, kulup. Orang yang mengenal wajib tidak mudah terperosok ke dalam jurang kenistaan. Akan tetapi engkau lupa hal yang jauh lebih penting daripada itu, angger. Seyogjanya engkau dasarkan kepada kewajiban sebagai manusia yang sadar akan kemanusiaannya, dan terutama sekali, engkau dasarkan kepada kebaktian terhadap Hyang Wisesa (Yang Maha Kuasa)!"

   "Aduh..., ampunkan hamba, bapa. Hamba tidak mengucapkan karena hal itu sudah sejiwa dengan hamba, bagaikan pernapasan yang sampai tidak terasa lagi, namun tidak pernah terlupa."

   "Bagus! Memang engkau tak akan salah langkah dalam hidupmu, segala perbuatanmu, segala penggunaan Ilmu yang ada padamu, engkau dasarkan sebagai korban kepada Hyang Wisesa, sebagai tanda bakti kepadaNya. Perbuatan yang disertai pamrih tidaklah bersih lagi, tidak wajar lagi. Betapapun besar pertolongan yang kau berikan kepada orang lain, namun apabila pertolongan itu kau lakukan dengan pamrih di dalam hati, betapapun kecilnya pamrih itu, maka perbuatanmu menolong itu bukan menolong lagi namanya! Itu bukan kebajikan lagi namanya, angger, karena engkau bergerak menolong orang lain, digerakkan oleh pamrih demi kepentingan diri pribadi! Pamrih boleh bermacam-macam, namun sama juga. Pamrih dipuji orang? Siapa yang dipuji? Diri sendiril Pamrih disebut satria perkasa dan budiman. Siapa yang disebut? Diri pribadil Perbuatan kebajikan yang berpamrih bukanlah kebajikan, karena andaikata pamrihnya tidak ada, tentu tidak akan terlahir kebajikan itu. seperti seorang anak kecil yang bersikap rajin dan patuh dengan pamrih agar dipuji dan diberi ganjaran. Kalau tidak akan ada pujian dan ganjaran, takkan terdorong keluar lah sikap rajin dan patuhnya! Berbeda dengan mereka yang mendasarkan langkah hidup dengan wajib dan bakti kepada Hyang Wisesa. Perbuatannya wajar, tiada dorongan demi kepentingan pribadi. Jelaskah bagimu, angger?"

   "Cukup jelas, bapa."

   "Sekarang kulanjutkan lagi pertanyaanku. Setelah engkau tahu akan penggunaan ilmu yang kau pelajari dan tahu pula bahwa perbuatan yang didasari pamrih itu palsu, jawablah : Apakah yang menjadi cita-citamu? Jelasnya, apakah yang menjadi keinginanmu dalam hidup di dunia ini, kulup Joko Wandiro?"

   "Maaf, bapa. Apakah orang bercita-cita itu bukan berpamrih?"

   "Ha-ha! Bukan, angger. Pamrih bukan cita-cita. yang dimaksud pamrih tadi adalah pamrih yang mendasarl tiap pcrbuatan manusia. Adapun cita-cita adalah tujuan hidup. Manusia sudah dikurniai akal budi dan sudah menjadi kewajiban manusia pula untuk mempegunakan akal budi itu, untuk mencari a"a yang belum diketahuinya, untuk menjenguk dan memandang masa depan, untuk bercita-cita sebagai pengisi hidupnya. Manusia berhak untuk menikmati hidup, untuk memuaskan keinginan hatinya, asal saja tidak melanggar kebajikan, tidak merugikan orang lain. Kesenangan dan kenikmatan hidup adalah anugerah Dewata yang Maha Murah, Maha Kasih. Manusia biasa, bukan pendeta yang menggayuh tingkat lebih tinggi, berhak menikmati hidup, berhak bercita-cita. Karena itu, aku bertanya kepadamu, angger. Apakah yang menjadi cita-cita hidupmu?"

   Setelah berpikir sejenak, Joko Wandiro menjawab.

   "Hamba bercita-cita untuk memperjuangkan kewajiban hamba sehingga lenyaplah kejahatan di dunia, sehingga hamba tidak perlu lagi mempergunakan ilmu untuk menentang kejahatan. Hamba ingin melihat dunia yang tata tenteram karta raharja, ingin hidup bersama-sama manusia lain dalam keadaan rukun, kasih-mengasihi, hormat-menghormat i, tolong-menolong, di mana tiada dengki tiada iri, tiada murka, tiada permusuhan, yang ada hanya persahabatan dan persaudaraan."

   "Ha-ha-ha-ha-ha!"

   Resi Narotama tertawa sampai terbahak-bahak dan ia menghapus dua butir air mata yang keluar karena tertawa itu.

   "Alangkah indahnya kalau ada keadaan seperti itu di dunia, angger. Sayang seribu sayang, aku sendiri belum pernah mengalami hidup dalam dunia seperti itu indahnya. Mudah-mudahan saja engkau kclak akan mengalaminya. Akan tetapi, muridku. Cita-cita tinggal cita-cita, yang penting adalah pelaksanaan yang menjadi kewajiban. Jangan sekali-kali engkau mabok oleh cita-cita kosong, angger."

   "Bagaimanakah maksud bapa? Hamba kurang mengerti."

   "Cita-cita adalah harapan akan tercapainya sesuatu yang indah sebagai akibat atau hasil daripada perjuangan. Karena cita-cita adalah hasil atau akibat, oleh' karena itu takkan tercapai tanpa perjuangan, tanpa pelaksanaan. Dan karena keindahannya maka dapat memabokkan orang. Seorang yang lemah batinnya selalu menghendaki sesuatu yang indah tanpa perjuangan yang susah payah, selalu menghendaki tercapainya cita-cita dengan mudah, tidak perduli baik buruknya cara yang ditempuhnya. Namun seorang bijaksana, tidak mabok oleh cita-cita, melainkan penuh ketekunan dan keyakinan melaksanakan tugas sebagai kewajibannya. Karena cita-cita hanya akibat, maka dengan sendirinya akan datang dan tercapai apabila kewajibannya dilaksanakan. seperti halnya orang yang bercita-cita mengenyam buah manga yang harum manis dari pohon mangga yang hendak ditanamnya. Kalau ia hanya mabok dalam cita-citanya yang muluk-muluk, ia hanya akan mengenyam mangga dalam alam mimpi belaka. Sebaliknya, orang yang sadar akan kewajibannya, akan tekun menanam bibit mangga, memeliharanya baik-baik, menyiraminya setiap hari, menjaganya dari gangguan luar. Kelak hasilnya akan datang sendiri!"

   Joko Wandiro mengangguk.

   "Hamba mengerti sekarang, bapa."

   "Setelah engkau berpisah dariku, berhati-hatilah dan waspadalah, angger. seperti kau ketahui, dunia ini penuh dengan pertentangan, iblis dan setan selalu berusaha menyeret manusia untuk melakukan kejahatan, sebaliknya para dewata bertugas menuntun manusia ke arah jalan kebajikan. Akan tetapi iblis dan setan amatlah pandai, kadang-kadang membujuk manusia sambil menyamar sebagai dewata. Kadang-kadang ia akan membujukmu melakukan sesuatu yang kelihatannya baik, namun sesungguhnya adalah kejahatan belaka. Inilah sebabnya maka timbul kebaikan-kebaikan palsu, yang pada hakekatnya hanya kejahatan yang berkedok, seperti musang berbulu ayam. Inilah sebabnya mengapa orang-orang memperebutkan kebenaran dan keadilan, Kebajikan yang diperebutkan pada hakekatnya bukanlah kebajikan lagi karena kebajikan itu sifatnya memberi, bukan meminta. Kebenaran dan keadilan bagi orang lain, barulah benar! Kebenaran dan keadilan untuk dan demi diri pribadi, masih diragukan kebersihannya!"

   Hening sejenak mengikuti gema ucapan sang resi ini, seakan-akan alam sendiri termenung memikirkan dan mencari-cari makna daripada wejangan itu. Kemudian tiba-tiba sekali terdengarlah suara parau kasar,

   "Gaaaokk... gaaaoookkk...!"

   Suara burung gagak! Suara ini seakan-akan suara iblis sendiri yang menjawab wejangan-wejangan tadi, penuh ejekan. Guru dan murid itu saling pandang, Wajah si murid berkerut tegang, akan tetapi wajah si guru tetap tenang, bahkan tersenyum.

   "Agaknya para dewata sudah menghendaki, muridku, bahwa pada saat terakhir ini engkau harus menghadapi ujian berat. Pernahkah engkau mendengar suara itu?"

   Joko Wandiro mengangguk, berusaha menenteramkan hatinya.

   "Kalau hamba tidak keliru, mereka adalah Gagak Kembar, bapa."

   "Benar, suara itu sudah kukenal baik. Gagak Kunto dan Gagak Rudro, kaki tangan Wirokolo si manusia liar. Heran, apa yang mereka kehendaki, sedangkan bertahun-tahun aku telah menjauhkan diri dari dunia ramai."

   Tiba-tiba agaknya sebagai jawaban ucapan sang resi ini, terdengar ketawa terbahak-bahak, nyaring sekali sampai menggema di seluruh lereng dan memasuki telinga seperti jarum-jarum berbisa!

   "Wah! Siapa lagi itu kalau bukan Dibyo Mamangkoro?"

   Resi Narotama tampak tercengang dan kaget, akan tetapi hanya sebentar karena ia segera tersenyum kembali dan wajahnya tenang-tenang saja.

   "Joko, kita kedatangan orang-orang sakti yang masih belum kuketahui niatnya. Akan tetapi, mendengar suaranya, agaknya sang waktu tidak merobah watak mereka dan kalau dugaanku ini benar, berarti kita akan diserang. Akan tetapi kau hanya boleh bergerak kalau kusuruh."

   Suara burung gagak makin lama makin sering dan makin dekat. Kemudian, tampaklah pasukan terdiri dari orang-orang tinggi besar berjumlah tiga puluh enam orang itu, dipimpin oleh dua orang yang sama bentuk, sama wajah, dan sama pakaian,

   Yaitu Sepasang Gagak, kakak beradik kembar, Gagak Kunto dan Gagak Rudrol Setelah tiba di depan pondok, mereka segera membuat setengah lingkaran, berbaris rapi, siap dan menanti komando. Kemudian muncullah dua orang raksasa yang dengan langkah lebar mendatangi tempat itu sambil tertawa-tawa. Mereka itu bukan lain adalah Dibyo Mamangkoro si raksasa tua tampan dan gagah bersama adik seperguruannya, Wirokolo. Dibyo Mamangkoro segera melangkah maju sedangkan Wirokolo berdiri di sebelah Sepasang Gagak. Melihat Resi Narotama yang duduk bersila di atas batu, didampingi seorang pemuda tanggung yang menundukkan muka, Dibyo Mamangkoro tertawa bergelak dan mengelus-elus jenggotnya yang panjang.

   "Huah-ha-ha-ha! Narotama...! Kiranya engkau masih hidup dan bersernbunyi di sini?"

   Dengan sikap tenang Resi Narotama mengangkat muka memandang. Sepasang matanya memandang dan biarpun sikapnya tenang wajahnya tidak membayangkan sesuatu, namun sepasang mata itu berkilat penuh wibawa. Suaranya halus penuh kesabaran ketika ia berkata,

   "Dibyo Mamangkoro, makin dalam orang mengenal dirinya, makin dinginlah hatinya untuk mernbiarkan diri hanyut oleh gelombang nafsu. Tiada yang lebih baik daripada diam dan tenang di dunia ini, Mamangkoro. Engkau datang mengganggu ketenanganku, mempunyai kehendak bagaimanakah?"

   Kembali raksasa tua itu tertawa bergelak.

   "Narotama, kita sudah sama-sama tua sekarang, agaknya tidak patut kalau kita harus bertanding yuda seperti belasan tahun yang lalu. Tentu kita akan ditertawai kanak-kanak kalau masih berkelahi. Dengarlah, aku diutus sang prabu di Jenggala untuk memanggil engkau menghadap ke keraton Jenggala sekarang juga."

   "Hemmm! Sudah bertahun-tahun aku Narotama bertapa di gunung ini, tidak mengganggu orang lain, juga tidak ingin diganggu. Antara Jenggala dan Narotama tidak ada urusan sesuatu, Dibyo Mamangkoro, tidak ada sangkut-pautnya, maka terpaksa aku tidak dapat memenuhi permintaanmu ini."

   "Heh-heh, ingatlah Narotama! Engkau adalah Patih Kahuripan. Bukankah ia junjunganmu juga? Mengapa kau membangkang?"

   "Memang dahulu aku Patih Kahuripan, akan tetapi sekarang bukan Patih lagi, melainkan Resi Narotama. Antara Resi Narotama dan Kerajaan Jenggaia sungguh tidak ada urusan apa-apa."

   "Jadi kau kukuh tidak akan mau ikut bersamaku ke Jenggala?"

   "Sekarang tidak, besokpun tidak, Mamangkoro."

   "Heh, si sombong Narotama! Tahukah engkau bahwa aku telah diberi purbawa sesa (mandat penuh) oleh sang prabu? Tahukah kau bahwa kalau aku tidak dapat membawamu bersamaku ke Jenggala, aku harus membawa kepalamu?"

   Narotama tersenyum dan kilat sinar matanya makin terang.

   "Apakah itu berarti bahwa engkau hendak memenggal leherku dan membawa kepalaku ke Jenggala, Dibyo Mamangkoro?"

   "Benar begitu, Narotama."

   "Kalau begitu silahkan, hendak kulihat apakah engkau mampu memanggal leherku!"

   "Engkau menantang, si keparat??"

   "Aku hanya mengiringi kehendakmu, selaras gending yang kau minta, melayani segala sepak-terjang dan tandang-tandukmu, Mamangkoro."

   "Babo-babo, si keparat Narotamal Engkau terlalu memandang rendah Dibyo Mamangkoro! Dibyo Mamangkoro sekarang tidak sama dengan Dibyo Mamangkoro belasan tahun yang lalu, Narotama!"

   Narotama menggeleng kepala.

   "Aku tidak melihat sedikitpun perubahan dalam dirimu, Mamangkoro. Masih menjadi abdi angkara murka seperti dahulu juga!"

   "Ijinkanlah hamba berdua memberi hajaran kepada mulut kakek sombong ini, kakang senopati!"

   Gagak Kunto dan Gagak Rudro sudah melompat maju dengan senjata di tangan. Gagak Kunto memegang tombak pusaka sedangkan Gagak Rudro memegang ruyungnya. Mereka berdua adalah anak buah Dibyo Mamangkoro dan sampai waktu itupun mereka masih menyebut kakang senopati kepada Dibyo Mamangkoro. Tentu saja keduanya cukup maklum akan kesaktian Narotama yang menggiriskan, akan tetapi karena di situ hadir Wirokolo dan terutama Dibyo Mamangkoro, mereka berdua tentu saja ingin menonjolkan jasa, dan keberanian merekapun meningkat. Dibyo Mamangkoro tertawa.

   "Heh-heh, boleh-boleh! Biar kulihat bagaimana sepak terjang Narotama sekarang."

   Akan tetapi pada saat itu, Joko Wandiro sudah berlutut di depan gurunya dan menyembah, berkata memohon,

   "Bapa guru, hamba harap bapa suka mengabulkan hamba mewakili bapa memberi hajaran kepada orang-orang kasar ini. Kiranya tidak perlu bapa yang sudah sepuh mengotorkan tangan melayani orang-orang jahat ini."

   Narotama mengangguk.

   "Majulah, Joko. Lawan mereka dan jangan ragu-ragu untuk memberi hajaran keras. Membasmi mereka seperti membersihkan bumi daripada abdi-abdi iblis yang kejam. Akan tetapi berhati-hatilah, angger."

   Dengan hati girang Joko Wandiro melompat bangun menghadapi Sepasang Gagak yang sudah siap dengan sikap menantang itu.

   "Bukankah kalian ini Gagak Kunto dan Gagak Rudro yang pada lima tahun lalu telah dirobohkan secara mudah oleh eyang Resi Bhargowo? Dan sekarang kalian masih berani berlagak di sini? Sungguh kalian orang-orang bermuka tebal dan tidak tahu malu, orang-orang bebal yang tidak juga hendak insyaf dan sadar kcmbali ke jalan benar."

   "Bocah bermulut besar! Siapakah kau, hayo mengaku agar jangan mampus tanpa nama!"

   Bentak Gagak Kunto.

   "Namaku Joko Wandiro."

   "Keluarkan senjatamu, keparat!"

   Gagak Rudro membentak sambil memutar-mutar ruyung di atas kepalanya. Joko Wandiro teringat akan jawaban Resi Bhargowo lima tahun yang lalu ketika menghadapi Sepasang Gagak ini, yang menyatakan bahwa senjatanya adalah kebenaran, maka ia tersenyum dan menjawab,

   "Senjataku adalah kebenaran. Majulah kalian dengan senjata kalian, akan kuhadapi dengan tangan kosong!"

   "Babo-babo si keparat! Ujudmu kecil, sumbarmu sebesar gunung anakan! kau sendiri yang mencari mati, bukan kami yang tak tahu diri melawan bocah!"

   Bentak Gagak Kunto makin marah.

   "Ah,bukankah pemuda ini bocah yang dahulu berani kurang ajar ketika kita menyerbu Jalatunda?"

   Teriak Gagak Rudro.

   Mereka kini mengenal Joko Wandiro dan hal ini menambah kemarahan mereka. la segera menerjang maju dengan langkah lebar dan menyerang Joko Wandiro dengan hantaman ruyungnya ke arah kepala. Serangan ini disusul oleh Gagak Kunto yang sudah menusukkan tombak ke arah dada pemuda itu. Dua serangan susul-menyusul yang amat berbahaya! Namun Joko Wandiro bersikap tenang. Dahulu ketika ia melihat Resi Bhargowo diserang oleh dua orang ra ksasa liar ini, ia menganggap kakek itu terlalu tenang dan kurang cepat bergerak. Akan tetapi sekarang setelah digembleng oleh Resi Narotama, mengertilah Joko Wandiro mengapa kakek itu demikian tenang. Kiranya untuk menghadapi lawan yang gerakannya buas memang amat dibutuhkan ketenangan, makin tenang makin mudahlah untuk mengikuti gerakan lawan.

   Kini, menghadapi terjangan dua orang lawannya ini, Joko Wandiro hanya menggeser kakinya, menggerakkan kedua lengan dan hanya dengan langkah kecil disertai kebutan lengan yang membuat tubuhnya miring ke sana ke mari, dua serangan itu dapat ia elakkan secara amat mudah. Gagak Kunto berseru keras dan kini ia menusukkan lagi tombaknya ke arah perut setelah tadi tombaknya mengenai tempat kosong... Gerakan ini disusul oleh hantaman ruyung Gagak Rudro yang mengarah tengkuk. Melihat datangnya tombak lebih cepat, Joko Wandiro miringkan tubuh ke kanan, lengan kirinya menangkis dari bawah, tepat mengenai leher tombak yang mencelat atau menyeleweng ke atas.

   "Taangggg!!"

   Tombak yang ditangkis dan terpental ke atas itu tepat sekali bertemu dengan ruyung sehinga seakan-akan Gagak Kunto mewakili Joko Wandiro menangkis serangan ruyung.

   "Keparat!!"

   Gagak Kunto marah sekali, kini ia sudah memutar tombaknya setengah lingkaran dan tiba-tiba tubuhnya merendah, tombaknya diayun menyabet ke arah kaki Joko Wandiro. Gagak Kunto menggunakan jurus ini yang dilakukan secara tak tersangka-sangka, dengan maksud mengagetkan lawannya yang muda dan lincah itu, agar meloncat ke atas untuk dipapak ruyung saudaranya. Gagak Rudro maklum akan hal ini, maka ruyungnya sudah menggigil di tangan, siap menghantam kepala Joko Wandiro kalau orang muda itu mengelak sambil meloncat.

   Namun Joko Wandiro yang sikapnya amat tenang dapat melihat semua ini dan ia tidak mengelak. Dengan gerakan yang amat berani, ia mengangkat kaki kiri ke atas, kemudian begitu tombak menyambar dekat, ia menurunkan kakinya secepat kilat sehingga tahu-tahu tombak itu telah terinjak olehnya, digencet di atas tanah sambil mengerahkan aji yang membuat tubuhnya seberat gunung anakan! Kagetlah Gagak Kunto, ia berusaha membetot tombaknya, namun sia-sia, seakan-akan tombaknya telah berakar di bawah injakan kaki Joko Wandiro yang memandang sambil bertolak pinggang. Gagak Kunto terengah-engah, mengerahkan tenaga sehingga mengeluarkan suara ah-ah-uhuh membetot-betot.

   Melihat hal ini Gagak Rudro lalu menerjang dari belakang, memukulkan ruyungnya sambil menge rahkan semua tenaganya. Biarpun Joko Wandiro tidak melihat serangan ini, namun telinganya dapat menangkap sambaran angin. Ia sengaja berlaku lambat, menanti sampai ruyung itu menyambar dekat, baru ia secara tiba-tiba melepaskan injakan kakinya pada tombak dan dengan Aji Bayu Tantra, yaitu ilmu mer ingankan tubuh yang amat hebat sehingga tubuhnya lenyap dari situ tak dapat diikuti pandang mata kedua lawannya. Tentu saja tubuh Gagak Rudro terperosok ke depan terbawa ruyungnya yang menyambar terus, lalu menghantam tanah dan ia terjungkal mencium tanah. Sebaliknya Gagak Kunto yang sedang membetot-betot Itu, tiba-tiba terjengkang ke belakang setelah injakan dilepas.

   Dua orang itu bergulingan, mengalami babak-belur. Perlu diketahui bahwa sebelum Joko Wandiro digembleng di Gunung Bekel, ia telah belajar ilmu meringankan tubuh Bayu Tantra dari Pujo, kemudian disempurnakan oleh Resi Bhargowo. Setelah ia berlatih di Gunung Bekel, kepandaiannya meningkat hebat,karena ilmu meringankan tubuh itu lebih disempurnakan lagi ketika ia menerima hadiah Aji Bayu Sakti dari Empu Bharodo. Tidak mengherankan apabila gerakannya menghindar tadi sedemikian cepatnya sehingga tidak tampak oleh kedua orang lawannya. Sepasang Gagak sudah melompat bangun. Muka mereka merah sekali karena marah dan malu. Dalam gebrakan ke dua, mereka telah dibikin jatuh bangun oleh pemuda itu tanpa si pemuda membalas serangan, benarbenar merupakan hal yang amat memalukan.

   Begitu melompat bangun, mereka sudah mengeluarkan senjata-senjata rahasia mereka yang terkenal. Kedua orang Gagak ini selain terkenai akan ilmu silat mereka, juga terkenal sebagai ahli-ahli meng gunakan senjata rahasia. Gagak Kunto memiliki senjata rahasia berupa tombak-tombak kecil sepanjang dua jengkal yang ujungnya kebiruan karena direndam racun. Adapun Gagak Rudro terkenal dengan senjata rahasia Watu Lintang (Batu Bintang), merupakan batu-batu sebesar kepalan tangan, juga batu-batu ini sudah direndam wiso (racun) ular sehingga kulit lawan yang terserempet sedikit saja sampai lecet, tentu akan mendatangkan bahaya maut. Kini Sepasang Gagak itu memutar tubuh, melihat Joko Wandiro berdiri tidak jauh, hanya dalam jarak empat lima meter, mereka lalu menggerakkan tangan menyerang dengan sambitan.

   "Sing-sing-singggg...!"

   Tiga batang tombak kecil menyambar laksana anak panah terlepas dari gendewa, amat cepat, ke arah sepasang mata dan tenggorokan.

   "Wer-wer-werrr..."

   Juga Watu Lintang terbang dari tangan Gagak Rudro, menyambar ke arah kepala, dada, dan pusar.

   Joko Wandiro tidak pernah mendapat latihan mempergunakan senjata rahasia. Semua gurunya adalah satria-satria perkasa yang tidak sudi mempergunakan siasat curang dalam pertandingan untuk mencari kemenangan. Ia tidak dapat menggunakan senjata rahasia. Akan tetapi oleh karena tingkat kepandaiannya sudah amat tinggi sehingga semua panca inderanya bekerja sempurna, pemuda ini dapat melihat jelas terbangnya tombak-tombak kecil itu. Cepat ia miringkan tubuh atas sambil menggerakkan tangan dengan jari-jari terbuka. Tombak yang mengarah tenggorokannya, lewat dekat lehernya dan terbang entah ke mana. Akan tetapi dua batang tombak kecil yang tadinya mengarah sepasang matanya kini telah terjepit di antara jari tengah dan telunjuk kedua tangannya!.

   (Lanjut ke Jilid 24)

   Badai Laut Selatan (Seri ke 03 "

   Serial Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 24

   Pada saat itu, tiga buah Watu Lintang sudah menyambar pula. Joko Wandiro mengenjot tanah, tubuhn"a rnencelat ke atas dan tiga buah. Watu Lintang itu lewat di bawah kakiriya. Kelika la berjungkir balik turun, kedua tangannya bergerak dan dua batang tombak kecil rampasan tadi kini melayang ke arah Gagak Kunto dan Gagak Rudro. Joko Wandiro tidak biasa mempergunakan senjata ini, maka kini dua batang tombak kecil itu yang ia lemparkan tidak rneluncur seperti anak panah, melainkan berputaran, namun amat cepat menerjang lawan seperti dua baling-baling angin!

   Gagak Kunto dan Gagak Kudro, dua orang ahli dalam permainan ini, tentu saja dapat cepat menghindarkan diri. Mereka sejenak terlongong kagum dan mulailah mereka merasa jerih terhadap pemuda yang benar-benar sakti mandraguna itu. Joko Wandiro yang sudah turun ke atas tanah, kini menudingkan telunjuknya ke arah mereka sambil berkata,

   "Gagak Kunto dan Gagak Rudro! Belum terlambat bagi kalian untuk sadar dan insyaf. Mundurlah dan rubahlah jalan hidupmu, bertaubat dan hidup sebagai manusia baik-baik. Mundurlah sebelum terlambat!"

   Sepasang Gagak ini dalah bekas perwira perwira Kerajaan Wengker.

   Hidup mereka sudah penuh dengan kejahatan, berlepotan darah tangan tangan mereka. Mereka tidak mengenal hukum lain kecuali sia"a kuat dia menang. Hukum rimba yang mengakibatkan mereka menjadi buas dan pengecut, menindas bawahan menjilat atasan. Tentu saja peringatan seorang muda seperti Joko Wandiro sama sekali tidak meninggalkan kesan di hati mereka, bahkan membangkitkan kemarahan karena merasa dihina. Sambil mengeluarkan suara seperti burung-burung gagak marah, keduanya sudah menerjang maju lagi. Kini mereka telah mengeluarkan semua aji, dan sedikit llmu hitam yang mereka miliki membuat wajah mereka tampak beringas menakutkan, ada getaran hawa dingin menyeramkan menyerang Joko Wandiro dan sekeliling dua orang itu tampak awan gelap menyelimuti mereka.

   Aka"

   Tetapi, semenjak digembleng oleh Resi Narotama, permainan ilmu hitam itu sama sekali tidak ada artinya bagi Joko Wandiro. Sekali dia membaca mentera singkat memperkuat batin dan kedua tangannya mengebut ke depan, lenyaplah hawa dingin dan awan gelap itu. Saat itu, Gagak Kunto dan Gagak Rudro sudah menyerbu ke depan sambil mengayun senjata mereka. Sikap mereka ganas sekali, liar dan buas, tidak seperti manusia lagi. Joko Wandiro menarik napas panjang. Tubuhnya tidak beralih dari tempatnya, hanya kedua tangannya yang menyambut, bergerak dengan jari-jari terbuka. Begitu kedua senjata lawan itu menyambar, ia memapaki dengan tamparan-tamparan jari tangannya yang menggunakan Aji Pethit Nogo.

   "Krakkk...! Krakkk...!!"

   Gagak Kunto dan Gagak Rudro berteriak kaget, akan tetapi teriakan mereka segera disusul lengking tinggi yang merupakan jerit maut. Ketika tadi tamparan-tamparan Pethit Nogo berhasil mematahkan kedua senjata lawan, Joko Wandiro melanjutkan tamparannya dua kali yang dapat menyambar pelipis Gagak Kunto dan tengkuk Gagak Rudro. Kelihatannya perlahan saja tamparan itu, namun akibatnya hebat bukan main. Sepasang Gagak Itu mengeluarkan pekik maut, tubuh mereka berputar putar seperti disambar halilintar, mata mereka terbelalak dan agaknya dalam ingatan terakhir, mereka hendak melarikan diri ke arah pasukan mereka, akan tetapi di depan Wirokolo, mereka jatuh tersungkur, tertelungkup dan tidak bergerak-gerak lagi karena nyawa mereka telah melayang pergi!

   "Bojleng-bojleng iblis laknat!"

   Wirokolo memaki dan menggereng-gereng saking marahnya menyaksikan kedua orang pembantunya yang setia itu tewas.

   "Joko Wandiro bocah keparat! kau harus mengganti nyawa mereka!"

   Serta-merta raksasa tinggi besar ini menerjang maju dengan gerakan kilat. Pukulan tangannya mengandung hawa panas Aji Anolo Hasto (Tangan Berapi) dan tampak betapa kedua telapak tangannya kemerahan mengeluarkan asap! Lima tahun yang lalu, di Jalatunda, pernah Joko Wandiro menerjang Wirokolo dengan sepasang goloknya, akan tetapi hantaman goloknya tidak melukai tubuh yang kebal itu, sebaliknya sekali ia kena ditampar, ia roboh pingsan. Joko Wandiro cukup maklum akan kesaktian raksasa ini yang menggiriskan, bahkan Resi Bhargowo bersama Empu Bharodo yang mengeroyok raksasa inipun tidak dapat menang!

   Raksasa ini sakti mandraguna dan ahli ilmu hitam. Ular yang melilit leher, pergelangan tangan dan kaki sungguh mengerikan, juga amat berbahaya karena setiap saat ular-ular itu dapat membantu Wirokolo menyerang lawan dengan semburan atau gigitan berbisa. Inilah sebabnya maka Joko Wandiro sama sekali tidak berani memandang rendah lawannya, sejak tadi sudah siap sedia dengan penuh kewaspadaan. Gemblengan Resi Narotama membuat Joko Wandiro menjadi seorang pemuda yang tidak sombong, berhati-hati dan tabah. Juga filsafat kebatinan yang berdasarkan sari pelajaran Sri Bathara Wishnu yang dipuja oleh mendiang Sang Prabu Airlangga dan juga oleh Resi Narotama, telah mendalam di sanubarinya. Oleh karena itu pula, tadi ketika dalam pertandingan melawan Sepasang Gagak, ia berhasil membunuh mereka, tidak terjadi sesuatu di hatinya, tenang saja.

   Ia tidak merasa membunuh yaitu menurut faham dia dan pelajarannya, ia tidak mempunyai hasrat membunuh, tidak pula membenci lawan-lawannya. Kematian kedua lawannya adalah wajar, sebagai akibat daripada pelaksanaan kewajibannya. Kewajiban seorang satria harus menantang segala bentuk kejahatan. Betapapun juga, karena pemuda gemblengan Ini kurang pengalaman dalam pertempuran, maka gebrakan pertama dalam menghadapi Wirokolo hampir mencelakainya. Melihat terjangaan Wirokolo sedemikian hebatnya, amat cepat dan mengandung hawa panas pula, Joko Wandiro cepat mengerahkan hawa sakti di tangannya, menggeser kaki kiri ke bala kang sehingga tubuhnya miring dan darl samping tangan kirinya menangkis pukulan lawan yang dahsyat itu.

   "Desss...!!"

   Joko Wandiro merasa betapa tubuhnya didorong tenaga mujijat yang amat kuat dan tak mungkin ia tahan lagi.

   Kalau ia mempertahankan kedudukan kedua kakinya, ada bahayanya ia akan terjengkang atau setidaknya akan terhuyung-huyung. Oleh karena inilah, ia malah mengerahkan Aji Bayu Saktl, membuat tubuhnya ringan dan membiarkan tubuhnya mencelat ke belakang sampal lima meter jauhnya. Akan tetapi ia terlempar dalam keadaan berdiri, tanpa mengubah sedikitpun kedudukan kuda-kuda kakinya dan dengan ringan bagaikan sehelai daun kering ia turun pula ke atas tanah. Wajahnya tetap biasa, lengannya yang beradu dengan lawan tidak terasa sakit. Namun diam-diam ia harus mengakui bahwa lawannya mempunyai tenaga yang mujijat dan amat kuat. Karena hawa sakti di tubuhnya lebih murni daripada lawan, maka untuk pertahanan di dalam tubuh ia tidak akan kalah oleh lawan.

   Akan tetapi mengenai tenaga luar, tenaga otot yang kasar, ia kalah jauh! Mengertilah ia bahwa tindakannya menangkis tadi keliru, namun membuat ia dapat mengukur tenaga sendiri dan dapat berlaku lebih hati-hati. Di lain fihak, Wirokolo sejenak berdiri seperti tertegun, terheran-heran dan juga kagum dan penasaran menjadi satu. Pertemuan lengan tadi menginsafkannya bahwa pemuda itu sungguh bukan merupakan lawan yang ringan! Dapat menangkis tangannya yang mengandung Aji Anolo Hasto sepenuhnya, tanpa mengalami cedera, bahkan sekaligus dapat mengatasi kekalahan tenaga kasar dengan loncatan ke belakang sebagus itu, benar-benar menjadi bukti bahwa hawa sakti pemuda itu amat kuat, tidak berada di bawah tingkatnya sendiri.

   Ia mengeluarkan pekik dahsyat sambil menerjang maju lagi mengerahkan semua ajinya. Dalam keadaan seperti itu, Wirokolo amat menggiriskan. Lima ekor ular yang melilit leher dan kaki tangannya, bergerak kepalanya, mendesis-desis dan lidahnya yang merah menjilat-jilat keluar dari mulut, Wirokolo sama sekali tidak berani mengeluarkan Aji Calon Arang atau ilmu hitamnya yang lain mengingat bahwa di situ ada Narotama yang tentu akan datang membuyarkan ilmu hitamnya dengan mudah. Pula penggunaan ilmu hitam kalau menemui lawan yang lebih tangguh amatlah berbahaya karena ilmu itu bisa membalik dan memukul diri sendiri. Betapapun juga, karena Aji Calon Arang sudah mendarah daging padanya, ketika ia menjadi marah, tampaklah bayangan nenek iblis yang mengerikan di belakangnya.

   Mendengar pekik dahsyat dan melihat keadaan Wirokolo dan nenek iblis membayang di belakangnya itu, tergetar juga hati Joko Wandiro. Pemuda ini cepat-cepat menggosok kedua telapak tangannya tiga kali sambil membaca mantera Widodo Mantera. Begitu bibirnya mengucapkan Widodo Mantera, seketika bayangan iblis betina itu lenyap atau tidak tertampak lagi olehnya, dan Wirokolo juga tidak tampak menakutkan lagi. Adapun kedua telapak tangannya setelah ia gosok tiga kali, menjadi panas dan mengeluarkan cahaya. Menghadapi lawan setangguh Wirokolo, Joko Wandiro tidak berani memandang rendah maka ia sudah mengeluarkan Aji Bojro Dahono yang tadi ia latih dan coba pada batang pohon!

   "Hyyaaaahhh... mampus kau...!!'"

   Bentakan ini mengiringi serangan Wirokolo yang sudah menubruk maju dengan pukulan kedua tangan saling susul, ke arah kepala dan dada Joko Wandiro.

   "Wuuuttt... wuuuttt...!"

   Joko Wandiro sudah menggunakan Aji Bayu Sakti dan dengan gerakan lincah sekali ia mengelak, akan tetapi elakan yang sama sekali tidak menjauhkan diri, bahkan gerakan mengelak ke samping dengan tubuh setengah melingkar ini membuat ia mendekati lawan, kemudian ia langsung mengirim pukulan balasan.

   Karena ia tadi bergerak mengelak dengan Aji Bayu Sakti, maka untuk mengimbangi aji ini, ia melanjutkan serangan dengan pukulan Pethit Nogo, yaitu dengan jari-jari tangan dikipatkan. Memang lebih mudah menggunakan pukulan Pethit Nogo dengan kebutan jari-jari tangan dalam kedudukan tubuh melengkung seperti itu. Kembali Wirokolo terkejut. Tidak disangkanya lawannya yang masih muda ini dapat mengelak secara demikian anehnya, mengelaknya sambil mendekat dan balas menyerang. Demikian cepat gerakan Joko Wandiro sehingga tahu-tahu jari-jari tangan pemuda itu sudah mengancam pelipisnya, bagian yang paling lemah di kepala.

   "Celaka...!!"

   
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Wirokolo berteriak sambil membuang tubuhnya ke belakang. Dari sambaran angin pukulan Pethit Nogo itu saja ia maklum bahwa amatlah berbahaya mengandalkan kekebalannya untuk menerima tamparan macam itu dengan pelipis kepalanya!

   "Tasss!"

   Oleh elakan ini, pelipis luput tertampar, akan tetapi sebagai gantinya, pundak dekat leber raksasa itu terkena jepretan jari-jari tangan yang ampuh. Wirokolo terhuyung-huyung. Tubuhnya kebal dan kuat luar biasa. Kalau pukulan Pethit Nogo ini mengenai pundak sebelah luar saja tak mungkin ia sampai terhuyung. Akan tetapi karena kenanya dekat leher, terasa juga olehnya. Pandang matanya sampai berkunang!

   "Bocah setan! Awas kau Kalau tertangkap olehku, kubeset kulitmu, kuganyang dagingmu, kuhisap darahmu dan kukemah-kemah tulangmul"

   Wirokolo mengancam dengan muka merah seperti udang direbus. Biarpun ancamannya menunjukkan kemarahan luar biasa dan kini ia menerjang lagi dengan buas, namun Wirokolo tidak sembrono seperti tadi, maklum bahwa lawannya biar masih muda akan tetapi amat kuat. Ia menerjang dengan hati-hati sehingga ketika Joko Wandiro mengelak lalu balas memukul, ia dapat pula menangkis.

   Terjadilah pertandingan yang seru dan hebat. Pukulan dan gerakan Wirokolo mendatangkan angin berpusing, tenaganya yang dahsyat membuat bumi yang diinjaknya tergetar, angin pukulan tangannya membuat tetumbuhan di sekitar tempat itu bergoyang-goyang. Namun sukar sekali baginya untuk dapat menyentuh Joko Wandiro karena pemuda ini memillki gerakan yang lebih gesit. Sebaliknya, hujan serangan lawan yang buas dan dahsyat itu membuat Joko Wandiro sukar sekali untuk membalas dengan serangan yang seimbang karena ia maklum akan bahayanya pukulan tangan lawan yang ampuh. Ia selalu menghindar atau kalau menangkispun hanya berani ia lakukan dalam keadaan posisi tubuh menang kuat, itupun dengan cara mendorong dari samping.

   Tidak mau ia menempatkan diri dalam bahaya dengan cara menangkis langsung mengadu tenaga. Akan tetapi, sikapnya yang amat berhati-hati ini membuat ia sukar sekali dapat merobohkan lawan. Balasan serangannya yang hanya kadang-kadang itu ada kalanya berhasil menyentuh tubuh lawan. Akan tetapi karena kenanya tidak tepat, tubuh Wirokolo yang kebal seakan-akan tidak merasa apa-apa! Pertandingan sudah berlangsung sejam lebih, namun belum tampak siapa yang akan menang. Melihat ini, diam-diam Dibyo Mamangkoro terkejut bukan main. Ia tahu akan kesaktian adik seperguruannya, yang tidak kalah jauh olehnya sendiri. Bagaimana kini adik seperguruannya itu tidak mampu mengalahkan seorang pemuda?

   Timbul kekhawatiran di dalam hatinya. Tadinya ia mengira bahwa di dalam dunia ini, orang muda satu-satunya yang memiliki ilmu kesaktian tinggi hanyalah muridnya. Siapa kira, pemuda inipun hebat. Kalau tidak dibunuh sekarang, kelak tentu merupakan tandingan berat bagi Endang Patibroto. Pemuda ini tidak banyak selisih tingkatnya dengan Wirokolo, hanya menang cepat. Kalau pertandingan itu dilanjutkan, belum dapat dipastikan siapa yang akan menang, akan tetapi sudah jelas akan makan waktu lama sekali. Keadaan mereka berimbang, maka kalau Wirokolo dibantu sedikit saja, pemuda itu tentu akan dapat dirobohkan. Lebih baik pasukan dikerahkan untuk membantu Wirokolo, sedangkan Narotama sendiri kalau turun tangan, dialah yang akan menanggulanginya!

   "Apa kerja kalian? Hanya menonton saja? Hayo serbu bocah setan itu!"

   Tiba-tiba Dibyo Mamangkoro berseru. Pasukan terdiri dari tiga puluh enam orang itu terkejut. Tadi mereka tertegun dan terpesona menyaksikan pertandingan yang demikian hebatnya.

   Karena kepala pasukan, Sepasang Gagak sudah roboh dan tewas oleh pemuda itu dan kini bahkan Wirokolo sendiri sampai sekian lamanya belum mampu mengalahkannya, pasukan itu menonton dengan hati berdebar, tidak berani bergerak kalau tidak diperintah, maklum akan hebatnya kepandaian Joko Wandiro. Akan tetapi kini mendengar bentakan Dibyo Mamangkoro, mereka segera bergerak, mencabut senjata masing-masing dan mendekat medan pertandingan. Melihat ini, tiba-tiba Narotama meloncat dari atas batu tempat ia bersila, mengerahkan Aji Dirodo Meto dan terdengarlah pekik melengking dahsyat sekali yang seakan-akan menimbulkan gempa bumi hebat dan angin taufan mengamuk! Aji Dirodo Meto (Gajah Mengamuk) merupakan aji kewibawaan yang berdasarkan pekik dahsyat sekali seakan-akan pekik seekor gajah jantan yang sedang marah.

   Mendengar pekik dahsyat ini tiga puluh enam orang itu seketika seperti lumpuh, jantung serasa copot, tubuh menggigil dan muka pucat. Ketlka mereka menengok dan memandang ke arah Narotama yang berdirl tegak, pandang mata mereka seakan-akan melihat seekor gajah raksasa yang mengancam. Tanpa dapat dicegah lagi, tiga puluh enam orang itu memaksa kaki mereka yang dengkelen (menggigil sukar digerakkan) untuk lari tunggang langgang meninggalkan tempat itu. Bahkan Wirokolo sendiri merasa betapa jantungnya tergetar hebat dan ketika ia mengerahkan hawa sakti untuk menahan pengaruh pekik meiengking, ia merasa kelelahan. Bukan main marahnya Dibyo Mamangkoro. Ia sendiri memiliki ilmu yang sangat tinggi sehingga Aji Dirodo Meto yang dahsyat itu dapat ia lawan dengan pengerahan hawa sakti.

   "Si keparat Narotama! kau curang!!"

   Bentaknya.

   "Hemm, Dibyo Mamangkoro, siapa yang curang? Engkau yang mengerahkan balamu hendak mengeroyok muridku ataukah aku yang menghalangi pengeroyokan curang itu? Sudah kukatakan tadi, aku siap melayani segala tingkahmu!"

   "Babo-babo, Narotama! Kalau begitu kita harus mengadu nyawa! Sambutlah!!"

   Setelah berkata demikian, Dibyo Mamangkoro menggerakkan tangan kanannya, diputar-putar dan tubuhnya agak merendah, kemudian dengan tangan terkepal ia memukul ke depan, ke arah Narotama.

   Inilah pukulan maut yang bernama Aji Wisangnala! Namanya saja sudah menyebutkan keampuhannya, yaitu Api Berbisa! Kalau dilakukan dari jarak jauh, angin pukulannya yang membawa hawa panas beracun dapat merobohkari dan menewaskan lawan tangguh. Apalagi kalau sampai mengenai kulit lawan, sukar dibayangkan akibatnya. Terlalu ngeri! Namun Narotama yang cukup mengenal kesaktian lawannya ini, sudah siap sedia. Dua puluh tahun yang lalu, dalam perang menundukkan Kerajaan Wengker, la sudah pernah bertanding yuda melawan Dibyo Mamangkoro. Dalam pertandingan mati-matian yang memakan waktu sampai dua hari dua malam, setelah mengeluarkan semua aji dan kesaktian, barulah ia berhasil mengalahkan Dibyo Mamangkoro yang lalu melarikan diri!

   Kini melihat betapa begitu menyerang, Dibyo Mamangkoro menggunakan aji pukulan maut yang demikian ganas dan dahsyatnya, ia terkejut dan maklum bahwa benar-benar raksasa Wengker itu hendak mengadu nyawa dan tidak ingin bertempur berlambat-lambatan seperti dahulu lagi. Serangan Itu adalah serangan maut dan akibatnya hanyalah dua, kalah atau menang! Ia cukup maklum bahwa untuk pukulan macam itu, pukulan yang sedemikian hebatnya sehingga kepalan tangan raksasa itu mengeluarkan sinar, tidak dapat dielakkan tanpa merugikan dirinya. Oleh karena itu iapun lalu mengerahkan tenaga memutar tubuhnya dan berseru keras sambil mengangkat tangan kiri ke atas kepala dari belakang tubuh, sedangkan tangan kanannya dikepal dan dlpukulkan ke depan, menyambut hawa pukulan Dibyo Mamangkoro.

   "Syuuuuttt!!"

   Dua hawa sakti yang sama-sama ampuh dan mengandung hawa panas bertemu di udara dengan hebatnya. seperti Dibyo Mamangkoro yang menggunakan Aji Wisangnala, Narotama juga mengerahkan Aji Bojro Dahono yang mengandung hawa panas yang keluar dari sumbernya di pusar. Biarpun kedua kepalan tangan itu masih terpisah satu depa lebih jauhnya satu kepada yang lain, namun pertemuan kedua hawa sakti Itu menimbulkan cahaya bagaikan api ber kilat.

   Dahsyat sekali pertemuan tenaga sakti ini. Resi Narotama masih tetap kedudukan kakinya, akan tetapi ia terdorong ke belakang sampai setombak lebih, kedua kakinya yang masih tetap memasang kuda-kuda itu menggurat tanah sampai sejengkal dalamnyal Wajahnya pucat keningnya berkerut dahinya berkeringat. Adapun Dibyo Mamangkoro juga terhuyung ke belakang, tampaknya ia tertawa mengejek, akan tetapi matanya merah sekali, berbeda dengan mukanya yang memperlihatkan bayangan kehijauan. Ia masih tertawa ketika melompat maju lagi dan kembali ia melakukan pukulan seperti tadi bahkan kini dibarengi dengan suaranya yang parau berteriak seperti srigala marah. Narotama juga melakukan gerakan menyambut seperti tadi, melayani lawan tangguh itu sambil berteriak keras pula.

   "Wessss!!!"

   Akibat pertemuan dahsyat tenaga sakti mereka untuk yang kedua kalinya ini, Resi Narotama jatuh bertekuk lutut, tubuhnya agak menggigil dan keringat di dahi makin banyak. Akan tetapi Dibyo Mamangkoro mencelat ke belakang, melakukan gerak jungkir balik tiga kali dan akhirnya dapat ia menguasai keseimbangan tubuhnya sehingga tidak roboh terguling. Matanya yang tadi merah itu kini makin merah sehingga seperti berubah hitam, mulutnya masih tertawa menyeringai akan tetapi di ujung bibirnya tampak sedikit darah!

   "Belum puaskah engkau...?"

   Narotama berkata, suaranya halus agak terengah.

   "Huah-hah-hahl Mampuslah...!"

   Dibyo Mamangkoro kembali melakukan pukulan ke tiga, lebih hebat karena agaknya ia mengerahkan seluruh tenaganya. Narotama yang sudah bangkit berdiri kembali menyambut seperti tadi, juga bekas Patih Kahuripan yang sakti ini mengerahkan seluruh tenaga terakhir, maklum sepenuhnya bahwa ia mempertahankan nyawanya dalam gempuran tenaga sakti ini.

   "Desss werrrrr...!!!!"

   Kini akibatnya lebih hebat lagi daripada dua pukulan pertama. Bukan saja karena pukulan ke tiga ini mereka lakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, juga karena tubuh mereka sudah lelah dan lemah oleh benturan dua kali tadi. Resi Narotama mengeluh perlahan, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang lalu ia jatuh terduduk di atas tanah, napasnya terengah-engah mukanya pucat. Adapun Dibyo Mamangkoro terpental dan roboh miring di atas tanah, lalu bergulingan menjauhkan diri lalu lenyap dari situ, hanya suara ketawanya saja yang terdengar bergema sampai di tempat itu, suara ketawa yang aneh karena bercampur rintihan.

   Sementara itu, pertandingan antara Wirokolo dan Joko Wandiro juga berkesudahan amat hebat. Wirokolo yang merasa amat penasaran belum juga dapat merobohkan lawannya yang muda, menerjang makin dahsyat. Akan tetapi ketika tadi Resi Narotama mengeluarkan aji pekik melengking dahsyat Dirodo Meto, jantungnya tergetar hebat sekali. Sejenak matanya berkunang dan jantungnya berdebar-debar. Hanya dengan pengerahan tenaga dalam sekuatnya saja ia mampu menahan. Akan tetapi, serangan pekik mujijat Resi Narotama yang sebetulnya tidak langsung ditujukan kepadanya ini membuat tenaga dalamnya banyak berkurang. Namun, Wirokolo yang berwatak sombong dan terlalu bangga akan kesaktian sendiri ini tidak sadar akan hal ini.

   Ketika itu Joko Wandiro yang juga ingin mengakhiri pertandingan karena melihat gurunya sudah menghadapi Dibyo Mamangkoro yang amat sakti, telah mengirim pukulannya yang paling ampuh, yaitu Bojro Dahono. Pukulannya dilakukan dengan kepalan tangan kiri yang meluncur ke arah dada Wirokolo. Tadi sebelum musuh-musuh datang, pemuda ini sudah mendemonstrasikan kepandaiannya ini dan dengan Aji Bojro Dahono telah membuat sebatang pohon menjadi hangus sebelah dalamnya! Tentu saja Wirokolo juga merasa akan datangnya hawa panas mujijat.yang mengiringi pukulan anak muda itu. Akan tetapi karena ia terlalu mengandalkan ajinya Anolo Hasto, melihat datangnya pukulan tangan kiri ini, ia menjadi girang dan segera menyambut dengan telapak tangan kanannya yang lebar dan besar.

   Begitu kepalan tangan kiri Joko Wandiro tiba, Wirokolo menerimanya dengan telapak tangan kanan dan menggenggamnya. Kepalan tangan yang kecil itu lenyap dalam genggaman tangan kanannya yang penuh dengan Aji Anolo Hasto sehingga kepalan tangan Joko Wandiro seakan-akan masuk dan terjepit ke dalam tungku api membara! Melihat ini, Joko Wandiro memukul lagi, kini dengan tangan kanannya, juga tetap menggunakan Aji Bojro Dahono. Melihat kenekadan pemuda ini, Wirokolo tertawa terbahak-bahak dan menggunakan tangan kirinya menyambut pukulan ke dua dan di lain saat kembali kepalan tangan kanan Joko Wandiro lenyap dalam genggaman tangan kiri Wirokoio! Sambil mengerahkan kekuatannya untuk menghancurkan kedua kepalan tangan Joko Wandiro dalam genggaman tangannya, Wirokolo tertawa bergelak.

   Akan tetapi tiba-tiba suara ketawanya terhenti, matanya terbelalak, mukanya pucat sekali dan bagaikan disambar petir, tubuhnya mencelat ke belakang, kedua tangannya yang tadi menggenggam kepalan tangan Joko Wandiro kini mencengkeram dadanya sendiri, kemudian ia mengeluarkan jerit mengerikan dan sambil mencengkeram dadanya Wirokolo membalikkan tubuh, lari terhuyung-huyung dan membabi buta sehingga tanpa disadarinya ia lari ke arah jurang. Ketika tubuhnya terjungkal ke dalam jurang, kembali ia memekik nyaring. Kemudian sunyi. Wirokolo salah hitung, terlalu memandang rendah lawan atau terlalu membanggakan diri sendiri sehingga ia lalai dan ketika menggenggam kedua kepalan pemuda tadi, ia hanya ingin menghancurkan kepalan dengan remasan tenaga kasar.

   Siapa kira, dari kepalan Joko Wandiro tersalur hawa sakti Bojro Dahono (Kilat Api) sehingga karena Wirokolo tidak mengerahkan hawa saktinya, maka ia terserang aji itu yang membuat isi dadanya seperti disambar petir! Andaikata ia tidak terjungkal ke dalam jurang yang membuat tubuhnya hancur, juga ia akan tewas oleh Bojro Dahono yang ampuhnya menggiriskan itu. Joko Wandiro memandang kedua tangannya. Punggung tangannya kebiruan dan membengkak. Untung tulang-tulang tangannya tidak sampai remuk. Bukan main hebatnya Wirokolo. Kemudian ia teringat gurunya, menoleh. Dilihatnya Resi Narotama duduk bersila di atas tanah, wajahnya pucat, napasnya memburu, dari ujung kanan kiri bibirnya keluar darah!

   "Bapa guru!"

   Joko Wandiro lari nienghampiri lalu berlutut di depannya. Resi Narotama membuka mata, lalu dengan gerakan lemah menghapus darah di kedua ujung bibirnya.

   "Sungguh mengagumkan Dibyo Mamangkoro..."

   Ia menghela napas panjang.

   "Tapi, bukankah tadi dia kalah dan lari, bapa!!"

   Narotama menggeleng kepala.

   "Ia jerih terhadap aku, akan tetapi sesungguhnya, dia hebat. Kalau dia tidak jerih dan tadi melanjutkan, belum tentu aku akan menang. Hemmm..."

   Resi Narotama mengerutkan kening, jelas menahan rasa nyeri hebat, tangannya meraba dada.

   "Bapa terluka..."

   Resi Narotama mengangguk.

   "Joko, muridku. Kini tibalah waktunya kita saling berpisah. kau harus meninggalkan tempat ini"

   "Akan tetapi, bapa. Hamba yang bertahun-tahun menerima petunjuk bapa guru, bagaimana sekarang dapat berlaku sekeji itu? Hamba melihat bapa sedang menderita luka dan perlu perawatan, bagaimana hamba tega untuk meninggalkan bapa? Tidak, hamba mohon agar diperkenankan tinggal di sini, merawat bapa guru sampai sembuh."

   "Tidak, muridku. Perawatanmu takkan menolong tubuhku. kau tidak bisa tinggal di sini, karena aku sendiripun akan meninggalkan tempat ini. Tidak guna kau bertanya ke mana aku hendak pergi."

   Narotama tersenyum, lalu berkata lagi.

   "Sudah kuceritakan padamu bahwa aku sudah berjanji kepada mendiang Sang Prabu Airlangga bahwa aku tidak akan mencampuri urusan Kerajaan kedua orang puteranya. Akan tetapi, melihat betapa Kerajaan Jenggala sudah mempergunakan tenaga orang-orang seperti Dibyo Mamangkoro, kurasa tidaklah adil kalau fihak Kerajaan Panjalu tidak menerima bantuan pula. Engkau pergilah ke Panjalu, menghadap sang prabu di Panjalu dan mohon diterima suwita (berhamba) di sana. Aku sekali-kali tidak menganjurkanmu untuk mencari kedudukan, muridku, hanya engkau harus sadar akan kewajibanmu menentang kejahatan. Dan menurut wawasanku, setelah Kerajaan Jenggala mempergunakan Dibyo Mamangkoro, kewajibanmulah untuk menentang mereka."

   "Hamba akan rnentaati perintah bapa.Akan tetapi... bilakah hamba diperkenankan menghadap bapa lagi? Dimana?"

   Resi Narotama menggeleng kepala sambil tersenyum.

   "Dasar orang muda, nafsu perasaan masih tebal menyelimuti kesadaran. Pergunakanlah kesadaranmu. Lupakah kau bahwa sebetulnya tidak ada kesusahan seperti juga tidak ada kesenangan? Sadarlah dan kembalilah kepada kepribadianmu yang berpegang kepada kewajiban hidup berdasarkan kebaktian. Nah, engkau berangkatlah sekarang, muridku dan kau terimalah Ki Megantoro ini, kuberikan kepadamu."

   Sambil berlutut dan menyembah Joko Wandiro menerima keris pusaka gurunya, Ki Megantoro, keris eluk tujuh yang ampuh dan puluhan tahun menjadi sahabat setia Resi Narotama. Kemudian pergilah Joko Wandiro menuruni lereng Gunung Bekel, diikuti doa restu dan pandang mata penuh kasih gurunya Sang Resi Narotama.

   * * *

   Wajah sang prabu di Kerajaan Panjalu kelihatan muram. Demikian pula para senopati dan hulubalang yang menghadap di persidangan, tampak muram dan gelisah. Peristiwa sebulan yang lalu masih saja membekas di hati mereka. Sang prabu berikut semua senopati merasa terhina. Sang prabu selalu marah-marah kepada para pengawal yang dianggapnya tiada guna. Bayangkan saja! Pada suatu malam, kurang lebih sebulan yang lalu, dua orang kepala pengawal tahu-tahu tewas tanpa kepala! Kepala mereka lenyap bersama dengan bendera pusaka yang berkibar di puncak istana! Tidak seorangpun tahu siapa yang melakukan hal yang menggemparkan itu.

   Seakan-akan iblis sendiri yang sudah turun tangan mendatangkan bencana dan meramalkan mala petaka hebat di Kerajaan Panjalu! Bahkan para menteri dan para pendeta yang dimintai nasehat, tidak seorangpun dapat menduga siapa gerangan pelaku perbuatan dahsyat itu. Dan pada pagi hari itu, persidangan terganggu oleh datangnya seorang pemuda gunung yang menghadap sang nata untuk mohon diterima menjadi ponggawa keraton! Seorang pemuda tampan dan berpakaian sederhana yang kelihatan pendiam dan pemalu. Ketika pemuda itu berlutut di depan sang Prabu yang memandang dengan wajah muram, para ponggawa saling berbisik.

   "Untuk apa pemuda lemah ini?"

   Demikian bisik mereka.

   "Kita membutuhkan seorang sakti mandraguna untuk menandingi maling haguna, bukan seorang bocah dusun!"

   "Untuk kacung kandang kudapun masih belum memenuhi syarat!"

   Bisik yang lain.

   "Berani mampus, bocah desa berani mengotori lantai persidangan menghadap sang prabu. Tentu beliau akan marah!"

   Kata yang lain. Akan tetapi ketika sang prabu menggerakkan kepala mengangkat muka untuk memandang ke arah mereka yang kasak-kusuk itu, semua suara lenyap dan semua orang duduk bersila dengan anteng seperti area. Sang prabu lalu menunduk dan kembali memandang kepada pemuda yang masih bersila di depannya itu.

   "Siapa namamu tadi? Ruangan ini seperti pasar sehingga kami tidak begitu mendengar keteranganmu!"

   Sabda sang prabu yang semenjak peristiwa memalukan itu menjadi seorang pemarah.

   "Hamba Joko Wandiro, gusti,"

   Kata pemuda itu dengan suaranya yang lantang dan sikapnya yang tenang, menundukkan muka.

   "Engkau mohon akan menghambakan diri di sini?"

   "Betul seperti sabda paduka, gusti."

   "Hemmm, engkau bocah dari mana, Joko Wandiro?"

   "Hamba hidup sebatangkara, gusti, tiada ayah-bunda, tiada tempat tinggal. Hamba laksana sehelai daun kering tertiup angin, melayang ke mana saja menurutkan arah angin."

   "Joko Wandiro! Engkau minta bekerja di sini. Bekerja apakah, dan apa yang dapat kau lakukan?"

   

Kumbang Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo Tawon Merah Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini