Ceritasilat Novel Online

Badai Laut Selatan 30


Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Bagian 30



Tadi dan menghendaki agar hal itu jangan dibicarakan lagi. Memang tidak akan ia bicarakan, akan tetapi bagaimana akan dapat ia lupakan? Ia telah mencium pipi seorang puteri Raja! Biarpun puteri ini puteri Kerajaan Jenggala, namun ternyata baik budi dan mudah mengampuni kesalahan orang serta menghargai pertolongan orang.

   "Nama hamba Joko Wandiro, gusti puteri."

   "Joko Wandiro, aku mengucap banyak terima kasih kepadamu atas pertolonganmu tadi. Engkau kawula manakah? Dan di mana tempat tinggalmu?"

   Joko Wandiro tidak suka menceritakan keadaannya. Apalagi menceritakan tentang gurunya, Ki Patih Narotama karena gurunya ini amat tidak suka kepada ayah puteri ini. Di samping itu, tidak ada keinginan hatinya pula menceritakan keadaan keluarganya. Bukankah ia sekarang sudah yatim piatu? Ayahnya yang bernama Wisangjiwo sudah tewas dalam perang membela Pangeran Sepuh yang kini menjadi Raja Panjalu, yaitu dalam perang melawan bala tentara ayah puteri ini! Ibunya belum lama ini terbunuh orang pula. Dan tempat tinggalnya Dia tidak mempunyai tempat tinggal tertentu.

   "Hamba adalah seorang yang hidup sebatangkara, tidak mengabdi kepada siapapun juga dan tiada tempat tinggal tertentu seperti sehelai daun kering terbawa angin tanpa tujuan."

   Berkerut kening sang puteri, dan pandang matanya membayangkan iba hati.

   "Ah...! Betapa mungkin seorang seperti engkau tidak mempunyai pekerjaan!"

   Hampir saja terloncat kata-kata"gagah dan tampan"

   Dari mulut puteri ini. Segera ia menyambung,

   "Joko Wandiro, maukah engkau menolongku? Kelak tentu ramanda prabu akan memberi ganjaran yang setimpal dengan jasamu ini."

   Lucu, pikir Joko Wandiro. Sudah jelas tadi tanpa diminta ia sudah menolong puteri ini, mengapa sekarang masih ditanya lagi apakah suka menolong Adapun tentang ganjaran... ah, kembali mukanya menjadi merah sekali karena harus la akui bahwa ia tadi telah menerima ganjaran yang lebih menyenangkan daripada ganjaran apapun juga!.

   "Tentu saja hamba akan melakukan segala perintah paduka tanpa mengingat akan ganjaran apapun juga."

   "Engkau baik sekali, Joko Wandiro. Aku minta agar kau suka mengantar aku pulang ke Jenggala."

   "Kalau tidak salah, Kerajaan Jenggala amatlah jauh dari sini, gusti puteri. Maka amatlah mengherankan bagaimana paduka bisa sampai di tempat sejauh ini, seorang diri pula dan terjatuh ke tangan penjahat?"

   "Kau tidak tahu, Joko Wandiro. Aku tadinya tidak melakukan perjalanan seorang diri. Aku pergi mengikuti kakakku, Pangeran Panjirawit, dan dikawal oleh panglima kepala pengawal istana sendiri. Akan tetapi ketika kami berlomba, aku kehilangan jalan dan tersesat, kemudian bertemu dengan lima orang perampok. yang empat orang dapat kurobohkan, akan tetapi kepala perampok itu dapat menawanku dan membawaku lari. Untung ada engkau yang menolong, hanya sayang kudaku tidak dapat kau rampas kembali."

   "Ahhh! Kalau hamba tahu bahwa dia itu tadi kepala perampok, tentu hamba tidak akan semudah itu melepaskannya Dan kuda itu hamba sangka miliknya. Benar keparat!"

   Joko Wandiro mendongkol sekali, dan berbareng juga kagum terhadap puteri ini. Seorang puteri bangsawan, puteri Raja, dapat merobohkan empat orang perampok Benar-benar hebat!

   "Sudahlah, engkau sudah membebaskan aku dari tangannya, itu sudah merupakan jasa yang amat besar. Joko Wandiro, mari kau antar aku pulang ke Jenggala."

   "Baiklah, gusti. Hanya sayang, kuda itu dirampas perampok. Kalau tidak, tentu paduka dapat menunggang kuda dan perjalanan dapat dilakukan lebih cepat lagi."

   "Tidak mengapa. Kita jalan kaki. Jangan kau khawatir, biarpun seorang puteri Raja namun aku bukan seorang lemah. Aku dapat berjalan cepat."

   "Ssttt...! Ada orang datang! Harap paduka bersernbunyi..."

   Bisik Joko Wandiro yang merasa khawatir kalau-kalau yang datang adalah perampok tadi bersama teman-temannya. Jika terjadi pertempuran, ia piker lebih baik sang puteri bersembunyi saja sehingga tidak menambah bebannya harus melindungi diri sang puteri. Akan tetapi Mayagaluh mengerutkan keningnya dan memasang telinga mendengarkan. Pendengaran telinganya tidak setajam Joko Wandiro dan setelah agak lama barulah ia mendengar derap kaki kuda dari jauh. Segera wajahnya berubah girang.

   "Ah, itulah kakakku dan kepala pengawal!"

   Teriaknya sambil meloncat dan menghadap di tengah jalan. Joko Wandiro juga girang mendengar ini. Kalau puteri ini bertemu dengan kakaknya dan pengawal, ia akan terbebas daripada tugas mengantar ke Jenggala. Sebetulnya, iapun segan untuk pergi ke Jenggala, pertama karena ia masih merasa cemas akan hilangnya Ayu Candra dan sedang mencari dara itu, ke dua ia ingin mengunjungi ayah angkatnya di Bayuwismo, ke tiga iapun merasa tidak enak harus membantu puteri Raja Jenggala yang dianggap musuh oleh gurunya, Ki Patih Narotama. Setelah derap kaki kuda terdengar makin jelas, Puteri Mayagaluh berseru heran,

   "Mengapa begitu banyak kuda? Dengan siapakah rakanda pangeran datang??"

   Kembali Joko Wandiro merasa tidak enak hatinya. Akan tetapi sekarang sudah tidak ada waktu lagi bagi sang puteri untuk bersembunyi. Sebelum ia minta kepada sang puteri supaya bersembunyi, para penunggang kuda itu sudah muncul dari sebuah tikungan jalan. Mereka Itu ternyata adalah tujuh orang pria menunggang kuda-kuda besar. Lega hati Joko Wandiro ketika melihat tujuh orang itu, karena pakaian mereka menunjukkan bahwa mereka adalah ponggawa-ponggawa berkedudukan tinggi dan sama sekali bukanlah perampok perampok. Tujuh orang itupun merasa heran melihat dua orang muda itu berada di dalam hutan liar di pegunungan sunyi. Mereka menahan kuda mereka yang tubuhnya sudah basah oleh keringat.

   "Eh, bukankah andika Joko Wandiro??"

   Seorang di antara mereka menegur ketika mengenal pemuda itu.

   "Betul, anda Joko Wandiro!"

   Seru orang ke dua. Joko Wandiro memandang dan kini iapun teringat bahwa dua orang ini adalah dua orang di antara panglima Kerajaan Panjalu, anak buah Ki Patih Suroyudo dan dahulu ikut menyaksikan ketika la menghadapi pengeroyokan Ni Durgogini dan Ni Nogogini. Lima orang yang lain agaknya juga Panglima-panglima Panjalu karena pakaian mereka menunjukkan bahwa merekapun perajurit-perajurit tingkat tinggi dan karena usia mereka sudah tua daripada kedua orang itu, tentu mereka memiliki kepandaian yang lebih tinggi pula.

   "Benar, hamba adalah Joko Wandiro. Paduka sekalian ini datang dari mana dan hendak ke mana?"

   Akan tetapi sebelum ada yang menjawab, tiba-tiba seorang di antara mereka berseru sambil memandang kepada sang puteri,

   "Dan paduka ini bukankah Gusti Puteri Mayagaluh dari Jenggala??"

   Yang Iain-Iain kaget dan kini semua orang memandang. Biarpun mereka adalah Panglima-panglima Panjalu yang bermusuhan dengan Jenggala, akan tetapi sang Raja di Jenggala adalah putera mendiang Sang Prabu Airlangga pula sehingga puteri ini termasuk anak kemenakan Raja Panjalu, maka tentu saja mereka menghadapinya dengan sikap hormat pula. Dengan sikap agung dan gagah, menyembunyikan kekhawatiran hatinya, Puteri Mayagaluh menjawab,

   'Benar, aku adalah Mayagaluh. Paman sekalian hendak ke mana?"

   Seorang di antara mereka yang tertua dan yang kumisnya panjang ujungnya menjulang ke atas, segera meloncat turun dari kudanya, diikuti enam orang teman-temannya. Dengan sikap hormat si kumis panjang ini menghampiri sang puteri, kemudian berkata,

   "Kalau begitu, hamba persllahkan paduka menunggang kuda ini untuk hamba antar menghadap paman paduka, sang prabu di Panjalu."

   Puteri itu nampak terkejut. Sebagal seorang puteri Raja, tentu saja ia maklum Apa artinya kata-kata yang halus itu. Di balik sikap halus dan ucapan mempersilahkan, ia telah dijadikan seorang tawanan! Akan tetapi ia tidak takut. Ia maklum bahwa biarpun ayahnya bermusuhan dengan pamannya, namun permusuhan itu hanya karena urusan Kerajaan, sehingga dia sendiri tentu tidak akan diganggu oleh pamannya. la tidak takut maupun khawatir, hanya ia menjadi tidak senang sekali.

   "Paman, aku mau pulang ke Jenggala! Kalau aku berniat mengunjungi paman prabu di Panjalu, tidak perlu kalian minta! Pergilah dan jangan menggangguku."

   Wajah perwira berkumis panjang itu menjadi merah. la tak dapat menyangkal kebenaran jawaban puteri itu. Akan tetapi, setiap orang ingin menonjolkan pahala kepada yang dipertuan. Secara kebetulan ia bertemu dengan seorang Puteri Jenggala. Kalau ia dapat menawannya ke Panjalu dan menyerahkan puteri itu sebagai tawanan, tak dapat tidak sang prabu tentu akan merasa senang. Biarpun sang puteri takkan diganggu, akan tetapi hal ini sedikitnya akan menyuramkan Jenggala dan siapa tahu puteri itu akan dapat dijadikan semacam cara untuk menundukkan musuh.

   "Harap saja paduka tidak menyulitkan hamba. Paduka adalah seorang Puteri Jenggala, karena itu termasuk musuh hamba sekalian. Hanya karena mengingat bahwa paduka adalah anak kemenakan gusti prabu, maka hamba memperlakukan paduka sebagai seorang tamu agung, bukan sebagai seorang tawanan. Gusti puteri, silahkan menunggang kuda ini."

   Menyaksikan betapa sang puteri dipaksa secara halus, Joko Wandiro lalu melangkah maju dan berkata,

   "Paman, yang berselisih adalah Raja Panjalu dan Raja Jenggala, yang berperang adalah perajurit-prajurit Panjalu melawan perajurit-perajurit Jenggala. Kurasa dalam hal itu sang puteri tidak ikut-ikut. Jelas bahwa sang puteri tidak suka singgah di Panjalu, mengapa kalian hendak memaksa? Apakah perbuatan ini tidak memalukan kalian sebagai perwira-perwira yang perkasa? Menghina wanita bukanlah perbuatan jantan!"

   Seorang perwira yang paling muda menghardik,

   "Joko Wandiro! Begini mudahkah engkau berkhianat? Belum lama ini engkau memohon kepada gusti prabu untuk menghambakan diri kepada Panjalu, dan sekarang engkau sudah ingin melindungi puteri musuh?"

   "Kalau kalian berperang melawan perajurit-perajurit Jenggala, aku tidak akan membantu Jenggala, akan tetapi saat ini kalian tidak sedang perang, melainkan sedang melakukan perbuatan yang tidak benar. Kalian hendak memaksa, hal itu berarti hendak menculik sang puteri. Hal ini mana mungkin aku mendiamkan saja? Pendeknya, kalau sang puteri tidak dengan suka rela sendiri ikut kalian menghadap pamannya, aku akan membelanya!"

   "Keparat, kau memang manusia sombong!"

   Bentak perwira muda itu yang segera menerjang maju dengan pukulan keras ke arah dada Joko Wandiro. Pemuda ini tenang saja, tidak menangkis, juga tidak mengelak.

   "Blukkk!!!!"

   Kepalan yang besar dan keras Itu dengan tenaga dahsyat menghantam dada Joko Wandiro. Akan tetapi akibatnya tubuh perwira Panjalu itu sendiri yang terlempar dan terjengkang ke belakang! Melihat datangnya pukulan tadi,

   Joko Wandiro maklum bahwa lawannya ini hanya memiliki tenaga kasar yang kuat, maka ia lalu mengerahkan hawa saktinya, menggunakan tenaga menendang pada dadanya sehingga akibatnya lawan itu terjengkang. Bukan main marahnya perwira ini. la meloncat bangun tanpa memperdulikan tangannya yang sakit dan membengkak. Ia telah dibikin malu di depan rekan-rekannya. Seorang perwira Panjalu adalah seorang perajurit pilihan yang sudah lulus ujian ketangkasan, bagaimana kini menghantam dada seorang pemuda malah roboh sendiri? Ia menerjang lagi sambil mengeluarkan suara menggereng seperti harimau. Melihat kenekadan orang ini Joko Wandiro mendongkol. Kini kepalan lawan di arahkan ke perutnya. Sekali lagi ia tidak menangkis rnaupun mengelak, melainkan diam-diam mengerahkan hawa sakti, menggunakan tenaga menempel dan menekan.

   "Krakkk!"

   Si berangasan menjerit dan tubuhnya tcrlempar sampai tiga meter ke belakang, di mana ia terbanting jatuh dan menggereng kesakitan sambil memegangi lengan yang sudah patah tulangnya.

   "Keparat engkau, Joko Wandiro Merobohkan seorang perwira Kerajaan berarti memberontakl"

   Bentak perwira ke dua yang bertubuh tinggi besar. Diikuti empat orang temannya yang semua menghunus keris, mereka maju dan menerjang Joko Wandiro. Pemuda ini merasa menyesal. Teringat akan pesan gurunya, ia tidak suka bermusuhan dengan orang-orang Panjalu. Bahkan ketika ia dipandang rendah di istana dan tidak ditenma penghambaan dirinya, ia tidak merasa sakit hati. Akan tetapi, kali ini ia menghadapi perwira-perwira Panjalu bukan sekali-kali membela Jengga!a, dan di dalam hatinyapun bukan sekali-kali ia hendak membela seorang puteri Jenggala, melainkan ia hendak membela seorang wanita yang terancam kebebasannya oleh sekelompok orang-orang yang hendak menawannya.

   "Aku tidak memberontak atau melawan Panjalu, aku menentang dan melawan kalian orang-orang yang hendak menghina wanita!"

   Jawabnya dan kini ia tidak berani menerima sambaran keris para perwira itu.

   Bukan saja ia khawatir bajunya akan rusak oleh tikaman keris-keris itu, juga ia tahu bahwa perwira-perwira Panjalu bukanlah orang-orang sembarangan dan keris merekapun tentu saja merupakan senjata-senjata ampuh yang tak boleh dipandang rendah. Memang sesungguhnya demikianlah. Gerakan lima orang itu tangkas dan cepat sekali dan biarpun mereka berlima bergerak berbareng mengurung Joko Wandiro, namun gerakan mereka tidak kacau dan dapat saling membantu. Lima orang perwira ini adalah perwira-perwira setengah tua yang sudah banyak pengalaman. Mereka tidak sembrono seperti perwira berangasan tadi. Mereka tahu bahwa pemuda ini pernah mengalahkan pengeroyokan Ni Durgogini dan Ni Nogoginl yang membuktikan bahwa pemuda Ini seorang sakti mandraguna.

   Oleh karena itulah kini mereka mengeroyok dengan gerakan hati-hati. Kalau saja mereka tidak sudah tahu bahwa Joko Wandiro adalah seorang yang memiliki ilmu kesaktian tinggi, tentu saja sebagai perwira-perwira Panjalu mereka akan merasa malu untuk mengeroyok. Keris pertama yang menyerangnya dengan tusukan kilat ke arah pusar adalah keris perwira tinggi besar. Joko Wandiro menggeser kaki miringkan tubuh. Pada detik berikutnya, dua batang keris perwira Iain menyambarnya dari kanan kiri, mengarah leher dan lambung. Ia merendahkan tubuh mengelak dari tusukan keris di leher sambil memutar tubuh dan mencengkeram lengan yang memegang keris menusuk Iambung sehingga si pemegang keris cepat-repat menarik kembali kerisnya.

   Namun pada saat itu, kembali ada dua batang keris menyerangnya dengan gerakan cepat sekali, dari depan dan helakang. Terpaksa Joko Wandiro meloncat ke kanan dan menggerakkan kakinya menendang ke arah pergelangan tangan lawan yang berada di belakang, namun tendangannya juga luput karena perwira itu sudah menarik kembali kerisnya sambil meloncat mundur. Joko Wandiro terus didesak, dihujani serangan dari lima penjuru, serangan yang cepat, kuat, dan susul-menyusul. Dengan Aji Bayu Sakti, Joko Wandiro seenaknya mengelak ke sana ke mari. Jangankan baru dikeroyok lima, biarpun ditambah sepuluh orang lagi kalau ia menggunakan aji ini, tak mungkin tubuhnya akan dapat dicium senjata lawan.

   Lima orang perwira itu menjadi pusing dan mata mereka berkunang ketika tubuh lawan yang dikeroyok bergerak-gerak amat cepatnya sehingga lenyap bentuk tubuhnya, hanya tampak bayangan yang tentu saja sukar sekali untuk diserang. Sementara itu, perwira berkumis panjang yang tidak ikut mengeroyok, cepat-cepat membujuk dengan kata-kata mengandung ancaman. Karena tidak ingin diperlakukan kasar dan dipaksa naik kuda, terpaksa sekali Sang Puteri Mayagaluh meloncat ke atas punggung kuda itu, diikuti oleh perwira berkumis panjang yang meloncat ke atas seekor kuda lain. Mayagaluh menoleh dan melempar pandang terakhir ke arah Joko Wandiro yang masih sibuk menghadapi lima orang pengeroyoknya, kemudian kudanya dicambuk dari belakang oleh perwira berkumis sehingga kuda itu meloncat ke depan dan berlari cepat.

   Joko Wandiro mendengar derap kaki kuda cepat menengok. Alangkah kaget dan mendongkol hatinya melihat sang puteri sudah dilarikan seekor kuda, diikuti si perwira berkumis. Tadinya ia tidak berniat merobohkan lima orang perwira ini karena ia masih merasa segan untuk bermusuhan dengan mereka. Akan tetapi melihat sang puteri dibawa pergi dan menduga bahwa betapapun juga, puteri seorang musuh tentu takkan mendapat perlayanan baik kalau terjatuh di tangan musuh, timbul kekhawatirannya. Sekali ia berseru keras, kedua tangannya bergerak dan dua orang pengeroyok tak dapat mempertahankan diri terhadap dorongan kedua tangan Joko Wandiro yang mengandung hawa pukulan luar biasa panasnya itu. Mereka berteriak kaget dan terdorong roboh, keris mereka mencelat entah ke mana.

   Menggunakan kesempatan ini, Joko Wandiro meloncat jauh melakukan pengejaran. Biarpun kuda yang membawa lari puteri itu membalap, namun Joko Wandiro yang mengerahkan Aji Bayu Sakti, sebentar saja sudah hampir dapat menyusulnya. Namun tiga orang perwira yang belum roboh, juga sudah mencemplak kuda dan mengejar sambil berteriak-teriak. Tiga orang perwira itu adalah ahli-ahli dalam hal menunggang kuda, maka sebelum Joko Wandiro dapat turun tangan merampas kembali Puteri Mayagaluh, la sudah tersusul dan kembali mereka menerjang dan mengurungnya sambil melompat dari atas kuda masirtg-masing. Gerakan mereka cukup gesit dan tangkas dan sekali lagi Joko Wandiro terpaksa menggunakan Aji Bayu Sakti untuk menghindarkan diri dari hujan tikaman keris. Melihat sang puteri makin jauh, Joko Wandiro panas hatinya.

   "Kalian ini benar-benar tak tahu diri!"

   Bentaknya dan mulailah ia menggerakkan kaki tangan untuk menangkis dan balas menyerang. Pada saat itu, dua orang perwira yang tadi hanya roboh oleh tenaga dorongan dahsyat dan tidak terluka, kini sudah datang pula menyerbu sambil melompat turun dari atas kuda masing-masing.

   Kembali lima orang perwira mengeroyok Joko Wandiro. Dua orang perwira yang kehilangan keris, kini malah menggunakan tombak yang tadinya terselip di punggung kuda. Dari jauh tampak perwira ke enarn yang patah tulang lengannya, berjalan perlahan karena kudanya ditunggangi oleh sang puteri. Tentu saja setelah tulang lengannya patah, ia tidak dapat membantu teman-temannya. Tadi ketika Joko Wandiro hanya menggunakan kegesitannya berlandaskan Aji Bayu Sakti untuk mengelak ke sana ke sini, lima orang itu sudah tak berdaya dan sama sekali tidak mampu menyentuh ujung bajunya. Sekarang, dengan menggunakan Aji Kukilo Sakti yaitu gerak silat tangan kosong yang amat lincah dan hebat, tubuh Joko Wandiro menyambar-nyambar seperti seekor burung garuda dan kocar-kacirlah lima orang pengeroyoknya.

   Terdengar teriak-teriakan kaget, keris terlempar dan tubuh terbantmg. Dalam beberapa menit saja, lima orang itu sudah roboh tanpa memegang senjata lagi dan biarpun mereka tidak menderita luka parah, namun tamparan tangan Joko Wandiro membuat mereka pening dan untuk beberapa lama mereka tidak mampu bangun! Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan putih dan seorang kakek berusia kurang lebih lima puluh lima tahun berdiri di depan Joko Wandiro. Kakek itu bertubuh sedang namun berdiri tegak dan gagah seperti tubuh seorang pemuda, wajahnya kemerahan dan keren gagah, alis, kumis dan jenggotnya masih hitam akan tetapi rambutnya sudah berwarna dua. Di tangan kanannya terpegang sebatang tongkat kehitaman yang mengkilap dan pakaiannya ringkas serba putih.

   "Hemmm, pemuda jahat dari manakah berani mengandalkan kepandaian menghina dan merobohkan para perwira Kerajaan Panjalu?"

   Katanya dengan suara keren, matanya bersinar keras dan tangan kirinya mengelus jenggot. Berkelebatnya bayangan kakek ini tadi membuktikan bahwa kakek ini seorang berilmu, rnaka Joko Wandiro tidak berani memandang rendah. Pemuda ini segera membungkuk dan berkata penuh hormat,

   "Paman, aku tidak menganggap mereka ini perwira-perwira Panjalu yang gagah, melainkan orang-orang jahat yang hendak menculik seorang wanita. Harap paman jangan mencampuri urusan ini."

   Seorang di antara para perwira, yaitu yang lengannya patah, mengenal kakek ini dan segera berkata,

   "Paman Darmobroto! Saya Jatmiko dari kaki Merbabu pula, sahabat putera paman Joko Seto! Paman, orang muda ini hendak membela seorang puteri Jenggala yang menjadi tawanan kami. Harap paman suka membantu kami dan jangan membiarkan dia mengejar seorang kawan kami yang membawa puteri itu menghadap Gusti Prabu."

   "Orang muda, menyerahlah!"

   Ki Darmobroto, kakek itu membentak. Mendengar disebutnya nama kakek ini, dan disebutnya pula nama Joko Seto putera kakek ini, sejenak Joko Wandiro tertegun. Itulah nama-nama yang disebut oleh Ki Adibroto dalam pesan terakhir! Inilah Ki Darmobroto calon mertua Ayu Candra! Hatinya makin tidak enak. Kalau tadi ia meragu untuk melawan kakek ini, sekarang ia makin merasa berat pula.

   "Paman Darmobroto, kumohon agar paman jangan mencampuri urusan ini, biarlah lain kali aku akan datang menghadap paman, minta-maaf dan akan bicara hal yang amat penting bagi paman dan putera paman, Joko Seto"

   "Hemm, kau sudah merobohkan perwira-perwira Panjalu, siapa peraaya omonganmu? Bocah, lebih baik kau pergi dan jangan lanjutkan perbuatanmu menentang Panjalu, dan akupun sudah memaafkanmu."

   Diam-diam Ki Darmobroto yang kini memperhatikan para perwira yang roboh, merasa kaget dan kagum.

   Perwira-perwira itu bukan orang-orang muda, tentu bukan perwira sembarangan dan sudah memiliki kepandaian yang lumayan. Akan tetapi enam perwira itu semua roboh oleh pemuda ini, tanda bahwa pemuda ini benar-benar memiliki kesaktian yang luar biasa. Apalagi melihat betapa mereka berenam itu tidak ada yang menderita luka berat, hal ini kembali membuktikan bahwa pemuda ini bukan orang yang kejam. Inilah yang membuat Ki Darmobroto merasa suka dan sayang kepada Joko Wandiro dan ingin menyudahi urusan itu asal Joko Wandiro suka pergi dan tidak melanjutkan usahanya merampas puteri. Akan tetapi justeru hal inilah yang memberatkan hati Joko Wandiro. Ia suka mengalah asal Puteri Mayagaluh dibebaskanl Dengan suara bingung karena sang puteri kini sudah dilarikan jauh, ia berkata,

   "Paman Darmobroto, aku tidak berniat melawanmu, juga tidak ingin bermusuhan dengan perwira Panjalu. Aku hanya ingin membebaskan sang puteri!"

   Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat cepat sekali, meloncat jauh dan kembali ia mengejar sang puteri dan si perwira berkumis. Ki Darmobroto makin kagum menyaksikan gerakan pemuda itu. Iapun cepat mengejar sambil mengerahkan ilmunya berlari cepat. Alangkah kagum hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa ilmu lari cepat pemuda ini tidak kalah olehnya.

   Padahal ia sudah mempergunakan aji keringanan tubuh yang merupakan ilmu warisan dari nenek moyangnya dan yang sudah amat terkenal di daerah Merbabu! Ia makin penasaran dan mengerahkan seluruh tenaganya. Namun karena Joko Wandiro juga mengerahkan seluruh tenaganya, menggunakan Aji Bayu Sakti yang ia dapat dari Empu Bharodo, maka pendekar Gunung Merbabu itu hanya mampu membayanginya, belum mampu menyusulnya. Para perwira juga segera berloncatan ke atas kuda dan mengejar. Perwira yang lengannya patah membonceng salah seekor kuda mereka. Kejar-kejaran terjadi dengan seru. Debu mengepul dan tubuh mereka berkelebat keluar masuk hutan. Dengan loncatan-Ioncatan jauh dan berlari cepat sekali, akhirnya Joko Wandiro berhasil menyusul Mayagaluh dan perwira berkumis.

   "Gusti puteri, hentikan kuda paduka! Jangan takut, hamba melindungi paduka!"

   Teriak Joko Wandiro. Perwira berkumis marah sekali, membalikkan tubuhnya dan menyerang dengan sebatang tombak yang panjang ke arah Joko Wandiro. Akan tetapi tanpa mengelak, pemuda itu menggerakkan tangan dan berhasil menangkap leher tombak lalu membetot keras. Perwira itu terkejut sekali dan terpaksa melepaskan tombak karena kalau tidak, ia tentu akan turut terbetot jatuh dari atas kuda.

   "Perwira Panjalu, jangan kurang ajar dan bebaskan sang puteri!"

   Joko Wandiro membentak marah. Puteri Mayagaluh kagum memandang Joko Wandiro, mulutnya tersenyum manis dan matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri. Ia senang sekali melihat kesetiaan pemuda itu. Maka ia lalu menahan kudanya. Akan tetapi pada saat itu, sesosok bayangan putih sudah tiba di tempat itu dan langsung menerjang Joko Wandiro sambil dibarengi bentakan,

   "Orang muda, kau lah yang kurang ajar!"

   Itulah Ki Darmobroto yang sudah menyerang dengan tangan kirinya mencengkeram ke arah pundak Joko Wandiro. Hebat gerakan kakek ini, didahului angin menyambar amat kuat. Joko Wandiro maklum bahwa kakek ini memiliki tenaga yang hebat, maka ia tidak mau membiarkan pundaknya dicengkeram. Akan tetapi iapun sebagai seorang sakti ingin sekali menguji sampai di mana keampuhan tangan kakek Merbabu itu, maka ia lalu mengangkat tangan kanannya menangkis sambil berkata,

   "Paman, aku hanya ingin mencegah orang menghina seorang wanita!"

   Dua buah lengan yang mengandung tenaga mujijat itu saling bertemu dan terkejut bukan main hati pendekar Merbabu ketika tidak hanya lengannya tergetar, bahkan sebagian dadanya kesemutan akibat benturan itu. Di lain fihak, Joko Wandiro juga kagum karena tenaga kakek itu cukup ampuh, tidak kalah banyak kalau dibandingkan dengan tenaga sakti mendiang Wirokolo yang tangguh. Karena maklum bahwa pemuda ini merupakan lawan berat, maka Ki Darmobroto lalu memegang tongkatnya erat-erat, melangkah maju dan bertanya,

   "Orang muda, apakah engkau seorang ponggawa Jenggala? Kalau engkau seorang ponggawa Jenggala, aku hormati kesetiaanmu dan pembelaanmu terhadap gusti puterimu. Akan tetapi kalau engkau bukan ponggawa Jenggala, harap kau suka pergi dengan aman, jangan mencari penyakit."

   "Dia bukan ponggawa Jenggala, akan tetapi sebentar lagi tentu dia diberi anugerah kedudukan mulia oleh ramanda prabu!"

   Tiba-tiba Puteri Mayagaluh berkata. Joko Wandiro terkejut dan cepat-cepat ia berkata,

   "Aku bukan ponggawa Kerajaan mana pun, paman. Aku membelanya berdasar keadilan karena aku tidak suka melihat seorang wanita muda tanpa dosa diculik."

   Akan tetapi pada saat itu, para perwira yang lain sudah tiba di situ dan mendengar ucapan puteri tadi mereka sudah menerjang lagi dan mengurung Joko Wandiro. Adapun Ki Darmobroto yang melihat kenekatan Joko Wandiro hendak melindungi sang puteri, sudah turun tangan pula memutar tongkatnya ikut menerjang.

   Sebetulnya, mengingat kedudukannya sebagai seorang tokoh besar Merbabu, seorang angkatan tua yang terkenal, Ki Darmobroto merasa sungkan untuk melawan Joko Wandiro yang bertangan kosong itu dengan tongkatnya yang sakti, Apa pula mengeroyoknya bersama lima orang perwira Panjalu. Akan tetapi karena yang dihadapinya ini bukan urusan pribadi, melainkan urusan membela Panjalu, ia mengesampingkan perasaan pribadi dan mendahulukan kepentingan junjungannya. Akan tetapi tidak seperti para perwira yang sudah marah dan terhina karena tadi beberapa kali dikalahkan Joko Wandiro dan kini menyerang dengan mati-matian, Ki Darmobroto menggerakkan tongkatnya hanya untuk merobohkan dan menawan pemuda itu.

   Biarpun demikian, segera Joko Wandiro mendapat kenyataan betapa serangan orang tua ini amat hebat, ujung tongkatnya menyambar-nyambar dan pecah menjadi belasan batang agaknya saking cepatnya gerakan. Tongkat kayu cendana itu mengeluarkan bau harum dan ketika digerakkan, memperdengarkan suara mengaung. Joko Wandiro terkejut dan segera ia mengerahkan kepandaiannya untuk menghindari hujan senjata itu. Serangan para perwira yang lima orang jumlahnya itu dapat dengan mudah ia hindarkan, akan tetapi bayangan tongkat kayu cendana di tangan Ki Darmobroto benar-benar membuat ia repot. Ketika ia melompat jauh ke belakang untuk menjauhi para pengeroyoknya, bayangan tongkat dan bayangan putih itu mengejarnya, ujung tongkat tak pernah meninggalkan jalan darah di lehernya dan terdengar orang tua itu berseru,

   "Menyerahlah!"

   Sambil menusukkan ujung tongkat kearah jalan darah di leher yang akan membuatnya lumpuh seketika!

   Joko Wandiro terpaksa mengeluarkan kepandaiannya. Dengan kelincahan mengandalkan Aji Bayu Sakti, ia miringkan tubuh ke kiri, kemudian dengan jari jari tangan terbuka ia memukul ujung tongkat. itulah pukulan Aji Pethit Nogo yang ampuhnya bukan main. Jangankan hanya tongkat kayu, biarpun tongkat besi akan dapat dipukul patah oleh jari jari tangan yang penuh Aji Pethit Nogo!. Akan tetapi kakek itu ternyata hebat. Agaknya dari sambaran angin yang keluar dari tangan Joko Wandiro, kakek itu maklum akan keampuhan Pethit Nogo, maka ia menarik tongkatnya dan menggoyang tangan sehingga ujung tongkat itu kini menyambar dan menotok ke arah telapak tangan Joko Wandiro.

   Pemuda itu terkejut dan kagum. Dalam segebrakan ini saja ia maklum bahwa tingkat kepandaian Ki Darmobroto ini tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaian Ni Durgogini atau Ni Nogogini! Totokan pada telapak tangannya itu amat berbahaya. Pusat jalan darah di tangan berada di telapak tangan, antara ibu jari dan telunjuk, kalau sampai kena tertotok, tentu kelima buah jarinya akan kaku dan tak dapat dipergunakan lagi untuk beberapa lama. Totokan serupa ini sekaligus melumpuhkan atau membuyarkan keampuhan ilmu pukulan Pethit Nogo yang dilakukan dengan telapak tangan terbuka, mengandalkan kepretan jari jari tangan.

   Maklum bahwa ilmu tongkat kakek Itu dapat mengatasi ilmunya Pethit Nogo, Joko Wandiro segera menggerakkan tubuhnya dan mulailah ia melakukan gerakan-gerakan dari Ilmu Silat Bramoro Seto. Tubuhnya berkelebat cepat sekali dan ia menggunakan kecepatannya yang mengatasi kecepatan kakek itu untuk berusaha merampas tongkat. Ketika kakek ini menggerakkan tongkatnya menyabet dari kanan ke kiri, Joko Wandiro merendahkan tubuh dan secepat kilat tangannya menyambar ke depan. Di lain saat dua jari tangannya telah berhasil menjepit tongkat kayu cendana itu. Betapa kagetnya hati Ki Darmobroto ketika merasa betapa jepitan itu kuat sekali. la mengerahkan tenaga menarik, namun sia-sia, tongkatnya tak dapat terlepas dan pada detik itu, tangan kiri Joko Wandiro dengan jari tangan terbuka melakukan pukulan Pethit Nogo ke arah pelipisnya!.

   "Celaka...!!"

   Seru Ki Darmobroto, terkejut sekali. La dapat menduga bahwa pukulan dengan jari tangan itu amat berbahaya, maka ia tadi memunahkannya dengan totokan-totokan tongkat. Kini tongkatnya terjepit dan dengan tangan kosong, tak mungkin ia berani menerima tamparan dengan jari jari seperti itu.

   Untuk mengelak, terpaksa ia harus melepaskan tongkatnya dan hal ini alangkah akan mendatangkan malu baginya. Ia bertongkat, bahkan dibantu lima orang perwira. Pemuda itu bertangan kosong, namun pemuda itu masih dapat merampas tongkatnya? Tidak! Tiba-tiba Ki Darmobroto mengeluarkan pekik nyaring dan tiba-tiba tubuhnya menggelinding ke bawah, terus bergulingan dan tentu saja tongkat itupun ikut terbawa olehnya. Caranya bergulingan amat aneh, akan tetapi Joko Wandiro merasa betapa lengannya yang jarinya menjepit tongkat itu tak dapat menahan dan hendak ikut terbawa gerakan si kakek. Terkejutlah ia dan pada saat itu, kakek itu meloncat sambil menggerakkan kedua kakinya, bertubi-tubi melakukan tendangan.

   "Bagus!"

   Joko Wandiro berseru kagum. Terpaksa kini ia melepaskan tongkat kakek itu dan melompat ke samping sambil menggerakkan tangan kiri menangkis kaki lawannya.

   "Desss...!!"

   Tubuh kakek itu berputar-putar, namun dengan cekatan sekali kakek itu melompat ke atas dan mematahkan gaya berpusing sehingga ia tidak sampai roboh. Kembali Joko Wandiro memuji. Akan tetapi Ki Darmobroto mengeluarkan keringat dingin. Dua gebrakan tadi hampir saja mencelakainya. Kini tahulah ia bahwa pemuda ini benar-benar amat sakti, maka ia lalu menggerakkan tongkatnya dan menerjang tanpa sungkan-sungkan lagi.

   (Lanjut ke Jilid 30)

   Badai Laut Selatan (Seri ke 03 "

   Serial Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 30

   Kalau tadi ia hanya berusaha mengalahkan dan menaklukkan pemuda itu, kini ia menyerang sungguh-sungguh dan mengerahkan seluruh kepandaiannya. Kebetulan lima orang perwira juga sudah maju lagi mengurung sehingga keadaan Joko Wandiro benar-benar terancam.

   "Paman sekalian sungguh terlalu, mendesak-desak tanpa mernberi kesempatan kepadaku. Kuharap paman suka mernbiarkan aku mengantar sang puteri kembali ke Jenggala."

   "Tak perlu banyak cakap!"

   Bentak seorang perwira.

   Sesabar-sabarnya orang, tentu ada batasnya Joko Wandiro sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan para perwira Panjalu yang ia tahu adalah orang orang gagah perkasa dan perajurit perajurit utama ini, lebih-lebih lagi ia tidak ingin bermusuhan dengan Ki Darmobroto, calon ayah mertua Ayu Candra yang sedang di cari carinya itu! Akan tetapi ia pun tidak mungkin membiarkan Sang Puteri Mayagaluh menjadi tawanan, karena perang di antara kedua Kerajaan kakak beradik itu sebetulnya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan pribadi sang puteri. la menganggap tidak semestinya dan amat curanglah kalau mempergunakan permusuhan Kerajaan itu untuk menyeret seorang gadis muda menjadi tawanan. Melihat betapa kini kuda yang ditunggangi Puteri Mayagaluh kembali sudah dituntun dan dibedalkan cepat oleh si perwira berrkumis, kesabarannya lenyap.

   "Paman-paman sekalian, sekali lagi hamba minta bebaskanlah sang puteri. Kalau tidak, terpaksa hamba berlaku kurang hormat!"

   Sengaja ia merendahkan diri kali ini.

   "Joko Wandiro! Dengan berpihak kepada Jenggala, engkau menjadi pengkhianat dan menjadi musuh kami!"

   Bentak seorang perwira dan mereka yang dipimpin oleh Ki Darmobroto yang sakti itu sudah menerjang maju bersama.

   "Kalau begitu, terimalah ini!"

   Joko Wandiro mengeluarkan bentakan nyaring sekali, pekik dahsyat yang bukan menyerupai suara manusia lagi. Pekik dahsyat ini mengiringi dorongsn kedua tangannya yang bergerak mendorong sambil membuat lingkaran kearah pengeroyoknya. Inilah pekik Dirodo Melu (Gajah Mengamuk) yang mengiringi Aji Bojro Dahono (Kilat Berapi) scbuah pukulan sakti yang dahulu pernah membuat Ki Patih Narotama terkenal! Hebat bukan main daya serangnya, baru pekik dahsyat itu saja sudah cukup untuk merobohkan lawan kuat yang tergetar jantungnya dan terbang semangatnya, apalagi aji pukulan yang mendatangkan angin lesus dan panasnya kilat menyambar itu.

   Tubuh lima orang perwira Panjalu terlempar ke sana ke mari dalam keadaan pingsan! Hanya Ki Darmobroto yang dapat mempertahankan diri, hanya terhuyung-huyung sampai beberapa meter jauhnya, mukanya pucat dan dahinya mengeluarkan keringat dingin. Masih untung bahwa pemuda itu tidak bermaksud mencelakai mereka, dan hanya mempergunakan tenaga terbatas saja. Kalau tidak, tentu mereka semua termasuk Ki Darmobroto, akan tewas semua. Kakek itu berdiri terbelalak, menarik napas panjang berkali-kali untuk menghimpun tenaga memulihkan keadaan tubuhnya, memandang tubuh Joko Wandiro yang berkelebat cepat lari mengejar sang puteri yang dilarikan. Kemudian Ki Darmobroto menggeleng geleng kepalanya dan berkata seorang diri,

   "Dari mana gerangan datang seorang muda yang begini hebat? Kalau pihak Jenggala memiliki jago muda seperti ini... ahh, tiada harapan bagi Panjalu agaknya...!"

   
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Karena merasa tidak akan mampu melawan Joko Wandiro, Ki Darmobroto tidak mengejar, melainkan segera memberi pertolongan kepada para perwira yang masih pingsan. Ternyata Sang Puteri Mayagaluh telah dilarikan jauh sekali oleh perwira berkumis tadi. Joko Wandiro menjadi bingung ketika tidak melihat bayangan mereka. Terpaksa ia beberapa kali meloncat naik ke atas pohon tinggi untuk melihat ke sekeliling. Setelah berlari-lari cepat dan meloncat ke atas beberapa batang pohon tinggi besar, akhirnya ia melihat banyak sekali pernunggang kuda berkumpul di tempat jauh.

   Ia menjadi girang akan tetapi juga khawatir akan keselamatan Puteri Mayagaluh, lalu meloncat turun dan cepat-cepat mempergunakan ilmu lari cepatnya untuk mengejar ke tempat yang tampak dari atas itu. Dia seorang yang amat berhati-hati. Begitu dekat dengan tempat itu, ia tidak langsung memperlihatkan diri. Melihat banyak sekali orang di situ, ia lalu menyelinap dan bersembunyi, memandang penuh perhatian. Kaget dan heranlah ia melihat betapa sang puteri tadi kini menangis di atas dada seorang pemuda tampan yang menghiburnya dengan ucapan dan belaian mesra, kemudian pemuda tampan itu menghardik kepada perwira berkumis yang berlutut dan menyembah-nyembah di depannya,

   "Manusia lancang! Berani sekali kau menghina diajeng Mayagaluh? Biarpun Kerajaan kita bermusuh dengan Kerajaan paman di Jenggala, akan tetapi musuhmu adalah perajurit-perajurit Jenggala, bukan diajeng Mayagaluh! Laki-laki macam apa engkau ini? Pengawal, hajar dia dengan sepuluh kali cambukan!"

   Kasihan juga si perwira berkumis itu. Susah payah ia melarikan Puteri Jenggala dengan harapan mendapat puji dan pahala. Siapa tahu, bukan pahala didapat, melainkan cambukan sepuluh kali. Pengawal yang tubuhnya seperti raksasa itu bertenaga besar.

   Biarpun hanya sepuluh kali, akan tetapi begitu selesai hukuman itu, si perwira berkumis tak sanggup bangkit lagi dan terpaksa harus digotong pergi dari situ oleh dua orang perajurit. Melihat perkembangan yang sama sekali tidak diduga-duganya ini, hati Joko Wandiro menjadi girang sekali. Siapakah pemuda itu? Apakah sang pangeran kakak Puteri Mayagaluh yang disebut-sebut oleh gadis bangsawan itu tadi? Bersama para pengawalnya? Akan tetapi, mengapa ucapan pemuda bangsawan itu demikian? Saking herannya dan karena menduga bahwa tak perlu lagi ia bersembunyi, ia lalu meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan berjalan menghampiri tempat itu. Melihat munculnya seorang pemuda yang tak dikenal, belasan orang pengawal segera maju dan sebentar saja Joko Wandiro sudah dikurung. Akan tetapi terdengar seruan Puteri Mayagaluh.

   "Tahan! Dia adalah penolongku Eh Joko Wandiro ke sinilah engkau. Jangan takut, ini adalah kakangmas Pangeran Darmokusumo!"

   Joko Wandiro cepat menghampiri puteri itu dan para pengawal yang mendengar seruan Puteri Mayagaluh memberi jalan kepadanya. Puteri itu kini berpaling kepadanya dan berkata,

   "Joko Wandiro, kakangmas Pangeran Darmokusumo ini adalah pangeran dari Panjalu, kakak misan saya."

   Joko Wandiro terkejut, heran, akan tetapi juga girang hatinya. Kiranya pangeran ini tidak sepicik anak buahnya dan bersikap baik terhadap Puteri Jenggala.

   Maka ia lalu cepat menghaturkan sembah dengan sikap hormat. Pangeran Darmokusumo adalah putera sang prabu di Panjalu dari selir, berusia dua puluh empat tahun, wajahnya tampan sekali dan sikapnya agung. Ketika Kerajaan Kahuripan belum terpecah dahulu, yaitu ketika kakek mereka Sang Prabu Airlangga belum meninggal dunia, para pangeran dan puteri cucu Sang Prabu Airlangga masih tinggal menjadi satu dalam lingkungan keraton. Biarpun banyak di antara mereka sudah terbawa dalam permusuhan ayah mereka, namun antara Pangeran Darmokusumo dan Puteri Mayagaluh telah terdapat hubungan yang amat akrab. Bahkan diam-diam kedua orang muda ini saling mencinta. Ketika Kerajaan terpecah, mereka terpaksa saling berpisah dan dengan hati sedih kedua orang muda ini melihat betapa ayah mereka saling bermusuhan.

   Tentu saja sebagai anak, mereka harus berfihak kepada ayah dan Kerajaan masing masing, namun di lubuk hati mereka ini tak dapat saling melupakan. Maka pertemuan di dalam hutan, pertemuan yang tak disangka-sangka antara dua hati yang saling dipisahkan ini merupakan pertemuan mengharukan dan mesra. Biarpun mereka dahulu belum pernah saling menyatakan perasaan cinta kasih masing-masing, dalam pertemuan ini perasaan itu tertumpah dan tadi mereka saling peluk tanpa malu-malu lagi. Pangeran Darmokusumo ketika mendengar nama Joko Wandiro, sudah terkejut dan memandang penuh perhatian. Kini melihat pemuda yang kelihatannya sederhana itu menghaturkan sembah, ia bertanya, suaranya halus namun mengandung wibawa,

   "Joko Wandiro namamu? Bukankah engkau ini satria yang pernah menghadap ramanda prabu dan yang telah mengusir mundur Ni Durgogini dan Ni Nogogini dari Panjalu?"

   "Benar seperti yang paduka katakan gusti pangeran."

   "Joko Wandiro, kau pernah menghadap ramanda prabu hendak mengabdikan diri, sekarang engkau melakukan perlawanan terhadap perajurit-perajurit Panjalu. Apakah hal ini berarti bahwa engkau kini telah berfihak kepada Jenggala?"

   "Tidak, dalam peristiwa ini hamba sama sekali tidak mengingat tentang Kerajaan manapun. Hamba hanya melihat seorang wanita yang hendak dibawa secara paksa oleh serombongan pria yang mempergunakan kekerasan. Andaikata wanita itu bukan kebetulan sang puteri dari Jenggala, sekalipun seorang gadis dusun, sudah pasti hamba juga akan turun tangan membelanya. Sebaliknya, andaikata rombongan pria itu bukan perajurit-perajurit Panjalu, misalnya mereka itu para perajurit Jenggala yang mengganggu seorang puteri Panjalu, hambapun tentu akan bertindak mencegah dan menentang mereka."

   Senyum kagum menghias wajah tampan itu dan sepasang mata Pangeran Darmokusumo bersinar-sinar, kemudian ia mengangguk-angguk dan menoleh ke arah Puteri Mayagaluh dan berkata,

   "Diajeng Mayagaluh, sungguh bahagia sekali engkau mendapatkan seorang penolong seperti satria bagus ini."

   Kemudian ia memandang Joko Wandiro dan berkata halus.

   "Joko Wandiro, aku sudah mendengar tentang pertolonganmu kepada sang puteri dari tangan perampok jahat. Sebagai kakak misannya, aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu dan harap kau jangan kepalang dalam melepas budi kepada kami keluarga yang tak bahagia. Antarkan diajeng Mayagaluh sampai selamat ke Jenggala."

   Joko Wandiro menyembah, hatinya kagum terhadap pangeran ini. Alangkah akan senang hatinya kalau ia dapat menghambakan diri kepada seorang junjungan yang bijaksana seperti Pangeran Panjalu ini.

   "Memang sudah hamba janjikan kepada gusti puteri untuk mengantar beliau pulang ke Jenggala. Kewajiban ini hamba sekali-kali tidak menganggap sebagai pertolongan, maka harap paduka jangan memuji hamba terlalu tinggi."

   Pada saat itu, Ki Darmobroto dan perwira Panjalu yang tadi mengejar sudah tiba di tempat itu. Para perwira masih lemah dan pucat akibat pukulan Bojro Dahono dan mereka hanya dapat menundukkan muka ketika ditegur oleh sang pangeran. Akan tetapi pangeran ini hanya bertanya dengan suara halus kepada Ki Darmobroto,

   "Paman Darmobroto, mengapa pula paman mencampuri pertandingan antara Joko Wandiro dan perwira-perwira Panjalu yang kurang ajar ini?"

   Ki Darmokusumo menghaturkan sembah lalu menjawab, suaranya tenang karena ia merasa dalam kebenaran,

   "Hamba hanya melihat para perwira Panjalu bertanding melawan orang muda yang sakti ini dan sebagai seorang hamba Panjalu tentu saja hamba tidak dapat tinggal diam. Menyesal sekali bahwa kepandaian hamba tidak ada artinya sehingga biarpun hamba bantu, para perwira paduka tetap saja mengalami kekalahan."

   Setelah berkata demikian, Ki Darmobroto melirik dengan pandang mata kagum terhadap bekas lawannya yang masih bersimpuh di dekatnya, depan sang pangeran. Mendengar ini, Pangeran Darmokusumo menjadi makin kagum terhadap pemuda itu.

   "Joko Wandiro, karena diajeng Mayagaluh telah sesat jalan dan berpisah dari rakandanya Sang Pangeran Panjirawit, maka lebih baik kau lekas-lekas mengantar pulang ke Jenggala agar jangan sampai menggelisahkan keluarganya."

   Pangeran itu lalu memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan dua ekor kuda pllihan. Setelah dua ekor kuda yang pilihan dipersiapkan, Puteri Mayagaluh sejenak saling pandang dengan Pangeran Darmokusumo, kemudian sang puteri menangis dan mengeluh,

   "Kakangmas, mungkinkah kita dapat saling bertemu kembali..."

   Pangeran itu tersenyum sedih dan ketika Mayagaluh menangis, ia lalu memeluknya dan mengusap-usap rambutnya yang hitam halus, berbisik-bisik memberi hiburan kepada puteri itu. Betapa hancur hati kedua orang muda yang saling mencinta ini menghadapi kenyataan betapa ramanda mereka saling bermusuhan. Melihat dua orang itu mengadakan perpisahan yang mengharukan, Joko Wandiro mempergunakan kesempatan ini untuk mendekati Ki Darmobroto dan berkata,

   "Paman Darmobroto, saya gembira sekali dapat bertemu dengan paman. Memang saya mempunyai niat untuk mencari paman."

   Ki Darmobroto tersenyum. Ia merasa kagum dan suka kepada orang muda ini, yang memiliki kesaktian hebat akan tetapi selalu bersikap rendah hati dan juga tidak sombong, tidak keji.

   "Akupun amat senang dapat berkenalan dengan anakmas Joko Wandiro yang sakti mandraguna. Kehormatan Apa gerangan yang hendak anakmas berikan sehingga anakmas bersusah payah mencari pamanmu yang miskin ini?"

   Karena ia tahu bahwa berita yang hendak disampaikannya bukan hal yang menggembirakannya, Joko Wandiro mengerutkan keningnya dan mukanya berubah suram. Hal ini tak terlepas dari pandang mata Ki Darmobroto yang awas, maka kakek itu cepat-cepat bertanya,

   "Ada apakah, anakmas Joko Wandiro?"

   "Paman, sungguh berat rasa hati saya untuk menyampaikan berita ini. Paman... secara tak disengaja saya telah menjadi saksi akan kematian paman Adibroto dan... isterinya, serta mendengar pula pesan terakhir mendiang paman Adibroto."

   Ki Darmobroto adalah seorang sakti yang gentur tapa (tekun bertapa), batinnya sudah amat kuat, tidak mudah dipengaruhi suka-duka duniawi. Namun mendengar berita bahwa sahabat baiknya, Ki Adibroto dan isterinya telah meninggal dunia, ia terkejut bukan main sehingga sejenak ia tak dapat berkata-kata. Kemudian ia bertanya, suaranya gemetar,

   "Adibroto dan isterinya... meninggal dunia...? Belum lama ini mereka berdua singgah di rumahku...!!"

   "Saya menyaksikan kematian paman Adibroto dengan kedua mata saya sendiri, paman. Beliau tewas karena luka-luka yang dideritanya"

   "Terbunuh!!"

   Ki Darmobroto berseru."Siapa pembunuhnya? Mengapa orang sebaik budi Adibroto dibunuh?"

   Joko Wandiro menggeleng kepalanya, hatinya terasa perih. Diam-diam ia menduga bahwa kematian Ki Adibroto dan isterinya, atau ibu kandungnya sendiri, tentu ada hubungannya dengan Pujo, guru dan ayah angkatnya. Hal inilah yang membuat hatinya sangat berduka setiap kali ia teringat.

   "Saya tidak tahu, paman. Paman Adibroto tidak mengatakan apa-apa, hanya meninggalkan pesan kepada... Ayu Candra bahwa bahwa Ayu Candra telah dijodohkan dengan putera paman yang bernama Joko Seto."

   "Betul sekali. Di mana kini adanya nini Ayu Candra? Kasihan sekali anak itu, kehilangan ayah-bundanya!"

   Kemudian kakek itu teringat sesuatu dan bertanya, memandang penuh selidik,

   "Anakmas Joko Wandiro, bagaimana anakmas dapat menyaksikan itu semua? Kenalkah anda dengan keluarga itu?"

   Joko Wandiro merasa berat untuk membentangkan semua keadaannya. Ia hanya menggeleng kepala dan menjawab,

   "Secara kebetulan saja saya lewat di Telaga Sarangan dan menyaksikan hal itu. Adapun... diajeng Ayu Candra telah pergi, saya sendiri tidak tahu ke mana, bahkan sekarangpun sebenarnya saya sedang mencarinya dengan maksud mengantarnya ke Merbabu, ke tempat tinggal paman."

   "Mengapa pergi? Kemana?"

   "Saya tidak tahu, paman. Mungkin pergi mencari musuh yang telah menewaskan paman Adibroto dan isterinya, padahal dia sendiripun tidak tahu siapa musuhnya itu dan paman Adibroto sudah berpesan agar jangan membalas dendam, jangan mencari musuh."

   Ki Darmobroto masih ingin banyak bertanya, akan tetapi pada saat itu terdengar suara Puteri Mayagaluh,

   "Joko Wandiro, sudah siapkah engkau? Mari kita berangkat!"

   Joko Wandiro bangkit berdiri lalu berpamit kepada Pangeran Darmokusomo, kemudian meloncat ke atas punggung kuda yang disediakan untuknya, lalu bersama Puteri Mayagaluh yang sudah naik ke atas kuda pula meninggalkan tempat itu. Sang puteri beberapa kali menengok dan bertukar pandang mesra dengan Pangeran Darmokusumo, kemudian setelah mereka berbelok pada sebuah tikungan, sang puteri menghapus air mata dari pipinya dengan tangan.

   "Gusti Pangeran Darmokusumo sungguh seorang yang berbudi luhur!"

   Joko Wandiro berkata perlahan. Sang puteri terkejut dan mengangkat muka memandang kepada pemuda yang menjalankan kuda di sebelah kirinya, lalu memaksa senyum. Senyum yang amat cerah sehingga lenyaplah semua kedukaan dan kekecewaan.

   "Mengapa kau berkata demikian, Joko Wandiro?"

   "Mengapa? Hamba memuji gusti pangeran dari Panjalu itu, dan memang sepatutnya dipuji."

   "Hemm, tiada hujan tiada angin engkau memuji-mujinya di depanku. Apa yang tersembunyi di balik kata-katamu, orang muda?"

   Joko Wandiro menjadi merah mukanya. Kiranya sang puteri amat peka perasaannya, seakan-akan dapat menjenguk dan mengintai isi hatinya.

   "Maaf, gusti puteri. Hamba eh, hamba kira eh, gusti pangeran amat sayang kepada paduka dan... eh, memang sepadan benar. Sayang sekali, ramanda paduka berdua tak dapat hidup berdampingan dalam suasana damai."

   Mendengar ini, sang puteri menarik napas panjang.

   "Matamu awas benar, Joko Wandiro. Memang..."

   Puteri jelita itu menunduk malu.

   "Kangmas Pangeran Darmokusumo amat sayang kepadaku, semenjak dahulu sayang"

   Melihat wajah yang jelita itu kembali terselubung awan kedukaan, cepat-cepat Joko Wandiro berkata,

   "Sesungguhnya hamba heran sekali, bagaimanakah paduka sampai dapat melakukan perjalanan begini jauhnya? Kalau boleh hamba bertanya, paduka bersama rakanda paduka dan pengawal, hendak pergi ke manakah?"

   "Ah, ini gara-gara kakanda Pangeran Panjirawit yang selalu menuruti semua kehendak Endang Patibroto!"

   Sang puteri menarik napas panjang lalu menyambung lirih,"Orang kalau sudah jatuh cinta... ah, aneh-aneh saja kelakuannya...!!!"

   Akan tetapi ketika sang puteri menengok dan memandang kepada Joko Wandiro, ia melihat pemuda itu memandangnya dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, seakan-akan melihat dia telah berubah menjadi benda yang menakjubkan. Seketika wajah sang puteri menjadi merah sekali, teringat betapa pemuda ini ketika menolongnya dari tangan perampok, telah mencium pipinya! Hal itu telah ia maafkan mengingat bahwa ia telah terbebas daripada bahaya mengerikan, tertolong oleh pemuda ini. Akan tetapi kini melihat betapa joko Wandiro memandangnya seperti itu, ia cepat cepat berkata,

   "Kakanda Pangeran Panjirawit jatuh cinta kepada pengawal kami Endang Patibroto sedangkan aku... aku... dan kakangmas Pangeran Darmokusumo juga saling... eh, mencinta. Entah siapa di antara kami yang gagal kelak!"

   la menundukkan mukanya. Puteri ini dengan bijaksana memaksa diri menyatakan cinta kasihnya kepada Pangeran Darmokusumo untuk mengusir perasaan yang "Bukan-bukan"

   Dari dalam hati pemuda penolongnya yang amat ia kagumi ini. Joko Wandiro seperti baru sadar daripada mimpi buruk. Ucapan terakhir ini hanya lewat saja di telinganya dan dianggapnya tidak ada artinya. la tadi begitu kaget mendengar nama Endang Patibroto disebut-sebut. Sebagai kepala pengawal! Kepala pengawal Kerajaan Jenggala lagi! la begitu heran mendengar ini sampai tadi terlongong dan disalah artikan oleh sang puteri. Untuk memulihkan lagi ketenangannya, Joko Wandiro terbatuk-batuk.

   "Maafkan hamba, gusti puteri. Hamba melamun tadi. Jadi paduka pergi bertiga bersama rakanda paduka dan kepala pengawal yang bernama Endang Patibroto? Kepala pengawal seorang wanita?"

   Sang puteri tertawa. Sikap dan kata-kata pemuda ini sudah kembali biasa dan hatinya menjadi lega karenanya. Ia tadinya khawatir kalau-kalau pemuda ini tak mampu menguasai hatinya. la akan merasa berduka sekali kalau sampai pemuda ini menjadi korban asmara karena dia. Kembali Lagi kegembiraan sang puteri. Ia tertawa sehingga tampak giginya berderet putih seperti mutiara.

   "Ah, engkau tidak tahu, Joko Wandiro. Memang Endang Patibroto seorang wanita, akan tetapi wah, wanita yang bagaimana! Sakti mandraguna pilih tanding. Cantik jelita dan muda belia, akan tetapi kiraku orang senegara tidak ada yang akan dapat menandinginya. Dibandingkan dengan engkau, Joko Wandiro eh betul juga kalian ini!"

   Sepasang mata yang indah bening seperti burung nun itu bersinar-sinar, wajah yang kedua pipinya kemerahan berseri-seri. Joko Wandiro tersenyum dan mengeluh dalam hati. Puteri ini lincah, gembira, dan nakal! Namun ia pura-pura tidak mengerti dan bertanya,

   "Apa yang paduka maksudkan?"

   "Kau tunggu saja sampai kau berjumpa dengan orangnya, Joko Wandiro! Ah, kalau saja kami mempunyai sepasang jagoan seperti kalian!"

   Kini wajah Joko Wandiro yagg menjadi merah dan jantungnya berdebar aneh. Endang Patibroto! Hampir ia lupa Lagi bagaimana wajahnya. Sudah terlalu lama ia berpisah dengan anak itu. Anak yang nakal sekali! Puteri ayah angkatnya. terbayang di dalam ingatannya betapa dahulu seringkali ia bertengkar dengan anak perempuan itu.

   Dan sekarang telah menjadi kepala pengawal Kerajaan Jenggala! Bagaimana mungkin ini? Ayah angkatnya, Pujo dan juga eyangnya, Bhagawan Rukmoseto atau Sang Resi Bhargowo, adalah pembela-pembela Kerajaan Panjalu, seperti juga gurunya, Ki Patih Narotama. Bagaimana sekarang Endang Patibroto bisa menjadi kepala pengawal Kerajaan Jenggala? Teringat pula ia akan peristiwa di Pulau Sempu, ketika eyang mereka, Sang Resi Bhargowo, menyerahkan pusaka Mataram kepada mereka. Makin merah mukanya ketika ia teringat betapa Endang Patibroto anak nakal itu memilih keris pusaka yang luar biasa ampuhnya, sedangkan ia mendapat bagian warangkanya, yaitu patung kencana yang ia simpan dalam cabang pohon randu alas yang besar di Pulau Sempu. Semua ini terbayang dalam ingatannya dan membuatnya termenung.

   "Sayang aku terpisah dari mereka,"

   Terdengar pula suara sang puteri yang menyeret kembali kesadaran Joko Wandiro.

   

Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini