Ceritasilat Novel Online

Badai Laut Selatan 33


Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Bagian 33



"Endang, kenapa engkau pergi? Engkau harus menolong kami, harus menolong kanjeng rama!"

   Kata Pangeran Panjirawit dengan napas terengah-engah. Juga empat orang pangeran yang lain maju pula membujuk. Endang Patibroto tersenyum mengejek dan pandang matanya dingin menyapu para pangeran itu.

   "Hemm,"

   Katanya kemudian dengan suara dingin.

   "Aku sudah tidak diperlukan lagi, mengapa paduka sekalian menyusul? Kalau ada urusan penting, bukankah di sana sudah ada dua orang wanita sakti yaitu Ni Durgogini dan Ni Nogogini? Sang prabu sama sekali tidak lagi membutuhkan bantuanku!"

   "Ah, Endang, engkau sama sekali tidak tahu! Jangan kau menduga yang tidak-tidak terhadap kanjeng rama. Beliau sama sekali bukan tidak menghargai atau membutuhkan bantuanmu lagi. Bahkan sebaliknya, saat ini beliau dan kami semua amat membutuhkan bantuanmu."

   "Hemm, ada perkara apakah, Gusti Pangeran Panjirawit?"

   "Endang, menurut hasil para ponggawa setia yang melakukan penyelidikan, ternyata orang-orang sakti yang katanya membantu kanjeng rama, termasuk Ni Durgogini, Ni Nogogini, Cekel Aksomolo, Warok Gendroyono, Ki Krendroyakso, dan sekarang ditambah lagi dengan seorang brahmana tua yang amat sakti bernama Bhagawan Kundolomuko yang katanya adalah ayah dari Ni Durgogini dan Ni Nogogini, mengadakan persekutuan busuk untuk merampas Kerajaan Jenggala!"

   Seketika perhatian Endang Patibroto tertarik dan lenyaplah kekeruhan wajahnya.

   "Apa maksud paduka? Harap ceritakan yang jelas."

   "Mereka itu bersekutu dengan Adipati Jagalmanik yang menjadi Raja muda di Nusabarung, sebuah pulau di Laut Selatan. Sekarang Ni Durgogini dan Ni Nogogini telah berhasil mempengaruhi kanjeng rama, hal ini termasuk siasat yang mereka rencanakan. Karena kami tidak berani mengganggu kanjeng rama sedangkan tidak ada senopati atau pengawal yang kiranya dapat menanggulangi kesaktian dua orang wanita iblis itu, maka harap kau suka membantu kami. Masuklah ke taman sari dan tangkaplah Ni Durgogini dan Ni Nogogini, Endang."

   "Bagaimana nanti kalau sang prabu marah kepada hamba?"

   Endang Patibroto meragu.

   "Kami yang bertanggung jawab kalau rama prabu marah,"

   Kata Pangeran Panjirawit.

   "Kanjeng rama sudah lupa segala, tidak pernah bersidang dan tidak pernah mau bertemu dengan siapapun juga. Kami semua khawatir sekali,"

   Kata seorang pangeran lain.

   "Baiklah. Hamba akan menghadapi dua orang nenek-nenek iblis itu. Para pengawal lain dan juga paduka sekalian harap jangan turut campur."

   Setelah berkata demikian, sekali tubuhnya berkelebat Endang Patibroto sudah lenyap dari depan mereka, membuat para pangeran dan pengawal, kecuali Pangeran Panjirawit yang merasa bangga, menjadi terlongong keheranan dan hati penuh kagum.

   Mereka lalu beramai-ramai pulang ke Jenggala. Sebelum rombongan Pangeran Panjirawit ini tiba di istana Jenggala, pada senja hari itu terjadi peristiwa hebat di dalam taman sari keraton Jenggala. Pada senja hari itu, di taman sari yang indah itu sunyi sekali, sesunyi tanah kuburan. Semenjak Ni Durgogini dan Ni Nogogini berada di dalam keraton, semua pengawal yang menjaga taman sari, juga para emban pelayan, ditiadakan. Taman sari itu sunyi dan penuh dengan getaran hawa yang aneh, akan tetapi bagi sang prabu, agaknya merupakan sebuah taman Indraloka, surga yang penuh keindahan. Ditemani dua orang wanita itu, sang prabu merasa seakan-akan hidup di taman surga dikawani dua orang bidadari kahyangan yang cantik jelita!

   Ketika Endang Patibroto menyusup memasuki taman sari mempergunakan aji kesaktiannya sehingga tidak menimbulkan suara dan tidak diketahui oleh tiga orang yang berada di taman sari, gadis ini segera dapat melihat bahwa di dalam taman sari telah terjadi hal-hal yang bukan sewajarnya. Hawa dingin penuh getaran kuat dirasainya dan ia maklum bahwa dua orang wanita iblis itu mempergunakan aji yang dahsyat dan memiliki pengaruh yang amat kuat. Ketika ia mengintai, makin jelaslah dan makin yakinlah hatinya bahwa sang prabu berada di dalam cengkeraman kedua orang iblis betina itu yang mempergunakan aji guna-guna yang memabokkan dan mempesona sang prabu.

   Ia melihat betapa sang prabu sedang duduk setengah berbaring di sebuah bangku panjang. Ni Durgogini berlutut dan memijiti kedua kaki sang prabu, sedangkan Ni Nogogini menuangkan minuman keras dan memberi minum sang prabu dengan sikap genit sekali. Dengan gaya memikat ketika memberi minum, ia sengaja merapatkan dadanya pada pipi sang prabu. Juga Ni Durgogini memijat sambil mengusap-usap dan membelai mesra. Sang prabu kelihatan senang dan wajahnya amat pucat, pipinya cekung, sekitar matanya menghitam, dan mata itu sendiri setengah dipejamkan.

   "Sayang tidak sejak dahulu kalian melayani aku semanis ini, manis!"

   Kata sang prabu sambil membuang napas lega setelah minum, kemudian merebahkan kepala di atas pangkuan Ni Nogogini!

   Endang Patibroto memandang dengan kedua pipi berubah merah. Belum pernah ia menyaksikan orang bermesra-mesraan dan bermain cinta, maka kini jantungnya berdebar dan mukanya merah. Akan tetapi saking herannya ia sejenak tak bergerak seperti arca. Jelas tampak olehnya betapa perubahan besar terjadi pada wajah kedua orang wanita itu. Dahulu mereka cantik molek dan kelihatan masih muda, takkan lebih dari tiga puluh tahun usia mereka. Akan tetapi sekarang telah menjadi nenek-nenek yang peyot dan keriputan, nenek-nenek yang pantasnya berusia enam puluh tahun! Ia tidak tahu bahwa kedua orang wanita ini kehilangan daya ampuh obat Suket Sungsang setelah terkena pukulan tangan Joko Wandiro.

   Yang membuat Endang Patibroto terheran-heran adalah sikap sang prabu. Agaknya sang prabu tidak menganggap mereka itu buruk dan tua! Hemm, pasti terkena ilmu guna-guna yang amat kuat, pikir Endang Patibroto. Dugaan gadis sakti ini memang benar. Kedua orang wanita itu boleh jadi kehilangan daya obat muda Suket Sungsang, namun mereka sama sekali tidak pernah kehilangan aji kesaktian mereka. Setelah mereka dikalahkan Joko Wandiro dan dibikin badar sehingga menjadi tua, mereka lari mencari ayah mereka yang bertapa di hutan Gumuk-mas dekat pantai selatan dari mana Pulau Nusabarung sudah tampak. Ternyata kemudian bahwa ayah mereka, Bhagawan Kundolomuko, telah bersekutu dengan sahabatnya, Sang Adipati Jagalmanik dari Nusabarung untuk menguasai Kerajaan Jenggala yang mereka anggap lemah.

   Demikianlah, setelah mengadakan persekutuan dengan para pembantu sakti dari Jenggala dengan perantaraan Ni Durgogini dan Ni Nogogini, kedua orang wanita ini lalu mendekati sang prabu dan menjalankan siasat komplotan mereka, yaitu mempengaruhi sang prabu di Jenggala sehingga jatuh di bawah kekuatan mereka. Secara kebetulan sekali kepala pengawal yang mereka segani, Endang Patibroto, sedang pergi bersama Pangeran Panjirawit dan Puteri Mayagaluh, maka usaha kedua nenek ini dapat dilaksanakan dengan lancar. Dengan aji pengasihan Guno Asmoro, dengan mudah sang prabu dibuat tak berdaya dan tergila-gila kepada dua orang nenek yang dalam pandangan sang prabu seakan-akan dua orang bidadari cantik jelita itu.

   Biarpun keturunan langsung Sang Prabu Airlangga yang sakti mandraguna, namun Raja Jenggala ini sejak mudanya sudah menjadi hamba nafsunya dan bergaul dengan orang-orang yang tidak suci, maka mudah saja terkena pengaruh aji pengasihan yang amat ampuh itu. Ketika melihat betapa Ni Durgogini memeluk pinggang sang prabu sedangkan Ni Nogogini mencium pipinya, Endang Patibroto tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia melompat keluar sambii menepuk kedua tangannya dengan pengerahan Aji Wisangnoio dibarengi pekik sakti Sardulo Bairowo yang amat dahsyat. Kedua tangannya mengeluarkan suara seperti halilintar menyambar disambung pekiknya yang memekakkan telinga. Hebat bukan main aji kesaktian gadis ini.

   Mendengar suara yang amat dahsyat itu, seketika sirna pengaruh aji pengasihan Guno Asmoro yang mencengkeram ingatan dan hati sang prabu. Seketika sang prabu menjadi sadar dan memandang dengan mata terbelalak kepada dua orang nenek itu, kemudian ia menjerit dan roboh pingsan di atas bangku! Ni Durgogini dan Ni Nogogini terkejut setengah mati ketika melihat munculnya Endang Patibroto. Mereka tadinya sudah merasa berhasil dan aman. Setelah sang prabu dikuasai, siapa lagi berani mengganggu? Sama sekali tidak mereka sangka bahwa gadis ini sedemikian beraninya memasuki taman sari tanpa ijin sri baginda! Mereka berdua marah sekali, akan tetapi karena mereka maklum bahwa murid Dibyo Mamangkoro ini sama sekali tidak boleh dibuat main-main, mereka yang cerdik menahan kemarahannya dan mengambil sikap lunak.

   "Ah, kiranya adinda kepala pengawal yang datang. Apakah sebabnya adinda mengganggu kami berdua yang sedang menghibur sang prabu?"

   Bertanya Ni Durgogini dengan suara merdu dan halus.

   "Ah, adinda sungguh main-main sehingga membuat sang prabu jatuh pingsan,"

   Ni Nogogini juga menegur dengan suara halus. Endang Patibroto membanting kakinya. Cih, perempuan-perempuan tua bangka tak tahu malu, menyebutnya adinda segala! Mereka itu patut menjadi neneknya! Ia tersenyum mengejek ketika berkata,

   "Kalian tak usah bersandiwara lagi, karena aku sudah tahu betapa kalian menjadi kaki tangan Adipati Jagalmanik di Nusabarung dan bertugas menguasai sang prabu."

   Seketika pucat wajah Ni Durgogini dan Ni Nogogini dan secara tak sadar tangan mereka sudah meraba gagang senjata masing-masing. Namun Ni Durgogini masih bersiasat dan berkata dengan suara penuh bujukan,

   "Endang Patibroto, terhadap seorang gadis sakti mandraguna dan cerdik pandai seperti engkau, memang tak perlu lagi kami bersandiwara. Memang Apa yang kau katakan tadi benar. Akan tetapi, siapa pula orangnya yang sudi menghambakan diri kepada Raja yang lemah ini? Kerajaan Jenggala amat lemah dan sudah pasti akan dicaplok Kerajaan Panjalu yang jauh lebih kuat. Kecuali kalau Jenggala berada di bawah pimpinan seorang yang kuat dan pandai seperti Adipati Jagalmanik, barulah dapat menghadapi Panjalu. Endang Patibroto, berpikirlah cerdik dan kiranya gurumu, paman Dibyo Mamangkoro juga akan sependapat dengan kami. Kalau kau membantu Adipati di Nusabarung, kelak engkau tentu akan mendapatkan kemuliaan dan..."

   "Cukup! Tutup mulutmu yang beracun! Siapa sudi bersekutu dengan manusia-manusia rendah macam kalian? Saat ini kematian telah menanti kalian, kematian kalian sudah sejak dahulu kuidam-idamkan harus jatuh di tanganku!"

   Dua orang wanita itu melompat bangun dan senjata mereka sudah berada di tangan. Ni Durgogini sudah mencabut senjatanya yang dahsyat, yaitu cambuk yang bernama pecut sakti Sarpokenoko. Sedangkan Ni Nogogini juga sudah mencabut keluar cundriknya yang ampuh dan mengeluarkan cahaya berkilat, yaitu cundrik Embun-sumilir!

   "Babo-babo, keparat Endang Patibroto! Sumbarmu seperti di dunia ini hanya engkau seorang wanita sakti! jangan dikira bahwa kami takut menghadapimu. Hanya karena melihat engkau masih muda dan murid paman Dibyo Mamangkoro maka kami masih bersikap sabar dan mengajakmu bekerja sama. Akan tetapi kalau engkau nekat menantang yuda, jangan mengira kami akan undur setapakpun. Hanya sebelumnya, katakanlah mengapa engkau menghendaki kematian kami di tanganmu."

   Senyum yang menghias mulut yang indah bentuknya itu melebar sehingga tampak deretan gigi putih berkilauan.

   "Ni Durgogini dan Ni Nogogini, coba kalian ingat baik-baik, Apa yang kalian lakukan belasan tahun yang lalu di Pulau Sempu?"

   Dua orang nenek itu saling pandang, kemudian Ni Durgogini memandang gadis itu dengan heran.

   "Di Pulau Sempu? Kami hanya satu kali mengunjungi Pulau Sempu, sebagai utusan sang prabu yang dahulu masih Pangeran Anom. Kami dan rombongan mencari pusaka Mataram yang hilang."

   "Bagus kalau kalian masih ingat, kalian takkan mati penasaran. Tentu masih ingat akan perbuatan kalian mengeroyok Bhagawan Rukmoseto atau Resi Bhargowo? Dengarlah, aku adalah cucunya"

   "Aiiihhhh...!"

   Ni Durgogini berteriak.

   "Tapi kenapa kau di Jenggala...?"

   Ni Nogogini berseru pula, akan tetapi karena kedua orang wanita itu kini maklum bahwa pertandingan mati-matian tak dapat dicegah lagi, mereka berdua sudah menerjang maju sambil menggerakkan senjata masing-masing. Pecut Sarpokenoko di tangan Ni Durgogini menyambar-nyambar dan meledak-ledak di atas kepala Endang Patibroto seperti petir dan mengeluarkan hawa panas sekali, sedangkan cundrik Embun-sumilir di tangan Ni Nogogini berubah menjadi gulungan sinar kemilau yang mengeluarkan hawa dingin.

   "Tar-tar-tar-tar...!!"

   Cambuk itu meledak-ledak.

   "Wuuut... siuuuutttt...!"

   Cundrik Embun-sumilir menyambar-nyambar. Endang Patibroto maklum bahwa kedua orang lawannya ini bukan orang sembarangan sedangkan senjata-senjata merekapun merupakan pusaka-pusaka ampuh. Namun ia tak mau mencabut Ki Brojol Luwuk. Gurunya yang merasa ngeri melihat keris pusaka Mataram itu berpesan agar dia tak menggunakan pusaka itu kalau tidak terlalu terpaksa dan Endang Patibroto adalah seorang gadis perkasa yang amat percaya kepada diri sendiri. Ia merasa sanggup menghadapi dua orang wanita ini, maka ia menghadapi mereka dengan kedua tangan kosong.

   Tubuhnya berkelebat cepat sekali sehingga kadang-kadang ia lenyap dari pandangan kedua orang lawannya. Gadis ini telah mainkan ilmu gerak walet dan camar. Tubuhnya demikian ringan dan gesit sehingga ketika mengelak dan meloncat ke sana ke mari tiada ubahnya seekor burung beterbangan saja. Sesungguhnya Ni Durgogini dan Ni Nogogini bukanlah wanita biasa saja. Di waktu mereka masih remaja puteri, mereka telah menerima gemblengan ilmu dari ayah mereka yang sakti, yaitu Bhagawan Kundolomuko yang dahulu tinggal di pantai Selat Bali. Biarpun waktu itu mereka hanya mewarisi sebagian kecil ilmu ayahnya, namun mereka sudah termasuk wanita-wanita digdaya. Kemudian, ketika Sang Prabu Airlangga yang ketika itu masih seorang pangeran yang melakukan perantauan dari Bali ke Pulau Jawa, dikawani sahabatnya yang setia Narotama,

   Dua orang pria muda ini bertemulah dengan Ni Durgogini dan Ni Nogogini yang ketika itu masih bernama Ni Lasmini dan Ni Mandari. Terjalinlah cinta kasih antara mereka yang menciptakan janji. Setelah Sang Prabu Airlangga menjadi Raja di Kahuripan dan Narotama menjadi Patihnya, kedua orang wanita cantik dari Selat Bali itu dijemput. Ni Mandari menjadi selir Sang Prabu Airlangga, sedangkan Ni Lasmini menjadi selir Ki Patih Narotama. Mereka berdua begitu cantik jelita, begitu pandai memikat hati pria sehingga baik Sang Prabu Airlangga maupun Ki Patih Narotama amat sayang kepada selir dari Selat Bali ini dan berkenan menurunkan beberapa ilmu kesaktian dan petunjuk. Namun sebagai orang-orang waspada, mereka melihat dasar-dasar watak yang kurang bersih pada diri selir-selir ini maka yang diturunkan hanya sekedarnya saja.

   Betapapun juga, tambahan ilmu dari dua orang ini telah membuat Ni Lasmini dan Ni Mandari menjadi wanita-wanita sakti. Setelah dua orang selir itu kemudian diusir karena keduanya tidak setia dan bermain gila dengan pangeran-pangeran muda, Ni Lasmini berganti nama menjadi Ni Durgogini dan bertapa di puncak Girilimut sedangkan Ni Mandari, adiknya, pergi ke pantai selatan dan berganti nama Ni Nogogini. Tentu saja setelah bertapa, ilmu kepandaian mereka makin menjadi hebat. Akan tetapi, selama puluhan tahun ini baru dua kali Ni Durgogini dan Ni Nogogini benar-benar kecelik dan terpukul. Pertama ketika mereka menghadapi Joko Wandiro yang sudah mewarisi ilmu kesaktian Ki Patih Narotama. Ke dua adalah sekarang ini ketika mereka mengeroyok Endang Patibroto yang telah mewarisi ilmu kesaktian Dibyo Mamangkoro.

   Biarpun mereka berdua menyerang dengan senjata pusaka di tangan, sedangkan Endang Patibroto menghadapi mereka dengan tangan kosong, namun setelah lewat tiga puluh jurus, kedua orang nenek itu mulai terdesak hebat! Hal ini adalah karena selain menggunakan keringanan tubuhnya yang hebat, yang membuat ia mampu"Berjalan"

   Di atas permukaan air mempergunakan mancung kelapa, juga Endang Patibroto mulai membalas dengan pukulan-pukulan jarak jauh, yaitu Aji Wisangnolo. Hawa pukulan Aji Wisangnolo ini demikian ampuhnya sehingga kedua orang wanita tua yang mengeroyoknya beberapa kali terdorong mundur kepanasan, bahkan ujung cambuk Sarpokenoko setiap kali bertemu dengan hawa pukulan Wisangnolo membalik dan melecut pemegangnya sendiri! Dua orang wanita itu selain kaget juga makin marah dan penasaran.

   Biarpun menjadi murid Dibyo Mamangkoro, gadis ini masih amat muda, patut menjadi cucu mereka! Masa mereka yang telah matang dalam pengalaman ini tidak mampu mengalahkannya. Tiba-tiba Ni Durgogini mengeluarkan pekik melengking nyaring, juga Ni Nogogini menjerit keras, keduanya lalu menerjang dengan nekat sambil mengerahkan tenaga. Ujung cambuk Sarpokenoko berhasil menjerat pangkal lengan kanan Endang Patibroto dengan kuat. Selagi Endang Patibroto membetot lengannya berusaha melepaskan diri, Ni Nogogini sudah menusukkan cundrik Embun-sumilir ke arah dada yang membusung itu. Endang Patibroto tentu saja melihat datangnya cundrik, namun gadis itu hanya tersenyum saja sambil menyalurkan hawa sakti ke arah dada yang tertusuk sedangkan tangan kanannya bergerak ke pinggang kiri.

   Tangan kanan ini berkelebat dan sinar hitam menyambar ke depan, kemudian secepat kilat ia membiarkan dirinya terbetot cambuk, mendekat Ni Durgogini sambil mengerahkan tenaga melakukan pukulan Wisangnolo ke arah lambung dan lengan kanan Ni Durgogini. Cepat bagaikan kilat menyambar semua gerakan ini, sukar diikuti pandangan mata dan tahu-tahu terdengar jerit dua orang nenek itu, disusul darah menyemprot keluar, tubuh Ni Nogogini terguling dan Ni Durgogini terhuyung ke belakang sedangkan cambuk Sarpokenoko sudah berpindah ke tangan Endang Patibroto. Apa yang teiah terjadi? Kiranya ketika cundrik Embun sumilir menusuk dada, terdengar suara,

   "Desss!"

   Dan yang robek hanya baju Endang Patibroto karena cundrik itu meleset ketika bertemu dengan buah dadanya seolah-olah anggauta badan gadis itu terbuat daripada baja murni! Kemudian tangan Endang yang bergerak tadi telah melepaskan panah tangan yang tak dapat dihindarkan lagi menancap tepat di ulu hati Ni Nogogini. Nenek ini menjerit, cundriknya terlempar dan ia mendekap ulu hatinya yang tidak kelihatan terluka karena panah tangan itu menancap terus sampai lenyap! Hanya semprotan darah dari ulu hati yang menyatakan bahwa nenek itu terpanah secara hebat.

   Matanya mendelik dan tubuhnya berkelojotan dalam sekarat! Gerakan selanjutnya dari gadis perkasa yang pangkal lengannya masih terlibat ujung cambuk Sarpokenoko adalah melangkah maju mendekati Ni Durgogini, kemudian langsung mengirim hantaman Wisangnolo. Diserang dari jarak begitu dekat, Ni Durgogini merasa seakan-akan ada gunung api menimpanya, ia tidak kuat menjerit dan melepaskan cambuknya, terhuyung-huyung ke belakang sampai punggungnya menabrak batang pohon. Dengan mata terbelalak penuh ngeri, Ni Durgogini melihat adiknya berkelojotan, kemudian menjadi ketakutan ketika melihat Endang Patibroto melangkah maju menghampirinya perlahan-lahan dengan mata dingin seperti es sedangkan cambuk Sarpokenoko tergoyang-goyang dan bergantung di tangannya.

   "Tidak... tidak jangan..."

   Kata Ni Durgogini dengan suara serak. Agaknya melihat nenek itu ketakutan, Endang Patibroto menjadi senang. Bibirnya tersenyum lebar dan tiba-tiba...

   "Tarrrr...!"

   Cambuk itu melejit di udara dan di lain saat ujung cambuk telah membelit leher NI Durgogini seperti lilitan buntut seekor ular.

   "Aaaah... aaauuughhh. auukkkk!"

   Ni Durgogini mengerahkan tenaga, membetot-betot cambuk itu untuk melepaskan lilitan pada lehernya yang makin mencekik, membuat ia tak dapat bernapas. Namun sia-sia usahanya, lilitan makin erat dan makin erat sehingga mata nenek itu mendelik, lidahnya terulur keluar, kemudian ia roboh bergulingan, tangan kakinya berkelojotan seperti Ni Nogogini yang juga berkelojotan! Endang Patibroto kini menjadi beringas dan buas pandang matanya. Menyaksikan kedua orang musuhnya berkelojotan, senyum puas menghias bibirnya dan matanya mengeluarkan sinar seperti mata iblis. Kemudian ia mengerahkan tenaga, menarik gagang cambuk Sarpokenoko sekuat tenaga dan...

   "Rrrrtttt!!,"

   Leher Ni Durgogini putus, membuat kepalanya terpisah dari tubuhnya! Sambil tertawa-tawa Endang Patibroto lalu mengangkat gagang cambuk, sekali cambuknya digerakkan ke udara, terdengar suara meledak dan ujung cambuk kini melecut ke bawah, menyambar leher Ni Nogogini yang tubuhnya masih berkelojotan dan sekali sabet saja leher Ni Nogogini juga putus!

   Bukan main hebatnya tenaga dan kepandaian Endang Patibroto, dan juga bukan main kejamnya jika menghadapi orang-orang yang dibencinya!. Para pangeran dan pengawal yang mengintai dari jauh kini datang berlarian ke dalam taman sari. Mereka menjadi ngeri menyaksikan mayat kedua orang nenek itu. Pangeran Panjirawit yang bijaksana cepat-cepat memberi perintah kepada para pengawal untuk membawa pergi kedua mayat nenek itu dan dia sendiri bersama para pangeran lain lalu beramai-ramai menggotong tubuh sang prabu yang masih pingsan ke dalam keraton. Ketika sang prabu sadar dari pingsannya, ia seperti orang yang baru bangun dari mimpi buruk. Dengan sabar dan hati-hati Pangeran Panjirawit lalu menceritakan tentang persekutuan itu, kemudian tentang usaha Ni Durgogini dan Ni Nogogini untuk mempengaruhi dan menguasai sang prabu.

   "Sungguh mujur bahwa Endang Patibroto datang menolong kanjeng rama dan membunuh dua orang siluman betina itu."

   Pangeran Panjirawit menutup ceritanya. Mendengar penuturan ini, sang prabu menjadi marah sekali. Ia segera memerintahkan para senopatinya untuk memimpin pasukan dan menggempur Nusabarung!.

   "Sebelum mereka turun tangan menyerbu, kita mendahului mereka menerjang ke sana dan membasmi Nusabarung!"

   Teriak sang prabu yang selain marah juga merasa malu akan kelemahannya sendiri sehingga hampir saja mencelakakan Kerajaannya. Kemudian sang prabu memanggil Endang Patibroto datang menghadap, dan setelah memberi kata-kata pujian dan memberi hadiah emas permata, sang prabu minta agar gadis perkasa ini menyertai pasukan yang menyerbu ke Nusabarung untuk menghadapi pimpinan musuh yang memiliki kesaktian.

   * * *

   Jarum hitam yang menjadi senjata rahasia Ki Jatoko ampuh dan amat berbahaya. Jarum-jarum ini sengaja dibuat oleh Ki Jatoko dengan batang berlubang sehingga ketika ia merendamnya dengan racun ular racun itu memasuki lubang dan mengering di situ. Begitu jarum itu menancap di tubuh lawan, racun yang mengering ini terkena darah lalu ikut keluar dan meracuni darah dalam tubuh.

   Karena racun di setiap jarum itu banyak sekali, maka sebatang jarum kalau mengenai tubuh orang sama bahayanya dengan gigitan tiga ekor ular berbisa! Gigitan seekor ular berbisa saja sudah cukup untuk merenggut nyawa orang, apalagi tiga ekor! Joko Wandiro telah terluka oleh sebatang jarum Ki Jatoko. Tepat di lehernya! Kalau bukan Joko Wandiro, tentu seketika akan tewas karena darahnya telah keracunan dan letaknya dekat kepala. Akan tetapi aneh sekali, mengapa ketika Endang Patibroto memeriksanya, pemuda ini tidak tewas, hanya pingsan? Betapapun saktinya pemuda itu, dalam keadaan pingsan tentu ia tidak dapat mengeluarkan kesaktiannya untuk melindungi tubuh dari serangan racun.

   Bukan, bukan kesaktiannya yang membuat pemuda ini belum tewas. Melainkan darahnya sendiri. Pemuda ini ketika dahulu berada di Pulau Sempu, setelah menyimpan patung kencana di atas pohon randu alas, telah digigit seekor ular yang sangat beracun. Dalam takut dan nyeri, ia berlari dan balas menggigit leher ular sambil menghisap darah ular sampai habis. Inilah yang membuat darah pemuda itu mengandung racun ular itu dan memberinya daya untuk menahan racun-racun ular sehingga biarpun kini ia terluka dan terkena racun, namun keadaannya tidak separah orang biasa. Racun itu tidak dapat bergerak cepat, tertahan di sekitar luka oleh racun darahnya sendiri yang kini bahkan menjadi semacam obat penawar atau penolak.

   Betapapun juga, keadaannya bukan tidak berbahaya karena daya tolak itu hanya memperlambat saja menjalarnya racun dari jarum Ki Jatoko. Joko Wandiro menggeletak pingsan di lereng Bukit Anjasmoro sampai malam tiba dan untung baginya bahwa pada saat ia pingsan itu tidak ada binatang buas yang mengetahui atau kebetulan lewat. Dalam keadaan seperti itu kalau ada seekor harimau menerkamnya, tentu ia akan mati konyol. Memang ada saja sebab atau jalan penyelamatan nyawa seseorang apabila Hyang Maha Wiscsa belum menghendaki kematian orang itu. Menjelang malam, secara tiba-tiba muncul enam bayangan orang. Bayangan-bayangan ini amat cepat gerak-geriknya. Ada yang meloncat keluar dari balik rumpun alang-alang, ada yang melayang turun dari atas pohon.

   Mereka itu bertubuh langsing dan berambut panjang. Mereka semua adalah wanita-wanita muda yang amat cekatan. Akan tetapi anehnya, gadis-gadis yang berusia antara lima belas sampai dua puluh tahun ini hampir bertelanjang bulat. Hanya daun-daun dari kembang-kembang menutupi sebagian tubuh mereka. Sebagai wanita-wanita muda belia, tentu saja wajah mereka cantik-cantik, akan tetapi kecantikan yang liar, buas, dan tidak terkekang sama sekali. Agaknya mereka ini tidak mengenal peraturan dan tata susila umum. Sampai lama mereka mengelilingi Joko Wandiro. Ada yang meraba-raba, dan ada yang menjambak rambutnya, bahkan ada yang... mencium pipinya. Persis perangai serombongan monyet betina! Akan tetapi mereka dapat bicara seperti manusia biasa, sungguhpun bahasa mereka itu kaku.

   "Matikah...?"

   "Dia tampan...!"

   "Dia terluka..."

   "Bawa ke kak Dewi!"

   "Ya, bawa ke kak Dewi."

   Setelah ramai mengutarakan perasaan dengan kata-kata singkat dan kaku, mereka lalu menggotong tubuh Joko Wandiro sambil tertawa cekikikan, lalu berlari-lari membawa pemuda itu ke dalam hutan yang lebat di lereng Gunung Anjasmoro. Ketika Joko Wandiro membuka matanya, ia menjadi terheran-heran dan mengira bahwa ia sedang bermimpi. Ia telah berbaring di atas sebuah pembaringan bambu bertilam anyaman daun pandan, di dalam sebuah pondok bambu yang sederhana namun bersih. Tubuhnya terasa sehat dan segar, akan tetapi perutnya amat lapar. yang membuat ia merasa terheran-heran dan mengira dalam mimpi adalah ketika pandang matanya melihat tubuh dua orang gadis cantik duduk bersimpuh di atas lantai.

   Dua orang gadis bertubuh montok dan setengah telanjang! Dan di luar pondok itu, masih terdapat bayangan beberapa orang gadis yang cantik-cantik dan juga setengah telanjang, menjaga di pintu. Berdebar jantung Joko Wandiro. Ia menahan diri untuk tidak bergerak, pura pura masih tidur atau pingsan, dan mulailah ia mengingat-ingat. Terbayang dalam ingatannya betapa ia bertanding melawan Endang Patibroto, bertanding dalam sebuah pertempuran dahsyat dan seru. Pertempuran paling hebat yang pernah ia alami. Alangkah digdaya Endang Patibroto. Sukar mengalahkan gadis perkasa itu. Teringat ia betapa mereka berdua mengadu tenaga sakti yang membuat mereka terpental. Pada saat itulah datangnya sinar hitam yang mengenai lehernya. Hemm, aku terkena senjata rahasia, pikirnya dan perlahan-lahan ia meraba lehernya sebelah kiri.

   Masih ada bekas luka di situ akan tetapi sudah tidak terasa sakit lagi, dan obat bubuk yang menempel pada luka sudah mengering. Ah, tentu aku roboh oleh senjata rahasia yang kecil. Pantasnya jarum. Hampir saja Joko Wandiro meloncat namun ditahannya. Teringat ia sekarang. Jarum itu menyerangnya dari sebelah kiri, sedangkan Endang Patibroto jelas berada di depan. Jarum itu bukan dilepas oleh Endang Patibroto. Tentu oleh Ki Jatoko! Si buntung keparat itu! Dengan jarum-jarum yang direndam racun ular. Tidak salah lagi. Dan dia roboh pingsan. Akan tetapi kenapa ia masih hidup? Kenapa Ki Jatoko dan Endang Patibroto tidak membunuhnya? Ataukah mereka mengira dia sudah pasti mati karena jarum itu? Dengan hati-hati Joko Wandiro meraba-raba lehernya. Kenapa ia tidak mati?

   Ia tahu bahwa jarum yang direndam racun ular itu luar biasa ampuhnya. Kalau ia tidak pingsan, mungkin ia dapat menggunakan hawa sakti untuk memaksa racun keluar. Akan tetapi ia roboh pingsan, entah berapa lamanya. Kenapa ia masih belum mati dan lebih aneh lagi, kenapa ia berada dalam pondok dan di situ banyak terdapat gadis cantik setengah telanjang tak tahu malu? Diam-diam ia membuka mata dan mengeriing ke arah dua orang gadis yang bersimpuh di atas lantai itu. Usia mereka paling banyak delapan belas tahun. Melihat kulit yang putih bersih itu, rambut yang hitam panjang mengkilap, gadis-gadis ini merawat baik-baik tubuh mereka. Akan tetapi mereka hampir telanjang, hanya menutupi bagian tubuh terpenting dengan daun-daun dan rumput hijau saja, namun tidak cukup untuk menutupi tubuh yang berkulit kuning langsat Itu.

   Joko Wandiro tak berani memandang terlalu lama. Gadis-gadis ini, juga yang tampak berdiri di luar itu, jelas adalah orang-orang liar dan tentu bukan orang baik-baik. Mungkin sekali mereka ini anak buah Ki Jatoko. Endang Patibroto sudah jelas adalah kepala Pengawal Kerajaan Jenggala, akan tetapi keadaan Ki Jatoko amat mencurigakan. Orang itu penuh rahasia dan tidak mustahil gadis-gadis ini menjadi anak buahnya, dan dia dijadikan tawanan di tempat ini! Berpikir demikian, seketika Joko Wandiro melompat turun. Akan tetapi sebelum ia dapat keluar, tiba-tiba dua orang gadis itu dengan gerakan cepat sekali telah menubruknya dari kanan kiri dan merangkulnya sambil tertawa-tawa, memaksanya rebah kembali di atas pembaringan.

   "Hi-hik, si tampan sudah bangun...!"

   "Kau tak boleh bergerak, tunggu kak Dewi...!"

   Melihat betapa mereka itu merangkul dan memeluknya begitu saja tanpa malu-malu dan tanpa memperhatikan batas kesusilaan, Joko Wandiro menjadi makin geli hatinya dan tak terasa lagi bulu tengkuknya meremang. Gadis-gadis macam apakah mereka ini? Cepat ia menggunakan tenaganya, menggoyang tubuh dan dua orang gadis itu terlepas dan terpelanting ke kanan kiri, akan tetapi tidaklah terlalu keras karena memang Joko Wandiro tidak tega untuk menyakiti wanita-wanita ini yang belum ia ketahui siapa adanya. Begitu tubuhnya terlepas, ia lalu melompat keluar? kemudian lari menerobos pintu depan.

   "Si tampan lari...!"

   "Tangkap dia...!"

   Jeritan-jeritan ini membuat gadis-gadis yang berada di luar menjadi kaget. Akan tetapi begitu mereka membalikkan tubuh, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Joko Wandiro telah berkelebat keluar dari dalam pondok.

   Segera terdengar jeritan-jeritan nyaring di sana-sini, disusul suitan-suitan merdu seperti orang bernyanyi. Ke mana pun Joko Wandiro lari, di depannya terdengar suitan-suitan dan jeritan sehingga ia membalik dan akhirnya ia kebingungan sendiri dan tanpa ia sadari, di bawah pohon-pohon cempaka yang bunganya berwarna-warni, ada yang putih, merah, ungu, kebiruan, berdiri empat orang gadis yang sudah menantinya dengan tersenyum-senyum. Mereka ini lebih cantik daripada para penjaga tadi, usia mereka sekitar dua puluh tahun. Daun-daun yang menutupi tubuh merekapun lebih teratur, menutupi sekitar dada dan sekeliling pangkal paha. Agaknya mereka sudah tahu bahwa pemuda ini tentu akan lari kembali ke tempat ini, maka tadi mereka tidak ikut mengejar seperti wanita-waita lain. Joko Wandiro memandang ke sekelilingnya.

   Dari tempat-tempat persembunyian di antara pohon dan kembang, kini bermunculan gadis-gadis dari empat penjuru yang segera mengurungnya dari tempat jauh dan masing-masing kini telah memegang sebatang bambu runcing! Jadi dia bersama empat orang gadis cantik yang menghadapinya kini telah terkurung, dipagar betis! Terpaksa Joko Wandiro kini mencurahkan perhatiannya kepada empat orang gadis di depannya dengan hati terheran-heran karena ia menaksir bahwa gadis-gadis yang mengurungnya dari jauh itu jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang! Ia melihat betapa gadis-gadis ini berwajah manis-manis, namun pandang mata mereka liar dan galak, sungguhpun bibir mereka. tersenyum manis. Teringat ia akan wajah Endang Patibroto. Kalau Endang Patibroto menjadi kepala barisan wanita ini, amat tepatlah!

   "Kalian ini siapakah dan mengapa menahanku dalam pondok itu?"

   Akhirnya ia bertanya. Ia kini dapat menduga bahwa empat orang gadis ini tentulah merupakan pimpinan mereka karena hanya mereka berempat yang kini menghadapinya, sedangkan yang lain berdiri mengurung dari tempat jauh. Empat orang gadis itu saling pandang kemudian tertawa terkekeh sehingga tampak barisan gigi putih bersih di balik bibir merah. Mereka itu tertawa bebas, tidak ditutup-tutupi lagi. Mulut yang kecil itu terbuka memperlihatkan rongga mulut yang gelap dan kemerahan. Joko Wandiro hanya memandang mereka berganti-ganti, hatinya makin tidak enak.

   "Namaku Lasmi!"

   Kata gadis yang rambutnya paling panjang dan bulu matanya lentik melengkung.

   "Aku Mini...!"

   Gadis yang matanya lebar terkekeh lucu

   "Namaku Sari...!"

   Kata yang punya lesung pipit di kedua ujung mulutnya.

   "Aku Sundari!"

   Kata yang bertahi lalat di pipi kiri.

   "Engkau tidak boleh pergi dari sini, demikian pesan kak Dewi,"

   Kata Lasmi. Joko Wandiro mengerutkan keningnya.

   "Apa salahku maka aku ditahan di sini? Kuharap kalian tidak menggangguku, karena aku mempunyai urusan penting sekali dan harus pergi sekarang juga."

   Ia teringat akan Ayu Candra dan ingin cepat-cepat pergi mencari adiknya itu.

   "Tanpa perkenan kak Dewi, kau tidak boleh pergi dari sini,"

   Kata Mini sambil mendekat dengan lenggang-lenggok genit.

   "Hemrn, kalau aku memaksa pergi?"

   "Hi-hikl Memaksa pergi? Boleh kau coba, bocah bagus!"

   Kata Sari sambil mengembangkan kedua lengannya sehingga tampak di balik daun-daun itu betapa tubuhnya yang memiliki lekuk lengkung sempurna itu bergerak-gerak. Joko Wandiro meramkan matanya. Ia tidak percaya kepada pertahanan hatinya sendiri kalau harus terlalu lama menghadapi gadis-gadis cantik ini.

   "Aku tidak mempunyai permusuhan dengan kalian, tidak mengenal kalian. Aku berterima kasih atas pengobatan pada luka di leherku, siapapun dia yang telah mengobatiku. Akan tetapi aku harus pergi, sekarang juga. Harap maafkan!"

   Setelah berkata demikian, ia menggunakan ilmunya dan tubuhnya hendak meloncat secepatnya meninggalkan mereka. Akan tetapi tiba-tiba berkesiur angin dan tampak bayangan-bayangan yang langsing berkelebat dan empat orang gadis itu kini telah mengurungnya dengan gerakan yang amat cepat! Joko Wandiro terkejut juga. Kiranya empat orang ini memiliki ilmu gerak cepat yang tak boleh dipandang ringan.

   "Aku tidak ingin bertempur dengan kalian empat orang gadis!"

   Ia berseru kehabisan kesabaran dan juga bingung karena mereka berempat itu kesemuanya tersenyum dan sukar ditentukan siapa di antara mereka yang paling manis.

   "Harap jangan menghalangi!"

   (Lanjut ke Jilid 33)

   Badai Laut Selatan (Seri ke 03 "

   Serial Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 33

   Ia melangkah maju, akan tetapi tiba-tiba Lasmi telah menyerangnya dengan cengkeraman ke arah perut. Jari-jari tangan yang halus kecil dengan kuku meruncing itu ketika mencengkeram mendatangkan angin sehingga Joko Wandiro cepat mengelak dan diam-diam mengeluh. Akan tetapi kini empat orang gadis itu telah maju mengeroyoknya dengan serangan-serangan cukup dahsyat. Mereka itu memukul, menendang, mencengkeram dan ada yang berusaha merangkul dan memeluknya!

   Tentu saja Joko Wandiro menjadi repot sekah. la maklum bahwa kepandaian mereka ini masih jauh kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaiannya, akan tetapi untuk mengalahkan mereka, agaknya ia harus merobohkan mereka, dan hal ini ia tidak menghendaki. Andaikata ia sanggup merobohkan mereka tanpa melukai berat, ia masih harus menghadapi pengeroyokan dua puluh lebih gadis-gadis penjaga yang mengurungnya dengan bambu runcing di tangan! Karena ia menghadapi pengeroyokan mereka dengan elakan dan tangkisan saja, sedangkan pikirannya masih bingung, tiba-tiba ia tidak dapat mengelak lagi ketika dua lengan yang halus dari Sundari telah memeluk pinggangnya dengan kekuatan yang tak tersangka-sangka. Kedua lengan itu kecil dan halus kulitnya, namun di balik kulit halus itu ternyata bersembunyi tenaga dalam yang hebat!

   "Bocah bagus, engkau hendak lari ke mana? Hi-hik!"

   Sundari mempererat rangkulannya pada pinggang sambil terkekeh genit. Sementara itu, sepasang lengan tangan Lasmi yang tidak kalah halusnya sudah meluncur seperti dua ekor ular hendak merangkul leher Joko Wandiro!

   "Celaka...!"

   Joko Wandiro bergidik ketika merasa betapa kedua Iengan yang halus itu menyentuh kulit perutnya dan betapa muka yang hangat menempel ketat di punggungnya. Kalau sampai kedua Iengan Lasmi berhasil merangkul lehernya, ia takkan dapat melepaskan diri tanpa menggunakan kekerasan lagi! Cepat ia menyalurkan tenaga pada pinggangnya dan sekali ia menggerakkan pinggul, Sundari menjerit dan pelukannya terlepas. Pada saat itu, Joko Wandiro sudah berhasil menangkis lengan halus Lasmi yang hendak merangkul lehernya. Melihat temannya terpelanting, Lasmi marah sekali dan dengan jerit seperti seekor kijang betina, ia sudah menyerangkan jari-jari tangan kanan yang berkuku runcing ke arah muka Joko Wandiro, sedangkan Sundari yang tadi terpelanting sudah melompat bangun lagi, menerjang dari belakang. Mini dan Sari juga maju merangsang dari belakang.

   "Kalian sungguh terlalu Jangan salahkan aku kalau terpaksa aku berlaku kasar"

   Joko Wandiro berseru dan kini mengembangkan jari tangannya dan siap membalas mereka dengan tamparan yang kiranya cukup membuat mereka terpelanting dan tak berani menyerangnya lagi. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara wanita yang halus merdu namun nyaring berwibawa,

   "Adik-adikku yang manis, mundurlah kalian berempat!"

   Mendengar suara memerintah ini, Lasmi, Mini, Sari dan Sundari cepat melompat keluar dari gelanggang pertempuran, lalu berlari menghampiri wanita yang baru datang ini, berdiri di belakangnya dengan sinar mata berkilat-kilat menatap Joko Wandiro. Pemuda inipun sudah menghentikan gerakannya dan kini berdiri memandang wanita yang baru datang. Joko Wandiro kagum. Wanita ini sukar ditaksir berapa usianya, namun pasti tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun. Wajahnya bundar seperti bulan purnama, sepasang matanya lebar jernih dan bersinar-sinar penuh gairah hidup, dilindungi bulu mata yang panjang melengkung dan alis yang hitam panjang. Entah mana yang lebih menarik antara mata dan mulutnya. Mulut itu sungguh manis, dengan bibir merah basah yang selalu tersenyum, tampak membayang di balik bibir merah itu kilatan gigi putih.

   Tubuhnya padat montok, dengan dada membusung dan menantang, kulitnya putih bersih sukar dicari cacadnya. Biarpun gadis ini juga hanya menutup tubuh dengan daun-daun dan bunga-bunga, namun dandanannya lebih indah dan lebih teratur daripada empat orang gadis yang mengeroyoknya tadi. Daun-daun itu diatur rapi sekeliling dada dan pinggulnya, bagian atas dihias bunga-bunga mawar yang segar. Teringatlah Joko Wandiro akan nama Dewi yang disebut berkali-kali oleh gadis-gadis tadi. Inikah dia yang mereka sebut kak Dewi? Kalau benar demikian, memang tidak berlebihan nama itu. Gadis ini mirip seorang dewi kahyangan, sungguhpun pakaiannya adalah pakaian orang liar. Karena dapat menduga bahwa tentu gadis ini yang menjadi pemimpin barisan wanita itu, Joko Wandiro lalu membungkuk dan menundukkan kepala kepadanya, kemudian berkata,

   "Harap dimaafkan kalau saya telah menimbulkan kekacauan di sini."

   Gadis itu memperlebar senyumnya dan ketika Joko Wandiro memandangnya, dua pasang mata bertemu dan bertaut sejenak. Kemudian gadis itu menggelengkan kepala berkata,

   "Sungguh tak kusangka, muda remaja yang tampan, halus, dan sakti seperti ini kiranya hanya seorang yang tak kenal budi. Hemmmm!"

   Joko Wandiro terkejut. Memang tadi ia terburu nafsu menyangka yang tidak baik kepada para gadis itu, lalu memaksa hendak pergi. Kini ia menduga lain. Agaknya mereka itu yang menolongnya sehingga tidak sampai tewas di tangan Endang Patibroto dan Ki Jatoko, lalu menolongnya dan membawanya ke sini, merawat dan mengobatinya. Kalau demikian halnya, memang benar lakunya tadi tidak betul dan kelihatan seperti seorang kurang penerima! Cepat-cepat ia berkata,

   "Aku tidak tahu Apa yang telah terjadi. Tahu-tahu aku berada di sini dan ketika hendak pergi, mereka ini... eh... mencegah... sehingga timbul salah faham. Harap kau suka memberi penjelasan, siapakah kalian dan bagaimana aku bias berada di sini?"

   "Namaku Dewi. Bersama adik-adikku seperguruan Lasmi, Mini, Sari dan Sundari ini, kami yang memimpin kawan-kawan kami dan hidup aman tenteram di Gunung Anjasmoro sini. Ketika aku melihat betapa engkau terkena jarurn beracun, kusuruh anak buahku untuk membawamu ke sini dan rnengobatimu. Siapakah namamu?"

   Joko Wandiro makin kaget. Benar dugaannya. Ia telah dirobohkan lawan secara menggelap dan agaknya tentu akan binasa kalau tidak ditoiong oleh gadis-gadis ini. Dan tadi ia sudah hendak menggunakan kekerasan untuk melawan mereka dan melarikan diri! Sungguh tidak mengenal budi! Ia menundukkan mukanya dan memperkenalkan diri.

   "Namaku Joko Wandiro. Aku berhutang budi dan nyawa kepada kalian, tak tahu bagaimana akan dapat membalas budi ini."

   Dewi tersenyum manis sekali dan mengulur tangan memegang Iengan pemuda itu, menariknya sambil berkata halus,

   "Joko Wandiro, mari kita ke pondok dan di sana kita dapat bicara dengan leluasa. Aku akan menceritakan kepadamu tentang keadaan kami."

   Jantung pemuda itu berdebat kencang. Biarpun gerak-geriknya lebih halus, namun Dewi yang menjadi kepala sekalian wanita ini memiliki kebebasan yang luar biasa dan tangan yang menggandengnya itu halus dan lemas, hangat dan mesra.

   Bagaimanakah seorang gadis yang baru bertemu satu kali sudah berani menggandeng tangan seorang pria dan bersikap semesra ini? Namun, mengingat bahwa ia telah berhutang budi, ia mengikuti gadis itu tanpa membantah. Ketika ia mengeriing, ia melihat bahwa hanya empat orang gadis yang tadi mengeroyoknya itu yang mengikuti mereka sambil tersenyum-senyum manis, adapun wanita-wanita yang merupakan barisan mengepung tadi tampak bubar sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa. Setelah Joko Wandiro dipersilahkan duduk di atas amben bambu yang menjadi tempat tidurnya tadi dan lima orang gadis itu duduk pula mengelilinginya, Dewi mulai bercerita.

   "Joko Wandiro, biarpun engkau bertemu dengan aku sebagai seorang gadis gunung, akan tetapi sesungguhnya di dalam tubuhku masih mengalir darah keluarga Kerajaan Wengker. Permaisuri paman Prabu Boko di Kerajaan Wengker adalah bibiku, adik dari ayahku."

   Mendengar ini, Joko Wandiro tercengang dan menatap lebih tajam kepada gadis yang duduk di depannya itu. Melihat pandang mata pemuda ini, Dewi tersenyum dan menangkap jari-jari tangan kanan Joko Wandiro, terus digenggamnya, tak dilepaskannya lagi. Joko Wandiro tidak berusaha menarik tangannya, khawatir kalau menyinggung perasaan orang. Untuk menguasai jantungnya yang berdebar tidak keruan itu ia bertanya,

   "Aku hanya mendengar cerita bahwa Kerajaan Wengker dihancurkan oleh pasukan Mataram di bawah pimpinan mendiang Sang Prabu Airlangga. Bagaimana engkau bias berada di gunung ini?"

   Dewi mengerutkan alisnya yang hitam kecil dan panjang. Mulut yang bentuknya manis dengan bibir merah basah itu agak merengut, seakan-akan pertanyaan ini mengingatkan ia akan hal-hal yang mengesalkan hatinya. Kemudian ia mengangkat muka memandang Joko Wandiro kembali dan wajahnya berseri, kemurungannya lenyap. Sambil mengelus-elus tangan Joko Wandiro, ia lalu berkata,

   "Ayahku bernama Pangeran Mamangkurdo, kakak dari bibi Mamangsari yang menjadi permaisuri paman Prabu Boko. Ketika barisan dari Mataram menghancurkan Kerajaan Wengker, ayah berhasil menyelamatkan diri sambil mendukung aku yang masih kecil, baru berusia dua bulan."

   Ia menghela napas panjang. Joko Wandiro memandang penuh perhatian. Kerajaan Wengker merupakan Kerajaan yang paling sukar ditundukkan oleh Sang Prabu Airlangga dan setelah Wengker ditaklukkan, barulah perang berhenti. Kalau gadis ini berusia dua bulan ketika Wengker jatuh, agaknya gadis ini satu dua tahun lebih tua daripadanya.

   "Ayah harus berpindah-pindah tempat untuk menyembunyikan diri. Bertahun-tahun aku diajak menjadi orang buronan dan setelah aku berusia lima belas tahun, ayah meninggal dunia di Anjasmoro ini. Empat orang adik-adikku ini adalah murid ayah yang juga menjadi adik-adik angkatku. Karena selama ini ayah selalu mencurigai orang lain, maka ayah tidak mau mempergunakan pria untuk menjadi pelayan atau anak buahnya. Dipilihnya wanita-wanita yang hidup sendiri, dilatih dan dibentuknya barisan wanita. Kebiasaan itu kulanjutkan sampai sekarang. Bahkan setiap kali ada laki-laki berani memasuki wilayah kami, tentu dia kami bunuh seketika!"

   Joko Wandiro terkejut.

   "Mengapa begitu?"

   Wajah yang manis itu mengeras.

   "Kami tidak memperbolehkan laki-laki mendekat, karena mereka itu hanya akan mendatangkan malapetaka! Kalau sampai seorang di antara anak buahku terpikat dan pergi bersama seorang pria, bukankah keadaan kami bukan rahasia lagi dan persembunyian kami akan ketahuan sehingga fihak musuh akan dapat mengirim pasukan untuk membasmi kami?"

   "Ah, engkau dikejar-kejar kekhawatiranmu sendiri, Dewi. Agaknya karena semenjak bayi engkau dibawa sebagai buronan oleh mendiang ayahmu, jiwamu sudah tercekam rasa takut ketahuan tempat sembunyimu. Apakah engkau tidak tahu bahwa keadaan sudah berubah sama sekali? Tidak seorangpun kini teringat akan keturunan Kerajaan Wengker. Tidak ada yang akan mengejar-ngejarmu. Karena itu, tidak baik kalau kau membunuhi orang yang memasuki wilayah ini."

   "Hemm, betapapun juga, ayah dahulu berpesan supaya kami berhati-hati menghadapi setiap orang pria, karena laki-laki adalah mahluk yang paling jahat dan berbahaya. Karena itu, entah sudah berapa puluh orang laki-laki yang kami bunuh ketika mereka lewat daerah ini."

   Joko Wandiro menjadi tak senang hatinya mendengar kekejaman ini. Alisnya yang tebal berkerut dan ia bertanya sengat ketus,

   "Kalau begitu, mengapa engkau malah menolong aku dan tidak membunuhku? Bukankah aku juga laki-laki?"

   Dewi tersenyum, empat orang adiknya ikut pula tertawa.

   "Pertanyaan inilah yang membuat kami terlambat menolongmu, Joko Wandiro. Ketika engkau bertanding melawan wanita sakti itu, kami diam-diam menonton dan kagum. Menurut kebiasaan, tentu kami sudah turun tangan membantu wanita itu membunuhmu. Akan tetapi... eh... kami ragu-ragu, berdebat, berunding, bersitegang antara kami berlima, kemudian mengambil keputusan. Akan tetapi sayang terlambat, engkau sudah dirobohkan laki-laki buntung yang curang."

   "Ki Jatoko...! Sudah kuduga!"

   Tanpa disadarinya Joko Wandiro berseru, kemudian ia teringat akan penuturan tadi lalu cepat bertanya,"Keputusan Apa yang kau ambil sehingga kalian tidak membunuhku?"

   Tiba-tiba wajah yang ayu itu menjadi merah sekali, sedangkan yang empat lain terkekeh-kekeh genit.

   "Joko Wandiro, ketika ayah hendak mangkat, ayah berpesan agar aku berhati-hati menghadapi pria dan bila berjumpa, lebih baik membunuhnya. Kecuali... begitu pesan ayah, kecuali... jika aku bertemu dengan pria yang mencocoki hati, yang dapat kujadikan sandaran hidup, yang patut kuserahi badan dan nyawa, dan melihat engkau... aku... aku dan adik-adikku. eh..."

   Dewi menjadi gagap, kemudian tanpa peringatan terlebih dahulu ia sudah maju merangkul dan mengambung pipi Joko Wandiro!. Joko Wandiro terkejut bukan main, mukanya terasa panas dan jantungnya seperti hendak melompat keluar dari rongga dada. Selagi ia hendak memprotes, tiba-tiba tubuhnya menggigil dan bulu kuduknya meremang semua karena empat orang gadis yang merubungnya ltupun merangkul dan menciuminya, di kepala, di leher, di bahu dan Iengan!.

   "Eiit... eiittt... eiiittt... nanti dulu...!"

   Ia meronta dan melompat turun dari atas pembaringan. Keringatnya membasahi leher dan dahi, keringat dingin yang keluar karena kaget dan bingungnya. Akan tetapi, Dewi dan empat orang adiknya juga melompat turun dengan gerakan sigap sekali, serta-merta mereka berlima menjatuhkan diri di depan kaki Joko Wandiro, berlutut dan menyembah-nyembah!

   "Kami berlima menghambakan diri kepadamu dan bersumpah setia sampai mati. Bukan hanya kami berlima, juga tiga puluh orang anak buah kami bersetia kepadamu, Joko Wandiro, siap untuk membela dengan pengorbanan apapun juga."

   Setelah berkata demikian, tiba-tiba Dewi mengeluarkan jeritan tiga kali, dan membuka pintu pondok, kemudian mereka berlima beramai-ramai menarik kedua tangan Joko Wandiro keluar pondok. Pemuda ini terpaksa melangkah keluar dan ia tertegun memandang ke depan. Tiga puluh orang wanita yang pakaiannya hanya daun-daunan akan tetapi yang kesemuanya membawa bamboo runcing, telah berada di situ dan kini serentak mereka itu menjatuhkan diri berlutut di depannya, menundukkan kepala dan menyembah! Ia maklum bahwa jeritan Dewi tadi merupakan komando untuk berkumpul. Akan tetapi ia masih beium mengerti Apa kehendak Dewi dengan mengumpulkan anak buahnya ini. Selagi ia berdiri bingung, Dewi dan empat orang adiknya kembali sudah menjatuhkan diri berlutut di depannya dan terdengar suara merdu namun lantang,

   "Kami telah bersepakat untuk mengabdi kepadamu, Joko Wandiro, dan kami berikut anak buah kami bersumpah untuk bersetia sampai mati kepadamu. Engkaulah pria pilihan kami seperti yang dipesankan oleh mendiang ayahku."

   Joko Wandiro berdiri bengong. Tertegun ia memandang tiga puluh lima buah kepala yang berambut hitam halus itu menunduk di depannya dan diam-diam ia menyesali nasibnya yang serba aneh dan ruwet. Cinta kasihnya telah tercurahkan seluruhnya kepada Ayu Candra yang ternyata adalah adik kandungnya sendiri yang tak mungkin menjadi kekasihnya, tak mungkin menjadi jodohnya. Kemudian oleh ayah angkat atau gurunya, ia dijodohkan dengan Endang Patibroto, gadis ganas liar dan pembunuh ibu kandungnya, sehingga jelas tak mungkin pula ia mengawini pembunuh ibu kandungnya sendiri. Dapat ia mengekang diri dan tidak menaruh dendam, akan tetapi akan terlalu durhakalah ia kalau ia menikah dengan gadis yang menjadi pembunuh ibu kandungnya! Kemudian ia bertemu dengan Mayagaluh.

   Gadis seperti puteri yang baik budi itu kiranya akan mudah menjatuhkan hatinya, akan tetapi kemudian ternyata olehnya betapa sang puteri telah mempunyai seorang kekasih, yaitu Pangeran Darmokusumo. Dan sekarang, dengan tak tersangka-sangka sama sekali, Dewi menyatakan pasrah jiwa raga kepadanya, hendak mengabdi dan menjadi isterinya, bukan sendirian, melainkan bersama empat orang adik seperguruannya, lima orang dara yang perkasa dan muda belia cantik jelita, masih ditambah lampiran tiga puluh orang wanita cantik-cantik lagi!. Kembali matanya menyapu ke arah tiga puluh lima orang wanita itu. Ia bergidik. Sekaligus dihadiahi tiga puluh lima orang wanita cantik, benar-benar amat terlalu banyak!.

   "Ti... tidak... tak mungkin ini...! Dewi, aku sendiri seorang sebatangkara, seorang jaka lola yang hidup sengsara dan miskin. Mana mungkin kalian menghambakan diri kepada orang seperti aku ini? Tidak, bangkitlah dan jangan bertindak yang bukan-bukan. Sudah terlalu banyak budi yang kau lepaskan untukku."

   Dewi melompat bangun diturut oleh empat orang adiknya. Ketika Joko Wandiro memandang, ia tercengang karena lima orang gadis cantik itu mengalirkan air mata di sepanjang kedua pipi mereka!

   "Mengapa kau menolak? Apakah kami... tidak cukup berharga bagimu?"

   "Bukan! Bukan begitu, bahkan sebaliknya. Kalian terlampau merendahkan diri. Akulah yang sama sekali tidak berharga, jangankan menerima penghambaan kalian semua, menerima penghambaan seorang di antara kalianpun sudah tidak pantas. Aku seorang miskin dan..."

   "Joko Wandiro, kami tidak membutuhkan apa-apa, bahkan kalau kau menghendaki sesuatu, kau katakan saja. Kami pasti akan dapat menyediakan untukmu. Kami mengangkatmu menjadi kepala yang memimpin kami semua di tempat ini, dan perintahlah saja, kami akan melakukan segala perintahmu. Biar harus menyerbu lautan api, kami takkan undur setapakpun."

   Wajah Joko Wandiro menjadi muram. Ia terharu dan karenanya menjadi sedih. Dengan suara sungguh-sungguh ia berkata,

   "Dewi, tenangkanlah perasaanmu dan pikirlah masak-masak. Aku ini seorang yang tak berharga dan sama sekali aku tak pernah melakukan sesuatu untuk kalian. Mengapa kini kalian hendak membalas dengan melimpahkan budi yang membuat aku menjadi tidak enak saja? Bahkan sebaliknya kau lah, Dewi, yang sudah menyelamatkan nyawaku sehingga sebenarnya akulah yang harus membalas budi. Kalau saja lain hal yang kau minta untuk membalas budimu, tentu akan kulaksanakan. Akan tetapi permintaanmu itu sungguh hal yang tak mungkin kulakukan dan..."

   "Joko Wandiro! Dengar, kami sudah berjanji kepada mendiang ayah untuk membunuh setiap orang pria yang memasuki wilayah ini, tentu saja ada kecualinya, yaitu pria yang dapat kami angkat sebagai kepala. kau menjadi pilihan kami dan kalau engkau menolak, tidak ada lain jalan lagi bagi kami kecuali membunuhmu atau terbasmi habis oleh tanganmu!"

   

Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Maling Budiman Pedang Perak Karya Kho Ping Hoo Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini