Ceritasilat Novel Online

Badai Laut Selatan 38


Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Bagian 38



"Endang.... betul-betulkah kau berniat membunuh aku...??"

   Suara Ki Jatoko gemetar dan nadanya menimbulkan iba.

   "Betul! Mengapa tidak"

   Bentak Endang Patibroto, kedua tangannya sudah menegang, siap mengirim pukulan maut.

   "Tidak.... tidak! Jangan bunuh aku, aku tidak mau melawanmu. Jangan kau bunuh aku, anakku.... jangan!"

   "Wuuuuttt"!!"

   Pukulan ini merupakan tamparan yang hebat sekali, akan tetapi untung bagi Ki Jatoko bahwa ia sudah siap dan cepat-cepat ia menggulingkan tubuh di atas tanah terus menggelinding menjauhkan diri. Endang Patibroto dengan langkah ringan mengejar.

   "Hayo bangun! Pengecut menjijikkan! Hayo bangun dan pergunakan kepandaianmu. Bukankah kau laki-laki? Hayo kau lawan aku!"

   'Tidak! Tidak bisa kau membunuh aku, Endang Patibroto!"

   "Mengapa tidak?"

   "Lupakah kau akan ceritaku, akan pembukaan rahasia besar dalam kehidupanmu? Ceritaku belum habis, kau ingatkah?"

   Berubah wajah Endang Patibroto, keningnya yang bagus bentuknya itu berkerut-kerut, matanya menyinarkan kebimbangan hatinya dan mata itu menjadi basah. Cerita itu mengguncangkan hatinya. Dia bukan puteri Pujo? Ayah kandungnya Jokowanengpati yang telah dibunuh ibunya dan isteri muda Pujo?

   "Andaikata benar dongengmu itu, tetap tidak ada hubungannya dengan kau. Justeru karena kau menceritakan dongeng busuk kepadaku, kemudian menjebakku bersama Bhagawan Kundilomuko, maka sekarang kau akan kubunuh?"

   Kembali Endang Patibroto menerjang dengan tamparan tangannya yang ampuh. Dua kali ia menampar, sekali kena dielakkan oleh Ki Jatoko, yang kedua kali ditangkis, membuat tubuh si buntung kembali jungkir balik dan roboh. Sebelum Endang Patibroto mengirim pukulan terakhir, Ki Jatoko berteriak,

   "Jangan bunuh aku! Aku... aku ayahmu! Aku ayah kandungmu, karena akulah Jokowanengpati!"

   Tangan yang sudah diangkat ke atas dan sudah menegang penuh tenaga sakti itu, tertahan, menggigil kemudian menjadi lemas dan turun kembali. Sepasang mata itu memandang wajah Ki Jatoko, terbelalak dan kosong, bergerak-gerak bingung, hidungnya kembang-kempis, bibir yang tersenyum dingin kini tertarik seperti orang menderita nyeri yang hebat.

   "Kau bohong.... kau.... kau bohong.... kuhancurkan kepalamu..."

   "Boleh. kau pukullah, kau bunuhlah, akan tetapi ingat, aku benar-benar ayah kandungmu. Aku Jokowanengpati dan kau ini anakku, karena dahulu akulah kekasih ibumu, Kartikosari!"

   Kini suara Ki Jatoko tenang, hilang rasa takutnya karena ia sudah mempunyai pegangan. Pegangan yang menguatkan hatinya, yang menimbulkan keyakinannya bahwa hanya inilah jalan keluar dari bahaya maut di tangan gadis sakti ini.

   "Bohong! Tak mungkin ibu sudi dengan manusia buruk macam engkau! kau bukan Jokowanengpati karena orang itu sudah tewas di tangan ibuku"

   "Ha-ha-ha! Memang mereka mengira aku telah tewas. Memang, ibumu bersama Roro Luhito mengeroyokku di pantai Laut Selatan. Aku terpelanting dan terjatuh ke dalam lautan. Ibumu dan Roro Luhito tak dapat mengejarku. Akan tetapi malang bagiku, seekor ikan hiu besar menyergap dan menyeretku. Biarpun aku berhasil membunuh ikan itu, akan tetapi kedua Kakiku menjadi buntung, tubuhku menjadi cacat dan mukaku rusak. Mereka tentu mengira aku mati karena melihat aku diseret ikan. kau tanyalah ibumu. Biarpun aku sudah menjadi begini, ibumu tentu akan mengenal aku. Ha ha-ha, karena aku kekasihnya dahulu, aku ayahmu. Ha-haha!"

   Ki Jatoko tertawa bergelak ketika melihat betapa Endang Patibroto terhuyung ke belakang seperti disambar petir. Dialah yang kini melangkah maju dan menantang,

   "Endang Patibroto, kau anakku, karena itu mana mungkin aku berniat buruk dan jahat terhadap dirimu? Tidak, anakku, sama sekali tidak. Kalau kau tidak percaya dan membunuhku, silahkan. Ini kepalaku, pukullah. Ini dadaku, tusuklah, aku takkan melawan anak kandungku sendiri!"

   "Diam! Cukup!!"

   Endang Patibroto menyumbat kedua telinga dengan jari telunjuknya, matanya dipejamkan. Ki Jatoko tertawa bergelak dan baru berhenti ketika gadis itu membuka matanya.

   "Dahulu aku tampan sekali, anakku. Tak usah kau malu, karena dahulu aku jadi seorang laki-laki yang dijadikan rebutan kau m wanita! kau tanyakan saja kepada ibumu. Wajahmu mirip dengan wajahku ketika itu dan..."

   "Cukup! Diam kau dan mari kau ikut bersamaku!"

   "Ikut? Ke mana...?"

   Akan tetapi Ki Jatoko tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba Endang Patibroto sudah menyambar tangannya dan menyeretnya dengan berlari cepat sekali. Ki Jatoko tak berdaya meronta, terpaksa iapun mengerahkan kepandaiannya untuk berlari cepat kalau tidak mau terseret-seret oleh gadis yang hebat ini. Hatinya mulai berdebar, akan tetapi ia mengandalkan kecerdikannya. Dengan akalnya, kali inipun ia terbebas daripada maut yang mengerikan di tangan Endang Patibroto. Karena itu, ia tidak mau bicara lagi hanya ikut lari, menyerahkan diri kepada nasib dan kecerdikannya. Perang kecil yang terjadi di pertapaan Durgaloka berlangsung semalam suntuk dan amat serunya.

   Biarpun Dewi dan teman-temannya merupakan wanita-wanita terlatih dan rata-rata memilih ketangkasan, namun karena jumlah mereka kalah banyak sehingga setiap orang harus melayani pengeroyokan dua orang, bahkan Dewi dan adik-adiknya berlima dikeroyok oleh belasan orang, maka mereka menemui tanding yang berat dan banyaklah korban yang jatuh di antara kedua fihak. Joko Wandiro maklum akan hal ini. Akan tetapi ia hanya tega merobohkan para pengeroyok laki-laki saja karena ia merasa ragu-ragu kalau harus membunuh gadis-gadis yang mengeroyoknya. Baru setelah ia mendengar jerit Dewi menyebut namanya, la terkejut dan cepat kaki tangannya bekerja merobohkan para pengeroyoknya. Hanya dengan membuka jalan darah, merobohkan belasan orang di sebelah kiri, ia dapat lolos dari kepungan.

   Sambil menyerang kanan kiri dan depan, ia maju terus menuju ke arah suara panggilan Dewi. Betapa sedih hatinya ketika melihat bahwa anak buah Dewi banyak yang roboh tewas. Pertempuran tinggal beberapa kelompok dan yang terbanyak adalah mereka yang mengeroyoknya. Kini Joko Wandiro menjadi marah. Apalagi ketika ia menemukan Dewi rebah telentang dengan tombak menancap di lambungnya, Joko Wandiro mengeluarkan pekik dahsyat dan mengamuk seperti seekor banteng terluka. Anak buah pertapaan Durgaloka terkejut dan gentar, lalu mereka yang masih belum terluka melarikan diri tersebar ke segala penjuru. Sinar matahari mulai menerangi bumi. Hati Joko Wandiro makin hancur setelah ia dapat melihat keadaan Dewi dan teman-temannya. Dewi masft merintih-rintih ketika ia pangku kepalanya.

   "Dewi"! kau.... terluka..."

   Tanya Joko Wandiro lirih sambil memangku kepala gadis itu. Sekali pandang saja ia tahu bahwa gadis ini tak mungkin dapat ditolong lagi. Tombak yang menusuk lambung amat dalam, hampir tembus! Dewi membuka matanya. Mulut yang tadinya menyeringai kesakitan itu kini tersenyum, bibirnya bergerak-gerak lemah,

   "Joko.... kita.... kita menang..."

   Joko Wandiro terharu, mengangguk dan mendekap kepala yang tersenyum-senyum itu ke dadanya. Ketika ia menengok ke kanan kiri, ia melihat bahwa Lasmi, Mini, Sari, dan Sundari juga sudah roboh tak bernyawa lagi. Ia terisak dan memejamkan matanya.

   "Joko..."

   Ia membuka mata, memangku kepala dan memandang wajah Dewi.

   "Joko.... tak perlu kau bersedih. Kami berkorban dengan segala kerelaan...hati.... kami.... kami puas.... kami.... telah menemukan kau.... seorang yang.... patut kami bela.... kami mencintamu, Joko...!"

   Kedua mata Joko Wandiro menjadi basah. Teringatlah ia betapa lima orang gadis ini selalu mengharapkan balasan cumbu rayu mereka. Akan tetapi ia selalu berteguh hati tidak melayani mereka. Kini ia merasa menyesal, ia selalu mengecewakan hati mereka, padahal mereka itu benar-benar mencintanya, bersetia sampai mati! Tanpa ia sadari, ia menundukkan mukanya dan mencium mulut yang menyatakctn cinta kasih di ambang maut itu. Kini ia mencium penuh perasaan, penuh cinta kasih, penuh berahi. Ia merasa dengan bibirnya betapa mulut itu terbuka, mengeluh dan keluar sedu-sedan dari dada Dewi yang terengah-engah. Ketika ia melepaskan ciumannya dan memandang, ternyata Dewi sudah tak bernafas lagi, sudah mati dalam keadaan masih tersenyum bahagia! Memang bahagialah siapa saja yang mati dengan keyakinan bahwa dirinya mencinta dan dicinta!

   Tiga puluh orang anak buah Dewi kini tinggal dua belas orang saja. yang lain sudah tewas. Joko Wandiro berulang kali menghela napas panjang penuh penyesalan dan kengerian. Mayat-mayat bergelimpangan. Mayat anak buah Dewi yang telah bertempur mati-matian, mati dengan senjata di tangan, dan mayat anak buah Bhagawan Kundilomuko, banyak yang telanjang bulat, menyeramkan. Ia juga menyesal sekali melihat mayat Sang Wiku Jaladara. Banyak sekali yang tewas dalam pertempuran semalam. Tidak kurang dari enam puluh orang anak buah Durgaloka tewas. Dua belas orang anak buah Dewi yang masih hidup semua menangisi teman-teman yang tewas, Joko Wandiro menjadi makin berduka. Tiba-tiba terdengar suara memanggil,

   "Kakang...!"

   Joko Wandiro menoleh dan sejenak terusirlah kedukaannya, wajahnya berseri ketika ia menghampiri dan berseru,

   "Ayu Candra...!"

   Mereka saling tubruk, dan saling peluk. Ayu Candra menangis sesenggukan di dada kakaknya. Tadi ketika ia siuman dan sadar akan keadaan dirinya, melihat pertempuran hebat, Ja menyelinap mencari pakaiannya yang lalu dipakainya untuk mengganti pakaian sutera tipis yang menjijikan itu. Ia masih pening, masih belum sadar benar dan ntasih bingung. Maka ia menjauhkan diri lalu duduk bersila, bersamadhi untuk memulihkan tenaga dan mengusir sisa-sisa pengaruh buruk yang menguasai dirinya. Ketika ia sadar dari samadhinya, perang sudah berhenti, keadaan sunyi, hanya terdengar suara beberapa orang wanita menangis. Ia keluar dari tempat sembunyinya, melihat bahwa malam telah berganti pagi dan alangkah bahagia hatinya ketika ia melihat Joko Wandiro.

   "Terima kasih kepada Hyang Maha Agung yang telah melindungimu sehingga kita dapat bertemu dalam keadaan selamat adikku,"

   Kata Joko Wandiro sambil mengelus rambut yang harum dan halus itu, membiarkan adiknya sesenggukan melepas perasaan hati.

   "Aduh, kakang, alangkah banyak derita yang kualami.... semua karena aku tidak menurut nasehatmu kakang. Aku menyesal.... maafkan aku..."

   "Husshhh, sudahlah, adikku sayang. kau perlu mengaso dulu. Kelak kita bicara karena sekarang aku harus mengurus semua jenazah yang begini banyak ini."

   Joko Wandiro melepaskan Ayu Candra yang ia suruh mengaso, kemudian ia minta bantuan dua belas orang anak buah Dewi untuk menggali lubang-lubang dan mengubur semua jenazah baik kawan maupun lawan, secara sederhana. Khusus untuk jenazah Wiku Jaladara, Dewi, Lasmi, Mini, Sari, dan Sundari mereka buatkan tempat kubur terpisah. Sehari penuh mereka bekerja dan baru selesai setelah matahari tenggelam. Joko Wandiro lalu mengumpulkan dua belas orang wanita itu dan berkata,

   "Kalian semua dengarlah nasehatku baik-baik. Setelah Dewi dan adik-adiknya tewas dalam pertempuran semalam, kiranya tidak ada perlunya lagi kehidupan dalam hutan di Anjasmoro yang kalian tempuh selama ini dilarutkan. Seperti telah menjadi peraturanku, kalian masing-masing berhak untuk hidup wajar dalam masyarakat umum, mencari jodoh dan hidup berumah tangga membentuk keluarga. Kalian telah berjasa besar. Tempat ini, di dalam pondok Bhagawan Kundilomuko itu, banyak terdapat barang-barang berharga. Nah, kalian ambil dan bawa, bagi rata di antara kalian dan pergilah kalian, kembali ke masyarakat ramai. Kuanjurkan untuk kembali ke keluarga masing-masing."

   Sambil menangis dua belas orang wanita itu mentaati perintah Joko Wandiro, mengumpulkan emas intan dan benda berharga yang banyak terdapat di Durgaloka, kemudian setelah berpamit mereka pergi berbondong meninggalkan tempat itu, menuju penghidupan baru. Setelah semua wanita Gunung Anjasmoro itu pergi, Ayu Candra yang sudah pulih kembali kesehatannya lalu menghampiri Joko Wandiro yang masih termenung karena belum lenyap kedukaannya oleh jatuhnya demikian banyak korban dalam pertempuran semalam.

   "Kakang Joko Wandiro, kau berduka karena akibat perbuatanku, ya?"

   Suara gadis itu penuh haru dan penyesalan, tangannya merangkul lengan Joko Wandiro. Joko Wandiro menoleh, lalu merangkul pundak gadis itu.

   "Tidak karena perbuatanmu, Ayu. Jatuhnya banyak korban ini adalah sewajarnya. Untuk memberantas kejahatan harus pula berani berkorban. Dewi dan saudara-saudaranya tewas sebagai wanita-wanita perkasa yang patut dipuji, demikian pula Wiku Jaladara sudah memenuhi kewajibannya sebagai seorang suci. Aku tidak marah kepadamu, adikku, bahkan aku bahagia sekali dapat bertemu denganmu dalam keadaan selamat. Mengapa engkau meninggalkan aku, adikku? Bencikah engkau kepadaku?"

   Ayu Candra memundurkan mukanya dan dua butir air mata menetes turun. Ia menarik napas panjang berkali-kali kemudian berkata lirih,

   "Aku seperti menjadi buta karena bujukan dan hasutan Ki Jatoko, manusia buntung yang amat keji dan jahat itu. kau maafkan aku, kakang. Terus terang saja semenjak berpisah denganmu di Sarangan... semenjak.... semenjak kau menjadi.... eh, kakak.... kandungku.... aku kecewa dan.... seperti membencimu. Kemudian ditambah oleh hasutan Ki Jatoko, aku makin curiga kepadamu.... ah, aku menyesal, kakang Joko..."

   Joko Wandiro memegang kedua tangan gadis itu. Sejenak mereka saling pandang dan rasa haru menyelinap ke dalam jantung masing-masing. Betapapun, keduanya harus mengaku di dalam hati bahwa mereka tak dapat melenyapkan cinta kasih diantara merekal Hanya oleh kenyataan bahwa mereka bersaudara sekandung, mereka memaksa diri, memaksa menyelimuti rasa cinta kasih dengan rasa persaudaraan yang dipaksakan. Hal ini menimbulkan rasa nyeri seperti ditusuk-tusuk jarum dalam hati.

   "Ki Jatoko memang seorang jahat yang amat berbahaya dan curang. Engkau yang masih belum berpengalaman sampai terkena hasutan dan terbujuk, hal ini tidak dapat aku menyalahkan engkau, Ayu. Bahkan seorang gadis sakti mandraguna dan ganas seperti Endang Patibroto pun jatuh ke dalam bujukannya sehingga sampai menjadi tawanan di sini. Apalagi engkau yang jujur dan polos. Ah, tentu engkau banyak menderita kesengsaraan, adikku. Kalau saja dahulu kau lebih percaya kepadaku, takkan terjadi semua itu."

   Ayu Candra memberengut. Setelah berkumpul dengan Joko Wandiro, timbul pula gaya manjanya. Entah mengapa, di dekat, pemuda ini. selalu ia mempunyai hasrat ingin bermanja, baik dahulu sebagai kekasih maupun kini sebagai adik!

   "Kalau dipikir, engkau pula yang menjadi biang keladinya, kakang! Mengapa pula engkau tidak mau menuruti keinginan hatiku membalas dendam kepada mereka yang memusuhi ayahku dan ibunda kita? Mengapa engkau tidak membolehkan aku menuntut balas kepada orang yang membunuh ayah-bundaku?"

   "Panjang sekali ceritanya, adikku. Kalau kau sudah mendengar semua penuturanku, tentu kau akan mengerti dan akan sependapat dengan aku bahwa permusuhan itu tidak semestinya dilanjutkan sampai berlarut-larut. Terputus atau tersambungnya rantai karena tergantung daripada kita sendiri. Kalau balas-membalas dan permusuhan dilanjutkan, takkan ada habisnya. Kita tidak boleh hanya dipengaruhi oleh akibat dan bertindak tanpa menyelidiki sebabnya terlebih dahulu. Adikku, kematian kedua orang tuamu adalah akibat daripada sebab-sebab yang amat panjang dan nanti akan kuceritakan kepadamu. Sekarang lebih baik kita meninggalkan tempat ini."

   "Ke mana, kakang?"

   "Kau ikutlah saja, aku akan pergi ke Pulau Sempu."

   Ayu Candra kelihatan kaget dan ia melepaskan tangannya dari pegangan Joko Wandiro,

   "Ke Pulau Sempu? Di sana tinggal Kartikosari dan Roro Luhito, musuh besarku!"

   Joko Wandiro segera merangkul adiknya.

   "Ssttt, kau masih belum dapat melenyapkan pengaruh bujukan beracun dari mulut Ki Jatoko. kau percayalah kepadaku dan sebelum kau kuajak bertemu dengan mereka, kau akan mendengarkan cerita yang menjadi sebab kematian ayah-bundamu, Ayu."

   Sejenak Ayu Candra diam, bingung dan ragu. Kemudian ia menubruk Joko Wandiro dan menangis di dada pemuda itu. Joko Wandiro mengerti akan perasaan adiknya, maka ia hanya mengelus-elus rambut yang halus itu sambil meramkan mata menahan hati yang seperti akan mencair oleh rasa cinta kasih. Akhirnya Ayu Candra dapat menekan perasaannya dan berkata,

   "Aku menurut, kakang. Mulai sekarang aku akan mentaati segala perintahmu, kau.... kau pengganti orang tuaku dan apapun yang kau katakan, akan kutaati."

   Joko Wandiro mencium rambut di ubun-ubun kepala gadis itu.

   "Aku tahu, kau seorang gadis yang mulia, Ayu. Mari kita pergi, tidak enak lama-lama berada di tempat yang sudah berubah menjadi kuburan ini."

   Mereka bergandeng tangan meninggalkan tempat itu. Ketika hendak keluar dari hutan, mereka melihat seekor kuda yang sedang makan rumput. Kuda itu cukup baik, lengkap dengan pelananya.

   "Ah, tentu ini kuda Durgaloka, yang lain-lain tentu telah melarikan diri dalam keributan tadi. Lumayan kuda ini, lebih baik kau naiki, adikku. Malam hampir tiba, mari kita cepat-cepat pergi dari sini."

   "Dan kau, kakang?"

   "Aku lari di sebelahmu, apa kau kira kalah oleh kuda?"

   "Hi-hik, kau memang seperti kuda!"

   Ayu Candra sudah mulai timbul kejenakaannya.

   "Hushh, masa kakakmu seperti kuda? Kalau kakaknya kuda, adiknya apa?"

   Joko Wandiro mengimbangi kelakar adiknya. Ayu Candra tersenyum dan melompat ke atas pelana kuda, lalu membalapkan kuda di sebelah Joko Wandiro yang mengerahkan ilmu lari cepat menuju ke barat. Setelah gelap baru mereka berhenti di bawah pohon besar untuk melewatkan malam, Joko Wandiro menangkap seekor ayam hutan. Malam itu setelah makan bakar ubi dan daging ayam hutan, mereka bercakap-cakap dan Joko Wandiro mulai menceritakan kepada Ayu Candra akan peristiwa belasan tahun yang lalu. Ia menceritakan hal yang ia dengar dari penuturan bibinya, Roro Luhito dan dari Kartikosari.

   "Terus terang saja, Ayu, bahwa pokok pangkal segala peristiwa ini adalah karena kesalahan dua orang, yaitu yang pertama ayah kandungku sendiri, mendiang Raden Wisangjiwo, dan ke dua adalah seorang bernama Jokowanengpati. Paman Pujo dan isterinya, bibi Kartikosari yang mula-mula menjadi korban kejahatan."

   Mulailah ia menuturkan betapa Kartikosari dan Pujo yang sedang bertapa itu diganggu oleh kedatangan Raden Wisangjiwo sehingga terjadi pertempuran dan yang membuat Pujo dan Kartikosari roboh pingsan. Ketika sadar Pujo tahu bahwa Kartikosari telah diperkosa orang yang tentu saja oleh mereka berdua dianggap bukan lain orang kecuali Raden Wisangjiwo. Perbuatan keji ini menimbulkan dendam sehingga Pujo yang hendak membalas dendam menyerbu ke Selopenangkep, kemudian karena Pujo tidak menemukan Wisangjiwo, dalam sakit hati dan kebencian membuta ia menculik Listyakumolo bersama anaknya.

   "Akulah anak itu, Ayu. Aku baru berusia dua tahun ketika ibu diculik Pujo. Akan tetapi sebagai seorang ksatria utama, paman Pujo tidak tega untuk membalas dendam dengan memperkosa ibuku. Dia hanya pergi membawaku dan kemudian aku dianggapnya sebagai puteranya sendiri dan dididiknya seperti murid terkasih. Sampai menjadi dewasa, aku masih beranggapan bahwa aku adalah putera kandung paman Pujo."

   Ayu Candra mendengarkan dengan muka pucat. Rasa kasihan yang besar terhadap Pujo dan Kartikosari sudah menghapus sebagian besar dendam hatinya. Tanpa mengganggu sedikitpun ia mendengarkan terus, pandang matanya bergantung pada bibir Joko Wandiro.

   "Peristiwa itu membuat paman Pujo dan bibi Kartikosari berpisahan, mereka menderita lahir batin sampai belasan tahun dan bibi Kartikosari yang sudah mengandung kemudian melahirkan anak dalam keadaan yang mengerikan dan menderita sekali"

   "Endang Patibroto!!"

   Ayu Candra memotong cepat.

   "Benar,"

   Joko Wandiro mengangguk.

   "Kemudian ibumu, juga ibuku, Listyakumolo yang bernasib malang, karena kehilangan aku, menerima pukulan batin hebat sehingga terganggu pikirannya. Ayahku yang ketika itu masih menyeleweng dari kebenaran malah mengirimnya.... pulang kerumah orang tua ibu kita, di lereng Lawu. Kalau nasib sedang dirundung kemalangan, belum lama setelah ibu dipulangkan, daerah itu diserbu perampok, semua keluarga kakek kita di sana habis dibunuh, kecuali ibu kita yang diculik oleh kepala perampok."

   "Ah, kasihan ibu...!"

   Ayu Candra terisak, teringat kepada ibunya yang tercinta.

   "Tentang nasib ibu kita selanjutnya, aku tidak pernah mendengar ceritanya, dan tahu-tahu ibu kita telah tinggal bersama ayahmu di Sarangan. Sangat boleh jadi ibu kita tertolong oleh ayahmu, kemudian mereka menjadi suami-isteri dan lahirlah engkau."

   Ayu Candra mengangguk-angguk, air mata bertetesan di atas kedua pipi. Sejenak mereka diam, masing-masing tenggelam dalam lamunan. Ayu Candra mengenangkan ibunya yang tercinta. Adapun Joko Wandiro menekan perasaannya yang terasa perih dan sakit karena selama hidupnya, belum pernah ia berjumpa dengan ibu kandungnya, belum pernah ia melihat bagaimana wajah ibunya. Untuk mencegah agar kenangan pahit ini tidak meracuni hatinya, ia melanjutkan ceritanya. Ia menceritakan betapa ayahnya, Raden Wisangjiwo, akhirnya sadar namun sudah terlambat karena ketika ayahnya mencari ibunya di lereng Lawu, ibunya sudah tidak ada. Diceritakan pula betapa ayahnya tewas dalam perang ketika membantu Pangeran Sepuh yang kini menjadi sang prabu di Panjalu.

   "Akhirnya, paman Pujo dan bibi Kartikosari bertemu dengan ayahku dan barulah mereka itu tahu bahwa yang melakukan perbuatan keji terhadap diri bibi Kartikosari di dalam Guha Siluman itu bukanlah ayahku, melainkan Jokowanengpati. Paman Pujo menyesali perbuatannya, telah menculik aku dan menyengsarakan kehidupan ibuku. Karena itulah, ketika ibu kita bersama ayahmu datang ke Sungapan dan bertemu dengan paman Pujo, maka paman Pujo menyerahkan nyawanya di tangan ibu kita. Tanpa melawan paman Pujo rela ditusuk keris oleh ibu kita, untuk membalas dan menebus dosanya dahulu. Bahkan sebelum meninggal dunia, paman Pujo melarang bibi Kartikosari dan bibi Roro Luhito, yaitu adik kandung ayahku yang juga menjadi isteri paman Pujo, untuk membalas dendam. Paman Pujo rela menebus permusuhan itu dengan nyawa dan menghabiskan sampai di situ saja."

   Ayu Candra memandang wajah kakaknya yang membayangkan keharuan, kekaguman dan kedukaan. Tahulah Ayu Candra bahwa guru kakaknya ini, Pujo, tentulah seorang ksatria yang amat gagah perkasa dan mulia sehingga rela menebus kesalahan dengan menyerahkan nyawa. Iapun menjadi terharu.

   "Sayang sekali,"

   Joko Wandiro menghela napas,"manusia berdaya upaya, namun Sang Hyang Wisesa yang menentukan kesudahannya. Maksud mulia paman Pujo itu ternyata gagal karena pada saat itu sebelum ia mati, datang secara tiba-tiba Endang Patibroto yang telah menjadi murid Dibyo Mamangkoro dan memiliki ilmu kesaktian yang luar biasa. Bibi Kartikosari dan bibi Roro Luhito mentaati pesan paman Pujo, akan tetapi tidak demikian dengan Endang Patibroto. Begitu mendengar bahwa paman Pujo adalah ayah kandungnya yang baru saja ia jumpai selama hidupnya, dan melihat betapa ayahnya yang baru dijumpainya itu tewas tanpa melawan oleh ibu kita yang masih berada di situ, ia lalu menerjang dan berhasil menewaskan ibu kita, bahkan melukai ayahmu sehingga ayahmu meninggal dunia."

   Ayu Candra terisak menangis. Joko Wandiro mendiamkannya sampai tangis adiknya mereda. Barulah ia bicara lagi dengan suara halus,

   "Demikianlah, adikku. Kita tidak boleh dihanyutkan oleh dendam. Kalau kita renungkan, bukankah perbuatan Endang Patibroto itupun wajar, seperti engkau pula yang melihat orang tua terbunuh lalu timbul kemarahan dan dendam? Memang, dia terlalu ganas sehingga tidak memperdulikan pesan ayahnya, tidak memperdulikan cegahan ibunya. Akan tetapi, apakah kita perlu meniru dia? Bukankah lebih sempurna kalau kita taati pesan paman Pujo yang hendak menghabiskan urusan permusuhan dengan penebusan nyawanya? Dan terutama sekali, bukankah ayahmu sendiri meninggalkan pesan terakhir sebelum meninggal dunia, bahwa kau dilarang membalas dendam, dilarang untuk melanjutkan permusuhan? Inilah sebabnya, adikku sayang, mengapa aku melarang engkau mencari bibi Kartikosari dan bibi Roro Luhito untuk membalas dendam."

   Ayu Candra tidak menjawab, hanya menubruk kakaknya dan menangis dengan muka di atas pangkuan Joko Wandiro. Sampai lama sekali Ayu Candra menangis dan Joko Wandiro mendiamkannya saja, membiarkan gadis itu menghanyutkan semua rasa dendam dan sakit hati keluar bersama air matanya. Setelah Ayu Candra kini mingsek-mingsek sebagai sisa tangisnya, Joko Wandiro lalu memegang kedua pundaknya dan mendorongnya duduk kembali.

   "Sekarang, aku sengaja akan mengajakmu ke Pulau Sempu menemui mereka berdua, Ayu, dan aku yakin bahwa kalau kau telah bicara dengan mereka berdua, kaupun pasti akan membenarkan pendapatku ahwa mereka berdua itu bukanlah orang-orang jahat yang patut dijadikan musuh. Kita pergi mengunjungi Pulau Sempu yang tak jauh lagi, kemudian dari sana aku akan mengajakmu ke Panjalu untuk mencari Joko Seto"

   "Siapa?"

   Suara Ayu Candra masih gemetar.

   "Joko Seto, putera paman Darmobroto. Lupakah kau akan pesan ayahmu? Engkau dijodohkan dengan Joko Seto, dan sudah menjadi kewajibanku untuk mengurus perjodohanmu, karena sekarang akulah yang menjadi pengganti orang tuamu, akulah yang menjadi walimu karena aku adalah kakak kandungmu!"

   Ayu Candra mengerutkan keningnya yang bagus, lalu menggeleng kepalanya.

   "Ku.... aku tidak mau menikah!"

   "Eh, jangan begitu, adikku. Tak mungkin pesan terakhir ayahmu akan engkau abaikan begitu saja dan"

   "Sudahlah, aku tidak suka bicara tentang itu. Terserah saja kepadamu kelak. Tentang Pulau Sempu.... kakang, perlu benarkah kita ke sana? Rasanya tidak nyaman hatiku kalau harus bertemu dengan mereka, sungguhpun penuturanmu tadi cukup menekan dan menghilangkan tekadku untuk membalas dendam."

   Joko Wandiro memegang jari-jari tangan adiknya yang kecil-kecil dan halus.

   "Ayu Candra, sesungguhnya bukan hanya untuk menghadap kedua orang bibi itu, melainkan aku mempunyai kepentingan yang besar di Pulau Sempu. Aku hendak mengambil pusaka yang kusimpan di sana. Urusan ini amat pentingnya, karena itu adalah urusan Kerajaan Panjalu dan aku harus mentaati pesan eyang guru Resi Bhargowo dan bapa guru Narotama."

   Ayu Candra mengangguk-angguk. Sebagai puteri seorang pendekar sakti, ia tahu akan kepentingan ini.

   "Akan tetapi setelah itu, mengapa harus ke Panjalu? Aku lebih senang kalau kau ajak kembali ke Sarangan, aku.... aku kepingin nyekar (menabur bunga) di telaga untuk arwah ayahku..."

   Joko Wandiro menarik napas panjang. Ia maklum bahwa sebetulnya gadis ini menyatakan keberatannya pergi ke Panjalu untuk mencari Joko Seto. Diam-diam ia menjadi bingung. Ada rasa syukur dan senang di sudut hatinya melihat betapa gadis ini agaknya tidak suka berjodoh dengan lain orang, berarti tak dapat menghapus cinta kasih di antara mereka, akan tetapi kesadarannya membisukan bahwa ia harus berusaha merangkap perjodohan yang sudah dipesankan oleh ayah gadis ini.

   "Begini, adikku. Setelah aku mengambil pusaka, aku harus menghaturkan pusaka itu kepada sang prabu di Panjalu, maka terpaksa aku harus ke sana. Setelah hal itu beres, barulah aku akan mengantarmu ke Sarangan."

   Ayu Candra tidak membantah lagi dan malam itu ia tertidur dengan kepala berbantal paha Joko Wandiro yang duduk bersila. Kuda tunggangan mereka juga mengaso di bawah pohon, kadang-kadang menyabetkan ekornya, kadang-kadang mendengus mengusir nyamuk. Ketika Joko Wandiro dan Ayu Candra sudah sampai di hutan terakhir di Pegunungan Kidul, dekat pantai selatan, tiba-tiba pemuda itu berhenti berlari dan Ayu Candra juga menahan kendali kuda.

   Dua orang muda ini berdiri memandang ke depan dengan mata terbelalak, karena di depan mereka telah menghadang dua orang yang sama sekali tak pernah mereka sangka-sangka akan mereka jumpai di situ. Mereka berdua itu adalah Endang Patibroto dari Ki Jatoko!! Endang Patibroto tersenyum mengejek ketika Ayu Candra meloncat turun dari kuda dan menggandeng tangan kiri Joko Wandiro karena gadis ini merasa gelisah dan ngeri. Ia mengenal dua orang itu dan tahu bahwa mereka adalah iblis-iblis yang ganas dan keji lagi berbahaya. Ayu Candra sama sekali t idak tahu bahwa sikapnya yang tampak mesra ini bagi Endang Patibroto merupakan minyak yang menyiram api didada, membuat Endang Patibroto tersenyum dingin untuk menyembunyikan hati yang panas.

   "Hernm, bagus sekali! Kebetulan di sini kita bertemu, Joko Wandiro. Di sinilah kita lanjutkan pertandingan kita dahulu. Terimalah seranganku!!"

   Endang Patibroto sama sekali tidak mau memberi kesempatan kepada Joko Wandiro dan langsung menerjang dengan gerakan kilat, memukulkan tapak tangannya ke arah dada pemuda itu. Joko Wandiro kaget dan cepat ia mendorong tubuh Ayu Candra ke kiri, kemudian mengelak ke kanan sambil menggerakkan tangan menangkis pukulan Endang Patibroto.

   "Dukk...!!"

   Dua orang itu terdorong mundur.

   "Endang Patibroto! Gilakah engkau? Begitu tak berbudikah engkau sehingga kau lupa bahwa kakang Joko yang menyelamatkan engkau dari tangan Bhagawan Kundilomuko?"

   Ayu Candra berteriak-teriak untuk mencegah pertandingan yang seru. Akan tetapi sia-sia belaka. Endang Patibroto mana mau mendengarkan cegahannya? Gadis ini dengan ganas menerjang terus, seperti dahulu ia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya.

   "Hemm, Endang Patibroto. Engkau benar keterlaluan sekali! Juga kau sombong bukan main. Apa kau kira aku tak dapat menanggulangimu?"

   Bentak Joko Wandiro yang mulai marah dan pemuda inipun balas menyerang dengan antep dan cepat. Ketika Ayu Candra yang gelisah hendak mencegah, tiba-tiba lengannya dipegang orang dari belakang. Ia menjerit dan menampar ke belakang, akan tetapi kembali tangannya itu tertangkap. Melihat bahwa yang menangkapnya adalah Ki Jatoko, ia meronta-ronta sekuatnya.

   "Heh-heh, cah ayu, biarkan mereka berdua saling hantam. Mari menyelamatkan diri bersamaku. Mari kita cari musuh-musuh kita, kita hancurkan mereka. Lekas, kau ikut denganku!!"

   "Tidak.... kau lepaskan aku! Lepaskan...! Manusia iblis kau, jahanam busuk, aku tidak mau dibujuk lagi!"

   
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ayu Candra merenggutkan tangannya dan memutar tubuh sambil memukulkan tangan itu ke arah leher Ki Jatoko. Karena marah dan benci, Ayu Candra menjadi nekat dan serangannya cukup keras dan kuat.

   "Wuuuttt...!!"

   Dengan mudah Ki Jatoko yang memang memiliki ilmu kepandaian dan pengalaman jauh lebih tinggi daripada gadis jelita itu, miringkan tubuh mengelak dan secepat kilat lenganj kirinya melingkar dan memeluk pinggang Ayu Candra yang kecil ramping.

   "Hemm, bocah bodoh!"

   Sambil berkata begini, dua buah jari tangan kanan Ki Jatoko menusuk tengkuk Ayu Candra, menotok jalah darah dengan kuat dan cepat sekali. Seketika tubuh Ayu Candral menjadi lemas karena ia telah pingsan. Ki Jatoko menangkap dan memondongnya. Dalam pertandingan menghadapi Endang Patibroto kali ini, Joko Wandiro tidak bersikap mengalah seperti yang lalu. Ia merasa marah, apalagi iapun amat khawatir akan keselamatan Ayu Candra.

   Ia maklum bahwa kalau ia tidak cepat-cepat mengalahkan Endang Patibroto, Ayu Candra akan terancam keselamatannya, terutama oleh Ki Jatoko. Dan untuk mengalahkan Endang Patibroto, bukanlah hal yang mudah dan membutuhkan pengerahan tenaga dan kepandaian sepenuhnya. Karena inilah maka begitu bertanding, ia mengirim pukulan-pukulan yang hebat dan dahsyat, mengisi kedua lengannya dengan Aji Bojro Dahono dan menggerakkan tubuhnya amat cepat dengan Ilmu Bramoro Seto. Endang Patibroto terkejut bukan main. Terasa olehnya bahwa gerakan pemuda ini Jauh bedanya dengan dahulu. Kalau dahulu selalu terdesak olehnya dan hanya menggunakan siasat bertahan, kini dialah yang terdesak. Hawa pukulan yang amat panas membuyarkan Aji Wisangnala yang ia gunakan, dan kecepatan Joko Wandiro membingungkannya.

   Pada saat Joko Wanchro berkesempatan mengeriingkan matanya ke arah Ayu Candra dan melihat betapa gadis itu telah pingsan dan dipondong oleh Ki Jatoko yang siap hendak melarikannya, kemarahannya memuncak. Pekik dahsyat keluar dari mulutnya dan terjangannya kali ini biarpun dapat ditangkis oleh Endang Patibroto, namun demikian dahsyatnya sehingga membuat gadis sakti ini terlempar ke belakang sampai lima meter jauhnya dan terbanting ke atas tanah sehingga bergulingan! Ia tidak terluka hebat, namun hal ini membuat ia kaget setengah mati dan terutama malu yang berubah menjadi kemarahan yang meluap-luap! Baru sekali ini selama hidupnya ia menerima hinaan, dipukul sampai terlempar dan terbanting terguling-guling!

   "Joko Wandiro, sekali ini kau mampus di tanganku!"

   Teriaknya sambil mencabut keris pusaka Brojol Luwuk dari pinggangnya! Akan tetapi begitu ia berhasil merobohkan Endang Patibroto, sekali melompat Joko Wandiro sudah menerjang Ki Jatoko. Si buntung ini tadi sudah meloncat hendak lari, akan tetapi pekik dahsyat Dirodo Meto demikian hebat pengaruhnya sehingga ia terkejut dan kedua kaki buntungnya seakan-akan lumpuh. Pada saat itu, tangan kiri Joko Wandiro memukul punggungnya dengan Aji Pethit Nogo, sedangkan tangan kanan pemuda perkasa ini merenggut dan merampas tubuh Ayu Candra. Ki Jatoko sudah mengerahkan tenaga dalam untuk melawan, namun tetap saja ia terguling, tidak kuat menerima pukulan ini, dan ia roboh pingsan.

   Ketika Joko Wandiro yang kini memondong tubuh adiknya itu memutar tubuh dan melihat Endang Patibroto sudah menghunus keris, ia terkejut sekali. Keris di tangan gadis itu mengeluarkan hawa yang membuat bulu tengkuknya meremang dan jantungnya berdenyut keras. Itulah merupakan tanda bahwa keris pusaka di tangan gadis itu sebuah senjata pusaka yang ampuhnya menggila. Dan ia teringat akan peristiwa belasan tahun yang lalu. Tak salah lagi, keris itu adalah keris pusaka Brojol Luwuk, keris pusaka Mataram yang dulu dipilih oleh gadis itu di depan eyang guru mereka. Keris pusaka Mataram yamg tersimpan di dalam patung kencana Sri Bathara Wisnd! Akan tetapi mengapa berada di tangan gadis ini. Bukankah dahulu eyang guru mereka, Sang Bhagawan Rukmoseto atau Sang Bhargowo menyuruh mereka menyembunyikan pusaka masing-masing di Pulau Sempu?

   "Berhenti kau Joko Wandiro dan mari lanjutkan sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa di sini!"

   Bentak Endang Patibroto sambil menerjang maju. Joko Wandiro tahu akan bahayanya. Dengan keris pusaka sehebat itu, yang hawanya saja hampir melumpuhkan semangatnya, apalagi dengan memondong tubuh Ayu Candra, andaikata tidak demikianpun, belum tentu ia cukup kuat untuk menandingi Endang Patibroto dengan keris pusakanya itu. Maka ia lalu cepat melompat jauh ke kiri? Sengaja memperlambat larinya. Endang Patibroto berseru nyaring,

   "Berhenti kau! Jangan lari, pengecut!!"

   Gadis perkasa itu mengejar dengan keris di tangan. Entah bagaimana, melihat kembali Joko Wandiro membela dan melindungi Ayu Candra, timbul kemarahan dan kebencian yang amat hebat di hatinya dan niat hatinya pada saat itu tiada lain, membunuh mereka berdua barulah ia akan merasa puas! Ketika melewati segerombolan pohon dan hampir dapat menyusul Joko Wandiro, tiba-tiba pemuda itu membelok ke kanan, memutari pohon dan kini menggunakan Aji Bayu Sakti melompat bagaikan terbang cepatnya, kembali ke tempat tadi atau lebih tepat berlari menuju ke tempat kudanya.

   "Berhenti kau, keparat Joko Wandiro! Berhenti!!"

   Endang Patibroto mengejar dengan marah. Akan tetapi Joko Wandiro sambil memondong tubuh Ayu Candra yang masih pingsan sudah melompat bagaikan seekor kijang, hinggap di atas pelana kuda. dan pada detik selanjutnya kuda itu sudah dibalapkan cepat meninggalkan tempat itu.

   Endang Patibroto berhenti mengejar, memandang debu yang mengepul tinggi di belakang kuda. Ia membanting-banting kaki, memaki-maki dan akhirnya ia menjatuhkan diri di atas tanah, menangis terisak-isak dengan perasaan yang tidak karuan. Marah, malu, benci, duka, dan entah perasaan pahit apa lagi yang saat itu mengamuk di dalam hatinya. Setelah akhirnya gelora hatinya dapat ditekan, Endang Patibroto bangkit, menyimpan keris pusakanya lalu menghampiri tubuh Ki Jatoko yang masih belum bangun. Dengan ujung kakinya ia membalikkan tubuh yang tertelungkup itu, mengguncang-guncangkannya. Ki Jatoko mengeluh dan merangkak bangun. Ketika bagaikan orang bangun dari mimpi buruk ia mengangkat muka dan melihat Endang Patibroto, teringatlah ia akan semua peristiwa dan matanya mencari-cari ke kanan kiri.

   "Bangunlah dan hayo kita melanjutkan perjalanan."

   "Mana... mana... Ayu Candra..."

   "Cerewet! Hayo jalan!"

   Encang Patibroto menarik lengan Ki Jatoko dan menyeretnya bangun dengan sentakan kasar sekali.

   "Aduh"! Aku... punggungku terpukul, sakit bukan main...!"

   Ki Jatoko mengeluh lagi.

   "Kita mengaso dulu, Endang..."

   "Tidak! Hayo jalan terus!"

   "Kasihanilah, Endang. Aku letih dan lapar, haus dan sakit-sakit tubuhku kau kasihanilah, aku ayah..."

   "Diam! Sebelum tiba di Sempu, jangan sebut-sebut lagi hal itu atau kuhancurkan kepalamu!"

   Melihat pandang mata yang dingin itu, Ki Jatoko bergidik, kemudian karena maklum bahwa di tangan gadis ini ia tidak akan dapat berbuat sesuatu, iapun lalu mengikutinya melanjutkan perjalanan. Sementara itu, Joko Wandiro sudah membawa lari Ayu Candra. Setelah tiba di tepi pantai dari mana tampak Pulau Sempu, barulah ia turun dari kuda. Ayu Candra sudah siuman. Di tengah jalan tadi dengan mengurut punggungnya, Joko Wandiro telah membebaskan pengaruh totokan Ki Jatoko.

   "Kakang, kenapa kau tidak lawan dan bunuh saja Endang Patibroto itu? Biarpun kita tidak akan mendendam kepadanya, akan tetapi dia itu seorang gadis jahat dan ganas seperti iblis. Dia yang selalu memusuhi dan menyerangmu terlebih dulu. Mengapa kau selalu mengalah kepadanya?"

   "Ah, kau tidak tahu adikku. Dia itu bagaimanapun juga adalah puteri paman Pujo dan bibi Kartikosari, bagaimana aku tega untuk membunuhnya? Selain itu, dengan keris pusaka Mataram di tangannya, tak mungkin aku dapat menang melawan dia. Sudahlah, mari kita mencari perahu. Kuda ini cukup ditukar dengan sebuah perahu kecil."

   Dan memang betul dugaannya. Seorang nelayan dengan senang hati menukarkan perahu kecilnya yang butut dengan kuda itu, karena memang kuda ini jauh lebih mahal harganya. Penukaran ini mendatangkan untung besar baginya. Demikianlah, tanpa membuang waktu lagi Joko Wandiro lalu mengajak Ayu Candra untuk berlayar, menyeberang ke Pulau Sempu yang sudah tampak dari pantai Laut Selatan.

   Kartikosari dari Roro Luhito hidup dengan aman dan tenang di Pulau Sempu. Pulau ini kosong dan tanahnya cukup subur sehingga dua orang wanita perkasa itu tidak mendapat kesukaran untuk hidup mengasingkan diri di situ. Mereka bercocok tanam dan mendirikan sebuah pondok baru karena pondok bekas tempat tinggal Resi Bhargowo telah rusak. Kandungan mereka sudah makin tua. Kartikosari mengandung tujuh bulan sedangkan Roro Luhito mengandung lima bulan. Sebagai puteri-puteri yang memiliki kepandaian tinggi, hidup menyendiri di pulau itu bukanlah hal yang sukar bagi mereka, bahkan menenangkan pikiran setelah mereka mengalami hal-hal yang menegangkan di masa yang lalu. Juga merupakan hiburan atas kedukaan hati mereka kehilangan suami.

   Yang terutama sekali, tempat yang sunyi dan jauh dari dunia ramai ini merupakan tempat sembunyi yang paling aman sehingga tak mungkin ada musuh yang dapat mengganggu mereka. Hanya Joko Wandiro seorang yang tahu akan tempat sembunyi mereka ini. Orang lain siapakah dapat menduga bahwa dua orang puteri itu bersembunyi di pulau kosong? Mereka mempunyai sebuah perahu dan dengan perahu inilah kadang-kadang Roro Luhito menyeberang untuk mencari kebutuhan mereka yang tak dapat ditemukan di atas pulau. Dan pada siang hari itu, Roro Luhito baru saja datang dari darat, di mana ia mencari dan membeli bumbu-bumbu masak karena persediaan di pulau sudah habis. Mereka berdua duduk meneduh di bawah pohon sambil menikmati angin semilir dan memandang ombak-ombak Laut Selatan yang menggelora ke pantai.

   "Kak Sari, ada orang datang berperahu"!"

   Tiba-tiba Roro Luhito berbisik sambil menudingkan telunjuknya ke arah pantai. Kartikosari cepat memandang dan bangkit berdiri. Betul saja. Sebuah perahu makin mendekati pulau. Keduanya menduga-duga dengan hati berdebar dan tanpa disadari mereka sudah berpindah tempat, menyelinap di balik segerombolan tanaman untuk menyembunyikan diri. Mereka tidak ingin dilihat orang luar. Sambil bersembunyi dua orang wanita perkasa itu mengintai.

   "Mereka Joko Wandiro dan Endang Patibroto...!"

   Kartikosari berseru setelah perahu itu makin dekat pulau. Suaranya terdengar penuh kegembiraan dan kini mereka berdua melompat keluar dari tempat sembunyi. Setengah berlari mereka menuju ke tepi laut dan melambai-lambaikan tangan.

   "Joko.... Endang...! Ke sini...!"

   Kartikosari berseru keras. Suaranya nyaring terbawa angin melalui atas ombak samudera. Agaknya terdengar oleh Joko Wandiro karena pemuda itu sambil mendayung, sejenak melambaikan tangan ke atas.

   "Kak Sari, gadis itu bukan Endang...!!"

   Roro Luhito berkata, suaranya mulai tegang.

   "Bu... bukan Endang", benar, dia bukan anakku"!"

   Suara Kartikosari tidak hanya tegang, bahkan gemetar. Roro Luhito dengan halus memegang tangan madunya, menepuk-nepuk perlahan untuk menenangkan hati dan menghiburnya.

   "Siapapun dia, kalau datang bersama Joko Wandiro, tentu seorang baik-baik."

   (Lanjut ke Jilid 38)

   Badai Laut Selatan (Seri ke 03 "

   Serial Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 38

   Mereka berdua berdiri sambil bergandeng tangan, menanti datangnya perahu itu. Setelah perahu tiba di pantai, mereka melihat bahwa gadis itu benar bukan Endang Patibroto, melainkan seorang gadis cantik jelita yang juga memandang mereka penuh perhatian. Joko Wandiro meloncat ke atas pantai dan menyeret perahunya naik. Ayu Candra juga meloncat turun, membantu kakaknya menyeret perahu. Kemudian keduanya berjalan menghampiri dua orang wanita yang telah menunggu.

   "Joko Wandiro, di mana Endang Patibroto? Tak berhasilkah engkau membujuknya ikut ke sini?"

   Kartikosari menegur setelah Joko Wandiro menghaturkan sembah.

   "Maafkan saya, bibi Kartikosari. Sudah dua kali saya membujuk dengan kata-kata halus sampai dengan kekerasan, namun sia-sia hasilnya. Hatinya terlalu keras dan kesaktiannya terlalu hebat sehingga saya tidak berhasil. Akan tetapi, saya rasa tak lama lagi ia akan ke sini, bibi. Tak jauh dari pantai saya telah bertemu dengan dia."

   "Betulkah?"

   Kartikosari menjadi gembira"Coba ceritakan apa yang telah terjadi dan gadis ini siapakah?"

   "Bibi, inilah Ayu Candra, adik kandung saya..."

   Seketika wajah Kartikosari berubah pucat. Ia berseru perlahan dan melangkah mundur.

   "Kau"? kau... membawa puteri Listyakumolo ke sini? Joko Wandiro! Kalau kau memang berniat membalas dendam atas kematian ibu kandungmu, mengapa tidak kau lakukan sendiri ketika kita saling bertemu di Bayuwismo? Mengapa baru sekarang"

   Juga Roro Luhito terkejut dan menegur keponakannya,

   "Joko, kau berjanji takkan melanjutkan permusuhan dan dendam, mengapa sekarang kau ajak puteri mbok-ayu Listyakumolo ke sini?"

   Mendengar kata-kata dan melihat sikap dua orang wanita cantik itu, Ayu Candra cepat maju dan berkata, suaranya halus namun tegas,

   "Harap bibi berdua jangan khawatir. Memang benar aku pernah menurutkan dendam sakit hati karena duka kehilangan ayah-bunda, tanpa mengingat pesan terakhir ayah yang melarangku membalas dendam, tadinya saya berniat untuk mencari bibi dan melakukan pembalasan. Akan tetapi, setelah kakang Joko Wandiro menceritakan semua sebab-sebab permusuhan, saya sudah sadar dan takkan melanjutkan permusuhan ini."

   Sejenak Kartikosari dan gadis itu saling pandang, seperti hendak mengukur isi hati masing-masing. Kemudian Kartikosari terisak dan melangkah maju, dan di lain saat Ayu Candra sudah jatuh ke dalam pelukannya. Ayu Candra menangis, Kartikosari juga bercucuran air mata.

   "Aduh, anak baik...! Sungguh besar hatiku mendengar kata-katamu. kau patut menjadi puteri seorang perkasa seperti Ki Adibroto! Akupun selalu rela untuk menebus dosa puteriku, Ayu Candra. Aku siap untuk menerima pembalasan atas kematian ayah-bundamu, hanya aku ingin agar supaya anak yang kukandung ini terlahir lebih dahulu, baru aku bersedia menerima kematian. Akan tetapi, kini engkau telah sadar, menghabiskan permusuhan, alangkah bahagia hatiku!"

   Setelah reda keharuan hati mereka, Ayu Candra berkata,

   "Sayangnya, bibi, puterimu Endang Patibroto itu entah mengapa, setiap kali bertemu dengan aku atau kakang Joko Wandiro, tentu menyerang dan hendak membunuh kami! Dia amat benci kepadaku."

   "Hemm, kau tinggallah di sini. Biarlah dia datang! Hendak kulihat apakah dia masih melanjutkan sikap gila itu kepadamu. Aku akan membela dan melindungimu dengan taruhan nyawaku, Ayu Candra!"

   Kata Kartikosari dan pada saat seperti itu, wanita cantik ini sikapnya sama benar dengan Endang Patibroto, dadanya dibusungkan, matanya berapi-api, kedua tangan dikepal, sepasang pipinya merah!

   "Sudahlah, kiranya tak perlu dibicarakan lagi hal-hal yang tidak menyenangkan hati ini. Marilah kalian ikut kami ke pondok di mana kita dapat bicara dengan leluasa,"

   Kata Roro Luhito.

   Kartikosari mengangguk dan berangkatlah mereka berempat ke pondok sederhana yang berada di tengah Pulau Sempu. Di dalam pondok, Joko Wandiro lalu menceritakan semua pengalaman dan semua peristiwa yang terjadi selama ini. Ia juga menceritakan sepak terjang Endang Patibroto yang telah menewaskan Ni Durgogini, Ni Nogogini, Cekel Aksomolo, Ki Warok Gendroyono, Ki Krendoyakso, dan betapa gadis itu bersama Ayu Candra hampir mengalami malapetaka hebat di tangan Bhagawan Kundilomuko. Juga tentang pertemuan-pertemuannya dengan Endang Patibroto, tentang pertandingan di antara mereka. Setelah mendengar semua penuturan Joko Wandiro, Kartikosari termenung, menarik napas panjang lalu berkata lirih,

   "Betapapun juga, dia telah dapat membalaskan sakit hati eyangnya dan membasmi orang-orang jahat itu. Ahhh... Endang,... kalau engkau tidak menjadi murid Dibyo Mamangkoro, agaknya kau tidak akan menyeleweng sedemikian jauh."

   "Semua sudah dikehendaki Dewata, ayunda Kartikosari,"

   Kata Roro Luhito menghibur.

   "Kalau Endang tidak menjadi murid Dibyo Mamangkoro, kurasa juga bukan hal mudah baginya untuk dapat membasmi orang-orang sakti seperti Cekel Aksomolo dan kawan-kawannya!"

   Setelah bertemu dengan dua orang wanita perkasa ini, Ayu Candra kembali harus membenarkan sikap kakaknya. Memang dua orang wanita ini jelas adalah orang-orang yang berpribudi tinggi sehingga sebentar saja ia sudah tidak ragu-ragu dan tidak sungkan-sungkan lagi untuk bercakap-cakap dan menuturkan semua riwayatnya. Kartikosari dan Roro Luhito merasa terharu dan menaruh rasa sayang kepada gadis yang kehilangan ayah-bunda ini. Sekali lagi Kartikosari menghibur hati Ayu Candra dan mengatakan bahwa kalau benar Endang Patibroto datang ke pulau itu, ia akan mencuci habis permusuhan yang mengotori hati dan pikiran anaknya. Joko Wandiro lalu minta diri kepada Kartikosari.

   "Saya hendak mencari pusaka Mataram yang dulu oleh eyang guru diberikan kepada saya untuk disimpan. Pusaka itu masih saya simpan di pulau ini, bibi, dan sekarang saya hendak mencarinya, untuk dikembalikan kepada yang berhak, yaitu sang prabu di Panjalu."

   Kartikosari dan Roro Luhito tercengang. Baru sekarang mereka mendengar akan hal itu.

   "Pusaka Mataram?"

   Kartikosari bertanya heran."Ramanda resi tak pernah menceritakan hal itu kepadaku. Joko Wandiro, bagaimanakah pusaka Mataram dapat berada di tangan eyang gurumu?"

   "Tadinya saya pun tidak tahu, bibi. Akan tetapi ketika saya mengikuti guru saya di Jalatunda, dan mendapat kesempatan bertemu dengan eyang guru yang mengabdi kepada Sang Prabu Airlangga yang bertapa, eyang pernah menceritakannya kepada saya bahwa pusaka Mataram yang lenyap itu sebenarnya dicuri oleh Jokowanengpati. Secara kebetulan pusaka itu dapat dirampas oleh eyang resi dari tangan bedebah itu. Ketika eyang berada di pulau ini dan tahu bahwa musuh-musuh utusan Pangeran Anom datang untuk merampas pusaka, eyang guru lalu membagi pusaka menjadi dua, selubungnya yang berbentuk patung kencana diserahkan kepada saya untuk disimpan dan disembunyikan. Adapun isinya berupa keris pusaka berada di tangan Endang Patibroto, juga untuk disembunyikan. Akan tetapi ketika saya bertemu dengan Endang, dia mempergunakan pusaka itu yang ampuhnya menggila"

   Kartikosari mengangguk-angguk.

   "Biar lah, kalau dia datang, akan kuminta pusaka itu. Pusaka Mataram harus kembali kepada sang prabu di Panjalu, karena tanpa adanya pusaka itu, Kerajaan akan selalu menjadi kacau, demikian dahulu rama resi pernah bercerita. kau pergilah dan cari kembali pusaka yang kau sembunyikan dahulu, anakku."

   Joko Wandiro lalu keluar dari pondok itu. Masih teringat olehnya betapa selama dua tahun ia bermain-main di pulau ini, bermain-main bersama Endang Patibroto, kadang-kadang sama-sama berlatih ilmu. Kemudian ia teringat betapa ia membawa patung kencana menyusup-nyusup ke tengah pulau menuju ke sebelah barat karena ia memang hendak menyembunyikan pusaka itu di bagian barat pulau. Dari jauh sudah tampak olehnya sebatang pohon randu alas yang besar, menjulang tinggi seperti raksasa. Hatinya berdebar keras. Pohon itulah tempat rahasianya. Di sanalah ia menyimpan patung kencana dan di sana pula dahulu ia digigit ular berbisa. Semua itu terbayang jelas dan ketika ia sudah tiba di bawah pohon randu alas, ia berdiri termenung.

   Pohon itu kini sudah menjadi pohon raksasa. Biarpun ia kinipun sudah menjadi seorang dewasa, namun dibandingkan dengan pohon ini, ia kalah jauh pesatnya dalam pertumbuhan. Di manakah kira-kira pusaka itu? Ia masih ingat betul. Dahulu patung kencana itu ia masukkan dalam sebatang cabang yang berlubang, cabang besar yang letaknya paling tinggi. Akan tetapi pohon itu kini sudah amat banyak cabangnya sehingga sukar baginya untuk menentukan cabang yang mana yang menyimpan patung kencana. Dengan jantung berdebar Joko Wandiro lalu melompat naik dan memanjat pohon. Karena ingat bahwa dulu ia pernah digigit ular berbisa di sini, kini ia memandang teliti kalau-kalau ada ular lagi. Akan tetapi tidak ada ular di situ. Mulailah ia mencari-cari, meneliti setiap cabang besar.

   Pada saat Joko Wandiro mencari kembali pusaka yang belasan tahun yang lalu ia sembunyikan di dalam cabang pohon randu alas, di pantai sebelah selatan mendaratlah Endang Patibroto bersama Jokowanengpati atau Ki Jatoko! Ki Jatoko merasa gelisah dan kecut-kecut hatinya, namun ia tidak dapat mundur lagi. Ia telah menjalankan siasat, membujuk gadis itu dan ia maklum bahwa gadis ini tentu hendak membuktikan kebenaran pengakuannya dengan menanyakan hal itu kepada Kartikosari Apa boleh buat, pikir Ki Jatoko. Pengakuannya ini bukan ngawur belaka. Semenjak ia memperkosa Kartikosari, wanita itu berpisah dari suaminya. Kemudian melahirkan Endang Patibroto. Bukankah amat mungkin sekali bahwa gadis ini adalah anaknya? Keturunannya? Ia tak dapat mundur lagi, sekali melangkah harus terus nekat maju.

   "Ibu...!!"

   Suara Endang Patibroto tercampur isak ketika ia memanggil ibunya. Kartikosari yang sedang duduk di luar bersama Roro Luhito dan Ayu Candra, cepat menoleh dan ia melompat bangun. Wajahnya tegang, matanya bersinar.

   "Endang Patibroto! Engkau datang...!!"

   Kemudian matanya menyapu ke arah orang buntung itu, keningnya berkerut, pandangnya tajam penuh selidik.

   "Ahhhh...!!!"

   Roro Luhito menjerit dan mencengkeram tangan Kartikosari. Wanita ini sekali pandang saja sudah mengenal Ki Jatoko. Sebaliknya, Kartikosari hanya merasa seperti pernah bertemu dengan orang buntung ini, akan tetapi lupa lagi di mana dan kapan.

   "Yunda... dia... dia..."

   Roro Luhito tak dapat melanjutkan kata-katanya, mukanya pucat.

   "Bibi, dia itu adalah Ki Jatoko yang jahat!"

   Kata Ayu Candra. Sementara itu, Endang Patibroto juga mengerutkan keningnya ketika melihat Ayu Candra di situ bersama ibunya.

   "Ibu, dia anak musuh kital"

   Bentaknya marah.

   "Yunda Sari, yunda dia... dia Jokowanengpati...!"

   Roro Luhito kembali berbisik dengan mata terbelalak dan muka pucat. Kartikosari kini mengenal pula si buntung itu dan mukanya menjadi pucat, matanya mengeluarkan cahaya berkilat dan ia membentak puterinya,

   "Endang Patibroto! Tahukah engkau, dengan siapa kau datang ini?"

   Karena memang maksud kunjungannya ini untuk mempertemukan ibu kandungnya dengan orang yang mengaku ayahnya; maka seketika Endang Patibroto melupakan urusan Ayu Candra. Ia lalu berkata, suaranya lantang menantang,

   "Ibu, justeru aku yang ingin bertanya apakah ibu mengenal orang ini?"

   "Dia... dia... Iblis telah melindunginya, dia inilah Jokowanengpati si keparat jahanam!!"

   "Ahh, sampai bagaimanapun, mana bisa kau lupakan aku, Kartikosari?"

   Ki Jatoko berkata lirih, cukup jelas terdengar oleh Endang Patibroto.

   "Ibu, baik sekali bahwa ibu seketika mengenal dia. Ada hubungan apakah dia dengan ibu? Jokowanengpati ini mengaku bahwa dia adalah ayah kandungku! Benarkah ibu dahulu menjadi kekasihnya sebelum menikah dengan Pujo, dan benarkah bahwa aku ini... anaknya?"

   

Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini