Ceritasilat Novel Online

Badai Laut Selatan 39


Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Bagian 39



Hebat bukan main kata-kata ini bagi Kartikosari. Bagaikan sebatang pedang beracun karatan menusuk tembus jantungnya. Matanya terbelalak, mukanya tak berdarah lagi, ingin ia menjerit, memaki, berteriak, namun tenggorokannya penuh sesak oleh hawa amarah yang menyesak ke atas sehingga akhirnya ia terguling dan roboh pingsan! Tentu ia akan terbanting roboh kalau tidak cepat-cepat Ayu Candra memeluknya. Gadis ini lalu duduk dan memangku kepala Kartikosari yang pingsan. Roro Luhito meloncat bangun, menudingkan telunjuknya dengan marah kepada Endang Patibroto sambil berseru,

   "Endang Patibroto! Engkau sungguh terlalu! Sampai hati engkau menghina ibumu sendiri sampai begitu? Engkau telah terkena bujukan iblis ini! Huh, Jokowanengpati, semua keteranganmu tentang Kartikosari dan engkau bohong semua!"

   "Hemm, bagaimana bibi Roro Luhito bisa tahu?"

   Endang Patiproto bertanya, mengejek.

   "Mengapa aku tidak tahu... Ah, kau anak durhaka kepada ibu kandung! Endang Patibroto, jangan percaya mulut bangsat rendah, keparat hina ini. Tahukah engkau bahwa tidak hanya ibumu menjadi korban kekejiannya, akan tetapi juga aku? Ibumu sedang bertapa bersama... ayahmu di dalam Guha Siluman, tidak tahu bahwa di dalam guha itu bersembunyi si keparat Jokowanengpati ini. Karena ayah dan ibumu pingsan setelah bertanding melawan kakak kandungku Wisangjiwo, ayah Joko Wandiro, mereka tak berdaya. Jokowanengpati si keparat ini lalu memperkosa ibumu, di depan mata ayahmu! Kemudian ia melarikan diri! Dan bukan itu saja, diapun menggunakan nama kakangmas Pujo untuk memperkosa diriku di tengah malam! Dia ini manusia rendah, iblis bermuka manusia, serigala bertubuh manusia, kau jangan percaya omongannya yang berbisa. Kami, ibumu dan aku sudah menghukumnya sehingga ia terjungkal ke laut, disambar ikan, kami kira sudah mampus... ah..."

   Biarpun mulutnya masih tersenyum mengejek, namun di dalam hatinya, Endang Patibroto merasa lega. Iapun tidak suka kalau betul-betul ayah kandungnya adalah si buntung ini. Kini dengan pandang mata dingin ia menoleh kepada Ki Jatoko, suaranya juga dingin sekali ketika bertanya,

   "Jokowanengpati, betulkah apa yang dikatakan bibi Roro Luhito?"

   Maklum bahwa percuma saja untuk berbantah karena tentu Roro Luhito dan Kartikosari akan membuka semua rahasianya, Jokowanengpati atau Ki Jatoko lalu tertawa bergelak.

   "Huah-ha-ha-ha-hah! Di dunia ini mana ada perempuan yang mau mengakui penyelewengannya? Endang Patibroto, engkau bukan bocah lagi, engkau sudah dewasa dan sudah dapat mempertimbangkan. Katakanlah bahwa ibumu tidak mengaku sebagai kekasihku, akan tetapi betapapun juga, Roro Luhito sudah mengaku bahwa aku pernah memperkosa Kartikosari. Dan semenjak peristiwa itu Kartikosari tak pernah berdekatan dengan Pujo sampai engkau terlahir!"

   Ki Jatoko menyeringai penuh kemenangan dan menoleh kepada Kartikosari yang sudah mulai sadar.

   "Kartikosari, hayo sangkal kalau kau mampu. Semenjak peristiwa malam di dalam guha, bukankah engkau meninggalkan Pujo dan melahirkan Endang Patibroto ini? Hayo jawablah! Engkau tidak mungkin dapat menyembunyikan kenyataan ini!"

   Wajah Kartikosari pucat sekali. Terbayang dalam ingatannya semua pengalamannya dahulu. Dahulupun ia sudah seringkali meragu dan keraguan inilah yang merupakan siksaan batinnya sampat berbulan-bulan. Semenjak ia tahu bahwa ia mengandung, ia sudah meragu dan hendak membunuh diri karena ia tidak tahu pasti anak siapakah dalam kandungannya Itu. Bahkan setelah anak itu terlahir, pernah ia melemparkan anak itu ke laut. Kinipun ia menjadi ragu-ragu, tak dapat menjawab!.

   "Ibu, jawablah, ibu. Jawablah sejujurnya!"

   Terdengar suara Endang Patibroto mendesak. Wajah Kartikosari seperti wajah mayat. Pandang matanya kosong dan bibirnya menggigil.

   "Apa apa yang harus kujawab...? Betul semenjak itu aku... pergi meninggalkan kakangmas Pujo... akan tetapi kuanggap kau anak kakangmas Pujo. Kalau kuanggap dahulu bahwa engkau bukan anak kakangmas Pujo, tentu sudah kubunuh kau!"

   Setelah berkata demikian, tiba-tiba Kartikosari menangis tersedu-sedu dan Roro Luhito cepat merangkulnya dan membujuknya agar tidak melayani mereka itu. Ayu Candra hanya mendengarkan dengan muka pucat dan mata terbelalak, penuh kasihan kepada Kartikosari dan penuh kebencian kepada Ki Jatoko. Diam-diam ia bergidik kalau Ia teringat betapa pernah ia mempercaya manusia iblis dan menyerahkan nasib dirinya kepada Ki Jatoko! Kembali terdengar Jokowanengpati tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan.

   "Ha-ha-ha-ha! Anakku cah-ayu Endang Patibroto! Baru percayakah engkau sekarang, anakku? Engkau anakku, engkau darah dagingku, tak salah lagi! Bukankah banyak persamaan di antara kita? Bukankah cocok watak kita, sama-sama gagah perkasa, sama-sama cerdik penuh akal dan kalau saja mukaku tidak menjadi rusak begini, wajahmu sama benar dengan wajahku. Aku dahulu tampan, seorang ksatria yang elok, kau tanya saja ibumu. Ha-ha, kau tanya juga Roro Luhito ini, dia dahulu di waktu perawan telah diserahkan oleh ayahnya kepadaku untuk menjadi isteriku. Ha-ha, banyak wanita tergila-gila kepadaku. kau boleh bangga mempunyai ayah seperti aku ini, Endang... heeee! Endang...! Mau... mau apa kau. ..?"

   Tiba-tiba suara yang penuh kemenangan itu berubah penuh ketakutan. Endang Patibroto kini berdiri memandang wajah si buntung yang mengaku ayahnya dan keadaan gadis ini benar-benar amat mengerikan. Sepasang matanya penuh kemarahan, penuh hawa nafsu membunuh, agaknya mata iblis seperti itulah. Mulutnya setengah tersenyum, wajahnya pucat sekali. Jokowanengpati mundur-mundur ketakutan. Sinar mata itu membisikkan maut, membuat ia bergidik ngeri.

   "Endang... Endang Patibroto... ingat, kau... anakku... mau apa kau. ..?"

   Endang Patibroto melangkah maju, perlahan-lahan, mengikuti gerakan Jokowanengpati yang mundur-mundur. Bibirnya bergerak-gerak, mula-mula hanya bisikan-bisikan lirih yang tidak terdengar orang lain, kemudian makin keras bisikan-bisikannya itu,...

   "Kubunuh kau... ayahku atau bukan... kau yang menyebabkan ibuku sengsara... kau yang... mendatangkan kutuk atas diriku... kubunuh kau... kubunuh kau..."

   Jokowanengpati takut bukan main. Ke manapun ia mundur, gadis itu terus mengikutinya sehingga mereka berdua makin menjauhi pondok Kartikosari. Tiga orang wanita di depan pondok itu mengikuti mereka berdua dengan pandang mata penuh kengerian. Kartikosati mendekap mulut menahan jerit yang hendak keluar. Biarlah, bisik hatinya, biarlah. Kini ia tidak meragu lagi. Sepatutnya gadis itu memang keturunan Jokowanengpati. Keturunan Pujo tidak seperti itu! Biarlah, biarlah anak dan ayah laknat itu saling bunuh!

   "Endang Patibroto... ingatlah,... aku... ayahmu..."

   Jokowanengpati berkali-kali memperingatkan dan mohon dikasihani.

   "Ayahku atau bukan, harus kubunuh engkau... kubunuh... kubunuh..."

   Tiba-tiba Jokowanengpati atau Ki Jatoko yang sudah ketakutan setengah mati itu meloncat jauh untuk melarikan diri akan tetapi tubuhnya roboh terguling karena Endang Patibroto sudah memukulnya dengan ilmu pukulan jarak jauh. Dan sebelum ia sempat lari lagi, Endang Patibroto sudah meloncat di depannya. Saking takutnya, Jokowanengpati menjadi nekat. Begitu gadis itu mendekat, ia menubruk dengan pukulan keras ke arah pusar.

   "Bagus, kau lawanlah!"

   Kata Endang Patibroto sambil miringkan tubuh mengelak, kemudian kedua tangannya bagaikan dua ekor ular cepatnya menyambar dan sudah mencekik leher Jokowanengpati.

   "Endang... auughhh...!"

   Jokowanengpati menggunakan kedua tangannya mencengkeram tangan gadis itu, membetot-betot dan meronta-ronta berusaha melepaskan diri. Namun usahanya sia-sia. Kedua lengan gadis itu yang berkulit halus putih seolah-olah telah berubah menjadi sepasang jepitan baja yang kokoh kuat. Mata gadis itu masih melotot mengerikan, sama sekali tak pernah berkedip, dan mulutnya yang agak terbuka mengeluarkan kata-kata lirih,

   "Kubunuh... kau... kubunuh kau... kubunuh kau..."

   Makin takutlah Jokowanengpati. Ia kini tahu betul bahwa maut telah membayang di depan matanya. Kalau tadi ia mencengkeram kedua lengan Endang Patibroto berusaha melepaskan cekikan, kini ia mengepal kedua tangannya dan menghantam sekenanya. Terdengar suara bak-bik-buk ketika pukulan-pukulannya mengenai perut, lambung dan pangkal lengan Endang Patibroto, namun agaknya sama sekali tidak terasa oleh gadis perkasa itu. Jokowanengpati menjadi makin ngeri dan takut. Sudah ia kerahkan tenaga untuk melawan dan untuk menahan cekikan, namun cekikan makin erat dan ia sudah tak dapat bernapas lagi, matanya berkunang-kunang telinganya terngiang-ngiang kepalanya berdenyut-denyut. Saking takutnya, kedua tangannya kini tidak memukul-mukul lagi, melainkan menyembah-nyembah minta ampun.

   Matanya yang melotot membayangkan rasa takut hebat dan mulutnya terbuka memperlihatkan gigi yang besar-besar dan tidak karuan bentuknya, lidahnya mulai terjulur. Mukanya menjadi merah sekali seperti kepiting direbus. Endang Patibroto seperti orang mabuk. Tubuhnya bergoyang-goyang, matanya melotot, napasnya keluar dari mulut, terengah-engah. Cekikannya makin diperkuat. Darah mulai menetes turun dari kedua telinga, mata, hidung dan mulut Jokowanengpatil Muka yang merah itu kini membiru, matanya melotot seperti hendak meloncat keluar dari tempatnya. Lidahnya terjulur keluar seperti ditarik. Tubuhnya mengejang, kaki tangannya berkelojotan. Terdengar suara mengorok di kerongkongan. Endang Patibroto makin memperkuat cekikannya.

   "Krokkk..."

   Batang leher itu patah! Tubuh Jokowanengpati atau Ki Jatoko tidak bergerak lagi. Endang Patibroto melepaskan tangannya dan mendorong tubuh yang sudah tak bernyawa itu ke samping. Kemudian perlahan-lahan pandang matanya bergerak, beralih dari tubuh yang tak bernyawa itu, kini memandang ke depan, ke arah tiga orang wanita yang berdiri di depan pondok. Isak-tangis keluar dari kerongkongan Kartikosari yang mendekap mulutnya dengan tangan yang menggigil. Ayu Candra berdiri dengan muka pucat saking seremnya. Juga Roro Luhito pucat wajahnya, akan tetapi wanita ini merasa jijik. Pandang mata Endang Patibroto kini seluruhnya ditujukan kepada Ayu Candra. Kemudian terdengar ia berseru,

   "Ayu Candra, majulah! kaupun harus mati di tanganku!"

   Tiba-tiba, seperti mendapat aba-aba, Kartikosari dan Roro Luhito maju ke depan, melindungi Ayu Candra dengan sikap siap bertanding. Kartikosari berkata, suaranya tenang namun mengandung kemarahan ditahan-tahan,

   "Endang Patibroto! Pergilah kau dari sini dan jangan memperlihatkan diri kepadaku lagi! Agaknya engkau memang patut menjadi anak Jokowanengpati dan karena itu aku... benci kepadamu! kau akan membunuh Ayu Candra? Boleh, akan tetapi melalui mayat kami berdua!"

   Endang Patibroto mengeluarkan pekik dahsyat Sardulo Bairowo. Kemudian ia menjerit,

   "Ibu, dia itu musuh kita! kau hendak melindunginya?"

   Pertanyaannya ini diajukan penuh penasaran, penuh kekecewaan, penuh kedukaan.

   "Kalau mau bicara tentang musuh, agaknya engkaulah musuh kami!"

   Jawab pula Kartikosari dengan pandang mata penuh amarah. Endang Patibroto kembali memekik. Air matanya bercucuran keluar, tangannya menggigil, siap menerjang.

   "Ibu...! Ibu! Begitukah anggapanmu tentang... diriku??"

   "Apa boleh buat, engkau anak durhaka, engkau anak yang mengotori pesan kakangmas Pujo. Engkau memang pantas menjadi anak Jokowanengpati, karena itu engkau patut pula menjadi musuhku. Hayo, jangan kepalang melakukan kekejian. Aku ibumu, aku yang melahirkanmu, hayo kau bunuhlah aku sekalian, kalau kau berani!"

   "Ibu...!!"

   Jerit ini bercampur isak.

   "Hayo pergilah, pergi jangan datang kembali atau... kau maju dan serang aku, bunuh aku!"

   "Ibu...!"

   Pekik yang dikeluarkan Endang Patibroto menyayat hati.

   "Ayu Candra, kau pengecut! Hayo maju dan lawanlah aku, jangan kau berlindung di belakang orang-orang tua!."

   Pada saat itu, terdengar lengking tinggi di sebelah belakang Endang Patibroto disusul suara yang tenang namun tegar.

   "Endang Patibroto, mengapa engkau selalu haus darah? kau lihat, Ayu Candra sebagai puteri suami-isteri yang telah kau bunuh, mau melihat kenyataan dan tidak menaruh dendam, berdamai dengan ibu kandungmu. Akan tetapi engkau, mengapa begini ganas Endang, kau insyaflah, mintalah ampun kepada bibi Kartikosari dan mari kita semua hidup dalam suasana persaudaraan, melenyapkan segala dendam dan"

   "Joko Wandiro, keparat! kau sombong sekali! kau kira aku takut kepadamu? kau hendak membela Ayu Candra mati-matian? Boleh, hayo kau majulah!"

   Setelah berkata demikian, Endang Patibroto sudah meloncat bagaikan terbang menerjang Joko Wandiro yang sudah muncul dan berdiri tak jauh di depannya.

   "Endang...! Jangan..."

   Kartikosari berseru keras penuh kekhawatiran. Pada saat itu, udara menjadii gelap dan angin bertiup kencang dari arah utara. Daun-daun pohon rontok tertiup angin dan terdengarlah suara angin rnnenggiriskan. Langit mendadak menjadi gelap dan dari dalam mendung tebal tampak kilat menyambar-nyambar.

   "Badai...!"

   Seru Roro Luhito terkejut.

   "Badai Laut Selatan mengamuk! Mari berlindung!"

   Kartikosari yang mengkhawatiran keadaan Endang Patibroto dan Joko Wandiro, tidak mau meninggalkan tempat itu. Akan tetapi Roro Luhito yang maklum akan bahaya, menarik lengan madunya itu.

   "Ayu Candra, bantu aku, mari ajak bibimu berlindung. Berbahaya. Badai Laut Selatan mengamuk. Ganas... ganas...!!"

   Selama tinggal di pulau itu, pernah satu kali badai Laut Selatan mengamuk dan hampir saja keduanya tewas. Kini Roro Luhito sudah berpengalaman, maka cepat ia menyeret Kartikosari yang berteriak-teriak memanggil anaknya, dibantu oleh Ayu Candra yang juga menangis, karena gadis ini teringat akan kakaknya. Akhirnya mereka itu sambil berlari-lari setengah merangkak di antara tiupan angin yang amat keras, berhasil tiba di gunungan batu di mana terdapat sebuah guha besar dan di sinilah mereka berlindung.

   Angin bertiup amat kerasnya sehingga terdengar suaranya melengking bersiuran. Seluruh pohon di pulau itu diamuk, daun-daun beterbangan, bahkan ada pohon yang tercabut berikut akar-akarnya. Pondok kecil tempat tinggal Kartikosari dan Roro Luhito sudah diterbangkan pula oleh angin, dibawa ke laut dan disambut ombak menggelombang. Dari atas pulau tampak betapa ombak sebesar gunung bergerak-gerak menuju kepantai selatan. Kepalanya putih, badannya panjang seperti naga hitam berkepala putih. Kilat yang menyambar-nyambar seperti keluar dari mulut naga. Angin datang membawa air hujan. Basah kuyup tubuh tiga orang wanita itu. Pakaian mereka kusut, rambut awut-awutan. Kartikosari menangis ketika Roro Luhito membereskan rambutnya dan menyusut! air yang membasahi seluruh muka.

   "Anakku"

   Dan Joko... di mana... mereka... ehhh!"

   "Tenanglah, ayunda Sari. Mereka berdua bukan orang-orang lemah. Badai Laut Selatan takkan mencelakai mereka. Hanya aku khawatir, Endang Patibroto, takkan mau sudah sebelum menandingi Joko Wandiro..."

   "Ahhh"

   Bagaimana baiknya? Anakku... dia durhaka... ah, ketika... terlahir dulu juga disambut badai... dia... ganas seperti badai selatan, dia kejam seperti gelombang Laut Selatan. Bagaimana kalau Joko Wandiro..."

   "Kakang Joko Wandiro akan mampu melindungi diri sendiri,"

   Tiba-tiba terdengar suara Ayu Candra.

   Wajah gadis ini pucat, napasnya memburu, namun pandang matanya penuh kepercayaan. Tiga orang itu lalu diam, seperti berdoa, terlalu tegang mereka untuk membuka mulut lagi. Mereka tenggelam dalam lamunan masing-masing, atau tertelan oleh suara angin yang memanjang mengerikan. Badai Laut Selatan kembali mengamuk, memperlihatkan keganasan dan kekuatannya. Apa yang terjadi pada saat itu di atas pulau, di dalam badai mengganas, benar amat hebat mengagumkan. Dua orang muda itu agaknya tidak merasa bahwa badai mengamuk hebat. Begitu Endang Patibroto menerjangnya dengan keris pusaka Brojol Luwuk di tangan, Joko Wandiro maklum bahwa ia harus menghadapi gadis ini mati-matian. Dari keris pusaka itu menyambar hawa panas yang membuat ia silau dan merasa kaki tangannya lumpuh.

   Ia mengeraskan hati dan mengerahkan semua aji kesaktiannya, namun tetap saja ia gemetar dan ketika mengelak, ia merasa betapa gerakannya berkurang kegesitannya. Maklumlah ia bahwa keris pusaka itu benar-benar amat ampuh dan mempunyai daya kekuatan yang jauh melampaui kekuatan dan hawa saktinya sendiri. Endang Patibroto seperti sudah gila, atau seperti kesurupan hawa badai yang mengamuk. Ia memekik-mekik dan menyambar-nyambar dengan kerisnya. Suara badai mengamuk memasuki telinganya semerdu suara gamelan yang mendorongnya untuk bergerak makin ganas lagi. Angin yang melengking-lengking meniup pergi suara yang keluar dari mulut Endang Patibroto. Bagaikan mimpi gadis ini berteriak-teriak, memekik-mekik,

   "Joko Wandiro! kau menolak perjodohan denganku dan mencinta gadis lain? Baiklah, memang kau harus mati di tanganku!"

   Teriaknya berkali-kali, akan tetapi suara badai yang hiruk-pikuk disertai lengking angin yang memanjang menulikan telinga, membuat suara gadis ini tidak terdengar oleh Joko Wandiro. Pula, pemuda ini memang sibuk sekali menghindarkan serangan-serangan Endang Patibroto yang amat berbahaya. Karena sudah tidak ada jalan keluar lagi, Joka Wandiro mengelak sambil balas memukul, menggerakkan tangan dengan Aji Bojro Dahono.

   "Weerrr...!!"

   Pukulan Joko Wandiro dahsyat sekali dan biasanya pukulannya ini tidak ada yang kuat menahannya. Akan tetapi, ketika pukulan itu meluncur ke arah Endang Patibroto, secara tiba-tiba pukulan itu terpental mundur oleh hawa yang panas, yang menyerbu keluar dari keris pusaka Brojol Luwuk! Dan pada saat itu, keris pusaka bagaikan naga sudah menyambar datang menusuk ke arah dadanya. Silau mata Joko Wandiro oleh sinar yang menyambar keluar dari ujung keris pusaka itu.

   "Celaka...!"

   Serunya dan cepat ia membuang diri ke kiri. Ia berhasil lolos dari cengkeraman maut, akan tetapi tak dapat menghindarkan diri ketika kaki kanan Endang Patibroto menyambar, mencium lambungnya dan tubuh Joko Wandiro roboh tersungkur.

   "Matilah kau, Joko Wandiro!"

   Ketika itu tubuh Joko Wandiro sudah rebah miring dan keris pusaka Brojol Luwuk menghujam ke bawah mengarah dada. Tampak kilat menyambar dari angkasa, disusul bunyi meledak dan menggeletar. Halilintar menyambar-nyambar dan pada saat itu tampak pula sinar kuning emas menyilaukan mata, sinar yang menyambut datangnya keris pusaka Brojol Luwuk.

   "Cringgg...!!"

   Bunga api berpijar dan hawa di sekitar tempat itu seperti terbakar.

   "Aihhhh...!!!"

   Endang Patibroto menjerit dan tubuhnya mencelat ke belakang. Ia memandang dengan mata terbelalak, marah, penasaran dan juga kaget melihat betapa pusakanya kali ini dapat tertangkis sehingga tubuhnya seperti dilontarkan. Ketika ia sudah dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dan memandang, ternyata Joko Wandiro sudah berdiri dan tangan kanannya memegang sebuah patung kencana Sri Bhatara Whisnu! Golek kencana yang dulu menjadi bahan ejekannya, atau warangka dari keris pusaka Brojol Luwuk! Kiranya benda itulah yang telah dipergunakan pemuda itu untuk menangkis kerisnya. Dan ternyata dari pantung kencana itu keluar hawa yang adem dan mempunyai pengaruh yang menggiriskan! Namun kenyataan ini bukan meredakan amarahnya, bahkan membuat gadis ini menjadi penasaran sekali.

   Sambil memekik nyaring ia lalu meloncat maju dan menerjang lagi dengan kecepatan dan kekuatan dahsyat. Joko Wandiro juga sudah timbul kemarahannya. Berkali-kali ia hampir tewas di tangan gadis yang amat ganas ini. Dengan hati-hati ia melayani Endang Patibroto. Hatinya kini besar dan tenang karena tanpa disengaja ia mendapatkan senjata yang ampuh, yang dapat menandingi keris pusaka Brojol Luwuk. Tadi ia telah berhasil menemukan patung kencana Sri Bhatara Whisnu di dalam cabang pohon dan mengambilnya. Ketika ia kembali ke pondok, ternyata Endang Patibroto telah membunuh Ki Jatoko dan sedang mengancam hendak membunuh Ayu Candra. Tadi ia teiah terdesak hebat dan hampir tewas. Dalam keadaan kepepet ia tadi secara kebetulan menggunakan patung kencana untuk menangkis keris pusaka dan hasilnya menakjubkan.

   Kini hatinya besar dan tahulah ia bahwa keris pusaka itu kehilangan pengaruhnya menghadapi warangkanya. Hebat bukan main pertandingan kali ini antara Endang Patibroto dan Joko Wandiro. Pemuda itu maklum dari gerak-gerik gadis itu bahwa sekali ini Endang Patibroto hendak mengadu nyawa, bertanding mati-matian. Joko Wandiro betapapun juga tak seujung rambut mempunyai niat untuk membunuh Endang Patibroto, dan ia masih khawatir kalau-kalau gadis sakti yang ganas ini masih akan mengalihkan perhatian untuk mencoba menyerang Ayu Candra. Oleh karena itu, setelah kini ia dapat mengimbangi gerakan lawan dengan patung kencana di tangan, Joko Wandiro main mundur dan memancing Endang Patibroto bertanding makin menjauhi pondok itu.

   Dalam keadaan marah yang hebat, juga dalam tiupan angin badai yang menggelora, Endang Patibroto tidak sadar akan hal ini dan tahu-tahu ia bersama lawannya telah bertanding di pinggir pantai. Ombak air Laut Selatan mengamuk naik ke pulau dan di antara sambaran lidah-lidah ombak inilah mereka kini bertanding. Gerakan mereka amat hebat, berloncatan dari karang ke karang, saling sambar di antara kilatan halilintar. Tubuh mereka sudah basah kuyup, namun semangat bertanding makin menggelora. Untuk kesekian kalinya Endang Patibroto memekik dengan Aji Sardulo Bairowo dan tubuhnya melayang ke atas udara, kemudian dengan ganasnya ia meluncur turun sambil menggerakkan keris pusaka Brojol Luwuk menyerang dada sedangkan tangan kiri melancarkan serangan pukulan jarak jauh dengan Aji Wisangnala yang amat ampuh!

   Namun Joko Wandiro sudah bersiap sedia menanti datangnya serangan. Kedua kakinya memasang kuda-Kuda kokoh kuat. Dalam keadaan seperti itu, biarpun diserang ombak besar membadai, ia tidak akan roboh. Kaki kiri di belakang, kaki kanan di depan, kedua telapak kaki seakan-akan sudah berakar pada batu karang yang dipijaknya. Tangan kiri dengan jari-jari terbuka menjaga di depan dada, kemudian ketika ia melihat datangnya keris pusaka, tangan kanan yang memegang patung kencana digerakkan ke atas, menangkis, sedangkan tangan kiri dengan Aji Bojro Dahono mendorong ke depan menerima pukulan Wisangnala.

   "Tranggg...! Dessss..."

   Tubuh Endang Patibroto terhuyung-huyung dan pada saat itu, lidah ombak yang besar panjang datang menyambar dan menyeret tubuhnya ke laut! Akan tetapi, gadis perkasa ini mengeluarkan pekik dahsyat dan tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas dari dalam air, kemudian dengan gerakan kacau-balau dan dahsyat bagaikan badai Laut Selatan sendiri, ia sudah menerjang lagi ke arah berdirinya Joko Wandiro!

   Bertubi-tubi keris pusakanya menyerang dan bertubi-tubi pula kena ditangkis oleh Joko Wandiro. Namun sekali lagi Joko Wandiro kena diakali karena secara tiba-tiba kaki kiri Endang Patibroto berhasil menendang lututnya sehingga Joko Wandiro terpeleset dan terguling. Kali ini dialah yang digulung ombak. Untung bahwa ombak itu cukup besar sehingga menutup dan menenggelamkan tubuh Joko Wandiro, karena pada saat itu Endang Patibroto sudah terjun pula ke dalam air untuk mengirim tusukan maut. Karena besarnya ombak, tubuh Joko Wandiro lenyap dan hal ini menolongnya. Ketika ombak sudah pergi, mereka berdiri berhadapan di atas pasir dan ternyata jarak di antara mereka amat dekat.

   "Singgg..."

   Keris pusaka Brojol Luwuk menyambar ke depan. Hawanya yang panas membuat tubuh Joko Wandiro setengah lumpuh rasanya. Namun pemuda ini dapat menggerakkan patung kencana menangkis. Karena kedudukannya agak miring, maka kini ia menangkis dari samping dan kaki patung yang meluncur di depan.

   "Siuuuttt... cappp...!!"

   Entah bagaimana kedua orang muda itu sendiri tidak tahu. Bagaikan besi yang tersedot besi sembrani, keris pusaka dan patung kencana itu saling tarik-menarik dan tanpa dapat dicegah lagi, keris pusaka itu menancap ke dalam lubang di bagian bawah patung, masuk ke dalam warangka dan tak dapat dicabut kembali! Joko Wandiro melihat kesempatan baik ini, mengerahkan tenaga di tangan kanan, merenggut patung dan tangan kirinya menampar dengan Aji Pethit Nogo.

   "Plakk...! Aduhhh...!!"

   Tubuh Endang Patibroto terjengkang dan kebetulan pada saat itu, ombak badai sudah datang lagi sehingga tubuhnya diterima ombak dan dilontarkan sampai jauh! Joko Wandiro cepat meloncat ke atas batu karang dan cepat-cepat ia meloncat lagi menjauhi jangkauan ombak. Hanya sebentar tubuh Endang Patibroto ditelan ombak. Agaknya, ombak badai Laut Selatan masih belum cukup kuat untuk menelan dan melenyapkan tubuh gadis perkasa yang semenjak lahir sudah berada di antara ombak dan badai ini. Segera ia sudah tampak berloncat-loncatan mengejar Joko Wandiro, rambutnya riap-riapan membasah, pakaiannyapun basah kuyup sehingga menempel pada tubuhnya, menempel ketat mencetak bentuk tubuh yang menggairahkan? Sepasang matanya bersinar-sinar marah mulutnya berteriak-teriak di antara gemuruh badai,

   "Joko Wandiro! Kembalikan pusakaku! Keparat, kembalikan...!!!"

   Bagaikan seorang mabuk ia menerjang lagi, dengan kedua tangan terbuka jarinya, mencengkeram dan menonjok. Namun dengan mudah Joko Wandiro mengelak dan sekali kakinya menyabet, gadis itu jatuh terduduk.

   "Keparat! Pengecut, kembalikan pusakaku!"

   "Endang, ingatlah. Pusaka ini bukan milikmu, bukan pula milikku. Lupakah kau bahwa pusaka itu oleh mendiang eyang Resi Bhargowo dititipkan kepada kita untuk disembunyikan dan disimpan agar tidak terjatuh ke tangan orang jahat? Kita tiba saatnya aku mengumpulkan dua pusaka itu dan mengembalikan kepada yang berhak, Endang."

   "Kembalikan padaku...! Ahh, kembalikan...!"

   Kini gadis itu sudah menyergap lagi, tangan kirinya meraih ke arah patung kencana, tangan kanannya memukul dada. Namun sekarang hati Joko Wandiro sudah lega dan besar. Dengan pusaka di tangan, kesaktiannya makin hebat. Ia membiarkan saja pukulan tangan gadis itu mengenai dadanya.

   "Bukk!"

   Tubuhnya tak bergeming dan sekali dorong, kembali Endang Patibroto terjengkang di atas tanah sampai rambut dan pakaiannya kotor semua terkena tanah.

   "Endang, ingatlah. Pusaka ini miliki Kerajaan, hendak kukembalikan ke Panjalu. Dahulu guruku berpesan bahwa lenyapnya pusaka menimbulkan geger dan kekacauan, hanya kalau pusaka sudah kembali ke tempatnya, maka negara akan menjadi tata tenteram kerta raharja. Engkau bertobatlah, Endang, kembalilah kepada ibumu. Dia menunggu. Kembalilah dan bebaskan dirimu daripada pengaruh buruk, jangan membiarkan dirimu diperhamba hawa nafsumu sendiri, Endang, kau ingatlah!"

   Namun bujukan Joko Wandiro tak pernah didengarkan oleh Endang Patibroto. Beberapa kali ia masih menerjang dengan nekat dan ganas sehingga akhirnya Joko Wandiro terpaksa menampar kepalanya dengan Aji Pethit Nogo sehingga Endang Patibroto terbanting dan roboh pingsan.

   Badai mulai mengendur dan mereda. Joko Wandiro masih berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar memandang tubuh Endang Patibroto. Dalam keadaan pingsan, gadis ini kelihatan cantik jelita, luar biasa sekali kecantikan gadis ini setelah sifat-sifat keji dan ganas lenyap dari permukaan wajahnya. Joko Wandiro menarik napas berkali-kali, kemudian ia membungkuk dan mengempit tubuh Endang Patibroto dan larilah ia dengan ilmu lari cepat menuju ke pondok. Setelah badai mereda, Kartikosari, Roro Luhito, dan Ayu Candra sudah kembali ke pondok, atau lebih tepat, ke bekas pondok karena pondok itu sendiri hanya tinggal beberapa buah tiang dan lantainya saja. Bilik dan atapnya sudah lenyap dibawa badai!

   "Maafkan saya, bibi. Untuk mengakhiri pertandingan yang tak kunjung henti karena kenekatan Endang, terpaksa saya memukulnya pingsan. Saya menyerahkannya kepadamu, bibi. Semoga bibi dapat menyadarkannya daripada jalan sesat. Pusaka Mataram saya bawa untuk saya kembalikan ke Panjalu, dan lebih baik saya segera pergi bersama Ayu Candra sebelum dia sadar untuk mencegah hal-hal yang tidak menyenangkan."

   Kartikosari hanya dapat menggangguk, tak kuasa mengeluarkan kata-kata saking terharu hatinya. Ia memangku anaknya yang pingsan sambil bercucuran air mata. Roro Luhito memandang keponakannya dengan bangga ketika berkata,

   "Joko Wandiro, kau pergilah dan laksanakan kewajibanmu dengan baik. Kami hanya dapat memberi bekal doa restu semoga ke manapun juga kau akan selalu bersikap sebagai seorang satria utama dan akan selalu mendapat perlindungan Hyang Maha Wisesa, anakku."

   Joko Wandiro menggandeng tangan Ayu Candra lalu mengundurkan diri, pergi mencari perahunya. Untung ia mengikat perahunya kuat-kuat pada pohon di pantai, kalau tidak tentu perahunya akan lenyap tertiup badai.

   Kali ini ketika Joko Wandiro mohon menghadap sang prabu di Panjalu, bergegas para penjaga mempersilahkannya menanti dan cepat-cepat orang melaporkan permohonannya kepada sang prabu. Semua orang telah mengenal pemuda sakti ini. Diam-diam Joko Wandiro melihat kenyataan akan bukti watak manusia yang serba palsu ini. Dahulu, ketika pertama kali menghadap, ia dihina dan dipandang rendah, tidak dilayani sebagaimana mestinya. Sekarang, setelah mereka tahu bahwa dia memiliki kedigdayaan, mereka bersikap berlebih-lebihan. Adakah manusia di dunia ini yang bersikap sewajarnya, tidak membeda-bedakan antara manusia, tidak memandang kekayaan, kedudukan, dan kepandaian? Mungkin sekali ada akan tetapi... ah, alangkah sukarnya mendapatkan manusia seperti itu!

   Pada waktu itu, sang prabu di Panjalu sedang dihadap para hulubalang, menteri, dan penasehat, merundingkan tentang peristia pemberontakan Nusabarung terhadap Kerajaan Jenggaia. Biarpun sejak menjadi pangeran dahulu, sang prabu di Jenggala selalu memperlihatkan sikap bermusuh terhadap sang prabu di Panjalu, akan tetapi permusuhan itu merupakan pertikaian keluarga, merupakan urusan dalam. Kini begitu mendengar bahwa Kerajaan Jenggala dimusuhi oleh Nusabarung yang memberontak, sang prabu di Panjalu ikut menjadi marah!

   Betapapun juga, Kerajaan Jenggala merupakan sebagian daripada wilayah Kerajaan mendiang Sang Prabu Airlangga, ayah mereka berdua. Dan betapapun juga, sang prabu di Jenggala adalah adik sendiri, adik tiri, serama berlainan ibu. Karena mendengar betapa kuatnya pemberontak Nusabarung yang dibantu oleh adipati-adipati di sebelah timur, sang prabu di Panjalu sudah mengutus pasukan untuk membantu Jenggala secara diam-diam dan menggempur Nusabarung. Ketika pasukan pertama ini yang tidak begitu besar menderita kerugian dan terpukul oleh Nusabarung, sang prabu telah mengirim pasukan yang lebih besar lagi!

   Pada saat sang prabu merundingkan urusan ini bersama para hulubalangnya, penjaga datang menghadap melaporkan kedatangan Joko Wandiro bersama adiknya yang bernama Ayu Candra mohon menghadap sang prabu. Mendengar disebutkan nama Joko Wandiro ini, seketika berseri wajah sang prabu. Juga para hulubalang dan Ki Patih Suroyudo berubah wajahnya. Tentu saja mereka semua teringat akan pemuda yang dahulu pernah mengusir Ni Durgogini dan Ni Nogogini itu. Bahkan ketika sang prabu mendengar tentang sepak terjang pemuda itu, sang prabu lalu mengutus para senopati untuk pergi menyelidik, siapakah sesungguhnya pemuda perkasa yang tadinya mereka pandang rendah itu.

   Ketika akhirnya mendengar bahwa Joko Wandiro yang semula mereka sangka seorang anak dusun yang ingin mencari kedudukan di Kerajaan itu ternyata adalah murid Ki Patih Narotama, sang prabu dan semua senopati menjadi terkejut dan menyesal bukan main mengapa mereka kurang menaruh perhatian dan penghargaan kepada pemuda itu. Apalagi ketika Ki Darmobroto dan juga puteranya, Joko Seto, datang ke Kotaraja dan menceritakan keadaan Joko Wandiro, sang prabu merasa makin menyesal. Kini secara tiba-tiba pemuda itu datang hendak menghadap. Hati siapa tidak menjadi kaget dan girang?

   "Lekas persilahkan dia masuk dan menghadap padaku!"

   Teriak sang prabu dengan wajah riang. Sepasang mata sang prabu masih bersinar-sinar terang dan semua mata para hulubalang yang hadir ditujukan kepada Joko Wandiro ketika pemuda ini dengan sikap hormat sekali memasuki ruangan diikuti oleh Ayu Candra. Gadis itu saking kagum menyaksikan ruangan keraton, masuk sambil memandang ke kanan kiri, kemudian ketika ia melihat sang prabu yang duduk penuh wibawa ia menjadi takut dan menundukkan muka, berjalan perlahan memegangi lengan kakaknya.

   "Hemm, bagus sekali, Joko Wandiro. Kedatanganmu menghadap kami benar-benar mendatangkan rasa syukur dan gembira di hati kami. Sayang bahwa dahulu ketika engkau datang menghadap, kami belum tahu siapa engkau dan tidak dapat bercakap-cakap sebagaimana mestinya,"

   Demikian sang prabu menyambut ketika pemuda itu sudah menghaturkan sembah, adapun Ayu Candra menyembah tanpa dapat mengeluarkan kata saking tertegun dan gentar di hati.

   "Joko Wandiro, setelah diri kami mengetahui bahwa engkau adalah murid tersayang mendiang paman Patih Narotama, kami harap kau suka membantu kami di sini mengatur pemerintahan dan memperkuat barisan Panjalu. Kami yakin andaikata paman Patih Narotama masih hidup, tentu akan menganjurkan engkau untuk mengabdi kepada Panjalu."

   "Semua sabda paduka gusti benar dan tepat. Memang sesungguhnya dahulu bapa guru meninggalkan pesan agar hamba bersuwita (menghambakan diri) kepada Kerajaan Panjalu. Akan tetapi ketika hamba untuk pertama kali menghadap paduka, sengaja hamba tidak menyebut nama bapa guru oleh karena hamba sungguh merasa malu untuk mencari kedudukan mengandalkan nama besar guru. Menurut pendapat hamba yang picik, pahala harus diperoleh dengan Jasa sendiri, barulah berharga. Pada waktu itu, hamba sama sekali belum melakukan sesuatu untuk paduka, sama sekali belum berjasa. Kalau dahulu paduka memberi kedudukan kepada hamba mengingat akan jasa-jasa bapa guru, bukankah hal itu amat mengecewakan dan bukan sepantasnya diterima oleh seorang satria? Harap paduka sudi mengampuni hamba, jika sekiranya pendapat hamba itu keliru."

   Sang prabu tertawa bergelak sambil mengelus dagu yang tak berjenggot. Pandang matanya makin berseri-seri dan diangkatnyalah wajahnya memandang para senopati dan hulubalang yang hadir. Suaranya lantang ketika sang prabu berkata,

   "Heh para senopati dan hulubalang, kalian sudah mendengar ucapan seorang satria. Camkanlah baik-baik ucapan itu karena di dalam kata-katanya aku seperti mendengar suara mendiang paman Patih Narotama yang kalian semua sudah mengetahui sebagai seorang yang arif bijaksana dan sakti mandraguna. Inilah Joko Wandiro muridnya yang memiliki pandangan serta pendirian yang sama dengan mendiang paman Patih Narotama. Rendah hati, tidak gila kedudukan, setia, dan jujur."

   
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kemudian sri baginda menoleh kepada Joko Wandiro, bertanya.

   "Aku girang mendengar pendapatmu itu, Joko Wandiro. Sekarang kau datang menghadap, aku tidak mengharapkan jasamu, hanya aku percaya penuh akan kesanggupanmu. Biarpun kau tidak mengutarakannya kepadaku, aku sudah mendengar betapa engkau mengusir dua orang wanita iblis dari Panjalu, bahkan aku mendengar pula akan sepak terjangmu menolong nini Mayagaluh keponakanku dari Jenggala, mendengar pula tentang bantuan-bantuanmu kepada Kerajaan Jenggala. Setelah kau datang menghadap, aku harapkan engkau, suka membantuku dan menerima kedudukan yang akan kuberikan kepadamu. Aku sudah tahu bahwa engkau adalah putera Raden Wisangjiwo dari Selopenangkep, kau cucu bekas Adipati Selopenangkep. Ayahmupun tewas dalam perang membelaku sehingga jasa ayahmu saja sudah cukup bagiku untuk memberi imbangan jasa kepada puteranya."

   Joko Wandiro menyembah

   "Sebelumnya hamba menghaturkan terima kasih atas kurnia paduka kepada hamba. Sesungguhnya, kedatangan hamba menghadap ke depan kaki paduka adalah untuk menyerahkan kembali pusaka Mataram yang lenyap sejak belasan tahun yang lalu."

   Saking kagetnya, sang prabu sampai bangkit dari tempat duduknya. Bahkan. Ki Patih Suroyuda dan para senopati sepuh menjadi pucat wajahnya.

   "Pusaka... pusaka Mataram...?"

   Sang prabu bertanya, suaranya gemetar karena tegangnya. Pusaka ini sudah dianggap lenyap dan hal itu membuat semua keluarga menjadi berduka dan gelisah. Kini secara tiba-tiba Joko Wandiro menyebut-nyebut tentang pusaka, tentu saja mereka semua menjadi terkejut dan heran.

   "Benar sabda paduka, gusti. Inilah pusaka Mataram yang baru hari ini dapat hamba persembahkan kepada paduka."

   Ia mengeluarkan patung kencana dari bungkusan, patung kencana Sri Bhatara Whisnu, lengkap dengan isinya, yaitu keris pusaka Brojol Luwuk. Patung itu mencorong cahayanya dan semua orang menjadi silau memandangnya.

   "Duh Jagad Dewa Bathara...!!"

   Sang prabu bersabda dengan wajah berseri dan bergegas menerima patung kencana itu, diangkatnya patung kencana dengan kedua tangan, dibawanya ke atas ubun-ubun kepalanya dengan khidmat, kemudian diturunkannya ke muka dan diciumnya kaki patung atau gagang keris pusaka. Setelah itu dipeluknya patung kencana, dekat dengan hatinya seakan-akan khawatir kalau-kalau patung kencana itu terlepas lagi dari tangannya.

   "Dewata telah mengabulkan doaku siang malam, dan semoga arwah ramanda prabu mengampuni dosaku. Dengan kembalinya pusaka Mataram, akan pulih kembali kebesaran Mataram yang jaya. Akan lenyap segala rubeda (rintangan) dan rakyat senegara akan mengecap kenikmatan tata tenteram kerta raharja!"

   Suara sang prabu berubah menjadi terharu sekali, dan para senopati mendengarkan dengan muka tertunduk.

   "Bocah bagus Joko Wanctro! Tak terkira besar dan bahagianya hati dengan persembahanmu yang sungguh di luar dugaan ini. Satria yang perkasa, coba ceritakanlah bagaimana pusaka yang sudah sekian lamanya lenyap ini dapat terjatuh ke dalam tanganmu."

   Keadaan di ruang persidangan sunyi sekali. Semua orang seakan-akan menahan napas dan tidak mau kehilangan sepatahpun kata yang keluar dari mulut Joko Wandiro ketika pemuda ini menceritakan secara singkat tentang pusaka Mataram yang hilang. Betapa pusaka itu dicuri oleh Jokowanengpati, kemudian betapa pusaka itu dirampas dari tangan orang jahat ini oleh Resi Bhargowo yang kemudian menyerahkannya kepada Joko Wandiro dan Endang Patibroto untuk disembunyikan ketika orang-orang sakti utusan Pangeran Anom menyerbu ke Pulau Sempu untuk merampasnya. Kemudian betapa baru-baru ini ia mengambil kembali pusaka itu dan menerima kerisnya dari Endang Patibroto. Ia tentu saja tidak menceritakan tentang peristiwa pribadi yang menyangkut dirinya dan Endang Patibroto.

   "Demikianlah, gusti. Setelah hamba berhasil mendapatkan kembali pusaka Mataram dalam keadaan utuh, hamba bergegas menghadap kepada paduka untuk mempersembahkan kembali pusaka ini sesuai dengan perintah eyang Resi Bhargowo dan bapa guru Narotama."

   Amat bahagia dan gembira hati sang prabu mendengar penuturan itu. Sambil memeluk keris pusaka dalam patung kencana, sang prabu berkata,

   "Joko Wandiro, jasamu besar tak ternilai. Dan siapakah gadis jelita yang ikut datang menghadap bersamamu ini?"

   Mendengar dirinya disebut-sebut, Ayu Candra menundukkan mukanya yang menjadi merah, dadanya berdebar penuh ketegangan

   "Dia ini adik kandung hamba, Ayu Candra namanya, gusti."

   "Hemm, patut menjadi adikmu. Cantik jelita penuh susila. Heh, Joko Wandiro, sebagai imbalan jasamu, mulai saat ini kuangkat engkau menjadi adipati di Selopenangkep dengan julukan Adipati Tejolaksono. Kakang Patih Suroyudo, siapkan sepasukan perajurit pilihan untuk membantu Adipati Tejolaksono memerintah di Selopenangkep. Persidangan kububarkan sekarang juga!"

   Sang prabu yang masih terharu memeluk pusaka Mataram, memandang ke arah Joko Wandiro yang menyembah dan menghaturkan terima kasih dengan sinar mata penuh haru dan syukur. Sang prabu ingin cepat-cepat menyendiri agar dapat menikmati saat yang amat bahagia itu, saat kembalinya pusaka Mataram yang amat dirindukan oleh segenap isi istana. Joko Wandiro membalas ucapan selamat para senopati dengan sikap sederhana dan merendah. Matanya memandang ke kanan kiri, mencari-cari. Akhirnya ia mendapatkan orang yang dicarinya dan segera dengan langkah lebar ia menghampiri Ki Darmobroto yang memang tadi ikut menghadap sang prabu.

   "Selamat, anakmas Joko Wandiro. Aku merasa ikut gembira, bukan hanya karena kembalinya pusaka Mataram, akan tetapi karena engkaulah yang berhasil mengembalikannya. Selamatlah, anakmas adipati"

   "Paman Darmobroto, selain bermaksud mempersembahkan pusaka kepada sri baginda, kedatangan saya di Kotaraja memang khusus hendak menemui paman. Dapatkah kita bicara leluasa?"

   Ki Darmobroto melirik ke arah Ayu Candra dan berkata,

   "Marilah, anakmas. Mari ke pondokku."

   Setelah memberitahu kepada Ki Patih Suroyudo bahwa dia bersama adiknya hendak berkunjung lebih dulu ke pondok Ki Darmobroto, Joko Wandiro lalu menggandeng tangan adiknya. Pondok itu merupakan pasanggrahan yang disediakan oleh Kerajaan untuk para satria yang menjadi pembantu luar Kerajaan. Pondok yang cukup mewah dan bersih menyenangkan, dengan ruangan muka luas. Di ruangan inilah Ki Darmobroto menerima dua orang tamunya. Setelah mempersilahkan mereka duduk di atas lantai bertilamkan tikar indah, Ki Darmobroto lalu bertanya,

   "Silahkan, anakmas. Keperluan apakah gerangan yang hendak anda sampaikan kepadaku?"

   Joko Wandiro menggandeng tangan adiknya dan berkata,

   "Inilah dia adikku, paman. Inilah adikku Ayu Candra. seperti pernah saya katakan kepada paman, mengenai pesan paman Adibroto, adikku Ayu Candra ini dengan putera paman Joko Seto... eh, di mana pula adanya adimas Joko Seto? Mengapa tidak paman perkenalkan kepada kami?"

   Ayu Candra mendengarkan semua ini dengan muka tertunduk, wajahnya agak pucat dan hatinya seperti diiris-iris rasanya.

   Ia tidak rela mendengar betapa nasib hidupnya diatur dan dibicarakan oleh dua orang itu, ia tidak rela untuk berpisah dari Joko Wandiro dan menjadi isteri siapapun juga. Akan tetapi ia tidak melihat jalan lain. Ia harus tunduk dan taat kepada pesan terakhir ayahnya, pula ia harus taat kepada Joko Wandiro, kakaknya yang kini menjadi walinya, menjadi wakil dan pengganti ayah-bundanya. Ingin ia menangis, namun ia tidak berani.

   (Lanjut ke Jilid 39 - Tamat)

   Badai Laut Selatan (Seri ke 03 "

   Serial Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 39 (Tamat)

   Ki Darmobroto menarik napas panjang. Begitu jelas elahan napas panjang ini, membayangkan kedukaan besar sehingga Joko Wandiro menjadi terkejut dan mengangkat muka memandang. Dilihatnya wajah tua itu berkerut-kerut, pandang matanya sayu dan dagunya mengeras dalam usaha menekan kedukaan hati.

   "Ada apakah, paman? Apa yang terjadi?"

   "Kedatanganmu terlambat, anakmas. Belum lama ini, ketika mendapat tugas memimpin pasukan yang diperbantukan oleh sang prabu untuk membantu Jenggala dan memukul Nusabarung, anakku Joko Seto telah tewas dalam medan perang. Tewas... gugur sebagai seorang senopati muda...!"

   Suara itu menggetar, tanda keharuan dan kedukaan hati seorang ayah yang ditinggal mati puteranya yang tunggal.

   Putera satu-satunya yang amat disayang, diharap-harapkan menjadi seorang penyambung riwayat hidupnya yang berguna, telah mati muda! Tiba-tiba terdengar isak-tangis dan Ayu Candra sudah menubruk Joko Wandiro, memeluk dan menangis. Joko Wandiro dapat mengerti perasaan gadis itu, perasaan lega dan lapang seperti yang dirasainya sendiri pula. Dan Ki Darmobroto yang tak dapat menyelami isi hati gadis itu, menjadi makin terharu, juga terheran. Benarkah gadis ini menjadi sedih dan menangis karena kematian Joko Seto yang dipertunangkan kepadanya? Berjumpapun belum pernah. Akan tetapi sudah menangisi kematiannya? Akan tetapi setelah mendengar bisikan-bisikan yang keluar dari mulut gadis itu, pandangannya menjadi lain dan di dalam hatinya ia mengangguk-angguk. Gadis itu berkata dengan suara lirih,

   "Kakang... dewata telah menentukan, sekarang kau tidak bisa melarangku lagi, aku... aku selamanya takkan mau menikah dengan orang lain. Aku akan melayanimu selama hidupku, kakang... jangan paksa aku menikah dengan orang lain!"

   Ki Darmobroto merasa jantungnya perih. Bibirnya bergerak-gerak dan keluarlah ucapan lirih,

   "Anakku Joko Seto, kiranya kematianmu masih dapat membahagiakan hati orang lain"

   Ayu Candra adalah seorang gadis yang memiliki dasar pribudi tinggi dan mulia. Memang tak dapat disangkal lagi bahwa berita kematian Joko Seto ini mendatangkan rasa lega dan lapang di dalam dadanya, seakan-akan berita itu telah mengusili batu besar yang tadinya selalu menekan dan menindih perasaannya. Saking girangnyalah maka tadi ia menubruk dan memeluk Joko Wandiro, lupa akan keadaan sekelilingnya. Akan tetapi ketika ia mendengar bisikan lirih Darmobroto, ia dapat menangkap rintih hati yang hancur. Maka ia segera melepaskan pelukannya, memandang Ki Darmobroto dan menyembah di depan orang tua itu sambil berkata, suaranya gemetar,

   "Ampunkanlah saya, paman Darmobroto. Sudah seringkali ayah saya dahulu bercerita tentang paman dan tentang kebaikan paman. Saya tidaklah sekeji itu, paman. Saya tidak hendak menarik kesenangan dari penderitaan paman. Saya tahu betapa hancur dan duka hati paman karena kehilangan putera paman. Saya sendiri ikut berduka mendengar berita kematian... kakangmas Joko Seto. Saya... tadi lupa diri dan bergembira bukan karena kematian puteramu, melainkan karena aku tidak bisa berpisah dari kakang Joko Wandiro, pengganti orang tuaku..."

   Gadis itu menangis perlahan. Ki Darmobroto memaksa senyum dan meraba kepala gadis itu.

   "Ah, anakku bocah ayu. Engkau mewarisi watak ayahmu. Seakan kulihat adikku Adibroto dalam dirimu, Ayu Candra. Dia benar sekali dengan menjodohkan kau dengan puteraku. Akan tetapi, dewata kuasa atas mati hidup manusia. Dan kakakmu ini, dia seorang satria perkasa, satria utama yang memang patut sekali kau junjung tinggi, patut sekali kau cinta. Akan tetapi Ayu Candra, Anakmas adipati ini adalah seorang jejaka dan baru saja menerima pangkat. Dia akan sibuk sekali mengurus kadipaten. Agaknya akan lebih baik kalau untuk sementara engkau tinggal bersamaku, Ayu, sebagai pengganti puteraku yang gugur. Biarkan anakmas adipati menyelesaikan tugasnya. Setelah ia berumah tangga... barulah kau ikut dengannya. Kurasa setelah membereskan Kadipaten Selopenangkep, anakmas adipati tentu akan memilih seorang wanita untuk menjadi timbangannya"

   "Saya... saya takkan menikah paman!"

   Tiba-tiba Joko Wandiro berkata gagap.

   "Dan... saya rasa tidak ada salahnya kalau saya mengajak Ayu Candra ke Kadipaten Selopenangkep. Sebagai kakak kandungnya, saya adalah walinya, saya pengganti ayah-bundanya."

   "Kakak kandung..?"

   Ki Darmobroto bertanya, suaranya meragu. Joko Wandiro mengira bahwa kakek ini belum tahu akan duduknya persoalan, maka ia lalu berkata,

   "Paman Darmobroto, agaknya paman belum tahu. Ketika ibu saya menikah dengan paman Adibroto, ibu telah mempunyai anak saya. Oleh karena itu, saya dan Ayu Candra adalah saudara sekandung, seibu berlainan ayah. Ibu kami telah tiada, juga ayah kami kedua-duanya sudah tiada, kami berdua adalah anak-anak lola (yatim piatu), maka kalau bukan saya yang menjadi pengganti orang tuanya, siapa lagi?"

   Ki Darmobroto tersenyum dan mengangguk-angguk, kemudian dengan suara halus ia berkata,

   "Sesungguhnya tepat sekali ucapan anakmas adipati. Akan tetapi, melihat Ayu Candra, saya merasa seakan-akan berjumpa dengan saudara saya tercinta Adibroto. Biarpun Ayu Candra gagal menjadi anak mantu saya, namun dia ini masih keponakan saya. Ayahnya adalah sahabat baik dan juga saudara seperguruan saya. Maka, harap kalian suka menaruh kasihan kepada saya orang tua. Saya masih kangen, ingin bercakap-cakap dengan Ayu Candra. Biarkan dia menemani saya untuk beberapa hari, anakmas, sementara anakmas adipati mengurus dan mempersiapkan keberangkatan ke Selopenangkep. Sebelum berangkat, saya rasa banyak hal harus dibicarakan lebih dahulu dengan Ki Patih Suroyudo, tentang peraturan dan sebagainya mengenai tugas-tugas anakmas. Setelah semua selesai dan hendak berangkat, barulah anakmas datang menjemput Ayu Candra di pondok saya ini. Tentu saja kalau anakmas dan nini Ayu Candra menyetujui."

   Tak enak hati Ayu Candra mendengar permintaan ini. Orang tua ini amat baik, bekas calon ayah mertuanya, juga sahabat baik serta saudara seperguruan ayahnya. Maka ia lalu memberi isyarat, mengangguk kepada Joko Wandiro. Pemuda itu merasa lega. Memang iapun merasa kebenaran omongan kakeK itu. Ia harus mempersiapkan segalanya dengan Ki Patih Suroyudo. Maka berpamitlah Joko Wandiro dengan hati lapang. Ia percaya penuh bahwa di tangan Ki Darmobroto, Ayu Candra akan berada dalam keadaan aman sentausa. Ia segera menghadap Ki Patih Suroyudo untuk menerima segala petunjuk dan mempersiapkan segalanya sebelum ia berangkat membawa pasukannya ke Selopenangkep.

   Di lubuk hatinya, ia merasa terharu sekali karena ia akan melanjutkan jabatan kakeknya yang belum sempat dipegang ayahnya. Ia akan menjadi adipati, menjadi yang dipertuan dan menjadi orang pertama yang bertanggung jawab, berwenang, berhak dan berkewajiban di Selopenangkep, di rumah di mana ia dahulu dilahirkan! Ia akan kembali ke tempat asalnya, tempat di mana seharusnya ia berada. Persiapan itu makan waktu sampai tiga hari. Pada hari ke tiga, Joko Wandiro sudah berubah, dari seorang pemuda yang berpakaian sederhana dan berjalan kaki menjadi seorang adipati muda yang berpakaian indah dan menunggang seekor kuda putih sehingga wajahnya menjadi makin tampan dan gagah. Pagi hari itu pasukannya sudah siap.

   Pasukan terdiri dari perajurit-perajurit pilihan, muda-muda dan gagah perkasa. Setelah bermohon diri dan mendapat restu dari sang prabu sendiri, Joko Wandiro yang kini menjadi Adipati Tejolaksono memimpin pasukannya menuju ke pondok Ki Darmobroto. Ia bergegas mengeprak kudanya mendahului pasukan dan memesan agar pasukan siap menantinya di alun-alun karena ia hendak singgah di pondok Ki Darmobroto untuk menjemput Ayu Candra. Hatinya berdebar keras. Apa yang akan dikatakan Ayu Candra melihat ia kini telah berubah menjadi seorang adipati muda ini? Adiknya tentu akan girang dan bangga, dan ia sudah mereka-reka bagaimana adiknya itu harus berpakaian, sebagai seorang puteri bangsawan, adik seorang adipati yang terkasih! Pondok Ki Darmobroto sunyi. Seorang pelayan menyambutnya dengan sembah. Joko Wandiro tidak sabar lagi.

   "Di manakah paman Darmobroto? Dan di mana pula diajeng Ayu Candra?"

   Pelayan itu sambil menyembah berkata,

   "Hamba telah dipesan oleh gusti puteri bahwa apabila paduka datang berkunjung, paduka dipersilahkan terus saja masuk ke taman sari menjumpai beliau."

   Sambil berkata demikian, pelayan wanita ini dengan ibu jarinya menunjuk ke pintu samping yang menuju ke taman bunga. Joko Wandiro hampir tak dapat menahan ketawanya. Benar-benar canggung dan aneh rasanya disambut oleh seorang pelayan dengan sikap menghormat. Dan apa pula sikap kekanak-kanakan dan aneh dari Ayu Candra ini? Mengapa tidak langsung menyambutnya dan di mana pula Ki Darmobroto?

   Akan tetapi karena ingin cepat-cepat bertemu dengan Ayu Candra, maka ia segera memasuki pintu kecil itu dan berjalan memasuki taman bunga yang amat indah. Dari jauh ia sudah melihat Ayu Candra. Tentu Ayu Candra yang duduk membelakanginya, menghadapi sebuah kolam ikan itu, di antara kembang-kembang mawar yang semerbak harum. Memang pakaiannya amat indah, serba baru dan pakaian seorang puteri bangsawan. Akan tetapi rambut terurai yang hitam itu, bentuk tubuh itu, di dunia ini takkan ada gadis lain dengan rambut dan bentuk tubuh seperti itu kecuali Ayu Candra, adiknya yang terkasih. Sejenak ia menahan napas, matanya menatap gadis itu seperti orang mengagumi matahari muncul di pagi hari, seringkali dilihat akan tetapi tak pernah berhenti mengaguminya. Kemudian ia berlari maju dan berteriak memanggil,

   "Ayu Candra...!!"

   Gadis itu terkejut, bangkit berdiri dan memutar tubuhnya. Joko Wandiro sudah lari mendekat. Mereka berdiri, berhadapan, saling pandang seakan-akan baru bertemu setelah berpisah berbulan-bulan. Padahal baru tiga hari mereka saling berpisah. Bukan saling melihat pakaian mereka yang indah-indah, sama sekali bukan. Pakaian indah itu bagi mereka tidak ada artinya, dan orangnyalah yang penting. Pandang mata mereka bertaut, akhirnya, aneh sekali, Ayu Candra menundukkan matanya dan kedua pipinya kemerahan!

   "Kakang... mas... adipati"

   Gadis itu membuka mulut, suaranya gemetar, mukanya menunduk. Joko Wandiro coba mengusir suasana lucu dan aneh itu dengan ketawanya.

   "Ha-ha-ha! Ayu Candra! Apa-apaan ini? Aku masih tetap kakang Joko, kakakmu yang nakal, kakakmu yang terkasih. Mengapa mesti mengubah kebiasaan? Bagi orang lain aku adalah kanjeng adipati, akan tetapi bagimu tetap kakang Joko Wandiro kau anak nakal, mana paman Darmobroto?"

   Joko Wandiro melompat dan memegang tangan yang halus dan aneh sekali. Tangan yang biasanya hangat dan jari-jari tangan yang biasanya mencengkeram jari-jarinya itu kini menggigil dingin. Muka itu masih belum terangkat, bahkan kini Ayu Candra menarik tangannya yang terpegang Joko Wandiro.

   "Ayah... ayah... masih bersamadhi... silahkan duduk, kakangmas adipati aku... aku"

   

Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Maling Budiman Pedang Perak Karya Kho Ping Hoo Maling Budiman Pedang Perak Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini