Ceritasilat Novel Online

Badai Laut Selatan 7


Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



Cekel Aksomolo tertawa terkekeh-kekeh. Akan tetapi tiba-tiba matanya terbelalak heran ketika ia melihat seorang diantara para cantrik itu tidak apa-apa, tidak terpengaruh oleh suara tasbihnya. Cantrik Wistoro ini sama sekali tidak mengeluarkan darah dari kedua telinganya, bahkan kini ia sibuk merawat saudara-saudaranya, mengusap dan membersihkan darah yang keluar dari telinganya, sambil matanya kadang-kadang melotot ke arah Cekel Aksomolo! Tentu saja Cekel Aksomolo terkejut sekali! Ia tidak percaya ada seorang cantrik yang mampu menahan suara tasbihnya, maka ia melangkah mendekati dan kini ia menggoyangkan tasbihnya lebih keras lagi, dekat telinga cantrik Wistoro!

   Para cantrik lainnya hanya memandang, mereka sudah tidak lagi terpengaruh suara tasbih karena sudah tak dapat mendengar, hanya merasakan nyerinya bekas kendangan telinga yang pecah. Biarpun diserang suara sedemikian hebatnya, cantrik Wistoro enak-enak saja, sama sekali tidak mengerahkan tenaga batin untuk menahan, akan tetapi sedikitpun ia tidak terpengaruh! Bimbanglah hati Cekel Aksomolo! Betapapun saktinya seorang lawan, kalau diserang suara tasbihnya dari jarak sedekat itu dengan telinga, pula tanpa pengerahan tenaga sakti untuk melawan, tak mungkin akan kuat bertahan. Akan tetapi cantrik muda ini enak-enak saja. Dapat dibayangkan betapa saktinya cantrik ini! Ataukah tasbihnya yang kehilangan keampuhan?.

   Pada saat itu Jokowanengpati sudah melompat keluar dari pondok setelah sia-sia melakukan penggeledahan. Begitu keluar ia terkejut mendengar suara berkeritikan yang amat kecil dan tinggi nadanya, menyerang telinganya serasa jarum menusuk. Cepat ia mengeluarkan benda pemberian Cekel Aksomolo dan menyumpal kedua telinganya. Dengan alat penahan ini, tanpa pengerahan tenaga sakti ia dapat mendekat. Iapun ikut terheran-heran melihat seorang cantrik muda yang tak dikenalnya sedang merawat lima orang cantrik lain yang rebah tidak karuan dengan telinga berdarah, dan melihat Cekel Aksomolo membunyikan tasbih di dekat telinga cantrik muda itu, ia makin heran lalu mendekat.

   Cekel Aksomolo menghentikan bunyi tasbihnya dan menghapus keringat dengan ujung lengan baju. Menggerakkan tasbih mengeluarkan suara mujijat membutuhkan pengerahan tenaga sakti yang besar dan dia tadi sudah bersusah payah dalam penasarannya untuk merobohkan Wistoro, namun sia-sia. Kini ia mengulur tangan membuka penutup telinga yang ia pakai sendiri sambil menjenguk ke arah lubang telinga Wistoro untuk melihat kalau-kalau cantrik itu menggunakan alat penutup lubang telinga. Akan tetapi sama sekali tidak. Ketika ia mengincar ke arah lubang kedua telinga cantrik itu, ia hanya melihat tai telinga dan bulu-bulu telinga! Makin penasaranlah dia. Kalau begini, tentu tasbihku yang kehilangan keampuhannya. Maka ia mendekatkan tasbih di depan telinga kanannya, lalu mengguncang tasbih itu.

   "Ttrrrriiiikk!"

   Dan akhirnya... Cekel Aksomolo roboh terguling! Cepat-cepat ia melompat bangun dan matanya berair. Sakit sekali rasa telinga kanannya sampai air matanya keluar. Ternyata tasbihnya masih ampuh, tenaga saktinya masih hebat! Akan tetapi mengapa cantrik muda itu tidak terpengaruh? Ia menutupi lagi telinganya dan mendekati cantrik Wistoro, menggerakkan tasbih di dekat telinganya.

   "Ttriiiik!"

   Wistoro tidak terguncang sama sekali, hanya menoleh dan memandang dengan mata melotot.

   "Uuuhhh-huh-huh, kiranya engkau memiliki ilmu juga!"

   Akhirnya Cekel Aksomolo berkata sambil menghentikan bunyi tasbihnya dan melepas penutup telinga. Jokowanengpati juga membuka penutup telinganya. Wistoro diam saja, hanya mulai memapah saudara-saudaranya memasuki pondok, seorang demi seorang. Kemudian ia pergi keluar lagi dan duduk bersila di depan pintu pondok, sama sekali tidak memperdulikan Cekel Aksomolo yang menantang-nantangnya.

   "Hayo berdiri, cantrik bungkik! Hayo kita bertanding untuk menentukan keunggulan!"

   Cekel Aksomolo mencak-mencak dan memutar-mutar tasbihnya di atas kepala sampai mengeluarkan suara seperti lebah mengamuk. Namun Wistoro yang ditantang itu hanya duduk bersila tanpa bergerak. Melihat lagak Cekel Aksomolo, diam-diam Jokowanengpati mendongkol. Ia sudah merasa kecewa sekali melihat kenyataan bahwa Resi Bhargowo, Pujo dan Kartikosari tidak berada di tempat itu. Perjalanannya sia-sia belaka, bahaya yang mengancam dirinya belum dapat dilenyapkan. Kekecewaan itu menjadi rasa mendongkol ketika melihat betapa Cekel Aksomolo"jagoannya"

   Itu kini mencak-mencak dan marah-marah terhadap seorang cantrik yang tiada artinya!

   "Sudahlah, eyang Cekel. Untuk apa melayani cantrik? Marilah kita pergi dari sini, kita cari Resi Bhargowo dan Pujo sampai dapat."

   Ia membujuk.

   "Dia menghinaku benar-benar! Dia tidak memandang mata kepadaku! Suara sakti tasbihku dianggap kentut saja! Tantanganku dianggap angin lalu! Biar dia sakti mandraguna putera dewata sekalipun, akan mampus dia bertanding melawan Cekel Aksomolo yang mbaurekso Wilis!"

   Jokowanengpati memegang lengan kanan kakek yang mencak-mencak itu sambil berbisik dekat telinganya,

   "Eyang Cekel, percuma eyang melayani dia! Dia itu adalah seorang yang tuli dan gagu!"

   "Hahh...??! Demi iblis puncak Wilis! Huuh-huh-huh, dasar pikun! Pantas saja suara sakti tasbihku tidak mempengaruhinya! Kiranya kedua telinganya sudah bobrok! yang sudah bobrok, mana bisa rusak lagi?"

   Cekel Aksomolo menggaruk-garuk belakang telinganya, mukanya merah karena malu.

   "Sudahlah, eyang. Lebih baik kita pergi mencari Resi Bhargowo dan Pujo. Kurasa mereka tidak pergi jauh dari sini."

   Karena takut kakek itu melakukan perbuatan edan-edanan lagi, Jokowanengpati menuntunnya pergi dari situ, kembali ke tempat pasukan yang menanti.

   Diam-diam ia menyesal juga mengapa kakek ini melukai para cantrik yang sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan urusan mereka, para cantrik yang seperti juga cantrik-cantrik gurunya, merupakan orang-orang yang tekun mempelajari ilmu kebatinan sambil melayani sang pertapa. Dengan tangan hampa Jokowanengpati bersama Cekel Aksomolo meninggalkan Sungapan, diikuti oleh pasukan yang mengawal. Di sepanjang jalan mereka bertanya-tanya kepada para penduduk di dusun pasisir, namun tak seorangpun di antara mereka tahu ke mana perginya Resi Bhargowo. Ada yang melihat kakek pertapa itu berjalan kaki seorang diri, akan tetapi tidak ada yang tahu hendak kemana. Juga tentang Pujo dan Kartikosari, tidak ada orang yang mengetahuinya.

   Namun Jokowanengpati tidak putus harapan. Pemuda ini maklum bahwa sebelum Resi Bhargowo dan Pujo ditumpas, hidupnya selalu akan terancam bahaya. Atau lebih aman lagi kalau la bisa mendapatkan Kartikosari! Mengingat dan membayangkannya saja membuat Jokowanengpati menggigil. Wanita hebat! Belum pernah selama hidupnya ia mendapatkan seorang wanita seperti Kartikosari. Akan tetapi juga wanita berbahaya, karena hanya Kartikosari seoranglah yang akan dapat membuka rahasianya, akan dapat mengenalnya sekali melihat jari tangan kirinya. Karena itu, wanita ini perlu dipaksa menjadi miliknya selamanya, atau dibunuh!. Karena ada Cekel Aksomolo di sampingnya, tanpa ragu-ragu Jokowanengpati menuruni tebing dan mendatangi guha.

   Guha Siluman di mana pada malam hari itu, setahun yang lalu, ia menggagahi Kartikosari. Akan tetapi guha itu kosong, kosong dan sunyi. Sejenak hatinya ikut kosong dan sunyi ketika ia berdiri di mulut guha. Terbayanglah semua peristiwa di malam gelap itu, terngiang di telinganya jerit dan rintih Kartikosari, dan pada saat itu rindu dendam menenggelamkan hatinya. Kartikosari, di manakah engkau sekarang, manis? Pertanyaan hatinya ini dijawab oleh gulungan ombak yang memecah batu karang, menggelepar seperti halilintar. Jokowanengpati bergidik, merasa serem. Seakan-akan suara itu merupakan geraman marah yang mengancamnya. Tergesa-gesa ia mengajak Cekel Aksomolo untuk mendaki naik kembali meninggalkan guha yang menimbulkan kenangan nikmat, juga menimbulkan rasa ngeri dan serem itu.

   (Lanjut ke Jilid 07)

   Badai Laut Selatan (Seri ke 03 "

   Serial Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07

   Setelah sebulan lamanya mencari-cari tanpa hasil, akhirnya Jokowanengpati mengajak rombongan kembali ke Selopenangkep. Sebetulnya ia masih ingin mencari sampai dapat, akan tetapi Cekel Aksomolo mengomel saja menyatakan kesal dan bosan berkeliaran di tepi laut, kedua karena waktu untuk mengadakan pertemuan besar antara para tokoh sakti yang akan bersekutu dengan Adipati Joyowiseso sudah dekat, maka terpaksa mereka beramai kembali ke Selopenangkep.

   Pada suatu hari tibalah rombongan ini dalam sebuah hutan penuh pohon randu alas dan jati. Untuk menghibur hati yang kesal, Jokowanengpati mengajak rombongannya menggunakan kesempatan terluang untuk sekalian berburu binatang. Oleh karena itu mereka sengaja mencari jalan melalui gunung yang banyak hutannya. Semua pendapatan berburu dimakan dagingnya di tempat dan dalam perburuan ini, Cekel Aksomolo memperlihatkan kepandaiannya.

   Kalau para pengawal berburu binatang dengan anak panah, sedangkan Jokowanengpati yang memiliki Aji Bayu Sakti dapat mengejar dan membunuh kijang dengan pukulan tangannya, adalah kakek sakti ini hanya dengan segenggam isi mlanding sekali lempar berhasil menjatuhkan belasan ekor burung derkuku atau kepodang yang sedang terbang lewat di atas!. Akan tetapi hutan-hutan di Pegunungan Kidul tidaklah kaya dengan binatang. Apalagi hutan randu alas yang mereka masuki pagi hari itu, amat sunyi. Tidak ada kijang, tidak ada babi hutan, yang ada hanya monyet dan harimau. Memburu harimau sangat sukar karena begitu rombongan itu memasuki hutan, semua harimau sudah lari bersembunyi jauh. Adapun monyet-monyet merupakan binatang yang tak mereka sukai dagingnya.

   "Sayang sekali perjalananku jauh-jauh dari Wilis sia-sia belaka."

   Untuk ke sekian kalinya Cekel Aksomolo mengomel. Tak enak hati Jokowanengpati. Memang sudah jauh-jauh ia mengundang orang tua sakti ini, kiranya sekarang hanya diajak berputar-putar mencari orang tanpa hasil sampai sebulan lebih.

   "Agaknya benar dugaan eyang bahwa Resi Bhargowo dan Pujo sudah mendengar akan kedatangan kita. Resi Bhargowo tentu takut mendengar bahwa eyang ikut datang, maka lebih dulu menyingkir dan bersembunyi. Kalau tidak demikian, tentu ada penduduk yang mengetahui di mana dia pergi. Agaknya mereka semua pergi dengan diam-diam."

   Cekel Aksomolo menggeleng-geleng kepalanya.

   "Aku pernah bertemu dengan gurumu, Ki Empu Bharodo, akan tetapi Resi Bhargowo hanya baru kudengar suaranya saja. Akan tetapi mengingat dia itu adik seperguruan Empu Bharodo kurasa tak mungkin ia takut menghadap lawan yang belum pernah dicobanya."

   "Betapapun saktinya, dia pasti akan mati konyol bertanding melawan eyang"

   Jokowanengpati memuji.

   "Guru saya sendiri takkan menang melawan eyang."

   Kakek tua renta itu memang seorang yang haus akan puji dan umpak. Ia terkekeh senang.

   "Jelek-jelek, kalau hanya menghadapi Resi Bhargowo saja, tasbih ini pasti masih sanggup menghancurkan kepalanya!"

   Pada saat itu terdengar bunyi tertawa meringkik. Kiranya seekor kera jantan sedang mengenjot-enjot batang pohon di atas mereka sambil terkekeh-kekeh entah apa yang ditertawakan dan entah binatang Itu sedang tertawa ataukah menangis, akan tetapi lagaknya seperti seorang anak kecil bermain-main sambil tertawa. Agaknya kelakuan kera itu menggemaskan hati Cekel Aksomolo. Dari atas kuda ia menggerakkan tangannya, dikebutkan ke atas dan... kera itu memekik lalu terguling jatuh terbanting ke bawah. Dari hidung, mulut dan telinganya mengalir darah dan ia mati seketika!.

   "Huh, sayang dia bukan Resi Bhargowo! Resi Bhargowo, di mana engkau? Muncullah di sini, aku siap menghadapimu, Resi Bhargowo...!!"

   Cekel Aksomolo dengan tingkah sombong menantang-nantang memanggil Resi Bhargowo, Tiba-tiba dari atas pohon melayang turun bayangan orang. Jokowanengpati dan Cekel Aksomolo terkejut memandang gerakan orang itu gesit sekali dan ternyata dia adalah seorang kakek yang sudah tua sekali, rambut dan jenggotnya putih semua, pakaiannya juga putih, kakinya telanjang. Tanpa menghiraukan mereka yang duduk di atas kuda, kakek ini mengeluarkan suara ngak-ngak nguk-nguk seperti kera, langsung menghampiri kera yang terbanting mati, lalu menangis! Masih terisak-isak kakek tua itu membongkar dan menggali tanah, kemudian mengubur bangkai kera dan menangis lagi!.

   "Heh-heh, kau ini orang gila ataukah kera mabok kecubung?"

   Cekel Aksomolo menegur karena merasa mendongkol melihat si kakek itu sama sekali tidak memperdulikannya, sedangkan cara mengubur bangkai kera itu merupakan perbuatan yang terang-terangan berlawanan dan mencela perbuatannya membunuh kera tadi. Kini kakek itu membalikkan tubuh dan memandang penuh perhatian. Hanya sejenak saja ia memandang Cekel Aksomolo, akan tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan Jokowanengpati, ia segera bertanya, suaranya parau,

   "Apakah engkau yang bernama Pujo anak mantu Resi Bhargowo?"

   Jokowanengpati terkejut dan diam-diam timbul harapan hatinya untuk mendengar dari kakek aneh ini di mana adanya Resi Bhargowo. Maka ia lalu menjawab,

   "Kalau aku betul Pujo bagaimana dan kalau bukan bagaimana?"

   "Krrrr! Krrrrr! Betul sombong... sombong sekali...!"

   Kakek putih itu berjingkrak-jingkrak lalu bertanya kepada Cekel Aksomolo,"Dan engkau ini tua bangka buruk apakah seorang cantrik

   pengikut Resi Bhargowo?"

   "Uuhh-huh-huh, sialan awakku! Eh, kera monyet ketek kunyuk lutung!"

   La memaki.

   "Kalau benar bagaimana kalau bukan bagaimana?"

   Ia meniru jawaban Jokowanengpati. Kakek tua aneh itu bukan lain adalah Resi Telomoyo, pertapa di puncak Gunung Telomoyo. Dia memang beewatak aneh dan edan-edanan, kadang-kadang seperti seekor kera. Akan tetapi ia amat marah kalau melihat seekor kera diganggu, maka sekarang ia marah bukan main melihat seekor kera dibunuh secara keji Agaknya karena ia pemuja Hanoman, tokoh kera sakti, ia lalu menganggap binatang kera sebagai segolongannya dan amat menyayang binatang ini. Mendengar jawaban-jawaban itu ia makin marah dan berjingkrak, mengeluarkan gerangan-gerengan seperti seekor kera jantan marah.

   "Cantrik tua mau mampus! Tanpa sebab kau membunuh seekor kera yang tidak berdosa. Biarlah kubunuh juga engkau dan kau lihat siapakah di antara kau dan kera tadi yang akan mendapat tempat lebih nikmat di alam halus!"

   Baru saja ucapannya habis, tubuhnya sudah meloncat dan ia menerkam Cekel Aksomolo yang masih duduk di atas kuda! Menyaksikan gerakan orang yang amat cekatan ini dan sambaran angin pukulan amat dahsyat keluar dari tangan yang hendak mencengkeram, Cekel Aksomolo terkejut sekali dan cepat ia menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga saktinya.

   "Bressss!!"

   Hebat sekali tenaga sakti kedua orang tokoh tua ini, sama dahsyat dan kuatnya berjumpa di tengah udara dan akibatnya, keduanya terpental seperti disambar halilintar! Resi Telomoyo terpental dan berjungkir balik sampai lima kali di udara, baru tubuhnya turun ke arah tanah sejauh lima meter.

   Adapun Cekel Aksomolo juga terpental dari atas kudanya, melayang seperti sebuah layang-layang putus talinya, dan turun ke atas tanah seperti sehelai daun kering sambil menyumpah-nyumpah! Sejenak keduanya saling pandang dari jarak sepuluh meter, Saling pandang dengan terheran-heran dan kedua mulut mereka tiada hentinya mengeluarkan bunyi aneh. Resi Telomoyo mengeluarkan suara meringkik-ringkik sedangkan Cekel Aksomolo menyumpah-nyumpah. Dua puluh empat orang pengawel yang melihat pertandingan dimulai, cepat melompat turun dari kuda masing-masing dan lari mendekati, mencabut pedang dan golok lalu mengurung tempat pertandingan, siap untuk mengeroyok kakek seperti kera itu. Adapun Jokowanengpati diam-diam merasa gembira sekali karena agaknya kini Cekel Aksomolo bertemu tanding.

   Betapapun juga, ia ingin mendengar dari kakek aneh ini apa sebabnya mencari Pujo dan apakah kakek ini mengetahui tempat sembunyi Resi Bhargowo Di samping itu, iapun bersiap-siap untuk mengeroyok jika Cekel Aksomolo tidak mampu mengalahkan lawannya. Untuk menguji kepandaian kakek aneh ini, ia lalu memberi tanda kepada kepala pasukan untuk maju menangkap Resi Telomoyo. Kepala pasukan memberi aba-aba dan dua belas orang pengawal serentak maju dengan senjata di tangan mengurung kakek yang sudah mulai menggaruk-garuk punggung seperti seekor kera.

   "Orang tua, menyerahlah kami belenggu!"

   Bentak kepala pengawal, diam-diam merasa sungkan juga harus mengerahkan dua belas orang anak buahnya hanya untuk menangkap seorang kakek kurus tua renta yang bertangan kosong.

   "Ha-ha-ha-ha, apakah kalau kaki tanganku sudah dibelenggu, kalian merasa akan menang? Majulah, aku melawanmu dengan tangan dan kaki terangkap seperti dibelenggu!"

   Resi Telomoyo berkata sambil tertawa dan benar saja, ia merangkapkan kedua tangan dan juga kedua kakinya, berdiri agak membongkok dan matanya yang kecil itu melirik-lirik nakal seperti mata seekor kera. Tentu saja sikap ini membuat para pengawal menjadi marah dan juga geli, mengira bahwa kakek ini tentulah seorang yang sudah miring otaknya atau sudah pikun dan linglung saking tuanya. Karena itu,kepala pasukan memberi aba-aba,

   "Serbu dan tangkap dia, boleh pukul tapi jangan bunuh!"

   Bagaikan berlomba mencari jasa, dua belas orang pasukan pengawal itu menubruk maju, pedang dan golok dibalikkan karena mereka hanya ingin menggunakan punggung senjata yang tidak tajam saja.

   Sambil tertawa mengejek dan berteriak-teriak, mereka menyerbu ke depan. Tiba-tiba tubuh kakek itu mencelat ke atas dengan keadaan tegak dan dari atas ia membalik turun. Benar saja seperti janjinya, ia tidak pernah melepas kedua tangan dan kakinya yang tetap menjadi satu, akan tetapi begitu tubuhnya bergerak menyambar-nyambar ke bawah, terdengar teriakan-teriakan ngeri dan robohlah dua belas orang itu satu demi satu, roboh karena dihantam siku atau lutut, bahkan ada yang roboh karena gempuran kepala si kakek yang berambut putih! Mereka roboh tumpang-tindih, mengerang-erang dan merintih-rintih tanpa dapat bangun kembali sedangkan Resi Telomoyo sudah berdiri kembali di tempat tadi,"Pertempuran"

   Ini tidak lebih satu menit lamanya!.

   "Rrriiiiikkkk... ttrrriiikkk...!!"

   Tiada hentinya bunyi berkeritik yang amat nyaring ini dan kiranya Cekel Aksomolo sudah melangkah maju dan memutar tasbihnya yang mengeluarkan suara sakti untuk merobohkan kakek lawan tangguh itu. Jokowanengpati terkejut sekali karena tidak mempergunakan alat penutup telinga, maka ia cepat-cepat mengerahkan ilmu dan ajiannya, mengerahkan tenaga sakti dalam tubuh, menyalurkan hawa panas tenaga sakti itu kearah sepanjang telinganya untuk menolak pengaruh suara mujijat. Sejenak Resi Tolomoyo yang diserang langsung oleh suara itu, bergoyang-goyang tubuhnya, kemudian ia meringkik-ringkik dan menggereng-gereng sambil berloncatan,

   Makin lama suaranya makin cepat dan nyaring, mengimbangi suara tasbih sehingga terjadilah "adu suara"

   Yang sama sekali tidak merdu di antara keduanya, didorong oleh tenaga sakti tingkat tinggi. Kasihan adalah nasib sisa dua belas orang yang belum roboh. Begitu mendengar suara berkeritik dari tasbih Cekel Aksomolo, mereka menggigil. Kali ini Cekel Aksomolo tidak menggunakan nada suara tinggi halus untuk memecahkan kendangan telinga, melainkan mempergunakan nada suara keras untuk mengguncang jantung. Dua belas orang itu menjambak-jambak dada yang terasa sakit dan tak lama kemudian mereka sudah terjungkal roboh dan berkelojotan seperti cacing yang terkena abu, dan betapapun mereka menutupi telinga, suara itu tetap menerobos masuk dan seakan-akan menusuk-nusuk jantung.

   Apalagi setelah kakek rambut putih itu mengeluarkan suara pula yang amat tidak enak didengar, keadaan mereka makin tersiksa. Adapun dua belas orang pengawal yang lain tidaklah begitu menderita. Mereka telah terluka parah dan kelemahan tubuh mereka membuat mereka segera roboh pingsan begitu mendengar suara sakti, Cekel Aksomolo makin penasaran dan juga marah, apalagi setelah melihat betapa selain kakek putih itu tidak terpengaruh oleh suara tasbihnya, juga semua pengawal sudah roboh, bahkan Jokowanengpati dalam keadaan setengah samadhi sehingga takkan dapat membantunya. Dalam gebrakan pertama ini dia sudah rugi. Karena itu, dengan gemas ia menghentikan suara tasbihnya dan membentak,

   "Kunyuk tua manusia monyet liar! Siapakah engkau berani main-main di depanku? Apakah kehendakmu? Apakah kau sudah bosan hidup?"

   "Ha-ha-ha, aku memang bosan hidup, akan tetapi bukan engkau yang menentukan! Apa engkaupun belum bosan, cantrik tua bangka? Tubuhmu sudah bongkok, pipimu sudah peyot, kulitmu sudah keriput, akan tetapi matamu masih memancarkan nafsu! Ha-ha-ha, aku tidak ada waktu untuk melayanimu, yang kuperlukan si Pujo ini!"

   Begitu berhenti ucapannya, secepat kilat menyambar, Resi Telomoyo sudah menggerakkan tubuhnya berkelebat ke arah Jokowanengpati yang sudah sejak tadi bersiap-siap.

   "Aiihhh...??"

   Terkejut sekali Resi Telomoyo ketika melihat sambarannya tidak berhasil, dapat dielakkan oleh pemuda itu dengan gerakan yang tangkas sekali. Tidak aneh, karena Jokowanengpati bukanlah pemuda sembarangan, ia adalah bekas murid terkasih Empu Bharodo yang sudah menurunkan ilmu meringankan tubuh Bayu Sakti!. Jokowanengpati memang seorang pemuda yang memiliki watak tinggi hati, tidak mau kalah dan memandang rendah orang lain. Terhadap Resi Telomoyo tentu saja ia tidak mau memandang rendah dan sudah dapat menduga bahwa kakek seperti kera ini memiliki ilmu kesaktian tinggi, akan tetapi ia belum puas kalau belum mencobanya sendiri.

   Pula, dia adalah seorang pemuda cerdik. Andaikata di sampingnya tidak ada Cekel Aksomolo yang dapat diandalkan untuk membantu dan menolongnya apabila ia terancam bahaya, agaknya sikapnya terhadap lawan sakti ini akan lain lagi. Kini, melihat betapa ia mampu mengelak terhadap terkaman si kakek putih, hatinya menjadi besar dan sambil membalikkan tubuhnya ia bersiap dengan kuda-kuda yang kokoh kuat. Begitu kakek rambut putih itu menubruk lagi. ia mengelak ke kiri sambil balas menghantam dengan tangan kanan ke arah dada, disusul dupakan kaki kiri ke arah lutut kanan lawan. Pukulan tangan Jokowanengpati amatlah ampuhnya karena ia mempergunakan aji pukulan Siyung Warak yang mengandung penuh tenaga sakti dan sanggup menghancurkan batu gunung!

   Juga pukulan kakinya amat dahsyat, apalagi yang dijadikan sasaran adalah lutut. Betapapun saktinya seseorang, apabila, sambungan lututnya terlepas, tentu akan menjadi pincang dan berkurang kegesitannya. Namun, betapa kagetnya hati Jokowanengpati ketika pukulan tangan kanannya itu bertemu dengan daging dada yang lunak dan membuat tenaga pukulannya seakan-akan tenggelam ke dalam air yang tak berdasar, adapun tendangannya yang menyusul itu sama sekali tidak mengenai sasaran. Cepat ia menarik pukulannya dan melompat ke belakang dengan muka pucat. Tahulah ia bahwa lawan yang tua ini benar-benar merupakan tandingan berat yang memiliki tenaga dalam yang sukar diukur tingkatnya!

   "Ha-ha-ha, sebegitu saja kepandaianmu? Lebih baik kau menurut saja kubawa!"

   Kembali Resi Telomoyo menubruk hendak menangkap lawannya yang muda dan gesit, namun kembali Jokowanengpati dapat mengelak mempergunakan Ilmu Bayu Saktinya. Sambil mengelak ia tidak mau tinggal diam. Ia maklum akan kekuatan kakek ini, akan tetapi juga dapat menduga bahwa kakek ini memiliki bagian-bagian tubuh yang tidak kebal, buktinya tadi tendangan yang diarahkan kepada sambungan lutut, tidak berani kakek itu menerimanya. Kini Jokowanengpati menyerbu dan mainkan Ilmu Silat Jonggring Saloko yang ia warisi dari gurunya. Empu Bharodo memang seorang sakti yang terkenal dengan dua macam ilmunya, yaitu Bayu Sakti sebagai ilmu meringankan tubuh yang membuat pertapa itu dianggap dapat terbang saking tingginya ilmunya ini, dan kedua adalah Ilmu Tombak Jonggring Saloko.

   Ilmu tombak ini kabarnya belum pernah menemui tanding dan juga ilmu tombak ini merupakan rahasia yang tidak diturunkan kepada muridnya oleh Empu Bharodo. Akan tetapi sebagai pecahan ilmu tombak ini diciptakanlah ilmu pukulan tangan Jonggring Saloko dan ilmu inilah yang ia turunkan kepada muridnya. Karena Jokowanengpati mempergunakan ilmu pukulan Jonggring Saloko, sebuah ilmu yang diciptakan oleh Empu Bharodo sendiri, tentu saja amatlah ampuhnya. Apalagi karena ilmu ini dimainkan dengan dasar Aji Bayu Sakti yang membuat geraknya menjadi cepat seperti kilat sedangkan ke dalam kedua tangannya ia isi dengan aji pukulan Siyung Warak, maka pada saat itu pemuda ini benar-benar tak boleh dipandang ringan!

   "Bagus! Hebat juga!"

   Berkali-kali Resi Telomoyo memuji. Dia benar-benar kagum sekali, dan harus mengaku dalam hati bahwa belum pernah ia bertemu lawan sekuat ini, apalagi lawan seorang rnuda. Kalau saja ia tidak menang kuat ilmu dalamnya dan tidak lebih matang ajiannya, agaknya sukar untuk menanggulangi sepak terjang setangkas ini. Ah, pantas saja muridnya, Roro Luhito yang manis, yang mungil dan denok, tergila-gila kepada pemuda ini. Tidak aneh. Memang pemuda pilihan, pemuda gemblengan yang patut sekali menjadi suami Roro Luhito muridnya! Aku harus dapat menangkapnya dan membawanya ke depan Roro Luhito, pikir sang resi. Oleh karena itu ia tidak mau main-main lebih lama lagi biarpun ingin ia menguji sampai di mana hebatnya kepandaian pemuda ini.

   Segera ia mengeluarkan seruan meringkik, tubuhnya bergoyang-goyang kedua lengannya dikembangkan dan jari-jari tangannya terbuka, matanya mendelik mulutnya terbuka menyeringai. Inilah Ilmu Sosro Satwo (Seribu Binatang) yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali! Seketika Jokowanengpati meremang tengkuknya karena Aji Sosro Satwo yang dipergunakan Resi Telomoyo itu memang memancarkan wibawa yang mujijat. Sebelum pemuda ini dapat menenteramkan hatinya, ia sudah diserbu hebat. Kedua lengan tangan resi itu seakan-akan telah menjadi puluhan banyaknya dan Jokowanengpati mendengar suara bermacam binatang liar di sekelilingnya! Ia hanya dapat mengerahkan Bayu Sakti, mundur-mundur sambil mengelak dan menangkis sedapatnya.

   "Werrrr..., ssyyuuuut...!"

   Sinar hitam meluncur ke depan menyambar kepala Resi Telomoyo yang cepat melompat mundur karena hawa sambaran benda bersinar hitam itu luar biasa sekali pengaruhnya. Ternyata Cekel Aksomolo yang sudah maju. Kakek pertapa Gunung Wilis ini berkata,

   "Mundurlah, raden. Biarlah aku yang maju. Hayo, kunyuk tua manusia kera., majulah. Akulah lawanmu, tua sama tua! Huh-huh!"

   Resi Telomoyo sudah menjadi marah sekali, akan tetapi iapun merasa heran. Mengapa ada seorang cantrik yang agaknya lebih sakti daripada Pujo? Ia merasa direndahkan kalau hanya dilawan oleh seorang cantrik saja.

   Maka sambil menggeram keras ia menerjang maju dengan pukulan Kapi Dibyo. Kedua tangannya menghantam dengan hawa pukulan jarak jauh yang cukup merobohkan lawan dari jarah jauh tanpa menyentuh orangnya. Akan tetapi Cekel Aksomolo tertawa dan menyambut lawan dengan hantaman tasbihnya yang ampuh. Resi Telomoyo tidak berani menerima hantaman tasbih ini, tasbih yang mengarah lehernya dari kiri, cepat tubuhnya miring ke arah kiri, menyelinap di antara sinar hitam tasbih, akan tetapi melanjutkan pukulan tangan kirinya menebak (memukul dengan telapak tangan) dada lawan. Cekel Aksomolo tentu saja tidak mau mengambil resiko pukulan yang ampuhnya bukan main ini, yang mendatangkan hawa panas, maka ia juga mendorong dengan telapak tangan kanannya memapaki tangan lawan.

   "Dukkk!!"

   Untuk kedua kalinya dua tenaga sakti yang dahsyat bertemu di udara dan akibatnya hebat. Tubuh Resi Telomoyo terlempar ke belakang, terjengkang dan berjungkir balik beberapa kali dengan amat tangkasnya. Akan tetapi Cekel Aksomolo juga terdorong ke belakang, terhuyung-huyung hampir roboh. Keduanya terpental sampai lima meter ke belakang dan kini berhadapan dengan mata terbelalak kagum dan kaget.

   "Uuh-huh-huh, kiranya bukan sembarang orang! Eh, kunyuk tua, sebelum mampus di tangan Cekel Aksomolo, mengakulah, siapa gerangan engkau ini dan apakah engkau tadi terlalu banyak minum arak maka tiada hujan tiada angin mengamuk seperti kera mabok?"

   Tercengang Resi Telomoyo mendengar nama ini. Ia menggaruk-garuk belakang telinganya lalu terkekeh.

   "Wah-wah, kiranya bukan cekel sembarang cekel, bukan cantrik sembarang cantrik! Kusangka cantrik bujang Resi Bhargowo, siapa tahu ternyata Cekel Aksomolo si cantrik iblis! Heh, cekel bongkok, aku adalah Resi Telomoyo! Mengapa engkau melindungi si Pujo ini yang hendak kubawa untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya? Hayo, benar-benarkah kau hendak mengadu kesaktian, menguji ampuhnya mantera tebalnya aji?"

   Kini giliran Cekel Aksomolo yang kaget. Belum pernah ia bertemu memang, baru kali ini, namun nama Resi Telomoyo sudah pernah ia dengar, dan menyaksikan akibat benturan tenaga sakti tadi, ia maklum bahwa manusia seperti monyet ini sama sekali tak boleh dipandang ringan. Sementara itu, Jokowanengpati ketika mendengar bahwa kakek itu adalah Resi Telomoyo yang kabarnya sakti mandraguna seperti Sang Hanoman di jaman Ramayana, juga menjadi terkejut. Pemuda cerdik ini memang sedang berusaha mengumpulkan sekutu yang pandai-pandai, maka cepat ia berkata,

   "Mohon paman Resi Telomoyo sudi mengampunkan saya. Saya sama sekali bukanlah Pujo yang paman cari. Saya bernama Jokowanengpati, murid Empu Bharodo."

   Resi Telomoyo tertegun, kecewa dan mendongkol.

   "Mengapa tidak dari tadi mengaku? Empu Bharodo saudara seperguruan Resi Bhargowo? Kalau begitu engkau sama busuknya dengan Pujo! Tampak pada kilatan matamu. Huh, walaupun pakaianmu pakaian satria, ilmu kepandaianmu ilmu satria, namun matamu mata jalang, kau tentu satria tukmisi satria batuk kelimis (dahi halus, dimaksudkan mata keranjang)!"

   "Huh-huh-huh, celaka, tiada hujan tiada angin memaki-maki. Monyet mendem (mabok)! Terima sajalah, raden, hitung-hitung buang sebel (sial)! Dia kakek mabok, kalau dilayani bukankah sama maboknya?"

   Cekel Aksomolo berkata.

   "Wah lagaknya si cekel bongkok! kau inipun tua-tua tuanya keladi, makin tua? makin menjadi-jadi! Tua-tua kelapa, makin tua makin keras tempurungnya, makin banyak santannya! Kakek tuwek (tua) kurus kering bongkok juling seperti kau ini tentu masih suka mengejar-ngejar wanita ayu!"

   Cekel Aksomolo mencak-mencak saking marahnya.

   "Heh keparat Resi Telomoyo, mulutmu bobrok asal njeplak (terbuka) saya memaki orang seenak seenak perutnya. Rasakan tasbih keramat ini!"

   Dengan amarah meluap-luap Cekel Aksomolo menerjang dengan tasbihnya, juga Jokowanengpati setelah mendapat kenyataan bahwa kakek putih itu tidak dapat diajak berteman, mencabut kerisnya dan ikut pula menerjang maju. Resi Telomoyo kaget sekali. Kalau dikeroyok dua, ia bias celaka, maka ia lalu mengeluarkan teriak keras seperti seekor kera dan tubuhnya mencelat ke atas, tahu-tahu ia sudah menyambar ranting pohon dan sambil terkekeh-kekeh ia melarikan, diri dengan cara meloncat-loncat di atas pohon.

   Akan tetapi sebelum meloncat jauh, ia membuka jubbah bagian bawah dan menyambarlah "Air hujan"

   Dari atas menimpa Cekel Aksomolo dan Jokowanengpati!. Kedua orang itu cepat meloncat ke pinggir, akan tetapi tetap saja sebagian lengan mereka terkena air. Ketika itu tercium bau pesing dan tahulah mereka bahwa si kakek gila-gilaan itu sambil melarikan diri telah menyiram mereka dengan air kencing! Benar-benar persis Watak nakal seekor monyet. Jokowaneng-pati merasa geli dan juga mendongkol sekali akan hinaan ini. Akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat Cekel Aksomolo menggerak-gerakkan hidung mencium-cium, mukanya menjadi pucat sekali dan bibirnya berkata perlahan,

   "Untung tidak kena kepala...!"

   "Kena kepalapun mengapa, eyang? Dapat dicuci!"

   "Uuuh-huh-huh, sial dangkalan bertemu monyet tua bangka! Biarpun dapat dicuci, penghinaan ini sekali waktu harus kubalas! Awas dia, kelak kutangkap dan kupaksa ia minum air kencingnya sendiri!!"

   Akan tetapi diam-diam Jokowanengpati merasa bersangsi apakah kakek ini akan sanggup melaksanakan ancamannya, mengingat betapa si manusia kera itu benar-benar sakti, dan belum tentu kalah oleh Cekel Aksomolo.

   Pemuda ini sama sekali tidak mengira bahwa tadi hampir saja pertapa lereng Wilis itu membuka rahasianya sendiri. seperti banyak ahli-ahli ilmu hitam yang selalu mempunyai pantangan, juga Cekel Aksomolo mempunyai semacam sirikan atau pantangan yang aneh, yaitu kepalanya tidak boleh tersiram air kencing. Ini merupakan pengapesan atau kenaasannya. Makin bersih air kencing itu, makin celakalah dia. Air kencing anak-anak tentu akan membuatnya lumpuh seketika kalau mengenai kepalanya. Biarpun air kencing Resi Telomoyo tidak sebersih air kencing anak-anak, dan hanya mengenal lengannya bukan kepalanya, namun sudah cukup lumayan, membuat kepalanya pening sebentar dan mau muntah!.

   Dengan hati penuh kegemasan, Jokowanengpati terpaksa menolong anak buahnya, kemudian rombongan ini melanjutkan perjalanan pulang ke Kadipaten Selopenangkep dengan tubuh lemas. Usaha mencari Pujo tidak berhasil, malah mereka mendapat hinaan dari Resi Telomoyo! Bersungut-sungut Jokowanengpati dan Cekel Aksomolo memasuki Kadipaten Selopenangkep. Orang-orang sama terheran melihat betapa pasukan yang ketika berangkat dahulu gagah-gagah itu kini pulang dengan pakaian kumal, wajah kesal dan pakaian kusut, bahkan ada yang masih mengerang-erang dan ada pula yang tertelungkup di atas punggung kudanya, terlukai seperti pasukan kalah perang.

   Akan tetapi, ada hiburan bagi Jokowangpati dan Cekel Aksomolo dalam kegemasan mereka, yaitu bahwa Kadipaten Selopenangkep sudah kedatangan tamu-tamu agung. Selain Wisangjiwo yang datang bersama dua orang wanita sakti yang bukan lain adalah Ni Durgogini, dan Ni Nogogini, juga kedatangan beberapa orang sakti lain yang akan memperkuat persekutuan mereka diharapkan datang dalam beberapa hari, yaitu di antaranya Ki Warok Gendroyono dari Ponorogo dan Ki Krendoyakso dari Bagelen!. Secara singkat Jokowanengpati menceritakan usaha mereka mencari Pujo dan Resi Bhargowo tidak berhasil, sebaliknya di tengah jalan bertemu dengan Resi Telomoyo dan terjadilah perselisihan yang mengakibatkan terlukanya para pengawal.

   "Manusia kera yang tua itu benar-benar menjemukan sekali,"

   Jokowanengpati mengakhiri ceritanya."Tanpa alasan dia mencari keributan dengan kami. Tentu saja para perajurit bukan lawannya. Kami berdua sudah turun tangan dan tentu dia akan mampus kalau saja tidak lekas-lekas lari mempergunakan kegesitannya seperti monyet, meloncat-loncat ke atas pohon sukar dikejar."

   "Uuh-huh-huh, lain kali tidak kuberi ampun si monyet tua dari Telomoyo!"

   Cekel Aksomolo ikut bicara.

   "Aku pernah mendengar tentang Resi Telomoyo manusia monyet, kukira hanya dongeng belaka, kiranya benar-benar ada,"

   Ni Nogogini ikut bicara dan matanya mengeriing ke arah Wisangjiwo. Akan tetapi Ni Durgogini agaknya tidak memperhatikan cerita itu. Ia sedang kesima memandangi wajah Jokowanengpati yang ganteng dan matanya menyinarkan api gairah. Kemudian Adipati Joyowiseso memperkenalkan kedua wanita sakti itu kepada Cekel Aksomolo dan Jokowanengpati.

   "Waduh-waduh..., sudah terlalu lama mendengar nama andika berdua yang hebat menjulang ke angkasa! Siapa sangk kedua nini yang sakti mandraguna jug amat cantik jelita seperti bidadari-bidadari kahyangan! Uh-huh-huh!"

   
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
CekelAksomolo memuji. Diam-diam Wisangjiwo merasa khawatir sekali kalau-kalau gurunya dan bibi gurunya akan menjadi marah. Akan tetapi ternyata tidak. Malah gurunya tersenyum manis sekali sambil mengeriing ke arah Jokowanengpati dan berkata,

   "Paman Cekel Aksomolo terlalu memuji. Dan orang muda ini yang bernam Jckowanengpati? Pernah aku mendengar dari muridku Wisangjiwo bahwa kau adalah murid Empu Bharodo, betulkah, raden?"

   Suaranya manis sekali, seperti orang bertembang, sehingga Jokowanengpati yang ditanya sejenak tertegun ia ta dapat menjawab, terpesona. Bukan main kakangmas Wisangjiwo, pikirnya, punya guru begini ayu, begini denok, menggiurkan!

   "Dimas Joko, kau ditanya guruku!"

   Wisangjiwo menegur geli, maklum betapa tamunya itu terpesona dan ada rasa bangga di hatinya.

   "Oh... ah..., betul, bibi! Tetapi hanya bekas murid... sekarang bukan muridnya lagi. Kami berselisih faham. Bapa Empu terlalu membela sri baginda sedangkan saya menentang kekuasaan orang Bali..."

   Ni Durgogini dan Ni Nogogini saling pandang tanpa mengeluarkan kata-kata mendengar ucapan ini, hanya cuping hidung mereka bergerak sedikit. Tidak ada orang lain yang lebih dekat dengan sepasang orang Bali yang kini menjadi Raja dan Patih Mataram, daripada mereka.

   Ni Durgogini dahulu adalah selir kinasih Ki Patih sedangkan Ni Nogogini selir kinasih (terkasih) sang prabu! Akan tetapi merekapun mengandung dendam terhadap Raja dan Patih karena mereka telah diusir!. Adipati Joyowiseso lalu cepat-cepat mempersilahkan mereka duduk di ruangan dalam dan memerintahkan para abdi (pelayan) untuk mengeluarkan hidangan yang memang telah disediakan. Suasana di kadipaten dalam pesta-pora untuk menghormat tamu-tamu agung dan didatangkanlah penari-penari dan penyanyi-penyanyi pilihan untuk menghibur mereka. Kamar-kamar terbaik dibersihkan dan dipersiapkan untuk para tamu. Melihat betapa Ni Durgogini tertarik kepada Jokowanengpati, diam-diam Ni Nogogini girang hatinya.

   Terbukalah kesempatan baginya untuk mendekati Wisangjiwo yang amat lama ia rindukan itu. Di lain fihak, Wisangjiwo juga bisa menangkap arti kerling mata bibi gurunya yang semenjak setahun yang lalu di pantai Laut Selatan, tak pernah ia jumpai pula. Isteri Wisangjiwo, Listyokumolo yang bernasib malang, oleh putera adipati itu sudah lama dipulangkan kembali kepada ayahnya, seorang lurah dusun di sebelah timur Gunung Lawu. Semenjak itu, Wisangjiwo merasa lebih bebas, sekarangpun karena di situ tidak ada isterinya, kedatangan Ni Durgogini dan Ni Nogogini benar-benar merupakan anugerah bagi kehausan nafsunya. Lirik dan senyum manis Ni Nogogini penuh arti dan memberi janji-janji banyak yang muluk-muluk. Karena di situ ada gurunya, tentu saja Wisangjiwo tidak berani banyak tingkah, dan ia hanya dapat menanti.

   Kalau tidak ada gerakan dari bibi gurunya sendiri, mana berani ia main-main? Ia hanya dapat menanti dan akan menanti sampai malam nanti. Harapan dan dugaan Wisangjiwo memang tidak meleset. Menjelang tengah malam, pesta dibubarkan dan para tamu dipersilahkan beristirahat di kamar masing-masing. Suasana menjadi sunyi sekali dan dalam kesunyian itulah Wisangjiwo menanti. Menanti untuk waktu sebentar saja karena tak lama kemudian jendela kamarnya terbuka dari luar dan bagaikan sehelai selendang sutera halus dan ringannya, melayanglah tubuh Ni Nogogini memasuki kamarnya! Rindu dendam mereka sudah ditahan-tahan selama setahun, maka tanpa bicara lagi Wisangjiwo bangkit dan mengembangkan kedua lengannya menyambut dengan penuh kegembiraan dan berdekap ciumlah kedua insan budak hawa nafsu itu.

   "Bibi,"

   Wisangjiwo berbisik perlahan ketika mendapat kesempatan.

   "Ni guru berada di sini, aku... takut..."

   Ni Nogogini tertawa lirih.

   "Takut? Hi-hi-hik! kau mau tahu apakah yang saat ini sedang dilakukan oleh orang yang kau takuti itu? Mari... kau ikut aku sebentar dan kau akan melihat apakah kau perlu takut atau tidak kepada mbok ayu Durgogini!"

   Tak sempat Wisangjiwo membantah karena ia sudah dipeluk dan dibawa keluar kamarnya seperti seorang anak kecil saja. Ternyata Ni Nogogini membawanya ke kamar JokoWanengpati dan wanita sakti itu tanpa mengeluarkan suara membawanya mendekat jendela. Pada saat itu terdengarlah bisik-bisik di dalam kamar diseling suara ketawa lirih, suara gurunya!

   "Cah bagus (anak tampan)..., kenapa tanganmu ini kehilangan kelingkingnya...?"

   Suara Ni Durgogini lirih, merdu, dan manja. Hafal benar Wisangjiwo akan suara ini, suara gurunya kalau sedang bercinta!

   "...Eh, ini...? Digigit... ular..."

   Jawab Jokowanengpati dengan suara tersendat-sendat.

   "Ihhh, ular apa?"

   "...Anu ular kuning berlidah merah"

   "Hemmm, dengan ular saja kau kalah sampai kehilangan kelingking? Aku tukang mempermainkan ular. Ular apa saja! Segala macam racun ular tidak akan mempan terhadapku!"

   "Ah, tentu saja. Bibi seorang sakti mandraguna, ratu gunung dan hutan, tentu segala binatang di hutan takluk kepadamu..."

   "Kau ingin belajar aji menaklukkan ular?"

   "Tentu saja, kalau bibi sudi mengajarku..."

   "Hi-hik, kita lihat saja. Kalau kau cukup manis dan pandai menyenangkan hatiku, mungkin..."

   Wisangjiwo mengirik tangan Ni Nogogini yang tersenyum lebar dan sekali melompat Ni Nogogini sudah meninggalkan jendela sambil mengempit pinggang orang muda itu dalam gulungan lengan kirinya.

   Beberapa detik kemudian mereka sudah kembali ke dalam kamar Wisangjiwo dilemparkannya pemuda itu di atas pembaringan dan ditubruknya. Mereka bergumul di situ sambil tertawa-tawa. Setelah mendapat kenyataan bahwa gurunya sendiri bermain gila dengan Jokowanengpati Wisangjiwo dapat melayani kehendak bibi gurunya dengan gembira dan tidak ragu-ragu lagi. Ia tidak marah kepada Jokowanengpati karena maklum bahwa tidak ada laki-laki yang dapat menolak kehendak gurunya itu. Hanya ia merasai heran mengapa Jokowanengpati membohong tentang kelingkingnya yang putus, Bukankah dahulu bercerita bahwa jari kelingking kirinya putus karena bacokan senjata ketika ia dikeroyok gerombolan! perampok?

   Mengapa pula sekarang mengatakan digigit ular? yang mana yang benar?. Akan tetapi sepak terjang Ni Nogogini yang ganas dan liar membuat ia segera lupa akan Jokowanengpati, lupa akan segala, tenggelam dalam lautan nafsu. Memuakkan memang bagi mereka yang bersusila! Mengerikan bagi mereka yang tahu membedakan perbuatan baik dan buruk, bagi mereka yang belum bejat ahlaknya. Di Kadipaten Selopenangkep, di malam hari itu, terjadilah perbuatan mesum dan hina oleh dua pasang manusia yang tenggelam dalam perjinaan, menikmati perbuatan maksiat, tak sadar bahwa mereka menjadi hamba hawa nafsu dan berenang di tempat kotor. Tiada ubahnya binatang-binatang kerbau yang bergelimang dalam lumpur, menikmati air lumpur kotor yang menempel di tubuh.

   Setiap ada kesempatan, siang maupun malam, kedua orang wanita sakti itu tentu akan menyeret kedua orang muda untuk memuaskan kehausan mereka yang tak kunjung padam. Bagaimana dengan Cekel Aksomolo? Tiada bedanya! Maklum akan selera kakek itu, Adipati Joyowiseso sengaja memanggil beberapa orang abdi wanita yang cantik-cantik untuk melayani si kakek bandot tua. Karena pelayanan inilah maka tiga orang sakti yang sama "Mutunya"

   Ini merasa betah tinggal di kadipaten, menanti datangnya orang-orang sakti lain yang ditunggu-tunggu oleh Adipati Joyosiseso. Adipati inipun maklum akan perbuatan Ni Durgogini dan Ni Nogogini, akan tetapi karena sepaham sekwalitas, adipati ini dapal memaklumi dan bahkan diam-diam merasa girang bahwa puteranya dan calon mantunya dapat melayani dua orang wanita sakti itu dengan baiknya.

   Dengan pelayanan-pelayanan memuaskan ini sudah boleh dipastikan bahwa tiga orang sakti itu takkan terlepas dari tangannya, akan merupakan pembantu-pembantu setia dan berguna bagi cita-citanya. Beberapa hari kemudian berturut-turut datanglah tamu-tamu agung yang diundang dan lama dinanti-nanti itu. Pertama-tama yang datang adalah Ki Warok Gendroyono, seorang kakek berusia enam puluh tahunan yang rambutnya sudah banyak ubannya, namun tubuhnya masih kekar penuh otot-otot, kaki tangannya seperti empat kaki singa, mukanya berkulit hitam terbakar sinar matahari, matanya bersembunyi di balik alis yang panjang, kalau memandang orang melotot seperti orang marah, bicaranya kasar dan apa adanya tanpa tedeng aling-aling, jujur mbejujur. Pakaiannya serba hitam dengan celana sebatas lutut, kolornya (ikat pinggangnya) besar sebesai ibu jari kaki,

   Dua kali melilit pinggang tapi ujungnya masih panjang bergantungan di depan, pada ujungnya sekali disimpul besar. Kelihatan lucu kolor itu, akan tetapi jangan main-main dengan benda ini. Semua warok memusatkan ilmunya pada benda yang dapat dipergunakan sebagai senjata atau jimat inilah, dan kolor yang dipakai Ki Warok Gendroyono berwarna kuning dengan belang-belang hitam merah bukanlah kolor sembarang kolor, melainkan kolor sakti yang ampuh dan disebut Ki Bandot. Kabarnya, demikian ampuhnya Ki Bandot ini sehingga sekali saja simpul di ujungnya menghantam lawan, sama hebatnya dengan gigitan seekor ular Bandot yang berbisa!. Ki Warok Gendroyono tidak datang seorang diri, melainkan dengan seorang sahabatnya yang dikenal sebagai yang baurekso (penjaga)

   Danau Sarangan di lereng Lawu. Karena dari Ponorogo ke Selopenangkep melalui jalan ini, maka Ki Warok Gendroyono singgah di tempa tinggal sabahatnya, bicara tentang undangan Adipati Joyowiseso yang memusuhi Raja Mataram, dan Ki Tejoran demikian nama sahabatnya itu, menjadi tertarik lalu ikut bersamanya. Ki Tejoranu berusia hampir lima puluh tahun tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat seperti penderita penyakit kuning, matanya sipit dan bicaranya sukar sekali dan pelo (tak dapat menyebut R). Memang dia seorang perantau dari Tiongkok yang sejak mudanya bertapa di Danau Sarangan. Dia ahli silat tangan kosong dan yang amat terkenal adalah permainannya dengan sepasang golok. Kemudian datang pula tamu dari barat, yaitu Ki Krendayakso. Hebat sekali tubuh kakek ini.

   Usianya kurang lebih empat puluh tahun, akan tetapi tubuhnya tinggi besar melampaui ukuran manusia biasa, pantasnya seorang raksasa di jaman pewayangan! Matanya melotot lebar dan bundar, hidungnya besar pesek, mulutnya tak tampak tertutup cambang bauk yang hitam tebal dan kaku seperti kawat bajanya yang besar itu seakan-akan tidak kuat menahan tubuhnya seperti hampir pecah di sana-sini jika tubuhnya bergerak. Di pinggangnya sebelah kanan tergantung sebuah senjata yang mengerikan, yaitu sebuah penggada yang terbuat daripada baja, ujungnya berduri dua di kanan kiri seperti taring singa Inilah dia Ki Krendayakso kepala rampok di Bagelen yang sudah terkenal namanya di mana-mana karena banyak sudah orang dari empat penjuru mengalami gangguan apabila lewat di daerahnya, yaitu hutan Mundingseto.

   Kedatangan Ki Krendayakso ini diikuti oleh selusin anak buahnya yang kesemuanya tinggi besar, kasar-kasar dan kuat, karena memang mereka semua adalah "orang-orang hutan"

   Yang tidak mengenal tata susila atau sopan santun. Namun Adipati Joyowiseso yang cerdik dan pandai bersiasat itu menerima mereka dengan ramah di taman, bahkan lalu memerintahkan para abdinya menyediakan tempat tersendiri untuk selosin orang anak buah Ki Krendayakso, memberi mereka hidangan-hidangan enak agar mereka tidak merasa bosan menanti kepala mereka yang menjadi tamu agung di kadipaten. Dengan gembira Adipati Joyowiseso dibantu oleh Wisangjiwo dan Jokowaneng-pati, mengajak para tamunya ke ruang tamu di mana telah tersedia hidangan hidangan lezat.

   Maka duduklah mereka mengitari meja yang penuh makanan dan minuman. Adipati Joyowiseso diapit-apit Wisangjiwo dan Jokowanengpati kemudian berturut-turut duduk Ni Durgogini, Ni Nogogini, Cekel Aksomolo, Ki Warok Gendroyono, Ki Tejoranu, dan paling ujung Ki Krendayakso. Adipati Joyowiseso menghaturkan terima kasih atas kedatangan para tamu agungnya, kemudian ia menyinggung nyinggung tentang keadaan Mataram yang kini dikuasai oleh seorang Raja keturunan Bali yang kini telah menaklukkan seluruh daerah Mataram lama. Disinggungnya pula bahwa selain Rajanya keturunan Bali, juga Raja ini tidak menghargai orang jawa sehingga Patihnyapun sahabatnya sendiri, seorang dari Bali pula.

   "Terus terang saja,"

   Adipati Joyowiseso melanjutkan kata-katanya.

   "Saya sendiri seorang taklukan dan kini masih menjadi adipati adalah berkat kemurahan Sang Prabu Airlangga. Akan tetapi, hati siapa akan puas menyaksikan keadaan di istana? Biarlah kita terima kenyataan bahwa Raja dan Patihnya orang-orang Bali, akan tetapi siapa dapat menahan perih hati melihat kenyataan yang pahit tentang nasib sang prameswari puteri mendiang Prabu Teguh Dharmawangsa? Betapa pedih hati ini memikirkan puteri keturunan Raja kita dahulu, yang kini rela mengundurkan diri menjadi pertapa karena mengalah sehingga kedudukannya tergeser dan dirampas oleh seorang puteri bekas musuh lama, puteri dari Sriwijaya!"

   Semua orang terdiam, tak ada yang bicara setelah kata-kata Adipati Joyowieso ini berakhir. Hanya Ni Nogogini bekas selir Raja Airlangga, menjebikan bibirnya yang merah, akan tetapi kepalanya diangguk-anggukkan. Masing-masing terlelap dalam lamunan dan kenangan sendiri. Memang semua juga tahu akan keadaan di Kerajaan. Tahu bahwa sang prameswari (permaisuri), puteri mendiang Prabu Teguh Dharmawangsa yang menjadi isteri pertama Prabu Airlangga, kini mengundurkan diri dan menjadi pertapa bertapa dengan julukan Sang Panembaha Kilisuci. Sunyi setelah Adipati Joyowiseso menghentikan kata-katanya. Kemudian terdengar suara Ki Warok Gendroyono yang keras dan nyaring, dibarengi tangannya yang besar dan berat menggebrak meja,

   "Aku tidak tahu tentang urusan dalam istana Raja dan aku tidak peduli dia hendak menceraikan semua isterinya atau kawin lagi! Bukan urusanku! Akan tetapi dua tahun yang lalu, karena membunuh tiga puluh orang musuh-musuhku, aku di tangkap oleh Ki Patih, kemudian dijatuhi hukuman penggal kepala. Ha-ha-ha! Segala macam pedang dan golok kanak-kanak di Mataram mana yang mampu memenggal leherku? Agaknya sang prabu gentar menyaksikan betapa golok dan pedang tidak berhasil menabas atau melukai batang leherku, maka aku dibebaskan. Akan tetapi aku selalu diawasi, dan semua ini merupakan penghinaan yang takkan dapat kulupakan, terutama sekali Ki Patih Kanuruhan!"

   "Hi-hi-hik!"

   Ni Durgogini tertawa sambil memandang Ki Warok Gendroyono.

   "Ki Warok Gendroyono, aku pernah mendengar bahwa Rakyana Patih Kanuruhan adalah seorang yang digdaya sekali. Engkau sendiri tadi mengakui telah ditangkap olehnya. Bagaimanakah caramu hendak membalas dendam?"

   Mata itu melotot ke arah Ni Nogogini ketika ia menjawab,

   "Betul bahwa dahulu aku kalah olehnya, akan tetapi apakah kau kira selama ini aku tinggal diam saja? Tidak, aku sudah memperdalam ilmu, mencari aji yang akan dapat kupakai untuk menandinginya. Lihat saja nanti, apakah ia akan kuat menadahi ke ampuhan Ki Bandot!"

   Sambil berkata demikian, tangannya mengelus-elus ujung kolor yang berada di bawah perut di antara kedua pahanya, sehingga gerakan ini tentu saja nampak lucu dan tidak patut!

   "Ki Warok benar...!"

   Kata Ki Tejoranu mengangguk-angguk.

   "Biarpun Ki Patih lihai sekali, tentu ada yang lebih tinggi. Ilmu tidak ada batasnya, makin dikenal makin tinggi. Saya dengal banyak olang lihai di Matalam, kalau tidak sekalang ikut sobat-sobat mencoba kepandaian meleka, untuk apa kita belajal ilmu?"

   Biarpun kata-katanya pelo, namun semua yang hadir dapat menangkap artinya dan tahulah mereka bahwa pertapa Danau Sarangan ini adalah seorang petualang yang hanya tertarik akan mengadu ilmu. Akan tetapi Ki Warok Gendroyono yang jujur berkata sambil tertawa,

   "Wah, sahabatku Ki Tejoranu! Selain mencari korban kehebatan sepasang golokmu, apakah kelak kau tidak akan menerimanya apabila memperoleh pahala dan disodori kedudukan pangkat? Kalau begitu, biarlah kelak aku yang mewakilimu menerima semua pahala."

   "Hayaaaa... bukan begitu, Ki Walok sobat baik! Kalau kalah saya mati kalau menang sudah patut telima hadiah."

   Ia tertawa meringis dan sepasang matanya menjadi makin sipit sehingga tinggal merupakan dua garis melintang saja. Kini Adipati Joyowiseso menoleh ke arah kepala rampok dari Bagelen yang duduk di ujung meja dan tiada hentinya menggerogoti paha ayam sambil mendorong dari tenggorokan ke perut dengan arak ketan.

   "Semua saudara sudah menyatakan pendapatnya, bolehkah kami mendengarkan pendapatmu tentang Mataram, kisanak?"

   Menghadapi seorang perampok besar yang kasar dan liar ini, tidak ada sebutan lain yang lebih tepat. Ki Krendroyakso sendiri menyebut Ki sanak (saudara) kepada siapapun yang ia jumpai!. Ki Krendroyakso mencuci mulut dan tenggorokannya dengan arak lebih dulu sebelum menjawab, matanya melotot lebar dan cambang bauknya bergerak gerak.

   "Heemmmmm, kalau kalian mau menggempur Mataram, aku dan anak buahku siap setiap saat! Kami pernah digempur oleh pasukan Mataram, banyak anak buahku tewas. Raja Mataram yang sekarang adalah musuhku!"

   Setelah berkata demikian, kembali ia menyambar daging kambing dan melahapnya tanpa mempedulikan orang lain.

   "Uuh-huh-huh, demi segala jin dan setan iblis peri gadungan, siluman banaspati tetekan! Bagus, bagus... semua telah menyatakan kebencian dan permusuhan terhadap si Raja Bali. Huh-huh tapi bagaimana pelaksanaannya? Mataram memiliki panglima-panglima dan senopati senopati yang sakti mandraguna! Apakah tenaga kita mencukupi? Uh-huh-huh kalau sampai gagal, kita semua tidak urung akan binasa...!"

   "Bruuuukkkk!"

   Ki Warok Gendroyono menggebrak meja sampai tergetar dan piring-piring berloncatan."Paman Cekel Aksomolo apakah takut?"

   "Uh-huh-huh, sialan awakku, disangka takut. Bukan takut, Ki Warok, akan tetapi kita harus mengatur siasat, harus mengukur tenaga sendiri dan membandingkannya dengan tenaga calon lawan..."

   

Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini