Ceritasilat Novel Online

Keris Pusaka Sang Megatantra 15


Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo Bagian 15



"Ah, jadi paduka juga ingin selalu berdekatan dengan hamba? Kalau begitu sama benar keinginan perasaan kita."

   Kata Linggajaya sambil tersenyum dan pandang matanya mencorong tajam Seperti hendak menembus dada yang membusung itu dan menjenguk isi hati yang terkandung di dalamnya.

   "Hush! Maksudku agar selalu dekat dan mudah bagiku untuk mengajak berunding kalau aku telah menemukan sebuah rencana yang baik."

   "Akan tetapi pekerjaan ini berat sekali bagi hamba, gusti. Berat dan sekaligus juga merendahkan martabat hamba. Jauh lebih ringan bagi hamba kalau paduka memberi perintah membunuh seseorang atau berapa orangpun!"

   "Hemm, kalau engkau benar-benar ingin membantuku seperti yang ditugaskan kepadamu oleh Paman Adipati Wengker, tentu engkau tidak akan keberatan untuk menyamar sebagai juru taman Linggajaya."

   "Bagaimanapun juga, penyamaran itu berat dan merendahkan martabat bagi hamba, akan tetapi..... kalau imbalannya sepadan, agaknya hamba siap melakukannya!"

   Linggajaya kembali memandang dengan sinar mata mengandung penuh arti. Tentu saja Lasmini dapat memahami apa yang tersirat di dalam ucapan pemuda yang telah berhasil menarik dan menggetarkan gairah dalam hatinya itu. Jantungnya kembali berdebar tegang karena selain dengan Ki Patih Narotama, belum pernah timbul berahinya ketika berhadapan dengan pria lain. Mungkinkah Ini timbul karena kebosanannya kepada suaminya? Ataukah karena Linggajaya merupakan seorang pemuda sakti mandraguna yang dapat diharapkan bantuannya agar tugasnya di Kahuripan dapat berhasil? Ataukan karena Linggajaya memang seorang pemuda tampan, gagah dan juga sakti mandraguna dan merupakan wajah baru yang tentu saja memiliki daya tarik yang amat kuat? Mungkin kesemuanya itulah yang mendorong bangkitnya gairah dalam hatinya terhadap pemuda itu.

   Lasmini tersenyum.

   "Imbalan apakah yang kau inginkan dariku agar engkau mau melaksanakan pekerjaan sebagai juru taman ini, Linggajaya?"

   Melihat senyum dan pandang mata yang menantang itu, Linggajaya menjadi semakin berani.

   "Gusti Puteri Lasmini paduka laksana setangkai kembang indah sekali yang sedang mekar semerbak harum, adapun hamba bagaikan seekor kumbang yang hina. Betapa akan bahagianya sang kumbang ini kalau sang bunga sudi membuka kelopaknya dan memberikan kesempatan kepada sang kumbang untuk hinggap, menghisap dan menikmati sedikit sari madunya."

   Sepasang pipi yang halus itu menjadi kemerahan seperti buah tomat matang dan sepasang bibir itu tersenyum malu malu. Tentu saja Lasmini maklum betul apa yang dimaksudkan pemuda itu. Setelah agak lama merasa canggung dan salah tingkah, akhirnya Lasmini berkata.

   "Kita lihat saja nanti hasil pekerjaanmu. Kalau engkau berhasil membuat rencanaku terlaksana dengan baik..... heemm, aku tidak menjanjikan apa-apa, akan tetapi mungkin sekali keinginan kumbang itu akan terlaksana."

   Bukan main girangnya hati Linggajaya mendengar ini. Berarti Lasmini sudah setengah menyambut dan menjanjikan pemenuhan keinginannya itu. Dan pemuda yang sudah berpengalaman dengan wanita itu hampir yakin bahwa selir Ki Patih Narotama ini juga "ada rasa"

   Kepadanya. Hal ini dapat dia lihat dari senyum dan sinar matanya.

   "Sendika nglampahi (siap melaksanakan ) perintah paduka, gusti puteri!"

   Katanya dengan girang.

   "Nah, sekarang pergilah. Jangan terlalu lama di sini sebelum engkau diterima sebagai juru taman."

   Kata Lasmini.

   Linggaya lalu mempergunakan Aji Panglimutan sehingga tubuhnya diselimuti semacam halimun atau kabut. Dalam keadaan tidak tampak itu, tiba-tiba Lasmini merasa ada hidung yang hangat menyentuh pipi kanannya. Hanya sentuhan lembut dan hangat dan pemuda itu lalu pergi dari situ. Lasmini merasakan jantungnya berdebar tegang dan tak terasa lagi, ia mengangkat tangan kirinya dan mengusap pipi kanannya. Ia tahu bahwa pemuda itu telah mengambung (mencium dengan hidung) pipinya, suatu hal yang belum pernah ia alami sebelum atau selama ia menjadi selir Narotama, kecuali tentu saja oleh suaminya sendiri. Ia tersenyum-senyum dan membayangkan kemesraan dengan pemuda itu sehingga debar jantungnya menjadi semakin berdegup kencang.

   Demikianlah, setelah mendapatkan perkenan dari Narotama, Linggajaya diterima sebagai seorang juru taman baru di taman kepatihan. Tentu saja Linggajaya mengenakan pakaian penduduk biasa dan dia menyembunyikan keris yang diberikan oleh Adipati Wengker. Tepat seperti yang diramalkan oleh Empu Bharada, memang pada waktu itu Kerajaan Kahuripan secara rahasia diancam malapetaka dari segala jurusan, bagaikan awan-awan mendung yang datang dari segala penjuru, berkumpul di atas Kahuripan dan mengancam kerajaan ini dengan hujan malapetaka!

   Diambilnya Mandari sebagai selir Sang Prabu Erlangga, dan Lasmini menjadi selir Ki Patih Narotama, kemudian munculnya Linggajaya yang membantu kedua orang puteri Kerajaan Parang Siluman ini, sudah merupakan ancaman malapetaka yang mengancam raja dan patih Kahuripan itu. Dan ternyata bukan itu saja ancaman datang. Pada suatu hari, ada seorang tamu mohon diperkenankan menghadap Sang Prabu Erlangga. Dia mengaku sebagai misan dari Pangeran Hendratama yang masih berada di luar kota raja. Ketikaa perwira pengawal melapor kepada Sang Prabu Erlangga bahwa seorang utusan dari Pangeran Hendratama, kakak iparnya itu, mohon menghadap, tentu saja dengan girang dia memperkenankan utusan itu masuk dan menghadap padanya.

   Pangeran Hendratama adalah kakak tiri Permaisuri, putera mendiang Sang Prabu Teguh Dharmawangsa dari seorang selir yang berkasta rendah. Ketika Erlangga terpilih menjadi raja, agaknya Pangeran Hendratama merasa kurang senang karena dia merasa sebagai keturunan langsung para raja Mataram dan merasa lebih berhak. Untuk menyatakan ketidak senangan hatinya, Pangeran Hendratama lolos dari istana dan pergi entah kemana. Sekarang dia mengirim seorang utusan dan Sang Prabu Erlangga yang bijaksana menyambut utusan itu dengan hati girang. Bagaimanapun juga, Pangeran Hendratama tidak pernah menyatakan ketidak-senangan hatinya itu dengan sikap atau tindakan, maka Sang Prabu Erlangga juga tidak menaruh dendam kepadanya, hanya rasa kasihan.

   Sang Prabu Erlangga bahkan memanggil Permaisuri untuk hadir dan ikut menerima laporan utusan Pangeran Hendratama yang kakak tiri dari Permaisuri. Sang permaisuri juga merasa gembira akan Mendengar berita dari kakak tirinya yang Sudah lama tidak diketahui ke mana perginya itu.

   Ketika utusan itu datang menghadap, berlutut dan duduk bersimpuh di depan sang Prabu Erlangga dan empat orang Isterinya yang paling dekat, yaitu Sang Permaisuri pertama, Permaisuri ke dua, Dyah Untari, dan Mandari. Sang Prabu Erlangga dan empat orang isterinya itu tercengang. Kiranya utusan itu seorang wanita! Seorang gadis manis dengan tahi lalat di pipi kiri, kulitnya kuning, tubuhnya tinggi semampai, lehernya panjang dan sikapnya anggun. Usianya sekitar dua puluh dua tahun. Dengan penuh hormat ia menyembah kepada Sang Prabu dan empat orang isterinya.

   "Hamba mohon beribu ampun bahwa hamba telah berani datang menghadap dan mengganggu waktu paduka tanpa dipanggil, gusti."

   Katanya sambil menyembah.

   Jelas bahwa gadis ini bukan orang biasa. Ia tahu betul akan tata cara dan kesusilaan menghadap raja dan agaknya ia sudah terlatih untuk itu. Hal ini tidak mengherankan gadis manis itu bukan lain adalah Sukarti yang merupakan garwa ampilan (isteri selir), juga pembantu setia, yang pertama dari Pangeran Hendratama.

   "Siapakah andika dan laporkan dengan jelas apa maksud kedatanganmu menghadap kami."

   Kata Sang Prabu Erlangga yang diam-diam girang menyaksikan sikap yang anggun dari utusan kakak iparnya itu.

   Sukarti menyembah.

   "Hamba bernama Sukarti, pembantu dan utusan Gusti Pangeran Hendratama. Hamba diutus menghadap paduka dan menghaturkan sepucuk surat dari beliau, kanjeng gusti"

   "Hemm, bagus. Kalau begitu cepat serahkan surat itu kepada kami. Terimalah suratnya, diajeng."

   Kata Sang Prabu Erlangga kepada Mandari.

   Selir ini bangkit dari kursinya, menghampiri Sukarti dan menerima gulungan surat yang dihaturkan oleh gadis utusan itu. Ketika jari tangan Mandari menyentuh tangannya, Sukarti merasa betapa ada hawa getaran yang amat kuat dari tangan puteri jelita dan ia terkejut bukan main, maklum bahwa sang puteri itu memiliki kesaktian tinggi. Akan tetapi ia tidak membuat reaksi, hanya menundukkan mukanya dan diam-diam Sukarti dapat menduga bahwa puteri ini tentulah Puteri Mandari dari Kerajaan Parang Siluman yang kini menjadi selir Sang Prabu Erlangga. la memang sudah mendapat keterangan jelas tentang keadaan keluarga di istana Kahuripan itu. Bahkan kalau Pangeran Hendratama kini menghubungi Sang Prabu Erlangga dan hendak mendekatinya, hal itu juga terdorong oleh kehadiran dua orang puteri Parang Siluman yang kini menjadi selir sang prabu dan selir ki patih itu. Mereka ini akan dapat menjadi sekutu yang baik sekali!

   Sang Prabu Erlangga membaca surat kakak iparnya itu dan dia mengangguk angguk, lalu menyerahkan surat itu kepada Permaisuri pertama yang adik tiri Pangeran Hendratama. Permaisuri Sekar Kedaton membaca surat kakaknya Itu dan iapun ikut gembira, mengangguk- angguk, lalu menyerahkan surat itu kepada Permaisuri ke dua, yaitu Puteri Sri Sanggramawijaya dari Sriwijaya. Puteri inipun membaca surat itu lalu dioperkan kepada Dyah Untari. Kemudian yang terakhir kali Mandari juga membacanya. Mereka semua merasa ikut bergembira karena di dalam suratnya itu, Pangeran Hendratama mengirim hadiah berupa beberapa batang tombak dan keris pusaka ampuh untuk sang prabu, dan menyatakan keinginannya untuk kembali ke Kahuripan. Pangeran Hendratama tidak mohon untuk tinggal di istana, melainkan mohon perkenan sang prabu untuk tinggal di luar istana.

   Sang Prabu Erlangga lalu mengutus kepala pengawal untuk mengangkut sebuah peti berisi pusaka-pusaka itu, kemudian melalui Sukarti dia mengundang kakak iparnya itu agar dating berkunjung dan berbincang-bincang di istana. Setelah menghaturkan terima kasih dan hormat Sukarti mengundurkan diri keluar dari istana, hatinya senang karena ia tahu bahwa majikannya, juga suami dan junjungannya, tentu akan merasa gembira sekali mendengar sambutan keluarga Sang Prabu Erlangga yang demikian ramah.

   Demikianlah, perpindahan Pangeran Hendratama ke kota raja setelah oleh Sang Prabu Erlangga dihadiahi sebuah gedung yang cukup besar dan megah di luar istana, diam-diam merupakan ancaman baru yang berbahaya. Pangeran Hendratama tidak pernah berhenti menaruh dendam dan keinginan hatinya untuk sewaktu-waktu dapat merebut kekuasaan dan menjadi raja Kahuripan sebagai penerus mendiang ramanya, yaitu Sang Prabu Teguh Dharmawangsa.

   Pangeran Hendratama tinggal bersama tiga orang selirnya yang setia di dalam sebuah gedung besar hadiah Sang Prabu Erlangga. Mulailah pangeran itu mengadakan kontak dengan para bangsawan yang diam-diam mendukungnya. Dia sengaja mendekati para bangsawan yang dalam pemerintahan Raja Erlangga tidak mendapatkan tempat yang tinggi. Mereka adalah orang-orang yang kecewa dan iri hati karena tidak kebagian kedudukan yang "basah", yang merasa berjasa akan tetapi tidak mendapatkan penghargan sebagaimana yang mereka inginkan. Para bangsawan ini memang oleh Sang Prabu Erlangga tidak diberi kedudukan penting karena raja yang arif ini mengenal watak mereka yang hanya mengejar kesenangan untuk diri sendiri. Orang-orang seperti ini kalau diberi kedudukan tinggi hanya akan mempergunakan kedudukan yang memberi kuasa kepada mereka itu untuk bertindak sewenang-wenang kepada bawahan dan rakyat, orang-orang yaitu biasa menjilat ke atas dan meludah kebawah. Mereka condong melakukan korupsi dan menggunakan segala cara untuk menyenangkan diri sendiri, kalau perlu berpijak kepada kesengsaraan orang-orang di bawah mereka.

   Pangeran Hendratama memang cerdik sekali. Dia tahu bahwa seperti juga dia sendiri yang tidak kebagian kedudukan orang-orang itu merasa iri dan membenci Sang Prabu Erlangga secara diam diam. Dia menghubungi mereka, mengobarkan semangat kebencian mereka dengan mengatakan bahwa Sang Prabu Erlangga yang mereka anggap sebagai seorang raja yang mata keranjang dan merendahkan kehormatan Kerajaan Kahuripan keturunan Mataram dengan mengawini dua orang puteri dari pihak musuh, yaitu puteri Mandari dari Parang siluman dan Puteri Sri Sanggramawijaya dari Sriwijaya!

   Demikianlah, diam-diam Pangeran Hendratama telah menyusun kekuatan, sekongkol dengan banyak bangsawan yang secara rahasia menghimpun sebuah pasukan yang siap dipergunakan untuk tujuan terakhir mereka, yaitu memberontak dan menggulingkan Sang Prabu Erlangga dibawah pimpinan Pangeran Hendratama! Bagaikan seekor laba-laba, dengan sabar dan tekun Pangeran Hendratama mulai membentang jaring di sekitar diri Sang Prabu Erlangga. Tentu saja diapun sudah tahu akan Isi hati puteri Mandari dari Parang Siluman, maka diam diam diapun mulai mendekati puteri ini untuk diajak bersekutu.

   Puteri Mandari membiasakan diri untuk pergi berburu binatang buas di hutan yang terdapat di luar kota raja. Ia tadinya melakukan perburuan itu bersama Sang Prabu Erlangga dan dengan dalih bahwa ia suka sekali berburu yang merupakan hiburan mengasyikan baginya maka Sang Prabu Erlangga memperkenankan selir ini terkadang melakukan perburuan seorang diri. Raja sama sekali tidak khawatir akan keselamatan selir itu, karena ia maklum Mandari memiliki kesaktian yang cukup tinggi untuk menjaga dirinya sendiri.

   Tentu saja kesukaan berburu sendiri itu hanya merupakan alasan Mandari agar ia mendapat kebebasan dan dengan demikian, ia dapat leluasa berhubungan dengan orang-orang di luar istana. Pangeran Hendratama yang mengetahui akan kebiasaan ini, segera mempergunakan kesempatan itu untuk diam-diam menjumpai Mandari dan mereka berduapun segera bersepakat untuk bersekutu dalam niat mereka menjatuhkan Sang Prabu Erlangga. Akan tetapi, tentu saja keduanya tidak mau berterus terang akan alasan mereka memusuhi Sang Prabu Erlangga. Pangeran Hendratama tentu saja tidak mengatakan bahwa dia ingin merebut kekuasaan Sang Prabu Erlangga dan menjadi raja di Kahuripan dan Mandari juga tidak mengatakan tentang keinginan ratu Parang Siluman untuk menguasai kahuripan.

   Bahkan Pangeran Hendratama kecelik dan menabrak batu ketika dia mencoba untuk menguasai Puteri Mandari yang cantik molek itu. Pangeran yang mata keranjang ini ingin sekali menarik sang puteri bukan saja sebagai sekutunya, melainkan juga sebagai kekasih gelapnya! Akan tetapi hamper saja dia tewas ketika dia mencoba untuk merayu Mandari. Puteri itu marah sekali dan menyerangnya dengan hebat ketika sang pangeran dalam pertemuan mereka berdua dalam hutan menyatakan cintanya dan merayunya. Pangeran Hendratama yang juga digdaya, membela diri bahkan ingin menundukkan sang puteri dengan aji kanuragaan yang dia kuasai. Akan tetapi dalam pertandingan singkat tanpa disaksikan siapapun juga itu, akhirnya Pangeran Hendratama terjungkal roboh oleh tamparan Mandari.

   "Pangeran, mengingat andika bukan musuhku, maka aku masih mengampunimu dan tidak membunuhmu. Kita dapat bekerja sama menghadapi Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Akan tetapi sekali lagi andika kurang ajar dan tidak bersusila terhadapku, aku akan membunuhmu!"

   Sejak itu, Pangeran Hendratama bersikap hormat sekali kepada Puteri Mandari. Dia menganggap puteri itu amat berbahaya kalau dijadikan musuh, akan tetapi amat berguna untuk dijadikan sekutu. Apalagi mengingat betapa dekat sekali dengan Sang Prabu Erlangga. Melihat perubahan sikap Pangeran Hendratama terhadap dirinya, Mandari juga melupakan peristiwa itu dan iapun bersikap baik karena iapun maklum bahwa sang pangeran itu dapat menjadi sekutu yang berguna sekali. Pangeran itu mempunyai pengaruh yang cukup luas dan besar kemungkinan dengan kerja sama mereka, akhirnya akan tercapai rencananya, yaitu menjatuhkan Sang Prabu Erlangga dan menghancurkan Kerajaan Kahuripan.

   Kita tinggalkan dulu mereka yang bersiap-siap menyusun kekuatan untuk mennjatuhkan Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama, pendeknya untuk merebut kekuasaan di Kerajaan Kahuripan dan kita ikuti Nurseta. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Nurseta datang ke dusun Karang Tirta dan berhasil memaksa Ki Suramenggala, lurah Karang Tirta, untuk menceritakan tentang ayah ibunya yang meninggalkannya sejak dia berusia sepuluh tahun.

   Setelah dihajar keras, Ki Suramenggala mengaku bahwa orang tua Nurseta yang bernama Ki Darmaguna dan Nyi Sawitri, melarikan diri entah ke mana setelah tahu bahwa mereka dilaporkan oleh Suramenggala ke kota raja, yaitu kepada Senopati Sindukerta. Kemudian muncul Linggajaya dan Puspa Dewi yang membela Lurah Suramenggala sehingga Nurseta terpaksa melarikan diri karena tidak ingin permusuhan menjadi berlarut-larut. Kini dia tahu ke mana harus melacak untuk mengetahui tentang orang tuanya. Tiada lain ke kota raja, mencari Senopati Sindukerta yang agaknya ditakuti ayah ibunya itu dan menanyakan mengapa orang tuanya menjadi orang-orang buruan.

   Pada suatu pagi, Nurseta menuju ke kota raja Kahuripan. Ketika dia menuruni sebuah lereng bukit kapur, dari tempat tinggi itu dia melihat serombongan orang mengawal sebuah kereta yang tampak mengkilap tertimpa cahaya matahari. Dilihat dari pakaian seragam dan tombak atau golok yang berada di tangan orang orang itu, mudah diduga bahwa mereka itu adalah sepasukan perajurit yang mengawal sebuah kereta yang pintunya tertutup tirai sehingga penumpangnya tidak tampak dari luar. Jumlah pasukan itu ada dua losin orang.

   Karena ingin sekali mendengar tentang kota raja Kahuripan dan menyangka bahwa penumpang kereta yang dikawal pasukan itu tentu seorang pembesar Kerajaan Kahuripan, maka Nurseta cepat menuruni bukit itu. Siapa tahu dari rombongan itu dia akan mendapatkan keterangan tentang Senopati Sindukerta yang dicarinya karena tentu Senopati yang ditakuti orang tuanya itu akan dapat memberi penjelasan tentang orang tuanya yang melarikan diri meninggalkan dia seorang diri.

   Akan tetapi ketika Nurseta yang mengerahkan Aji Bayu Sakti sehingga dia dapat berlari menuruni bukit itu seperti terbang sudah tiba di dekat jalan di bawah bukit yang dilalui rombongan itu, Dia melihat betapa ada dua orang laki-laki berdiri di tengah jalan menghadang rombongan itu. Kereta itu sudah berhenti dan seorang berpakaian perwira, komandan rombongan pengawal itu, sudah maju ke depan kereta menghadapi dua orang yang menghadang perjalanan mereka.

   Nurseta ingin tahu apa yang terjadi, Dia cepat mendekati dan bersembunyi dibalik sebatang pohon, menonton dan medengarkan apa yang sedang terjadi. Dia memperhatikan dua orang yang menghadang rombongan itu. Mereka itu merupakan dua orang yang penampilannya tidak seperti orang biasa.

   Yang seorang adalah seorang laki laki berusia sekitar tiga puluh tahun, bentuk tubuhnya yang tinggi kurus dan punggungnya agak bongkok itu membuat dia tampak ringkih. Pakaiannya berbentuk jubah panjang dan di tangan kirinya tergantung seuntai tasbih yang biji tasbihnya terbuat dari kayu hitam. Wajah orang itu membuat Nurseta tertegun heran. Dia pernah mendengar dongeng tentang seorang pendeta dalam dongeng Mahabarata yang disebut Bagawan Durna! Wajah orang tinggi kurus bongkok itu persis wajah Bagawan Durna seperti yang digambarkan dalam dongeng!

   Nurseta memperhatikan orang ke dua dan dia merasa kagum. Orang ini sungguh gagah menyeramkan. Usianya sekitar dua puluh lima tahun. Tubuhnya tinggi besar dengan otot melingkar-lingkar di kedua lengan dan dadanya yang bajunya terbuka bagian depan. Bulu lebat tumbuh di dadanya, kulitnya hitam legam. Baik bentuk tubuh yang tinggi besar dan kokoh kuat itu maupun wajahnya yang gagah, dengan mata, hidung, mulut serba besar, mengingatkan Nurseta akan tokoh lain dalam Mahabarata, yaitu Raden Bratasena atau yang kemudian bernama Werkudara. Begitu gagah dan jantan!

   Nurseta mendengarkan percakapan antara perwira pasukan pengawal dan dua orang itu. Perwira itu juga bertubuh tinggi besar walaupun tidak sebesar orang yang seperti Bratasena itu. Bahkan semua perajurit yang dua puluh empat orang banyaknya itupun rata-rata memiliki bentuk tubuh yang kokoh kuat dan wajah merekapun membayangkan kebengisan dan kekerasan.

   "Heh, siapa kalian berdua dan apa mau kalian menghadang di tengah jalan. Hayo minggir!"

   Demikian bentak sang Perwira dengan suara menggeledek.

   Orang yang mirip Bagawan Durna itu tertawa dan mau tak mau Nurseta tersenyum sendiri. Bahkan suaranyapun seperti suara Bagawan Durna Tawanya terkekeh dan kecil seperti suara wanita

   "Heh-heh-hi-hi-hi .....! Andika tidak mengenal kami berdua? Heh-heh-kalau begitu jelas andika ini seorang yang tolol!"

   "Keparat, jangan main-main!"

   Bentak sang perwira.

   "Kami adalah pasukan pengawal Kerajaan Siluman Laut Kidul yang sedang mengawal gusti ratu kami. Hayo cepat kalian menepi dan berlutut, Gusti ratu kami hendak lewat!"

   Kini orang ke dua yang hitam tinggi besar itu yang menjawab dan ketika mengeluarkan suara, seperti yang diduga oleh Nurseta, terdengar suaranya besar parau menggelegar.

   "Perwira coromeo (kecoa) jangan banyak tingkah. Kami sudah lelah berjalan kaki. Serahkan kereta itu kepada kami berdua, baru kalian boleh lewat dengan aman!"

   Perwira yang memimpin dua losin perajurit itu menjadi marah sekali, tangan kanannya bergerak dan dia sudah mencabut sebatang pedang dan inipun merupakan isyarat karena dua losin anak buahnya segera mencabut senjata mereka mengepung dua orang penghadang itu. Dengan garang perwira itu menudingkan telunjuk kirinya ke arah dua orang itu dan membentak.

   "Heh, dua orang biadab! Apakah mata kalian buta dan telinga kalian tuli? Berani kalian menghadang pasukan yang sedang mengawal gusti kami, Kanjeng Ratu Mayang Gupita, ratu dari Kerajaan Siluman Laut Kidul? Siapakah kalian yang nekat dan bosan hidup ini? Hayo akuilah siapa kalian, jangan mampus tanpa meninggalkan nama!"

   "Heh-heh-heh-hi-hi!"

   Duplikat Durna itu terkekeh genit seperti wanita, atau lebih tepat, seperti seorang banci.

   "Benar- benar kamu tidak mengenal kami? Heh, menyebalkan. Buka matamu dan pandang baik-baik, buka telingamu dan dengar baik-baik. Aku adalah Sang Cekel Aksomolo, yang mbaureksa (menguasai) Hutan Werdo dilereng Gunung Wilis, gegedug tanpa tanding yang namanya membuat bumi langit gonjang ganjing, dan engkau, perwira coromeo, perajurit ceremende tidak mengenal aku? Wah, payah, engkau tak pantas menjadi perwira, harus turun pangkat menjadi pengurus kandang kuda"

   "Aku adalah Dibyo Mamangkoro!"

   Kata orang ke dua yang suaranya besar lantang, sesuai dengan tubuhnya yang hitam tinggi besar.

   Akan tetapi, perwira itu memang belum pernah mendengar nama dua orang yang mengaku sebagai orang-orang terkenal itu. Mereka itu masih muda, Cekel Aksomolo berusia kurang lebih tiga puluh tahun dan Dibyo Mamangkoro baru sekitar dua puluh lima tahun. Tentu saja perwira yang hidup didaerah Kerajaan Siluman Laut Kidul itu belum pernah mendengar nama-nama itu.

   "Kalian berdua yang bermata buta bertelinga tuli, berani mengganggu perjalanan ratu kami!"

   Kata perwira itu dan diapun memberi isyarat kepada anak buahnya. Para perajurit pengawal segera bergerak menyerang kedua orang yang hendak merampok kereta itu. Akan tetapi Dibyo Mamangkoro menggerakkan kedua lengannya yang panjang dan begitu kedua lengan itu menyambar, ada angin pukulan bersiutan dan angin itu melanda para Pengepungnya. Beberapa orang perajurit pengawal berteriak kaget karena mereka dilanda angin dan berpelantingan!

   Cekel Aksomolo tertawa terkekehkekeh, tasbih di tangannya digerakkan, terdengar suara berkerotokan dan empat orang yang terdeekat dengannya roboh sambil menutupi telinga mereka dengan kedua tangan! Suara berkerotokan dari biji-biji tasbih itu menimbulkan getaran hebat pada telinga mereka! Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

   "Kalian mundur semua!"

   Dan tirai yang menutupi pintu kereta terbuka dan dari dalam kereta meluncur sesosok tubuh dan tahu-tahu seorang wanita telah berdiri di hadapan dengan Cekel Aksomolo dan Dibya Mamangkoro! Dua orang sakti itu memandang dan mereka terkejut. Wanita itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, pakaiannya serba mewah indah gemerlapan, tubuhnya tinggi besar, bahkan tidak kalah tinggi dibandingkan Dibyo Mamangkoro. Perutnya gendut, wajahnya dibedaki tebal dan memakai pemerah bibir dan pipi, tubuhnya penuh perhiasan emas permata. Wajahnya serba bulat gemuk dan ada dua ujung taring muncul dari celah-celah bibirnya. Inilah Ratu Kerajaan Siluman Laut Kidul yang bernama Ratu Mayang Gupita, bekas isteri Ki Nagakumala. Wanita raseksi (raksasa wanita) ini selain menjadi ratu, juga terkenal sebagai seorang tokoh yang sakti mandraguna. Ialah seorang di antara mereka yang dulu mengeroyok Sang Empu Dewamurti di Gunung Arjuna. Bersama Resi Bajrasakti dari Kerajaan Wengker, dan Tri Kala, yaitu Kalamuka Kalamanik, dan Kalateja dari Kerajaaan Wura-wuri, mereka berlima mengeroyok Sang Empu Dewamurti. Biarpun mereka berlima menjadi ketakutan dan melarikan diri, namun mereka juga berhasil membuat sang empu maha sakti itu terluka berat sehingga meninggal dunia.

   Cekel Aksomolo dan Dibyo Mamangkoro adalah dua orang tokoh yang mengambil jalan sesat. Dibyo Mamangkoro yang baru saja pulang dari pengembaraannya di daerah Blambangan di mana dia mencari guru-guru untuk memperdalam ilmu-ilmunya setelah selama beberapa tahun dia mencari ilmu dan aji kesaktian di Banten, ingin mendapatkan sebuah tempat untuk bertapa dan memperkuat diri. Dia mendengar tentang Pulau Nusakambangan, maka pergilah dia ke sana. ketika tiba di sana, dia disambut oleh bekas anak buah bajak laut yang sebagian masih tinggal di situ dan sebagian pula ikut pimpinan mereka pindah di laut jawa bagian utara. Dua puluh lebih anak buah bajak laut itu mengeroyoknya akan tetapi mereka semua dikalahkan sehingga tunduk dan menerima Dibyo Mamangkoro sebagai pimpinan mereka.

   Sejak saat itu, Dibyo Mamangkoro menjadi orang yang menguasai Nusakambangan. Pada suatu hari Cekel Aksomolo yang pernah dikenalnya di daerah Banten datang berkunjung dan Dibyo Mamangkoro dapat terbujuk oleh Cekel Aksomolo untuk mencari kedudukan dan kemuliaan di dalam kemelut yang sedang dihadapi Kerajaan Kahuripan. Pada hari itu, kebetulan mereka bertemu dengan kereta indah yang dikawal perajurit-perajurit itu. Melihat kereta yang indah itu, keduanya mengambil keputusan untuk merampasnya karena mereka merasa lelah melakukan perjalanan jauh dengan jalan kaki saja.

   Melihat munculnya wanita yang menyeramkin itu dua orang sakti yaitu biasanya melakukan kekerasan dan kejahatan itu merasa terkejut. Mereka pernah mendengar bahwa ratu Kerajaan Siluman Laut Kidul adalah seorang yang memiliki kesaktian. Akan tetapi mereka tidak pernah membayangkan bahwa ratu itu demikian menyeramkan. Bagaimanapun juga, Cekel Aksomolo apalagi Dibyo Mamangkoro, adalah dua orang yang sakti mandraguna, bahkan menganggap diri sendiri terlalu tinggi sehingga mereka itu biasanya memandang rendah orang lain. Biarpun penampilan Ratu Mayang Cupita tampak menyeramkan, namun mereka tidak gentar, bahkan ingin sekali menguji sampai di mana kehebatan ratu yang namanya terkenal sekali itu.

   (Lanjut ke Jilid 17)

   Keris Pusaka Sang Megatantra (seri ke 01 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 17

   "Hemm, bocah-bocah bagus kemarin sore besar kepala lebar mulut! Berani kalian menyombongkan diri di depan kami. Sambutlah ini!"

   Kata Ratu Mayang Gupita dan dia sudah memutar-mutar kedua lengannya di depan dada lalu mendorongkan kedua telapak tangan itu ke arah Cekel Aksomolo dan Dibyo Mamangkoro. Tiba-tiba dari kedua telapak tangannya itu keluar bola-bola api menyambar ke arah dua orang itu.

   Cekel Aksomolo dan Dibyo Mamangkoro terkejut, maklum akan dahsyatnya serangan yang tenaga saktinya dapat mengeluarkan bola api itu. Maka mereka pun menyambut dengan cepat. Cekel Aksomolo memutar tasbihnya dan membaca mantera, sedangkan Dibyo Mamangkoro sudah mengerahkan tenaga saktinya, dadanya membusung penuh hawa, kemudian kedua tangannya didorongkan kedepan dengan telapak tangan terbuka. Angin yang amat kuat menyambar dari telapak tangannya itu, menyambut bola api yang meluncur ke arah dirinya.

   "Dar-dar-dar-dar .....!"

   Beberapa bola api itu meledak ketika bertemu dorongan kedua tangan Dibyo Mamangkoro dan bertemu dengan sambaran sinar hitam dari tasbih Cekel Aksomolo. Benturan tenaga sakti yang dahsyat ini menggetarkan bumi di sekitarnya dan akibatnya Ratu Kerajaan Siluman Laut Kidul itu mundur dua langkah, akan tetapi Dibyo Mamangkoro undur empat langkah dan Cekel Aksomolo malah terhuyung ke belakang. Ini membuktikan bahwa tenaga sakti wanita raksasa itu masih lebih kuat dan tenaga Cekel Aksomolo yang paling lemah di antara mereka bertiga.

   TADI ketika mendengar dari perwira pasukan pengawal bahwa kereta itu ditumpangi Ratu Kerajaan Siluman Laut Kidul, dua orang sakti itu diam-diam sudah terkejut. Akan tetapi karena watak mereka sombong, mereka masih belum percaya bahwa seorang ratu, seorang wanita akan memiliki kedigdayaan yang patut diperhitungkan. Akan tetapi setelah kini mereka membuktikan sendiri akan kehebatan wanita raksasa itu, mereka terkejut dan juga kagum. Bagaimanapun juga, raja wanita ini merupakan seorang di antara musuh-musuh Sang Prabu Erlangga, berarti masih satu golongan dengan mereka. Apalagi Cekel Aksomolo telah mendengar bahwa ratu ini merupakan seorang di antara mereka yang telah menyerang Sang Empu Dewamurti yang mengakibatkan tewasnya empu sakti mandraguna itu.

   'Bojleng iblis laknat"

   Dibyo Manaingkoro mencaci dengan suaranya yang besar.

   "Kiranya bukan omong kosong yang kudengar bahwa Ratu Kerajaan Siluman Laut Kidul adalah seorang wanita yang sakti mandraguna!"

   Raksasa ini memuji dengan jujur karena dia harus mengaku bahwa saat itu tenaganya sendiri yang sudah jarang dapat ditemukan tandingannya itu ternyata masih kalah setingkat dibandingkan wanita itu.

   "Heh-heh-heh-hi-hi-hik, apa anehnya. Ki Dibyo Mamangkoro? Apa andika belum mendengar bahwa Kanjeng Ratu Mayang Gupita inilah yang telah menewaskan Sang Empu Dewamurti yang terkenal itu!"

   Kata Cekel Aksomolo dengan suaranya yang tinggi seperti suara wanita.

   Mendengar ini, Dibyo Mamangkoro terkejut.

   "Ah, benarkah? Kanjeng Ratu, benarkah bahwa paduka yang telah menewaskan Sang Empu Dewamurti?"

   Ratu yang bertubuh raksasa wanita itu kini berdongak dan tertawa. Suaranya lantang dan ketika tertawa, mulutnya terbuka sehingga tampak jelas buah taringnya yang runcing mengkilap.

   "Heh-he-he-he-heh! Siapa lagi yang mampu membunuh Empu Dewamurti kecuali kami?"

   Wanita itu terbahak dan tampak bangga sekali.

   "Akan tetapi, Kanjeng Ratu. Saya mendengar bahwa paduka masih dibantu oleh wakil dari Kerajaan Wengker dan kerajaan Wura-wuri. Benarkah itu?"

   Cela Aksomolo bertanya.

   Wajah wanita yang tadinya terbahak itu kini mengkerut dan cemberut.

   "Huh, mereka itu hanya untuk menambah semangat saja. Memang benar Resi Bajrasakti dari Wengker membantu, dan Tri Kala dari Wura-wuri, akan tetapi andai kata tidak ada aku, mereka mana mampu menandingi Empu Dewamurti?"

   Kata Ratu Mayang Gupita menyombong.

   Nurseta yang bersembunyi, mengintai peristiwa itu mula-mula merasa kagum karena dia tidak mengira sama sekali akan bertemu orang-orang yang sungguh sakti mandraguna. Dia semakin kagum ketika melihat wanita raksasa yang ternyata Ratu Kerajaan Siluman Laut Kidul itu mampu menandingi dua orang laki-laki digdaya itu, bahkan dalam adu tenaga sakti tadi wanita raksasa itu membuktikan dirinya lebih kuat daripada mereka berdua. Akan tetapi ketika mendengar pengakuan Ratu Mayang Gupita, dia terkejut bukan main. Kini tahulah dia siapa yang telah menyebabkan gurunya terluka dan tewas. Ternyata ada lima orang yaitu Resi Bajrasakti, Ratu Mayang Gupita dan Tri Kala dari Kerajaan Wura wuri. Hal ini berarti bahwa gurunya telah dimusuhi oleh para jagoan dari tiga kerajaan, yaitu Kerajaan Siluman Laut Kidul, Kerajaan Wengker, dan Kerajaan Wura-wuri! Kini mengertilah dia. Tiga kerajaan itu, di samping kerajaan kecil lainnya seperti Kerajaan Parang Siluman dan lain-lainnya, adalah musuh-musuh yang tidak mau tunduk kepada Mataram dan sampai sekarang tidak mau tunduk kepada Sang Prabu Erlangga, raja Kerajaan Kahuripan yang menjadi keturunan Mataram.

   Adapun gurunya, Sang Empu Dewamurti adalah seorang yang amat setia kepada Mataram. Maka dia dapat mengambil kesimpulan bahwa mereka itu membunuh Empu Dewamurti untuk melenyapkan orang sakti mandraguna yang setia kepada Mataram, tentu dengan maksud untuk melemahkan Mataram, gurunya sudah berpesan kepadanya agar ia tidak bertindak menurutkan dendam sakit hati karena dendam merupakan nafsu yang dapat mendorong manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan kejam dan hal itu bertentangan dengan jiwa ksatria! Seorang ksatria akan selalu menegakkan kebenaran dan keadilan, namun dengan cara yang benar pula, dan mengumbar kekejaman karena dendam sama sekali bukan sikap dan tindakan benar. Namun, Nurseta bagaimanapun juga adalah seorang manusia biasa. Biarpun dia sudah berlatih di bawah gemblengan seorang arif bijaksana seperti mendiang Empu Dewamurti, dan dia telah dapat menanamkan kesabaran dalam hatinya, selalu ingat dan waspada, yaitu ingat kepada Sang Hyang Widhi yang sudah menggariskan jalan kebenaran yang harus diikutinya, namun terkadang nafsu dalam dirinya masih sempat mengusik kesadarannya sehingga dia yang selalu waspada untuk mengikuti setiap gerak gerik hati pikirannya sendiri, terkadang hanyut dalam gelombang nafsu keakuannya.

   Mendengar dan melihat bahwa orang yang telah melukai dan membunuh gurunya terkasih itu kini berada di depannya, dia tidak mampu menahan gejolak hatinya. Biarpun belum tersentuh dendam yang akan menghancurkan semua pertimbangannya, namun sempat menggugah rasa penasaran di dalam hatinya. Dia harus mencari keterangan dari pembunuh itu mengapa ia membunuh Empu Dewamurti yang tidak mempunyai kesalahan apapun! Maka, tanpa dapat menahan gejolak hatinya, Nurseta melompat dan bagaikan kilat menyambar, tubuhnya sudah brerkelebat dan tahu-tahu tiba di depan Ratu Mayang Gupita!

   Wanita raksasa ini terkejut bukan main ketika tiba-tiba saja ada seorang pemuda muncul di depannya tanpa dapat diketahui dari mana datangnya. Juga Cekel Aksonolo dan Dibyo Mamangkoro tertegun melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang pemuda sederhana berdiri di situ.

   "Kanjeng Ratu, seperti yang saya dengar tadi, paduka adalah seorang ratu kerajaan Siluman Laut Kidul. Akan tetapi mengapa paduka bertindak curang dan kejam, mengeroyok Eyang Empu Dewamurti yang tidak bersalah apa-apa? Apakah perbuatan paduka itu dapat dikatakan adil dan gagah? Eyang Empu Dewamurti sudah tua dan selalu mengasingkan diri tidak pernah mengganggu yang lain, akan tetapi paduka dan teman-teman paduka mengeroyoknya! Saya menuntut penjelasan dari paduka!"

   Ratu Mayang Cupita mengamati pemuda itu dan diam-diam ia merasa heran sekali. Pemuda yang usianya paling banyak dua puluh dua tahun itu hanya seorang yang sederhana, pakaian maupun sikap dan bicaranya, namun pandangan matanya mencorong penuh wibawa. Dari gerakan pemunculannya tadi, sang ratu dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi. Maka ia bersikap hati hati dan menekan kesombongannya.

   "Hemm, orang muda. Sebelum kami menjawab pertanyaanmu, katakan dulu siapa kamu dan mengapa engkau hendak mengurus tentang kematian Empu Dewamurti! Hayo jawab."

   "Kanjeng Ratu, nama saya Nurseta dan sudah menjadi kewajiban saya untuk mengetahui sebab kematian Eyang Empu Dewamurti karena beliau adalah guru saya."

   "Bagus! Jadi andika ini muridnya! Hemm, kalau begitu kami yakin bahwa engkau pasti tahu di mana adanya Sang Megatantra, keris pusaka itu Hayo katakan, di mana keris itu atau aku akan mengirim engkau pergi menyusul gurumu!"

   Ratu Mayang Gupita girang sekali karena timbul pula harapannya akan dapat menemukan dan memiliki keris pusaka Sang Megatantra yang diperebutkan semua kerajaan itu. Semua raja yakin bahwa sekali mereka dapat menguasai sang Megatantra, berarti wahyu mahkota berada di tangan mereka dan menjatuhkan Kahuripan merupakan hal yang mudah dan pasti!

   Nurseta mengangguk-angguk.

   "O, begitukan? Jadi paduka dan wakil-wakil dari Wengker dan Wura wuri itu menyerang mendiang eyang guru karena hendak mendapatkan Sang Megatantra?"

   'Benar, karena dia tidak mau menyerahkan Sang Megatantra, maka kami menyerangnya! Dan sekarang, kebetulan andika muridnya berada di sini. Hayo, cepat katakana di mana adanya Sang Megatantra. Kalau andika menyerahkan pusaka itu kepada kami, kami akan memberi imbalan hadiah besar. Akan tetapi sebaliknya kalau tidak andika berikan, andika akan disiksa sampai mati!"

   'Hemm, terus terang saja, Sang Megatantra tidak berada di tangan saya saat ini Akan tetapi, andaikata keris pusaka itu berada di tangan saya, pusaka itu tidak akan saya berikan kepada siapapun juga. Sang Megatantra adalah pusaka kerajaan Mataram atau yang sekarang bernama Kerajaan Kahuripan. Maka,sudah seharusnya pusaka itu dikembalikan kepada yang berhak, yaitu pada saat ini adalah Sang Prabu Erlangga, raja Kahuripan. Jadi kalau paduka menghendaki Sang Megatantra, berarti paduka hendak merampas hak milik orang lain!"

   "Nurseta, jangan banyak cakap! Katakan sekarang juga di mana adanya Sang Megatantra!"

   Bentak Ratu Mayang Gupita marah.

   Nurseta tersenyum dan menggeleng kepala.

   "Terpaksa aku tidak dapat mengatakan di mana!"

   Katanya tegas.

   "Jahanam keparat! Hyaaaattt...."

   
Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mayang Gupita sudah menyerangnya dengan pukulan yang mengeluarkan bola api kearah Nurseta. Akan tetapi pemuda ini sudah siap. Tadi dia sudah menyaksikan kedahsyatan pukulan itu ketika ratu itu melawan kedua orang laki-laki yang saat itu masih berdiri sambil memandang dan mendengarkan penuh perhatian.

   Menghadapi serangan itu Nurseta tidak mau melawan dengan kekerasan. Dia lalu bergerak dengan ilmu silat Baka Dewa dan tubuhnya berkelebat ke samping sehingga serangan tenaga sakti yang membentuk bola api itu luput, tidak mengenai dirinya. Kemudian dari samping dia menerjang ke depan dan menampar kearah pundak Ratu Mayang Gupita. serangan ini saja membuktikan bahwa Nurseta tidak dikuasai nafsu dendam. Tangannya bukan merupakan serangan maut, dan sasarannya hanya pundak, berarti dia masih menguasai perasaannya dan tidak digelapkan oleh nafsu amarah. Namun, karena dia menggunakan tenaga sakti yang amat kuat, maka tamparan itu mendatangkan hawa pukulan yang rasa panas oleh pundak Ratu Mayang Gupita sebelum jari tangan Nurseta mengenai sasaran.

   "Haiiiihhh .....!"

   Wanita raksasa itu menggerakkan tangannya menangkis tamparan itu dengan pengerahan tenaga sekuatnya.

   "Wuuuttt ..... plakkk!"

   Ratu Mayang Gupita terkejut bukan main. Lengannya bertemu dengan tangan yang mengandung getaran dahsyat dan terasa panas olehnya. Terpaksa ia melompat jauh kebelakang untuk menghentikan getaran yang membuat tubuhnya terguncang. Diam-diam ia terkejut akan tetapi tidak heran mengingat bahwa pemuda ini adalah murid mendiang Empu Dewamurti. Tentu saja pemuda inipun memiliki kesaktian yang tak boleh dipandang ringan. Betapapun juga, ia merasa penasaran dan juga malu. Di situ terdapat Dibyo Mamangkoro dan Cekel Aksomolo yang menyaksikan pertandingan itu. Tentu saja amat memalukan dan merendahkan kalau ia sampai kalah oleh seorang pemuda remaja! Maka, sambil mengeluarkan bentakan nyaring yang mengandung kekuatan sihir, ia menerjang lagi ke depan, kini membentuk cakar dengan kedua tangannya. Jari-jarinya menjadi cakar harimau dan kuku-kukunya berubah menghitam.

   Setiap ujung kuku jari itu mengandung hawa beracun dan ini merupakan aji yang amat keji dan berbahaya. Baru bentakan melengking yang keluar dari mulutnya itu saja sudah mampu mengguncangkan jantung lawan dan yang kurang kuat sudah dapat dilumpuhkan oleh bentakan itu. Apalagi disusul terkaman dengan kuku-kuku jari yang berbisa seperti itu. Sungguh merupakan serangan maut yang amat berbahaya.

   Namun Nurseta bersikap tenang. Dia sudah mengerahkan ilmu meringankan tubuh Aji Bayu Sakti sehingga tubuhnya dapat berkelebatan cepat sekali bagaikan angin sehingga semua serangan berupa cengkeraman dan tamparan kedua tangan yang kukunya berubah hitam itu tak pernah menyentuh kulit tubuhnya. Dan menghadapi serangan maut bertubi-tubi itu tahulah Nurseta bahwa dia tidak mungkin hanya menghindarkan diri saja karena hal ini membahayakan dirinya endiri. Bela diri yang baik bukan sekadar mempertahankan dan melindungi diri, melainkan balas menyerang karenanya dengan demikian maka daya serangan lawan dapat dilumpuhkan atau setidaknya dikurangi kehebatannya.

   "Yaaaahhh!"

   Dia berseru dan ketika tangan kanan Ratu Mayang Gupita mencengkeram ke arah kepalanya, dia menggerakkan diri ke kiri, kemudian tangan kanannya bergerak memukul lengan lawan itu dari samping dengan tangan dimiringkan.

   "Wuuultt ..... desss!!"

   Pukulan tangan Nurseta itu tepat mengenai lengan lawan di bawah siku. Seketika tubuh Ratu Mayang Gupita terjengkang ke belakang dan tubuhnya terhuyung-huyung. Lengannya terasa nyeri bukan main, seolah tulangnya patah. Akan tetapi setelah meneliti ternyata tulang lengannya tidak patah hanya terasa nyeri, la terkejut sekali

   Dibyo Mamangkoro dan Cekel Aksomolo tadinya hanya menonton saja karena merasa hampir yakin bahwa ratu yang sakti mandraguna, yang tadi mampu menandingi mereka, pasti akan dapat merobohkan pemuda itu dalam waktu singkat. Akan tetapi alangkah heran dan kaget hati mereka melihat betapa semua serangan Ratu Mayang Gupita tak pernah mengenai sasaran, lebih lagi ketika kini melihat ratu itu terhuyung-huyung dan agaknya kesakitan. Mereka berdua memang sudah condong memihak Ratu Mayang Gupita yang menjadi musuh Kerajaan Kahuripan. Maka melihat wanita itu terdesak, sekali saling pandang mereka sudah bersepakat untuk membantu Ratu Mayang Gupita. Keduanya lalu tanpa mengeluarkan kata-kata lagi menerjang maju mengeroyok Nurseta.

   "Trik-rik-rik-tik .....!!"

   Dengan mengeluarkan bunyi berkeritikan yang mengandung getaran kuat, tasbih di tangan Cekel Aksomolo berubah menjadi sinar hitam bergulung-gulung menyambar kearah kepala Nurseta.

   "Wuuussss .....!"

   Hawa pukulan yang mengandung hawa panas seperti api dan juga mengandung racun mematikan menyambar dari tangan Dibyo Mamangkoro ketika raksasa ini menyerang dengan aji pukulan Wisangnolo, meluncur ke arah dada pemuda itu. Nurseta yang waspada sejak semula, melihat datangnya dua serangan ini dan cepat dia melompat dan menghindar dengan ilmu meringankan tubuhnya, yaitu Aji Bayu Sakti.

   Melihat dua orang itu membantunya, besarlah hati Ratu Mayang Gupita yang tadinya sudah merasa gentar, lapun berteriak dan menerjang lagi, mengeroyok pemuda itu. Dikeroyok oleh tiga orang yang memiliki kesaktian tinggi itu, tentu saja Nurseta menjadi kewalahan dan dia hanya dapat menghindarkan diri mengandalkan Aji Bayu Sakti.

   Tubuhnya seolah menjadi bayangan yang berkelebatan antara tiga orang pengeroyoknya. Selagi dia hendak mempergunakan aji pamungkasnya yang amat hebat, yaitu Aji Tiwikrama yang dapat membuat tubuhnya tampak besar sekali oleh lawan, atau Aji Sirnasarira yang membuat tubuhnya tidak dapat tampak oleh lawan, tiba-tiba terdengar teriakan melengking.

   "Curang! Curang! Tiga orang mengeroyok satu orang!"

   Orang yang mencela ini bukan lain adalah Puspa Dewi. Seperti kita ketahui, setelah tamat mempelajari aji-aji kesaktian dari Nyi Dewi Durgakumala, kemudian menjadi puteri Raja Wura-wuri karena Nyi Dewi Durgakumala diambil isteri dan menjadi permaisuri Raja atau Adipati Bhismaprabhawa dari Wura-wuri. la diangkat menjadi anak oleh Nyi Dewi Durgakumala sehingga dengan sendirinya ia menjadi Puteri Sekar Keraton di Wura-wuri! Kemudian ia mendapat tugas dari Adipati Bhismaprabhawa dan Nyi Dewi Durgakumala untuk mewakili Wura-wuri dan membantu gerakan yang dilakukan kerajaan-kerajaan kecil lainnya untuk menjatuhkan Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Ia ditugaskan untuk bergabung dengan Puteri Lassmini dan Puteri Mandari, dua orang Puteri dari Kerajaan Parang Siluman yang kini menjadi isteri Ki Patih Narotama dan Sang Prabu Erlangga dalam usaha mereka untuk meruntuhkan kekuasaan raja dan patihnya yang dimusuhi itu. Juga ia ditugaskan untuk merampas keris pusaka Sang Megatantra dari tangan Nurseta. Selain itu, ia juga ditugaskan Nyi Dewi Durgakumala untuk membunuh Ki Patih Narotama yang pernah membikin guru atau ibu angkatnya itu patah hati.

   Dalam perjalanannya itu, ditengah jalan ia melihat seorang pemuda dikeroyok tiga orang dan mereka semua mempergunakan aji kesaktian, maka ia merasa penasaran lalu terjun ke dalam pertempuran tanpa bertanya lagi, membantu pemuda yang dikeroyok sesuai dengan naluri jiwanya yang tidak senang melihat ketidak-adilan. Terjangan Puspa Dewi dahsyat dan ganas sekali. Melihat kehebatan tiga orang yang mengeroyok pemuda itu, sudah mencabut pedangnya. Begitu menerjang dengan pedang pusaka Candrasa Langking, pedang itu berubah menjadi segulungan sinar hitam yang menyambar nyambar!

   "Tranggg .....!"

   Tasbih di tangan Cekel Aksomolo terpental ketika bertemu dengan pedang di tangan Puspa Dewi sehingga tokoh sesat duplikat Durna itu terkejut dan melompat ke belakang. Puspa Dewi tidak perduli dan ia sudah menyerang Ratu Mayang Gupita dengan pedang hitamnya. Wanita raksasa itupun terkejut karena sambaran pedang itu dahsyat sekali, mengeluarkan suara berdesing dan terasa hawanya yang panas karena mengandung racun yang amat kuat. Lapun melompat ke belakang dan siap melontarkan pukulan tangan yang mengeluarkan bola api. Namun, begitu ia mendorongkan tangannya, Puspa Dewi sudah menyambut dengan dorongan tangan kiri dengan Aji Guntur Geni.

   "Bresss .....!"

   Dua aji pukulan dahsyat itu bertemu di udara dan akibatnya tubuh Puspa Dewi terpental ke belakang. Akan tetapi gadis ini dengan keras kepala sudah menerjang lagi dengan nekat. Pedangnya diputar di depan tubuhnya seperti kitiran, membentuk sinar bergulung-gulung dan menyerang kearah tubuh Ratu Mayang Gupita. Diserang seperti itu, wanita raksasa itu lalu cepat mencabut sebatang keris panjang dari pinggangnya dan menangkis, lalu balas menyerang. Kedua

   orang wanita itu sudah saling serang.

   Sementara itu, Dibyo Mamangkoro yang menyerang Nurseta dengan pukulan Aji Wisangnolo, disambut oleh Nurseta dengan dorongan tangan. Ketika dua pukulan itu bertemu, Dibyo Manmangkoro terhuyung ke belakang.

   Bantuan Puspa Dewi mengejutkan tiga orang itu danmereka merasa jerih. Baru melawan Nurseta seorang diri saja mereka bertiga tadi belum mampu mengalahkannya. Kini muncul gadis liar itu yang memiliki ilmu yang liar pula. Maka Ratu Mayang Gupita lalu melompat dan memasuki keretanya yang lalu dilarikan cepat. Ketika Puspa Dewi hendak mengejarnya, ia disambut oleh belasan orang perajurit pengawal.

   Dibyo Mamangkoro dan Cekel Aksomolo lalu maju membantu para pengawal karena baru beberapa gebrakan saja, pedang hitam di tangan Puspa Dewi telah merobohkan dua orang perajurit. begitu dua orang sakti ini maju dan menyerang, Dibyo Mamangkoro dengan pukulan jarak jauhnya dan Cekel Aksomolo dengan tasbihnya, Puspa Dewi terkejut dan mau tidak mau harus berlompatan ke belakang. Terlalu berbahaya serangan dua orang itu. Begitu ia melompat kebelakang, dua orang tokoh sesat itu lalu melarikan diri bersama para pengawal, mengejar kereta yang ditumpangi Ratu Mayang Gupita yanag lari terlebih dulu. Puspa Dewi yang nekat itu hendak melakukan pengejaran sambil memaki maki.

   "Heh, orang-orang pengecut hina, Hendak lari ke mana kalian?"

   Akan tetapi terdengar suara di belakangnya.

   "Puspa Dewi, kukira tidak perlu mengejar mereka."

   Dara itu menahan langkahnya dan berbalik dengan cepat, mengamati wajah Nurseta dan bertanya dengan ketus.

   "Heh!! Dari mana engkau mengetahui namaku, hah?"

   Nurseta tersenyum. Kegalakan dara itu baginya tampak lucu sekali, seperti melihat seorang anak kecil yang bandel.

   "Puspa Dewi, tentu saja aku mengenalmu karena engkau adalah seorang gadis tukang keroyok. Tanpa tahu masalahnya engkau langsung saja mengeroyok dan menyerang!"

   "He? Engkau..... tak tahu diuntung, tak mengenal budi! Aku tadi bukan mengeroyokmu, malah membantu kamu yang dikeroyok! Bagaimana engkau berani mengatakan bahwa aku tukang keroyok?"

   "Sekarang memang engkau membantu aku dan untuk itu, biarlah kuucapkan terima kasih. Akan tetapi tempo hari, didusun kita Karang Tirta, tiada hujan tiada angina engkau datang-datang mengeroyok aku!"

   "Di..... Karang Tirta.....? Eh, oh, ingat aku sekarang. Engkau adalah Nurseta, kan?"

   "Sekarang baru engkau ingat padaku, Biarlah kesalahanmu yang sudah berlalu itu kubikin habis sampai di s ini saja karena kesalahan itu telah kau tebus hari ini dengan menolongku terlepas dari ancaman bahaya."

   Puspa Dewi menegakkan kepalanya dan membusungkan dadanya sambil memandang wajah Nurseta dengan mata bersinar.

   "Bagus sekali kita dapat bertemu di sini, Nurseta. Memang aku sedang mencarimu!"

   "Hemm, engkau mencari aku, Puspa Dewi? Apakah untuk minta maaf bahwa engkau dahulu itu sudah mengeroyokku bersama Linggajaya?"

   "Aku? Minta maaf padamu? Huh, tak tahu diri! Engkaulah yang harus minta maaf padaku karena engkau telah berani mengganggu dan mengancam hendak membunuh ayahku?"

   "Siapa hendak membunuh ayahmu?"

   "Engkau mengamuk di rumah ayahku dan engkau masih berani pura-pura bertanya lagi?"

   "Hemm, aku mempunyai urusan dengan Ki Lurah Suramenggala, bagaimana mungkin engkau menuduh aku mengganggu ayahmu? Apakah Ki Lurah Suramenggala itu....."

   "Dia ayahku dan jangan katakan dia jahat!"

   "Tapi..... setahuku engkau adalah anak Bibi Lasmi yang telah janda ....."

   "Ibuku telah menjadi isteri Ki Lurah Suramenggala, maka dia adalah ayahku."

   Nurseta mengangguk-angguk. Sebagai orang yang pernah bekerja pada lurah itu, tentu saja dia tahu bahwa Ki Lurah Suramenggala sudah mempunyai isteri bahkan setahu dia lurah itu sudah mempunyai dua orang selir. Hemm, tentu Bibi Lasmi menjadi selirnya yang ke tiga, pikirnya.

   "Oo, begitukah?"

   Kata Nurseta sambil memandang wajah yang cantik jelita itu.

   Memang Puspa Dewi kini telah menjadi seorang dara yang dewasa dan cantik jelita. Dulu, ia seorang gadis remaja yang sederhana seperti gadis desa pada umumnya, pakaiannya sederhana dan sikapnya lembut dan pemalu. Akan tetapi kini, sungguh perubahan besar telah terjadi pada diri dara itu. Dalam usianya yang sekitar Sembilan belas tahun itu, ia bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar mengharum. Kulitnya putih kuning mulus, tubuhnya sedang dan padat dengan lekuk lengkung sempurna dan menggairahkan. Rambutnya hitam panjang dan di dahinya serta pelipisnya, sinom (anak rambut) melingkar-lingkar indah. Alisnya melengkung melindungi sepasang mata yang bersinar-sinar seperti bintang, hidungnya kecil mancung dan bibirnya segar merah membasah. Tahi lalat hitam kecil di dagu itu menambah kemanisannya. Dan yang mencolok sekali, sikapnya yang dulu pendiam dan pemalu itu, kini sama sekali berubah. Kini ia menjadi seorang dara sakti mandraguna yang lincah dan tampak liar dan ganas! Juga pakaiannya serba mewah dan indah, seperti seorang puteri saja! Tentu saja ia sama sekali tidak menyangka bahwa memang Puspa Dewi telah menjadi seorang puteri, menjadi Puteri Sekar Kedaton (Puteri Bunga Istana) Kadipaten Wura wuri.

   "Tadi engkau mengatakan bahwa engkau memang sedang mencari aku Nah, kita sekarang telah saling bertemu di tempat ini. Lalu apa yang kau inginkan dariku, Puspa Dewi?"

   "Pertama, aku ingin membalaskan penghinaanmu terhadap ayahku ....."

   "Ayah tirimu Ki Lurah Suramenggala itu?"

   "Ya, ayah tiriku. Engkau telah bertindak sewenang-wenang dan menghinanya."

   "Tenang dulu, Puspa Dewi. Sangat tidak adil kalau engkau hanya mendengarkan keterangan sepihak. Kau tahu apa yang telah dilakukan Ki Suramenggala padaku? Pertama, dia yang menyebabkan orang tuaku terpaksa melarikan diri dari Karang Tirta. Kedua, dia telah menipuku, membeli rumah dan pekarangan serta ladang orang tuaku hanya dengan memberi aku makan selama tiga tahun, itupun aku harus bekerja sebagai bujang untuknya. Ketiga, ketika aku datang untuk menanyakan tentang orang tuaku padanya, dia menyuruh para jagoannya untuk mengeroyok dan memukuli aku. Keempat, ternyata dia bersahabat dengan kepala gerombolan yang merampok di dusun Karang Sari. Nah, itulah sebabnya, aku menghajarnya, Puspa Dewi. Kalau engkau hendak membelanya, maka jelas bahwa engkau membela orang yang bersalah, engkau ikut salah juga. Kalau dia menjadi ayah tirimu, kewajibanmu adalah untuk menyadarkan dia agar kembali ke jalan benar, tidak memeras rakyatnya dan tidak bertindak sewenang-wenang."

   Wajah gadis itu berubah merah, la memang sudah menduga bahwa ayah tirinya bukan orang baik-baik dan sebetulnya ia sendiri juga menyesal dan kecewa mengapa ibunya mau dijadikan selir lurah itu.

   

Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini