Ceritasilat Novel Online

Keris Pusaka Sang Megatantra 18


Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo Bagian 18



"Nini, sudahlah jangan menangis. Engkau akan dijadikan garwa padmi Pangeran Hendratama, mengapa engkau menangis? Dia itu putera Sang Prabu, kedudukannya tinggi, kaya raya dan diapun berwajah tampan dan gagah. Juga belum tua benar, paling banyak tiga puluh tahun usianya. Engkau beruntung sekali menjadi mantu Sang Prabu, Endang Sawitri. Kenapa menangis?"

   "Ibu, aku tidak mau menjadi isterinya, ibu ....."

   Endang Sawitri bangkit duduk dan merangkul ibunya sambil menangis. Bantal di mana ia membenamkan mukanya tadi sudah basah air mata.

   "Akan tetapi kenapa, nini? Engkau hanya anak senopati dan dia itu putera junjungan kita. Siapa tahu kelak dia akan menjadi raja dan engkau menjadi permaisurinya!"

   "Ibu, kenapa ibu tidak berpikir secara mendalam dan berpemandangan jauh? Pangeran itu bukan suami yang baik, bukan laki-laki yang bertanggung jawab! Aku akan celaka kelak kalau menjadi isterinya!"

   "Hemm, bagaimana engkau dapat berpikir demikian?"

   "Ibu, sekarang dia menginginkan aku dan untuk terlaksananya keinginan itu, dia tega untuk menceraikan garwa padminya yang tidak bersalah apa-apa! Apakah ibu berani memastikan bahwa kelak aku tidak akan mengalami nasib yang sama Kalau dia melihat gadis lain yang lebih muda dan lebih cantik lalu meminangnya, apakah diapun tidak akan menceraikan aku dan mengirim aku pulang kepada ayah dan ibu?"

   Diserang ucapan seperti itu, Nyi Sindukerta tidak dapat menjawab! Bahkan iapun mulai merasa khawatir kalau-kalau apa yang ditakutkan puterinya itu kelak akan terjadi. Membayangkan betapa puterinya terkasih itu kelak diceraikan begitu saja oleh Pangeran Hendratama yang menjadi suaminya karena pangeran itu tergila gila kepada wanita lain, ibu ini tak dapat menahan kesedihan hatinya dan iapun lalu merangkul puterinya sambil menangis. Ibu dan anak itu bertangisan. Senopati Sindukerta memasuki kamar itu dan dia marah sekali melihat isteri dan puterinya menangis.

   "Heh, apa-apaan ini kalian .berdua bertangisan? Semestinya kalian berdua bergembira! Apa yang perlu disedihkan? Endang Sawitri akan menjadi garwa padmi Pangeran Hendratama, menjadi mantu Gusti Prabu! Adakah keberuntungan yang lebih besar daripada Itu? Kenapa kalian malah menangis?"

   Nyi Sindukerta dapat menguasai perasaannya yang hanya merasa khawatir akan terjadinya apa yang tadi dibayangkan puterinya. Ia menghapus air matanya dan membujuk puterinya.

   "Sudahlah, nini, hentikan tangismu. Ramamu benar, sebetulnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan dan disedihkan."

   "Dikhawatirkan? Apa yang perlu dikhawatirkan?"

   Ki Sindukerta bertanya dengan suara membentak karena penasaran.

   "Begini, kakangmas. Endang Sawitri merasa khawatir kalau-kalau kelak setelah menjadi isteri sang pangeran, dia akan dicerai pula karena sang pangeran hendak menikah dengan gadis lain, seperti yang dilakukannya pada garwanya yang sekarang."

   "Omong kosong! Tidak mungkin dia berani mempermainkan puteriku. Apalagi sang prabu sendiri yang ikut mengajukan dukungan. Sang prabu sendiri yang meminang. Senopati Sindukerta bukanlah orang yang boleh dipermainkan begitu saja. Tidak, aku berani tanggung bahwa kelak engkau tidak akan diceraikan begitu saja, nini. Akan tetapi tahukah kalian bagaimana akibatnya kalau aku menolak pinangan Pangeran Hendratama yang didukung oleh Sang Prabu sendiri? Aku tentu akan dianggap menghina Sang Prabu dan akan dicopot dari kedudukanku, bahkan mungkin sekali kita sekeluarga akan mendapatkan hukuman berat! Nah, sekarang bergembiralah dan tidak perlu bertangis-tangisan lagi!"

   Setelah berkata demikian, Senopati Sindukerta meninggalkan kamar puterinya.

   Nyi Sindukerta juga segera meninggalkan puterinya untuk menyusul suaminya dan mencairkan kemarahan suaminya setelah ia menasihati puterinya agar tidak membantah lagi dan menerima dengan senang hati perjodohan yang sudah ditentukan ayahnya itu.

   Setelah ditinggalkan seorang diri, Endang Sawitri tidak menangis lagi. la harus cepat mengambil keputusan dan bertindak. Urusan ini menyangkut nasib hidupnya di masa depan. Sekali ia keliru mengambil keputusan, ia akan menderita selama hidupnya, la merasa yakin bahwa menjadi isteri laki-laki yang pandang matanya penuh nafsu itu akan membuat hidup sengsara selamanya, la hanya akan menjadi permainan nafsu pangeran itu yang kalau sudah bosan tentu akan menyepaknya. Kalau ia setuju dan ayahnya menikahkannya dengan Pangeran Hendratama, ia akan sengsara selama hidupnya. Akan tetapi sebaliknya kalau ia berkukuh menolak, ayahnya tentu akan memaksanya karena kalau ayahnya menolak pinangan itu, ayahnya sekeluarga akan celaka menerima kemarahan Sang Prabu.

   Tidak ada jalan lain, pikirnya. Menerima atau menolak juga salah. Satu-satunya jalan keluar hanyalah minggat! Kalau ia minggat dan pernikahan tidak jadi dilaksanakan, bukan berarti bahwa ayahnya menolak pinangan! Ayahnya tidak dapat disalahkan. Ialah yang bersalah. Setelah mengambil keputusan tetap, dengan nekat malam itu Endang Sawitri minggat dari dalam kamarnya. Kamar itu pintunya masih terkunci dari dalam, Ia menanti sampai rumah itu sepi dan semua orang sudah tidur, lalu ia keluar dari kamar melalui jendela yang menghadap taman, kemudian berjingkat-jingkat ia menyeberangi taman menuju ke belakang dan keluar melalui pintu belakang taman.

   Tentu saja keluarga Senopati Sindukerta menjadi geger dengan hilangnya Endang Sawitri. Sang senopati mengerahkan anak buahnya untuk mencari. Dan tentu saja dia merasa curiga kepada Dharmaguna, pemuda yang dulu bergaul akrab dengan putennya. Ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itupun menghilang dari rumahnya tanpa ada orang mengetahui kemana dia pergi, tahulah Ki Sindukerta bahwa puterinya tentu minggat dengan Dharmaguna. Dia marah sekali dan menyuruh banyak perajurit mencari, namun tidak ada hasilnya. Endang Sawitri dan Dharmaguna lenyap seperti ditelan bumi, tanpa meninggalkan jejak.

   Sampai di situ ceritanya, Senopati Sindukerta menghela napas panjang dan menatap wajah Nurseta yang sejak tadi mendengarkan dengan tertarik sekali, senopati tua itu melihat betapa sepasang mata pemuda itu memandangnya dengan sayu, seolah terharu sekali.

   "Nah, begitulah ceritanya, Nurseta. kau dapat membayangkan apa akibat perbuatan Dharmaguna yang membawa minggat puteriku itu. Pangeran Hendratama amat marah kepadaku, menuduh aku sengaja menyembunyikan Endang Sawitri. Sang Prabu Teguh Dharmawangsa juga marah sehingga pangkatku sebagai senopati dicopot dan aku diusir keluar dari kota raja. Masih untung bagiku bahwa aku membantu perjuangan Pangeran Erlangga mengusir musuh-musuh kerajaan dan membangun kembali Kahuripan sehingga beliau kini menjadi raja. Aku diangkatnya kembali menjadi senopati. Nah, engkau tahu mengapa aku membenci Dharmaguna. Dia sudah menyebabkan kami kehilangan anak kami dan juga kedudukan kami pada waktu itu."

   Nurseta merasa terharu sekali, akan tetapi dia mampu menahan perasaannya itu. Kini dia berhadapan dengan kakeknya Ibunya adalah Endang Sawitri, puteri kakek ini.

   "Akan tetapi, eyang senopati, saya kira Dharmaguna itu tidak bersalah. Adalah puteri paduka sendiri yang melarikan diri dari rumah. Juga puteri paduka tidak bersalah, bahkan ia telah memberi jalan keluar yang baik sekali."

   "Eh? Apa maksudmu?"

   Tanya Senopati Sindukerta yang tidak merasa heran atau aneh mendengar pemuda itu menyebutnya eyang senopati karena melihat usianya memang sudah sepatutnya kalau pemuda itu sebaya dengan cucunya, andaikata dia mempunyai cucu.

   "Begini maksud saya. Puteri paduka tidak suka diperisteri Pangeran Hendratama yang saya juga tahu merupakan orang yang buruk wataknya itu sehingga kalau ia menerima pinangan itu, ia akan hidup sengsara. Sebaliknya kalau ia menolak, atau kalau paduka menolak pinangan, tentu akan berakibat buruk bagi keluarga paduka. Oleh karena itu puteri paduka memilih minggat karena kalau ia minggat, paduka tidak dipersalahkan sebagai orang yang menolak pinangan dan kesalahan akan terjatuh kepada puteri paduka sendiri."

   "Hemm, mungkin engkau benar, dia puteriku tidak dapat disalahkan. Akan tetapi si Dharmaguna itu tetap bersalah. Kalau saja Endang Sawitri tidak saling mencinta dengan dia, tentu puteriku itu tidak akan dapat melarikan diri sampai sekarang."

   "Maaf, eyang senopati. Salahkah itu kalau ada dua orang muda saling jatuh cinta? Mereka berdua saling jatuh cinta, hidup bersama sebagai suami isteri yang berbahagia walaupun bukan kaya raya, dan mereka telah mempunyai seorang anak. Kenapa paduka masih terus mencari dan membenci mereka. Kalau paduka berhasil menemukan mereka, apakah paduka akan membunuh puteri, mantu, dan cucu paduka, darah daging paduka sendiri?"

   Senopati Sindukerta itu terbelalak memandang kepada Nurseta.

   "Anakku Endang Sawitri mempunyai seorang anak Dhuh Jagad Dewa Bathara .....! Di mana mereka sekarang berada? Nurseta, apa engkau kira aku telah gila? Aku mencinta puteriku. Kalau saja si Dharmaguna itu datang bersama Endang Sawitri dan mohon ampun kepada kami, tentu saja kami akan mengampuni semua kesalahannya. Engkau tahu mengapa aku mencari mereka? Karena aku sudah rindu sekali kepada puteri kami. Akan tetapi si jahanam Dharmaguna itu tidak pernah datang, bahkan dia selalu membawa pergi anakku, selalu menghindar sehingga sampai saat ini, kami belum juga dapat bertemu kembali dengan Endang. Apalagi sekarang ia telah mempunyai seorang anak, tentu saja kami mau menerima Dharmaguna sebagai mantu kami, sebagai ayah dari cucu kami. Akan tetapi di mana mereka kini berada? Di mana? Katakan, dimana mereka?"

   "Saya juga tidak tahu, Eyang Senopati. Mereka itu selalu melarikan diri dan bersembunyi bukan sekali-kali karena tidak lagi mau mengakui paduka sebagai ayah melainkan karena ketakutan kalau-kalau mereka akan dihukum berat dan dipaksa saling berpisah kalau paduka menemukan mereka. Saya sendiri juga tidak tahu dimana adanya mereka, bahkan kedatangan saya ini juga dalam usaha saya mencari mereka."

   Senopati Sindukerta menatap wajah pemuda itu dengan penuh perhatian,

   "orang muda, bagaimana engkau bisa mengetahui bahwa mereka takut bertemu dengan kami? Dan apa pula maksudmu mencari mereka? Ada urusan apakah kau dengan puteriku Endang Sawitri?"

   Nurseta tidak dapat menyembunyikan kenyataan tentang dirinya lagi dan dia menganggap bahwa

   sudah tiba saatnya dia harus memperkenalkan diri kepada orang yang sesungguhnya menjadi kakeknya ini.

   "Saya mencari mereka karena Endang Sawitri adalah ibu kandung saya dan Darmaguna adalah ayah saya, eyang."

   Sepasang mata tua itu terbelalak, wajah tua itu menjadi pucat, lalu berubah merah.

   "Kau ..... kau .....?"

   "Saya Nurseta, cucu eyang ....."

   "Cucuku .....!"

   Senopati Sindukerta lalu melompat berdiri, menubruk ke depan dan merangkul Nurseta. Lalu digandengnya lengan pemuda itu dan ditariknya "Mari, mari cucuku, mari kita bicara didalam dan mari engkau menghadap nenekmu! Ah, betapa akan bahagianya nenekmu melihat cucunya!"

   Nurseta dengan kedua mata basah karena terharu membiarkan dirinya ditarik memasuki gedung itu dari pintu belakang. Para pelayan tentu saja merasa terkejut dan heran melihat sang senopati masuk rumah dari pintu belakang sambil menggandeng dan menarik tangan seorang pemuda yang tidak mereka kenal. Akan tetapi melihat wajah senopati itu berseri gembira, mereka tidak menyangka buruk dan tidak berani bertanya. Ki Sindukerta tidak memperdulikan para pelayan yang keheranan itu dan terus menarik tangan Nurseta, dibawa masuk keruangan paling dalam.

   Nyi Sindukerta yang sedang duduk melamun di ruangan itu, tentu saja terkejut dan heran pula melihat suaminya memasuki ruangan menggandeng seorang pemuda. Akan tetapi sebelum ia sempat bertanya, Senopati Sindukerta sudah berseru dengan gembira.

   "Diajeng, lihat siapa yang kuajak masuk ini! Dia ini anak Endang!"

   Wanita yang usianya mendekati enam puluh tahun dan yang tampaknya lesu digerogoti kesedihan itu terbelalak, bangkit berdiri dan wajahnya seketika menjadi pucat.

   "Anak..... anak..... Endang? Cucuku.....?"

   Nurseta merasa terharu sekali. Dia cepat maju berlutut dan menyembah didepan wanita tua itu,

   "Saya Nurseta, menghaturkan sembah hormat saya kepada eyang puteri."

   "Cucuku .....!"

   Nenek itu merangkul pemuda yang masih berlutut dan ia menangis tersedu-sedu. Setelah beberapa saat ia menangis, suaminya lalu menepuk-nepuk pundaknya dan membantunya bangkit berdiri.

   "Sudahlah, diajeng. Tenangkan hatimu dan mari kita dengarkan cucu kita bercerita tentang anak kita."

   Nenek itu menurut dan mereka lalu duduk di atas kursi dan mempersilakan Nurseta duduk diatas kursi di depan mereka.

   "Cucuku, di mana ibumu? Di mana anakku Endang Sawitri?"

   Tanya Nyi Sindukerta dengan suara serak.

   "Kenapa engkau kini mencari ayah Ibumu, Nurseta Apakah engkau berpisah dari mereka? Lalu kenapa berpisah? Dan bagaimana pula engkau mengetahui bahwa dahulu aku membenci Dharmaguna dan mencari mereka?"

   Tanya Ki Sindukerta.

   "Apakah engkau mempunyai kakak atau adik? Berapa anak Endang Sawitri? Bagaimana kehidupannya? Apa anakku itu sehat-sehat saja? Gemuk atau kurus ia sekarang?"

   Tanya Nyi Sindukerta.

   Dihujani pertanyaan bertubi oleh kakek dan neneknya itu, Nurseta merasa terharu. Dia tahu betapa suami isteri yang sudah tua ini amat menderita selama ini. Dia menghela napas panjang lalu berkata dengan lembut.

   "Semua pertanyaan kanjeng eyang kakung dan eyang puteri itu akan terjawab dalam riwayat yang akan saya ceritakan kepada paduka berdua."

   "Ceritakan, ceritakanlah, Nurseta!"

   Kata sang senopati tidak sabar lagi

   "Nanti dulu, Nurseta. Engkau harus minum dulu!"

   Sela Nyi Sindukerta yang lalu memanggil pelayan dan meuyuruh pelayan mengambilkan minuman. Setelah pelayan datang menghidangkan minuman air teh dan karena desakan neneknya Nurseta sudah minum, mulailah pemuda itu bercerita, didengarkan dengan penuh perhatian oleh kakek dan neneknya

   "Seingat saya, ketika saya masih kecil, ayah dan ibu se lalu berpindah pindah tempat. Saya adalah anak tunggal dan mereka tidak pernah bercerita tentang riwayat mereka kepada saya. Paling akhir, kami pindah ke dusun Karang Tirta di tepi Laut Kidul, dan tinggal sana. Ketika saya berusia kurang lebih sepuluh tahun, tiba-tiba saja ayah dan ibu saya pergi meninggalkan saya di rumah. Mereka pergi tanpa pamit dan saya sama sekali tidak tahu mengapa dan ke mana mereka pergi. Saya menjadi sebatang kara dan hidup seorang diri."

   (Lanjut ke Jilid 20)

   Keris Pusaka Sang Megatantra (seri ke 01 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 20

   "Aduh kasihan sekali engkau cucuku!"

   Kata Nyi Sindukerta sambil mengusap dua titik air mata yang membasahi pipinya.

   "Kemudian di pantai Laut Kidul saya bertemu dengan Eyang Empu Dewamurti dan saya diambil sebagai murid. Saya mengikuti beliau, mempelajari ilmu kanuragan selama lima tahun. Ketika saya bertemu Eyang Empu, saya berusia enam belas tahun dan saya turun gunung setelah Eyang Empu wafat. Setelah saya memiliki aji kanuragan dan merasa kuat, mulailah saya menyelidiki tentang perginya kedua orang tua saya. Saya mendatangi kepala dusun Karang Tirta, yang bernama Ki Suramenggala."

   "Hemm, Ki Suramenggala? rasanya pernah aku mendengar nama itu....., oya, dia pernah menjadi perajurit dalam pasukan yang kupimpin, malah menjadi perwira rendahan. Dia melakukan penyelewengan, mengganggu penduduk maka dikeluarkan dari pasukan."

   Nurseta mengangguk.

   "Agaknya benar dia, eyang. Ki Suramenggala memang bukan manusia baik-baik. Setelah saya melakukan penyelidikan, saya mendengar bahwa Ki Suramenggala mengirim utusan untuk melapor kepada paduka tentang ayah dan ibu yang tinggal di dusun itu

   "Ah, benar! Aku ingat sekarang. Lima tahun lebih yang lalu memang ada berita darinya bahwa puteriku tinggal di Karang Tirta. Akan tetapi ketika aku mengirim pasukan ke sana, ternyata mereka telah pergi dan tidak ada seorangpun mengetahui ke mana mereka pergi. Gilanya, Suramenggala itu tidak mau memberitahukan komandan pasukan bahwa anakku meninggalkan seorang cucuku di sana."

   Kata Ki Sindukerta dengan marah.

   "Lalu bagaimana, Nurseta?"

   "Saya lalu memaksa Ki Suramenggala untuk mengaku dan dari dialah saya mengetahui bahwa dia melaporkan tentang ayah dan ibu saya kepada paduka. Karena itulah maka saya sengaja datang berkunjung menemui kanjeng eyang untuk bertanya tentang ayah ibu saya itu"

   "Akan tetapi, mengapa Endang sawitri dan suaminya itu melarikan diri dan meinggalkan engkau yang baru berusia sepuluh tahun seorang diri di Karang Tirta?"

   Tanya Nyi Sindukerta.

   "Kanjeng Eyang Puteri, sekarang saya dapat mengerti mengapa ayah dan ibu melarikan diri begitu mendengar berita bahwa Ki Lurah Suramenggala melaporkan kehadiran mereka di dusun itu kepada kanjeng eyang di sini. Mereka itu agaknya masih merasa takut kalau-kalau mereka akan dihukum dan diharuskan pisah. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa paduka berdua mencari mereka karena rindu dan ingin mereka kembali, bukan untuk menghukum."

   "Akan tetapi kenapa mereka meninggalkan engkau seorang diri?"

   Tanya Ki Sindukerta, mengulang pertanyaan isterinya tadi.

   "Hal itupun tadinya membuat saya merasa penasaran, eyang. Akan tetapi sekarang saya mengerti. Mereka sengaja meninggalkan saya karena mereka tidak ingin membawa saya ikut-ikutan menjadi pelarian. Mereka tidak ingin saya juga terancam bahaya seperti yang mereka kira."

   Dua orang tua itu mengangguk-angguk.

   "Kasihan Endang....."

   Kata Nyi Sindukerta dengan suara gemetar karena begitu teringat kepada puterinya, tangisnya sudah mendesak lagi.

   "Ini semua gara-gara si Dharmaguna itu! Dia yang menyeret anak kita kedalam jurang kesengsaraan!"

   Kata Ki Sindukerta dan kemarahannya muncul lagi. Dia memang selalu marah kalau teringat kepada Dharmaguna karena dialah yang menjadi gara-gara anaknya menghilang sampai dua puluh tahun lamanya!

   Melihat kemarahan kakeknya, Nurseta dapat mengerti. Dia maklum kalau kakeknya mempunyai rasa benci kepada Dharmaguna karena ayahnya itu dianggap sebagai biang keladi terpisahnya kakek dan neneknya dari anak tunggal mereka.

   "Kanjeng eyang berdua, sayalah yang mohonkan ampun untuk ayah saya karena saya yakin bahwa ayah saya itu sama sekali tidak bermaksud untuk melarikan dan memisahkan ibu saya dari paduka berdua. Ayah dan ibu saya selalu bersembunyi dan tidak mau kembali kepada paduka berdua hanyalah karena merasa takut. Biarlah saya yang akan mencari mereka sampai dapat dan kalau sudah dapat saya temukan, pasti saya akan menceritakan kepada mereka bahwa paduka berdua sesungguhnya amat rindu kepada ibu saya dan mengharapkan agar mereka berdua segera kembali ke sini."

   'Benar, cucuku Nurseta. Cepat temui ibumu, aku sudah rindu sekali kepada anakku Endang Sawitri ....."

   Kala Nyi sindukerta dengan suara gemetar. Ki Sindukerta mengangguk dan berkata kepada cucunya.

   "Carilah mereka sampai dapat, Nurseta."

   "Akan tetapi kanjeng eyang berdua sudi mengampuni ayah saya, bukan?"

   Nurseta memohon.

   "Sudah lama kami mengampuninya, apalagi sekarang mereka berdua mempunyai putera. Dharmaguna adalah mantu kami. Dahulu kami hanya marah karena mereka berdua lari dan tidak pulang."

   "Baik, saya akan mencari sampai dapat menemukan ayah dan ibu."

   Nurseta berpikir sejenak lalu bertanya.

   "Apakah paduka sudah mencoba untuk minta petunjuk orang tua dari ayah Dharmaguna"

   "Tentu saja sudah. Resi Jatimurti, ayah Dharmaguna juga tidak tahu kemana puteranya pergi dan keterangannya itu dapat dipercaya sepenuhnya karena Resi Jatimurti adalah seorang pertapa yang alim dan hidup sederhana. Setelah ditinggal pergi puteranya, dia hidup seorang diri dan lima tahun setelah Dharmaguna menghilang, Resi Jatimurti meninggal dunia."

   Malam itu, Nurseta bercakap-cakap berdua saja dengan Senopati Sindukerta.

   "Nurseta, kedatanganmu sungguh membahagiakan hatiku dan hati eyang puterimu, apalagi kalau engkau nanti berhasil mengajak ayah ibu pulang kesini."

   "Sayapun merasa amat berbahagia eyang. Tadinya saya sama sekali tidak mengira bahwa paduka adalah eyang saya, malah saya kira bahwa paduka adalah musuh ayah ibu saya."

   Senopati itu menghela napas.

   "Yah, agaknya Sang Hyang Widhi merasa kasihan kepada kami yang sudah menderita selama lebih dari dua puluh tahun ini, Aku sudah mendengar riwayatmu tadi, akan tetapi ceritakanlah tentang orang sakti mandraguna yang menjadi gurumu itu. Aku ingin sekali mendengarnya."

   "Eyang Empu Dewamurti adalah seorang pertapa yang berbudi luhur, bijaksana dan sakti mandraguna. Akan tetapi sayang, beliau tewas karena luka-lukanya setelah dikeroyok para datuk besar dari Kerajaan Wura-wuri, Wengker, dan Kerajaan Siluman Laut Kidul."

   "Ahh! Orang-orang dari tiga kerajaan itu memang terkenal jahat dan sejak dulu memusuhi Mataram dan keturunannya sampai sekarang. Akan tetapi Empu Dewamurti tidak langsung mengabdi kepada Kahuripan, mengapa dikeroyok para datuk tiga kerajaan itu?"

   "Eyang Empu Dewamurti dikeroyok bukan karena urusan kerajaan, eyang. Mereka itu mengeroyok guru saya untuk memaksa guru saya menyerahkan keris pusaka Sang Megatantra kepada mereka! "

   "Ahli!"

   Senopati Sindukerta terbelalak terkejut dan heran.

   "Sang Megatantra!.....? Kaumaksudkan, keris pusaka Mataram yang hilang puluhan tahun yang lalu itu? Jadi pusaka itu berada di tangan mendiang Empu Dewamurti?"

   "Sesungguhnya bukan di tangan Empu Dewamurti, melainkan di tangan saya eyang. Sayalah yang menemukan pusaka itu ketika saya mencangkul dan menggali tanah, sebelum saya menjadi murid Eyang Empu Dewamurti. Setelah lima tahun lebih saya belajar kanuragan dari Eyang Empu Dewamurti, saya diperintahkan turun gunung dan pada waktu saya pergi itu, Eyang Empu Dewamurti didatangi para datuk yang mengeroyoknya. Para pengeroyok itu dapat dikalahkan dan melarikan diri, akan tetapi akibat pengeroyokan lima orang datuk dari tiga kerajaan itu, eyang guru yang sudah tua terluka parah dan akhirnya meninggal dunia."

   Senopati Sindukerta mengangguk-Angguk.

   "Dan bagaimana dengan keris pusaka Sang Megatantra itu?"

   "Eyang Empu Dewamurti sebelum wafat menyerahkan Sang Megatantra kepada saya dan beliau mengutus saya untuk pertama menyerahkan Sang Megatantra yang dulu saya temukan itu kepada yang berhak memilikinya, yaitu Sang Prabu Erlangga."

   "Wah, bijaksana dan tepat sekali itu!"

   Seru Senopati Sindukerta girang.

   "Kedua, saya harus mencari kedua orang tua saya dan ke tiga, saya diharuskan membantu Kahuripan yang menurut mendiang eyang guru akan menghadapi banyak cobaan dari Sang Hyang Widhi."

   Senopati Sindukerta kembali mengangguk-angguk.

   "Tugas yang harus engkau lakukan itu memang sudah tepat sekali. Dan bagaimana dengan pelaksanaannya. Sudahkah engkau menghaturkan sang Megatantra kepada Sang Prabu Erlangga""

   Kini Nurseta menghela napas.

   "Itulah yang memusingkan kepala saya, eyang. Di tengah perjalanan, saya bertemu dengan Pangeran Hendratama. Tentu saja saya tidak tahu akan ulahnya yang membuat ibu saya melarikan diri. Saya mengira dia orang baik-baik karena sikapnya amat ramah dan baik. Tidak tahunya dia seorang jahat yang menipuku. Dia menawarkan untuk membuatkan gagang dan warangka yang indah untuk keris pusaka Megatantra. Tidak tahunya dia menukar Megatantra dengan sebuah keris palsu dan dia melarikan diri, membawa Sang Megatantra."

   "Ahh .....! jadi sekarang pusaka itu berada di tangan Pangeran Hendratama?"

   
Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Benar, eyang. Akan tetapi saya akan mencarinya dan akan merampasnya kembali pusaka itu dari tangannya, kecuali kalau dia sudah menyerahkan Megatantra kepada Sang Prabu Erlangga, saya tidak akan memperpanjang urusannya. Siapa saja yang menghaturkan pusaka itu kepada Sang Prabu Erlangga, bukan masalah bagi saya. Yang terpenting pusaka itu kembali kepada yang berhak."

   "Akan tetapi engkau yang menemukannya kembali .pusaka yang hilang selama puluhan tahun itu, Nurseta. Engkau yang berhak mengembalikannya kepada Sang Prabu Erlangga dan menerima hadiah besar dari Sang Prabu !"

   Nurseta menggeleng kepala sambil tersenyum.

   "Eyang, guru saya mengajarkan bahwa setiap saya melakukan sesatu, saya harus menganggap bahwa apa yang saya lakukan itu sebagai suatu kewajiban. Melakukan kewajiban itu berarti tanpa pamrih untuk mendapatkan Imbalan dalam bentuk apapun juga. Melakukan segala sesuatu yang baik dan benar merupakan kewajiban dan untuk itulah kita dilahirkan di dunia ini. Akan tetapi, eyang tentu akan mengetahui kalau pusaka itu sudah diserahkan kepada Sang Prabu Erlangga. Sudahkah hal itu terjadi, eyang?"

   Senopati Sindukerta mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepalanya.

   "Berita yang kaubawa mengenai Sang Megatantra Ini teramat penting sekali, Nurseta! Ini menguatkan dugaanku semula bahwa Pangeran Hendratama tentu mempunyai niat yang amat buruk sekali! Tidak salah lagi dugaanku sekarang bahwa dia pasti akan berkhianat dan memberontak kepada Sang Prabu Erlangga! Ini gawat sekali Nurseta!"

   "Eh, apakah yang terjadi, eyang? Apakah Pangeran Hendratama berada di kota raja? Apakah eyang mengetahui dimana dia?"

   "Tentu saja aku tahu, Nurseta. Sudah jelas dia berniat buruk. Baru beberapa bulan dia menghadap Sang Prabu Erlangga yang masih adik iparnya dan mohon diperkenankan tinggal di kota raja, diluar istana. Tentu saja Sang Prabu Erlangga memberi ijin dan kini dia tinggal di sebuah gedung mewah. Aku sudah merasa curiga karena dia menghubungi para pejabat, para perwira dan pamong yang berkedudukan tinggi, menjalin persahabatan dengan mereka. Juga dia pernah mengunjungi aku dan sikapnya memang ramah sekali. Agaknya dia hendak menanam pengaruh di kota raja dan mungkin dia akan melakukan pemberontakan kalau sudah menghimpun kekuatan dan..... tentu saja, dia dapat mempergunakan pengaruh Sang Megatantra yang dipercaya mengandung wahyu kraton yang memberi hak kepada seseorang untuk menjadi raja!"

   "Hal ini harus dicegah, eyang! Kalau dia tinggal di kota raja, sungguh kebetulan sekali. Saya akan pergi ke sana sekarang juga untuk merampas kembali pusaka Sang Megatantra!"

   "Tenang dulu, Nurseta. Engkau tidak boleh bertindak sembarangan tanpa perhitungan. Gedung Pangeran Hendratama merupakan bangunan yang kokoh dan dijaga ketat, begitu yang kudengar dari para perwira yang dekat dengannya. Dia mengumpulkan jagoan-jagoan untuk menjadi pengawal pribadinya, dan dia sendiri juga seorang yang tangguh. Kalau engkau ke sana malam ini juga, selain engkau mungkin menghadapi bahaya....."

   "Kanjeng eyang, saya tidak gentar menghadapi semua itu."

   Potong Nurseta. karena dia tidak ingin kakeknya mengkhawatirkan dirinya.

   "Mungkin engkau memiliki kesaktian, hai ini sudah kubuktikan sendiri tadi. Akan tetapi bukan penjagaan ketat itu yang terpenting. Bagaimana kalau engkau datang ke sana akan tetapi kebetulan Pangeran Hendratama tidak berada di gedungnya? Nah, semua jerih payahmu yang mengandung resiko bahaya besar itu tidak ada gunanya, bukan?"

   Nurseta tertegun. Apa yang diucapkan kakeknya itu memang bukan tak mungkin. Memang, kalau pangeran itu tidak berada di rumahnya, usahanya akan gagal karena pangeran itu tentu akan mengetahuinya dan dapat menyembunyikan diri atau pergi dari kota raja sehingga sulit baginya untuk menemukannya.

   "Lalu, menurut paduka, bagaimana baiknya, kanjeng eyang?"

   "Begini, Nurseta. Besok pagi, aku akan menyelidiki dan mencari keterangan apakah Pangeran Hendratama besok malam berada di gedungnya atau tidak. Kalau sudah pasti berada di rumahnya, nah, engkau boleh mendatanginya dan merampas kembali pusaka Sang Megatantra. Kalau ternyata besok dia bepergian dan malamnya tidak berada di rumahnya, tentu engkau harus menunda lagi usahamu. Bagaimana bukankah usulku ini baik?"

   Nurseta memandang wajah kakeknya dengan mata bersinar dan wajah berseri.

   "Wah, terima kasih banyak, kanjeng eyang. usul paduka itu memang baik sekali dan tepat. Memang segala tindakan harus diperhitungkan dengan matang lebih dulu agar tidak mengalami kegagalan. Pantas saja sejak dulu paduka menjadi senopati yang tentu saja harus mahir menggunakan siasat!"

   Kakek itu tersenyum, senang mendapat pujian dari cucunya.

   "Selain itu, besok pagi-pagi engkau akan kuperkenalkan kepada semua abdi (pelayan) di rumah ini agar mereka mengenal bahwa engkau adalah cucuku dan tidak menimbuikan keheranan dan pertanyaan karena tahu-tahu engkau tinggal di sini."

   "Baiklah, eyang, dan terima kasih."

   Pada saat itu, Nyi Sindukerta muncul di pintu.

   "Aeh, malam sudah begini larut dan kalian belum tidur? Kakangmas senopati, biarkan Nurseta beristirahat dan tidur. Dia tentu lelah. Nurseta, aku sudah mempersiapkan kamar untukmu. Hayo, istirahatlah dan tidur. Besok kan masih ada waktu untuk bercakap-cakap lebih lanjut!"

   Senopati Sindukerta tertawa.

   "Ha ha, aku sampai lupa. Benar nenekmu Nurseta. Sana, pergilah ke kamarmu dan tidur!"

   Nurseta tidak membantah dan dia lalu mengikuti neneknya yang menunjukkan kamar yang dipersiapkan untuknya. Karena memang lelah, malam itu Nurseta tidur dengan nyenyak. Apalagi karena hatinya merasa senang. Pertama, secara tidak terduga-duga dia bertemu dengan kakek dan

   neneknya, orang tua ibunya. Kedua, dia mendapatkan bahwa Pangeran Hendratama tinggal di kota raja sehingga dia tidak perlu susah-susah mencari pangeran yang licik itu.

   Pada keesokan harinya, setelah mandi dan sarapan bersama kakek dan neneknya, Nurseta lalu diperkenalkan kepada semua pelayan dan juga perajurit-perajurit pengawal. Mereka semua tampak gembiar ketika diberi tahu bahwa pemuda yang sikapnya lembut dan sederhana itu adalah cucu sang senopati dan yang mulai hari itu akan tinggal di gedung senopati itu. Baik Senopati Sindukerta maupun Nurseta sama sekali tidak menyadari bahwa Pangeran Hendratama pada pagi hari itu juga sudah mendengar dan mengetahui bahwa cucu Ki Sindukerta telah datang dan tinggal di rumah sang senopati. Pangeran Hendratama yang sudah bertekad bulat untuk merebut kekuasaan dan menjadi raja di Kahuripan, selain menjalin hubungan erat dengan para pembesar yang ambisius dan sekiranya dapat diajak bersekongkol, juga menyeludupkan seorang yang dapat dijadikan kaki tangannya ke dalam rumah setiap orang pembesar tinggi yang setia kepada Sang Prabu Erlangga.

   Tugas mata-mata ini, yang merupakan karyawan di rumah sang pembesar itu sendiri dan telah disuapnya dengan uang, adalah untuk memata-matai gerak gerik pembesar itu. Senopati Sindukerta adalah seorang di antara para pejabat tinggi yang selalu diamati gerak geriknya dan di dalam rumahnya terdapat seorang kaki tangan Pangeran Hendratama. Mata-mata itu adalah seorang yang sudah lama bekerja di gedung sang senopati, yaitu tukang kebun yang sudah dipercaya. Begitu Nurseta diperkenalkan kepada semua pembantu di senopaten itu, kaki tangan Pangeran Hendratama ini segera memberi kabar kepada sang pangeran tentang kedatangan Nurseta sebagai cucu Senopati Sindukerta.

   Pangeran Hendratama terkejut sekali mendengar berita ini. Timbul rasa khawatir bercampur benci. Khawatir mengingat bahwa dia telah mencuri keris pusaka Sang Megatantra dari tangan Nurseta dan timbul rasa benci di dalam hatinya mendengar bahwa Nurseta adalah cucu Senopati Sindukerta. Cucu sang senopati, berarti putera Endang Sawitri. Ini dia merasa yakin, mengingat bahwa Senopati Sindukerta tidak mempunyai anak lain kecuali Endang Sawitri yang dulu membuat dia tergila-gila, dan yang melarikan diri, tidak mau menjadi isterinya. Dia merasa khawatir membayangkan betapa saktinya pemuda itu. Tidak dapat diragukan lagi bahwa Nurseta pasti akan berusaha untuk merampas Sang Megatantra dari tangannya! Maka, begitu mendengar berita tentang Nurseta, Pangeran Hendratama cepat mempersiapkan penjagaan ketat di gedungnya. Bahkan diam-diam dia menghubungi selir Sang Prabu Erlangga, yaitu Mandari yang diam-diam sudah mengadakan persekutuan dengannya, dan mohon bantuan Mandari untuk melindunginya.

   Mandari cepat menanggapi permohonan ini dan ia lalu menugaskan Puspa Dewi untuk membantu sang pangeran. Puspa Dewi tidak dapat membantah dan ia lalu ikut utusan Pangeran Hendratama pergi ke gedung sang pangeran yang besar dan kokoh seperti istana berbenteng itu.

   Kehadiran Puspa Dewi di tempat kediaman Pangeran Hendratama menarik banyak perhatian. Bahkan Pangeran Hendratama sendiri yang memang berwatak mata keranjang, terpesona dan tertarik sekali oleh kecantikan Puspa Dewi. Apa lagi para jagoan yang sudah diundang untuk menjadi pengawal-pengawalnya mereka terkagum-kagum melihat gadis yang masih amat muda, paling banyak sembilan belas tahun usianya, amat cantik jelita akan tetapi sudah menjadi kepercayaan Puteri Mandari sehingga dikirim untuk diperbantukan menjaga keselamatan Pangeran Hendratama?

   Akan tetapi, bagaimanapun juga, baik Pangeran Hendratama sendiri maupun para jagoan itu, merasa sangat sangsi dan memandang rendah kepada gadis ini. Sampai dimana sih kesaktian gadis muda seperti itu, demikian pikir mereka. Biarpun demikian, para jagoan itu merasa segan mengingat bahwa Puspa Dewi dikirim ke istana Pangeran Hendratama sebagai utusan Gusti Puteri Mandari, selir terkasih Sang Prabu Erlangga dan mereka semua mengetahui betapa saktinya selir yang merupakan puteri Kerajaan Parang Siluman itu. Maka, para jagoan itu bersikap hormat kepada Puspa Dewi dan menyimpan rasa kagum mereka di dalam hati, tidak berani bersikap kurang ajar. Akan tetapi, di antara mereka ada seorang jagoan yang merasa berani. Usianya lebih muda dibandingkan yang lain, sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat. Dia adalah seorang jagoan dari pesisir utara dan belum banyak mengenal para datuk di daerah selatan.

   Maka, tidak seperti yang lain, diapun belum mengenal betul ketenaran nama besar Puteri Mandari dan memandang rendah para jagoan yang lain. Maka, diapun memandang rendah Puspa Dewi yang dianggapnya seorang gadis remaja yang masih ingusan. Karena tertarik sekali oleh kecantikan Puspa Dewi, diapun tidak seperti yang lain, memandang dengan mata kurang ajar dan mulutnya menyeringai. Bahkan ketika Puspa Dewi baru datang dan diperkenalkan oleh Pangeran Hendratama kepada para jagoan itu sebagai utusan Gusti Puteri Mandari untuk memperkuat penjagaan di istananya, dia berani mengedipkan sebelah matanya kepada Puspa Dewi cara kurang ajar sekali. Akan tetapi Puspa Dewi pura-pura tidak melihatnya karena ia sebagal utusan Puteri Mandari tentu saja tidak ingin membikin ribut hanya karena urusan sekecil itu.

   Banyak sudah dara perkasa ini bertemu dengan laki-laki seperti itu, yang suka berlagak melihat gadis cantik dan mengedipkan sebelah mata. Akan tetapi ketika la berada di taman seorang diri, datanglah Ki Lembara, jagoan pesisir utara itu, bersama tiga orang jagoan lain yang usianya sedikit lebih tua, menghampirinya di dalam taman. Tiga orang jagoan lain ini diajak oleh Lembara untuk menggoda Puspa Dewi dan keberanian Lembara yang membuat mereka juga berani, walaupun hanya sekedar ingin menonton bagaimana jagoan pesisir itu menggoda dara cantik jelita utusan dari istana raja itu.

   Puspa Dewi yang sedang duduk seorang diri sambil termenung itu melihat empat orang yang memasuki taman dari sebelah kanannya, akan tetapi ia diam saja. la sedang memikirkan keadaannya. Ia memenuhi perintah gurunya atau ibu angkatnya untuk membantu dua orang Puteri Kerajaan Parang Siluman yang berusaha untuk menghancurkan Kahuripan dan menjatuhkan Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Ia berhasil masuk ke istana dan diterima sebagai dayang istana, akan tetapi ia belum tahu apa yang harus ia lakukan di sana. Kini, tiba-tiba ia diutus oleh Puteri Mandari untuk membantu menjadi pengawal Pangeran Hendratama yang belum dikenalnya, akan tetapi yang sudah diketahui bahwa pangeran inilah yang telah mencuri Keris Pusaka Sang Megatantra dari tangan Nurseta! Pangeran Hendratama inilah yang kini memegang Sang Megatantra, akan tetapi kenapa dia tidak menyerahkan kepada Sang Prabu Erlangga?

   Ketika ia disuruh oleh Gusti Puteri Mandari, selir Sang Prabu Erlangga untuk ikut menjadi pengawal pangeran itu, sudah menduga bahwa Pangeran Hendratama tentu merupakan sekutu dari Puteri Mandari. Berarti Pangeran Hendratama adalah orang yang juga memusuhi Sang Prabu Erlangga. Padahal, bukankah pangeran itu merupakan kakak dari Permaisuri atau kakak ipar sang prabu sendiri Puspa Dewi diam-diam dapat mengambil kesimpulan bahwa tentu Pangeran Hendratama merencanakan pemberontakan dan untuk itu dia bergabung dengan kedua orang puteri Kerajaan Parang Siluman itu untuk menjatuhkan Sang Prabu Erlangga!

   PUSPA DEWI menjadi bimbang ragu. Di satu pihak, ia harus melaksanakan perintah ibu angkatnya dan juga sebagai puteri Sekar Kedaton, puteri Raja Wura wuri, ia harus membantu mereka yang memusuhi Kahuripan. Akan tetapi di lain pihak ia teringat akan pembicaraannya dengan Nurseta.

   Orang-orang yang memusuhi Sang Prabu Erlangga ini bukanlah orang baik-baik. Dua orang puteri Kerajaan Parang Siluman itu telah mengorbankan diri, menjadi selir Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama, hanya agar mereka dapat berdekatan dengan musuh-musuh mereka sehingga memudahkan mereka untuk menyerang, kalau saatnya tiba.

   Sungguh merupakan perbuatan yang hina, menyerahkan dirinya menjadi selir untuk kemudian mencelakakan orang yang telah menjadi suaminya. Dan sekutu mereka, Pangeran Hendratama itu, juga bukan orang baik-baik melihat cara dia mencuri pusaka Sang Megatantra dari tangan Nurseta. Sekumpulan orang-orang yang licik bersekutu untuk menjatuhkan Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama yang demikian bijaksana! Dan kini ia harus membantu orang-orang licik itu

   "Puspa Dewi yang cantik manis, kenapa andika melamun seorang diri dalam taman ini? Mari, kami temani agar engkau bergembira dan tidak kesepian!"

   Kata Ki Lembara sambil cengar-cengir berdiri di depan Puspa Dewi.

   Tiga orang temannya hanya berdiri di belakangnya dan mereka hanya menyeringai. Puspa Dewi tetap duduk di atas bangku, mengangkat muka memandang wajah yang dihias kumis tebal melintang dan mata yang lebar itu, lalu berkata dingin.

   "Aku tidak mengenal kamu. Pergilah dan jangan ganggu aku!"

   "Ha ha-ha Tadi kita sudah saling diperkenalkan oleh Gusti Pangeran, apakah andika lupa lagi, Dewi? Aku boleh memanggilmu Dewi saja, bukan? Andika memang cantik seperti Dewi Kahyangan Namaku Lembara, pendekar jagoan dari Pesisir Utara!"

   Puspa Dewi mengerutkan alisnya.

   "Aku tidak perduli kamu jagoan atau bukan, dari pesisir atau dari gunung, aku tidak ingin berteman dengan kamu dan pergilah sebelum aku hilang sabar dan akan menghajarmu!"

   Gertakan ini membuat tiga orang teman Lembara merasa tidak enak. Mereka teringat bahwa gadis ini adalah utusan Puteri Mandari, maka mereka mundur tiga langkah dan seorang di antara mereka memegang lengan Lembara dari belakang untuk menariknya mundur. Akan tetapi Lembara mengibaskan lengannya dan dia malah melangkah maju mendekati Puspa Dewi sambil tersenyum lebar.

   "He-heh, andika hendak menghajarku? Bagaimana caranya, manis? Pukulan tanganmu yang halus itu seperti pijatan yang nyaman bagiku. Mari, nimas ayu, pijatilah tubuhku dengan pukulanmu. Kau boleh pilih, bagian mana yang hendak kaupijit, ha-ha!"

   Puspa Dewi bangkit berdiri, alisnya berkerut matanya bersinar mencorong akan tetapi mulutnya tersenyum manis. Bagi orang yang sudah mengenalnya dengan baik, akan merasa tegang melihat gadis itu tersenyum seperti ini. Senyum manis hanya bibirnya saja akan tetapi bagian muka yang lain sama sekali tidak tersenyum, terutama matanya yang mencorong menyeramkan itu. Hal ini menandakan bahwa gadis itu mulai terbakar kemarahan dan kalau sudah begitu ia dapat berbahaya sekali! Akan tetapi dasar sombong, Lembara bahkan menganggap gadis itu mulai mau melayaninya, maka dia berkata lagi dengan berlagak, bibirnya dicibirkan dengan mengira bahwa kalau sudah begitu dia tampak gagah dan tampan!

   "Marilah, manis, kita menjadi sahabat yang akrab dan mesra. Menyenangkan sekali, bukan? Aku akan mengajarkan padamu bagaimana caranya menikmati kesenangan dalam hidup ini."

   "Anjing busuk! Kamu ingin dipijit? Nah, rasakanlah ini!"

   Tangan kiri Puspa Dewi bergerak cepat menepuk ke arah dada Lembara. Melihat betapa dara itu hanya menepuk seperti benar-benar hendak memijit atau membelai dadanya, Lembara menyeringai senang, bahkan membusungkan dadanya yang kokoh.

   "Tukk .....!"

   Jari telunjuk tangan kiri Puspa Dewi hanya menyentuh dada itu, akan tetapi itu bukan sembarangan sentuhan karena sesungguhnya jari tangan kiri dara itu menotok jalan darah di dada.

   Tiga orang teman Lembara terbelalak heran ketika melihat betapa Lembara yang tadinya menyeringai itu tiba-tiba berteriak mengaduh, wajahnya pucat, kedua tangan mendekap dada dan dia terkulai roboh! Puspa Dewi menggerakkan kaki kanannya yang mencuat sebagai tendangan.

   "Bukk!"

   Tubuh Lembara terlempar dan jatuh ke dalam kolam ikan yang berada tak jauh dari situ.

   "Byuurrrr .....!"

   Lembara merangkak naik dan keluar dari kolam ikan. Pakaian dan rambutnya basah kuyup akan tetapi rasa nyeri di dadanya lenyap, hanya masih terasa agak sesak kalau bernapas. Dia marah bukan main. Tiga orang temannya tak dapat menahan tawa mereka melihat kejadian yang mereka anggap lucu itu, walaupun mereka masih terheran-heran bagaimana dapat terjadi. Mereka tahu bahwa Lembara adalah seorang jagoan yang benar benar tangguh.

   Pangeran Hendratama muncul keluar dari pintu belakang. Dia tadi mendengar teriakan Lembara dan karena suasana sudah amat mencekam baginya, dalam kekhawatirannya kalau kalau Nurseta datang menyerbu, dia cepat keluar untuk melihat apa yang terjadi. Ketika dia keluar, dia melihat Lembara keluar dari kolam ikan dengan badan basah kuyup dan tiga orang jagoan lainnya menertawakan. Di depan Lembara berdiri Puspa Dewi. Gadis itu bertolak pinggang dan sikapnya tenang dan anggun. Sejak kedatangannya, Pangeran Hendratama memang sudah tergila-gila kepada Puspa Dewi. Hanya karena mengingat bahwa dara jelita itu adalah utusan Puteri Mandari, maka dia menahan diri dan belum berani main-main dengan Puspa Dewi. Kini melihat agaknya terjadi sesuatu antara Puspa Dewi dan Lembara bersama tiga orang jagoan lainnya, Pangeran Hendratama menyelinap di balik sebatang pohon dalam taman itu dan mengintai. Dia tidak mau memperlihatkan diri lebih dulu karena kalau dia lakukan itu, tentu mereka semua tidak berani melanjutkan pertikaian mereka.

   Lembara semakin marah mendengar tiga orang temannya tertawa-tawa.

   "Sialan! Kenapa kalian malah tertawa? Lihat aku akan menghajar wanita tak tahu diri ini!"

   Setelah berkata demikian, dengan muka merah dan mata yang lebar itu terbelalak, Lembara yang agaknya nafsu berahinya telah didinginkan oleh air kolam, melompat ke depan Puspa Dewi

   "Puspa Dewi, aku mengajakmu bersahabat, sebaliknya engkau malah secara curang menyerang dan menghinaku. Akan tetapi mengingat bahwa aku adalah seorang pendekar yang jantan sedangkan engkau seorang perempuan, aku akan melupakan semua ini dan memaafkanmu kalau engkau suka minta maaf dan bersedia menjadi sahabat baikku!"

   Lembara yang tidak mengenal tingginya langit dalamnya lautan, yang menganggap kepandaiannya sendiri paling tinggi dan pengetahuannya sendiri paling dalam, masih bersikap seperti seorang jagoan yang gagah perkasa. Akan tetapi, kemarahan Puspa Dewi belum reda.

   "Anjing buduk! Kamu yang harus minta maaf kepadaku atas kekurang-ajaranmu. Kalau tidak, aku akan memberi hajaran yang lebih keras lagi!"

   Lembara tak dapat menahan lagi kemarahannya yang berkobar.

   "Keparat, engkau memang tidak tahu disayang orang!"

   "Habis, kamu mau apa?"

   Tantang Puspa Dewi.

   "Lihat pukulanku!"

   Lembara lalu menyerang dengan tamparan bertubi-tubi, menggunakan kedua tangannya yang menyambar dari kanan kiri. Gerakan jagoan ini memang cepat dan juga tamparannya mengandung tenaga yang kuat. Lembara memang seorang jagoan yang cukup tangguh. Bahkan di antara para jagoan muda yang menghambakan diri kepada Pangeran Hendratama, dia adalah yang terkuat.

   Setelah kini Lembara menyerang dengan sungguh-sungguh, Puspa Dewi juga menyadari bahwa lawannya ini bukan orang lemah dan kalau tadi ia dapat merobohkannya dengan mudah adalah karena Lembara tadi memandang rendah kepadanya dan sama sekali tidak siap mengerahkan tenaga saktinya sehingga dengan mudah ia dapat menotok jalan darah dan merobohkannya. Memang, kelemahan yang paling berbahaya bagi seorang jagoan adalah kalau dia meremehkan kepandaian lawan dan karenanya menjadi lengah. Setelah kini Lembara menyerangnya dengan bertubi dan dengan pengerahan tenaga sakti, karena agaknya pria itu hendak membalas dendam karena dirobohkan dan ditendang masuk ke dalam kolam sehingga hal itu tentu saja dianggapnya sebagai penghinaan, Puspa Dewi juga melayaninya dengan gerakan tubuhnya yang lincah dan ringan.

   Pada waktu itu, Puspa Dewi sudah mewarisi semua ilmu yang dikuasai Nyi Dewi Durgakumala. Tentu saja gurunya yang menjadi ibu angkatnya itu menang pengalaman, akan tetapi di lain pihak Puspa Dewi menang muda dan lebih kuat daya tahan dan pernapasannya sehingga kalau dibuat perbandingan, tingkat yang dimiliki Puspa Dewi seimbang dengan kepandaian Nyi Dewi Durgakumala sendiri.

   Maka dapat dibayangkan betapa saktinya dara perkasa ini. Setelah bertanding saling serang selama lima puluh jurus lebih, Puspa Dewi tahu bahwa lawannya memang tangguh dan kokoh kuat pula pertahanannya. Kalau ia mau mengeluarkan aji pamungkasnya untuk membunuh, seperti pukulan beracun Wisa kenaka, tentu ia akan dapat merobohkan lawannya. Akan tetapi, ia tidak ingin membunuh jagoan anak buah Pangeran Hendratama karena hal itu tentu akan menimbulkan urusan besar yang menimbulkan geger dan tidak enak. Maka setelah mendapatkan saat lawannya mengerahkan semua tenaga dalamnya menyerang dengan pukulan lurus ke arah dadanya, Puspa Dewi cepat melompat kekiri, kemudian ia balas menyerang dengan pekik melengking yang menggetarkan seluruh taman. Itulah Pekik Guruh Bairawa yang amat kuat getarannya, mengguncang jantung lawan.

   Diserang dengan pekik yang sama sekali tidak disangka-sangka itu, Lembara terkejut dan dia terhuyung. Kesempatan ini dipergunakan oleh Puspa Dewi untuk mengirim tendangan berantai dengan kedua kakinya bergantian. Lembara yang terhuyung masih dapat mengelakkan dua kali tendangan dan menangkis sekali tendangan, akan tetapi tendangan ke empat kalinya mengenai pahanya.

   "Bukk .....!"

   Tak dapat dihindarkan lagi, Lembara jatuh terjengkang!

   Pangeran Hendratama yang menyaksikan pertandingan itu kagum bukan main Hampir sukar dipercaya bahwa gadis muda remaja itu mampu mengalahkan Lembara, jagoannya yang paling tangguh. Bahkan dia sendiri akan sukar mengalahkan Lembara! Kini dia melihat Lembara mencabut goloknya yang besar. Pangeran Itu merasa tegang, akan tetapi dia membiarkan saja, ingin sekali melihat apakah Puspa Dewi akan mampu menandingi Lembara.

   Ketika Puspa Dewi melihat lawannya yang sudah dua kali ia jatuhkan itu masih nekat, bahkan kini mencabut sebatang olok besar, ia membentak marah.

   "Anjing tolol, apakah engkau masih belum mengaku kalah dan nekat?"

   Lembara yang merasa malu sekali memang sudah nekat. Dia dipermalukan di depan tiga orang temannya. Maka tanpa menjawab dia sudah memutar mutar golok besarnya sehingga terdengar suara mengaung dan golok itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung. Akan tetapi Puspa Dewi sudah menekuk kedua lututnya yang berada di depan dan belakang, kedua lengan dipentang seperti burung hendak terbang. Itulah jurus pembukaan atau kuda-kuda dari Aji Guntur Geni. Begitu Lembara menerjang ke depan dengan goloknya, dara itu mendorongkan kedua tangannya ke depan. Akan tetapi karena tidak ingin membunuh, ia membatasi tenaganya.

   "Wuuuuttt ..... desss .....!"

   Tubuh Lembara yang menerjang ke depan itu tiba tiba terpental ke belakang dan terbanting keras. Goloknya terpental jauh dan dia jatuh pingsan oleh gempuran tenaga pukulan jarak jauh yang dahsyat itu. Tiga orang temannya segera berjongkok dan menolongnya. Pangeran Hendratama muncul dan berlari mendekat. Melihat munculnya Pangeran Hendratama, Puspa Dewi lalu memberi hormat dengan membungkuk.

   "Maaf, pangeran. Orang itu kurang ajar dan hendak mengganggu saya, terpaksa saya memberi hajaran kepadanya."

   Pangeran Hendratama mendekati Lembara yang pada saat itu baru siuman dari pingsannya dan bangkit dipapah tiga orang temannya. Baju di bagian dadanya hangus dan hancur, akan tetapi dia tidak terluka parah. Hanya guncangan akibat hawa pukulan dahsyat tadi saja yang membuatnya pingsan.

   "Lembara, masih untung andika tidak tewas. Berani benar andika mengganggu puteri Nyi Dewi Durgakumala yang sekarang menjadi permaisuri Kerajaan Wira-wuri. Hayo cepat mohon ampun kepada Ni Puspa Dewi."

   Kata Pangeran Hendratama kepada Lembara.

   Mendengar ini, Lembara terkejut bukan main. Baru mendengar nama Nyi Dewi Durgakumala saja, dia sudah merasa ngeri. Kiranya gadis itu puteri datuk wanita yang sakti mandraguna itu. Dan tadi dia telah mencoba untuk merayu gadis yang ternyata puteri sekar kedaton Kerajaan wura-wuri itu! Maka, biarpun dadanya masih terasa sesak dan kepalanya masih pening, dia segera merangkap kedua tangan ke depan hidungnya sambil membungkukkan badan, menyembah kepada Puspa Dewi.

   "Ampunkan hamba yang tidak mengenal paduka dan berani bersikap tidak patut, gusti puteri....."

   Puspa Dewi memang tidak ingin mencari keributan, maka ia hanya menjawab singkat,

   "Sudah, pergilah!"

   Sambil membungkuk-bungkuk Lembara dipapah tiga orang temannya, pergi dari taman itu. Setelah kini tinggal mereka berdua dalam taman, Pangeran Hendratama berkata kepada Puspa Dewi.

   "Puspa Dewi maafkanlah mereka. Mereka hanya orang orang kasar yang tidak tahu sopan santun."

   Puspa Dewi mengerutkan alisnya dan menjawab dengan suara halus namun kata-katanya cukup menggigit.

   "Tidak apa, paman pangeran, akan tetapi seyogianya paduka memperingatkan mereka Sikap sombong mereka dapat menyeret nama paduka menjadi celaan orang."

   Wajah Hendratama menjadi kemerahan. Ucapan gadis itu sama saja dengan mengatakan bahwa dia tidak pernah mengajarkan sikap baik kepada orang orangnya. Akan tetapi setelah menyaksikan sendiri kesaktian Puspa Dewi, bukan saja sikapnya menjadi hati-hati dan hormat, juga gairahnya terhadap dara jelita itu dia hilangkan dari dalam hatinya.

   "Aku akan memberi peringatan keras kepada mereka. Selain itu, Puspa Dewi, yang terpenting adalah bahwa malam ini kita harus waspada. Aku khawatir akan muncul orang-orang yang hendak mengancam nyawaku. Untuk memperkuat penjagaan menghadapi ancaman itulah maka kami minta bantuan Puteri Mandari yang mengutusmu."

   Puspa Dewi mengerutkan alisnya. Dari cerita yang didengarnya ketika Nurseta menceritakan tentang dicurinya pusaka Sang Megatantra oleh pangeran ini, ia tahu bahwa Pangeran Hendratama adalah seorang yang licik dan curang. Orang seperti ini tentu saja mempunyai banyak musuh.

   "Paman, siapakah orang yang mengancam keselamatan paduka?"

   Tanyanya.

   "Wah, banyak orang yang memusuhi aku, Puspa Dewi."

   "Mengapa banyak orang memusuhi paduka, paman pangeran?"

   Tanya gadis itu. Dalam hatinya ia berkata: Hanya orang jahat yang dimusuhi banyak orang!

   "Mereka itu merasa iri hati kepadaku. Mungkin karena aku kembali ke kota raja, mungkin karena kekayaanku."

   "Saya melihat paduka memiliki koleksi pusaka yang amat banyak sehingga memenuhi sebuah gudang pusaka yang dijaga ketat. Apakah mereka itu memusuhi paduka untuk mencuri pusaka?"

   Gadis itu memancing.

   Ditanya tentang pusaka, Pangeran Hendratama menjawab singkat.

   "Mungkin sekali. Siapa yang tidak ingin memiliki pusaka-pusaka yang ampuh? Sudahlah, Puspa Dewi, kuharap andika suka waspada malam ini. Aku masih mempunyai banyak urusan yang harus kuselesaikan."

   Pangeran Hendratama lalu meninggalkannya, kembali ke dalam gedung. Setelah Pangeran Hendratama pergi, Puspa Dewi duduk lagi di atas bangku dan ia mengenang kembali apa yang telah terjadi. Pangeran Hendratama itu tampaknya bersikap ramah, lembut dan sopan. Akan tetapi hal ini tidak mendatangkan perasaan suka di hatinya karena ia sudah mendengar dari Nurseta tentang pangeran ini. Kehalusan sikapnya itu justeru berbahaya. Nurseta sendiri sampai lengah dan dapat tertipu karena percaya melihat sikap baik pangeran itu. Yang jelas, pangeran itu mempunyai jagoan-jagoan pengawal yang terdiri dari orang-orang yang kasar dan tidak sopan, la mulai merasa ragu akan tugas yang diberikan ibu angkatnya ini. Tugas pertama, merampas pusaka Megatantra dari tangan Nurseta gagal karena bukan saja keris pusaka itu memang sudah tidak berada pada pemuda itu, juga ia malah menyadari bahwa tugas yang diberikan gurunya itu tidak benar.

   PusakaMegatantra itu hak milik Sang Prabu Erlangga, mengapa harus direbut? Itu sama saja dengan pencuri atau perampok yang hendak mengambil hak milik orang lain. Maka ia telah memutuskan untuk menghiraukan tugas pertama itu. Kemudian tugas kedua bahwa ia harus membunuh Ki Patih Narotama. Tugas kedua inipun gagal ia lakukan karena selain Ki Patih Narotama terlalu sakti baginya dan sama sekali bukan lawannya, juga ia disadarkan oleh patih yang bijaksana itu. Malah menurut keterangan Ki Patih Narotama, gurunya atau ibu angkatnya itulah yang sesat dan jahat. Keterangan inipun terpaksa ia percaya karena ia melihat sendiri bahwa gurunya itu memang seorang wanita sesat, suka mempermainkan pemuda pemuda remaja, kejam dan mudah membunuh orang. Maka, tugas kedua inipun ia hiraukan.

   

Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini