Keris Pusaka Sang Megatantra 19
Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo Bagian 19
Betapapun juga, ia harus mengakui bahwa gurunya yang sesat itu amat sayang kepadanya, telah mewariskan semua kesaktiannya kepadanya. Karena inilah maka ia mau melaksanakan perintahnya, sekadar untuk membalas budinya yang berlimpah. Kini tinggal tugas ketiga, tugas terakhir, yaitu membantu gerakan Puteri Lasmini dan Puteri Mandari, dari Kerajaan Parang Siluman untuk menghancurkan Kahuripan, musuh bebuyutan kerajaan-kerajaan kecil itu. Akan tetapi iapun mulai merasa ragu akan pelaksanaan tugas terakhir ini.
Memang sebagai seorang puteri istana Kerajaan Wura wuri, sudah sepantasnya kalau ia membela kerajaan itu. Akan tetapi caranya ini yang ia tidak suka. Kalau Wura-wuri diserang oleh kerajaan manapun, termasuk Kahuripan, tentu ia akan membela Wura-wuri dengan suka rela, bahkan sebagai puteri angkat raja ia sudah sepatutnya siap untuk membela dengan taruhan nyawa. Akan tetapi cara licik seperti yang mereka lakukan sekarang ini, sungguh berlawanan dengan watak dan suara hatinya. Ini sungguh tidak adil, tidak sepantasnya dilakukan orang gagah, hanya patut dilakukan orang-orang pengecut yang suka mempergunakan kecurangan dan kelicikan. Akan tetapi, dua tugas pertama telah gagal dan bahkan ia hiraukan, apakah untuk tugas terakhir ini ia harus mundur juga' Hal inilah yang membuat Puspa Dewi termenung dalam keraguan. Apalagi sekarang ia diutus oleh Puteri Mandari untuk membantu Pangeran Hendratama, menjaga keselamatan pangeran itu dari ancaman musuh-musuhnya.
Tugas ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Kerajaan Parang Siluman! Akan tetapi karena Adipati Bhismaprahhawa sebagai Raja Wura-wuri dan ayah angkatnya, dan Ratu Dewi Durgakumala sebagai guru dan ibu angkatnya menugaskan ia harus membantu Puteri Mandari, maka ia harus mentaati semua perintahnya. Diam-diam Puspa Dewi menjadi penasaran, dan tidak senang karena pekerjaan ini dilakukan dengan terpaksa, walaupun tidak disukainya. Akhirnya lapun meninggalkan taman-sari dan kembali kekamarnya dalam istana pangeran itu.
Malam itu udara dingin sekali. Segala sesuatu yang berada di luar rumah basah kuyup karena sore tadi hujan turun dengan derasnya. Namun malam ini udara cerah dan bulan yang hampir penuh tersenyum di langit. Kalau saja malam tidak sedingin itu, tentu semua orang lebih senang berada di luar rumah menikmati malam terang bulan yang mendatangkan suasana menggembirakan itu. Akan tetapi udara terlalu dingin sehingga di jalan jalan, di luar rumah, tampak sepi.
Nurseta berjalan perlahan di atas jalan besar dalam kesepian itu. Dia menuju ke istana tempat tinggal Pangeran Hendratama yang siang tadi sudah dia selidiki dimana letaknya. Siang tadi, Senopati Sindukerta sudah melakukan penyelidikan dan memastikan bahwa Pangeran Hendratama berada di istananya dan menurut penyelidikan itu, sang pangeran tidak ada rencana untuk pergi keluar istana.
"Akan tetapi aku mendengar bahwa Pangeran Hendratama mengumpulkan sedikitnya tujuh orang jagoan yang digdaya untuk menjadi pengawalnya, belum lagi para perajurit anggauta pasukan pengawal yang jumlahnya tidak kurang dari tua losin, menjaga di sekeliling istananya. Karena itu, amat berbahaya kalau engkau mengunjungi istana itu, Nurseta."
"Harap kanjeng eyang tenang. Saya dapat menjaga diri. Bagaimanapun juga, saya harus dapat merampas kembali Sang Megatantra dari tangannya, apalagi mengingat seperti dugaan eyang bahwa dia akan menggunakan Sang Megatantra untuk mencari pengaruh dan dukungan bagi niatnya untuk memberontak."
"Bukti-bukt bahwa dia akan memberontak belum ada, Nurseta. Kalau sudah ada buktinya, tentu aku akan melaporkannya kepada Sang Prabu."
"Kanjeng eyang, buktinya ada, yaitu bahwa dia telah mencuri Sang Megatantra dari saya. Itu saja sudah membuktikan bahwa dia ingin memiliki Sang Megatantra untuk memperkuat kedudukannya sehingga dia kelak dapat menjadi raja setelah berhasil menggulingkan sang prabu. Saya dapat menjadi saksinya, eyang!"
Ki Sindukerta tersenyum.
"Ingatlah, Nurseta. Pangeran Hendratama adalah kakak tiri sang permaisuri, dia adalah kakak ipar Sang Prabu Erlangga. Bukti itu belum cukup dan lemah. Bayangkan, apakah Sang Prabu akan lebih percaya kepada kesaksian seorang pemuda seperti engkau yang tidak dikenalnya daripada kepercayaannya terhadap kakak iparnya sendiri?"
Nurseta mengangguk-angguk, melihat kebenaran ucapan kakeknya.
"Kalau begitu, saya akan mencoba mencari buktinya, eyang, di samping mencari dan merampas kembali Sang Megatantra."
"Baiklah, kalau niatmu sudah teguh. akan tetapi benar-benar engkau harus berhati-hati, Nurseta."
"Baik, kanjeng eyang. Semua nasihat eyang akan saya perhatikan dan saya mohon doa restu kanjeng eyang."
Demikianlah, malam hari itu kebetulan hawa udara yang dingin sekali memaksa orang-orang tinggal di dalam rumah masing-masing sehingga kota raja menjadi sepi. Hal ini memudahkan Nurseta melaksanakan rencananya berkunjung ke istana Pangeran Hendratama. Tentu saja hawa udara yang amat dingin itu sama sekali tidak mengganggu tubuhnya yang terlatih. Dengan tenaga saktinya dia dapat membuat tubuhnya terasa hangat. Dengan tenang dia berjalan menuju ke istana pangeran dan setelah tiba di luar istana, dia melihat betapa pintu gerbang yang memisahkan jalan raya dengan halaman rumah yang luas itu dijaga oleh tiga orang perajurit.
Dari eyangnya dia sudah mendapat keterangan bahwa pintu gerbang itu dijaga siang malam secara bergiliran. Juga para perajurit pengawal selalu melakukan perondaan di balik pagar tembok yang mengelilingi Istana itu. Memasuki pintu gerbang itu tentu akan memancing datangnya .para perajurit dan jagoan pengawal. Menurut keterangan eyangnya, satu-satunya jalan yang agak aman dan tidak begitu terjaga ketat adalah melalui taman yang berada di belakang istana, akan tetapi untuk memasuki taman itu dia harus dapat melewati pagar tembok yang tingginya dua kali tinggi manusia dewasa dan di atasnya di pasangi ujung tombak-tombak runcing.
Nurseta mengambil jalan memutar mengelilingi setengah lingkaran perumahan istana itu dan tiba di bagian belakang. Pagar tembok di situ memang tinggi dan di bagian atas, terlihat di bawah sinar bulan tombak-tombak runcing menjulang ke atas, berjejer rapat. Nurseta memejamkan kedua matanya sejenak, menyatukan perhatiannya, menghimpun tenaga saktinya lalu menyalurkan ke dalam kakinya dan mengerahkan tenaganya. Begitu dia menggenjot kedua kakinya, tubuhnya meluncur ke atas dan dengan ringannya kedua kakinya hinggap di atas dua batang ujung tombak! Bagaikan seekor burung raksasa Nurseta berdiri seenak di atas dua batang ujung tombak,mengamati ke dalam dan sudah siap siaga untuk melompat keluar lagi apabila terdapat penjaga-penjaga di sebelah dalam. Akan tetapi di sebelah dalam pagar tembok itu hanya penuh dengan tumbuh tumbuhan berbagai macam bunga, tidak tampak seorangpun manusia. Dia merasa lega dan cepat melompat ke dalam taman.
Dengan hati-hati Nurseta menyelinap di antara pohon-pohon dalam taman itu, menghampiri bangunan yang tampak megah, walaupun tampak dari belakang. Lampu-lampu gantung di bagian belakang gedung itu menambah terang sinar bulan yang kini sudah berada tepat di atas kepala.
Ketika Nurseta tiba dekat bangunan dia berhenti sebentar dan berpikir untuk merencanakan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Dia harus dapat memasuki istana itu dan menangkap Pangeran Hendratama. Kalau dia sudah dapat menguasai sang pangeran, maka para jago dan pasukan pengawal tidak akan berani menyerangnya. Dia dapat menggunakan sang pangeran sebagai sandera dan akan memaksa Pangeran Hendratama untuk menyerahkan kembali Sang Megatantra. Dengan ancaman membunuhnya pangeran itu tentu akan memenuhi permintaannya dan dengan menggunakan pangeran itu sebagai perisai, dia akan dapat keluar lagi dengan aman!
Setelah mengatur rencananya, Nurseta maju lagi. Kini dia tiba di tempat terbuka antara taman dan bangunan, sebuah lapangan rumput yang cukup luas. Dia berhenti di tengah-tengah lapangan rumput itu, memandang ke atas untuk memilih bagian mana yang paling rendah dan paling mudah untuk dilompati. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suitan bertubi-tubi dari sekelilingnya dan muncullah banyak sekali perajurit yang membawa tombak, pedang atau golok di tangan. Mereka muncul dari depan, kanan kiri dan belakang dan dia sudah terkepung! semua ini terjadi begitu tiba-tiba dan cepat sehingga Nurseta menduga bahwa memang kedatangannya sudah diketahui dan mereka memang sudah siap menjebaknya sehingga kini dia terkepung oleh sedikitnya tiga puluh orang yang semua memegang senjata!
Tujuh orang yang berpakaian biasa, tidak seperti yang lain, yang mengenakan pakaian seragam perajurit, maju menghadapi Nurseta dan seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar berkumis melintang, berusia sekitar tiga puluh tahun dan memegang sebatang golok besar, menyeringai dengan pandang mata mengejek kepada Nurseta.
Orang itu bukan lain adalah Lembara yang sudah pulih kesehatannya. Untung baginya bahwa siang tadi Puspa Dewi membatasi tenaganya ketika menyerangnya dengan Aji Guntur Geni sehingga hanya bajunya saja yang hangus dan hancur. Dadanya tidak terluka hanya terguncang dan membuatnya sesak napas sebentar. Kini, mengepung pemuda itu bersama enam orang rekannya dan dua losin perajurit, dia merasa bahwa tak mungkin pemuda yang sejak melompat pagar taman memang sudah diketahui itu akan dapat lolos.
"Heh-he-he-heh! Maling busuk, menyerahlah sebelum kami mempergunakan kekerasan!"
Bentak Ki Lembara sambil mengamangkan goloknya.
Karena sudah terkepung dan merasa kepalang, Nurseta menjawab dengan tenang.
"Aku bukan maling, aku ingin bertemu dan bicara dengan Pangeran Hendratama. Minta dia keluar menemui aku"
"Kurang ajar! Orang rendah macam kamu berani menyuruh Gusti Pangeran keluar untuk menemuimu? Kamu yang harus menyerah untuk kami belenggu dan kami seret ke hadapan Gusti Pangeran"
"Aku bukan penjahat dan tidak melakukan pencurian, hadapkan aku kepada Pangeran Hendratama,
(Lanjut ke Jilid 21)
Keris Pusaka Sang Megatantra (seri ke 01 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 21
akan tetapi aku tidak mau menjadi tangkapan dan dibelenggu!"
"Jahanam, berani kamu, ya? Tangkap dia, serang!"
Perintah Ki Lembara kepada anak buahnya.
Para pengepung itu segera bergerak, seolah hendak berlumba merobohkan Nurseta. Melihat begitu banyak orang mengepung dan menerjangnya dengan senjata runcing dan tajam, Nurseta cepat mengerahkan Aji Sirna Sarira. Tubuhnya berkelebat menjadi bayangan lalu tiba-tiba lenyap dari pandang mata para pengeroyoknya. Kemudian, para pengeroyok itu berteriak mengaduh dan mereka brrpelantingan karena ditampar oleh tangan yang tidak tampak Tentu saja mereka menjadi geger dan panik, juga seram dan merinding (meremang) karena merasa seolah-olah mereka melawan setan!
Ki Lembara dan enam orang rekannya adalah jagoan-jagoan yang tangguh. Biarpun mereka tidak dapat memunahkan ilmu yang dipergunakan Nurseta dan tidak dapat melihat bayangan pemuda itu, namun mereka dapat mengelak dan menangkis tamparan Nurseta dengan mendengarkan suara sambaran tangan yang tidak tampak itu. Juga mereka bertujuh memutar pedang atau golok mereka, menyerang sekeliling tubuh mereka sehingga Nurseta tentu saja tidak dapat mendekati mereka dan hanya merobohkan para perajurit. Dia bermaksud memancing munculnya Pangeran Hendratama dan kalau pangeran itu muncul, akan ditawannya dan dijadikan sandera. Akan tetapi yang muncul bukannya Pangeran Hendratama, melainkan orang yang sama sekali tidak diduganya akan berada di situ dan ikut menyerangnya.
"Siapa berani mengacau di sini?"
Terdengar Puspa Dewi membentak dan ia lalu mengerahkan tenaga saktinya dan mempergunakan pekik Aji Guruh Bairawa.
"Hyaaaaaaaaaahhhhh!"
Pekik ini memang hebat sekali, dan dilanda getaran lengkingan ini Aji Sirna Sarira yang dipergunakan Nurseta menjadi buyar dan tubuhnya tampak lagi!
Mereka berdua saling pandang dan sama-sama terkejut. Puspa Dewi tidak mengira bahwa yang datang pada waktu tengah malam itu adalah Nurseta. Seketika ia tahu bahwa Nurseta tentu datang untuk merampas kembali Sang Megatantra. Sebaliknya, Nurseta juga terkejut melihat Puspa Dewi. Bagaimana gadis ini sekarang menjadi pengawal Pangeran Hendratama? Akan tetapi melihat munculnya gadis itu, Nurseta maklum bahwa usahanya akan gagal, maka dia lalu mempergunakan Aji Bayu Sakti dan tubuhnya berkelebat cepat sekali meninggalkan tempat itu. Kalau dia menggunakan Aji Sirna Sarira atau Triwikrama, mungkin dia masih akan mampu menangkap Pangeran Hendratama. Akan tetapi Puspa Dewi berada di situ dan dia tidak mau terlibat permusuhan dengan gadis itu. Para perajurit yang masih panik tidak berani mengejar. Bahkan tujuh orang jagoan itupun agaknya jerih.
"Biar aku yang mengejarnya!"
Kata Puspa Dewi dan iapun mempergunakan tenaga saktinya untuk melompat dan mengejar dengan cepat sekali ke dalam taman.
"Nurseta!"
Puspa Dewi berseru ketika melihat bayangan pemuda itu sudah mendekati pagar tembok. Mendengar seruan ini, Nurseta berhenti dan memutar tubuh Dengan cepat Puspa Dewi sudah berada di depannya.
"Puspa Dewi, engkau mengejar hendak menangkap aku?"
Nurseta bertanya
"Tidak, Nurseta. Aku tahu bahwa engkau datang pasti hendak merampas kembali Sang Megatantra dari tangan pangeran itu."
"Baik sekali kalau engkau mengetahui hal itu, Puspa Dewi. Akan tetapi kenapa engkau berada di sini, menjadi pengawal pangeran jahat itu?"
"Aku bukan pengawalnya. Aku hanya terpaksa karena diutus oleh Puteri Mandari untuk membantu. Akan tetapi engkau tidak mungkin akan dapat merampas pusaka itu, Nurseta. Penjagaan amat kuatnya, bahkan sebelum engkau masuk ke sini, pangeran itu sudah tahu dan sudah melakukan penjagaan ketat. Pusaka itu tentu disembunyikan, entah dimana. Sekarang pergilah, biar aku membantumu menyelidiki dimana dia menyimpan pusaka itu."
"Terima kasih, Puspa Dewi. Aku tahu dan yakin engkau bukan gadis sesat. Karena itu tadi aku memilih melarikan diri daripada harus bertanding melawanmu. Selamat berpisah!"
Nurseta lalu mengerahkan tenaganya, melompat ke atas pagar tembok dan hinggap di atas dua ujung tombak yang runcing, lalu menoleh, melambaikan tangan dan meloncat keluar. Puspa Dewi menghela napas, merasa kagum bukan main. Ia sendiri harus mengakui bahwa ia tidak berani melompat keatas pagar tembok setinggi itu dan hinggap di atas ujung tombak! Terlalu berbahaya. Ia mendengar suara orang-orang berlarian di belakangnya. Ia tahu bahwa itu adalah para jagoan dan perajurit. la lalu berteriak.
"Maling jahat, hendak lari ke mana kau?"
Ketika para pengejar tiba di bawah pagar tembok, mereka melihat gadis itu memegang pedangnya yang hitam dan mengacung-acungkan ke atas pagar tembok.
"Di mana malingnya?"
Tanya mereka
"Ah, sungguh luar biasa. Dia pandai terbang ke atas pagar tembok dan hinggap di atas ujung tombak-tombak itu, Terpaksa aku hanya dapat mengejar sampai di sini."
Kata Puspa Dewi.
Para jagoan dan para perajurit sibuk membicarakan "maling"
Yang pandai menghilang dan pandai terbang itu. Tujuh orang jagoan bersama Puspa Dewi lalu menghadap Pangeran Hendratama yang bersembunyi di dalam kamar rahasia. Pangeran ini memang merasa jerih pada Nurseta, maka dia merasa lebih aman untuk bersembunyi dan mengharapkan tujuh orang jagoannya ditambah Puspa Dewi dan pasukan pengawalnya akan mampu menangkap atau membunuh pemuda sakti mandraguna itu.
"Bagaimana hasilnya? Apakah dapat ditangkap atau dibunuh?"
Pangeran Hendratama bertanya kepada Lembara ketika mereka semua menghadapnya. Dengan muka kemerahan karena merasa malu Lembara melaporkan.
"Harap paduka memaafkan kami, Gusti Pangeran. Kami telah mengepung maling itu, akan tetapi dia itu sangat sakti mandraguna, pandai menghilang dan terbang ....."
"Omong kosong! Mana ada manusia pandai menghilang dan terbang? Laporkan yang benar!"
Bentak Pangeran Hendratama dengan alis berkerut karena kecewa mendengar laporan itu dan tidak melihat Nurseta tertawan atau terbunuh.
"Hamba tidak berbohong, gusti. Maling itu telah kami kepung dan keroyok, tiga puluh orang mengeroyoknya. Akan tetapi tiba-tiba dia menghilang dan kami dirobohkan oleh tangan yang tidak tampak. baru setelah Puteri Puspa Dewi datang, pekik saktinya dapat membuyarkan ilmu maling itu sehingga dia tampak. Akan tetapi dia melarikan diri dikejar oleh puteri Puspa Dewi. Akan tetapi dia terbang ke atas pagar tembok, hinggap diatas ujung tombak yang berada di atas pagar tembok lalu melarikan diri keluar."
Diam-diam Pangeran Hendratama terkejut. Memang dia sudah mendengar dari para selirnya bahwa pemuda itu sakti, akan tetapi dia tidak menyangka bahwa Nurseta demikian sakti mandraguna sehingga dikeroyok tiga puluh orang lebih termasuk tujuh orang jagoannya dibantu pula oleh Puspa Dewi, masih dapat meloloskan diri. Dia menjadi semakin gentar dan merasa sangat terancam keselamatannya selama pemuda itu belum ditangkap atau dibunuh.
"Benarkah apa yang diceritakan Lembara itu, Puspa Dewi?"
Tanyanya kepada Puspa Dewi.
"Benar, Paman Pangeran. Maling ini memang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali sehingga sayapun tidak berhasil menangkapnya."
Kata Puspa Dewi.
"Karena itu, tidak ada gunanya lagi saya berada di sini. Harap paman mencari bantuan orang-orang lain yang lebih pandai agar keselamatan paman terjamin."
Pangeran Hendratama menghela panjang dan tampak gelisah.
"Kalau andika sendiri dibantu semua pengawalku tidak dapat menandingi maling itu, lalu siapa lagi yang dapat kumintai bantuan?"
Puspa Dewi memandang pangeran itu dengan sinar mata tajam menyelidik, lalu bertanya.
"Paman Pangeran, kalau saya boleh bertanya, siapakah gerangan maling sakti itu dan mengapa pula dia datang mencari paman?"
Karena Puspa Dewi adalah utusan dan orang kepercayaan Puteri Mandari, apalagi dara itu adalah puteri angkat Raja Wura-wuri, tentu saja dia percaya kepadanya sebagai sekutu yang memusuhi Sang Prabu Erlangga. Akan tetapi dia tidak mau menceritakan tentang Sang Megatantra yang berada padanya, hal ini masih dia rahasiakan karena belum waktunya diberitahukan orang lain. Kelak dia dapat mempergunakan Sang Megatantra sebagai alasan kuat yang mengesahkan dia untuk menjadi Raja Kahuripan kalau saatnya untuk itu tiba.
"Maling itu bernama Nurseta, seorang maling yang licik dan sakti."
"Akan tetapi, kenapa dia malam malam datang dan mencari paman? Apa yang dikehendakinya?"
Puspa Dewi mengejar.
"Dia datang untuk membunuhku."
Kata Pangeran Hendratama singkat.
"Eh? Akan tetapi, kenapa?"
Desak Puspa Dewi yang maklum bahwa Nurseta mencari pangeran itu bukan untuk membunuhnya, melainkan untuk merampas kembali Sang Megatantra.
Mendengar pertanyaan itu, Pangeran Hendratama termenung sejenak lalu menjawab.
"Ceritanya panjang dan biarlah kalian semua mengetahui persoalannya agar tidak bertanya-tanya. Kalian tau bahwa aku adalah penggemar pusaka. Aku mengumpulkan banyak pusaka. Banyak sudah harta kekayaan kuhamburkan untuk membeli pusaka-pusaka itu dengan harga mahal. Beberapa bulan yang lalu, secara kebetulan sekali aku membeli sebuah pusaka yang dibawa seorang kakek pengemis. Aku terkejut dan girang melihat bahwa pusaka itu adalah Sang Megatantra, keris pusaka Mataram yang hilang puluhan tahun yang lalu. Kakek pengemis itu menemukan pusaka itu di dekat pantai Laut Selatan dan dia tidak tahu bahwa itu adalah keris pusaka Sang Megatantra milik Mataram yang tak ternilai harganya. Aku segera membelinya dengan harga yang murah."
"Menarik sekali, paman. Lalu bagaimana?"
Desak Puspa Dewi ketika pangeran itu berhenti bercerita dan seperti orang berpikir. Apalagi yang akan dikarangnya, pikir Puspa Dewi.
"Sialnya, agaknya kakek pengemis itu menceritakan penjualan keris pusaka itu kepada seorang maling, yaitu Nurseta. Pada suatu malam, dia mencuri Sang Megatantra dan sebagai gantinya, dia meninggalkan sebatang keris Megatantra palsu."
"Bagaimana paman tahu bahwa pencuri itu adalah orang yang bernama Nurseta itu?"
Puspa Dewi mengejar.
"Tiga orang selirku sempat memergoki dan dia mengakui namanya. Tiga orang selirku lalu menyerangnya untuk merampas kembali keris pusaka, akan tetapi mereka bertiga kalah dan maling itu membawa lari Sang Megatantra."
"Akan tetapi kenapa sekarang dia yang mencari paman dan hendak membunuh paman? Bukankah itu terbalik Semestinya paman yang mencari dia untuk merampas kembali keris pusaka itu!"
"Mengapa dia ingin membunuhku Mudah saja diduga! Karena aku mengetahui rahasianya bahwa dia memiliki Sang Megatantra yang menjadi hak milik Kerajaan Kahuripan, maka dia ingin membunuhku agar jangan ada orang yang tahu bahwa dia memiliki pusaka itu, Jelas, bukan?"
Kini wajah Pangeran Hendratama berseri. Hatinya memang merasa girang karena kini dia mendapatkan cara untuk menjatuhkan Nurseta yang ditakutinya itu. Ceritanya tadi yang mendatangkan akal yang dianggapnya amat baik itu. Puspa Dewi tentu saja lebih percaya kepada Nurseta. la tahu bahwa pangeran itu mengarang cerita dan sengaja memutar balikkan kenyataan! Dia yang mencuri menjadi pemilik yang sah, sedangkan Nurseta yang kehilangan pusaka malah dicap sebagai pencurinya. Siasat apakah yang akan dilakukan pangeran ini? Ia tidak dapat menduga apa yang akan dilakukannya.
"Gusti Pangeran, kalau paduka menyetujui dan mengijinkan, hamba dapat mengajukan permohonan bantuan kepada Sri Ratu Kerajaan Siluman Laut Kidul."
Kata Lembara yang selain merasa gentar terhadap Nurseta dan ingin mendapatkan kawan yang dapat diandalkan, juga dia ingin membuat jasa.
"Sri Ratu Kerajaan Siluman Laut Kidul? Kaumaksudkan Ratu Mayang Gupita, Lembara?"
"Kasinggihan (betul), gusti."
"Akan tetapi, Ratu Mayang Gupita adalah seorang tokoh yang aneh dan sukar dihubungi. Selain sukar minta bantuannya, juga salah-salah akan membuat ia marah dan kalau raseksi (raksasa wanita) itu marah, siapa berani tanggung?"
Nama Ratu Mayang Gupita memang terkenal sebagai seorang raksasa wanita yang berwatak keras dan kejam sekali.
"Harap paduka tidak khawatir tentang hal itu, gusti. Pertama, hamba pernah bekerja kepada Sri Ratu Mayang Gupita sebagai seorang perwira pasukan pengawal dan hamba mengundurkah diri dengan baik-baik sehingga hamba berani menghadap beliau dan hamba yakin akan diterima baik. Kedua, bukan rahasia lagi bahwa Ratu Mayang Gupita juga amat membenci dan memusuhi Sang Prabu Erlangga. Oleh karena itu, hamba yakin beliau akan suka membantu, atau setidaknya mengirim orang yang dapat diandalkan untuk memperkuat penjagaan di sini."
Wajah pangeran itu berseri gembira mendengar ini.
"Baik sekali! Kalau begitu, cepat laksanakan usulmu itu dan sampaikan salam hormatku kepada Ratu Mayang Gupita. Nanti dulu, aku akan mengirimkan beberapa buah senjata pusaka untuk dihadiahkan kepada Sri Ratu!"
"Kalau begitu, saya mohon pamit, paman pangeran. Besok pagi-pagi saya akan kembali ke istana, melapor kepada Puteri Mandari."
"Baiklah, Puspa Dewi. Sampaikan terima kasihku kepada Puteri Mandari."
Kemudian Pangeran Hendratama memerintahkan para jagoan lain untuk menambah jumlah perajurit sampai mendekati seratus orang untuk menjaga keamanan di situ karena Puspa Dewi dan Lembara akan
meninggalkan gedungnya.
Pagi-pagi sekali Puspa Dewi kembali ke istana, menyelinap melalui taman sari dan langsung ke keputren. Ia diterima Puteri Mandari di kamar selir itu dan Puspa Dewi menceritakan apa yang telah terjadi di gedung Pangeran Hendratama tanpa mengatakan bahwa ia telah mengenal Nurseta.
Sang Prabu Erlangga adalah seorang raja yang di waktu mudanya banyak bergaul dengan rakyat kecil dan terkenal sebagai seorang ksatria, seorang pendekar yang gagah perkasa dan baik budi. Setelah menjadi raja, diapun bijaksana, adil dan memperhatikan kehidupan rakyat, bukan seperti kebanyakan penguasa yang hanya mementingkan kesenangan diri pribadi, menumpuk harta benda untuk diri sendiri dan keluarganya, sanak dan handai tautannya, tanpa memperdulikan penderitaan rakyat miskin yang hidup sengsara. Diapun memiliki kewaspadaan dan kepekaan tinggi.
Namun semua perasaannya tidak pernah diperlihatkan pada sikap dan wajahnya. Tentu saja sebagai manusia, dia memiliki kelemahan karena tidak ada seorangpun manusia yang sempurna di dunia ini. Betapapun baiknya seorang manusia, pasti mempunyai cacat. Adapun kelemahan Sang Prabu Erlangga adalah kelemahan pria, pada umumnya, yaitu lemah terhadap rayuan wanita cantik. Karena itu, tidaklah mengherankan kalau Sang Prabu Erlangga terlena dalam rayuan Mandari yang memang cantik jelita dan pandai sekali merayu dan menyenangkan hati pria. Tentu saja kewaspadaannya membuat dia merasa bahwa Mandari bukanlah seorang wanita yang baik budi.
Semua rayuan, kemanjaan, kecantikan wajah dan keindahan tubuhnya itu hanya polesan atau indah diluar saja. Wanita ini tidak mempunyai perasaan cinta kasih murni terhadap dirinya. Yang ada hanya cinta nafsu dan di balik semua bagian tubuhnya yang serba menggairahkan itu, tersembunyi pamrih untuk dirinya sendiri. Namun, dan inilah kelemahan pria pada umumnya, semua itu tertutup oleh gairah dan kenikmatan nafsu kedagingan. Apa lagi ditambah dengan alasan bahwa ditariknya Mandari sebagai selirnya berarti menanam perdamaian dengan Kerajaan Parang Siluman.
Sang Prabu juga mempunyai perasaan bahwa Pangeran Hendratama adalah seorang yang tidak baik bahkan berbahaya. Biarpun sikapnya ramah dan merendah, namun dari sinar matanya kadang dia menangkap getaran nafsu kebencian terhadap dirinya. Namun raja yang bijaksana ini dapat memaafkannya, dalam hatinya dia memaklumi bahwa nafsu kebencian itu timbul dari perasaan iri hati karena pangeran Itu merasa sebagai putera mendiang Sang Prabu Teguh Dharmawangsa lebih berhak menjadi raja Kahuripan daripada dia yang hanya seorang mantu. Biarpun Sang Prabu Erlangga telah memaafkan, namun dia juga tetap waspada.!
Setelah peristiwa kunjungan Nurseta di tengah malam digedung Pangeran Hendratama, pada keesokan harinya, pagi-pagi Pangeran Hendratama telah naik kereta yang dikawal, menuju keistana raja. Dia mohon menghadap Sang Prabu Erlangga yang ketika itu sedang hendak makan pagi.
Mendengar laporan bahwa Pangeran Hendratama mohon menghadap dan laporan itu didengar pula oleh Permaisuri Pertama dan Permaisuri Ke Dua yang menemaninya makan pagi, sang Prabu Erlangga segera memerintahkan pengawal untuk mengundang kakak iparnya itu untuk makan pagi bersama dan ditunggu di ruangan makan. Hal ini dilakukan Sang Prabu Erlangga untuk menyenangkan hati Permaisuri Pertama dan memang benar, Permaisuri Pertama tampak gembira ketika mendengar bahwa kakak tirinya datang berkunjung dan diundang makan pagi bersama.
Akan tetapi Pangeran Hendratama memasuki ruangan makan dengan wajah muram dan lesu dan setelah memberi salam dan dipersilakan duduk menghadapi meja makan, dia hanya makan sedikit sekali dan selama makan tidak banyak bicara dan wajahnya dibayangi kegelisahan.
Sang Prabu Erlangga dapat menduga bahwa tentu ada urusan yang membuat kakak iparnya itu gelisah. Akan tetapi dia cukup bijaksana untuk tidak membicarakan atau menanyakan urusan itu kepada kakak iparnya di depan kedua orang permaisurinya. Setelah selesai makan pagi, Sang Prabu Erlangga mengajak Pangeran Hendratama ke ruangan tamu untuk bicara berdua saja. Para pengawal dan pelayan disuruh meninggalkan ruangan itu sehingga mereka dapat bicara berdua tanpa didengarkan orang lain.
"Nah, Kakang Pangeran, sekarang ceritakanlah urusan apa yang merisaukan hati andika dan yang membuat andika sepagi ini sudah datang berkunjung."
Kata Sang Prabu Erlangga dengan nada suara lembut.
"Ah, ketiwasan (celaka), Yayi (Adinda) Prabu .....!"
Sang pangeran mengeluh dimukanya tampak muram dan gelisah sekali.
"Tadi malam hampir saja saya dibunuh orang ....."
Sang Prabu Erlangga hanya merasa heran, namun tidak terkejut.
"Hemm, siapa yang hendak membunuh andika, dan kenapa?"
Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sesungguhnya, ceritanya panjang Yayi Prabu. Beberapa bulan yang lalu saya yang memang sejak dahulu suka sekali mengumpulkan pusaka kuno, seorang pengemis tua menawarkan sebuah pusaka kuno yang katanya didapatkannya di dekat pantai Laut Kidul. Saya membeli keris pusaka itu dengan murah dan setelah penjual itu pergi dan saya meneliti keris yang kotor itu, saya gosok-gosok bukan main kaget hati saya karena keris pusaka itu ternyata adalah Sang Megatantra."
"Jagad Dewa Bathara .....!"
Sekali ini Sang Prabu Erlangga terkejut.
"Pusaka Mataram yang hilang puluhan tahun yang lalu itu, Kakang Pangeran?"
"Benar, Yayi Prabu. Karena benda keramat itu merupakan pusaka Mataram, maka saya bermaksud menghaturkan Sang Megatantra kepada paduka. Akan tetapi ternyata pengemis tua jahanam itu ....."
"Kakang Pangeran, pengemis tua itu sudah berjasa besar menemukan Sang Megatantra!"
Sang Prabu Erlangga memotong dengan suara mencela mendengar Pangeran Hendratama memaki pengemis tua itu.
"Maaf, Yayi Prabu, hati saya masih mendongkol. Dia ternyata menceritakan tentang Sang Megatantra kepada seorang maling muda yang sakti mandraguna. Maling itu mencuri Sang Megatantra dan meninggalkan keris palsu ini sebagai gantinya."
Pangeran Hendratama mengeluarkan sebatang keris yang mirip Sang Megatantra dan menyerahkannya kepada Sang Prabu Erlangga. Sang Prabu menerima keris itu dan sekali jari-jari tangannya menekuk, keris itu patah-patah menjadi tiga potong!
"Hemm, ini terbuat dari besi biasa, Kakang Pangeran."
"Memang demikianlah. Setelah Sang Megatantra tercuri, saya mengerahkan segala daya untuk mencari pencuri itu. Akan tetapi selalu gagal dan saya lalu pindah ke kota raja setelah mendapat perkenan paduka."
"Kenapa selama ini andika tidak memberitahukan kepada kami, Kakang Pangeran?"
"Maaf, Yayi Prabu. Saya ingin mendapatkan kembali pusaka itu agar saya dapat menghaturkannya kepada paduka, Dan malam tadi, pencuri Sang Megatantra itu menyerbu rumah saya dan nyaris membunuh saya. Masih beruntung bahwa para pengawal dapat melindungi saya dan jahanam busuk itu dapat melarikan diri."
"Hemm, ceritamu aneh, kakang. Kenapa pencuri itu hendak membunuhmu setelah dia berhasil mencuri Sang Megatantra?"
"Hal itu sudah saya selidiki, Yayi Prabu. Setelah saya mengetahui kemana larinya pencuri itu yang diam-diam diikuti oleh para pembantu saya, dan tahu apa yang berdiri di belakangnya, maka tidak aneh kalau dia hendak membunuh saya. Ada yang hendak mempergunakan Sang Megatantra untuk mengangkat diri sendiri menjadi raja karena dikabarkan bahwa pusaka itu merupakan tanda turunnya wahyu kedaton (istana) sehingga berhak menjadi raja. Berarti, pemilik Sang Megatantra itu, si pencuri dan orang yang berada dibelakangnya, jelas merencanakan pemberontakan terhadap paduka, Yayi Prabu. Karena saya satu-satunya orang yang mengetahui rahasianya, maka dia berusaha untuk membunuh saya."
Sang Prabu Erlangga mengerutkan alisnya.
"Kakang Pangeran, katakan, siapa pencuri itu dan siapa pula yang berdiri di belakangnya, yang merencanakan pemberontakan?"
"Pencuri muda yang sakti mandraguna itu bernama Nurseta, Yayi Prabu, dan paduka tidak akan merasa heran karena pemuda itu adalah cucu dari Senopati Sindukerta! Senopati Sindukerta itu memang sejak mendiang Rama Prabu Teguh Dharmawangsa memimpin kerajaan ini sudah memperlihatkan wataknya yang memberontak. Yayi Prabu tentu sudah mendengar betapa dahulu dia menghina saya dan mendiang Ramanda Prabu dengan menyembunyikan puterinya yang sudah kami pinang dan sudah diterima. Nah, maling muda Nurseta itu adalah anak dan puterinya yang disembunyikan dan diam-diam melarikan diri dengan seorang laki-laki sesat."
Sang Prabu Erlangga mengerutkan alisnya dengan hati panas. Berani benar senopati tua itu merencanakan pemberontakan, pikirnya. Dia lalu bertepuk tangan memberi isyarat dan dua orang perajurit pengawal yang berjaga di luar pintu ruangan segera berlari masuk dan berlutut menyembah.
"Cepat undang Kakang Patih Narotama ke sini, sekarang juga!"
Perintahnya.
Dua orang perajurit pengawal itu memberi hormat dan mereka berlari keluar. Melihat kemarahan Sang Prabu Erlangga, Pangeran Hendratama diam diam merasa girang. Muslihatnya berhasil. Mampuslah kau, Nurseta, begitu suara hatinya. Dia lalu berkata kepada Sang Prabu Erlangga.
"Saya merasa girang dan aman dari ancaman Nurseta dan Senopati Sindukerta setelah paduka hendak mengambil tindakan tegas. Sekarang perkenankan saya pulang untuk beristirahat karena semalam suntuk saya tidak dapat tidur, gelisah memikirkan ancaman terhadap nyawa saya."
"Baik, Kakang Pangeran. Terima kasih atas semua laporanmu, akan tetapi kalau pencuri dan kakeknya itu sudah kami tangkap, harap Kakang Pangeran bersedia untuk menjadi saksi bahwa dia mencuri sang Megatantra dan berusaha membunuh andika."
"Tentu saja, Yayi Prabu. Bahkan saksi-saksi mata yang paling mengetahui karena melihat sendiri maling itu, yaitu tiga orang selir saya yang juga bertugas bagai pengawal-pengawal pribadi, akan saya hadirkan sebagai saksi pula."
"Baik, terima kasih, Kakang Pangeran Hendratama."
"Mohon pamit, Yayi Prabu."
Pangeran Hendratama lalu keluar dari istana dan dengan pengawalan kuat dia kembali naik kereta pulang ke gedungnya. Di dalam kereta, dia menggosok gosok kedua telapak tangannya dan tersenyum-senyum gembira. Orang yang dia takuti sebentar lagi akan dihukum! Kini tinggal memikirkan siasat pemberontakan yang akan dia lakukan dengan bantuan para sekutunya dari Kerajaan Wengker, Wura-wuri, Siluman Laut Kidul, dan Parang Siluman, dibantu pula oleh para pembesar sipil dan militer yang sudah jatuh di bawah pengaruhnya.
Ki Patih Narotama menerima panggilan Sang Prabu Erlangga yang disampaikan oleh perajurit pengawal. Kalau Sang Prabu memanggilnya di luar waktu persidangan, itu berarti ada terjadi hal-hal yang luar biasa dan penting, maka diapun bergegas menunggang kuda menuju ke istana.
Seperti biasa, Ki Patih Narotama memasuki istana dengan leluasa. Semua perajurit pengawal mengenalnya dan tahu belaka bahwa Ki Patih Narotama dapat tiap saat memasuki istana menghadap Sang Prabu Erlangga, tidak usah dilaporkan lebih dulu seperti para pembesar lain kalau mohon menghadap sang prabu. Ki Patih Narotama membiarkan kudanya diurus oleh seorang perajurit dan dia hanya bertanya kepada perajurit pengawal dalam istana di mana adanya Sang Prabu Erlangga. Setelah mendapat keterangan bahwa sang prabu menantinya di ruangan persidangan, Ki Patih bergegas menuju ke ruangan itu lalu memasuki pintu ruangan yang dibukakan oleh dua orang perajurit pengawal.
Ketika dia memasuki ruangan persidangan, dia melihat Sang Prabu Erlangga telah duduk di atas singasana. Di sebelah kiri sang prabu duduk selir cantik jelita Mandari. Hanya puteri inilah yang menemani Sang Prabu Erlangga, tidak ada orang lain, bahkan para pengawal juga hanya menjaga di luar ruangan. Ini merupakan pertanda bahwa, sang prabu hendak membicarakan urusan yang dirahasiakan sehingga tidak boleh terdengar orang lain. Akan tetapi mengapa Mandari, puteri Ratu Durgamala Kerajaan Parang Siluman itu berada di situ, berdua saja dengan sang prabu, tanpa dihadiri dua orang permaisuri yang kedudukannya lebih tinggi? Ki Patih Narotama menduga bahwa urusan ini tentu ada sangkut-pautnya dengan Puteri Mandari.
Lasmini dan Mandari memang selalu membuat ulah setelah menjadi selirnya dan selir sang prabu. Akan tetapi wajah cantik itu sama sekali tidak kelihatan tegang atau khawatir, bahkan senyumnya yang manis menunjukkan bahwa hatinya bergembira!
Ki Patih Narotama memberi hormat dengan sembah dan hendak duduk bersila di atas lantai. Akan tetapi Sang Prabu Erlangga mencegahnya.
"Duduklah di kursi yang telah disediakan untukmu, Kakang Patih Narotama."
Narotama menurut. Memang biasanya kalau menghadap sang prabu secara pribadi, bukan dalam paseban, dia dipersilakan duduk di kursi. Akan tetapi saat itu, selir Mandari hadir di situ, maka tadinya dia hendak duduk bersila untuk menghormati sang prabu. Setelah melirik ke arah Mandari, dia menyembah lagi, lalu duduk.
"Terima kasih, gusti. Paduka memanggil hamba, perintah apakah yang harus hamba lakukan?"
"Ada urusan yang gawat sekali, kakang patih. Karena urusan ini amat penting, maka kami sengaja mengundangmu karena hanya andika saja yang akan dapat menyelesaikannya dengan baik. Yayi Mandari kami hadirkan karena mengingat akan kemampuannya, ia dapat membantu pelaksanaan tugas ini, kakang."
Diam-diam Ki Patih Narotama merasa heran. Mengapa mendadak selir ini diajukan oleh sang prabu untuk membantunya? Tugas apakah gerangan yang harus dilaksanakan dengan bantuan Puteri Mandari? Ataukah, urusan ini mengenai diri puteri dari Kerajaan Parang Siluman itu?
"Hamba siap melaksanakan semua perintah paduka, Sinuwun."
Sang Prabu Erlangga memang sengaja membawa Mandari ke dalam persoalan ini karena dia hendak menguji sampai di mana kesetiaan selir tersayangnya yang terkadang menimbulkan rasa curiga dalam hatinya itu. Bagaimana selir itu akan menanggapi kalau terjadi pemberontakan terhadap kerajaannya? Maka, dia sengaja menghadirkan Puteri Mandari ketika dia memanggil patihnya.
"Kakang Patih Narotama, kerajaan kita sedang terancam pemberontakan!"
Baik Ki Patih Narotama maupun Mandari terkejut bukan main. Ki Patih Narotama tentu saja terkejut mendengar ada pemberontakan, sebaliknya Mandari terkejut juga, namun ia terkejut karena sesungguhnya ia dan sekutunya yang memusuhi kerajaan Kahuripan dan tentu saja merencanakan pemberontakan.
"Siapakah yang berani memberontak kepada paduka, gusti? Beritahukan kepada hamba. Hamba yang akan memberantasnya!"
Kata Narotama penuh semangat.
Puteri Mandari diam saja, hanya mendengarkan dengan penuh perhatian dan dengan hati tegang.
"AKU mendengar hal itu dari Kakang Pangeran Hendratama. Pemberontakan itu memang belum terjadi, akan tetapi kami dapat menduganya dengan munculnya pusaka Mataram yang hilang puluhan tahun lalu, yaitu Sang Megatantra."
Kini Ki Patih Narotama yang meragu walaupun dia terkejut mendengar bahwa sang Megatantra yang dinyatakan hilang puluhan tahun itu, kini muncul. Dia meraba gagang kerisnya sendiri yang terselip di pinggangnya. Keris pusakanya itu adalah keris pusaka Sang Megantoro, yang merupakan pasangan keris pusaka Sang Megatantra. Dia mendapatkan keris itu dari Sang Resi Satyadharma di Nusa Bali. Gurunya itu mengatakan bahwa keris Sang Megantoro adalah pasangan keris Sang Megatantra. Kalau Sang Megatantra mengandung wahyu bagi seorang raja, keris Megantoro mengandung wahyu bagi seorang pamongnya yang paling dekat dengan raja, yaitu patihnya. Kalau rajanya memegang Sang Megatantra dan patihnya memegang Sang Megantoro, maka kerajaan akan menjadi kuat sekali.
Sayang, keris pusaka Sang Megatantra lenyap puluhan tahun yang lalu hingga Sang Prabu Erlangga tidak memilikinya. Akan tetapi kini keris itu muncul! Inilah yang mengejutkan dan juga menggirangkan hati Narotama. Akan tetapi mendengar bahwa pembawa kabar tentang pemberontakan itu Pangeran Hendratama hatinya menjadi ragu dan bimbang. Dia merasa tidak senang dan tidak percaya kepada pangeran ini, bahkan dia mulai curiga mendengar betapa pangeran yang baru pindah ke kota raja itu seringkali kasak-kusuk dengan para pembesar dan mengobral banyak hadiah kepada mereka. Sebaliknya, ketika mendengar bahwa pembawa berita itu adalah Pangeran Hendratama, hati Mandari menjadi girang sekali. Pangeran itu adalah sekutunya, Maka, ia cepat berkata penuh semangat
"Kakanda Prabu, siapakah keparat yang hendak memberontak itu? Dia harus dihancurkan!"
Sang Prabu Erlangga tersenyum mendengar ucapan selirnya ini.
"Kalian dengarlah dulu apa yang diceritakan Kakang Pangeran Hendratama kepadaku tadi. Beberapa bulan yang lalu dia membeli sebuah keris dari seorang pengemis tua. Setelah keris itu dibersihkan, dia mengenalnya sebagai Sang Megatantra. Pengemis itu mengatakan bahwa dia menemukan keris pusaka itu di dekat pantai Laut Kidul. Akan tetapi agaknya pengemis itu menceritakan tentang keris itu kepada seorang penjahat muda yang sakti mandraguna. Penjahat itu mencuri Sang Megatantra dari Kakang Pangeran Hendratama dan menggantinya dengan sebuah keris palsu. Kakang pangeran lalu berusaha untuk mencari dan merampasnya kembali, namun usahanya sia-sia. Maksudnya untuk mendapatkan kembali pusaka itu dan menghaturkannya kepadaku. Nah, malam tadi, rumahnya didatangi pencuri keris itu dan dia nyaris dibunuh penjahat itu. Agaknya penjahat itu ingin merahasiakan penemuannya dan karena yang mengetahui tentang Sang Megatantra hanya kakang pangeran, maka penjahat itu hendak membunuhnya. Dari kenyataan ini dapat diduga bahwa pencuri itu hendak mempergunakan Sang Megatantra untuk mengangkat diri sendiri sebagai raja. Setelah para pembantu Kakang Pangeran Hendratama membayangi ke mana larinya pencuri yang malam tadi hendak membunuhnya itu, maka jelaslah bahwa memang ada usaha pemberontakan di kerajaan ini."
"Hemm, si keparat!"
Mandari berseru marah.
"Kalau begitu, mohon penjelasan, Kakanda, siapakah pencuri itu? Biar hamba binasakan dia!"
Sang Prabu Erlangga tersenyum. Hatinya merasa lega karena selirnya ini ternyata bersemangat membela kerajaan Kahuripan!
"Hamba menanti penjelasan paduka, gusti."
Kata Narotama yang juga ingin sekali mengetahui siapa gerangan mereka yang hendak mengadakan pemberontakan itu.
"Setelah dibayangi orang-orangnya Kakang Pangeran Hendratama, ternyata bahwa pencuri itu melarikan diri kerumah Paman Senopati Sindukerta dan pencuri Sang Megatantra yang sakti mandraguna itu adalah cucunya yang bernama Nurseta."
"Paman Senopati Sindukerta? Bukankah dia itu kabarnya dahulu menjadi calon mertua Pangeran Hendratama?"
Tanya Narotama.
"Benar, Kakang Narotama. Paman Senopati Sindukerta memang pernah kesalahan terhadap mendiang Romo Prabu Teguh Dharmawangsa dan Kakang Pangeran Hendratama karena menyembunyikan puterinya yang akan dijodohkan dengan Kakang Pangeran Hendratama sehingga dia dicopot dari kedudukannya sebagai senopati. Akan tetapi karena dia banyak membantuku mengusir musuh-musuh dari Kahuripan seperti andika sendiri mengetahui, maka aku mengangkatnya kembali menjadi senopati. Sungguh tidak kusangka dia mempunyai niat untuk memberontak. Hal ini mungkin karena cucunya itu telah mendapatkan Sang Megatantra."
Mandari bangkit dari tempat duduknya dan berkata lantang.
"Si keparat tak mengenal budi itu! Kakanda Prabu, biarlah hamba berangkat sekarang juga untuk membasmi keluarga Sindukerta! Hamba akan membawa pasukan pengawal untuk menghancurkan para pemberontak itu!"
"Tenanglah dan duduklah dulu, yayi. Kita rundingkan dulu bagaimana sebaiknya dan tindakan apa yang harus diambil."
Kata Sang Prabu Erlangga.
Mandari duduk kembali dan kedua pipinya masih kemerahan karena marah, bibirnya yang mungil itu cemberut.
"Hamba menanti perintah, apa yang harus hamba lakukan terhadap Paman Senopati Sindukerta dan cucunya itu gusti."
Kata Narotama dengan tenang. Bagaimanapun juga, cerita itu berasal dari Pangeran Hendratama yang tentu saja mendendam kepada Senopati Sindukerta karena niatnya memperisteri puteri senopati itu tidak tercapai dan dia memang meragukan kepribadian pangeran yang pernah ngambek bertahun-tahun meninggalkan kota raja karena Erlangga yang diangkat atau dipilih oleh para bangsawan untuk menjadi raja.
"Sekarang pimpinlah pasukan pilihanmu dan pergilah ketempat tinggal Paman Senopati Sindukerta. Andika telah mengetahui persoalannya dan aku memberi purbawisesa (kekuasaan penuh) kepadamu untuk bertindak bagaimana baiknya terhadap mereka."
"Bunuh saja mereka! Basmi pemberontak itu sampai keakar-akarnya. Binasakan seluruh keluarganya!"
Kata Mandari sambil mengepal tangannya.
"Hamba akan menangkap Paman Senopati Sindukerta dan cucunya yang bernama Nurseta itu dan membawa mereka menghadap paduka, gusti."
Kata Narotama dengan tenang.
"Hamba akan menyertai Ki Patih Narotama dan pasukannya!"
Seru Mandari. 'Kalau pencuri pusaka itu sakti mandraguna, hamba yang akan menandinginya!"
Sang Prabu Erlangga tersenyum. 'Tidak, Yayi Mandari. Justeru karena kekerasanmu itu, aku tidak mengijinkan engkau ikut pergi. Kakang Patih Narotama benar. Paman Senopati Sindukerta dan cucunya itu harus ditangkap dan akan kami periksa di sini."
"Akan tetapi, Kakanda Prabu, mereka itu sudah jelas hendak memberontak! Mereka itu pantas dibinasakan, tunggu apalagi?"
Kata Mandari.
"Bukan begitu sikap seorang penguasa yang bijaksana, yayi. Tidak benar menjatuhkan keputusan kepada seorang terdakwa tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk membela diri. Kalau sudah terbukti kesalahannya, barulah dijatuhi hukuman, itupun harus sesuai dengan peraturan, bukan hantam-kromo dibunuh dan dibasmi begitu saja."
"Akan tetapi buktinya sudah jelas kakanda! Buktinya Nurseta itu telah mencuri Sang Megatantra dan semalam berniat membunuh Pangeran Hendratama untuk menutupi rahasianya. Melihat kenyataan bahwa dia cucu Senopati Sindukerta, sudah jelas bahwa senopati itu yang menjadi dalangnya dan merencanakan pemberontakan terhadap paduka!"
Sang Prabu Erlangga menanggapinya dengan senyum.
"Itu belum menjadi bukti, yayi. Baru kesaksian Kakang Pangeran Hendratama, berarti kesaksian satu pihak saja. Karena itu, Paman Senopati Sindukerta dan cucunya perlu ditangkap dan diperiksa di sini untuk didengar keterangan mereka. Sudahlah, yayi, jangan mencampuri urusan ini karena sudah kuserahkan kepada Kakang Narotama untuk menyelesaikannya. Kakang patih, sekarang siapkanlah pasukan dan tangkaplah Paman Senopati Sindukerta dan cucunya."
Mandari hanya cemberut dan diam saja. Wanita yang cerdik ini tahu kapan ia harus bersikap diam. Kalau ia berkelanjutan membantah, tentu akan menimbulkan kecurigaan Sang Prabu Erlangga dan terutama Ki Patih Narotama yang ia takuti itu.
"Hamba- akan pergi seorang diri dan mengajak Paman Senopati Sindukerta dan cucunya menghadap paduka, gusti".
"Akan tetapi itu berbahaya sekali!"
Mandari berseru, seolah ia mengkhawatirkan keselamatan Narotama. Tentu saja semua ini memang disengaja untuk mendatangkan kesan bahwa ia adalah seorang yang setia kepada Sribaginda dan membela patihnya.
"Ah, yayi. Bahaya adalah keadaan yang sudah biasa dihadapi Kakang Narotama. Karena purba-wisesa sudah kuserahkan kepadamu, kakang Narotama, maka terserah bagaimana sekehendakmu saja."
"Terima kasih, gusti. Hamba mohon doa restu."
"Berangkatlah, kakang patih dan laksanakan dengan baik."
Narotama lalu mengundurkan diri keluar dari istana. Dia tidak ingin membawa pasukan karena hal itu tentu akan menarik perhatian orang dan menghebohkan. Dia masih tidak percaya sedikitpun bahwa Senopati Sindukerta hendak melakukan pemberontakan. Dia mengenal baik kepribadian senopati tua itu. Bahkan kalau diharuskan membuat perbandingan antara Senopati Sindukerta dan Pangeran Hendratama, dia akan lebih mempercayai senopati tua itu. Tidak ada alasan kuat untuk mendorong Senopati Sindukerta untuk memberontak dan merebut singasana. Sebaliknya, amat kuat alasannya bagi Pangeran Hendratama untuk merebut kedudukan raja. Dia adalah putera mendiang Prabu Teguh Dharmawangsa, walaupun terlahir dari seorang selir, bahkan dia putera tertua, kakak dari Puteri Sekar Kedaton yang kini menjadi permaisuri Sang Prabu Erlangga. Pangeran itu tentu merasa lebih berhak menjadi raja daripada Senopati Sindukerta yang hanya orang biasa, bukan keturunan raja.
Kunjungan Ki Patih Narotama disambut dengan sikap hormat oleh Senopati Sindukerta. Senopati tua ini amat kagum kepada dua orang yang kini menjadi pucuk pimpinan Kerajaan Kahuripan, yaitu kepada Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Dia merasa kagum dan hormat sekali karena tahu betul betapa sakti mandraguna dan bijaksana kedua orang pemimpin besar ini. Karena itu, kunjungan Ki Patih yang tidak terduga-duga itu segera disambutnya dengan penuh penghormatan.
Setelah saling memberi salam dan mempersilakan tamu agungnya duduk dalam ruangan tamu, berhadapan dengannya, Senopati Sindukerta lalu berkata dengan ramah.
"Selamat datang, Gusti Patih Narotama. Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bagi kami bahwa paduka berkenan mengunjungi kami hari ini. Entah angin baik apakah yang bertiup dan membawa paduka datang kesini?"
Ki Patih Narotama merasa rikuh sekali mendengar ucapan yang demikian ramah dari Ki Sindukerta. Diapun bersikap tenang dan sopan menghadapi senopati tua itu.
"Paman Senopati, kedatangan saya ini mengemban tugas dari istana. Saya diutus Gusti Sinuwun, Sang Prabu Erlangga untuk menemui paman. Pertama-tama saya ingin bertanya kepada paman, apakah paman mempunyai seorang cucu bernama Nurseta yang tinggal di sini bersama paman?"
Diam-Diam Ki Sindukerta terkejut. Bagaimana Ki Patih atau Sang Prabu dapat mengetahui bahwa cucunya Nurseta berada disitu? Padahal semalam Nurseta telah gagal merampas Sang Megatantra dari tangan Pangeran Hendratama karena dia ketahuan dan mendapatkan perlawanan, dikeroyok banyak pengawal? Seperti kilat memasuki pikirannya bahwa tentu Pangeran Hendratama yang melaporkan ke istana tentang penyerangan yang dilakukan Nurseta ke rumah pangeran itu.
"Benar, Gusti Patih. Memang cucu saya Nurseta tinggal dirumah kami."
Jawabnya jujur karena diapun merasa tidak perlu untuk menyembunyikan kenyataan ini, mengingat bahwa Nurseta tidak melakukan kesalahan apapun.
"Kuharap paman suka memanggil dia ke sini karena ada yang hendak kutanyakan padanya."
Kata pula Narotama dengan sikap yang masih sopan dan suaranya lembut.
Senopati Sindukerta masih bersikap tenang pula. Andaikata telah diketahui bahwa malam tadi Nurseta mendatangi rumah dan membikin ribut di sana, itupun ada alasannya yang kuat dan cucunya itu tidak bermaksud jahat atau buruk. Dia lalu membuka pintu ruangan dan memanggil seorang pelayan dan disuruhnya pelayan itu mengundang Nurseta ke ruangan itu.
Nurseta mendapat keterangan dari pelayan bahwa dia dipanggil kakeknya yang sedang bercakap-cakap dengan Ki Patih Narotama di ruangan tamu. Diam diam dia merasa heran, lalu membereskan pakaiannya agar tampak sopan karena di sana ada seorang tamu agung, yaitu Ki Patih Narotama yang nama besarnya sudah dia dengar, bahkan dulu gurunya, Empu Dewamurti pernah menyatakan kekagumannya kepada Ki Patih Narotama dan Sang Prabu Erlangga sebagai dua orang muda yang sakti mandraguna dan sekarang menjadi patih dan raja di Kahuripan yang terkenal bijaksana.
Ketika dia memasuki ruangan tamu itu, Nurseta melihat seorang laki-laki masih muda, sekitar dua puluh delapan tahun usianya, duduk di atas kursi berhadapan dengan kakeknya yang bersikap sopan kepada tamunya itu. Laki-laki itu bertubuh tinggi, berwajah tampan dan pakaiannya bersih dan bagus, akan tetapi tidak terlalu mewah. Sepasang matanya mencorong penuh kewibawaan ketika memandang kepadanya. Kalau orang ini Ki Patih Narotama, alangkah sederhananya bagi seorang patih besar yang terkenal, pikir Nurseta kagum. Demi menjaga kesopanan, diapun bersikap seolah olah belum mengenal tamu itu dan menghampiri kakeknya, bertanya dengan halus.
"Eyang memanggil saya, apakah gerangan yang dapat saya lakukan untuk eyang?"
"Nurseta cucuku, kita mendapat kehormatan menerima kunjungan seorang tamu dan beliau ini adalah Gusti Patih Narotama."
Nurseta lalu bersembah simpuh di depan Ki Patih Narotama.
"Hampa Nurseta menghaturkan hormat kepada paduka, Gusti Patih."
Sejak tadi Narotama mengamati pemuda yang memasuki ruangan itu dengan sinar mata kagum. Pemuda itu bertubuh sedang, kulitnya agak gelap, wajah dan sikapnya amat sederhana seperti seorang pemuda petani biasa, juga pakaiannya bersih namun sederhana. Akan tetapi sepasang mata itu mempunyai sinar yang amat tajam dan dari sinar matanya saja Narotama dapat melihat bahwa pemuda itu memiliki kekuatan batin yang hebat, juga mulutnya terhias senyum ramah dan penuh pengertian. Baru melihat sepintas saja sudah timbul perasaan suka dalam hati Narotama dan dia semakin ragu akan kebenaran cerita Pangeran Hendratama yang didengarnya dari Sang Prabu Erlangga.
Melihat pemuda itu memberi sembah sungkem, Ki Patih Narotama cepat berkata.
"Cukup, duduklah di kursi, Nurseta. Aku datang sebagai tamu dan andika adalah tuan rumah, tidak perlu menggunakan segala upacara yang membuat percakapan kita tidak leluasa. Duduklah di kursi itu!"
Narotama menunjuk kepada sebuah kursi kosong di dekat tempat duduk Ki Sindukerta.
"Duduklah, Nurseta. Gusti Patih sudah memberi perkenan."
Kata pula kakeknya. Nurseta lalu menyembah.
"Terima kasih, gusti patih."
Dia lalu bangkit dan duduk di atas kursi itu dengan sikap menunggu. Di dalam hatinya dia merasa bahwa kedatangan Ki Patih Narotama ini tentu membawa urusan penting dan kalau dia tidak keliru sangka, mungkin sekali ada hubungannya dengan peristiwa tadi malam di rumah gedung Pangeran Hendratama. Semenjak dia datang di kota raja, hanya peristiwa semalam itulah kiranya yang dapat menimbulkan urusan.
Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo