Keris Pusaka Sang Megatantra 20
Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo Bagian 20
"Nurseta, aku mendengar bahwa andika adalah cucu Paman Senopati Sindukerta. Benarkah itu?"
Tanya sang patih.
"Benar, gusti patih. Eyang senopati adalah ayah dari ibu hamba"
"Cocok sekali kalau begitu. Sekarang sebuah pertanyaan lagi dan aku minta agar andika menjawab sejujurnya. Apakah keris pusaka Sang Megatantra ada padamu?"
Setelah mengeluarkan pertanyaan ini sepasang mata Narotama menatap tajam penuh selidik sehingga Nurseta merasa seolah-olah sepasang mata itu menembus dan menjenguk isi hatinya. Akan tetapi dengan tenang dia menjawab.
"Tidak, gusti patih. Memang hamba pernah menemukan Sang Megatantra dan menaati perintah mendiang eyang guru, hamba hendak menghaturkan pusaka itu kepada Gusti Sinuwun yang berhak atas pusaka itu, akan tetapi dalam perjalanan hamba, Sang Megatantra dicuri orang."
K i Patih Narotama mengerutkan alisnya.
"Hemm, siapa yang mencuri Sang Megatantra?"
"Yang mencurinya adalah Pangeran Hendratama, gusti."
Ki Patih Narotama mengangguk-angguk, dalam hatinya merasa heran. Pangeran Hendratama melaporkan kepada Sang Prabu Erlangga bahwa dia menemukan Sang Megatantra akan tetapi keris pusaka itu dicuri Nurseta. Sebaliknya Nurseta mengaku bahwa dialah penemunya dan pusaka itu dicuri Pangeran Hendratama!
"Nurseta, siapa gurumu?"
"Guru hamba mendiang Eyang Empu Dewamurti."
"Eyang Dewamurti? Mendiang? Jadi..... beliau telah wafat?"
Ki Patih Narotama bertanya. Dia mengenal sang empu sebagai seorang tokoh tua yang selain sakti mandraguna, juga setia kepada Mataram dan berbudi luhur.
"Benar, gusti. Eyang guru dikeroyok oleh para datuk dari Wengker, Wura wuri, dan Kerajaan Siluman Laut Kidul. Para pengeroyok dapat dikalahkan dan melarikan diri, akan tetapi eyang guru terluka parah dan meninggal dunia."
Kembali Narotama mengangguk-angguk. Pemuda sederhana ini murid Sang Empu Dewamurti, menurut perasaan hatinya pemuda ini lebih dapat dipercaya daripada Pangeran Hendratama! Akan tetapi dia tidak berani mendahului keputusan Sang Prabu Erlangga, maka dia lalu berkata kepada Senopati Sindukerta.
"Paman senopati, seperti saya katakan tadi, kedatangan saya ini diutus Sang Prabu Erlangga. Saya ditugaskan untuk membawa paman dan Nurseta menghadap sang prabu sekarang juga."
Nurseta cepat berkata.
"Maaf, gusti patih! Kalau penangkapan ini ada hubungannya dengan penyerangan ke rumah Pangeran Hendratama, maka hambalah yang bertanggung jawab sepenuhnya. Hamba pelaku tunggalnya dan eyang senopati sama sekali tidak tersangkut. Tangkaplah hamba, hamba tidak akan melawan. Akan tetapi kalau paduka hendak menangkap eyang, maaf, terpaksa hamba mencegah paduka!"
Setelah berkata demikian, Nurseta bangkit berdiri dan menentang pandang mata Ki Patih Narotama dengan sepasang mata yang mencorong. Bibirnya tersenyum. Pemuda ini benar-benar memiliki watak ksatrya, berani menentangnya untuk membela eyangnya yang memang tidak berdosa. Sikap yang mengagumkan dan gagah perkasa sehingga membuat dia ingin sekali mengukur sampai di mana kesaktian pemuda ini yang menjadi murid Sang Empu Dewamurti.
"Nurseta, sambutlah ini!"
Ki Patih Narotama juga bangkit berdiri dan tiba tiba tangan kanannya didorongkan ke arah pemuda itu. Dia mempergunakan pukulan jarah jauh dengan Aji Hasta Dibya yang mengandung tenaga sakti yang amat kuat.
Nurseta maklum akan hebatnya serangan jarak jauh itu, maka diapun cepat mengerahkan tenaga saktinya, menyalurkan ke arah kedua tangannya yang didorongkan ke depan untuk menyambut serangan ki patih itu.
"Syuuuuttt ..... blaarrr ....."
Hebat bukan main pertemuan dua tenaga sakti itu. Dahsyat dan menggetarkan seluruh ruangan. Nurseta terdorong mundur satu depa. Narotama memandang kagum dan dia mengangguk-angguk. Dia sendiri merasa dirinya terguncang keras ketika tenaga saktinya bertemu dengan tenaga Nurseta. Walaupun pemuda itu terdorong mundur satu depa, namun kedua kakinya tidak pernah terangkat dari lantai, hanya tergeser ke belakang dan meninggalkan bekas pijakan kaki yang dalam dan panjang pada lantai? Hal ini membuktikan betapa kokoh pasangan kuda-kuda Nurseta, dan dalam hal tenaga
(Lanjut ke Jilid 22)
Keris Pusaka Sang Megatantra (seri ke 01 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 22
sakti, pemuda itu hanya kalah setingkat dibandingkan tenaganya.
"Nurseta, jangan menentang perintah Gusti Sinuwun! Aku dipanggil dan harus menghadap. Hentikan perlawananmu!"
Bentak Senopati Sindukerta.
"Maafkan hamba, gusti patih!"
Kata Nurseta sambil memberi hormat dengan sembah kepada Narotama.
Narotama tersenyum.
"Nurseta, engkau tidak mengecewakan menjadi murid mendiang eyang Dewamurti. Marilah paman senopati dan engkau, Nurseta, kalian ikuti denganku menghadap gusti sinuwun."
Setelah berganti pakaian dan berpamit kepada keluarganya, Senopati Sindukerta dan Nurseta berangkat, ikut Ki Patih Narotama ke istana.
Puterl Mandari tentu saja ikut panik mendengar cerita Pangeran Hendratama yang terancam oleh Nurseta, cucu Senopati Sindukerta. Ia harus cepat membantu Pangeran Hendratama yang menjadi sekutunya. Setelah memperhitungkan dan mengatur siasat, selir yang cantik dan cerdik ini segera berkunjung kepada madunya, yaitu Permaisuri Pertama yang masih terhitung adik tiri dari Pangeran Hendratama, sama-sama anak dari mendiang Sang Prabu Teguh Dharmawangsa.
Sang permaisuri yang sebetulnya diam diam merasa tidak suka kepada Mandari, menerimanya dengan sikap dingin. Di dalam hati permaisuri ini, ada perasaan curiga dan tidak percaya kepada Mandari, walaupun perasaan ini disimpannya saja di dalam hati karena iapun memaklumi bahwa suaminya, Sang Prabu Erlangga, amat sayang kepada selir yang cantik menggairahkan ini.
"Eh, diajeng Mandari, apa yang membawa andika berkunjung sepagi ini?"
Sang permaisuri menyambut dengan senyum sambil memberi isyarat kepada biyung emban (inang pengasuh) untuk membawa Pangeran Samarawijaya yang kini berusia kurang lebih tiga tahun itu masuk ke dalam. Hati permaisuri ini masih tetap tidak merasa tenang kalau puteranya berdekatan dengan selir suaminya ini.
Mandari tersenyum manis.
"Ayunda permaisuri, saya datang membawa kabar yang amat mengejutkan dan amat penting untuk paduka ketahui."
Karena merasa dirinya juga puteri raja, maka Mandari tidak mau menyebut permaisuri itu dengan sebutan gusti seperti para selir lainnya dan menyebut ayunda atau kakang-mbok.
Sang permaisuri mengerutkah alisnya, bersikap waspada karena memang dalam hatinya sudah mempunyai perasaan curiga dan tidak percaya.
"Kabar apakah itu yang begitu penting dan mengejutkan?"
Tanyanya tenang.
"Apakah paduka sudah mendengar tentang peristiwa kemarin malam yang menimpa Rakanda Pangeran Hendratama dan hampir saja merenggut nyawanya?"
Sekali ini permaisuri itu benar-benar terkejut. Pangeran Hendratama adalah kakaknya, seayah berlainan ibu. Kalau ia beribu permaisuri dan menjadi puteri mahkota, Pangeran Hendratama lahir lebih dulu dari selir ayahnya. Maka, mendengar kakak tirinya terancam bahaya ia terkejut sekali.
"Apa yang terjadi dengan kakanda Pangeran Hendratama?"
"Ah, jadi paduka benar-benar belum mendengarnya? Rakanda Pangeran Hendratama nyaris tewas kemarin malam, gedungnya diserbu seorang yang bernama Nurseta."
"Siapa itu Nurseta?"
"Nurseta itu cucu Senopati Sindukerta yang dulu pernah memberontak dan dicopot kedudukannya oleh mendiang Ramanda Prabu Teguh Dharmawangsa, akan tetapi telah diangkat kembali menjadi senopati oleh Gusti Sinuwun. Agaknya Senopati Sindukerta yang mendalangi usaha pembunuhan itu karena dia rupanya hendak pemberontak lagi, didukung oleh cucunya yang kabarnya sakti mandraguna."
"Akan tetapi mengapa Paman Senopati Sindukerta berusaha membunuh Rakanda Pangeran Hendratama?"
"Begini ceritanya, ayunda. Semula Rakanda pangeran menemukan keris pusaka Megatantra dan dia hendak menyerahkan keris pusaka keturunan Mataram itu kepada Kanjeng Sinuwun. Akan tetapi dalam perjalanan ke sini, pusaka Megatantra itu dicuri oleh Nurseta. Karena keris pusaka itu mengandung wahyu mahkota, agaknya Senopati Sindukerta hendak mempergunakannya untuk mengangkat diri menjadi raja dan memberontak kepada Kanjeng Sinuwun. Dan oleh karena rahasia keris pusaka itu, yang dicuri oleh Nurseta, diketahui oleh Rakanda Pangeran Hendratama, maka Nurseta berusaha untuk membunuhnya! Kalau Nurseta dan Senopati Sindukerta tidak cepat ditangkap dan dihukum, keselamatan Rakanda Pangeran Hendratama terancam, juga Kerajaan Kahuripan terancam pemberontakan."
"Wah, kalau begitu berbahaya sekali!"
Sang permaisuri berseru dengan wajah khawatir.
"Memang amat berbahaya, ayunda. Akan tetapi saya khawatir Sang Prabu tidak akan mengambil tindakan keras karena agaknya beliau percaya kepada senopati tua yang pandai bermuka manis dan menjilat itu. Karena saya khawatir sekali, maka pagi ini saya menghadap agar dapat berusaha supaya Nurseta dan Senopati Sindukerta ditangkap dan dihukum mati!"
Sang permaisuri mengangguk-angguk.
"Aku akan segera mengingatkan Sang Prabu!"
Setelah Mandari pamit dan mundur, Sang Permaisuri segera menemui Sang Prabu Ertangga. Dengan wajah gelisah Sang Permaisuri lalu mohon kepada suaminya agar melindungi Pangeran Hendratama dan menghukum Nurseta dan Senopati Sindukerta yang mengancam keselamatan Pangeran Hendratama dan mempunyai niat hendak memberontak. Sang Prabu Erlangga bersikap tenang dan tersenyum mendengar permintaan permaisurinya.
"Jangan khawatir, yayi. Aku sedang memanggil Paman Senopati Sindukerta dan cucunya yang bernama Nurseta itu. Akan kuselidiki dengan seksama dan kalau memang benar tuduhan Itu, pasti mereka akan menerima hukuman berat."
"Karena urusan ini menyangkut diri Rakanda Pangeran Hendratama maka dalam persidangan nanti hamba mohon hadir, Rakanda Prabu."
Permaisuri itu menuntut.
Sang Prabu Erlangga menyanggupi. Dia menyadari bahwa sesungguhnya, mahkota kerajaan Kahuripan yang menjadi keturunan kerajaan Mataram adalah hak permaisurinya ini sebagai putera pertama dari permaisuri Sang Prabu Teguh Dharmawangsa. Hanya karena dia menjadi suami sang puteri itu, maka kini dia diangkat menjadi raja Kahuripan. Karena itu, permintaan yang pantas dari permaisurinya ini tentu saja tak dapat ditolaknya.
Pada keesokan harinya, Ki Patih Narotama menghadapkan Senopati Sindukerta dan Nurseta ke persidangan istana. Persidangan itu dihadiri oleh para pejabat tinggi dan hal ini memang disengaja oleh Sang Prabu Erlangga. Dia menghendaki agar persidangan itu dilakukan secara terbuka dan seadil-adilnya, maka dia memberi kesemapatan kepada para senapati dan pamong-praja yang berkedudukan tinggi untuk turut menyaksikan. Tentu saja Sang Permaisuri juga hadir, ditemani oleh Puteri Mandari. Permaisuri ke dua, yaitu puteri dari Sriwijaya dan selir pertama Dyah Untari, dan para selir lain, tidak menghadiri karena selain mereka tidak diperintahkan hadir, juga urusan itu tidak ada hubungannya dengan mereka.
Setelah memasuki persidangan, Senopati Sindukerto dan Nurseta duduk bersila di atas lantai dan menghaturkan sembah, ditonton oleh semua pejabat tinggi yang hadir. Sepasang mata Sang Prabu Erlangga yang tajam mencorong itu ditujukan kepada Nurseta dan seperti juga yang dirasakan Ki Patih Narotama pada pertemuan pertama, hati Sang Prabu Erlangga tertarik dan timbul rasa suka kepada pemuda sederhana yang tampan itu.
Di antara para pejabat tinggi yang hadir di persidangan itu, terdapat Pangeran Hendratama dan tiga orang selirnya yang cantik dan muda belia, yaitu Sukarti, Kenangasari, dan Widarti. Ketika melihat Nurseta menghadap, wajah Pangeran Hendratama berubah merah sekali dan sinar matanya berapi-api.
Juga Sukarti dan Kenangasari memandang dengan alis berkerut dan sinar mata niembenci. Hanya Widarti yang menundukkan mukanya setelah memandang kepada Nurseta dan beberapa detik bertemu pandang dengan pemuda itu. Jantung dalam dada selir termuda dari Pangeran Hendratama ini berdebar dan la merasa bersalah terhadap Nurseta dan malu. Tidak seperti para ponggawa yang duduk bersila di atas lantai, Pangeran Hendratama duduk di kursi. Bagaimanapun juga, dia adalah kakak tiri Sang Permaisuri, maka tentu saja mendapat penghargaan sebagai saudara tua. Setelah menerima penghormatan semua yang hadir, Ki Patih Narotama memberi laporan.
"Gusti Sinuwun, hamba telah memanggil dan menghadapkan Paman Senopati Sindukerta dan cucunya seperti yang paduka perintahkan."
Sang Prabu Erlangga mengangguk sambil tersenyum kepada patihnya.
"Terima kasih, kakang Patih Narotama."
Lalu Sribaginda memandang kepada Senopati Sindukerta.
"Paman Senopati Sindukerta, kami minta andika memperkenalkan cucu andika ini."
Senopati Sindukerta menghaturkan sembah lalu berkata.
"Gusti Sinuwun, pemuda ini adalah cucu hamba bernama Nurseta. Dia baru beberapa hari datang berkunjung. Cucu hamba ini adalah anak dari puteri hamba Endang Sawitri yang pergi meninggalkan rumah hamba sejak dua puluh tahun yang lalu dan sampai sekarang tidak pernah pulang."
Sang Prabu Erlangga kini memandang kepada Nurseta.
"He, orang muda, benarkah namamu Nurseta?"
Nurseta menyembah dan menjawab, suaranya tenang dan tegas, sedikitpun tidak tampak takut atau gugup.
"Betul, kanjeng gusti sinuwun!"
"Nurseta, jawablah dengan sejujurnya. Benarkah pada tiga hari yang lalu, malam-malam engkau berkunjung ke rumah Kakang Pangeran Hendratama secara menggelap?"
Kembali Nurseta menjawab dengan mantap.
"Sesungguhnya benar begitu, gusti!"
Semua orang tertegun mendengar pengakuan yang mantap itu dan suasana mulai tegang. Bukan main beraninya anak ini, pikir para pejabat tinggi yang sudah tua.
"Dan engkau datang dengan niat untuk membunuh Kakang Pangeran Hendratama?"
Sekali ini Nurseta menyembah lagi dan menjawab lantang.
"Itu tidak benar, gusti!"
"Hemm, lalu mau apa engkau datang ke rumah orang malam-malam dengan cara menggelap kalau tidak berniat membunuh Kakang Pangeran Hendratama?"
"Hamba berkunjung malam-malam kesana dengan niat untuk merampas kembali keris pusaka Megatantra yang hamba temukan kemudian dicuri oleh Pangeran Hendratama, gusti."
"Bohong besar!"
Tiba-tiba Pangeran Hendratama berteriak.
"Dia malah yang mencuri keris pusaka Megatantra dari hamba, Yayi Prabu. Tiga orang selir hamba ini yang menjadi saksi. Betul tidak, Sukarti, Kenangasari, dan Widarti?"
Sukarti dan Kenangsari cepat menjawab.
"Betul sekali, hamba menjadi saksinya bahwa pusaka itu dicuri oleh Nurseta!"
Sementara itu Widarti hanya ikut menyembah, akan tetapi tidak berkata apa-apa dan hal ini tidak kentara karena dua orang rekannya sudah menjawab berbareng.
"Nurseta, maling kecil kau! Kembalikan pusakaku itu!"
Teriak Pangeran Hendratama.
Sang Prabu Erlangga mengerutkan alisnya dan memandang Pangeran Hendratama lalu berkata, suaranya tegas berwibawa.
"Kakang Pangeran! Ini merupakan persidangan di istana! Tak seorangpun boleh membuka suara sebelum ditanya! Mengertikah andika?"
Pangeran Hendratama membungkuk dan duduk tegak kembali di kursinya.
"Mengerti, Yayi Prabu. Maaf!"
Sang Prabu Erlangga memandang kembali kepada Nurseta yang masih duduk bersila dengan tenang dan menundukkan muka dengan tertib dan sopan.
"Nurseta, ceritakan apa yang terjadi dengan keris pusaka Megatantra."
Nurseta menceritakan dengan suara tenang dan tegas, didengarkan oleh semua orang dengan penuh perhatian.
"Gusti Sinuwun, penemuan keris itu terjadi kurang lebih enam tahun yang lalu. Ketika hamba mencangkul kebun di dusun Karang Tirta, dekat Pantai Laut Kidul, hamba menemukan sebatang keris dalam tanah. Hamba lalu membawa keris itu kepada Eyang Empu Dewamurti, seorang pertapa yang hamba kenal di pantai. Beliau yang menerangkan bahwa keris itu adalah Pusaka Sang Megatantra buatan Sang Empu Bramakendali di jaman Medang Kamulan, pusaka yang kemudian menjadi milik Kerajaan Mataram dan hilang puluhan tahun lalu."
Pada saat itu, dua orang yang pakaiannya paling sederhana di antara para ponggawa dan duduknya di sudut, saling berbisik. Mereka adalah dua orang ponokawan (hamba) yang dahulu selalu mengikuti Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama sebelum keduanya menjadi raja dan patih, ketika masih berkelana dari Bali-dwipa ke Jawa-dwipa. Dua orang hamba pengasuh yang amat setia dan amat dipercaya oleh sang prabu walaupun mereka tetap menjadi pamong pribadi sang raja. Mereka bernama Bancak, berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi kecil, kurus dengan mata sipit, dan yang kedua, bernama Doyok, usianya lebih muda sedikit, bertubuh gendut pendek dengan suara besar parau seperti menangis, berbibir tebal. Karena dua orang ini amat setia, juga dalam kesederhanaan dan kebodohan mereka seperti orang-orang dusun terkandung kebijaksanaan dan kejujuran, maka Sang Prabu Erlangga amat sayang dan percaya kepada mereka. Ketika Nurseta bercerita tentang keris pusaka Sang Megatantra, keduanya saling berbisik. Hal ini tampak oleh Sang Prabu Erlangga. Dia mengangkat tangan memberi isyarat kepada Nurseta untuk menunda ceritanya lalu berkata kepada dua orang hamba setia itu.
"Paman Bancak dan Doyok, agaknya andika berdua hendak mengatakan sesuatu! Nah, katakanlah sekarang juga!"
Bancak dan Doyok saling sikut seperti saling menyalahkan dan saling minta agar rekannya bicara. Akhirnya Doyok yang lebih muda menjawab, suaranya seperti katak buduk.
"Ampunkan hamba berdua, gusti. Hamba berdua ingin mengatakan bahwa Sang Empu Dewamurti dapat dihadirkan sebagai saksi, maka akan terbukti siapa benar siapa salah karena hamba berdua sudah mendengar bahwa Sang Empu Dewamurti adalah seorang pertapa yang bijaksana dan tidak mungkin berdusta."
Semua orang mengangguk-angguk mendengar usul yang memang tepat sekali itu. Juga Sang Prabu Erlangga mengangguk-angguk, lalu berkata kepada Nurseta.
"Nurseta, dapatkah engkau mengundang Eyang Empu Dewamurti sebagai saksi akan kebenaran keteranganmu tadi?"
"Ampun, gusti. Lebih setahun yang lalu, Eyang Empu Oewamurti didatangi Resi Bajrasakti dari Wengker, Ratu Mayang Gupita dari Kerajaan Siluman Laut Kidul, dan tiga orang Kalamuka dari Wura-wuri yang mendengar tentang Sang Megatantra dan bermaksud merebutnya mengeroyok Eyang Empu sehingga eyang yang sudah sepuh itu terluka dan meninggal dunia."
Sang Prabu Erlangga menghela napas panjang. Di mana-mana, orang dari kerajaan-kerajaan kecil itu memang selalu bertindak sesat dan jahat.
"Kalau begitu, lanjutkan ceritamu Nurseta."
"Hamba diambil murid mendiang Eyang Empu Dewamurti sampai lima tahun lamanya. Pada saat beliau akan wafat, beliau memesan kepada hamba agar hamba membawa pusaka Sang Megatantra keKahuripan dan menyerahkan kepada paduka yang berhak sebagai pemiliknya. Dalam perjalanan menuju ke sini, hamba bertemu dengan Pangeran Hendratama dan tiga orang selirnya yang saat ini hadir di sini. Hamba diterima dengan ramah dan disambut dengan pesta. Karena percaya, hamba menceritakan tentang Sang Megatantra. Pangeran Hendratama melihat keris pusaka itu dan berjanji akan membuatkan gagang dan warangka yang sesuai. Hamba percaya dan menyerahkannya. Akan tetapi ketika keris itu dikembalikan kepada hamba dengan gagang dan warangka baru, dia lalu pergi dengan tergesa-gesa. Setelah dia pergi, baru hamba ketahui bahwa keris pusaka Megatantra yang dikembalikan kepada hamba itu palsu. Yang aseli tentu saja sudah dibawa lari."
"Bohong .....!"
Kata Pangeran Hendratama.
"Kakang Pangeran!"
Sang Prabu Erlangga membentak dan pangeran itu diam, tak berani melanjutkan kata-katanya.
"Belum tiba giliran andika untuk bicara!"
Sang Prabu Erlangga lalu berkata kepada Nurseta.
"Nurseta, lanjutkan ceritamu."
"Sendika (menaati), gusti. Untuk mencari keterangan tentang orang tua hamba, hamba mendapatkan jejak yang membawa hamba mengunjungi Eyang Senopati Sindukerta. Sungguh tidak hamba sangka sebelumnya bahwa beliau ini ternyata adalah eyang hamba sendiril Pertemuan yang membahagiakan hati hamba. Dari eyang hamba mendengar bahwa Pangeran Hendratama telah pindah ke kota raja. Karena itu, kemarin dulu malam hamba mencoba untuk memasuki gedungnya untuk merampas kembali pusaka Sang Megatantra yang akan hamba haturkan kepada paduka sesuai pesan mendiang Eyang Empu Dewamurti. Akan tetapi hamba tidak berhasil karena Pangeran Hendratama mempunyai banyak jagoan yang menjaga rumahnya. Demikianlah, hamba kembali ke rumah Eyang Senopati dan hari ini hamba dipanggil menghadap paduka oleh Gusti Patih Narotama."
Sang Prabu Erlangga mengangguk-angguk. Tentu saja sebagai seorang raja yang bijaksana dia tidak mau menerima dan percaya begitu saja akan keterangan Nurseta itu. Dia lalu memandang Senopati Sindukerta.
"Paman senopati, benarkah keterangan yang diberikan cucumu Nurseta tadi?"
"Hamba berani bersumpah bahwa apa yang dia haturkan itu semua benar, gusti."
Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Akan tetapi kami mendengar bahwa engkau, didukung cucumu ini, ingin memberontak dan merebut tahta kerajaan kami, mengandalkan wahyu mahkota dari Sang Megatantra. Benarkah itu?"
Sepasang mata Senopati Sindukerta terbelalak dan dia menggeleng kepala kuat-kuat.
"Ampun beribu ampun, gusti! Tidak sekali-kali hamba berani memberontak terhadap paduka! Keris pusaka Sang Megatantra itu tidak ada pada hamba, juga tidak dibawa cucu hamba Nurseta, akan tetapi dicuri orang seperti yang diceritakan cucu hamba tadi. Hamba, berani bersumpah, demi para dewata yang agung, hamba berdua cucu hamba hanya bicara sebenarnya, gusti."
Kini Sang Prabu Erlangga memandang kepada Pangeran Hendratama, lalu berkata.
"Nah, Kakang Pangeran Hendratama, sekarang tiba giliran andika untuk bicara. Keteranganmu tentang Sang Megatantra sungguh bertolak belakang dengan keterangan Nurseta dan Paman Senopati Sindukerta. Andika menceritakan bahwa Nurseta yang mencuri Sang Megatantra dari tanganmu, sebaliknya Nurseta menceritakan bahwa andika yang mencuri Sang Megatantra dari tangannya, Nah, bagaimana tanggapanmu tentang cerita mereka itu?"
Pangeran Hendratama bangkit berdiri dan melotot memandang ke arah Nurseta dan kakeknya, mukanya merah padam dan dia membentak marah.
"Senopati Sindukerta, dan engkau Nurseta Jangan memutar-balikkan kenyataan Mana mungkin aku, seorang pangeran, mencuri? Engkau adalah bocah dusun, tidak heran kalau engkau mencuri pusaka! Dan aku adalah kakang ipar Sang Prabu, mana mungkin aku menyembunyikan pusaka Sang Megatantra? Aku hendak menyerahkan kepada Sang Prabu, akan tetapi kaucuri. Kalau engkau, Ki Sindukerta, tentu mungkin saja hendak memberontak dan ingin menjadi raja, mengandalkan pusaka Sang Megatantra yang berada di tanganmu dan mengandalkan kesaktian cucumu ini! Pantas saja engkau menyuruh cucumu ini malam-malam untuk mencoba membunuhku karena hanya akulah yang mengetahui akan rahasiamu. Betul tidak? Mengaku sajalah, Sindukerta dan Nurseta, daripada kalian disiksa -agar mengaku!"
"Cukup, Kakang Pangeran. Aku yang bertanya kepada andika dan belum andika jawab. Tidak perlu kakang marah-marah. Jawablah pertanyaanku, bagaimana pendapat atau tanggapanmu akan cerita Nurseta dan Paman Sindukerta tadi?"
"Mereka jelas bohong, Yayi Prabu! Mereka sengaja memutar balikkan fakta. Karena itu, keputusannya berada ditangan paduka, ataukah paduka lebih percaya kepada bocah dusun dan kakeknya yang dulu pernah dipecat mendiang Ramanda Prabu Teguh Dharmawangsa!"
Sang permaisuri yang duduk di sebelah kiri Sang Prabu Erlangga berkata lirih kepada suaminya.
"Sungguh aneh kalau Rakanda Prabu tidak percaya kepada kakak hamba Pangeran Hendratama yang mempunyai tiga orang saksi dan lebih percaya kepada dua orang ini."
Sang Prabu Erlangga menjadi serba salah. Membenarkan Pangeran Hendratama dia meragu karena dalam lubuk hatinya, dia percaya bahwa Nurseta dan Senopati Sindukerta tidak berbohong. Akan tetapi untuk membenarkan mereka berarti dia menyalahkan Pangeran Hendratama dan hal ini akan membuat permaisurinya tak senang dan marah. Dengan alis berkerut Sang Prabu Erlangga lalu berkata lantang, didengarkan semua orang dengan penuh perhatian dan hati tegang.
"Oleh karena kedua pihak memberi keterangan yang saling bertentangan, dan kami belum melihat bukti siapa yang benar dan siapa salah, maka kami mengambil keputusan begini: Untuk sementara Paman Senopati Sindukerta dan cucunya, Nurseta, ditahan dalam penjara dan kami menugaskan Kakang Patih Narotama untuk melakukan penyelidikan sehingga mendapatkan bukti siapa yang benar dan siapa yang salah diantara kedua pihak!"
Pangeran Hendratama dan beberapa orang pamong yang menjadi sekutunya, merasa kecewa dengan keputusan yang hanya merupakan penundaan keputusan yang pasti itu. Juga sang permaisuri mengerutkan alisnya, akan tetapi ia diam saja karena bagaimanapun juga, keputusan Sang Prabu Erlangga itu condong menguntungkan Pangeran Hendratama dan merugikan Senopati Sindukerta dan cucunya yang ditahan dalam penjara. Akan tetapi para pejabat tinggi lainnya mengangguk-angguk dan menganggap keputusan itu bijaksana dan adil.
Senopati Sindukerta dan Nurseta lalu diiringkan empat orang pengawal, dibawa ke penjara istana yang berada di belakang bangunan istana.
Dengan hati kesal Sang Prabu Erlangga lalu membubarkan persidangan. Ki Patih Narotama pulang ke kepatihan dengan hati berat. Dia hampir merasa yakin bahwa Nurseta dan Senopati Sindukerta tidak berbohong. Pantasnya Pangeran Hendratama yang berbohong. Akan tetapi menyelidiki dan mencari kesalahan pangeran itu, hatinya merasa tidak enak terhadap Permaisuri Pertama yang tentu saja berpihak kepada pangeran kakaknya itu.
Pangeran Hendratama dan tiga orang selirnya juga pulang. Hatinya risau karena ternyata kenyataan dalam persidangan itu tidak seperti yang dia harapkan. Nurseta dan Senopati Sindukerta tidak dijatuhi hukuman berat, melainkan hanya ditahan untuk sementara dan Ki Patih Narotama ditugaskan untuk menyelidiki siapa yang benar dan siap yang salah. Tentu saja hatinya risau. Kalau sampai dapat dibuktikan bahwa dia mencuri Sang Megatantra, pasti dia akan mendapatkan hukuman berat dari adik tirinya, Sang Permaisuri tidak akan mampu menyelamatkannya. Pula, dia tahu benar bahwa sebetulnya tidak ada hubungan dekat antara dia dan Sang Permaisuri, bahkan di antara mereka ada rasa tidak suka yang timbal balik. Dia merasa iri dan tidak suka kepada adik tirinya itu dan tentu saja di lain pihak, Sang Permaisuri juga tidak suka kepadanya. Kalau Sang Permaisuri membelanya dalam persidangan, hal itu adalah karena bagaimanapun juga dia adalah kakaknya dan kalau kakaknya dinyatakan bersalah, tentu adiknya akan ikut merasa malu.
Sementara itu, setelah persidangan usai, Sang Prabu Erlangga lalu mengeram diri dalam sanggar pamujan (ruangan berdoa) untuk duduk bersamadhi dan mohon petunjuk kepada Sang Hyang Widhi dan mohon agar kerajaan Kahuripan terbebas dari ancaman bahaya seperti yang pernah diramalkan oleh Empu Bharada.
Narotama memikul tugas yang cukup berat. Untuk menyelidiki kebenaran keterangan Nurseta, dia harus pergi ke dusun Karang Tirta di mana pemuda itu dahulu tinggal dan menemukan Sang Megatantra, juga dia akan menyelidiki tempat yang dulu dijadikan tempat pertapaan mendiang Empu Dewamurti. Narotama tahu bahwa Empu Dewamurti adalah kakak seperguruan Empu Bharada yang amat dihormati Sang Prabu Erlangga dan dia sendiri. Kalau Nurseta merupakan murid Sang Empu Dewamurti, tentu dia telah menerima gemblengan batin dari gurunya yang arif dan bijaksana itu. Maka dia lalu berpamit kepada kedua isterinya, Listyarini dan Lasmini, bahwa kepergiannya sekali ini akan makan waktu yang agak lama, mungkin sampai sebulan baru dia akan kembali.
Setelah Narotama pergi, Lasmini merasa kesepian. Puteri Kerajaan Parang Siluman ini adalah seorang yang telah terjatuh ke dalam kekuasaan nafsu-nafsunya. Cintanya terhadap suaminya, Ki Patih Narotama, hanyalah cinta yang didasari nafsu berahi. Karena itu, baru ditinggal pergi Narotama selama beberapa hari saja. ia sudah gelisah dan kesepian sekali, haus akan belaian suaminya. Pada saat dan keadaan seperti itu, mulailah ia mencurahkan perhatiannya kepada tukang kebunnya, yang bukan lain adalah Linggajaya pemuda tampan, ganteng dan sakti, yang juga diam-diam menjadi sekutunya karena pemuda itu adalah utusan Kerajaan Wengker.
Pada suatu senja yang tidak cerah karena langit mengandung awan hitam biang hujan, terkadang tampak sinar berkilat dalam mendung tebal disusul bunyi Guntur bergemuruh, Lasmini memasuki taman bunga kepatihan yang luas dan penuh tanaman beraneka ragam kembang itu. Dalam kesepiannya, ia teringat akan Linggajaya dan ingin melihat apa yang dilakukan pemuda yang menyamar sebagai tukang kebun itu.
Ketika ia tiba di padang rumput dekat pondok kecil di tengah taman, ia melihat pemuda itu sedang berlatih silat. Ia berhenti melangkah dan menonton dari jauh. Linggajaya bertelanjang dada sehingga tampak tubuhnya yang tegap, dadanya yang bidang dan tampak penuh dengan tenaga. Kedua tangan yang bergerak-gerak tangkas itu menimbulkan angin yang mengeluarkan bunyi bersiutan. Alangkah gagahnya, alangkah gantengnya, pikir Lasmini dan timbul kegembiraannya bercampur gairahnya. Ia lalu melompat dan berlari menghampiri.
"Mari kita latihan!"
Katanya dan langsung saja ia menyerang pemuda itu.
Linggajaya girang melihat munculnya wanita cantik ini dan dia cepat menangkis lalu membalas. Mereka segera saling serang dengan cepat dan kuat. Tubuh mereka berkelebatan. Setelah menjadi selir Narotama, Lasmini memperoleh kemajuan banyak sekali dalam ilmu silat, juga tenaga saktinya bertambah setelah mendapat petunjuk Narotama bagaimana untuk menghimpun tenaga sakti.
Namun, karena kedua orang itu bertanding hanya untuk latihan, seperti pasangan yang menari-nari, tentu saja mereka membatasi tenaga dan menjaga agar tidak saling melukai. Karena sering lengan mereka beradu dan melihat betapa dekatnya wanita cantik itu sehingga dia dapat mencium keharuman melati yang melekat di tubuh Lasmini, Linggajaya seperti dibakar gairah nafsunya sendiri. Demikian pula Lasmini. Tiba-tiba Lasmini kehilangan bayangan Linggajaya yang menggunakan Aji Panglimutan, yang membuat tubuhnya sejenak tidak tampak. Lasmini tahu ilmu apa yang dipergunakan Linggajaya. Kalau ia mau, dengan pengerahan tenaga saktinya mengeluarkan teriakan melengking, ia akan mampu membuyarkan Aji Panglimutan itu. Akan tetapi ia tidak mau melakukannya, khawatir kalau-kalau teriakan melengking itu akan menarik perhatian orang. Pula, ia ingin melihat apa yang akan dilakukan pemuda yang menarik hatinya itu. Tiba-tiba dua lengan yang kuat memeluknya dari belakang. Hidung dan bibir yang hangat menempel pada lehernya yang membuat ia menggelijang.
"Ihh, sembrono....., jangan di sini..... lepaskan!"
Mulutnya berkata demikian akan tetapi ia tidak meronta agar lepas dari pelukan hangat itu.
"Lalu di mana, sayang?"
Tanya Linggajaya berbisik di dekat telinga Lasmini.
".....di kamarku..... malam ini..... lewat jendela.....I"
Kata Lasmini dengan hati menggetar karena gairah berahi.
Mendengar jawaban ini, Linggajaya girang sekali dan dia melepaskan pelukannya dari belakang. Lasmini lalu berlari lari meninggalkannya. Linggajaya tertawa. Dia tahu bahwa sudah lima hari lamanya Narotama meninggalkan kepatihan. Saat seperti yang dijanjikan Lasmini tadilah yang dinanti-nantinya, yang membuat dia bertahan menjadi tukang kebun di kepatihan itu. Kalau tidak ada harapan itu, dia tidak akan sudi menyamar sebagai tukang kebun!
Lasmini mandi dan hatinya bergetar. Ia masih perawan ketika menjadi isteri Narotama dan sejak itu, ia tidak pernah berdekatan dengan pria lain. Sekarang inilah pertama kalinya ia hendak menyeleweng dengan laki-laki lain, maka hatinya penuh ketegangan, juga kegembiraan yang membuat jantungnya berdebar-debar.
Seperti sudah dapat diduga sejak sore, malam itu gelap dan mendung menjadi semakin tebal. Suasana di gedung kepatihan sepi sekali. Semua penghuni rumah itu merasa lebih senang tinggal di dalam kamar masing-masing. Apalagi Ki Patih Narotama tidak berada di rumah. Bahkan para perajurit pengawal yang berjaga di pintu gerbang kepatihan merasa lebih aman tinggal di gardu penjagaan.
Lasmini sejak tadi sudah berada dalam kamarnya. Pintu kamarnya sudah ditutup dan dipalangi dari dalam, akan tetapi daun jendela kamarnya hanya dirapatkan begitu saja, tidak dipalang. Dan di luar kamar duduk seorang wanita bertubuh tinggi besar berwajah buruk berusia sekitar empat puluh dua tahun. Ia adalah Sarti, pelayan pribadi, kepercayaan Lasmini yang dulu dibawanya dari Kerajaan Parang Siluman ketika ia menjadi selir Narotama. Pelayan ini bertugas untuk menjaga agar kamar Lasmini malam itu tidak mendapat gangguan. Tentu saja Sarti tahu bahwa majikannya malam itu hendak langen asmara (bermain cinta) dengan Linggajaya!
Lasmini duduk . menanti di tepi pembaringannya. Kamar yang indah itu harum semerbak melati, kesukaannya. Ia mengenakan pakaian tipis. Di atas meja terdapat lampu kecil yang memberi penerangan remang-remang. Setelah menanti dengan hati tegang sejak senja tadi, tiba - tiba daun jendela terbuka dan bayangan tubuh Linggajaya melompat masuk melalui lubang jendela. Dengan tenang Linggajaya menutupkan kembali daun jendela dan memalangnya. Lalu dia memutar tubuh memandang ke arah Lasmini.
Wanita ini bangkit berdiri. Dua buah kakinya gemetar ketika ia melangkah perlahan menghampiri pemuda itu. Tanpa berkata-kata, keduanya saling menghampiri dan entah siapa yang memulai, keduanya sudah melekat dalam rangkulan yang ketat. Linggajaya memondong tubuh itu dalam pelukannya, melingkari tubuh itu dengan kedua lengannya yang kokoh kuat membawanya ke pembaringan yang seolah sudah menggapai dan mengajak mereka.
Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Seolah-olah iblis setan bekasakan merestui perjinaan yang dilakukan dua orang manusia yang sudah menjadi permainan nafsu mereka sendiri. Lasmini bagaikan seekor ikan yang tadinya menggelepar di darat, kini mendapatkan air sehingga ia dapat berenang-renang sepuas hatinya. Nafsu berani adalah satu di antara nafsu yang paling mulia karena melalui nafsu ini suami isteri mencurahkan cinta mereka yang paling mendalam, yang mendorong pasangan itu bukan hanya ingin bersatu raga akan tetapi juga bersatu jiwa. Bahkan melalui nafsu berahi ini terjadilah perkembang-biakan manusia sehingga nafsu ini merupakan anugerah Sang Hyang Widhi yang paling penting, paling indah, dan paling mulia.
Akan tetapi, seperti juga semua nafsu yang amat bermanfaat bagi kehidupan manusia didunia ini maka nafsu diikut-sertakan manusia sejak lahir, nafsu akan menjadi penyeret manusia ke lembah dosa. Kalau nafsu tetap dalamfungsinya semula, yaitu sebagai hamba yang baik dan bermanfaat, taat kepada kita selaku majikan , jinak dibawah kendali etika, kehormataan dan peradaban, maka nafsu merupakan anugerah. Akan tetapi sebaliknya, kalau nafsu berahi menjadi majikan, liar tak terkendalikan, dan kita sebaliknya yang diiperhamba, maka nafsu akan menimbulkan malapetaka. Nafsu berahi akan menyeret kita dan menimbulkan perbuatan sesat seperti perkosaan, perjinaan, pelacuran dan sebagainya.
Dua orang yang menjadi hamba nafsu itu berpesta ria di malam hujan yang dingin itu. Dan perbuatan yang dilakukan sebagai pemuasan nafsu itu selalu menuntut pengulangan dan pengulangan untuk kemudian menimbulkan kebosanan. Pagi-pagi sekali Linggajaya meninggalkan Lasmini, keluar dari kamar melalui jendela. Dan kesempatan selagi Narotama tidak berada di rumah itu dimanfaatkan oleh dua orang yang mabuk berahi untuk mengulangi perbuatan mereka. Setiap malam Linggajaya berada di kamar Lasmini.
Beberapa hari kemudian, setelah gelombang nafsu berahi yang menguasai diri mereka agak reda, keduanya teringat akan keadaan dan tugas, lalu di sela-sela permainan asmara itu mereka mulai berunding.
Lasmini menceritakan tentang peristiwa yang terjadi di istana Sang Prabu Erlangga, yaitu tentang persidangan di istana untuk memeriksa perkara antara Pangeran Hendratama melawan Senopati Sindukerta dan cucunya, Nurseta. Mereka rebah berdampingan di atas pembaringan, di antara bantal-bantal.
"Kita harus membantu Pangeran Hendratama. Dia merupakan sekutu kita yang penting karena dengan bantuannya, lebih besar kemungkinan menjatuhkan Sang Prabu Erlangga. Aku mendengar bahwa Pangeran Hendratama terancam oleh pemuda yang bernama Nurseta itu, yang kabarnya sakti mandraguna."
Linggajaya mengerutkan alisnya. Tentu saja dia mengenal Nurseta, bahkan pernah bertanding melawannya ketika Nurseta menyerbu rumah Ki Lurah Suramenggala, ayahnya dan dia harus mengakui bahwa Nurseta merupakan lawan berat. Kalau ketika itu tidak muncul Puspa Dewi yang menjadi anak tiri ayahnya dan yang membantunya melawan Nurseta, dia tentu akan kalah.
"Aku tahu siapa itu Nurseta. Sebetulnya dia sedusun dengan aku, bahkan pernah bekerja sebagai kuli pada ayahku yang menjadi lurah di dusun Karang Tirta. Dia menjadi sakti karena diambil murid mendiang Empu Dewamurti."
"Sekarang Nurseta dan kakeknya, Senopati Sindukerta, untuk sementara di tahan di dalam penjara istana. Sang Prabu Erlangga kini mengutus Ki Patih Narotama untuk menyelidiki siapa yang benar antara Pangeran Hendratama dan Nurseta dalam hal menemukan Sang Megatantra dan siapa di antara mereka yang mencurinya."
"Tentu saja yang menemukan adalah Nurseta. Aku sendiri mengetahui hal itu, dan yang mencurinya tentu Pangeran Hendratama."
Kata Linggajaya tidak begitu acuh.
Ada tubuh mulus wajah cantik di dekatnya, bagaimana mungkin dia dapat bergairah memikirkan hal lain? Dia memeluk lagi, akan tetapi Lasmini menolak dengan lembut, mendorongkan tangannya.
"Ih, dengarkan dulu, kita bicara penting ini!"
Tegurnya.
"Aku juga sudah menduga demikian. Akan tetapi karena itu kita harus membantu Pangeran Hendratama. Dengan Sang Megatantra di tangannya, dia dapat mempengaruhi para pamong praja yang tinggi kedudukannya, untuk memihak kepadanya yang mempunyai wahyu mahkota."
"Bagaimana kita dapat membantunya?"
Tanya Linggajaya penuh perhatian kini karena dia teringat akan tugas mereka untuk bersekutu dan menjatuhkan Kerajaan Kahuripan.
"Begini, kita harus dapat membunuh Nurseta dan Sindukerta dalam penjara. Akan tetapi sebelumnya, kita tunggu kedatangan Ki Patih Narotama. Kalau dia menemukan hal-hal yang memberatkan Pangeran Hendratama, sebelum dia dapat bertindak lebih jauh, kita..... bunuh saja Ki Patih Narotama!"
Linggajaya terkejut dan bangkit duduk, menatap wajah cantik yang masih ada titik-titik keringat seperti embun di dahinya. Dia mengusap dahi halus itu menghilangkan keringatnya.
"Membunuh ..... suamimu??"
Lasmini juga bangkit duduk.
"Husssh, aku menjadi selirnya hanya untuk dapat membunuhnya. Ingat?"
"Ya-ya ..... akan tetapi K i Patih Narotama itu sakti mandraguna. Bagaimana mungkin dapat mengalahkan dan membunuhnya?"
Lasmini merangkul pemuda itu.
"Linggajaya, kalau kita berdua maju bersama mengeroyoknya, kukira kita akan dapat mengalahkan dan membunuhnya. Asal engkau mau membantuku dan bersungguh-sungguh. Ingat, kalau dia mati, hubungan kita akan dapat berlanjut tanpa sembunyi-sembunyi lagi, kan?"
Linggajaya balas merangkul.
"Baiklah, Lasmini. Kalau engkau yang minta, pasti kuturuti. Betapa sukar dan beratnya, aku akan membantumu sekuat tenaga. Engkau benar, betapapun saktinya dia, kalau kita maju bersama, kurasa tidak mungkin kita akan kalah.'
Demikianlah, dua orang yang tidak merasa bahwa mereka telah melakukan perbuatan yang kotor dan hina itu melanjutkan hubungan gelap mereka. Tidak ada seorangpun di antara para penghuni gedung kepatihan yang menyangka, apalagi tahu akan hubungan gelap itu, kecuali, tentu saja Sarti pelayan setia dari Lasmini itu. Mereka menanti kembalinya Ki Patih Narotama dan Lasmini juga sering mengadakan kontak rahasia dengan para sekutunya.
KARENA Ki Patih Narotama tidak berada di rumah, kesempatan Ini dipergunakan Lasmini bukan saja untuk mengumbar nafsu bejatnya, akan tetapi Juga ia menjadi leluasa untuk mengadakan kunjungan ke istana raja untuk bertemu dan berunding dengan Mandari.
Pada suatu hari Lasmini berkunjung kepada adiknya, Mandari di istana keputren. Mereka berdua mempergunakan kesempatan itu untuk pergi berburu binatang hutan bersama. Tentu saja ini hanya alasan. Sebenarnya mereka berkunjung ke hutan di mana akan diadakan pertemuan rapat antara mereka yang bersekutu memusuhi Sang Prabu Erlangga.
Kita tinggalkan dulu dua orang puteri yang tiada hentinya berusaha untuk menghancurkan kekuasaan Sang Prabu Erlangga itu dan kita ikut perjalanan Ki Patih Narotama yang hendak menyelidiki tentang keris pusaka Sang Megatantra, siapa sesungguhnya yang menemukan dan siapa pula yang mencurinya agar dapat diketahui siapa yang kini menguasainya.
Ki Patih Narotata melakukan perjalanan seorang diri menuju dusun Karang Tirta. Dalam perjalanan ini, tidak ada yang mengenalnya karena seperti biasa kalau melakukan tugas penyelidikan seorang diri, Narotama tidak mengenakan pakaian kebesaran, menunggang kereta atau kuda dan dikawal sepasukan perajurit seperti seorang patih. Dia melakukan perjalanan menunggang kuda dengan pakaian biasa sehingga orang akan mengira bahwa dia hanya seorang laki-laki gagah berusia sekitar tiga puluh dua tahun dengan pakaian biasa, sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia seorang bangsawan.
Setelah tiba di dusun Karang Tirta, Narotama segera bertanya-tanya dimana dan siapa yang menjadi lurah dusun itu. Dia mendapat keterangan bahwa lurahnya adalah Ki Suramenggala. Karena hari masih pagi dan dia ingin berkunjung kepada lurah itu dalam keadaan menyamar sebagai orang biasa, maka dia hendak menunggu sampai saat yang pantas untuk berkunjung ke rumah orang.
Ketika dia melewati sebuah rumah sederhana dan seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun tampak menyapu daun-daun kering di halaman rumah yang ditumbuhi pohon nangka, Narotama menghentikan kudanya, lalu menuntun kuda memasuki halaman rumah itu. Pemilik rumah yang sedang menyapu itu menghentikan kegiatannya dan memandang Narotama dengan heran karena dia merasa tidak mengenal tamu yang memasuki halaman rumahnya sambil menuntun kuda itu. Sebagai seorang dusun yang sederhana dan miskin, dalam anggapannya, kalau orang sudah memiliki seekor kuda dan pakaiannya juga tidak seperti petani biasa walaupun pakaian itu tidak mewah, tentu seorang priyayi atau seorang kota yang derajatnya lebih tinggi daripada penduduk dusun. Maka orang itu melepaskan sapunya dan menyambut kedatangan Narotama dengan sikap hormat dan membungkuk-bungkuk. Melihat sikap orang itu, Narotama cepat memberi salam dengan suara lembut dan sikap ramah.
"Permisi, paman, maafkan kalau saya mengganggu kesibukan paman."
Orang itu tersenyum polos, agaknya senang melihat sikap dan mendengar kata-kata yang lembut dan ramah itu.
"Ah, tidak, denmas, sama sekali tidak mengganggu. Ada keperluan apakah, denmas, maka andika sudi berkunjung ke gubuk saya ini?"
"Nanti dulu, paman. Sebelumnya saya ingin mengetahui, apakah paman sudah lama tinggal di dusun Karang Tirta ini?"
"Wah, sudah lama sekali, denmas. Sejak muda bersama isteri saya, sampai isteri saya meninggal..... hemm, berapa lama, ya? Pergantian lurah sudah tiga kali, yang terakhir sampai sekarang lurahnya Ki Suramenggala, sudah hamper dua puluh tahun jadi lurah di sini. Dan sebelum itu ..... hemm, paling tidak sudah tiga puluh tahun saya tinggal di dusun ini."
Girang rasa hati Narotama.
"Kalau begitu, saya berhadapan dengan orang yang tepat, paman. Perkenalkan, nama saya..... Tama dan saya datang dari kota raja. Saya ingin bertanya kepada paman tentang keadaan dusun ini belasan tahun yang lalu."
"Wah, dengan senang hati, denmas Tama. Mari, silakan masuk, kita bicara di dalam."
Narotama menambatkan kudanya pada batang pohon, lalu berkata,
"Terima kasih, paman ....."
"Wirodipo nama saya, denmas. Mari silakan."
Mereka memasuki pondok sederhana dan Narotama dipersilakan duduk di atas bangku. Mereka duduk berhadapan terhalang sebuah meja yang kasar buatannya. Narotama melihat betapa isi rumah itupun amat sederhana, namun cukup bersih.
"Nah, denmas Tama, tanyakan apa saja yang andika ingin ketahui. Saya akan menceritakan apa yang saya tahu,."
"Sebelumnya, terima kasih banyak, paman Wirodipo Saya ingin bertanya tentang diri seorang yang dulu tinggal di dusun ini, yang bernama Nurseta. Apakah paman mengenalnya?"
Wirodipo mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. Lalu matanya bersinar, wajahnya menjadi cerah.
"Ah ....., dia? Tentu saja saya tahu, bahkan belum lama ini dia membikin geger dusun ini!"
Tentu saja Narotama menjadi tertarik sekali.
"Cenitakan tentang dia, paman. Saya ingin sekali mengetahuinya."
"Saya tidak mengenal baik orang tuanya, hanya tahu bahwa ayahnya bernama Dharmaguna dan isterinya yang cantik, saya lupa lagi namanya. Mereka tinggal di sini beberapa tahun, akan tetapi pada suatu hari suami isteri itu meninggalkan Nurseta begitu saja, entah ke mana. Kalau tidak salah ketika itu Nurseta berusia kurang lebih sepuluh tahun. Anak itu rajin, bekerja di mana saja, tadinya membantu Ki Lurah Suramenggala dan selanjutnya mencari makan dengan membantu para petani di sini. Ketika berusia belasan tahun dia menghilang. Saya tidak melihat sendiri kejadian itu, akan tetapi orang-orang menceritakan Nurseta pergi bersama seorang kakek sakti. Kabarnya, kakek itu membuat Ki Lurah Suramenggala dan anak buahnya lumpuh ketika mereka hendak memukul Nurseta dan kakek itu. Kemudian mereka berdua pergi entah ke mana."
Narotama menduga bahwa kakek yang membawa pergi Nurseta itu tentu Empu Dewamurti.
"Apakah andika mengetahui siapa kakek yang membawa pergi Nurseta itu. Paman Wirodipo?"
"Saya sendiri tidak pernah bertemu dengan kakek sakti itu, denmas. Akan tetapi ada beberapa orang yang pernah bertemu dan mereka mengatakan bahwa kakek itu adalah seorang sakti yang bertapa di tepi pantai Laut Kidul dan pernah menolong orang-orang yang sakit dengan memberi jamu yang mujarab sekali."
"Apakah andika pernah mendengar bahwa Nurseta itu telah menemukan sebatang keris pusaka yang disebut Sang Megatantra?"
Ki Wirodipo mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala.
"Saya tidak tahu dan tidak pernah mendengarnya, denmas."
Dalam hatinya, Narotama merasa kecewa. justeru yang terpenting baginya adalah keterangan mengenai Sang Megatantra, akan tetapi kakek ini tidak mengetahuinya.
"Hemm, lalu bagaimana selanjutnya? Tadi andika mengatakan bahwa belum lama ini Nurseta membikin geger dusun ini. Apa yang telah terjadi?"
"Saya juga hanya mendengar saja cerita orang-orang, denmas. Menurut cerita mereka, Nurseta, setelah pergi kurang lebih lima tahun dan sekarang telah dewasa, muncul di rumah Ki Lurah Suramenggala dan kabarnya dia mengamuk, merobohkan para jagoan ki lurah, bahkan mengancam Ki Lurah Suramenggala. Kemudian muncul putera ki lurah dan juga puteri tiri ki lurah. Kedua orang muda ini setelah menghilang kurang lebih lima tahun juga pulang dan telah menjadi orang-orang sakti. Nurseta dikeroyok oleh Denmas Linggajaya dan Masayu Puspa Dewi sehingga melarikan diri."
"Siapa nama anak-anak Ki Lurah Suramenggala itu?"
"Denmas Linggajaya adalah anak kandung ki lurah, sedangkan Masayu Puspa Dewi adalah anak tirinya."
Narotama termenung, diam-diam dia merasa heran. Dia pernah bertemu dengan Puspa Dewi, gadis yang mengaku sebagal murid Nyi Dewi Durgakumala dan yang menyerangnya karena perintah gurunya, akan tetapi dia dapat menyadarkan gadis itu yang dia tahu dasarnya tidak jahat. Dan Ki Patih Narotama semakin heran mendengar nama Linggajaya. Tadinya dia hanya merasa seperti pernah mendengar nama ini. Kemudian setelah teringat, dia terkejut. Bukankah juru taman kepatihan yang baru itu, yang diusulkan oleh Lasmini dan katanya pemuda itu saudara misan Sarti pelayan Lasmini, juga bernama Linggajaya? Kalau benar demikian, msngapa putera seorang lurah, juga yang menurut Ki Wirodipo telah menjadi seorang pemuda sakti, mau menjadi tukang kebun? Tentu saja timbul kecurigaan dalam hatinya. Apakah yang tersembunyi di balik semua itu? Dia teringat Puspa Dewi.
Gadis itu memusuhinya karena terpaksa untuk mentaati pesan gurunya, Nyi Dewi Durgakumala yang memang memusuhinya dan memusuhi Kahuripan. Lalu apa yang mendorong Linggajaya menyusup ke kepatihan? Mereka berdua itu anak-anak Ki Lurah Sura menggala! Dia harus menyelidiki keadaan lurah itu. Mungkin di sana dia akan menemukan jawabannya.
"Terima kasih, paman. Keteranganmu itu amat berguna bagi saya. Sekarang saya ingin bertanya tentang keluarga Ki Lurah Suramenggala itu, yaitu tentang anak-anaknya."
"Anak kandungnya hanya seorang denmas Linggajaya itulah yang sekarang sudah dewasa, sekitar dua puluh satu tahun usianya. Selain denmas Linggajaya, ki lurah juga mempunyai seorang anak tiri, yaitu Masayu Puspa Dewi, setelah ibu gadis itu, seorang janda diambil selir oleh ki lurah. Selain mereka berdua Ki Lurah Suramenggala tidak mempunyai anak lain."
"Bagaimana watak anak-anaknya itu?"
"Hemm, denmas Linggajaya itu ketika kecilnya terkenal nakal sekali, mungkin karena mengandalkan kedudukan orang tuanya. Entah sekarang setelah dewasa karena sejak pulang dan menjadi orang sakti, dia hanya sebentar berada di sini lalu pergi lagi. Adapun Masayu Puspa Dewi yang juga berasal dari dusun ini, sejak kecil wataknya baik sekali. Ibunya juga seorang janda yang lemah lembut dan baik. Setelah Masayu Puspa Dewi hilang, kabarnya diculik orang, ibunya diambil sebagai selir oleh ki lurah. Kini Masayu Puspa Dewi juga telah menjadi seorang gadis sakti dan saya tidak tahu bagaimana wataknya sekarang."
Narotama mengangguk-angguk. Puspa Dewi masih menjadi seorang gadis yang baik budi, walaupun ia menjadi murid seorang datuk wanita yang sesat.
"Dan bagaimana dengan Nurseta sendiri? Ketika dia masih tinggal di sini, bagaimana wataknya?"
"Wah, kalau dia anaknya rajin dan baik, denmas. Semua orang di dusun ini menyukainya. Bayangkan, dia pernah membantu saya mengerjakan ladang saya dan karena tahu bahwa saya bukan orang kaya, dia sudah puas hanya mendapatkan makan sebagai upahnya. Dia tidak mengharapkan upah lainnya lagi."
Narotama mengangguk-angguk. Seorang pemuda dengan watak sebaik itu tidak mungkin mencuri keris pusaka Sang Megatantra!
"Terima kasih, Paman Wirodipo. Sekarang saya hendak menitipkan kuda saya di sini, apakah andika tidak keberatan? Nanti kalau sudah selesai urusan saya, saya akan mengambilnya."
"O, tentu saja, denmas. Biar di halaman depan, nanti akan saya beri rumput dan minum."
(Lanjut ke Jilid 23)
Keris Pusaka Sang Megatantra (seri ke 01 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 23
Setelah mengucapkan terima kasih, Narotana lalu meninggalkan rumah Ki Wirodipo dengan jalan kaki. Ki Wirodipo memang tidak dapat memberi keterangan sedikitpun juga tentang Sang Megatantra, akan tetapi mungkin di rumah Ki Lurah Suramenggala dia akan bisa mendapatkan keterangan tentang keris pusaka itu. mudah saja bagi Narotama untuk menemukan rumah Ki Lurah Suramenggala.
Rumah itu tampak mencolok karena berbeda jauh dari rumah-rumah lain. Tampak besar dan megah untuk ukuran dusun Itu. Di dekat pintu gerbang pagar tembok yang mengelilingi gedung itu, terdapat lima orang penjaga keamanan yang bertubuh tegap dan berwajah bengis. Diam-diam Narotama merasa heran. Kalau rumah seorang lurah dusun dijaga orang-orang yang lagaknya seperti tukang pukul ini, hal itu hanya menunjukkan bahwa hubungan antara lurah itu dan penghuni dusun tidak akrab. Seorang lurah diharapkan untuk menjadi bapak dari rakyatnya yang mengatur dan melayani rakyatnya, menjadi panutan dan sumber pertolongan. Bukan menjadi penguasa yang galak; sewenang-wenang, yang ditakuti rakyat dan yang memelihara para tukang pukul untuk menakut nakuti rakyat dan untuk memaksakan kehendaknya sebagai penguasa. Lurah yang begini pasti bukan lurah yang baik. Dari keadaan di pintu gerbang kelurahan ini saja Narotama sudah dapat menilai lurah macam apa adanya Ki Suramenggala!
Dengan langkah tenang Narotama memasuki pintu gerbang kelurahan itu. Baru saja kakinya melangkahi ambang pintu, seorang penjaga keluar dari gardu penjagaan dan membentaknya.
"Hei, berhenti! Siapa engkau yang begini lancing memasuki tempat ini tanpa melapor lebih dulu kepada kami?"
Narotama memandang penjaga yang tubuhnya besar perutnya gendut itu, melihat betapa orang yang usianya sekitar empat puluh tahun itu memandang kepadanya dengan mata melotot lebar
"Ini rumah Ki Lurah Suramenggala lurah dusun Karang Tirta ini, bukan?"
Tanyanya.
"Kiranya engkau sudah tahu? Orang asing, engkau tidak tahu aturan! Untuk masuk kelurahan, harus melapor dulu kepada kami, tahu?"
Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hemm, setahuku kelurahan adalah kantor lurah yang melayani semua keperluan penduduk dan karenanya terbuka bagi umum. Aku tidak tahu bahwa di sini aturannya lain."
"Cukup, jangan banyak rewel. Hayo masuk gardu dan membuat laporan tentang dirimu, tempat tinggalmu dan apa keperluanmu masuk ke kelurahan ini! "
Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Pedang Pusaka Thian Hong Karya Kho Ping Hoo Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo