Keris Pusaka Sang Megatantra 21
Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo Bagian 21
Bentak orang kedua yang kumisnya tebal.
Diam-diam Narotama marah, akan tetapi kebijaksanaan mengingatkannya bahwa ulah dan sikap para penjaga ini hanya merupakan pencerminan sikap sang lurah. Kalau atasannya brengsek, sukar mengharapkan bawahannya baik. Kebaikan harus dimulai dari atasan karena atasan merupakan tauladan bawahan. Kalau atasannya benar, tentu bawahan tidak akan berani bertindak melanggar kebenaran karena akan dihantam atasan. Jadi, para penjaga ini hanya mencontoh saja sikap atasannya, yaitu Ki Lurah Suramenggala.
Narotama memasuki gardu. Seorang yang bertubuh pendek gendut, kepalanya botak, bertanya sambil lalu dan pandang matanya merendahkan.
"Siapa namamu?"
"Nama saya Tama."
"Dari mana?"
"Dari kota raja."
Si gendut itu memandang dengan alis berkerut dan sinar mata menyelidik ketika mendengar bahwa orang itu datang dari kota raja.
"Mau apa engkau datang ke sini?"
"Aku ingin bertemu dan bicara dengan Ki Lurah Suramenggala."
"Bicara tentang apa?"
Narotama menggeleng kepalanya.
"Tidak ada urusannya dengan kalian, hanya Ki Lurah Suramenggala yang berhak mendengar apa yang akan kubicarakan."
"Huh! Tidak ada orang boleh menghadap yang mulia Bapak Lurah sebelum melaporkan apa yang akan dibicarakan kepada kami!"
Bentak si gendut pendek kepada Narotama.
"Juga engkau harus membayar biaya laporan ini. Hayo keluarkan berapa uang yang kau miliki dan serahkan kepada kami!"
Kata yang berkumis tebal.
Narotama mengambil sebuah kantung dari pinggangnya dan membuka kantung yang berisi beberapa potong emas itu. Lima orang itu terbelalak.
"Serahkan itu kepada kami dan kami akan melaporkan kedatanganmu kepada Bapak Lurah!"
Kata si gendut sambil bangkit berdiri dan menjulurkan tangan untuk merampas kantung di tangan Narotama itu. Narotama cepat menyimpan kembali kantungnya lalu berkata.
"Kalau begitu biar aku langsung masuk saja menemui Ki Lurah Suramenggala "
Dia melangkah keluar dari gardu dan menuju ke pendapa kelurahan.
"Hei, keparat! Kawan-kawan, tangkap dia!"
Bentak si pendek gendut kepada empat orang rekannya.
Mereka berhamburan keluar mengejar Narotama. Ki Patih Narotama yang sudah kehilangan kesabarannya, berhenti melangkah dan memutar tubuh menghadapi lima orang yang menyerbu dan menerjang hendak menangkap dan meringkusnya itu. Kedua tangan Narotama bergerak seperti kilat menyambar lima kali dan tubuh lima orang itu berpusing lalu roboh terbanting ke atas tanah. Masih untung bagi mereka karena Narotama membatasi tenaganya sehingga mereka hanya menderita pipi bengkak dan gigi rontok saja.
Akan tetapi dasar orang-orang kasar yang biasanya mengagulkan diri sendiri dengan keroyokan, lima orang itu bangkit dan mencabut senjata mereka dari pinggang, yaitu golok yang tajam mengkilap. Bagaikan lima ekor anjing mereka melompat dan menggerakkan golok mereka membacok ke arah tubuh Narotama. Narotama mendahului gerakan mereka. Kakinya mencuat dan lima kali kedua kakinya secara bergantian menendang. Kini tubuh lima orang itu terpental dan jatuh berdebuk di atas tanah. Sekali ini mereka dihantam tenaga yang lebih kuat lagi sehingga sejenak mereka tidak mampu bangkit, hanya mengaduh-aduh dengan kepala pening dan dada sesak.
Suara gaduh di luar itu memancing munculnya Ki Suramenggala dengan tujuh orang pengawal lain. Dia terkejut sekali melihat seorang pemuda berdiri di tengah halaman dan lima orang anak buahnya bergelimpangan tidak mampu bangkit. Segera dia dapat menduga apa yang terjadi. Tentu lima orang penjaga itu berkelahi melawan pemuda itu dan dirobohkan. Ki Suramenggala yang juga sudah terbiasa ditakuti dan ditaati orang, melihat bahwa pemuda itu hanya seorang biasa berusia tiga puluh tahun lebih, menjadi marah dan memandang rendah. Dia berseru kepada tujuh orang pengawalnya.
"Tangkap pengacau itu atau bunuh dia!"
Tujuh orang itu mencabut golok masing-masing. Mereka tidak perlu bertanya-tanya lagi. Perintah Ki Lurah Suramenggala sudah jelas. Pengacau harus dibunuh! Maka, mereka bertujuh segera berlompatan ke depan dan mengepung Narotama. Ternyata mereka adalah pengawal-pengawal pribadi ki lurah yang tentu saja lebih tangguh dibandingkan lima orang penjaga tadi. Mereka bergerak mengitari Narotama dengan gerak silat, kemudian dikomando yang diisyarat kan pemimpin mereka, tujuh orang itu serentak menyerang!
Untung bagi tujuh orang itu bahwa Narotama sudah memiliki tenaga batin yang amat kuat sehingga dia mampu mengatasi kemarahannya dengan mengingat bahwa mereka itu hanya memenuhi perintah ki lurah. Menghadapi serangan yang sesungguhnya amat berbahaya bagi orang lain itu, Narotama segera mengerahkan tenaga saktinya lalu menggerakkan kedua tangan dengan tenaga mendorong sambil memutar tubuhnya. Hebat sekali dorongan kedua tangan yang mengandung tenaga sakti amat kuat itu. Tujuh orang penyerang itu terpental ke belakang dan terjengkang sehingga terbanting kuat. Mereka roboh dan tidak dapat segera bangkit kembali karena kepala terasa pening dan napas menjadi sesak!
Melihat ini, Ki Lurah Suramenggala terkejut bukan main dan dia masih hendak menggertak seperti yang sudah biasa dia lakukan kepada para penduduk dusun
"Heh, penjahat dari mana engkau, berani membikin kacau di kelurahan? Sikapmu Ini berarti pemberontakan terhadap pamong praja!"
Narotama marah sekali. Dengan sekali lompat dia sudah tiba dekat sang lurah, lalu menangkap tubuh lurah itu dengan tangan kanan, mengangkatnya ke atas dengan ringan saja lalu membantingnya.
"Bresss .....!!"
Ki Lurah Suramenggala mengaduh, pinggulnya terasa nyeri sekali karena terbanting ke atas lantai dan dia mencoba untuk merangkak bangun sambil berteriak-teriak,
"Tolooongg ..... toloongg ..... perampok .....!!"
Narotama menjadi semakin marah. Dicengkeramnya tengkuk baju Ki Lurah Suramenggala dan ditariknya sehingga berdiri. Dasar lurah yang terbiasa menindas dan merendahkan orang lain, mengandalkan kekuasaan dan kekuatan yang dimilikinya, Lurah Suramenggala masih belum mau tunduk. Dia malah membentak marah.
"Awas kau, jahanam keparat! Kalau kedua anakku, Linggajaya dan Puspa Dewi pulang dan kuberitahukan kejahatanmu ini kepada mereka, lihat saja, mereka akan mencabik-cabik tubuhmu!"
Pada saat itu, tertarik oleh teriakan Ki Lurah Suramenggala, banyak penduduk dusun datang berlarian dan memenuhi halaman kelurahan. Juga isteri dan para selir lurah, termasuk Nyi Lasmi, janda Ibu kandung Puspa Dewi yang kini menjadi selir ki lurah, berlarian keluar dan terkejut melihat ki lurah dicengkeram tengkuk bajunya oleh seorang pemuda gagah.
Para tukang pukul yang tadi telah dirobohkan Narotama, sebanyak dua belas orang, juga petantang-petenteng mengepung dengan golok di tangan, seolah mereka itu menguasai keadaan dan mengancam Narotama, padahal tak seorangpun dari mereka berani menyerang orang yang mereka ketahui sakti mandraguna itu.
"Lurah Suramenggala!"
Bentak Narotama dengan suara menggeledek sehingga terdengar oleh semua orang, termasuk yang berada di jalan depan halaman rumah kelurahan itu.
"Sudah butakah matamu? Lihat baik-baik, siapa orang yang engkau perhina dengan makian makianmu tadi! Lihat, tidak kenalkah engkau kepadaku?"
Lurah Suramenggala terbelalak, mengamati wajah Narotama. Tiba-tiba wajahnya menjadi pucat sekali. Kalau tadi dia tidak mengenal Narotama, hal Itu tertutup kecongkakannya melihat laki-laki itu berpakaian seperti orang biasa. Dia sudah beberapa kali sowan (menghadapi Sribaginda) di kota raja dan beberapa kali melihat Ki Patih Narotama. Maka, setelah kini dia mendengar suara yang amat berwibawa itu dan mengamati wajah itu dengan seksama, baru dia mengenal siapa orang yang tadi dia maki maki.
"A..... aduhh..... paduka..... paduka..... Gusti Patih Narotama.....!"
Ketika Narotama melepaskan cengkeramannya Ki Lurah Suramenggala lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah-nyembah
"Ampun..... mohon beribu ampun, Gusti Patih..... hamba..... hamba tidak tahu..... bahwa paduka yang dating berkunjung ....."
Mendengar ini, semua keluarganya, juga para tukang pukul, terkejut setengah mati. Terutama para tukang pukul yang mengeroyok Narotama. Mereka semua segera menjatuhkan diri berlutut dan dua belas orang tukang pukul itu menggumamkan permohonan ampun berulang kali.
'Semua mundur, biarkan aku bicara berdua dengan Lurah Suramenggala!"
Kata Narotama dengan suara berwibawa.
Mendengar ini, semua keluarga lurah itu memasuki rumah dan dua belas orang jagoan keluar dari pendapa, lalu menyuruh semua orang yang berkerumun di halaman untuk meninggalkan tempat itu. sebentar saja pendapa rumah itu menjadi sepi, hanya tinggal Narotama yang masih berdiri tegak dan Ki Lurah Suramenggala yang masih berlutut di depannya.
"Nah, ki lurah, bangkit dan duduklah. Mari kita bicara. Ada beberapa pertanyaan yang ingin kuajukan dan kuminta anda menjawabnya dengan sejujurnya."
Kata Narotama dengan suara keren.
KI Luran Suramenggala yang sudah mati kutu itu menurut, bangkit dan mempersilakan Narotama duduk di atas kursi yang berada di pendapa itu. Dia hendak duduk bersila di atas lantai, di depan Narotama, akan tetapi ki patih itu melarangnya.
"Duduklah di kursi itu agar kita dapat bicara dengan leluasa."
Ki Suramenggala tidak berani membantah lalu duduk di atas kursi berhadapan dengan kt patih, terhalang sebuah meja marmer.
"Ki lurah, aku ingin engkau menceritakan tentang seorang yang bernama Nurseta yang pernah tinggal di dusun ini Apa yang kauketahui tentang dia?"
Diam-diam Ki Lurah Suramenggala terkejut. Kenapa ki patih tiba-tiba datang bertanya tentang Nurseta?
"Nurseta .....? Ah, tentu saja, gusti patih. Hamba tahu siapa bocah itu!"
"Hemm, begitukah?"
Narotama menatap tajam wajah lurah yang dari suaranya jelas menunjukkan rasa bencinya terhadap Nurseta.
"Ceritakan sejujurnya apa yang andika ketahui tentang dia".
"Dia itu anak pasangan suami istri yang menjadi buronan, dan ketika Nurseta berusia lima tahun, ayah ibunya melarikan diri karena ketahuan oleh Senopati Sindukerta yang mencari mereka. Nurseta ditinggalkan di dusun ini. Kalau tidak ada hamba yang memeliharanya, tentu anak itu akan kapiran dan mungkin mati kelaparan, gusti patih."
"Hemm, kenapa mereka ketakutan dan dicari Senopati Sindukerta?"
"Karena Dharmaguna, ayah Nurseta Itu, melarikan puteri Senopati Sindukerta yang menjadi ibu kandung Nurseta, dan Senopati Sindukerta mencari mereka, tentu untuk menghukum Dharmaguna yang membawa minggat puterinya."
"Lalu bagaimana dengan Nurseta?"
"Hamba memeliharanya sampai besar. Akan tetapi dasar anak buronan yang tidak mengenal budi, ketika berusia sekitar enam belas tahun dia minggat, tak seorangpun mengetahui dia pergi kemana. Kemudian, baru beberapa bulan yang lalu ini dia muncul kembali dan..... ah, dasar anak orang jahat, anak setan itu ....." ,
"Cukup! Hentikan maki-makianmu yang kotor itu dan ceritakan saja apa yang terjadi!"
Narotama membentak. Ki Lurah Suramenggala terkejut sekali dan menyembah.
"Ampun, gusti patih. Anak itu malam malam datang dan hendak membunuh hamba!"
"Hemm, aneh. Kenapa dia hendak membunuhmu?"
"Hamba juga tidak tahu. Dia bertanya kepada hamba dimana adanya orang tuanya. Hamba memang tidak tahu akan tetapi agaknya dia tidak percaya lalu marah dan hendak membunuh hamba. Untung pada saat itu ada anak-anak hamba, Linggajaya dan Puspa Dewi yang juga telah menjadi orang-orang sakti. Kedua anak hamba itu melawan Nurseta dan berhasil membuat Nurseta lari ketakutan. Itulah yang hamba ketahui tentang anak se..... eh, Nurseta itu, gusti patih." '
Narotama termenung. Omongan seorang seperti lurah ini tentu saja tidak dapat dipercaya sepenuhnya, akan tetapi setidaknya dari ceritanya itu dia dapat menilai bahwa lurah ini memang seorang yang tidak pantas menjadi seorang kepala dusun yang mementingkan kesejahteraan rakyatnya. Cerita Ki Wirodipo tentang Nurseta dan tentang keluarga Lurah Suramenggala tentu saja lebih dapat dipercaya kebenarannya.
"Sekarang ceritakan yang sejujurnya tentang keris pusaka Sang Megatantra. Apakah andika mengetahui sesuatu tentang keris pusaka itu?"
Ki Lurah Suramenggala memang belum pernah mendengar tentang keris pusaka itu. Sebetulnya Puspa Dewi mengetahuinya, akan tetapi anak tirinya itupun tidak bercerita kepadanya. Maka dia menggeleng kepalanya dan berkata dengan suara yang meyakinkan.
"Tidak, gusti. Hamba sama sekali tidak tahu dan tidak pernah mendengar tentang pusaka yang paduka sebutkan tadi."
Sekali ini Narotama percaya karena kata lurah itu sudah mengetahui, tentu diapun akan memutar-balik kebutaan dan memburukkan Nurseta, mengatakan bahwa Nurseta yang mencuri Orang seperti ini bukan saja tidak boleh dipercaya, akan tetapi yang jelas juga tidak boleh dibiarkan terus menjadi lurah di dusun Karang Tirta ini. Dia dapat membayangkan betapa lurah ini pasti hidup sebagai seorang raja kecil yang lalim di dusun ini. Bukti nyata bahwa rakyat Karang Tirta tidak mencintanya adalah ketika lurah itu tadi berteriak teriak minta tolong, ada penduduk yang berlarian datang. Akan tetapi tak seorangpun di antara mereka yang bersikap hendak membela sang lurah, melainkan hanya ingin menonton apa yang terjadi Dan ketika dia menghajar para anak buah lurah, dia melihat betapa banyak penduduk yang berada di halaman tersenyum gembira!
Pada saat itu juga Narotama sudah mengambil keputusan apa yang harus dia lakukan. Dia sudah mendapat keterangan tentang Nurseta dan dapat mengambil kesimpulan bahwa Nurseta adalah seorang pemuda yang baik. Dan agaknya di Karang Tirta ini dia tidak akan bisa mendapatkan keterangan tentang Sang Megatantra. Akan tetapi yang sudah jelas, sebagai seorang pejabat tinggi kerajaan Kahuripan, sebagai patih yang mewakili raja, dia harus bertindak terhadap seorang pamong praja yang lalim dan sewenang-wenang.
"Lurah Suramenggala, sekarang aku minta andika mengeluarkan tanda memanggil semua penduduk yang berada di dusun ini untuk datang berkumpul di sini. Cepat laksanakan!"
Karena ketakutan, sang lurah memanggil para anak buahnya dengan berteriak lantang, namun tak seorangpun anak buahnya muncul. Ternyata dua belas orang yang tadi merasa telah menghina dan mengeroyok Ki Patih Narotama, sudah melarikan diri pergi dari dusun Karang Tirta karena takut menerima hukuman berat!
Karena tidak seorangpun muncul Ki lurah Suramenggala terpaksa menghampiri sebuah kentungan yang tergantung di depan pendapa lalu menabuh kentungan Itu dengan alat pemukulnya, memberi tanda untuk mengumpulkan penduduk seperti biasanya.
Mendengar bunyi kentungan, semua penduduk Karang Tirta, tua muda, laki-laki perempuan, yang tidak sedang bekerja di ladang luar dusun, berdatangan berbondong-bondong memenuhi halaman kelurahan. Memang kebanyakan dari mereka ingin sekali melihat sang lurah di marahi Gusti Patih dan tadi mereka terpaksa pergi karena disuruh oleh para jagoan anak buah Ki Lurah Suramenggala
Ketika melihat penduduk dusun memasuki halaman dan tampaknya mereka agak takut-takut sehingga mereka berdiri bergerombol dekat pintu gerbang tidak berani terlalu mendekat pendapa.
Narotama lalu bangkit dan melangkah keluar, berdiri di tepi pendopo yang lebih tinggi daripada tanah halaman itu dan berkata sambil melambaikan tangan
"Seluruh warga dusun Karang Tirta dipersilakan maju saja semua, jangan takut. Tidak ada yang mengancam andika sekalian. Aku, Ki Patih Narotama, yang menjamin keamanan dan keselamatan andika sekalian. Hayo, maju dan mendekatlah'"
Mendengar ini, orang-orang itu yang sesungguhnya takut kepada Ki Lurah Suramenggala, menjadi gembira dan timbul keberanian mereka. Dipelopori oleh beberapa orang pemuda, mereka lalu melangkah maju sampai tiba di pendopo. Wajah mereka berseri dan memancarkan harapan agar terjadi perubahan yang baik bagi mereka dalam dusun mereka itu. sementara itu, dari ruangan dalam rumah, ketika kentungan dibunyikan bertalu-talu, para keluarga dan pelayan Kilurah Suramenggala juga bermunculan keluar dan duduk, bergerombol di atas lantai dekat pintu tembusan. Hanya seorang saja di antara para keluarga yang tidak tampak, yaitu Nyi Lasmi, ibu kandung Puspa Dewi.
Wanita ini, yang dulu diambil sebagai selir oleh Ki Lurah Suramenggala dengan bujukan dan ancaman sehingga terpaksa ia mau menjadi selir ki lurah, sebetulnya merasa tersiksa hidupnya. Ia hanya melayani ki lurah atas dasar rasa takut dan melihat sepak terjang lurah yang menjadi suaminya itu seringkali ia merasa tidak suka dan menyesal sekali. Berbagai tindakan kejam dilakukan suaminya itu terhadap penduduk Karang Tirta. Akan tetapi ia tidak mampu berbuat sesuatu. Juga perlakukan ki lurah terhadap dirinya kasar dan kejam. Baru setelah Puspa Dewi muncul, sikap ki lurah agak berbeda, tidak berani bersikap terlalu kasar, apalagi kejam kepadanya.
Dan di dalam hatinya, Nyi Lasmi juga mulai merasa tidak takut karena ia tahu bahwa suaminya itu takut kepada Puspa Dewi yang kini menjadi seorang gadis sakti. Mulailah ia sering berani membantah kehendak ki lurah. Tadi ketika melihat munculnya Ki Patih Narotama yang merobohkan para tukang pukul dan memarahi ki lurah, Nyi Lasmi merasa senang, mengharap agar kedatangan ki patih itu akan mengubah watak suaminya dan akan membela kepentingan rakyat Karang Tirta yang selama ini tertindas, dalam ketakutan dan kekurangan. Maka, ketika ki lurah memanggil semua orang lewat kentungan, diam-diam ia malah keluar dari kelurahan melalui pintu belakang dan dengan jalan memutar kini ia bergabung dengan para penduduk!
Setelah tidak ada yang datang lagi, Ki Patih Narotama mengangkat tangan ke atas dan berdiri di tepi lantai pendapa sambil mengajak ki lurah berdiri di sampingnya. Suara hiruk-pikuk orang penduduk sehingga suasananya seperti dalam pasar itu segera berhenti dan suasana penjadi sunyi. Semua orang memandang kepada ki patih.
"Warga dusun Karang Tirta sekalian! Kami, Ki Patih Narotama dalam hal ini mewakili junjungan kita Sang Prabu Erlangga ingin mengadakan perubahan di dusun Karang Tirta ini yang sesuai dengan keinginan andika sekalian. Oleh karena itu, kami akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada kalian yang hanya membutuhkan jawaban ya atau tidak, atau sekadar mengacungkan tangan, Nah, sekarang kami hendak mengajukan Pertanyaan pertama dan kami minta agar yang merasa terkena suka mengacungkan tangannya ke atas. Dengarkan baik-baik. Siapa di antara andika sekalian yang merasa tidak memiliki tanah sejengkal pun?"
Banyak sekali tangan diacungkan keatas, hampir semua. Hanya ada belasan orang yang berdiri di bagian depan yang tidak mengacungkan tangan. Melihat ini, Narotama mengerutkan alisnya dan menoleh kepada ki lurah yang tampak menundukkan mukanya yang basah oleh peluh. Narotama menggapai kepada mereka yang tidak mengacungkan tangan dan berdiri di bagian depan kelompok itu
"Apakah di antara kalian ada yang suka naik ke sini untuk memberi penjelasan kepada kami? Jangan takut kepada siapa pun, kami, Ki Patih Narotama yang menjamin keselamatanmu. Hayo, siapa yang berani menjadi wakil saudara-saudara sedusun. Maju dan naiklah!"
Mereka saling dorong dan akhirnya seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun maju dan naik anak tangga lalu memberi hormat dengan sembah kepada ki patih. Narotama melihat laki laki ini berwajah cukup terang dan tampaknya selain pemberani juga cerdas.
"Siapa nama andika?"
Tanya ki patih.
"Jawab dengan keras agar semua orang mendengar."
"Nama hamba Pujosaputro."
"Nah, ceritakanlah keadaan penduduk di Karang Tirta ini. Bagaimana sampai hamper semua orang tidak memiliki tanah garapan?"
Pujosaputro menoleh kepada Ki Lurah Suramenggala dan berkata lirih,
"Ki Lurah, maafkan kalau saya harus bercerita sejujurnya."
Kemudian dia menoleh kepada Ki Patih Narotama dan berkata dengan suara lantang.
"Dulu, hampir semua penduduk dusun kami ini mempunyai sebidang tanah, tidak terlalu luas namun hasilnya cukup untuk menghidupi keluarga masing-masing. Lalu beberapa tahun yang lalu datang musim kemarau yang panjang sekali. Tanah tidak menghasilkan apa-apa. Kami beberapa orang yang memiliki simpanan jagung dan gaplek berusaha menolong para saudara yang kekurangan makan, akan tetapi masih juga tidak mencukupi. Lalu Lurah Suramenggala yang mempunyai kelebihan uang, mendatangkan bahan makanan dari daerah lain. Semua penduduk mendapatkan bahan makanan, akan tetapi mereka harus menjual tanah mereka kepada Ki Lurah. Karena itulah maka sebagian besar di antara penduduk kini tidak mempunyai tanah lagi."
"Hemm, begitukah? Dan mereka semua lalu menggarap tanah siapa?"
"Tentu saja menggarap tanah ki lurah gusti patih, dan mereka mendapatkan upah kerja sekadarnya."
"Dan semua hasil panen masuk gudang ki lurah?"
Kembali Pujosaputro mengerling pada ki lurah yang hanya menundukkan muka, lalu menjawab,
"Benar begitu gusti."
Narotama mengangguk-angguk.
"Pujosaputro, apakah selama ini Ki Lurah Suramenggala menggunakan kekuatan para anak buahnya untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat?"
Ki Pujosaputro meragu.
"Ampun, gusti patih. Hamba tidak berani menjawab, tidak enak terhadap ki lurah. Mohon paduka tanyakan saja kepada semua penduduk."
Narotama lalu berseru kepada semua penduduk.
"Dengar, warga sekalian. Apakah selama ini Ki Lurah Suramenggala bertindak sewenang-wenang menggunakan para tukang pukulnya, memaksakan kehendaknya terhadap andika sekalian? Kalau tidak, kalian diam saja, kalau benar, angkatlah tangan ke atas."
Serentak semua orang mengangkat tangannya ke atas! Dengan hadirnya Ki Patih Narotama dan melihat Ki Lurah Suramenggala mati kutu dan para tukang pukul juga tidak ada yang muncul, orang orang itu menjadi berani, apalagi kini mereka berkumpul dan keselamatan mereka dijamin oleh Ki Patih Narotama.
"Baik, sekarang kami yakin bahwa Ki suramenggala memang bertindak sewenang-wenang kepada penghuni dusun Ini. Sekarang, apakah andika sekalian menghendaki lurah dusun ini diganti?"
Kembali semua tangan mengacung keatas. Orang-orang mulai hiruk-pikuk saling bicara sendiri dan rata-rata mereka gembira dan bersemangat. Dengan melambaikan kedua tangannya Narotama minta agar semua orang diam Dia lalu berkata kepada Ki Suramenggala suaranya lantang dan penuh wibawa.
"Ki Suramenggala, sepatutnya andika ini dihukum karena telah menyalah-gunakan wewenang sehingga andika mencemarkan nama baik semua pamong praja dan kerajaan Kahuripan. Akan tetapi kami hanya menjatuhkan hukuman agar andika sekeluarga pergi dari dusun Karang Tirta dan boleh membawa barang-barang andika. Akan tetapi, semua tanah akan di kembalikan kepada para petani dan semua hutang para petani kepada andika dihapus. Dusun ini akan mendapatkan seorang lurah lain."
"Ki Suramenggala mengangkat mukanya dan pandang matanya berkilat, sekilas menatap wajah Narotama penuh kebencian, kemudian dia menyapu para penduduk dengan kilatan matanya sehingga para penduduk menjadi gentar. Akan tetapi Narotama dengan lantang membesarkan hati para penduduk.
"Jangan andika sekalian merasa takut. Lurah baru akan membentuk pasukan keamanan terdiri dari para pemuda sehingga kalau ada yang hendak mengacaukan Karang Tirta, kalian dapat melawannya. Pula, kalau kami mendengar ada pengacau di sini, pasti kami akan datang atau mengirim senopati dengan pasukannya untuk menghukum si pengacau!"
Mendengar ucapan yang lantang dan tegas ini, Ki Lurah atau lebih tepat mantan lurah Suramenggala menundukkan mukanya dan semua orang tiba-tiba bersorak gembira. Sudah terlalu lama mereka merindukan perubahan nasib mereka yang tertindas dibawah tangan besi Ki Suramenggala. Kini, KI Suramenggala dicopot dari kedudukanya, bahkan tanah mereka yang dibeli secara paksa oleh Ki Suramenggala karena mereka membutuhkan makan di waktu paceklik, kini dikembalikan begitu saja kepada mereka. Juga mereka yang masih terikat hutang oleh Ki Suramenggala kini telah bebas! Muncul harapan baru bagaikan sinar matahari pagi di hati para penduduk.
"Nah, Ki Suramenggala, berkemaslah dengan keluargamu dan hari ini juga andika harus meninggalkan Karang Tirta."
Kata Narotama kepada mantan lurah yang mukanya berubah pucat itu.
Ki Suramenggala mengangkat muka memandang kepada Narotama dengan sinar mata berapi, penuh kebencian. Kemudian, di bawah hiruk-pikuk suara orang-orang yang saling bicara dengan gembira, dia berkata lirih dan hanya terdengar oleh Narotama, bahkan Ki Pujosaputro yang berdiri pula di tepi pendopo itu tidak mendengarnya karena dia asyik memperhatikan kegembiraan penduduk Karang Tirta.
"Ki patih, karena paduka patih dan saya lurah, maka terpaksa saya menaati keputusan paduka. Akan tetapi, harap diingat bahwa saya tidak akan melupakan penghinaan ini. Tunggulah pembalasan anak-anakku kelak!"
Setelah berkata demikian, Ki Suramenggala dengan muka berubah merah karena marah sudah meninggalkan pendapa itu dan masuk kedalam rumah, diikuti oleh semua keluarganya yang tadi duduk di lantai pendapa. Dengan hati yang sakit dan dendam, Ki Suramenggala lalu mengajak semua keluarganya, kecuali Nyi Lasmi karena selirnya ini ikut bergembira dengan penduduk dan tidak kembali lagi ke dalam rumah, untuk pergi meninggalkan gedung kelurahan melalui pintu belakang dan boyongan keluar dari dusun Karang Tirta. Barang-barang berharga mereka bawa semua dengan gerobak, juga ternak mereka, kuda dan sapi mereka bawa serta. Mereka meninggalkan gedung kelurahan dengan prabot-prabot rumahnya.
Sementara itu, Narotama melanjutkan usahanya untuk mengatur agar dusun Karang Tirta menjadi sebuah dusun yang penghuninya hidup tenteram dan tenang, tidak ada penindasan, dipimpin oleh seorang lurah yang baik dan yang membawa penduduk ke dalam kehidupan yang lebih sejahtera dan bergotong royong sebagaimana layaknya kehidupan di dusun sejak jaman nenek moyang mereka dahulu. Dia mengangkat kedua tangan minta agar semua orang diam. Setelah keadaaan menjadi tenang, Narotama bertanya
Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sekarang kami hendak bertanya, apakah kalian bersedia sekarang untuk memilih dan mengangkat seorang lurah baru. Kalau bersedia, harap angkat tangan tanda setuju!"
Semua orang mengacungkan tangan dan ada yang berteriak-teriak lantang
"Setujuuuu .....!"
"Baik, kalau andika sekalian setuju, pilihlah seorang di antara kalian untuk menjadi lurah baru di dusun ini!"
Bagaikan sekumpulan burung, terdengar mereka menyebutkan nama seseorang,
"Ki Pujosaputro .....!!"
Narotama tersenyum. Ki patih ini memiliki batin yang selalu dekat dengan Sang Hyang Widhi sehingga dia memiliki kepekaan yang amat halus. Tadi begitu melihat Ki Pujosaputro, dia sudah merasa suka kepada orang ini.
"Dengarkan semua! Kami mendengar seruan nama Ki Pujosaputro? Benarkah andika sekalian memilih Ki Pujosaputro sebagai lurah kalian yang baru? Kalau benar, acungkan tangan!"
Semua orang bersorak sambil mengacungkan tangan mereka. Ki Pujosaputro sendiri yang berdiri di pendopo segera mendekati Ki Patih Narotama dan berkata dengan muka kemerahan.
"Aduh, Gusti Patih! Hamba..... hamba seorang yang bodoh dan lemah, bagaimana mungkin dapat menjadi seorang lurah yang baik? Mohon paduka memilih lain orang saja."
Narotama tersenyum kepadanya.
"Justeru ucapan penolakanmu ini yang meyakinkan hati kami bahwa andika adalah orang yang tepat untuk menjadi lurah yang baik hati untuk dusun ini. Bukan orang pintar dan kuat yang kami butuhkan, melainkan orang yang rendah hati dan baik budi."
Narotama melihat Ki Wirodipo, orang pertama yang dia jumpai ketika memasuki dusun Karang Tirta, dan yang dia titipi kudanya, berdiri di bagian depan kelompok penduduk dusun itu. Narotama menggapai kepada Ki Wirodipo dan berkata,
"Paman Wirodipo, naiklah ke sini, kami hendak bertanya kepada andika."
Ki Wirodipo tergopoh-gopoh naik pendapa dan begitu tiba di depan Narotama dia lalu sungkem dan menyembah
"Ampunkan hamba, sama sekali hamba tidak tahu bahwa paduka adalah Gusti Patih ....."
"Bangkitlah, Paman Wirodipo dan jawab pertanyaanku dengan suara nyaring agar semua orang dapat mendengarkan. Coba ceritakan tentang keadaan diri Ki Pujosaputro ini. Andika mengenalnya bukan?"
Ki Wirodipo bangkit berdiri dan dengan muka berseri dia memandang kepada Ki Pujosaputro lalu menjawab dengan suara lantang.
"Tentu saja hamba mengenal Ki Pujosaputro. Sejak kecil dia tinggal di dusun ini dan dia adalah seorang yang mewarisi sawah ladang yang luas. Ki Pujosaputro inilah yang mengajak para penduduk yang mampu untuk membantu penduduk yang kekurangan. Kalau tidak ada Ki Pujosaputro dan teman-temannya, hamba semua tentu semakin payah di bawah tekanan Ki Suramenggala. Karena itulah, Gusti Patih, maka hamba sekalian memilih Ki Pujosaputro untuk menjadi lurah Karang Tirta yang baru."
Narotama lalu menghadapi Ki Pujosaputro dan berkata.
"Ki Pujosaputro, kami harap andika tidak menolak lagi karena andika telah dipilih oleh semua penduduk Karang Tirta."
"Ampun, Gusti Patih, bagaimana hamba dapat melaksanakannya?"
"Itu dapat diatur nanti, kami akan memberi petunjuk."
Setelah berkata demikian dan melihat Ki Pujosaputro tidak memperlihatkan sikap menolak lagi, Narotama lalu menghadapi para penduduk dan berkata dengan lantang.
"Kami sebagai Patih Kahuripan mewakili Gusti Sinuwun mengangkat Ki Pujosaputro sebagai lurah dusun Karang Tirta, sesuai dengan keinginan semua penduduknya. Semua pengembalian tanah kepada pemiliknya dahulu akan diatur dengan tertib oleh Ki Lurah Pujosaputro .yang akan dibantu oleh Ki Wirodipo dan para pembantu lain yang akan dipilih dan ditunjuk oleh Ki Lurah Pujosaputro. Sekarang, andika sekalian harap kembali ke pekerjaan masing masing."
Orang-orang itu bersorak sorai dan berlarian meninggalkan halaman kelurahan itu. Halaman itu sebentar saja kosong dan hanya tinggal seorang yang tinggal situ, seorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh tujuh tahun dan wanita itu mendeprok di atas tanah sambil menangis
"Ki Lurah Pujosaputro, siapakah wanita itu? Kenapa ia menangis dan tinggal di sana?"
K i Pujosaputro dan Ki Wirodipo memandang dan Ki Pujosaputro berkata,
"Ia adalah Nyi Lasmi yang sudah beberapa tahun ini menjadi selir Ki Suramengga, gusti. Hamba juga tidak tahu mengapa ia menangis."
"Selir Ki Suramenggala? Kenapa ia tidak ikut pergi bersama Ki Suramenggala? Coba panggil ia ke sini! "
Ki Wirodipo tanpa diperintah mendahului lurahnya turun dari pendopo menghampiri Nyi Lasmi. Melihat sikap Wtrodipo ini, Ki Lurah Pujosaputro merasa senang. Tidak salah pilihan Ki Patih Narotama untuk memperbantukan Ki wirodipo kepadanya!
"Nyi Lasmi, andika dipanggil oleh Gusti Patih. Mari menghadap, beliau bijaksana, tentu akan dapat membikin terang persoalan yang menggelapkan hatimu."
Nyi Lasmi menahan tangisnya, bangkit dan mengikuti naik ke pendopo kelurahan. setelah tiba di depan Narotama, ia menekuk lututnya dan menyembah.
"Nyi Lasmi, mari ikut ke dalam, kita bicara di dalam."
Kata Narotama dan mereka semua memasuki ruangan depan rumah yang telah kosong itu. Di situ terdapat sebuah meja besar dengan beberapa buah kursi. Narotama mengajak tiga orang itu duduk berhadapan dengannya, terhalang meja. Di depan ki patih, Nyi Lasmi tidak berani menangis, hanya matanya masih merah dan terkadang ia harus mengusap air mata yang tergantung di bulu matanya.
"Nyi Lasmi, katakan kenapa andika tidak ikut Ki Suramenggala pergi?"
Tanya Narotama, suaranya lembut dan ramah sehingga hilanglah rasa takut Nyi Lasmi "Bukankah andika ini isterinya?"
Nyi Lasmi menggunakan sehelai sapu tangan yang sudah basah untuk menyusut dua butir air mata, lalu menyembah
"Ampunkan hamba, gusti patih, hamba menjadi isteri Ki Suramenggala karena terpaksa dan sekarang setelah dia terusir dari dusun ini, hamba merasa bebas dan tidak ingin ikut dengannya."
Narotama menoleh kepada Ki Pujosaputro.
"Benarkah bahwa Nyi Lasmi ini terpaksa menjadi isteri Suramenggala?"
Ki Pujosaputro melaporkan sejujurnya "Dahulu, Nyi Lasmi adalah seorang janda dengan seorang anak perempuan. Kurasa lebih lima tahun yang lalu anaknya diculik orang. Dalam keadaan hidup seorang diri itu dia dibujuk dan diancam oleh Ki Suramenggala dan ia agaknya tidak dapat menolak ketika diambil sebagai selir."
Narotama mengangguk-angguk, ia bertanya lagi kepada wanita itu.
"Kalau memang andika sudah mengambil keputusan untuk tidak mengikuti Ki Suramenggala, kenapa andika menangis di halaman itu?"
"Hamba merasa bingung harus pergi mana, gusti patih. Hamba tidak mempunyai tempat tinggal, hidup sebatang kara."
"Hemm, apakah andika tidak mempunyai sanak keluarga sama sekali?"
Wanita itu kembali mengusap dua bulir air mata.
"Hamba hanya mempunyai seorang anak perempuan yang ketika berusia tiga belas tahun diculik orang. Akan tetapi lima tahun kemudian, baru beberapa bulan yang lalu, ia pulang ke sini dan telah pergi lagi. Kalau saja ada Puspa Dewi anak hamba, tentu hamba tidak menjadi bingung seperti ini."
Narotama melebarkan matanya.
"Puspa Dewi? Ia itu anakmu? Gadis yang memiliki kesaktian itu?"
"Kasinggihan (benar), gusti. Setelah pulang, anak hamba Puspa Dewi menjadi seorang gadis yang memiliki kesaktian, akan tetapi kini ia pergi entah ke mana hamba tidak diberitahu."
Tiba-tiba Ki Lurah Pujosaputro menyembah dan berkata,
"Kalau hamba boleh mengajukan usul, gusti. Biarlah Nyi Lasmi tetap tinggal di rumah ini. Hamba hanya akan menggunakan ruangan depan dan pendopo untuk tempat para pamong desa bekerja dan untuk rapat pertemuan warga dusun."
"Bagaimana, Nyi Lasmi?"
Tanya Narotama.
"Terima kasih atas kebaikan hati Ki Lurah, akan tetapi rumah ini terlalu besar untuk saya tempati seorang diri saja. Saya hanya ingin mondok untuk sementara sambi menanti anak saya pulang."
"Hemm, kalau begitu, Ki Lurah Pujosaputro, sebaiknya andika sekeluarga boyongan pindah ke rumah kelurahan ini dan biarkan Nyi Lasmi mondok di sini. Setujukah andika?"
"Tentu saja hamba setuju, gusti patih!"
Kata Ki Lurah Pujosaputro dengan wajah cerah.
"Nah, kalau begitu urusan Nyi Lasmi sudah beres. Masuklah dan siapkan ke perluanmu, Nyi Lasmi. Kami masih mempunyai banyak persoalan untuk dibicarakan"
Nyi Lasmi menyembah dan berkata.
"Gusti patih, hamba menghaturkan banyak terima kasih. Sesungguhnya, selain hamba terpaksa menjadi selir Ki Suramenggala, juga hamba tidak ingin anak hamba Puspa Dewi dibawa ke jalan sesat olehnya maka sekarang setelah mendapat kesempatan hamba memisahkan diri dari keluarga Ki Suramenggala."
Narotama mengangguk-angguk, dan berkata.
"Keputusan yang andika ambil itu bijaksana."
Nyi Lasmi lalu memberi hormat lagi dan mengundurkan diri, masuk ke ruangan dalam rumah gedung itu. Narotama lalu memberi petunjuk kepada lurah baru itu. Agar segera memilih pembantu-pembantu yang jujur dan rajin bekerja, lalu membentuk penjaga keamanan dengan memilih pemuda-pemuda dusun itu yang baik budi. Menertibkan pemilikan kembali sawah ladang para penduduk yang dulu diambil Ki Suramenggala, dan agar mengajak semua warga untuk menjaga keamanan dan mengusahakan kesejahteraan penduduk dengan bergotong royong.
"Tentu saja untuk mengurus dan menertibkan semua itu andika memerlukan tenaga bantuan, karena itu, bersama Wirodipo yang telah mengenal semua penduduk di sini, harap andika pilih siapa kiranya yang tepat untuk menjadi pembantu kelurahan. Jangan mendahulukan orang pintar, akan tetapi lebih baik mencari pembantu yang jujur dan baik budi. Orang pintar sekarang ini banyak terdapat di mana-mana, akan tetapi mencari orang yang jujur, setia dan baik budi amatlah sulitnya. Soal kepintaran dapat dipelajari oleh orang yang bodoh, akan tetapi kebaikan budi tidak dapat dipelajari oleh orang yang jahat. Kalau kami sudah kembali ke kota raja, akan kami kirim pejabat yang berwenang untuk mengesahkan pengangkatan andika sebagai Lurah baru."
Setelah meninggalkan semua pesan itu Narotama lalu kembali ke kota raja. Dia ditugaskan oleh Sang Prabu Erlangga untuk menyelidiki urusan antara Nurseta dan Pangeran Hendratama, untuk menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah. Untuk itu, dia membutuhkan bukti yang nyata. Dia sudah melakukan penyelidikan tentang diri Nurseta dan keterangan yang diperolehnya menyatakan bahwa Nurseta adalah seorang pemuda yang baik wataknya. Apalagi mengingat betapa pemuda itu menjadi murid mendiang Sang Empu Dewamurti, maka dia mendapatkan kesan baik terhadap pemuda itu. Kini dia harus melakukan penyelidikan kepada Pangeran Hendratama.
Puteri Lasmini dan Mandari menunggang kuda memasuki hutan lebat. Sang Prabu Erlangga hanya mengetahui bahwa selirnya, Mandari, yang dikunjungi kakak nya, Lasmini, pergi berdua untuk berburu seperti yang biasa dilakukan dua orang puteri itu, seperti yang dikemukakan Mandari kepadanya ketika berpamit.
Tidak seperti para puteri lain, dua orang puteri kakak beradik ini melakukan perjalanan berburu binatang dalam hutan tanpa pengawal seorangpun. Hal ini tidak mengherankan, juga Sang Prabu Erlangga memperkenankan, karena dia mengetahui bahwa dua orang wanita cantik itu adalah wanita-wanita digdaya yang tidak membutuhkan pengawal dan mampu melindungi diri sendiri.
Sesungguhnya, dua orang puteri itu bukan berburu binatang biasa saja seperti yang dikatakan ketika berpamit dari Sang Prabu Erlangga. Mereka hanya menggunakan perburuan sebagai dalih saja. Sebetulnya mereka memasuki hutan atas undangan Pangeran Hendratama yang mengadakan pertemuan dengan para sekutunya. Persekutuan yang diam-diam merencanakan kehancuran Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama ini memang telah lama saling mengadakan kontak rahasia.
Mereka berdua menuju ke tengah hutan dan di tempat yang sunyi dan tak pernah dikunjungi orang luar itu terdapat sebuah pondok kayu yang sederhana namun cukup besar. Di tengah perjalanan tadi, setelah semakin dekat dengan pondok, kedua orang puteri itu melihat orang-orang yang melakukan penjagaan. Itu adalah orang-orang yang ditugaskan Pangeran Hendratama untuk menjaga agar jangan ada orang luar datang mendekati pondok dimana berkumpul para sekutunya untuk mengadakan perundingan.
Ketika Lasmini dan Mandari tiba, dua orang anak buah Pangeran Hendratama segera menyambut dan mengurus dua ekor kuda yang tadi ditunggangi Lasmini dan Mandari. Dua orang puteri melompat turun, menyerahkan kuda kepada dua orang anak buah itu, lalu menuju ke pondok. Sebelum memasuki pintu, mereka disambut Pangeran Hendratama sendiri. Dengan sikap hormat Pangeran Hendratama membungkuk dan berkata.
"Selamat datang, puteri-puteri yang Cantik dan gagah perkasa, silakan masuk kawan-kawan sudah menanti kedatangan andika berdua sejak pagi tadi."
Lasmini dan Mandari mengangguk dan mereka memasuki ruangan pondok yang luas. Semua orang yang berada dalam ruangan itu bangkit dan membungkuk dengan hormat menyambut kedatangan Lasmini dan Mandari. Dua orang puteri itu mengangguk senang sambil memperhatikan siapa yang sudah berkumpul diruangan itu.
Di situ terdapat Puspa Dewi sebagai wakil Kerajaan Wurawuri, Linggajaya mewakili Kerajaan Wengker, Lasmini dan Mandari sendiri mewakili Kerajaan Parang Siluman, dan Pangeran Hendratama merupakan sekutu yang berambisi menggulingkan adik iparnya, Sang Prabu Erlangga agar dia dapat menggantikan kedudukan sebagai Raja Kahuripan. Setelah duduk menghadapi meja besar dan melayangkan pandang matanya, Lasmini berkata.
"Hemm, aku tidak melihat wakil dari Kerajaan Siluman Laut Kidul!"
Pada saat itu, seolah menjawab pertanyaan yang dilontarkan Lasmini, terdengar derap kaki banyak kuda didepan pondok. Pangeran Hendratama yang bertindak sebagai "tuan rumah"
Bergegas keluar dan dia tersenyum gembira menyambut seorang wanita seperti raseksi (raksasa wanita), berusia lima puluh tahun, tubuhnya gembrot dan tinggi besar, mukanya berbedak tebal, pakaiannya mewah sekali, mengenakan perhiasan emas permata, wajahnya serba bulat dan dari celah-celah bibirnya tampak mengintip keluar dua buah taring! Inilah Ratu Mayang Gupita, ratu yang berkuasa di kerajaan Siluman Laut Kidul!
"Selamat datang, Kanjeng Ratu, kami berbahagia sekali menerima kedatangan andika yang sudah kami tunggu-tunggu."
Kata Pangeran Hendratama.
Ratu yang menyeramkan itu memandang wajah Pangeran Hendratama dan bertanya.
"Apakah wakil semua kerajaan yang bersekutu datang?"
Pangeran Hendratama mengangguk.
"semua lengkap, Kanjeng Ratu. Wakil dari wengker, dari Wura-wuri, dan dari Parang siluman sudah hadir."
"Bagus! Tidak sia-sia aku melakukan perjalanan jauh."
Katanya sambil melangkah memasuki ruangan pondok itu.
Setelah mempersilakan Ratu Mayang Gupita duduk, Pangeran Hendratama lalu memperkenalkan Linggajaya dan Puspa Dewi kepada ratu itu yang sudah mengenal Lasmini dan Mandari. Atas isyarat pangeran Hendratama, dua orang pelayan pria masuk keruangan membawa minuman dan makanan beberapa macam kue. mereka menghidangkan makanan dan minuman di atas meja lalu cepat pergi lagi meninggalkan ruangan itu dan menutupkan daun pintu ruangan. Setelah mengucapkan selamat datang dan terima kasih kepada mereka yang hadir, Pangeran Hendratama lalu menceritakan pendapat dan usulnya.
"Keadaan kini menjadi gawat dan kita harus dapat segera bertindak agar jangan sampai terlambat. Aku terancam oleh penjahat cilik Nurseta dan kakeknya senopati Sindukerta."
"Akan tetapi pangeran, bukankah mereka berdua kini telah ditahan dalam penjara istana? Mereka tidak mungkin dapat lolos dari penjara. Apa yang dikhawatirkan?"
Kata Mandari yang telah mendengar akan hasil persidangan istana itu.
"Benar, akan tetapi mereka hanya ditahan sementara saja. Kini Ki Patih Narotama sedang melakukan penyelidikan dan kalau sampai kemudian diketahui bahwa keris Sang Megatantra berada padaku, rencana kita semua akan gagal."
"AKAN tetapi Ki patih tidak akan dapat membuktikan bahwa keris Itu berada padamu, pangeran?"
Kata Lasmini.
'Memang tidak, akan tetapi Ki Patih Narotama itu cerdik sekali. Aku khawatir dia akan mencurigaiku."
Kata Pangeran Hendratama kelihatan jerih terhadap ki Patih itu.
"Lalu, apa rencanamu, pangeran?"
Mendengar suara parau Ratu Mayang Gupita.
"Kita harus cepat bertindak. Ada tiga hal yang harus kita lakukan kalau kita ingin berhasil dalam rencana kita. Pertama, kita harus berusaha untuk membunuh Ki Patih Narotama! Kedua, kita juga harus membunuh Nurseta dan Ki Sindukerta dalam kamar tahanan. Dan ketiga ini yang terpenting,
(Lanjut ke Jilid 24)
Keris Pusaka Sang Megatantra (seri ke 01 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 24
kita harus mempersiapkan balatentara gabungan untuk menyerbu istana dan menguasainya."
"Wah, tiga hal yang andika rencanakan itu kesemuanya amat sukar, Pangeran!"
Linggajaya. Sebagai wakil Kerajaan Wengker dia tidak mau bersikap rendah terhadap Pangeran Hendratama.
"Aku tahu betapa saktinya Ki Patih Narotama. Juga aku pernah bertanding melawan Nurseta dan dia bukan orang yang mudah dibunuh begitu saja. Bagaimana dua hal ini akan dapat dilaksanakan?"
Pangeran Hendratama mengerutkan alisnya, tidak senang mendengar pendapat Linggajaya yang menurunkan semangat itu.
"Semua orang tahu bahwa semua hal itu tidaklah mudah, akan tetapi setiap perjuangan memang tidak ada yang mudah, setiap hasil baik itu harus ditebus dengan usaha yang sekuatnya. Mari kita bahas satu demi satu tiga macam usaha kita untuk mencapai kemenangan itu. Pertama, tentang rencana pembunuhan terhadap Ki Patih Narotama Apakah andika sekalian mempunyai usul yang
baik?"
"Menurut pendapatku, yang paling tepat memikul tugas membunuh Ki Patih Narotama ini haruslah orang-orang yang dekat dengan dia. Tidak ada orang lain yang lebih dekat kecuali Puteri Lasmini dari Kerajaan Parang Siluman yang telah menjadi selirnya, dibantu oleh Linggajaya sebagai wakil Kerajaan Wengker karena dia telah berhasil menyusup ke kepatihan sebagai juru taman!"
Semua orang tampaknya setuju dan Pangeran Hendratama berkata.
"Usul itu memang baik sekali dan cocok dengan rencanaku. Akan tetapi tentu saja kami minta pendapat yang bersangkutan, dalam hal ini Puteri Lasmini. Bagaimana pendapat andika dengan usul itu? Dan juga Linggajaya,
sanggupkah membantu Puteri Lasmini melaksanakan tugas ini?"
Lasmini tersenyum.
"Terus terang saja, aku memang sudah merencanakan pembunuhan terhadap Ki Patih Narotama, dibantu oleh Linggajaya. Kami sudah merencanakan itu dan hanya tinggal menanti saat baik saja. Baik, kuterima tugas itu."
"Aku juga menerima tugas itu!"
Kata Linggajaya yang tidak punya pilihan lain.
"Bagus, kalau begitu masalah pertama sudah diputuskan. Sekarang persoalan kedua, yaitu pembunuhan Nurseta dan Sindukerta. Siapa yang pantas melaksanakan tugas berat ini?"
"Tugas ini memang berat sekali, terutama karena mereka itu ditahan dalam ruangan tahanan istana, jadi dekat dengan Sang Prabu Erlangga. Aku sendiri tidak dapat membantu karena aku merasa bahwa sedikit banyak Sang Prabu Erlangga sudah agak berubah sikapnya terhadap diriku, seolah sudah menaruh curiga. Aku hanya dapat membantu dengan memberi jalan keluar kepada mereka yang ditugaskan untuk membunuh kedua orang tahanan itu, kalau usaha mereka gagal."
Kata Dewi Mandari.
"Memang sebaiknya, seperti hal pertama tadi, hal kedua ini dilakukan pula oleh orang yang tinggal di istana."
Kata Pangeran Hendratama.
"Dan yang tinggal di istana adalah Puteri Mandari dan Puspa Dewi. Karena tidak mungkin bagi Puteri Mandari melaksanakan tugas itu maka tinggal Puspa Dewi yang tinggal di istana, karenanya ia yang dapat melakukan dengan tidak begitu sukar."
Puspa Dwi mengerutkan alisnya.
"Pangeran, aku juga pernah bertanding melawan Nurseta, bahkan mengeroyoknya bersama Linggajaya, dan harus kukatakan bahwa dia adalah seorang yang memiliki kesaktian tinggi. Aku sendiri tidak mungkin dapat membunuhnya!"
Tentu saja ucapan Puspa Dewi ini tidak sama dengan suara hatinya. Dalam hatinya, ia tidak mau membunuh Nurseta karena kini semakin jelas baginya pihak siapa yang benar dan siapa yang bersalah.
Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Untuk membalas budi gurunya, Nyi Dewi Durgakumala yang kini menjadi permaisuri Raja Mhismaprabhawa di Kerajaan Wura-wuri, tentu saja ia mau membela Wura-wuri. Akan tetapi bukan dengan cara curang dan bersekutu dengan orang-orang jahat seperti ini!
"Tentu saja bukan andika seorang diri, puspa Dewi. Aku sendiri juga tahu betapa tangguhnya si Nurseta itu. Sekarang marilah kita membagi-bagi tugas Linggajaya dan Puteri Lasmini sudah mendapat tugas membunuh Ki Patih Narotama".
"Selain itu, aku juga akan mempersiapkan pasukan Kerajaan Wengker untuk membantu merebut kekuasaan diKahuripan!"
Kata Linggajaya.
"Ratu Mayang Gupita, kalau kami boleh mengusulkan dan minta bantuanmu, dapatkah andika mempersiapkan diri untuk membantu Puspa Dewi untuk membunuh Nurseta dan Sindukerta dalam tahanan? Jangan khawatir, Puteri Mandari tentu akan dapat menyelundupkan mu ke dalam istana."
Raksasa wanita itu mengangguk angguk.
"Baiklah, aku akan membantu Puspa Dewi dan aku akan mengajak Dibyo Mamangkoro dan Cekel Aksomolo. Mustahil kami berempat dengan Puspa Dewi tidak akan mampu membunuh Nurseta dan Senopati Sindukerta."
"Bagus sekali! Kalau andika dan pembantu andika mau turun tangan, kami yakin tugas ini akan dapat diselesai dengan berhasil baik!"
Kata Pangeran Hendratama gembira sekali. Selain dia akan terbebas dari musuh-musuhnya yang hendak membongkar rahasianya dan merampas Sang Megatantra, juga kalau dua pembunuhan itu dapat dilaksanakan dengan baik, berarti memperlancar rencana pemberontakannya dan merampas tahta Kerajaan Kahuripan dari tangan Sang Prabu Erlangga. Puspa Dewi yang sejak tadi mencari jalan untuk mengetahui semua rencana pangeran pengkhianat itu, lalu berkata,
"bagaimana wakil Kerajaan Wura-wuri, aku ingin sekali mengetahui rencana kita yang ketiga, yaitu tentang penyerbuan ke Istana dan menguasainya. Bagaimana hal yang amat sulit ini dapat diatur?"
"Memang hal yang ke tiga itu harus kita rundingkan baik-baik sekarang setelah dua hal pertama dan kedua sudah kuputuskan. Untuk melaksanakan ini dengan berhasil, kita harus bekerja sama. semua kekuatan harus dipersatukan, karena itu kami harap semua kerajaan mengirimkan pasukan dan bergabung di hutan ini. Bagaimana pendapat kalian?"
"Aku akan mengabarkan kepada Kanjeng Ibu Durgamala di Kerajaan Parang Siluman kami untuk mengirimkan pasukan ke hutan ini?"
Kata Lasmini.
"Aku juga akan mengerahkan para senopatiku untuk memimpin pasukan dan membawa pasukan kami ke sini."
Kata Ratu Mayang Gupita dari Kerajaan Siluman Laut Kidul.
"Baik sekali kalau begitu, hal ke tiga yang terpenting juga sudah disepakati. Linggajaya bertugas mengirim pasukan dari Kerajaan Wengker, Puspa Dewi mengirim pasukan dari Wurawuri, Ratu Mayang Gupita mengirim pasukan dari Kerajaan Siluman Laut Kidul, dan Puteri Lasmini mengirim pasukan dari Kerajaan Parang Siluman. Jadi dari empat kadipaten atau kerajaan itu sudah sepakat mengirimkan pasukan masing-masing ke hutan ini untuk bersatu dan kami sendiri akan mengerahkan pasukan dari para senopati yang mendukung gerakan ini. Kita sekarang rundingkan untuk menetapkan hari dan saat gerakan pasukan gabungan itu untuk menyerbu istana. Semua pasukan harus sudah siap di dalam hutan ini sebelum hari yang telah ditentukan Itu dan semua harus dilakukan secara rahasia agar jangan sampai ketahuan orang dan sebaiknya kalau dilakukan di waktu malam."
"Bagus, dan aku sendiri akan membantu dari dalam istana kalau saat penyerbuan ke istana dilakukan."
Kata Puteri Mandari.
"Pangeran, bagaimana kita dapat yakin bahwa pasukan para senopati di Kahuripan akan benar-benar membantu kalau mereka tahu bahwa pusaka Sang Megatantra tidak berada padamu? Kalau pusaka itu berada di tangan Nurseta, terutama semua orang di Kahuripan condong membantu dia karena pusaka itu dipuja sebagai wahyu keraton oleh semua orang Kahuripan sebagai keturunan Mataram."
Kata Puspa Dewi untuk memancing. Memang ia seorang gadis yang cerdik. Ia memancing dan mengajukan alasan yang masuk akal sehingga Pangeran Hendratama sama sekali tidak menyangka bahwa gadis itu memancingnya untuk mengetahui di mana sebetulnya pusaka itu.
Pangeran Hendratama tersenyum. Hati pangeran itu masih amat tertarik kepada gadis jelita yang kini menjadi sekar kedaton Wura-wuri itu dan dia mengharapkan kalau dia sampai berhasil menjadi Raja Kahuripan, Puspa Dewi akan bersikap lain kepadanya, memberinya harapan untuk mempersunting gadis yang membuatnya tergila-gila itu!
"Jangan khawatir, Puspa Dewi. Para sahabat dari Empat Kadipaten, biarlah antara para sahabat aku akan berterus terang. Pusaka Sang Megatantra itu tidak pernah terlepas dari tanganku. Aku yang memiliki pusaka itu!"
Semua orang tercengang mendengar ini. Hanya Puspa Dewi yang tidak merasa heran karena diam-diam ia sudah mengetahui bahwa pusaka itu yang tadinya milik Nurseta telah dicuri pangeran ini. Betapa beraninva pangeran itu kini mengaku!
"Ah, pangeran! Jadi kalau begitu andika yang ....."
"Jangan salah mengerti, Puspa Dewi Pusaka itu memang milikku. Aku membeli pusaka itu dari seorang pengemis seperti yang sudah kuceritakan dahulu ..."
"Akan tetapi andika mengatakan bahwa pusaka itu telah dicuri Nurseta!"
Kata Puspa Dewi, penasaran walaupun ia mengatur agar suara dan sikapnya tidak membayangkan bahwa ia merasa curiga kepada pangeran itu.
"Memang benar Nurseta mencuri kerisku. Akan tetapi aku selalu berhati-hati sejak mendapatkan pusaka itu sehingga aku membuat tiruannya, dan menyembunyikan yang aseli. Jadi, ketika Nurseta mencurinya, dia hanya mendapatkan Megatantra yang palsu dan Megatantra yang aseli masih ada padaku."
"Kenapa tidak andika serahkan kepada Sang Prabu Erlangga?"
Puspa Dewi terkejut sendiri mendengar pertanyaannya yang keluar begitu saja dari dalam hatinya.
"Ha-ha-ha, apakah engkau mengira aku begitu bodoh, Puspa Dewi?"
Pangeran yang sudah tergila-gila kepada Puspa Dewi itu tidak menjadi curiga dengan pertanyaan itu, bahkan dia ingin memamerkan kecerdikannya! "Sang Prabu Erlangga adalah musuh kita bersama, bagaimana aku harus mengembalikan pusaka itu kepadanya? Keris itu hak milik Kahuripan sebagai keturunan Mataram, dan setelah Kanjeng Rama Teguh Dharmawangsa wafat, akulah puteranya, akulah satu-satunya keturunan Mataram yang berhak memiliki Sang Megatantra maka berhak pula menjadi Raja Kahuripan bukan Erlangga bocah Bali itu!"
Puspa Dewi tidak bicara lebih lanjut. Biarpun keterangan Pangeran Hendratama itu meyakinkan hati semua orang yang berada di situ, namun di dalam hatinya Puspa Dewi lebih percaya kepada keterangan Nurseta. Ia juga melihat betapa sikap Lasmini dan Linggajaya tampak mesra. Kedua orang itu saling bertukar senyum dan pandang mata mereka kalau saling pandang bicara banyak. Mudah saja diduga bahwa antara selir Ki Patih Narotama dengan Linggajaya yang kini menyamar sebagai tukang kebun kepatihan pasti ada hubungan yang tidak wajar! diam-diam ia memperhatikan semua orang yang hadir itu satu demi satu. Makin diperhatikan, ia semakin merasa muak dan tidak suka. Orang-orang ini semua bukanlah orang baik-baik, pikirnya dan ia merasa malu kepada diri sendiri bahwa ia terlibat dalam persekongkolan jahat ini. Andaikata Kadipaten Wura-wuri berperang melawan kerajaan manapun juga, ia tidak akan ragu membela Wura-wuri demi membalas budi guru yang juga menjadi ibu angkatnya dan yang kini menjadi Permaisuri Wura-wuri itu. Akan tetapi kalau menjadi anggauta persekutuan jahat dan curang seperti ini, ia merasa muak dan malu sendiri.
Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo