Keris Pusaka Sang Megatantra 4
Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
Kalau benar mereka itu berjaga, sungguh menggelikan. Apakah yang mampu dilakukan gadis-gadis manis itu kalau ada yang masuk atau keluar kamar? Tiba-tiba dia teringat betapa tadi, ketika dia hendak keluar kamar, Sukarti tahu-tahu telah memegang lengannya. Pada hal tadinya gadis itu masih duduk di atas kursi. Betapa cepatnya dia bergerak! Apakah tiga orang puteri pangeran yang cantik jelita itu ahli aji kanuragan, gadis-gadis yang digdaya? Betapapun juga, dari sikap mereka dan sikap ayah mereka, sama sekali tidak ada yang mencurigakan, tidak ada kesan-kesan bahwa mereka memusuhinya. Mungkin mereka itu agak berlebihan dan terlalu memanjakannya. Dia menjadi malu sendiri. Biarlah mereka berbuat sesuka mereka karena dia tidak terganggu. Dengan pikiran ini Nurseta kembali merebahkan diri dan tak lama kemudian karena dia memang lelah sekali, diapun tertidur.
Karena larut malam baru dapat pulas dan tubuhnya memang amat lelah, Nurseta tidur nyenyak sekali. Pagi keesokan harinya dia tergugah oleh kicau burung di luar jendela. Begitu merdu dan indah kicau burung kutilang di luar rumah itu sehingga Nurseta tetap rebah sambil menikmati suara itu. Kemudian terdengar ringkik kuda. Suara ini membuat bangkit duduk keheranan. Ada ringkik kuda! Kemarin dia tidak melihat adanya kuda di sekitar rumah itu. Dan dari gerakan kaki kuda di atas tanah itu dia dapat mengetahui bahwa ada lebih dari dua ekor kuda di sana. Mungkin ada empat ekor.
Karena ingin tahu sekali, Nurseta lalu menghampiri jendela dan membuka daun jendela. Widarti yang semalam duduk 'berjaga"
Di situ tak tampak lagi. Dari jendela dia dapat melihat adanya empat ekor kuda tertambat pada batang pohon-pohon di kebun. Empat ekor' kuda yang tinggi besar, indah dan kuat, lengkap dengan pelana dan kendalinya. Apakah ada tamu-tamu datang berkunjung? Mungkin, karena tiga orang gadis itu tidak tampak, tentu sedang menyambut para tamu itu. Dia merasa tidak enak karena masih belum keluar dari kamarnya. Dia segera membuka daun pintu. Tidak tampak ada orang.
Nurseta keluar rumah dan karena tidak melihat keluarga tuan rumah, dia langsung pergi ke anak sungai untuk membersihkan diri. Air anak sungai yang jernih dan dingin menyegarkan tubuhnya dan dia cepat kembali ke rumah. Setelah dia tiba di beranda, dia melihat Raden Hendratama dan tiga orang puterinya telah berada di situ. Nurseta yang berpemandangan tajam segera dapat merasakan bahwa ada terjadi sesuatu. Hal ini dapat dia lihat dari sikap mereka.
Wajah mereka, terutama sekali tiga orang gadis yang kemarin amat ramah kepadanya penuh senyum dan pandang mata berseri kini tampak dingin sekali, bahkan seolah tiga orang dara itu menghindari pertemuan pandang mata dengan dia. Apakah mereka kecewa dan marah atas sikapnya semalam?
"Anakmas Nurseta, terimalah kerismu ini. Sudah kupasangkan gagang baru dan kumasukkan dalam warangka baru". Raden Hendratama menyerahkan keris itu kepada Nurseta.
Nurseta menerimanya dan dia kagum melihat warangka yang terukir indah dan gagang kerisnya sudah terganti gagang berukir pula. Dia lalu menyelipkan keris itu pada ikat pinggangnya, tanpa memeriksa isinya karena hal itu akan menimbulkan kesan seolah dia tidak percaya kepada bekas pangeran itu.
"Terima kasih banyak, paman."
Katanya.
"Anakmas Nurseta, terpaksa andika akan kami tinggalkan karena kami ada urusan penting sekali yang harus kami lakukan pagi ini. Maaf, kami tidak sempat mengajak andika makan pagi."
Nurseta tersenyum.
"Ah, tidak mengapa, paman. Saya hanya membutuhkan tempat bermalam dan paman sekalian telah begitu baik untuk menerima saya. Biarlah saya pergi sekarang juga agar tidak mengganggu kesibukan paman sekalian."
Setelah berkata demikian, Nurseta memasuki rumah, terus ke kamarmya, berkemas lalu keluar lagi menggendong buntalan pakaian di punggungnya. Dia mendengar derap kaki kuda dan setelah tiba di beranda, dia melihat Raden Hendratama telah melarikan kuda dengan cepat meninggalkan tempat itu. Tentu saja Nurseta merasa heran sekali dan dia bertanya kepada Kenangasari yang biasanya paling ramah kepadanya.
"Nimas Kenangasari, ke manakah perginya Paman Hendratama? Aku ingin berpamit kepadanya."
"Tidak usah berpamit lagi. Dia sudah pergi."
Jawab Kenangasari dengan pendek dan ketus.
Nurseta merasa tidak enak sekali. Dia merasa berhutang budi kepada mereka, maka meninggalkan mereka dalam keadaan seperti ini sungguh tidak menyenangkan.
"Nimas bertiga, apakah sebetulnya yang terjadi? Kalian tampak berbeda sekali. Apakah ada kesulitan yang kalian semua hadapi? Kalau memerlukan bantuan, percayalah, aku akan membantu sekuat tenagaku."
"Sudah, pergilah! Kami tidak membutuhkan kamu!"
Kata Sukarti.
"Ya, cerewet benar sih, kamu!"
Kata pula Widarti dan tiga orang gadis itu lalu memasuki ruangan depan yang penuh dengan keris dan tombak itu, mengumpulkan semua senjata itu, agaknya mereka seperti berkemas hendak pindah dari pondok itu.
Menghadapi sikap tiga orang gadis itu, Nurseta mengangkat kedua pundaknya dan diapun melompat keluar dan pergi dari situ dengan cepat. Hatinya tertekan kekecewaan, perasaannya terpukul. Tak habis heran dia memikirkan perubahan yang terjadi dalam sikap keluarga pangeran itu terhadap dirinya.
Sambil melangkah pergi, pikirannya terus bekerja. Dia mencari-cari, kesalahan apa yang telah dilakukannya sehingga membuat marah keluarga itu. Kalau sikapnya tidak mau menerima tiga orang gadis itu tinggal di kamarnya itu dianggap salah, maka merekalah yang bersalah. Dia sudah benar, menjaga kesusilaan. Kalau dianggap salah, maka merekalah gadis-gadis cantik yang sayangnya tidak dapat menjaga kesusilaan. Apakah dia telah lengah, melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang tidak semestinya atau yang seharusnya? Dia mcngingat-ingat kembali dan tiba-tiba dia menghentikan langkahnya, mengerutkan alisnya. Raden Hendratama telah mengembalikan keris pusakanya akan tetapi kenapa dia tidak memeriksanya. Tidak memeriksa isi warangka itu untuk melihat kerisnya. Hal itu seharusnya dia lakukan mengingat bahwa keris itu adalah sebuah benda pusaka yang amat ampuh, yang diperebutkan banyak orang. Bahkan eyang gurunya tewas karena mempertahankan keris itu!
CEPAT dia memegang gagang keris itu dan mencabutnya, memeriksanya dengan teliti. Nurseta mengerutkan alisnya. Ujud keris itu memang masih sama, baik luk (lekuk) tiga dan semua cirinya. Akan tetapi dia merasa kehilangan wibawa yang keluar dari keris itu, yang dirasakannya setiap kali keris itu dia cabut. Sinar aneh yang dimiliki keris itu tak tampak atau terasa lagi. Dia teringat akan petunjuk mendiang Empu Dewamurti bagaimana untuk mengenal keaslian Keris Megatantra. Dengan telunjuk kirinya Nurseta lalu menjentik ujung keris itu. Biasanya, kalau dia menjentik ujung keris pusaka itu dengan pengerahan tenaga sakti, maka akan terdengar bunyi melenting nyaring dan ujung keris Itu tergetar!
"Trikk ....."
Bukan main kaget rasa hati Nurseta ketika telunjuknya menjentik, ujung keris itu patah!
"Celaka .....!"
Serunya, maklum sepenuhnya bahwa dia tertipu. Keris yang sama benar rupa dan bentuknya ini ternyata palsu! Cepat dia menyarungkan keris yang bunting ujungnya itu ke dalam warangka yang masih terselip diikat pinggangnya, lalu dia berlari cepat sekali ke arah pondok tempat tinggal keluarga bekas pangeran itu.
Akan tetapi ketika dia tiba di pekarangan rumah itu, hanya tinggal seekor kuda saja yang tertambat pada batang pohon dan seorang gadis jelita berdiri di luar beranda. Gadis yang berdiri tegak sambil bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan senyum mengejek itu bukan lain adalah Kenangasari, gadis paling genit di antara tiga orang puteri bekas pangeran itu.
Nurseta tidak memperdulikannya, melainkan langsung memasuki ruangan tamu di mana tersimpan banyak senjata pusaka. Akan tetapi ruangan itu kini telah kosong, tidak tampak sepotongpun senjata! Juga dua orang gadis yang lain, Sukarti dan Widarti, tidak tampak. Cepat dia melompat keluar lagi dan pada saat itu dia mendengar derap kaki kuda dan melihat Kenangasari sudah menunggang seekor kuda dan membalapkah kuda itu ke arah barat.
Nurseta hendak mengejar dan menghalangi gadis itu kabur, akan tetapi dia lalu teringat. Gadis itu adalah satu-satunya orang yang akan dapat membawa dia kepada Raden Hendratama yang telah menipu dan mencuri Keris Megatantra! Gadis itu tentu akan melarikan diri menyusul ayahnya. Berpikir demikian, Nurseta tidak jadi mengejar untuk menangkap, melainkan membayangi saja. Biarpun kuda itu seekor kuda besar yang baik dan kuat, larinya cepat dan ternyata penunggangnya mahir sekali, namun dengan menggunakan Aji Bayu Sakti, tubuh Nurseta meluncur seperti angin dan selalu dapat membayangi dan menjaga jarak sehingga tidak sampai tertinggal.
Akan tetapi, yang dibayangi itu membalap terus ke barat. Setelah matahari naik tinggi dan matahari terik sekali, Kenangasari menghentikan kudanya di tengah hutan lebat, la menjadi bingung dan agaknya tersesat, tidak tahu jalan. Melihat bahwa tidak ada orang mengejarnya, gadis itu melompat turun dan menanggalkan kendali, membiarkan kudanya minum air anak sungai yang terdapat di situ dan makan rumput, la sendiri lalu merebahkan diri bersandar pada batang pohon, mengusap keringatnya dan beristirahat, la tersenyum-senyurn manis seorang diri, mengira bahwa tidak mungkin pemuda tolol itu dapat mengejarnya.
"Nimas Kenangasari!"
Gadis itu terkejut sekali sampai tersentak dan melompat berdiri sambil memutar tubuhnya. Kiranya Nurseta telah berada di situ!
"Kau .....?"
Gadis itu menggagap.
"Nimas, hentikan semua main-main ini. Aku hanya menginginkan keris pusakaku dikembalikan."
Tiba-tiba gadis itu sudah melompat Lompatannya amat ringan dan tahu-tahu ia telah berada di atas punggung kudanya yang berada dalam jarak empat lima meter dari tempat ia berdiri. Ia sudah menyambar kendali kuda dan hendak membalapkan kudanya. Akan tetapi Nurseta Tidak membiarkan gadis itu melarikan diri. Cepat dia melompat ke depan kuda dan menangkap kendali di depan mulut kuda itu. Kuda meringkik keras dan mengangkat kedua kaki depan tinggi keatas. Gerakan yang tiba-tiba ini membuat Kenangasari kehilangan keseimbangan dan tubuhnya terlempar ke belakang kuda! Agaknya gadis itu tentu akan terbanting keras. Akan tetapi sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Nurseta telah menyambut tubuh gadis itu dengan kedua lengannya dan Kenangasari terjatuh lunak ke dalam pondongannya!
Ketika merasa dirinya betapa dirinya berada dalam rangkulan dan pondongan Nurseta, Kenangasari lalu meraih dengan kedua lengannya ke atas, merangkul leher Nurseta dan merapatkan tubuhnya di dada pemuda itu, bahkan mengangkat mukanya mendekati muka Nurseta, Pemuda itu terkejut dan cepat cepat dia Melepaskan pondongannya sehingga tubuh Kenangasari terjatuh ke atas tanah.
Tiba-tiba sikap Kenangasari berubah. Ia menjadi marah sekali dan dengan trengginas (tangkas) ia melompat dan langsung menyerang Nurseta dengan tamparan yang cepat dan kuat.
"Jahanam....."
Ia memaki dan tamparannya menyambar ke arah muka Nurseta.
Nurseta cepat mengelak. Akan tetapi gerakan Kenangasari cepat bukan main. Ia telah menyusulkan serangan bertubi-tubi, menampar, mencengkeram, dan menendang. Gerakannya jelas menunjukkan bahwa ia seorang gadis yang sama sekali tidak lemah, bahkan amat tangkas dan pandai bersilat! Nurseta mengalah, berulang kali mengelak dan menangkis. Ketika tangkisan tangannya bertemu dengan tangan gadis itu, diapun mendapat kenyataan bahwa tenaga gadis itu cukup kuat. Laki laki yang kedigdayaannya hanya sedang-sedang saja jangan harap akan mampu menandingi gadis yang ayu manis dan lincah jenaka ini! Karena dia tidak tega untuk membuat seorang gadis cidera, setelah mengalah beberapa jurus lamanya dalam suatu kesempatan tangan kirinya dapat menepuk pusat syaraf di punggung Kenangasari dan gadis itu mengeluh, lalu terkulai dan jatuh duduk bersimpuh diatas tanah, la mencoba untuk bangkit berdiri, akan tetapi tubuhnya yang tiba tiba menjadi lemas itu tidak kuat berdiri lagi!
"Aduh....."
Ia mengeluh.
".... tubuhku lernas tak dapat digerakkan.....pulihkanlah..... aku tidak berani melawan lagi, tobat ....."
Akan tetapi Nurseta sudah tahu sekarang bahwa Kenangasari adalah orang wanita yang digdaya dan amat cerdik. Dia ingin mendapatkan keterangan dari gadis ini, maka dia tidak membebaskannya dulu.
"Nimas Kenangasari, kenapa kalian melakukan hal ini kepadaku? Hayo katakan, di mana ayahmu dan di mana pula keris pusakaku Megatantra? Kalian harus mengembalikan keris itu kepadaku!"
"Siapa ayahku? Aku sudah tidak mempunyai ayah."
Jawab Kenangasari. Ia tidak merasa tubuhnya nyeri, hanya lemas tidak mampu berdiri.
"Tidak mempunyai ayah?"
Nurseta bertanya dengan alis berkerut.
"Katamu Raden Hendratama itu ayah kalian?"
"Itu hanya karena andika bodoh dan percaya saja. Kami bertiga bukan puterinya, melainkan selir Gusti Pangeran Hendratama."
Nurseta tercengang. Pantas saja tiga orang gadis itu tampaknya begitu manja dan sikap sang pangeran itu juga demikian mesra. Pada jaman itu memang bukan hal aneh kalau melihat seorang bangsawan tinggi, apa lagi seorang pangeran, mempunyai banyak selir yang cantik-cantik dan muda-muda. Dan Pangeran Hendratama ini agaknya memiliki juga orang selir yang selain muda-muda dan cantik jelita, juga memiliki kedigdayaan sehingga selain sebagai penghibur juga sebagai pelindungnya.
"Hemm, begitukah? Memang aku bodoh sekali mudah percaya kepada wajah cantik, sikap-sikap ramah dan mulut-mulut manis yang mengucapkan segala macam kata-kata lembut. Kiranya di balik semua keindahan itu tersembunyi kepalsuan dan kejahatan. Nah, sekarang katakan di mana adanya Pangeran Hendratama."
Biarpun tubuhnya lemas sehingga ia hanya duduk bersimpuh, gadis itu mengangkat mukanya dan sinar matanya tajam galak memandang wajah Nurseta.
"Nurseta, tidak sadarkah andika bahwa Keris Pusaka Megatantra itu adalah pusaka sejak Kerajaan Mataram dulu? Tentu saja yang berhak adalah keturunan Mataram. Sekarang keris itu sudah kembali ke dalam tangan Gusti Pangeran Hendratama dan dia yang berhak memilikinya!"
"Hemm, andaikata benar demikian, tidak sepatutnya dia menguasai keris itu dengan cara yang curang dan menipuku! Aku harus menghaturkan pusaka itu kepada Gusti Maha Prabu Erlangga. Hayo katakan di mana Pangeran Hendratama?"!
Kenangasari tersenyum. Wanita yang cerdik ini tahu bahwa pemuda perkasa itu membutuhkan keterangannya, maka tentu saja ia akan menggunakan kebutuhan pemuda itu untuk menekan.
"Nurseta, bukan begini sikap orang yang hendak minta keterangan. Bebaskan dulu aku, pulihkan tenagaku kalau andika ingin mendapatkan keterangan dariku."
Melihat gadis cantik itu mengerling genit dan tersenyum mengejek, Nurseta menghela napas panjang. Mengapa gadis muda secantik ini, begitu manis merak ati, begitu menarik menggemaskan, dapat bersikap ramah dan mesra, dapat berwatak demikian palsu? Bagaikan sebutir buah tomat yang kulitnya merah halus tanpa cacat, segar menarik menimbulkan selera, tahu-tahu di sebelah dalamnya berulat. Akan tetapi karena dia perlu mendapatkan keterangan di mana adanya Raden Hendratama agar dia dapat merampas kembali Keris Megatantra, terpaksa dia memenuhi permintaan Kenangasari.
Sekali dia menepuk punggung gadis itu, Kenangasari dapat bergerak kembali dan tiba-tiba dengan tangkasnya ia melompat bangun berdiri, meraba pinggangnya dan sudah mencabut sebatang keris yang mengkilat lalu menerjang, menusukkan kerisnya ke arah perut Nurseta.
"Hyaaaahh!"
Serangan itu cepat sekali datangnya. Kalau bukan Nurseta yang diserang, serangan itu dapat mendatangkan maut. Akan tetapi Nurseta yang sama sekali tidak mengira akan diserang secara tiba-tiba dari jarak begitu dekat sehingga dia tidak sempat lagi mengelak, hanya mengangkat tangan kirinya dan menggunakan telapak tangan kirinya untuk menjadi perisai melindungi perutnya. Tentu saja dengan kesaktiannya, dia dapat membuat perutnya kebal. Akan tetapi dia tidak mau membiarkan bajunya terobek keris, maka telapak tangan kirinya yang menyambut tusukan keris itu.
"Wuutt ..... takkk!"
Kenangasari terkejut bukan main.
Pemuda itu menyambut tusukan kerisnya dengan telapak tangan dan ia merasa betapa kerisnya seolah bertemu dengan dinding baja yang teramat kuat sehingga senjata itu terpental dan ia merasa tangannya tergetar hebat.
"Auuuww .....!"
Ia menjerit dan melempar tubuh ke belakang lalu berjungkir balik lima kali menjauhkan diri. Kalau gadis itu merasa terkejut dan kagum sekali melihat kesaktian Nurseta, sebaliknya pemuda itu juga kagum menyaksikan gerakan yang amat lincah dan tangkas dari Kenangasari.
"Syuuuttt ..... syuuuuttt .....!"
Suara berdesir ini membawa luncuran benda benda hitam yang mengarah leher, dada, dan pusar Nurseta. Ada empat batang anak panah menyambar dengan cepat sekali.
Nurseta bergerak, menggeser kaki sehingga tubuhnya condong ke kiri dan kedua tangannya diputar ke kanan, memukul runtuh empat batang anak panah itu. Dari arah depan berlompatan dia bayangan orang dan ternyata yang muncul adalah Sukarti dan Widarti Dua orang gadis ini memegang sebuah gendewa dan tanpa banyak cakap lagi keduanya lalu menyerang Nurseta dengan gendewa (busur) mereka. Gerakan mereka juga lincah dan kuat seperti gerakan Kenangasari. Melihat kedua orang kawannya telah muncul dan membantunya, Kenangasari merasa girang sekali. Ia sama sekali tidak menyangka, bahkan bekas pangeran dan juga semua selirnya tidak pernah mengira bahwa Nurseta ternyata seorang yang sakti mandraguna!
"Hati-hati, dia tangguh sekali!"
Kenangasari berseru memperingatkan kedua orang kawannya dan iapun sudah menerjang lagi dengan tusukan kerisnya. Agaknya gadis ini memang cerdik sekali karena ia selalu berusaha untuk menyerang Nurseta dari belakang karena senjatanya lebih pendek dan membiarkan kedua orang kawannya yang memegang gendewa menyerang dari depan kanan kiri.
Menghadapi serangan tiga orang gadis cantik itu, Nurseta menjadi serba salah. Dia sama sekali tidak ingin merobohkan atau menciderai mereka, akan tetap kalau tidak dilawan, serangan tiga orang gadis ini cukup berbahaya.
Melihat bahwa dua batang gendewa itu menyambar dari depan kanan kiri dan keris di tangan Kenangasari menusuk dari belakang mengancam lambungnya, Nurseta mengerahkan Aji Bayu Sakti dan tiba-tiba tiga orang gadis itu berseru kaget karena lawan yang mereka kurung telah lenyap. Mereka hanya melihat bayangan berkelebat ke atas dan tahu-tahu pemuda itu telah lenyap. Kemudian terdengar suara Nurseta yang telah berada di belakang Sukarti dan Widarti.
"Aku tidak ingin bermusuhan dengan kalian bertiga. Hentikanlah serangan kalian. Aku hanya ingin dikembalikannya Keris Megatantra!"
"Mbakayu Sukarti, Widarti, hati-hati, jahanam ini berbahaya sekali. Dia tadi merobohkan aku dan memaksa aku untuk mengaku di mana adanya Gusti Pangeran. Dia berbahaya sekali bagi Gusti Pangeran!"
Kata Kenangasari.
"Bunuh dia"
Kata Sukarti.
"Nanti dulu!"
Kata Widarti, lalu gadis termuda ini menghadapi Nursrta. Suaranya tidak seketus dua orang kawannya.
"Kakangmas Nurseta, andika tidak ingin bermusuhan dengan kami, kenapa andika... tidak pergi saja dengan damai dan tidak lagi mengganggu kami?"
"Nimas Widarti. Pangeran Hendratama telah menipuku dan mencuri keris pusakaku. Aku tidak ingin bermusuhan dengan kalian akan tetapi aku ingin agar keris pusakaku itu dikembalikan kepadaku."
"Akan tetapi ingat, kakangmas. Keris Megatantra adalah pusaka milik keturunan Mataram, maka Gusti Pangeran Hendratama adalah pemiliknya yang sah. Maka, sekali lagi aku minta kepadamu, kakangmas, demi persahabatan kita, relakan keris itu dan pergilah dengan damai."
Nurseta mencatat dalam hatinya bahwa sikap wanita termuda ini yang paling baik dan dia sendiri juga sejak semula paling tertarik kepada wanita muda yang sikapnya agak malu-malu ini. Tampaknya masih demikian muda, masih remaja, tidak tahunya ternyata sekarang telah menjadi selir seorang bekas pangeran!
"Nimas, bagaimanapun juga, saya tidak dapat merasa yakin bahwa Raden Hendratama berhak memiliki keris pusaka itu. Agar keris itu tidak terjatuh ke tangan yang salah, saya memutuskan untuk menghaturkan keris pusaka itu kepada Sang Prabu Erlangga. Karena itu, kembalikanlah kepadaku atau tunjukkan kepadaku di mana saya dapat bertemu dengannya."
Mengingat bahwa wanita yang diajaknya bicara itu ternyata isteri Pangeran Hendratama, maka dengan sendirinya Nurseta memandang lebih hormat dan sungkan dan dia tidak lagi berlaku kepada Widarti. Mendengar ucapan Nurseta ini, Sukarti membentak,
"Widarti, tidak perlu banyak cakap dengan orang ini!"
Lapun sudah menerjang lagi dengan gendewanya, dibantu Kenangasari yang juga menggerakkan kerisnya menyerang.
Melihat dua orang wanita itu sudah turun tangan menyerang, Widarti terpaksa juga menggerakkan gendewanya menyerang sehingga kembali Nurseta dikeroyok tiga orang wanita yang cukup tangguh.
Dia cepat mengerahkan Aj i Bayu Sakti dan bersilat dengan ilmu silat Baka Denta. Gerakannya yang cepat itu membuat dia seolah menjadi seekor burung bangau yang lincah. Tubuhnya sukar sekali diserang karena dia berkelebatan seperti bayang-bayang dan setiap serangan yang tidak dapat dielakkan, disampok dan ditangkis dengan kedua lengannya yang lentur dan kuat seperti leher burung bangau. Hanya karena dia masih tidak tega untuk melukai tiga orang gadis itu, maka Nurseta masih belum membalas serangan mereka.
Dia sedang mencari-cari kesempatan untuk mengalahkan mereka tanpa melukai, seperti yang dia lakukan kepada Kenangasari tadi. Namun untuk melakukan hal itu kepada tiga orang wanita yang mengeroyoknya, bukanlah hal mudah karena mereka bergerak cepat dan mengirim serangan serangan maut yang tidak boleh dipandang rendah.
Kenangasari pandai sekali bersilat keris dan setiap tusukannya mengarah bagian-bagian tubuh yang berbahaya. Sedangkan Sukarti dan Widarti agaknya memang khusus mempelajari silat menggunakan gendewa yang kedua ujungnya runcing itu. Ketika mereka berdua itu menggerakkan gendewa mereka untuk menyerang, terdengar bunyi mengaung dan tali gendewa saking kuatnya senjata itu digerakkan.
Dua puluh jurus lebih telah lewat dan selama itu tiga orang wanita yang biasanya amat tangguh kalau maju bertiga sehingga mereka dipercaya sebagai pengawal-pengawal pribadi Pangeran Hendratama itu menjadi penasaran sekali.
Mereka mengerahkan seluruh tenaga sakti mereka dan mengeluarkan semua jurus simpanan yang ampuh. Namun tetap saja mereka tidak pernah menyentuh ujung baju Nurseta, apa lagi melukainya. Bahkan karena sejak tadi mereka mengerahkan terlalu banyak tenaga, padahal semalam mereka sama sekali tidak tidur, mereka menjadi kelelahan dan baju mereka telah menjadi basah oleh keringat.
Nurseta melihat betapa tiga orang lawannya mulai lemah dan kurang cepat serangan mereka. Cepat Nurseta melompat ke belakang dan begitu turun ke atas tanah, cepat dia membalik, kedua kakinya ditekuk dan kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka mendorong ke depan, ke arah tiga orang wanita itu.
"Haaaiiittt .....!"
Serangkum angin yang kuat melanda tiga orang wanita itu. Mereka terkejut dan cepat mengerahkan tenaga menyambut. Akan tetapi tetap saja mereka merasa tubuh mereka tiba tiba menjadi lemas, seperti lumpuh dan mereka terkulai roboh. Nurseta mendekati mereka dan merampas dua batang gendewa dan sebatang keris, lalu menggunakan jari-jari tangannya dan dengan mudah dia mematahkan dua batang gendewa dan sebatang keris itu, lalu melemparkannya ke atas tanah.
"Maafkan, terpaksa aku membuat kalian tidak mampu menyerangku lagi. Nah, sekarang, katakanlah di mana aku dapat bertemu dengan Raden Hendratama dan kalian akan kubebaskan."
"Tidak sudi kami mengkhianati suami kami!"
Bentak Kenangasari yang masih galak.
"Nurseta, kami telah kalah. Kalau mau bunuh, bunuhlah kami. Jangan harap kami akan sudi mengatakan sesuatu tentang keris dan Gusti Pangeran!"
Kata pula Sukarti.
Dari sikap dan suara dua orang gadis yang sudah tidak mampu bergerak itu, Nurseta tahu bahwa dia tidak dapat mengharapkan jawaban yang jujur dari mereka. Melihat Widarti diam saja dan hanya menundukkan mukanya, tiba-tiba dia mendapat akal. Cepat dia menyambar tubuh Widarti, memondongnya dan membawanya lari seperti terbang cepatnya meninggalkan dua orang gadis yang lain.
"Widarti...... jangan mengkhianati Gusti Pangeran.....!"
Terdengar dua orang gadis itu berteriak-teriak.
Akan tetapi Nurseta telah pergi jauh sehingga tidak tampak oleh mereka. Nurseta hanya pergi sekitar selepasan anak panah dari mereka dan menurunkan Widarti di atas tanah berumput lalu membebaskan kelemasan tubuhnya dengan menepuk punggungnya. Widarti dapat bergerak kembali, la masih duduk di atas rumput dan ia memandang kepada Nurseta. Mereka saling pandang dan diam diam Nurseta harus mengakui dalam hatinya bahwa kalau saja gadis ini seorang gadis baik-baik, bukan selir Raden Hendratama dan tidak membantu pangeran itu melakukan perbuatan tak terpuji, agaknya akan mudah terjadi bahwa dia merasa tertarik dan suka sekali kepada gadis ini sehingga besar kemungkinan jatuh cinta! Sepasang mata itu! Mulut mungil itu! Entah mana yang lebih indah menggairahkan. Lesung pipit itu, kini tampak karena Widarti tiba-tiba tersenyum!
"Hemm, Kakang Nurseta, tadinya kukira emas murni, tidak tahunya hanya tembaga dilapis emas!"
"Apa maksudmu, nimas?"
"Tadinya kukira engkau seorang ksatria sejati, tidak tahunya sama saja. dengan semua laki-laki yang mata keranjang dan berwatak cabul!"
Wajah Nurseta berubah merah.
"Nimas Widarti, apa maksudmu dengan tuduhan keji terhadap diriku itu?"
Widarti tersenyum dan lesung pipitnya tampak nyata, membuat wajah itu manis bukan main melebihi madu!
"KakangMas Nurseta, engkau telah mengalahkan aku dan kedua orang maduku, akan tetapi engkau memondongku dan membawa aku lari ke tempat ini, apa lagi kehendakmu kalau tidak ingin mengajak aku bermain cinta?"
"Tidak tahu malu!"
Nurseta membentak marah sehingga gadis itu menjadi kaget.
"Engkau menilai terlalu rendah! Nimas Widarti, kaukira aku ini laki-laki macam itukah? Engkau keliru besar! Biarpun harus kuakui bahwa engkau seorang gadis yang ayu manis merak ati, namun jangan dikira bahwa aku mudah tergila-gila oleh kecantikan wanita dan mudah dipermainkan nafsu berahi! Tidak sama sekali, nimas. Aku membawamu kesini karena melihat engkau berbeda dengan dua orang wanita yang lain itu dan kuharap engkau akan dapat bersikap lebih jujur kepadaku, dapat melihat bahwa aku berada di pihak benar dan mau menunjukkan kepadaku di mana aku dapat menemukan Pangeran Hendratama."
Mendengar ucapan pemuda itu, Widarti lalu merangkak maju menyembah kepada Nurseta.
"Aduh, Kakangmas Nurseta, maafkan tuduhanku yang lancang dan tidak patut tadi. Aku telah salah sangka ....."
Mendengar suara gadis itu bercampur isak, Nurseta lalu duduk pula di atas rumput dan berkata.
"Ah, jangan begitu, nimas. Aku tahu mengapa engkau salah sangka terhadap diriku. Aku tahu pula bahwa engkau adalah seorang gadis yang baik, tidak seperti dua orang yang lain itu. Akan tetapi aku merasa heran sekali, mengapa engkau yang masih begini muda dapat..... eh, dapat menjadi..... eh, maksudku..... benarkah seperti apa yang dikatakan Kenangasari bahwa kalian bertiga adalah selir-selir Raden Hendratama, nimas?"
Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Widarti mengusap beberapa butir air mata yang membasahi pipinya. Ia duduk dan melihat rumput itu agak basah Nurseta lalu mengajaknya duduk di atas batu. Setelah duduk berhadapan, Widarti berkata lirih.
"Memang benar, kakangmas Kami adalah selir-selir Pangeran Hendratama. Kenapa kami semua setia kepadanya, bahkan rela membelanya sampai mati? Ketahuilah, kakangmas. Kami bersikap seperti itu karena terpaksa sekali."
"Terpaksa? Apa maksudmu, nimas?"
"Kakangmas Nurseta, terus terang saja. Belum pernah aku bertemu dengan seorang pria sepertimu, yang sakti mandraguna, juga sopan santun, bersusila dan amat menarik hatiku. Aku mau menceritakan segala tentang diriku dan tentang Pangeran Hendratama, akan tetapi terus terang saja, aku tidak dapat menceritakan padamu di mana adanya sang pangeran itu. Aku tidak berani, kakangmas."
Nurseta mengerutkan alisnya. Dia mengerti bahwa tentu ada sesuatu yang mengancam gadis ini sehingga ia takut membuka rahasia di mana adanya Pangeran Hendratama. Dia mengangguk dan berkata,
"Baiklah, nimas. Akupun tidak akan memaksamu. Ceritakan saja apa yang dapat kauceritakan dan aku sudah berterima kasih sekali kepadamu atas kepercayaanmu kepadaku."
"Pangeran Hendratama adalah kakak ipar dari Sang Prabu Erlangga. Ketika Sang Prabu Erlangga yang menikah dengan adiknya, menggantikan kedudukan Sang Prabu Dharmawangsa yang menjadi ayah kandung Pangeran Hendratama, dia merasa sakit hati karena dia merasa bahwa semestinya dia yang berhak melanjutkan kedudukan sebagai raja. Akan tetapi karena ibunya dari kasta yang rendah, maka dia kehilangan kedudukan itu. Dalam keadaan marah dan dendam dia meninggalkan kota raja. Akan tetapi, Pangeran Hendratama masih mempunyai pengaruh yang besar sekali, dan diapun berhasil membawa lari dari kota raja sejumlah besar harta kekayaan. Dia bercita-cita untuk pada suatu hari dapat menjadi raja dan untuk cita-cita itu dia bahkan mengadakan hubungan dengan kerajaan-kerajaan yang pada waktu ini sedang memusuhi Sang Prabu Erlangga.
"Hernm, jadi dia merencana kan pemberontakan?"
"Begitulah, akan tetapi tentu saja untuk bergerak sendiri dia tidak akan berani karena tidak mempunyai cukup pasukan yang kuat."
"Dan engkau tadi mengatakan bahwa kalian bertiga menjadi selirnya dan setia kepadanya karena terpaksa sekali. Apa yang memaksamu, nimas?"
"Ayah ibuku hanya mempunyai aku sebagai anak tunggal. Ayahku dahulu menjadi perwira dalam pasukan mendiang Prabu Teguh Dharmawangsa yang setia kepada Pangeran Hendratama dan sampai sekarang masih menjadi pembantunya.. juga ayah mbakyu Sukarti dan ayah mbakayu Kenangasari, mereka adalah perajurit-perajurit yang setia kepada Pangeran Hendratama. Karena itu, ketika Pangeran Hendratama mengambil kami bertiga sebagai selir-selirnya yang terpercaya, para orang tua kami tidak berani menolaknya. Bahkan mereka berpengharapan apabila kelak sang pangeran menjadi raja, tentu kami dan orang tua kami akan naik derajat dan mendapatkan kemuliaan."
"Hemm,"
Kata Nurseta dengan hati merasa penasaran.
"berarti engkau telah dijual, nimas! Dan engkau merasa berbahagia menjadi selir pangeran itu dan karena itu setia kepadanya sampai mati?"
"Sama sekali tidak begitu, kakangmas. Di dasar hatiku aku merasa sedih dan menyesal sekali, akan
(Lanjut ke Jilid 05)
Keris Pusaka Sang Megatantra (seri ke 01 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 05
tetapi kami tidak berdaya, kakangmas. Kami tahu bahwa kalau kami menolak, bahkan kalau kami sampai tidak setia, misalnya sekarang ini kalau sampai aku menceritakan kepadamu di mana engkau dapat menemukan dia, akibatnya dapat merupakan malapetaka bagi keluargaku. Orang tuaku tentu akan menerima hukuman, mungkin kematian. Inilah yang membuat kami bertiga tidak berdaya dan harus setia dan mematuhi segala perintah pangeran."
"Ah, betapa kejamnya pangeran itu!"
Kata Nurseta sambil mengepal tangannya dengan hati geram.
"Bagaimanapun juga, sikapnya terhadap kami bertiga baik sekali, kakangmas. Kami diberi kebebasan, agaknya karena dia percaya bahwa kami tidak mungkin berani mengkhianatinya setelah orang tua kami berada dalam cengkeramannya, Bahkan dia memperlihatkan kasih sayang kepada kami, memanjakan kami, juga dia melatih kami dengan aji kanuragan sehingga kami kini menjadi pengawal-pengawal pribadinya yang dapat diandalkan dan setia."
"Hemm, karena sikapnya yang baik itu, maka kalian bertiga amat mencintanya."
"Bagiku sama sekali tidak, kakangmas. Mungkin mbakayu Sukarti dan mbakayu Kenangasari benar-benar mencintanya sehingga mereka suka bersaing memperebutkan perhatian sang pangeran. Akan tetapi, aku tahu bahwa kebaikan sang pangeran itu hanya sebagai lapisan luar saja, karena itu biarpun pada lahirnya aku terpaksa tunduk dan taat kepadanya, di dalam hati aku merana, bahkan diam diam membencinya! Akan tetapi...... betapapun kagumku kepadamu..... sehingga mau rasanya aku melakukan apa pun juga untukmu..... akan tetapi untuk mengaku di mana dia berada, aku tidak berani, kakangmas..... aku takut kalau-kalau orang tuaku dibunuhnya....."
Gadis itu kini menangis terisak-isak. Semua kesedihan yang selama ini ditekan dan disembunyikannya, membanjir keluar menjadi tangis mengguguk.
Melihat gadis itu menangis tersedu-sedu demikian sedihnya Nurseta merasa iba sekali dan dia tidak tahan untuk tidak mencoba untuk menghiburnya. Dia mendekat dan dipegangnya kedua pundak gadis itu yang berguncang-guncang.
"Kasihan sekali engkau, Nimas Widarti .....!"
Katanya halus.
Merasakan kedua pundaknya disentuh lembut dan mendengar kata-kata itu, Widarti mendesah panjang dan menubruk, merangkul dan merapatkan mukanya di dada pemuda itu sambil menangis sesenggukan. Nurseta merasa kaget dan juga bingung, salah tingkah dan tidak tahu harus berbuat apa, akan tetapi karena dia terbawa kesedihan gadis itu, diapun bermaksud menghibur dengan mengelus rambut yang halus, hitam dan berbau kembang melati itu. Sejenak ada perasaan haru yang lembut sekali, perasaan mesra dan dekat sekali dengan gadis itu. Akan tetapi dia segera menyadari bahwa keadaan seperti ini kalau dibiarkan dapat membahayakan karena rasa haru yang mendalam itu dapat saja menyeretnya kepada gairah berahi. Dia lalu dengan lembut mendorong gadis itu merenggang dan membantunya duduk dengan tegak di atas batu. Widarti masih menangis dan menutupi muka dengan kedua tangannya.
"Aku merasa iba sekali kepadamu yang bernasib malang, Nimas Widarti. Percayalah, kalau aku dapat bertemu dengan Pangeran Hendratama, aku akan menegurnya dan akan kuminta agar dia suka melepaskan cengkeramannya kepada engkau dan keluargamu!"
"Tidak mungkin! Jangan lakukan itu, kakangmas, bukan dia yang mencengkeram, melainkan ayahku sendiri yang sangat setia kepadanya. Mereka semua setia kepadanya, termasuk kedua orang maduku itu karena mereka mengharapkan agar sang pangeran kelak menjadi raja dan merekapun akan mendapatkan kedudukan tinggi dan kemuliaan."
Nurseta menghela napas panjang. Kalau demikian halnya, keadaan gadis ini sungguh serba salah. Keadaan orang tuanya berlawanan dengan keinginan hatinya.
"Ah, nimas. Kalau begitu, apa yang dapat kulakukan untukmu?"
"Kakangmas Nurseta, kalau engkau dapat membebaskan aku dari sang pangeran, tanpa membahayakan ayah ibuku, aku..... aku mau menjadi apapun juga. Aku mau menjadi hambamu, mencucikan pakaianmu, memasakkan makananmu, apa saja yang kaukehendaki dariku, akan kulakukan dengan senang hati."
Gadis itu kembali menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Nurseta.
Nurseta menarik napas panjang dan dengan kedua tangannya dia memegang kedua pundak Widarti dan mengangkatnya bangkit berdiri.
"Nimas, kalau keadaanmu ini memang sudah dikehendaki oleh orang tuamu, aku tidak dapat berbuat apa-apa. Engkau sendirilah yang dapat menentukan, apakah engkau akan tetap menjadi selir dan pembantu Raden Hendratama ataukah engkau akan meninggalkannya. Aku tidak ingin mencampuri urusan pribadi kalian, juga aku tidak mengharapkan apa-apa darimu. Apakah engkau tetap tidak ingin menceritakan kepadaku di mana kiranya aku dapat menemukan Raden Hendratama? Aku ingin minta kembalinya kerisku."
Widarti menggelengkan kepalanya dengan sedih.
"Aku tidak berani mengatakannya, Kakangmas Nurseta."
"Kalau begitu, sudahlah. Aku akan mencarinya sendiri. Selamat tinggal, Nimas Widarti. Kembalilah engkau kepada dua orang madumu itu. Mereka akan pulih sendiri beberapa saat kemudian."
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Nurseta sudah lenyap dari depan Widarti.
"Kakangmas Nurseta .....!!"
Gadis itu memanggil dengan suara melengking
Akan tetapi Nurseta telah lenyap dan gadis itu mengepal tangan kanannya menggigit bibirnya, merasa kecewa dan menyesal bukan main. Ia tadi bicara sesungguhnya kepada Nurseta. Berbeda dengan dua orang madunya, ia tidak menginginkan kedudukan tinggi di samping Raden Hendratama. Ia tahu bahwa cinta suaminya itu kepadanya hanyalah cinta birahi belaka, karena ia muda dan cantik seperti dua orang madunya. Pada hakekatnya, mereka bertiga hanya dijadikan pemuas nafsu pangeran itu, di samping menjadi pengawal pribadi. Pangeran itu memang tampak sayang kepada mereka, namun sayangnya itu seperti menyayangi benda yang indah dan dapat dipergunakan demi kesenangan dan kepentingan pribadi. Buktinya, dia tidak segan-segan menawarkan mereka bertiga kepada laki-laki lain sebagai umpan demi keuntungan dirinya sendiri.
Hatinya terasa sakit sekali, akan tetapi apa dayanya? Orang tuanya menghendaki demikian. Benar juga apa yang dikatakan Kakangmas Nurseta, demikian bisik hatinya. Kalau orang tuanya menghendaki demikian, iapun tidak dapat berbuat apa apa tanpa membahayakan kehidupan orang tuanya. Dengan tangan kirinya Widarti mengusap dua butir air mata yang masih tersisa, mengusir bayangan wajah Nurseta yang tadinya diharapkan untuk dapat mengubah keadaan hidupnya.
Kemudian dengan langkah gontai ia kembali ke tempat Nurseta meninggalkan Sukarti dan Kenangasari. Ternyata benar seperti yang dikatakan Nurseta, ketika Widarti tiba di situ, ia melihat Sukarti dan Kenangasari sudah bangkit duduk dan mereka berdua duduk bersila melatih pernapasan untuk memulihkan tenaga mereka yang tadi terasa meninggalkan tubuh mereka.
Melihat Widarti datang, keduanya bangkit berdiri dan ternyata tenaga mereka telah pulih kembali.
"Widarti, engkau membocorkan rahasia Pangeran? Engkau mengkhianatinya?"
Tanya Sukarti sambil menatap wajah madunya dengan penuh selidik.
"Engkau diapakan olehnya, Widarti?"
Tanya Kenangasari sambil memandang dengan senyum mengejek.
"Aku sama sekali tidak mengkhianati pangeran, Mbakayu Sukarti. Dan akupun tidak diapa-apakan oleh Kakangmas Nurseta, Mbakayu Kenangasari."
Bantah Widarti.
"Ihh, siapa mau percaya? Dia telah memondongmu pergi, mau apa lagi kalau tidak begitu7 Engkau pasti sudah dianu, setidaknya satu kali!"
Ejek Kenangasari yang centil.
Merah wajah Widarti, ia marah bukan karena dirinya sendiri, melainkan marah karena merasa betapa Nurseta yang demikian baik dan bersih, seorang ksatria sejati, disamakan dengan laki-laki kebanyakan yang hidung belang dan mata keranjang!
"Mbakayu Kenangasari! Kakangmas Nurseta bukanlah seorang laki-laki macam itu!"
Teriaknya penasaran dan marah.
"Nah-nah, engkau membelanya mati-matian. Sudah jatuh cinta rupanya!"
Kenangasari menggoda dengan hati curiga dan juga iri karena ia sendiri harus mengakui bahwa seorang pemuda yang demikian sakti mandraguna sungguh merupakan pria yang menggairahkan hatinya.
"Mbakayu Kenangasari! Engkau menuduh yang bukanbukan!"
Kembali Widarti berteriak untuk menyembunyikan perasaan hatinya yang terguncang karena dugaan Kenangasari itu memang tepat. Ia memang telah jatuh cinta kepada Nurseta.
"Sudahlah, jangan ribut!"
Sukarti melerai dan mencela.
"Sekarang ceritakanlah apa maunya membawamu pergi dari sini tadi."
"Dia memang membujukku agar memberi tahu di mana Pangeran Hendratama berada, akan tetapi tentu saja aku tidak mau memberitahukannya. Akhirnya dia pergi meninggalkan aku dan aku lalu cepat kembali ke sini. Hanya itulah yang terjadi dan jangan menuduh yang bukan bukan! Bagaimanapun juga, aku harus mengakui bahwa Kakangmas Nurseta itu seorang laki-laki yang bijaksana dan sopan, sama sekali tidak menggangguku!"
"Sudahlah, mari kita susul Pangeran dan melapor kepadanya agar dia berhati-hati, jangan sampai dapat ditemukan pemuda yang sakti mandraguna itu."
Kata Sukarti dan tiga orang wanita ayu itu segera meninggalkan tempat itu.
Kita tinggalkan dulu Nurseta yang kehilangan keris pusaka Megatantra, dan mari kita menjenguk keadaan Kerajaan Kahuripan yang dipimpin oleh Sang Prabu Erlangga yang terkenal arif bijaksana. Pada suatu pagi, bukan hari persidangan menghadap raja, Sang Prabu Erlangga mengutus seorang perajurit pengawal dalam istana untuk pergi memanggil Ki Patih Narotama agar datang menghadap dengan segera.
Ki Patih Narotama yang sedang duduk seorang diri di gedung kepatihan tidak merasa heran menerima panggilan mendadak bukan pada hari paseban (menghadap raja) ini karena antara Sang Prabu Erlangga dan dia memiliki hubungan yang amat dekat. Bukan sekadar hubungan antara raja dan patihnya, melainkan lebih dari itu. Sebagai sahabat, juga sebagai saudara seperguruan yang memiliki ikatan batin yang jauh lebih dekat daripada saudara sekandung. Karena itu, diapun segera membereskan pakaian lalu cepat pergi ke istana raja dan langsung memasuki ruangan pustaka di mana Sang Prabu Erlangga biasanya bicara berdua dengannya.
Tepat seperti diduganya, ketika dia memasuki ruangan tertutup itu, dia melihat Sang Prabu Erlangga sudah duduk menantinya di atas sebuah kursi berukir indah. Ki Patih Narotama cepat maju berlutut dan memberi hormat dengan sembah.
"Ah, apa andika lupa akan kebiasaan kita, Kakang Narotama? Dalam pertemuan resmi, aku memang gustimu Sang Prabu Erlangga dan engkau pembantuku, Kakang Patih Narotama. Akan tetapi, dalam pertemuan tidak resmi, engkau adalah Kakang Narotama sahabat karibku dan aku bagimu adalah Adi Erlangga. Bangkit dan duduklah. Bicara begini tidak enak dan tidak leluasa."
Kata Sang Prabu Erlangga yang usianya sekitar dua puluh lima tahun dan tampak tampan, berkulit kuning bersih, berwajah cerah dan matanya bersinar tajam mencorong penuh wibawa.
Narotama menyembah lagi, lalu bangkit berdiri dan duduk di atas kursi di depan junjungannya.
"Terima kasih dan ampunkan kelancanganku, gusti....."
"Lha! Andika mulai lagi. Bersikaplah biasa, kakang, agar kita dapat bicara dengan santai dan enak."
"Baiklah, Yayi Prabu. Perintah apakah gerangan yang hendak paduka berikan kepada hamba. Hamba siap melaksanakan semua perintah paduka dengan taruhan nyawa hamba."
Prabu Erlangga tertawa. Suara tawanya renyah dan sedap didengar. Dalam persidangan resmi, tentu saja dia tidak akan tertawa sebebas itu. Akan tetapi, bicara dengan Narotama dia merasa seperti bicara dengan keluarga sendiri.
"Ha-ha-ha, Kakang Narotama! Tidak perlu andika berjanji lagi karena aku sudah yakin sepenuhnya akan kesetiaanmu kepadaku. Untuk itu, aku tiada hentinya berterima kasih dalam hatiku kepadamu. Kakang Narotama, pernahkah andika mendengar akan nama Ki Nagakumala yang bertapa di Bukit Junggringslaka di pantai Laut Kidul?"
Narotama mengangguk-angguk.
"Ki Nagakumala yang mengundurkan diri ke Bukit Junggringslaka itu adalah kakak dari Ratu Durgamala dari Kerajaan Parang Siluman. Dia itukah yang paduka maksudkan?"
"Benar sekali, kakang. Ki Nagakumala adalah kakak Ratu Kerajaan Parang Siluman dan dia juga bekas suami Ratu Mayang Gupita dari Kerajaan Siluman yang berada di sebelah timur Kerajaan Parang Siluman, dekat perbatasan Blambangan."
"Ada apakah dengan Ki Nagakumala, Yayi Prabu? Tampaknya dia kini tidak membuat gerakan apa-apa untuk menentang kita, tidak membantu Parang Siluman, juga tidak membantu Kerajaan Siluman dekat Blambangan."
"Begini, kakang. Kalau saja kita dapat mengulurkan tangan persaudaraan dengan Ki Nagakumala, maka melalui dia kiranya akan mudah membujuk Kerajaan Siluman dan juga Kerajaan Parang Siluman untuk berdamai sehingga berkuranglah daerah yang memusuhi kita."
"Akan tetapi bagaimana caranya, Yayi Prabu? Mohon petunjuk paduka."
"Pernahkah engkau mendengar bahwa Ki Nagakumala mempunyai dua orang keponakan perempuan yang juga menjadi murid-muridnya? Menurut laporan penyelidik, dua orang gadis keponakan Ki Nagakumala itu cantik jelita bagaikan dewi kahyangan! Nah, aku dapat memetik dua keuntungan kalau tugasmu berhasil baik, kakang. Yaitu mendapatkan dua orang selir cantik jelita dan sakti mandraguna, dan di samping itu, Ki Nagakumala dapat menjadi jembatan untuk mengadakan hubungan persahabatan dengan dua orang ratu yang selama ini memusuhi kita."
Narotama mengangguk-angguk. Biarpun pada wajahnya tidak tampak sesuatu, namun dalam hatinya dia tertawa. Dia mengenal benar junjungannya ini. Seorang raja yang masih muda dan tampan, dan berjiwa romantis seperti watak Arjuna Perang dan memboyong puteri cantik, itu merupakan satu di antara kegemarannya. Walaupun demikian, tidak pernah raja ini menggunakan kekerasan untuk menundukkan wanita.
Biasanya, para wanita yang saling berebutan untuk dapat menjadi kekasih atau selirnya. Hal ini tidaklah mengherankan. Perawan mana (pada jaman itu) yang tidak rindu untuk menjadi kekasih Prabu Erlangga, raja yang masih belia, elok dan tampan, gagah perkasa dan sakti mandraguna di samping arif bijaksana pula itu?
"Bagaimana, kakang. Kenapa andika diam saja?"
Narotama terkejut dan sadar dari lamunannya.
"Sendika dhawuh paduka, Yayi Prabu. Akan tetapi, bagaimana selanjutnya? Apa yang harus hamba lakukan?"
"Ah, apakah andika masih belum dapat menduga apa yang harus kaulakukan, kakang?"
Narotama tersenyum.
"Apakah hamba harus mendatangi Ki Nagakumala dan mengajukan pinangan atas diri dua orang keponakan atau muridnya itu?"
Prabu Erlangga tertawa.
"Ha-ha, aku mengira tadi kecerdikan andika sudah mulai berkurang. Ternyata andika masih cerdik dan tanggap seperti dulu, Kakang Narotama. Memang itulah yang kukehendaki. Kalau pinanganku d iterima, berarti aku mendapatkan dua orang gadis cantik sebagai selir dan pengawal pribadi, juga Ki Nagakumala dapat berjasa mendamaikan kita dengan dua orang ratu kerajaan kecil yang merongrong kita itu."
"Hamba mohon petunjuk, Yayi Prabu, bagaimana kalau pinangan ditolak Ki Nagakumala?"
Prabu Erlangga termenung dan mengerutkan alisnya yang bagus bentuknya dan hitam.
"Ditolak? Mungkinkah itu? Hemm, ya, mungkin saja ditolak. Nah, kalau ditolak, aku menyerahkan purba wasesanya sepenuhnya kepadamu, kakang. Andika boleh melakukan apa saja atas namaku dan sebagai wakilku. Sudah jelaskah, Kakang Narotama?"
"Sudah jelas bagi hamba, Yayi Prabu."
"Nah, kalau begitu berangkatlah sekarang juga. Andika boleh membawa pasukan sesukamu dan kubekali doa restuku semoga tugasmu berhasil baik."
"Terima kasih, Yayi prabu, hamba pamit undur."
Narotama lalu meninggalkan istana dan kembali ke gedung kepatihan, di mana isterinya, Listyarini, yang baru dinikahi setahun yang lalu dan belum mempunyai keturunan, menanti dengan tidak sabar. Wanita yang berasal dari kaki Gunung Mahameru ini tahu benar bahwa kalau suaminya dipanggil Sang Prabu pada waktu bukan sidang, tentu ada perkara yang gawat sekali, yang biasa dirundingkan berdua saja oleh raja dan patihnya yang masih muda-muda dan sakti mandraguna itu.
"Kakangmas, urusan apakah gerangan yang menyebabkan Gusti Sinuwun memanggil paduka?"
Sambut Listyarini dengan wajah manis.
Narotama merangkul isterinya dan mengajaknya duduk di atas balai-balai di ruangan depan kepatihan.
"Urusan penting sekali, diajeng. Aku diminta untuk mewakili gusti sinuwun melakukan pinangan."
"Pinangan? Siapa yang dipinang gusti sinuwun?"
Tanya Listyarini heran. Biasanya, kalau sang prabu menginginkan seorang selir, dia tinggal mengutus pengawal biasa saja untuk mengurusnya. Kalau sekarang suaminya, patih dan merupakan orang ke dua di Kerajaan Kahuripan setelah Sang Prabu Erlangga, maka dua orang gadis yang dipinang itu tentulah bukan orang sembarangan!
"Yang dipinang itu keponakan yang juga merupakan murid-murid Ki Nagakumala, pertapa di Bukit Junggringslaka. Karena pinangan ini ada hubungannya dengan kepentingan kerajaan, maka Gusti Sinuwun mengutus aku sendiri yang melakukan pinangan."
Setelah berpamit kepada isterinya, pada hari itu juga Ki Patih Narotama berangkat melaksanakan tugasnya. Seperti biasa kalau menerima tugas urusan pribadi dari Sang Prabu Erlangga, Narotama berangkat seorang diri, tidak mau membawa pasukan, apa lagi tugas ini hanya untuk menghadapi seorang pertapa, bukan tugas untuk menggempur atau berperang. Juga seperti sudah menjadi kebiasaannya, kalau melakukan perjalanan, Ki patih Narotama yang usianya baru dua puluh tujuh tahun ini tidak suka menggunakan kereta kebesaran dan tidak mengenakan pakaian sebagai pejabat dan bangsawan tinggi. Dia merasa lebih leluasa berpakaian biasa saja, seperti dulu sebelum menjadi patih dan merantau dari Nusa Bali ke Nusa Jawa bersama Sang Prabu Erlangga yang ketika itu masih menjadi seorang pangeran Bali. Dia hanya menunggang seekor kuda pilihan yang tinggi besar dan kuat, menyusuri Kali Brantas menuju ke selatan.
Jajaran perbukitan yang membujur dari barat ke timur itu berada dekat pantai, seolah menjadi bendungan alam besar yang mencegah meluapnya air Laut Selatan ke darat. Ada dongeng menceritakan bahwa dahulu kala, terjadi perang antara Penguasa Laut Kidul dan Para Dewa penjaga Nusa Jawa. Kerajaan Laut Selatan mengancam akan menenggelamkan seluruh pulau dengan air pasang yang akan menelan Pulau Jawa. Akan tetapi para dewa mempergunakan kesaktian mereka untuk menciptakan bukit-bukit di sepanjang Pulau Jawa bagian selatan, dekat pantai untuk menolak air yang akan membanjiri daratan. Sebagian besar dari bukit-bukit ini merupakan bukit kapur yang tandus. Akan tetapi ada pula beberapa buah bukit yang bertanah subur sehingga penuh dengan tanaman menghijau. Di antara bukit-bukit subur ini terdapat sebuah bukit yang agak menjulang tinggi. Itulah Bukit Junggringslaka, menghadap ke selatan, ke arah lautan, seolah merupakan satu di antara para dewa yang berdiri dan melakukan penjagaan di situ untuk menentang kemurkaan kerajaan Laut Kidul!
Biarpun memiliki tanah subur, Bukit Junggringslaka ini merupakan tempat yang wingit. Para petani di sekitar bukit ini tidak berani mendirikan rumah di bukit itu sehingga dari kaki sampai ke puncak bukit, tidak tampak ada dusun. Dusun-dusun yang ada didirikan agak jauh di sekeliling bukit. Orang-orang memilih daerah yang kurang subur tanahnya dari pada Bukit Junggringslaka, karena bukit itu dianggap keramat dan menjadi tempat para dewa mengadakan pertemuan. Sudah terjadi beberapa kali ada petani kedapatan tewas ketika berani mendaki bukit untuk mencari kayu atau tanaman. Apa lagi setelah para penghuni dusun di sekitarnya tahu bahwa di puncak bukit itu terdapat seorang pertapa yang aneh dan kabarnya sakti mandraguna.
Pertapa itu adalah Ki Nagakumala yang tidak menghendaki seorangpun melanggar bukit yang telah dianggap sebagai milik pribadi dan wilayahnya. Juga semua orang tahu bahwa kakek pertapa itu tinggal di puncak bukit bersama dua orang gadis yang luar biasa cantik jelitanya sehingga mereka semua sepakat untuk mengakui bahwa dua orang wanita muda itu sudah pasti bukan manusia, melainkan dewi atau peri atau siluman. Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani berterus terang mengatakan hal ini dan kala sewaktu-waktu seorang di antara mereka atau keduanya turun bukit mengunjungi dusun mereka, mereka menyambutnya dengan ramah dan hormat.
Apa lagi karena dua orang gadis cantik jelita bernama Lasmini dan Mandari itu tak pernah mengganggu penduduk, dan bahkan setiap membutuhkan sesuatu mereka membeli dari penduduk dan royal sekali dalam memberi hadiah. Akan tetapi, keramahan mereka itu tetap saja tidak membuat para pria di seluruh dusun sekitar situ berani bersikap kurang hormat, apa lagi kurang ajar. Hal ini merupakan akibat dari peristiwa yang terjadi dua tahun yang lalu. Karena dua orang gadis itu memang cantik jelita luar biasa, maka setiap orang laki-laki yang memandang mereka, langsung tergila-gila. Pada waktu itu, maklum orang muda, ada dua orang pemuda yang datang dari dusun yang agak jauh dari situ, berani bersikap kurang ajar untuk menarik perhatian Lasmini dan Mandari. Dan apa akibatnya? Banyak sekali penduduk dusun melihat betapa dua orang gadis itu menghajar dua orang pemuda itu sampai tewas dengan tubuh remuk-remuk! Semenjak itu, tahulah semua orang bahwa dua orang gadis itu sakti mandraguna dan semua orang menganggap mereka berdua itu sebangsa peri atau siluman. Sejak itu tak ada seorangpun berani bersikap kurang ajar, bahkan menatap wajah mereka secara langsung saja mereka tidak berani.
Siapakah K i Nagakumala yang hidup sebagai pertapa di puncak Bukit Junggringslaka itu? Nama kakek ini sudah terkenal sejak puluhan tahun yang lalu. Dia adalah kakak dari Ratu Durgamala yang memerintah Kerajaan kecil Parang Siluman di pantai Laut Kidul. Mestinya dia mewarisi tahta kerajaan kecil itu dari ayah mereka, akan tetapi karena Ki Nagakumala ingin menikah dengan Ratu Mayang Gupita yang memerintah Kerajaan Siluman, juga di pantai Laut Kidul sebelah timur, maka dia mengalah dan menyerahkan kerajaan kecil Parang Siluman itu kepada adiknya. Setelah menikah dengan Ratu Mayang Gupita yang sakti, Nagakumala memperdalam ilmunya dan saling berlatih dengan isterinya yang sakti mandraguna. Akan tetapi, setelah belasan tahun menjadi suami isteri dan tidak mempunyai keturunan, Ki Nagakumala menjadi jenuh juga. Apa lagi ketika adiknya yang menjadi ratu di Kerajaan Parang Siluman menjadi janda karena suaminya telah pergi meninggalkannya dan kini ia hidup dengan dua orang puterinya, Nagakumala lalu meninggalkan Ratu Mayang Gupita dan kembali ke Parang Siluman.
Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo