Nurseta Satria Karang Tirta 11
Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo Bagian 11
Di ujung dusun itu terdapat sebuah rumah yang sedang namun terawat baik dan tampak mungil dan kokoh, mempunyai halaman depan yang ditanami bunga-bunga dan pohon-pohon buah. Di belakang rumah terdapat kebun sayur yang cukupi luas. Ini adalah rumah tempat tinggal Ki Dharmaguna bersama isterinya, Endang Sawitri. Ki Dharmaguna adalah seorang pria tampan yang lemah lembut, sikapnya sederhana, ramah dan sabar. Usianya sekitar empat puluh lima tahun, namun rambutnya sudah bercampur uban karena selama setengah dari usianya dia mengalami banyak penderitaan batin. Isterinya Nyi Endang Sawitri, adalah seorang wanita cantik dan lembut pula, anggun dan gerak-geriknya gesit. Wanita ini berusia sekitar empat puluh tahun. Ia pun mengalami banyak penderitaan batin seperti suaminya sehingga walaupun ia tergolong cantik, namun sinar matanya sayu.
Riwayat suami isteri ini memang menyedihkan. Endang Sawitri adalah puteri tunggal dari Senopati Sindukerta, seorang di antara senopati terkenal dari Kahuripan, dan ia amat disayang orang tuanya. Ketika ia berusia tujuh belas tahun, gadis bangsawan ini saling jatuh cinta dengan Dharmaguna, seorang pemuda putera mendiang Ki Jatimurti, seorang pendeta yang miskin. Senopati Sindukerta dan isterinya tidak setuju mempunyai mantu seorang pemuda putera pendeta miskin. Mereka mendambakan mantu seorang priyagung (bangsawan tinggi) yang akan membuat puteri mereka hidup terhormat. Akan tetapi, hubungan cinta antara Endang Sawitri dan Dharmaguna sudah sedemikian kuatnya sehingga mereka berdua nekat minggat meninggalkan Kahuripan.
Senopati Sindukerta marah sekali kepada Dharmaguna yang dianggap menculik dan melarikan anak tunggalnya. Dia mengerahkan pasukan melakukan pengejaran dan pencarian, namun semua usahanya itu sia-sia belaka. Endang Sawitri dan Dharmaguna yang sudah menjadi suami isteri itu
melarikan diri dan bersembunyi dengan cara berpindah-pindah tempat.
Setahun kemudian, Endang Sawitri melahirkan seorang anak yang mereka beri nama Nurseta. Bahkan setelah mempunyai seorang anak, mereka tetap berpindah-pindah untuk menghilangkan jejak. Ketika Nurseta berusia tiga tahun, suami isteri ini tinggal di dusun Karang Tirta. Selama tiga tahun, sampai Nurseta berusia enam tahun, mereka hidup tenteram di Karang Tirta, tidak pindah-pindah lagi karena tidak terdapat tanda-tanda bahwa para utusan Senopati Sindukerta mencari mereka sampai ke dusun itu. Akan tetapi pada suatu hari, mereka mendengar bahwa Ki Lurah Suramenggala, lurah dusun Karang Tirta mengirim utusan ke Kahuripan untuk melaporkan kehadiran mereka kepada Senopati Sindukerta. Tentu saja suami isteri ini terkejut dan ketakutan. Mereka takut akan hukuman, dibunuh pun mereka tidak takut. Yang mereka takuti hanya kalau mereka sampai dipaksa untuk saling berpisah!
Maka, mendengar akan laporan Ki Lurah Suramenggala kepada Senopati Sindukerta, Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri menjadi ketakutan dan mereka berdua segera melarikan diri dari Karang Tirta. Setelah suami isteri ini merundingkan masak-masak, mereka sengaja meninggalkan anak mereka Nurseta yang telah berusia sepuluh tahun karena mereka tidak ingin anak mereka yang tercinta itu ikut menjadi buronan yang dikejar-kejar. Mereka meninggalkan Nurseta di Karang Tirta, lalu lari pindah ke lain dusun yang jauh. Karena ketakutan, mereka kembali berpindah-pindah dari dusun ke dusun, dari gunung ke gunung. Akhirnya, lima tahun yang lalu mereka sengaja melarikan diri ke kaki Gunung Semeru yang termasuk tapal batas antara Kahuripan dan Wura-wuri, bahkan masih termasuk wilayah Wura-wuri.
Mereka yakin bahwa para utusan Senopati Sindukerta pasti tidak akan mencari mereka ke dalam wilayah Wura-wuri! Mereka berdua merasa tenteram hidup di dusun Singojajar di kaki Pegunungan Semeru yang menjulang tinggi menembus awan itu. Hanya satu hal yang membuat mereka merasa berduka dan mereka berdua kerap kali menangis kalau teringat akan hal itu. Mereka dapat saling menghibur dan dalam kedukaan yang dipikul bersama itu, cinta kasih antara suami isteri ini menjadi semakin kokoh. Yang membuat mereka berduka adalah kalau mereka teringat akan Nurseta, putera mereka.
Setelah merasa keadaan mereka kini aman, pada suatu hari, kurang lebih dua bulan yang lalu, Ki Dharmaguna mengutus pembantunya, Pakem, yang biasa membantunya bertani, untuk pergi melakukan perjalanan ke Karang Tirta. Suami Isteri itu menyuruh Pakem untuk menemui Ki Tejomoyo di Karang Tirta dan minta keterangan kepada Ki Tejomoyo tentang anak mereka Nurseta.
Pada sore hari itu, Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri duduk santai di pendopo rumah mereka, berhadapan terhalang meja di mana terdapat minuman air teh dan nyamikan (makanan kecii) keripik pisang yang tadi dihidangkan Nyi Endang Sawitri. Sambil makan nyamikan dan minum air teh, mereka bercakap-cakap. Memang sudah menjadi kebiasaan suami isteri ini, setiap sore setelah berhenti bekerja di sawah ladang, mereka minum teh dengan makanan kecil sambil bercakap-cakap. Akan tetapi sekali ini, wajah mereka tidak tampak tenang seperti biasanya kalau mereka duduk berdua seperti itu. Wajah mereka bahkan tampak tegang dan alis mereka berkerut.
"Kakangmas, mengapa Pakem belum juga pulang?"
"Itulah Diajeng, yang membuat aku tidak bisa tidur nyenyak selama beberapa hari ini. Aku sungguh merasa heran mengapa sampai dua bulan Pakem belum juga pulang. Padahal menurut perhitunganku, jarak antara Singojajar ini dan Karang Tirta dapat ditempuh dengan berkuda selama setengah bulan, jadi pulang pergi hanya membutuhkan waktu satu bulan saja. Akan tetapi sampai hari ini, sudah hampir dua bulan dan dia belum juga datang. Aku khawatir terjadi sesuatu
yang buruk...."
"Kakangmas, bersabarlah jangan membayangkan yang buruk-buruk. Siapa tahu, Pakem mendengar bahwa anak kita itu telah pindah ke tempat lain sehingga pakem pergi mencarinya. Alangkah akan gembira dan bahagianya hati kita kalau Pakem pulang bersama anak kita!"
"Wah, kalau begitu memang bagus sekali, Diajeng. Mudah-mudahan saja perkiraanmu itu benar."
"Wah, kalau aku membayangkan pertemuan kita dengan Nurseta, Kakangmas! Apakah kita akan dapat mengenalnya? Seperti apa dia sekarang? Jantungku berdebar penuh ketegangan kalau aku ingat dan membayangkan pertemuan itu!"
"Dia tentu sudah dewasa sekarang, Diajeng. Ketika kita meninggalkannya, dia berusia sepuluh tahun, dan kurang lebih dua belas tahun telah lewat sejak kita lari dari Karang Tirta."
"Ah, dia sekarang tentu telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun! Telah dewasa. Siapa tahu dia telah mempunyai isteri dan anak, Kakangmas!"
Suara wanita itu mengandung getaran keharuan.
"Hemm, kalau begitu engkau akan menjadi Eyang puteri (Nenek) dan aku menjadi Eyang kakung (Kakek)!"
Kata Ki Dharmaguna, sengaja berkelakar untuk menghibur hati isterinya.
Agak terhibur hati suami isteri itu membayangkan bahwa mereka akan bertemu dengan putera mereka tercinta. Kalau dahulu mereka meninggalkan Nurseta yang berusia enam tahun di Karang Tirta, hal itu mereka lakukan justru karena mereka mencinta putera mereka. Biarpun hati mereka hancur harus meninggalkan anak mereka, namun mereka terpaksa melakukannya karena mereka tidak ingin melihat anak mereka ikut menjadi buronan. Kalau mereka tertangkap, biarlah mereka berdua saja yang menerima hukuman dari Senopati Sindukerta. Anak mereka jangan sampai ikut tertangkap dan dihukum.
Selagi mereka termenung membayangkan peristiwa membahagiakan itu, tiba-tiba terdengar keluhan di halaman rumah. Mereka memandang dan suami isteri itu cepat bangkit berdiri dan memandang dengan mata terbelalak. Orang yang ditunggu-tunggu itu datang.
"Pakem....!"
Nyi Endang Sawltri berseru. Mereka lalu menuruni pendopo untuk menyambut pembantu mereka itu.
Pakem melangkah menghampiri mereka. Mukanya bengkak-bengkak dan matang biru, langkahnya terhuyung setengah merangkak dengan menyeret kakinya, kedua lengannya tergantung mati.
"Pakem! Engkau mengapa....?"
Ki Dharmaguna bertanya, terkejut bukan main.
Setelah tiba di depan suami isteri itu, Pakem berkata dengan napas terengah-engah dan suara terputus-putus,
"....Nurseta.... hidup.... saya... saya ditangkap.... disiksa.... aduhhh....!"
Pakem terguling roboh dan ketika suami isteri itu memeriksanya, ternyata pembantu mereka itu tewas.
"Pakem...."
KI Dharmaguna berjongkok memeriksa keadaan tubuh pembantunya dan mendapatkan kenyataan bahwa tubuh itu penuh dengan luka bekas siksaan. Bahkan kedua lengannya agaknya tidak dapat digerakkan karena patah-patah tulangnya! Sementara itu, Nyi Endang Sawitri yang mencium adanya ancaman bahaya, sudah lari memasuki rumah lalu keluar lagi sambil membawa sebatang tombak. Dahulu ia menerima latihan bersilat dengan tombak dari ayahnya yang senopati dan ahli bermain tombak.
Suami isteri ini cepat bangkit berdiri dan memandang ketika terdengar suara tawa menyeramkan dan dua orang memasuki halaman rumah mereka. Suami isteri itu memandang penuh perhatian. Tadinya mereka mengira bahwa tentu para pesuruh Senopati Sindukerta yang datang untuk menangkap mereka.
Akan tetapi Nyi Endang Sawitri tidak mengenal mereka, Yang seorang bertubuh tinggi besar, mukanya penuh . brewok, rambutnya gimbal, wajahnya bengis dan kulitnya hitam. Akan tetapi pakaiannya mewah sekali seperti seorang bangsawan. Usianya sekitar lima puluh lima tahun dan tangannya memegang sebatang cambuk bergagang gading. Orang kedua seorang laki-laki tampan gagah berusia sekitar dua puluh delapan tahun. Tubuhnya tinggi tegap dan pakaiannya juga mewah sekali. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang. Orang ini tersenyum menyeringai dan matanya liar memandang wajah Nyi Endang Sawitri yang masih cantik menarik dengan bentuk tubuh yang ramping padat.
"He-he-he! Apakah Andika yang bernama Dharmaguna dan Endang Sawitri,, Ayah dan Ibu dari Nurseta?"
Tanya kakek itu dengan suaranya yang besar.
Mendengar kakek itu mengenal mereka dan putera mereka, Ki Dharmaguna menjawab.
"Benar sekali. Andika berdua siapakah, Kisanak dan ada keperluan apakah Andika dating berkunjung?"
"Hemm, Dharmaguna! Kalau engkau ingin bertemu dengan Nurseta, ikutlah dengan kami!"
Kata Kakek itu.
"Dan engkau, Endang Sawitri, juga harus ikut!"
Kata pula kawannya yang muda, tampan, dan tinggi tegap, sambil tersenyum dan matanya mengamati Endang Sawitri dari kepala sampai ke kaki.
"Katakan dulu siapa kalian dan di mana anak kami Nurseta!"
Kata Endang Sawitri dengan sikap gagah sambil melintangkan tombaknya.
"Heh-heh-heh, kalian ikut sajalah kalau kalian tidak ingin anak kalian itu kami bunuh seperti pembantumu itu!"
Kakek itu menuding ke arah jenazah Pakem yang masih menggeletak diatas tanah.
Wajah Dharmaguna menjadi gelisah mendengar ancaman kepada puteranya itu.
"Diajeng.... mari kita ikut mereka..!"
"Tidak!"
Endang Sawitri berkata tegas "Aku tidak percaya kepada kalian berdua! Katakan dulu siapa kalian dan dimana adanya Anak kami!"
"Ha-ha, mau atau tidak mau kalian harus ikut dengan kamil"
Kata laki-laki yang muda dan dia sudah melangkah maju menghampiri Endang Sawitri sambil berkata kepada temannya yang tinggi besar brewok.
"Paman, biarkan aku menangkap wanita Ini dan Andika menangkap yang pria!"
Setelah berkata demikian, laki-laki itu bergerak cepat hendak menubruk dan menelikung Nyi Endang Sawitri. Wanita itu menggerakkan tombaknya, menyambut lawan dengan tusukan tombaknya. Endang Sawitri pernah mempelajari ilmu tombak dari ayahnya, akan tetapi karena selama belasan tahun ia tidak pernah berlatih, maka gerakannya kurang kuat dan kurang cepat. Padahal, lawannya adalah seorang yang memiliki tingkat kepandaian tinggi. Maka, sambil terkekeh dia miringkan tubuh mengelak. Ketika tombak lewat, dia menangkap tombak itu, menarik dengan sentakan sehingga tubuh Nyi Endang Sawitri terhuyung ke depan. Tombak terampas dan lawan itu sudah merangkul dan memeluk tubuh Nyi Endang Sawitri sehingga wanita itu tidak mampu melepaskan dirinya lagi. la meronta-ronta.
"Keparat Lepaskan aku...., lepaskan .....!"
Ia mencoba untuk melepaskan kedua lengannya yang ditelikung dan menyepak-nyepak dengan kakinya. Namun lawan terlampau kuat sehingga ia tidak berdaya sama sekali.
"Lepaskan isteriku!"
Ki Dharmaguna membentak dan maju.
Akan tetapi sebuah tendangan kaki laki-laki yang lebih tua membuat tubuhnya terpental jauh. Sebelum dia bangkit lagi, dia pun sudah ditelikung oleh kakek tinggi besar brewok itu. Suami isteri ini ditangkap dan ditarik keluar dari halaman rumah. Sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda dating diiringkan dua losin perajurit Wura-wuri. Melihat banyaknya orang yang menangkap mereka, Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri maklum bahwa akan percuma saja melakukan perlawanan. Mereka hendak melihat apa yang selanjutnya yang akan terjadi. Orang-orang itu tadi mengatakan bahwa kalau mereka ikut dengan orang-orang itu, mereka akan dapat bertemu dengan Nurseta. Benarkah itu? Ada rahasia apa di balik paksaan untuk ikut itu? Dan Ikut ke mana? Mereka tidak membantah ketika disuruh memasuki kereta. Kereta lalu bergerak meninggalkan dusun Singojajar. Para penduduk yang keluar menonton berdiri dengan hormat ketika mengenal bahwa pasukan Itu adalah pasukan Wura-wuri.
APAKAH yang telah terjadi dengan Pakem, pembantu Ki Dharmaguna yang diutus ke Karang Tirta itu? Ternyata, setelah gagal menundukkan Nyi Lasmi, bahkan kemudian bekas selirnya itu dapat dibebaskan Ki Patih Narotama, Ki Suramenggala yang kini menjadi Tumenggung Wengker masih merasa penasaran sekali. Kebenciannya terhadap Ki Patih Narotama semakin mendalam. Dahulu, pengalamannya di Karang Tirta amat menyakitkan hatinya, karena dia merasa dipermalukan dan dihina, diusir dari dusun itu yang menjadi kampung halamannya. Maka, setelah orang-orangnya hanya berhasil membantai Ki Lurah Pujosaputro sekeluarganya dan Nyi Lasmi yang telah berada di tangannya itu akhirnya terlepas, dia tetap menyuruh kaki tangannya mengawasi dan memata-matai Karang Tirta. Maka, ketika Pakem yang menunggang kuda tiba di Karang Tirta, dua orang mata-mata dari Wengker itu mengetahuinya. Mereka mengintai dan melihat betapa pendatang asing itu berkunjung ke rumah Ki Tejomoyo.
Mereka menjadi curiga karena Tumenggung Suramenggala sudah menceritakan segala tentang Karang Tirta kepada para anak buahnya Itu. Mereka mengetahui bahwa rumah yang ditempati Ki Tejomoyo itu dahulunya merupakan rumah milik Tumenggung Suramenggala yang telah dirampas oleh penduduk Karang Tirta seperti rumah rumahnya yang lain. Dua orang mata-mata ini menjadi curiga dan ketika Pakem meninggalkan dusun Karang Tirta, di tengah jalan dia disergap dan ditangkap oleh kedua orang Wengker itu.
Pakem yang penduduk dusun itu menjadi ketakutan, apalagi ketika dua orang yang menangkapnya itu membentak sambil mengancam dengan golok yang ditempelkan pada lehernya.
"Engkau orang jahat yang hendak mengacau di Karang Tirta! Hayo mengaku siapa engkau dan dari mana engkau datang!"
Pakem yang dibawa ke sebuah hutan di luar dusun Karang Tirta gemetar ketakutan.
"Ampun, Denmas.... saya bukan penjahat...., saya hanya utusan...."
"Kalau bukan penjahat, cepat katakan siapa engkau, datang dari mana, siapa yang mengutusmu dan urusan apa yang kaulakukan! Awas, kalau engkau berbohong, golok ini akan minum darahmu!"
"Ampun, Denmas.... saya bernama Pakem, tinggal di dusun Singojajar di kaki Gunung Semeru. Saya bekerja pada Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri, membantu mereka bertani. Saya diutus suami isteri itu untuk mengunjungi Ki Tejomoyo di dusun Karang Tirta..."
"Untuk urusan apa? Hayo katakan, cepatl"
Dua orang itu membentak.
"Saya.... saya disuruh bertanya kepada Ki Tejomoyo tentang anak mereka yang bernama Nurseta...."
Dua orang mata-mata itu terkejut. Mereka pernah mendengar nama ini. Nurseta yang kabarnya merupakan seorang pembela Kahuripan dan merupakan musuh besar Adipati Linggawijaya dan Sang Tumenggung Suramenggala.
"Hayo ikut dengan kami!"
"Ampun, Denmas.... saya mau dibawa ke mana? Saya harus pulang dengan cepat...."
"Plakk!"
Muka Pakem ditampar sehingga dia terpelanting.
"Jangan banyak cerewet! Ikut saja dengan kami kalau engkau tidak ingin kami sembelih di slnil"
Demikianlah, Pakem lalu dibawa pergi dua orang mata-mata itu dan dihadapkan Tumenggung Suramenggaia. Ketika Tumenggung Suramenggala mendengar laporan anak buahnya, dia cepat melakukan perundingan dengan Adipati Linggawijaya, Dewi Mayangsari, dan Resi Bajrasakti. Setelah Tumenggung Suramenggala selesai bercerita tentang ayah ibu Nurseta yang tinggal di dusun Singojajar, Adipati Linggawijaya menepuk pahanya.
"Ah, bagus sekali kalau begitu! Kita tangkap orang tua Nurseta dan menggunakan mereka sebagai sandera dan umpan untuk memancing datangnya Nurseta ke sini. Kalau dia berani datang untuk menolong Ayah Ibunya, kita habiskan dia disini Dia merupakan penghalang besar bagi usaha kita untuk menghancurkan Kahuripan!"
"Akan tetapi kita harus berhati-hati, Kakangmas Adipati."
Kata Dewi Mayangsarl.
"Dusun Slngojajar di kaki Gunung Semeru itu termasuk wilayah Kerajaan Wura-wuri. Kebetulan sekali kita sudah mengatur rencana kita. Aku dan Paman Resi Bajrasakti membawa pasukan pengawal berkunjung ke Wurawuri untuk berunding dengan Adipati Wura-wuri sedangkan Paduka pergi ke Kadipaten Parang Siluman dan Kadipaten Siluman Laut Kidul mengajak mereka bersekutu pula. Nah, aku akan menggunakan kesempatan kepergianku ke Wurawuri untuk bersama kadipaten itu menangkap Ayah Ibu Nurseta."
"Heh-heh, itu benar sekail!"
Kata Resi Bajrasakti.
"Dan kita bawa Si Pakem itu untuk menjadi penunjuk jalan di mana tempat tinggal Dharmaguna dan Endang Sawitri itu!"
"Dan aku akan menyebar penyelidik untuk menyelidiki dimana adanya Nyi Lasmi sekarang. Sedapat mungkin tangkap pula Nyi Lasmi untuk memancing datangnya Puspa Dewi."
Kata Tumenggung Suramenggala.
"Memang sebaiknya begitu dan jangan dilupakan mengirim mata-mata ke Kahuripan untuk melihat gerak-gerik dan keadaan kerajaan itu."
Kata Adipati Linggawijaya.
Demikianlah, perundingan telah membuahkan rencana pembagian tugas. Adipati Linggawijaya akan mengunjungi Kadipaten Siluman Laut Kidul dan Parang Siluman. Adapun Dewi Mayangsari dan Resi Bajrasakti membawa dua losin orang perajurit pengawal, melakukan perjalanan ke Wura-wuri.
Pakem yang bernasib sial itu mereka bawa, menunggang kuda di tengah-tengah pasukan pengawal sehingga sama sekali tidak ada kesempatan baginya untuk melarikan diri. Kedatangan Dewi Mayangsari dan Resi Bajrasakti disambut dengan gembira dan penuh hormat oleh Adipati Bhismaprabhawa dan permaisurinya, Nyi Dewi Durgakumala. Mereka berdua disambut dengan pesta makan minum dan yang ikut menyambut adalah Tri Kala, yaitu Kala Muka, Kala Manik, dan Kaia Teja yang merupakan senopati-senopati tua dan setia dari Wura-wuri, juga Ki Gan-darwo yang merupakan senopati muda yang baru, juga diam-diam menjadi kekasih gelap Nyi Dewi Durgakumala. Ketika Dewi Mayangsari menyatakan keinginannya untuk mengajak Wura-wuri bersatu menghadapi Kahuripan, Nyi Dewi Durgakumala mendahului suaminya berkata dengan gembira.
"Wah, tentu saja kami sambut baik uluran tangan kerja sama itu. Memang kami sendiri juga ingin membalas dendam kepada Kahuripan dan kalau kita bersatu padu, tentu Kahuripan akan dapat kita hancurkan."
"Kami akan mempersiapkan semua barisan kami!"
Kata Adipati Bhismaprabha-wa yang memang menjadi musuh bebuyutan Kahuripan.
"Heh-heh-heh, bagus, bagus! Keadaan kita akan menjadi semakin kuat karena Anakmas Adipati Linggawijaya juga sedang mengadakan hubungan kerja sama dengan Kadipaten Siluman Laut Kidul dan Kadipaten Parang Siluman."
Kata Resi Bajrasakti.
"Selain itu, kami masih membawa sebuah urusan yang juga amat penting dalam usaha kita melumpuhkan Kahuripan."
Kata Dewi Mayangsari.
Ia ialu menceritakan tentang Pakem yang mereka tawan, tentang Dharmaguna dan Endang Sawitri, ayah ibu Nurseta yang kini tinggal di daerah Wurawuri.
"Andika semua tentu telah mendengar nama Nurseta sebagai seorang sakti mandraguna yang setia membela Kahurip-an."
Kata Dewi Mayangsari.
"Karena itu, kita harus menangkap suami isteri itu, menyandera mereka untuk memaksa Nurseta datang, lalu kita bunuh dia!"
"Wah, kami setuju sekalil"
Kata Nyi Dewi Durgakumala.
"Penangkapan itu harus segera dilaksanakan sebelum membocor dan mereka melarikan diri!"
Demikianlah, karena tidak ingin perangkapan itu gagal, Resi Bajrasaktl sendiri, dibantu Ki Gandarwo yang mewakili Wura-wuri, memimpin dua losin perajurit Wura-wurl dan Wengker pergi ke dusun Singojajar di kaki Gunung Semeru. Rombongan ini membawa Pakem yang sudah terluka parah karena disiksa sebagai penunjuk jalan. Mula-mula Pakem yang melihat niat jahat itu, berkeras tidak mau menunjukkan jalan, akan tetapi dengan kejam Resi Bajrasaktl menyiksanya sehingga keadaannya payah sekali. Kedua tulang lengannya dipatahkan dan dia disiksa sehingga terpaksa dia mau menjadi penunjuk jalan. Setelah tiba di dusun Singojajar, Pakem dilepas dan disuruh jalan lebih dulu. Pakem menguatkan dirinya, berjalan setengah merangkak memasuki halaman rumah Ki Dharmaguna dan seperti telah kita ketahui, seteiah bertemu dengan Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri, Pakem terkulai roboh dan tewas.
Kini Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri ditawan, dipaksa memasuki kereta dan kereta kini dijalankan keluar dari dusun Singojajar, dikawal dua losin orang perajurlt, yang terdiri dari selosin perajurlt Wengker yang mengawal Dewi Mayangsari berkunjung ke Wura-wuri, dan selosin perajurit Wurawuri sendiri.
Suami isteri itu duduk bersanding di dalam kereta. Mereka tidak dibeienggu, akan tetapi Ki Gandarwo duduk di depan mereka. Laki-laki muda tampan gagah yang menjadi kekasih gelap Nyi Dewi Durgakumala ini memang seorang yang berwatak mata keranjang dan sombong. Sebagai adik seperguruan Cekel Aksomolo, dia memang memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Karena diangkat menjadi senopati di Wura-wuri, dia tinggal di sana dan lebih lagi, dia dipilih Nyi Dewi Durgakumala sebagai kekasih gelapnya. Tentu saja Nyi Durgakumala yang sejak mudanya menjadi seorang wanita berwatak iblis cabul, tidak puas dengan suaminya, Adipati Bhismaprabhawa yang usianya sudah lima puluh tahun lebih. Maka ia mengambil Ki Gandarwo sebagai kekasihnya dan hal ini pun diketahui oleh Adipati Bhismaprabhawa.
Karena sudah mengenal benar siapa permaisuri barunya itu dan bagaimana wataknya, maka Adipati Wura-wuri ini pun tidak mengacuhkannya. Dia memang mengambil Nyi Dewi Durgakumala sebagai permaisurinya bukan hanya karena wanita itu amat cantik melainkan terutama sekali karena dia hendak memanfaatkan kesaktian wanita itu untuk memperkuat Kerajaan Wura-wuri.
Adapun Ki Gandarwo yang baru berusia dua puluh delapan tahun, mau dijadikan kekasih permaisuri yang usianya sudah lima puluhan tahun hanya karena dia menginginkan kedudukan di Wura-wuri. Tentu saja dalam hatinya, Ki Gandarwo tidak merasa puas dan karena wataknya memang mata keranjang, diam-diam dia selalu mencari wanita lain yang muda dan memang para wanita Wura-wuri banyak yang cantik manis.
Kini, duduk berhadapan dengan Nyi Endang Sawitri, timbul gairah berahi Ki Gandarwo. Biarpun Nyi Endang Sawitri juga tidak muda benar, sudah empat puluh tahun usianya, akan tetapi la masih cantik menarik, bahkan dalam pandang mata laki-laki mata keranjang Ini, wanita yang kini duduk dalam kereta berhadapan dengannya, tampak jauh lebih menarik daripada Nyi Dewi Durgakumala yang sudah membosankan hatinya.
Memang demikianlah segala macam kesenangan, apa saja yang didapatkan dengan dasar nafsu, cepat atau lambat berakhir dengan kebosanan. Duduk berhadapan dengan Nyi Endang Sawitri, walaupun wanita itu duduk bersanding dengan suaminya, tidak membuat Ki Gandarwo merasa rikuh (sungkan). Dia tersenyum-senyum dan terkadang, kalau wanita itu memandang kepadanya, dia sengaja mengedipkan sebelah mata sebagai isarat, tanpa memperduiikan bahwa Ki Dharmaguna juga melihatnya!
Nyi Endang Sawitri merasa muak, akan tetapi karena ia maklum bahwa laki-laki kurang ajar di depannya ini amat digdaya dan ia bersama suaminya yang lemah sama sekali tidak akan mampu mengalahkannya, menahan rasa dongkolnya, bahkan ia menutupi perasaannya dan mengalihkan perhatian dengan bertanya.
"Kisanak, apakah maksud kalian mengatakan bahwa kalau kami ikut kalian, kami akan dapat bertemu dengan putera kami Nurseta?"
Mendengar pertanyaan ini, Ki Gandarwo tersenyum.
"Kalian ikut saja dan menaati semua perintah kami dan Nurseta pasti akan datang untuk menemui kalian."
"Tapi.... mengapa pembantu kami, Pakem, kalian bunuh?"
Nyi Endang Sawitri bertanya.
"Hemm, dia tadinya keras kepala, tidak mau menunjukkan di mana kalian tinggal. Terpaksa kami siksa agar dia mengaku."
Jawab Ki Gandarwo, sama sekali tidak merasa malu, bahkan tersenyum bangga menceritakan hal itu. Sambil menahan kemarahannya, dan untuk tetap mengalihkan perhatiannya, Nyi Endang Sawitri bertanya lagi.
"Apakah... apakah kalian ini mengenal anak kami Nurseta?"
"Kenal...., kenal....!"
Kata Ki Gandarwo, tersenyum mengejek.
"Sahabat kalian?"
"Ya, sahabat baik, ha-ha, . sahabat baik sekali!"
"Tapi.... tapi di mana anak kami Nurseta? Apa dia baik-baik saja?"
"Ha-ha, dia baik-baik saja, nanti juga kalian akan bertemu dengan dia!"
Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi.... siapakah Andika? Siapakah kalian ini?"
Tanya Nyi Endang Sawitri sambil mengerutkan alisnya karena Ki Gandarwo membungkuk sehingga wajah laki-laki itu mendekatinya.
"Mau tahu aku siapa? Aku adalah Raden Gandarwo, Senopati Muda dari Kerajaan Wura-wuri! Kalau kaiian ingin selamat dan ingin bertemu Nurseta, kalian harus menaati semua perintahku. Nah, perintahku yang pertama, Nyi Endang Sawitri, engkau pindahlah duduk di sini, di sampingku."
Sambil berkata demikian, Gandarwo menjulurkan tangan menangkap pergelangan tangan Endang Sawitri dan menariknya dengan sentakan kuat. Tubuh wanita itu tertarik dan ia terjatuh keatas pangkuan Gandarwo.
"Lepaskan aku"
Endang Sawitri merenggutkan dirinya, namun Gandarwo merangkulnya.
"Jangan kurang ajar! Lepaskan Isteriku "
Ki Dharmaguna berkata dan berusaha menarik isterinya lepas dari rangkulan Gandarwo. Akan tetapi kaki Gandarwo menendang ke arah laki-laki yang hendak membela isterinya itu.
"Bukk....l"
Ki Dharmaguna terkena tendangan pada dadanya sehingga tubuhnya terlempar keluar dari dalam kereta yang masih berjalan perlahan
"Kakangmas....!"
Endang Sawitri menjerit dan meronta dengan sekuatnya sehingga terlepas dari rangkulan Gandarwo. Ia segera melompat keluar dari dalam kereta, lalu membantu suaminya bangkit berdiri. Dharmaguna tidak terluka parah, hanya lecet-lecet karena terjatuh keluar kereta dan mukanya menyeringai karena perutnya terasa nyeri oleh tendangan tadi.
Kereta dihentikan dan rombongan itu menahan kuda mereka ketika melihat dua orang suami isteri itu keluar dari kereta. Ki Gandarwo marah sekali. Dia yang bertugas menjaga suami isteri itu di daiam kereta, tentu saja merasa malu kepada para perajurit, terutama kepada Resi Bajrasakti, karena suami isteri itu keluar dari kereta seolah dia tidak mampu menahan mereka. Dia pun melompat keluar menghampiri Ki Dharmaguna yang bangkit dibantu isterinya. Melihat Gandarwo menghampiri mereka, Nyi Endang Sawitri yang mengira suaminya akan diganggu, menyambut dengan serangan nekat!
Akan tetapi, pukulan tangan wanita itu ditangkis dan pertemuan kedua tangan itu membuat Nyi Endang Sawitri yang jauh kalah kuat itu terpelanting. Pada saat itu, Ki Dharmaguna cepat menghampiri isterinya untuk menolongnya, akan tetapi Gandarwo yang sudah marah sekali, maju dan menampar dengan tangannya ke arah kepala Dharmaguna.
"Plakk!"
Tangan Gandarwo yang menampar itu bertemu dengan tangan Resi Bajrasakti yang menangkisnya.
"Anakmas Gandarwo, apakah Andika hendak merusak rencana kita? Suami Isterl ini harus ditawan, bukan dibunuh!"
Resi Bajrasaktl menegur dan Gandarwo menyadari kesalahannya yang tadi terdorong oleh kemarahan. Gandarwo mengangguk dengan muka berubah merah.
"Saya mengerti, Paman. Saya tidak ingin membunuhnya, hanya memberi hajaran agar mereka jangan banyak tingkah!"
Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan dan tahu-tahu seorang gadis cantik telah berdiri menghalang di depan Gandarwo yang agaknya hendak memberi "hajaran"
Kepada suami isteri itu.
"Gandarwo keparat busuk! Di mana-mana engkau menyebar kejahatan!"
Bentak gadis itu.
"Puspa Dewi....!"
Gandarwo terkejut dan wajahnya berubah pucat karena gentar. Akan tetapi hanya
(Lanjut ke Jilid 13)
Nurseta Satria Karang Tirta (seri ke 02 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 13
sebentar karena dia ingat bahwa dia ditemani Resi Bajrasaktl dan dua losin orang perajurit pengawal sehingga keberanian dan kesombongannya muncul dengan cepat, membuat mukanya menjadi merah karena marah
Tanpa banyak cakap lagi dia menerjang maju, tangan kanannya yang disaluri tenaga sakti sepenuhnya menampar ke arah kepala Puspa Dewil Puspa Dewi sudah tahu akan kekuatan Gandarwo. Senopati Muda Wura-wuri ini pernah mengeroyoknya bersama Cekel Aksomolo dan tiga orang senopati Wura-wuri lain, yaitu Tri Kala. Maka, melihat serangan tangan Gandarwo yang menamparnya, ia menangkis dan sekaligus mendorong. '
"Wuuuuttt.... desss....!"
Tubuh Gandarwo terlempar ke belakang sekitar dua tombak dan jatuh terjengkang, terbanting ke atas tanah sampai terdengar suara berdebuk dan debu mengebul. Dia bangkit duduk sambil mengelus pantatnya dan meringis kesakitan, malu, dan marah. Resi Bajrasakti melompat ke depan dan berhadapan dengan Puspa Dewi.
"Heh-heh-heh!"
Kakek tinggi besar itu terkekeh sambil menatap wajah Puspa Dewi.
"Kiranya Andikal Bukankah Andika ini Puspa Dewi, Sekar Kedaton Wura-wuri, murid dan anak angkat Nyi Dewi Durgakumala permaisuri Wura-wuri? Andika yang mengkhianati Wura-wuri dan berbalik membantu keturunan Mataram, Kerajaan Kahuripan yang dipimpin Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama?"
"Resi Bajrasakti, ternyata sejak dulu sampai sekarang Andika tetap menjadi seorang datuk sesat yang jahat. Dulu Andika pernah menculik aku, dan sekarang Andika menculik Paman dan Bibi ini. Dari dulu sampai sekarang Andika tukang menculik orang, betapa rendahnya perbuatanmu. Aku bukan Sekar Kedaton Wura-wuri, juga bukan anak Dewi Durgakumala yang pernah menjadi guruku. Karena melihat Wura-wuri dan sekutunya semua jahat dan angkara-murka, maka aku tidak sudi membantu. Aku lebih suka membela Kahuripan, karena aku kawula Kahuripan dan lebih suka membantu Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama yang bijaksanai"
Selagi Resi Bajrasakti dan Puspa Dewi bicara, diam-diam Gandarwo menyuruh seorang perajurit untuk cepat pergi mencari bala bantuan dan empat orang lain yang memiliki kedigdayaan cukup, dia suruh menyergap dan menangkap Dharmaguna dan Endang Sawitri. Kemudian, sambil mencabut pedangnya dan memberi aba-aba kepada Sembilan belas perajurlt yang lain dia berseru nyaring.
"Bunuh pengkhianat Wura-wuri ini"
Akan tetapi Resi Bajrasakti mempunyai pendapat lain. Kalau dia dapatmenangkap hidup-hidup gadis ini dan menyerahkannya kepada Nyi Dewi Durgakumala, tentu permaisuri Wura-wuri itu akan senang sekali dan berterima kasih sehingga hal ini akan mempererat hubungan antara Wura-wuri dan Wengker.
"Anakmas Gandarwo, jangan bunuh Puspa Dewi. Kita memerlukan ia hidup-hidup!"
Katanya dengan suara yang berpengaruh.
Mendengar bentakan Itu, Ki Gandarwo teringat bahwa Puspa Dewi adalah murid dan anak angkat Permaisuri Dewi Durgakumala yang teiah memberontak terhadap Wurawuri, maka kalau dapat menangkapnya hidup-hidup dan menyeretnya ke depan kaki permaisuri itu, tentu akan menyenangkan hatinya. Biar permaisuri sendiri yang akan menghukum gadis pengkhianat ini. Maka dia pun memberi aba-aba baru.
'Tangkap pengkhianat ini hidup-hidup!"
Resi Bajrasakti mulai dengan serangan yang mengandung kekuatan sihir. Dia membentak dan bentakan ini menggelegar, mengandung getaran yang amat kuat, yang khusus ditujukan kepada Puspa Dewi. Datuk Wengker yang sakti mandraguna ini agaknya memandang rendah kepada Puspa Dewi karena menganggap bahwa gadis itu hanya murid Nyi Dewi Durgakumala. Kalau gurunya hanya setingkat dengan dia, maka muridnya tentulah merupakan lawan yang lunak, begitu pikirnya maka ia menyerang dengan kekuatan sihirnya untuk melumpuhkan lawan.
"Puspa Dewi, menyerah dan berlututlah engkau!"
Akan tetapi Resi Bajrasakti salah perhitungan. Nyi Dewi Durgakumaja telah menurunkan seluruh ilmunya kepada Puspa Dewi yang amat disayangnya dan karena Puspa Dewi berbadan bersih tidak seperti Nyi Dewi Durgakumala yang menjadi hamba nafsunya sendiri, juga karena Puspa Dewi jauh lebih muda. Karena itu, tidaklah mengherankan apabila setelah tamat belajar dari Nyi Dewi Durgakumala, tingkat gadis Itu sudah melebihi tingkat gurunya. Apalagi la bertemu dengan Sang Maha Resi Satyadharma dan digembleng oleh guru Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama ini selama tiga bulan. Tentu saja tingkat kepandaian gadis Itu sudah melonjak tinggi, jauh melampaui tingkat Nyi Dewi Durgakumala. Sebelum digembleng Maha Resi Satyadharma la telah memiliki kekuatan sihir dari ajaran Nyi Dewi Durgakumala yang dapat menandingi kekuatan sihir Resi Bajrasakti. Maha Resi Satyadharma sama sekali tidak mengajarkan jlmu sihir yang dianggap ilmu yang berbahaya dan condong menyeret pemiliknya ke arah perbuatan jahat. Dia hanya memberi pelajaran menghimpun tenaga sakti yang datang sebagai anugerah Sang Hyang Widhi dan kekuatan ini mampu menghalau segala macam kekuatan sihir yang. menyerangnya. Karena itu, ketika Resi Bajrasakti menyerangnya dengan sihir, Puspa Dewi sama sekali tidak terpengaruh. Gelombang kekuatan sihir yang menerpanya itu tidak lebih dari angin semilir lalu saja.
Melihat serangan dengan sihir itu tidak mempengaruhi Puspa Dewi, Resi Bajrasakti menjadi penasaran. Dia lalu mengerahkan Aji Panglimutan. Dengan pengerahan aji kesaktian ini, biasanya dia dapat menghilang, atau tidak tampak oleh lawan sehingga dia akan dapat dengan mudah meringkus gadis itu. Setelah mengerahkan Aji Panglimutan, Resi Bajrasakti lalu menubruk dan hendak meringkus tubuh Puspa Dewi. Akan tetapi Puspa Dewi menggerakkan tangannya, menampar kakek yang maju hendak meringkusnya itu. Ternyata Aji Panglimutan itu pun tidak dapat mempengaruhinya dan ia tetap dapat melihat lawan yang hendak meringkusnya itu, maka ia menyambut dengan tamparan. Resi Bajrasakti terkejut dan cepat dia menggerakkan tangan menangkis tamparan yang mendatangkan angin pukulan dahsyat itu.
"Wuuuttt.... dukkk!"
Tubuh Resi Bajrasakti terhuyung karena ketika lengan mereka beradu, dia merasa betapa kuatnya tenaga yang keluar dari tangan gadis itu!
Melihat betapa Resi Bajrasakti terhuyung, Ki Gandarwo berseru kepada sembilan belas orang perajurit.
"Kepung, tangkap gadis ini!"
Puspa Dewi dikeroyok. Tangan-tangan yang besar berbulu itu seolah berlomba untuk menangkap dan meringkusnya. Puspa Dewi menggerakkan kaki tangannya dengan cepat sekali. Tubuhnya berkelebatan seolah berubah menjadi bayang-bayang dan ke manapun kaki atau tangannya mencuat, tentu seorang pengeroyok telah dapat ia robohkan.
Teriakan demi teriakan terdengar disusul tubuh para pengeroyok berpelantingan. Biarpun Puspa Dewi tidak memberi pukulan maut kepada mereka, namun mereka menderita patah tulang dan juga kehilangan nyali, tidak berani lagi berdiri dan hanya mendekam dan merintih memegangi bagian tubuh yang terkena tamparan atau tendangan yang dahsyat, bagaikan petir menyambar. Dalam waktu singkat delapan orang perajurit telah roboh dan sisanya yang sebelas orang menjadi jerih untuk mendekati gadis sakti mandraguna itu.
Pada saat itu perajurit yang diutus Gandarwo mencari balabantuan sudah pergi jauh dan empat orang perajurit yang diutus "mengamankan"
Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri sudah cepat turun tangan meringkus suami isteri itu. Percuma saja Nyi Endang Sawitri melawan. Ia tidak dapat menandingi empat orang perajurit yang rata-rata memiliki tenaga kuat itu dan sebentar saja suami isteri itu telah dapat diringkus, dinaikkan kereta yang segera dilarikan cepat meninggalkan tempat itu.
Puspa Dewi yang sedang dikepung dan dikeroyok banyak orang tidak melihat hal ni. Pula, ia memang tidak mengenal suami isteri itu. Kalau tadi ia turun tangan, adalah karena melihat suami isteri itu diperlakukan kasar. Ketika Kl Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri tinggal di Karang Tirta, ia sendiri masih kecil. Bahkan ketika suami lsterl itu diam-diam meninggalkan Karang Tirta, la baru berusia sekitar enam atau tujuh tahun, sehingga tentu saja ia tidak mengenal suami isteri itu.
Sementara itu, Resi Bajrasakti dan Ki Gandarwo terkejut bukan main melihat betapa sebagian anak buah mereka berpelantingan dihajar tendangan dan tamparan gadis perkasa itu. Merasa bahwa sekarang malah pihak mereka yang terancam bahaya, Resi Bajrasakti lalu berseru,
"Pergunakan senjata! Bunuh gadis ini!"
Dia sendiri sudah mencabut senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang cambuk bergagang gading.
"Tar-tar-tarr....ll"
Resi Bajrasakti memutar-mutar cambuk itu di atas kepalanya dan terdengar bunyi ledakan-ledakan ketika ujung cambuk itu melecut-lecut dan mengeluarkan asap.
Melihat rekannya sudah mengeluarkan senjata, Ki Gandarwo juga mencabut pedangnya. Demikian pula, sisa perajurit yang masih ada sebelas orang itu mencabut senjata golok mereka dan mengepung Puspa Dewi.
Puspa Dewi maklum bahwa kini la menghadapi lawan yang cukup berat. Kalau berkelahi dengan mereka hanya menggunakan tangan kosong, ia masih, dapat mengandaikan kecepatan gerakan dan kekuatan tenaga saktinya. Akan tetapi semua orang itu memegang senjata, apalagi Resi Bajrasakti amat berbahaya dengan cambuknya dan Ki Gandarwo juga bukan lawan ringan kalau sudah menggunakan pedangnya.
Untuk dapat menjaga dan membela diri dengan baik, Puspa Dewi lalu menggerakkan tangannya ke arah punggung dan begitu ia mencabut, tampak sinar hitam dari pedang pusakanya Cadrasa Langking, pemberian guru pertamanya yang juga merupakan ibu angkatnya, yaitu Nyi Dewi Durgakumala.
Kini terjadilah perkelahian hebat. Setelah mereka semua memegang golok, sebelas orang perajurit pengawal itu menjadi berani dan mereka mengepung dan menyerang Puspa Dewi secara bertubi-tubi dengan cara menyerang lalu melompat menjauh. Yang bertanding dengan seru melawan Puspa Dewi adalah Resi Bajrasakti dan Ki Gandarwo. Resi Bajrasakti sekarang baru menyadari bahwa Puspa Dewi telah menjadi seorang wanita muda yang luar biasa, sakti mandraguna dan pemberani. Karena sekarang dia melihat betapa gadis Ini harus dirobohkan kalau terpaksa dibunuh, maka selain menggunakan cambuknya untuk menyerang, dia juga mempergunakan berbagai aji kesaktiannya untuk merobohkan gadis yang amat tangguh itu.
Mula-mula dia menyelingi serangan cambuknya dengan menyambitkan senjata rahasia pasir sakti Bramara Sewu. Pasir itu seolah berubah menjadi sekawanan lebah yang menyerang seluruh tubuh bagian depan Puspa Dewi. Akan tetapi, pedang Candrasa Langlang yang membentuk perisai gulungan sinar hitam meruntuhkan semua pasir sakti itu. Melihat serangan pasir saktinya gagal, berturut-turut Resi Bajrasakti mengerah-kan berbagal aji pukulannya yang ampuh. Dengan tangan kirinya dia menyelingi sambaran cambuknya dengan A}1 Wlsa Langking. Tangannya mengeluarkan hawa pukulan yang mengandung racun hitam, namun uap hitam yang menyambar ke arah Puspa Dewi Itu ambyar (pecah berantakan) ketika disambar hawa pukulan tangan kiri Puspa Dewi.
Berturut-turut Resi Bajrasakti menyerang dengan AJI Pukulan Gelap Sewu dan Sihung Naga, namun semua Itu tidak berhasil karena dapat dihadang oleh dorongan tangan kiri Puspa Dewi yang mengandung Aji Guntur Genl yang sudah dipoles gemblengan Maha Resi Satyadharma. Akhirnya, Resi Bajrasakti mencurahkan semua perhatian dan mengerahkan. seluruh tenaganya untuk menyerang dengan cambuknya yang memainkan Aji Pecut Tatit Geni.
Ki Gandarwo juga mengirim serangan-serangan maut dengan pedangnya, dibantu sebelas orang perajurit dengan golok mereka. Delapan orang perajurit yang terluka dan tidak mampu mengeroyok lagi kini sudah menjauhi tempat perkelahian. Dikeroyok demikian banyaknya orang, Puspa Dewi tidak merasa kerepotan. Akan tetapi karena ia tidak ingin membunuh orang, maka pedangnya hanya ia pergunakan untuk melindungi tubuhnya dari hujan serangan senjata itu. Ia bagaikan seekor harimau betina yang dikeroyok segerombolan srigala.
Sementara itu, ketika kereta yang membawa Dharmaguna dan Endang Sawitri belum jauh dilarikan empat orang perajurit Wura-wuri, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tampaklah seorang pemuda menghadang di depan kereta. Dua ekor kuda penarik kereta terkejut dan meringkik sambil mengangkat kedua kaki depan ke atas, akan tetapi pemuda itu dengan sigap menangkap kendali dua ekor kuda dan menariknya ke bawah. Dua ekor kuda itu berdiri, tidak mampu meronta lagi, tubuh mereka gemetaran seperti ketakutan. Perajurit yang menjadi kusir terkejut dan segera membentak marah.
"Hei, siapa engkau berani menahan kuda kami? Lepaskan kuda kami, atau akan kuhancurkan kepalamu dengan cambuk ini!"
Pemuda itu bukan lain adalah Nurseta. Seperti kita ketahui, Nurseta melakukan perjalanan menuju ke dusun Singojajar untuk mencari orang tuanya. Setelah tiba di Singojajar, dia mendengar bahwa baru saja Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri diculik pasukan Wura-wuri, dan pembantu mereka bernama Pakem terbunuh. Mendengar Ini, Nurseta cepat berlari melakukan pengejaran. Dia melihat seorang gadis perkasa yang dikenalnya sebagai Puspa Dewi sedang dikeroyok banyak orang. Ketika dia terjun ke dalam pertempuran hendak membantu, Puspa Dewi berseru.
"Jangan bantu aku, cepat tolong mereka yang dilarikan dengan kereta!"
Mendengar ini, Nurseta meninggalkan tempat itu dan melakukan pengejaran. Dia tadi di Singojajar memang mendengar bahwa suami isteri itu diculik dan dilarikan dengan sebuah kereta. Karena dia melakukan pengejaran dengan Aji Bayu Sakti, maka sebentar saja dia sudah dapat menyusul dan melompat ke depan kereta menahan dua ekor kuda penariknya. Ketika kusir kereta itu membentak dan mengancamnya dengan cambuk, Nurseta berkata.
"Turunlah engkau dari kereta! Kalian menculik orang-orang yang tidak bersalah!"
Perajurit itu marah dan pada saat itu, tiga orang perajurit lain yang tadi berada dalam kereta sudah berlompatan keluar. Perajurit yang menjadi kusir menggerakkan cambuknya, dipukulkan ke arah pemuda yang berada di depan kereta.
"Tarrr...!"
Ujung cambuk menyambar ke arah kepala Nurseta. Pemuda itu dengan tenang menangkap ujung cambuk dan dengan sentakan kuat dia membuat kusir yang memegang cambuk tertarik dan terjungkal dari atas kereta, jatuh berdebuk di atas tanah. Kusir itu menyeringai kesakitan karena tulang pinggulnya terasa nyeri sekali.
Dharmaguna dan Endang Sawitri menguak tirai kereta dan memandang keluar, heran, kagum dan juga khawatir melihat betapa tiga orang perajurit itu dengan golok di tangan kini menerjang dan menyerang pemuda itu dengan buas.
Akan tetapi tubuh pemuda itu berkelebatan dengan gesit bagaikan seekor burung garuda menyambar-nyambar dan berturut-turut tiga orang perajurit itu berpeiantingan dan mengaduh-aduh tanpa mampu bangkit kembali.
Nurseta menghampiri kereta, akan tetapi Endang Sawitri berkata.
"Anakmas, cepat Andika bantu gadis yang tadi menolong kami karena ia dikeroyok banyak orang jahat."
"Tapi...."
Nurseta menengok ke arah tiga orang yang telah dirobohkannya itu.
"Jangan khawatir, mereka bertiga tidak akan dapat mengganggu kami lagi!"
Kata Endang Sawitri dan dengan cekatan ia lalu mengambil sebatang golok milik perajurit yang tadi terlepas dari tangannya. Dengan golok di tangan, wanita itu menghampiri tiga orang perajurit dan siap untuk menyerang kalau mereka berani bangkit berdiri. Melihat gerakan wanita itu, maklumlah Nurseta bahwa ia boleh diandalkan. Dia masih sangsi walaupun hatinya menduga bahwa mereka adalah ayah ibunya.
Dia teringat akan keadaan Puspa Dewi yang dikeroyok banyak orang tadi, maka dia lalu berlari cepat ke tempat pertempuran tadi. Setelah dekat dia melihat kenyataan bahwa, gadis itu hanya mempertahankan dan melindungi diri saja. Agaknya Puspa Dewi tidak ingin membunuh para pengeroyoknya. Hal ini membuat Nurseta merasa heran. Dahulu dia mengenal Puspa Dewi sebagai seorang gadis yang baik, akan tetapi berwatak keras. Mengapa sekarang, gadis itu seolah tidak mau membunuh para pengeroyoknya? Apakah karena para pengeroyoknya Itu orang Wura-wuri? Akan tetapi Nurseta mengenal Resi Bajrasakti dan dia semakin heran. Resi Bajrasakti adalah tokoh Wengker.
Melihat Puspa Dewi sibuk juga menghadapi serangan dua puluh satu orang itu, terutama serangan cambuk Resi Bajrasakti dan pedang di tangan Gandarwo, Nurseta tidak sabar lagi dan dia segera menerjang para pengeroyok yang berada di bagian luar pengepungan Itu. Begitu kedua tangannya digerakkan menampar ke kanan kiri, empat orang pengeroyok terpelanting roboh. Tentu saja pengeroyokan itu menjadi kacau dan Resi Bajrasakti dan Gandarwo terkejut. Ki Gandarwo yang memang memiliki watak jumawa dan selalu memandang rendah orang lain, menjadi marah dan dia melompat ke arah Nurseta sambil menggerakkan pedangnya, menyerang dahsyat. Pedangnya menyambar ke arah leher Nurseta yang tidak memegang senjata. Melihat sambaran pedang, Nurseta dengan tenang menyambut dengan ayunan tangan kanannya menyambut. Tangannya menyambar ke depan, dengan miring seperti dibacokkan.
"Wuuttt.... singgg.... krakkkl"
Pedang itu patah menjadi tiga potong dan Ki Gandarwo terhuyung ke belakang, mukanya pucat.
"Kita pergi....!"
Tiba-tiba Resi Bajrasakti berseru dan Ki Gandarwo cepat melompat dan lari mengejar kawannya yang telah melarikan diri lebih dulu itu.
Sisa anak buah mereka juga melarikan diri. Mereka berlompatan di atas kuda dan melarikan diri secepatnya, meninggalkan belasan ekor kuda yang tadi ditunggangi para perajurit yang kini menderita patah tulang dan masih berada di situ.
"Nurseta! Bagaimana dengan suami isteri yang mereka tangkap tadi?"
Tanya Puspa Dewi.
"Mereka di sana!"
Kata Nurseta sambil lari menuju ke tempat di mana kereta dan suami isteri tadi ditinggalkan.
Puspa Dewi melompat dan mengejar. Sebentar saja mereka berdua tiba di tempat Itu dan ternyata empat orang perajurit yang tadi dirobohkan Nurseta telah pergi. Suami isteri itu masih berada di dekat kereta.
Tadi ketika Nurseta menolong mereka dan pemuda itu lalu berlari cepat untuk membantu Puspa Dewi, Dharmaguna dan Endang Sawitri yang menjaga empat orang perajurit yang terluka dengan golok di tangan saling pandang dan wajah mereka membayangkan ketegangan. Empat orang perajurit itu ketakutan karena mereka telah dalam keadaan terluka dan Endang Sawitri kini memegang golok. Selain itu mereka sudah merasa gentar terhadap pemuda yang sakti tadi. Maka perlahan-lahan mereka merangkak menjauhi suami isteri itu, kemudian bangkit dan saling bantu meninggalkan tempat itu. Endang Sawitri mendiamkan saja karena ia pun hanya berjaga-jaga kalau mereka itu hendak mengganggu la dan suaminya.
"Kakangmas, apakah engkau melihat apa yang kulihat tadi?"
Tanya Endang Sawitri kepada suaminya.
"Melihat apa?"
"Pemuda yang menolong kita tadi....!"
Mereka saling pandang dan pandang mata mereka yang mewakili suara hati mereka. Dharmaguna mengangguk.
"Rasanya aku mengenal pemuda itu, Diajeng, wajahnya tidak asing bagiku."
"Ah, Kakangmas! Biarpun dia seorang pemuda dewasa yang sakti mandaraguna, akan tetapi matanya itu....! Mata itu akan selalu kukenal, Kakangmas, mata.... Anak kita"
"Nurseta? Dia.... Nurseta....?"
Endang Sawitri mengangguk.
"Tapi...., mengapa dia diam saja dan meninggalkan kita?"
"Gadis penolong kita itu perlu dibantu, Kakangmas. Selain itu.... aku pun merasa bahwa sudah sepatutnya dia tidak mempedulikan kita.... ah, kalau kuingat betapa kita telah meninggalkan anak. kita di Karang Tirta...."
Melihat isterinya menangis, Dharmaguna menghiburnya.
"Akan tetapi, engkau tahu, Diajeng bahwa kita meninggalkan dia demi kebaikan dia sendiri. Kita tidak ingin anak kita ikut menjadi buruan dan terancam keselamatannya. Akan tetapi, kalau benar dugaanmu bahwa dia itu Nurseta, bagaimana mungkin dia menjadi seorang yang demikian digdaya?"
Endang Sawitri menghapus air matanya dan menghela napas panjang.
"Mungkin aku salah duga dan dia bukan Anak kita, Kakangmas.... ah, itu dia datang bersama gadis panolong kita tadi."
Dharmaguna menoleh dan benar saja. Dia melihat pemuda dan gadis yang menolong mereka tadi datang dengan cepat sekali. Seperti terbang saja mereka itu datang dan sebentar kemudian sudah berada di depan mereka.
Nurseta mengamati wajah suami isteri itu, jantungnya berdebar penuh ketegangan. Tadi pun, sekali pandang saja dia tidak pangling (lupa). Mereka inilah Ayah Ibunya! Memang agak lebih tua, namun dia mengenal betul wajah mereka. Terutama Ibunya! Memang, wajah orang dewasa tidak banyak berubah dua belas tahun kemudian, akan tetapi dia yang ditinggalkan mereka dalam usia sepuluh tahun, masih seorang kanak-kanak, kini menjadi seorang pemuda dewasa tentu banyak berubah. Kalau tadi setelah menolong suami isteri itu dari empat orang perajurit yang melarikan mereka lalu dia meninggalkan mereka adalah karena dia ingin membantu Puspa Dewi dan juga dia merasa terlalu tegang untuk segera memperkenalkan diri kepada orang tuanya. Empat orang itu sejenak saling pandang seperti terpukau dan tidak mengeluarkan kata-kata. Akhirnya Endang Sawitri mendahului berkata kepada dua orang muda itu.
"Kami berdua berterima kasih kepada Nakayu dan Nakmas yang telah menolong dan menyelamatkan kami. Budi Andika berdua sungguh besar dan selamanya tidak akan pernah kami
lupakan."
"Ah, tidak perlu berterima kasih, Bibi. Sudah sewajarnya kalau saya menghajar orang-orang jahat yang bertindak sewenang-wenang itu. Akan tetapi siapakah Paman berdua dan mengapa pula menjadi tawanan orang-orang jahat tadi?"kata Puspa Dewi.
Sejak tadi Nurseta semakin yakin bahwa suami isteri itu adalah Ayah Ibunya. Suara Ibunya masih seperti dulu, bahasanya halus dan suaranya lembut. Hatinya tergetar dan terharu sehingga dia merasa betapa kedua matanya panas dan berair. Suaranya terdengar agak gemetar ketika dia menyambung ucapan Puspa Dewi.
"Apakah Andika berdua yang tinggal di dusun Singojajar, bernama KI Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri?'
"Benar.... benar sekali....! Anakmas.... siapakah....!"
Nyi Endang Sawitri bertanya dengan suara gemetar dan la menatap wajah Nurseta dengan penuh selidik. Sambil menahan getaran perasaannya, Nurseta menatap wajah wanita itu lalu berkata.
"Benar-benarkah Andika tidak mengenal saya?"
Endang Sawitri terbelalak, mengembangkan kedua lengannya dan melangkah maju mendekati Nurseta.
"Engkau.... engkau.... Nurseta....??"
Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nurseta tidak tega membiarkan Ibunya meragu lebih lama lagi. Hatinya sendiri merasa sangat terharu dan dia pun menjatuhkan dirinya berlutut menyembah.
"Kanjeng Ibu....!"
"Duh Gusti.... Hyang Widhi.... engkau benar-benar Nurseta! Nurseta.... Anakku. ..."
Nyi Endang Sawitri menjerit dan menubruk pemuda Itu, merangkul dan terkulai dalam rangkulan Nurseta, menangis tersedu-sedu. KI Dharmaguna juga menghampiri, berlutut merangkul Nurseta.
"Nurseta.... aduh, Anakku.... maafkan Ayah Ibumu yang telah meninggalkanmu hidup seorang diri ketika engkau masih kecil...."
Dharmaguna juga menitikkan air mata karena merasa menyesal dan berdosa.
"Angger.... Nurseta... Ibumu minta maaf.... kami berdua telah bertindak kejam.... kami meninggalkanmu seorang diri di Karang Tirta.... ketika engkau.... baru berusia sepuluh tahun...."
"Ayah dan Ibu tidak bersalah. Kepergian itu justru menyelamatkan saya.... agar saya tidak terbawa-bawa menjadi buronan."
"Ah, engkau sudah tahu, Anakku....?"
"Saya sudah mendengar semua dari Eyang Senopati Sindukerta, Ibu."
"Aduh...., engkau sudah bertemu dengan Kanjeng Rama? Nurseta, bagaimana.... kabarnya dengan Kanjeng Ibu....?"
"Eyang Senopati berdua sehat-sehat saja, Ibu. Hanya Eyang Puteri selalu berduka dan sering menangis karena merindukan Ibu...."
"Aduh.... aku anak durhaka.... anak tidak berbakti...."
Nyi Endang Sawitri menangis sesenggukan. Akan tetapi ia menahan tangisnya ketika dihibur Nurseta.
"Bagaimana dengan Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu? Ceritakan tentang mereka, Nurseta....!"
Nyi Endang Sawitri mendesak puteranya. Akan tetapi Nurseta membimbing ayah ibunya untuk bangkit berdiri dan berkata.
"Nanti dulu, Ayah dan Ibu. Kita tidak boleh melupakan gadis ini yang tadi telah menyelamatkan Ayah dan Ibu."
Nurseta mengingatkan.
Suami isteri itu baru menyadari bahwa tadi mereka sama sekali melupakan gadis yang telah menyelamatkan nyawa mereka itu. Nyi Endang Sawitri lalu menghampiri Puspa Dewi dan memegang tangan gadis itu.
"Ah, maafkan kami, Nakayu. Saking gembira kami bertemu dengan Anak kami yang selama belasan tahun berpisah, baru sekarang dapat saling berjumpa. Maafkan kami telah melupakan Andikal"
Sejak tadi Puspa Dewi menyaksikan pertemuan mengharukan itu dan ia teringat akan pertemuannya sendiri dengan ayah kandungya. Ia ikut merasa terharu.
"Tidak mengapa. Bibi. Aku ikut merasa gembira melihat Anak dan orang tuanya dapat bertemu kembali."
"Ayah dan Ibu tentu mengenal gadis ini. Ia adalah puteri Bibi Lasmi yang dulu juga tinggal di Karang Tirta."
Kata Nurseta memperkenalkan.
"Aehh.... Nyi Lasmi janda yang cantik itu? Kalau begitu Andika ini.... eh, kalau tidak salah namamu Puspa Dewi, bukan?"
Kata Nyi Endang Sawitri yang dulu kenal baik dengan Nyi Lasmi.
Nona Berbaju Hijau Karya Kho Ping Hoo Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo