Nurseta Satria Karang Tirta 13
Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo Bagian 13
"Terjadinya sekitar dua puluh lima tahun yang lalu, Mbakayu Gayatri. Setahun setelah aku menjadi lsteri Kakangmas Dibya Krendasakti, kami pindah ke Pulau Nusa Barung ini dan kami hidup berbahagia. Kami saling mencinta, terutama suamiku amat mencintaku. Lalu.... Kakangmas Kunarpo datang berkunjung ke sini...."
"Hemm, Kunarpo adik seperguruan Dibya?"
"Benar, Mbakayu. Mungkin engkau masih ingat, dia seorang pemuda tampan, ketika itu berusia sekitar dua puluh lima tahun dan aku berusia dua puluh tiga tahun..."
"Dan aku sudah tiga puluh lima tahun, jauh lebih tua, ha-haha!"
Potong Dibya Krendasakti.
"Semula tidak terjadi sesuatu, Mbakayu Gayatri. Akan tetapi, Kakangmas Kunarpo dan aku masih muda dan dia memang memiliki pribadi yang menarik dan tentu saja, dia jatuh cinta kepada aku, Kakak iparnya sendiri. Lebih lagi Kakangmas Dibya Krendasakti terlalu memanjakan aku dan mempercaya kami berdua sehingga kami berdua seringkali ditinggalkan karena dia sibuk membangun pulau ini. Terkadang sampai dua tiga hari dia tidak pulang dan kami tinggal berdua saja dalam rumah. Kami tidak mampu menahan godaan nafsu maka terjadilah.... hubungan cinta di antara kami."
Gayatri atau Nini Bumigarbo mengerutkan alisnya. Hatinya tidak senang mendengar betapa lemahnya sahabatnya itu. Padahal, menurut pendapatnya, yang lemah dalam kesetiaan cinta adalah kaum pria, sedangkan wanita, seperti ia sendiri, tetap setia kepada cintanya sehingga ia sendiri begitu berpisah dari Ekadenta tidak mau berdekatan lagi dengan pria!
"Huh, memalukan sekali, Mami!"
Kata Nini Bumigarbo dan kembali ia menenggak minuman dari cangkirnya yang ia isi sendiri karena semua pelayan telah pergi.
"Bibi Gayatri biarkan Bibi Woro Sumarni melanjutkan ceritanya!"
Kata Niken Harni yang merasa iba kepada wanita yang lemah lembut tutur bahasanya itu.
"Lanjutkanlah, Bibi Woro Sumarni."
"Akhirnya hubungan kami diketahui Kakangmas Dibya Krendasakti. Tentu saja dia marah sekali kepada Kakangmas Kunarpo dan menantangnya untuk bertanding sampai mati memperebutkan diriku...."
"Huh, kau dengar itu, Niken? Laki-laki memang biadab, memperebutkan wanita yang dianggap sebagai permainan belaka!"
Kata Nini Bumigarbo.
"Teruskanlah ceritamu, Bibi Woro Sumarni."
Kata Niken.
"Mereka bertanding dan Kakangmas Kunarpo tewas dalam pertandingan itu."
"Heh-heh-heh, dia mengalah. Adi Kunarpo sengaja mengalah dan rela mati untuk Diajeng Woro Sumarni. Hemm, dia amat mencinta Diajeng Woro Sumarni, akan tetapi aku lebih mencintanya!"
"Lanjutkanlah, Bibi Woro Sumarni!"
Desak Niken Harni sambil mengerling kepada Dibya Krendasakti dengan mata mencorong karena tak senang.
"Setelah Kakangmas Kunarpo tewas.... Kakangmas Dibya Krendasakti mengatakan bahwa Kakangmas Kunarpo berhak untuk terus merasakan cintaku dan harus terus berdampingan dengan aku. Maka, Kakangmas Dibya Krendasakti membiarkan Kakangmas Kunarpo selalu bersanding denganku, katanya agar aku tidak rindu setelah ditinggal mati kekasihku..."
"Ahh! Jadi.... tengkorak ini adalah tengkoraknya?"
Niken Harni berseru nyaring dan memandang tengkorak itu dengan mata terbelalak.
"Benar. Ini adalah tengkorak Kakangmas Kunarpo yang sengaja dipenggal dan dikeringkan. Aku diharuskan minum dari mulut tengkorak untuk menyatakan cintaku kepada Kakangmas Kunarpo, dan tidak pernah berpisah. Bahkan kalau malam, tengkorak ini ditaruh di pembaringanku dan Kakangmas Dibya Krendasakti membiarkan tengkorak ini menjadi saksi ketika dia membelaiku, bercinta dan menggauli aku...."
"Wah, keparat jahanam!!"
Niken Harni kini bangkit berdiri dan memandang kepada tuan rumah dengan muka merah dan mata mencorong penuh kemarahan.
"Heh-heh, Diajeng Woro Sumarni, katakanlah, apakah selama dua puluh lima tahun ini aku tidak memperlihatkan cintaku kepadamu yang berlimpahan? Pernahkah aku menyiksamu, atau memakimu, atau memukul dan menghinamu?"
"Tidak, Kakangmas Dibya Krendasakti bersikap amat mencintaku, bahkan berlebihan, seolah hendak pamer kepada tengkorak Kakangmas Kunarpo bahwa dia memang benar-benar amat menyayangku, amat mencintaku dan tetap mencintaku biarpun aku telah mengkhianatinya dan menyeleweng. Dia tidak mau mempunyai selir seorang pun, dia hanya mencinta aku seorang dan aku.... aku memang layak menerima hukuman derita batin ini...."
"Bohong! Dia masih gila karena dendam dan cemburu! Dia pada lahirnya bilang cinta, akan tetapi sesungguhnya pada batinnya penuh dendam kebencian dan cemburu! Dia menyiksamu dengan kejam sekali, Bibi Woro Sumarni! Dan Bibi menderita hebat! Siapa yang tidak tahu akan hal ini? Bibi menjadi seperti mayat hidup, semangat dan kebahagiaan Bibi telah mati, yang ada hanya kepedihan hati dan derita!"
Niken Harni berteriak lantang.
Tiba-tiba Woro Sumarni menutup mukanya dengan kedua tangannya. Tidak mengeluarkan suara, akan tetapi jelas ia menangis sedih. Air matanya menetes keluar dari celah-celah jari tangannya, pundaknya terguncang-guncang.
"Ah, Diajeng Woro Sumarni, isteriku sayang. Mengapa engkau menangis? Bukankah aku selalu mencintamu dan engkau tidak kekurangan sesuatu di sini, hidup berbahagia sebagai isteriku?"
Dibya Krendasakti membujuk dengan lembut dan mengelus pundak isterinya.
"Dibya Krendasakti, engkau manusia berwatak iblis! Engkau menyiksa hati Bibi Woro Sumarni dengan kejam! Lebih kejam dari pembunuhan. Selama dua puluh lima tahun engkau menyiksanya seperti ini, menghinanya dan menghancurkan semua harapan dan kebahagiaannya! Engkau jahat! Bibi Gayatri, buat apa kita menjadi tamu manusia iblis seperti dia ini?"
Niken Harni membentak-bentak saking marahnya.
"Ha-ha-ha, Niken Harnii Engkau memang pantas menjadi murid Gayatri. Engkau kewat dan galak seperti Gayatri di waktu muda Nah, Cah ayu ( Anak cantik), sekarang katakan, apa yang kau ingin aku lakukan? Apakah aku harus mengubah cintaku terhadap isteriku?"
"Dibya Krendasakti! Engkau harus membebaskan Bibi Woro Sumarni dari siksaan ini. Tengkorak itu harus dikubur dan engkau harus memberi kebebasan kepada isterimu!"
"Kalau aku menolak?"
"Terpaksa aku akan menghajarmu!"
Niken Harni berseru galak.
"Ha-ha-ha-heh-heh!"
Dibya Krendasakti tertawa bergelak dan terkekeh-kekeh, tidak marah, melainkan geli bahkan gembira.
"Bocah ayu, engkau akan menghajarku? Begini saja, kita bertanding. Kalau aku kalah, aku akan menaati perintahmu, akan tetapi kalau engkau kalah, engkau menjadi isteriku yang ke dua. Baru sekali ini aku tertarik kepada seorang gadis lain!"
"Keparat! Siapa sudi menjadi Isterimu? Kalau aku kalah, lebih baik aku mati daripada menjadi isteri seorang laki-laki yang kejam seperti iblis macam kamu!"
"Wah, Dibya, engkau tua bangka menantang muridku? Tak tahu malu! Kalau sudah gatal tanganmu dan ingin bertanding, akulah musuhmu. Kita tua sama tua dan mari kita bertaruh. Kalau dalam pertandingan kita engkau kalah, engkau harus memenuhi permintaanku tadi dan permintaan Niken, yaitu engkau harus mencuri Cupu Manik Maya dari Istana Kahuripan dan engkau harus membebaskan Woro Sumarni dari penyiksaanmu untuk melampiaskan dendam dan
cemburumu."
"Dan kalau aku yang menang, aku boleh bersikap sesuka hatiku terhadap isteriku, dan Niken Harni harus menjadi isteriku. Bagaimana, Gayatri, pertaruhan ini telah adil, bukan?"
"Baik! Kalau engkau kalah, engkau harus memenuhi permintaan kami tadi. Sebaliknya kalau aku yang kalah, aku tidak akan menghalangi apa yang hendak kau lakukan terhadap Woro Sumarni dan terhadap Niken Harni.".
"Bagus! Mari kita lakukan pertandingan itu sekarang juga! Aku ingin cepat-cepat dapat menikmati pengantinan dengan Niken Harni. Gayatri, terus terang saja, aku belum pernah tertarik wanita lain, kecuali isteriku dan dulu aku pernah tergila-gila kepadamu. Sekarang, muridmu Ini menjadi penggantimu. Ha-ha-ha-hal"
"Ruangan Ini pun cukup luas untuk kita bertanding, Dibya. Mari kita mulai agar cepat selesai!"
Nini Bumigarbo meninggalkan kursinya.
Niken Harni dan Woro Sumarni juga bangkit berdiri dan Niken cepat mendorong meja penuh hidangan Itu ke pinggir sehingga ruangan itu menjadi semakin luas. Nini Bumigarbo sudah berdiri di tengah ruangan itu. Sambil menyeringai dan bersikap memandang rendah, Ki Dibya Krendasakti juga melangkah dan menghampiri Nini Bumigarbo.
Tidak aneh kalau kakek itu memandang ringan calon lawannya. Bukan karena dia berwatak sombong, akan tetapi karena memang dulu, ketika mereka masih muda dan sudah saling mengenal, tingkat kepandaian Dibya Krendasakti memang lebih tinggi dibandingkan tingkat kepandaian Nini Bumigarbo. Pada waktu itu, kepandaian Dibya Krendasakti sudah tinggi dan setingkat dengan Ekadenta. Dan sejak
(Lanjut ke Jilid 15)
Nurseta Satria Karang Tirta (seri ke 02 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 15
itu, Dibya Krendasakti terus memperdalam Imu-ilmunya sehingga kini dia menganggap ringan kepandaian Gayatri yang telah menjadi Nini Bumigarbo. Tentu saja dia tidak tahu betapa karena ditolak cintanya oleh Ekadenta dan dalam usahanya yang tiada hentinya ingin mengungguli kepandaian kakak seperguruannya itu, Nini Bumigarbo terus meningkatkan kepandaiannya, biarpun ia sudah semakin tua.
Niken Harni yang merasa iba kepada Woro Sumarni, menarik dua buah kursi ke dekat dinding, menjauhi meja dimana terdapat tengkorak itu. Lalu dengan halus ia menggandeng tangan wanita itu dan mengajaknya duduk di atas kursi Itu, menonton pertandingan. Akan tetapi setelah mereka duduk berdampingan, Woro Sumarni berkata lirih, suaranya penuh teguran.
"Niken, mengapa engkau lakukan ini? Engkau membuat aku susah saja."
"Eh? Bibi, aku melakukan ini untuk membelamu!"
"Tidak, Niken. Pertandingan itu akibatnya akan membuat aku susah. Kalau Mbakayu Gayatri menang, kemudian suamiku membiarkan aku pergi dan berpisah darinya, hidupku tidak ada artinya lagi. Kalau suamiku yang menang dan mengambilmu sebagai isteri, hal itu pun akan menghancurkan hatiku. Lebih baik aku mati daripada harus berpisah dari dia atau melihat dia mencinta wanita lain."
Niken terbelalak. Hati gadis muda ini terkejut dan heran, juga tidak mengerti.
"Bibi.... engkau.... engkau begitu amat mencintainya?"
"Tentu saja aku mencintainya, Anak bodoh."
Niken Harni tertegun dan bingung sehingga ia tidak mampu berkata-kata lagi. Apakah suami isteri itu keduanya sudah gila? Demikian pikirnya kebingungan. Woro Sumarni begitu mencinta suaminya sehingga biarpun sudah dua puluh lima tahun disiksa batinnya seperti itu, masih tetap mencintanya. Akan tetapi mengapa dulu ia menyeleweng dengan laki-laki lain? Sebaliknya Dibya Krendasakti sampai sekarang masih amat mencintai isterinya sehingga tidak mau membagi cintanya dengan wanita lain. Akan tetapi mengapa dia tidak mau memaafkan kesalahan isterinya itu dan menyiksa batinnya sedemikian kejamnya? Beginikah cinta? Ataukah mereka gila? Renungannya terhenti karena pada saat itu, Nini Bumigarbo sudah mulai mengadu kesaktian melawan Dibya Krendasakti. Dua orang datuk yang sakti mandraguna itu berdiri saling berhadapan dalam jarak sekitar sepuluh langkah. Nini Bumigarbo tersenyum mengejek dan berkata dengan suara tenang.
"Dibya Krendasakti, mulailah dan keluarkan semua aji kesaktianmu. Hendak kulihat sampai di mana sekarang kemajuanmu!"
Dibya Krendasakti menggerakkan kedua tangannya seperti menyembah di depan dada, kemudian matanya memandang dengan sinar mencorong dan mulutnya berkemak-kemik. Setelah beberapa lamanya, dia lalu membuka kedua lengannya, diangkat ke atas seperti orang berdoa dan dia lalu memukulkan kedua telapak tangannya ke depan dan berteriak lantang.
"Gayatri, sambutlah Aji Bajra Langking!"
Tiba-tiba terdengar suara seperti angin menderu dan banyak sinar hitam meluncur seperti puluhan batang anak panah menuju ke tubuh Nini Bumigarbo. Melihat serangan aji pukulan yang mengandung ilmu sihir ini, Nini Bumigarbo lalu menyambut dengan dorongan kedua telapak tangan ke depan sambil mengerahkan tenaga saktinya, juga diperkuat dengan daya sihirnya. Dari kedua telapak tangannya menyambar angin yang berpusing.
"Wuuuttt.... byarrr....!!"
Dua tenaga sakti yang diperkuat ilmu sihir Itu bertemu di udara, menggetarkan seluruh ruangan itu, bahkan Niken Harni merasa tubuhnya terguncang oleh getaran yang amat kuat sehingga ia harus menahan napas mengerahkan tenaga sakti untuk melindungi tubuhnya, terutama jantungnya. Ia melihat betapa Woro Sumarni tampak duduk tenang saja. Hal ini membuatnya kagum karena ia dapat menduga bahwa wanita cantik itu juga memiliki kesaktian sehingga mampu menahan getaran yang amat kuat Itu.
Ketika dua tenaga sakti Itu bertemu di udara, sinar kecil-kecil seperti puluhan batang anak panah itu terdorong dan membalik, lenyap kembali ke dalam kedua tangan Dibya Krendasakti. Nini Bumigarbo juga menarik kembali tenaganya dan tersenyum.
"Apakah masih ada lainnya, Dibya Krendasakti? Keluarkan semua ilmumu!"
Dibya Krendasakti terkejut bukan main. Dia tadi telah mengerahkan Aji Pukulan Bajra Langking, akan tetapi ternyata lawannya dapat menyambut dan membuyarkan serangannya. Tak disangkanya Gayatri kini memiliki tenaga sakti yang sedemikian kuatnya. Dia merasa penasaran sekali, maklum bahwa menggunakan aji pukulan yang mengandung sihir Itu tidak ada gunanya dan tidak akan dapat mengalahkan lawan. Maka dia lalu mengerahkan serangan yang menggempur lawan melalui suara. Dia menekuk kedua lututnya, membuka mulutnya dan keluarlah gerengan yang amat dahsyat, menggetar dan menggelora. Tidak lantang benar, namun suara pekik itu seperti gelombang lautan yang dating menerjang, mula-mula perlahan, namun semakin lama menjadi semakin kuat dan getarannya membuat prabot ruangan itu bergoyang. Kembali Niken Harni harus mengerahkan seluruh tenaga saktinya untuk melindungi dirinya. Bahkan ia terpaksa memejamkan kedua matanya dan menulikan pendengarannya, memusatkan tenaga untuk melindungi otak dan jantungnya.
MENGHADAPI serangan pekik yang dahsyat Itu, Nini Bumigarbo tiba-tiba tertawa cekikikan. Akan tetapi suara tawa ini juga mengandung getaran hebat yang menyambut dan menolak pengaruh pekik yang dikeluarkan lawannya. Dua suara yang berlainan itu seolah saling mendorong dan saling menyerang. Akhirnya perlahan-lahan pekik itu melemah dan suara tawa Nini Bumigarbo Juga ikut melemah dan keduanya berhenti. Suasana menjadi lengang setelah dua suara itu berhenti. Namun dalam telinga Niken Harni yang menghentikan pengerahan tenaganya, masih terngiang-ngiang.
"Bagaimana, Dibya? Masih ada lagi?"
Tanya Nun Bumigarbo dengan senyum mengejek.
Ki Dibya Krendasakti semakin terkejut dan penasaran. Tahulah dia bahwa dalam hal daya sihir dan tenaga sakii, dia tidak akan mampu mengalahkan lawannya. Maka dia akan mengajak nenek itu bertanding lewat ketangkasan dan keahlian dalam gerakan silat. Dia lalu menyambar gendewa besar yang tadi dia letakkan di atas meja.
"Gayatri, kalau memang engkau sakti, mari kita menguji tebalnya kulit kerasnya tulang dan ketangkasan ilmu silat kita! Keluarkan senjatamu untuk menandingi senjata pusaka gendewaku Ini!"
Nini Bumigarbo adalah seorang datuk yang sudah mencapai tingkat yang tinggi sekali dalam aji kanuragan, maka ia hampir tidak pernah menggunakan senjata untuk memperkuat dirinya. Seluruh tubuhnya, kaki tangan, balikan rambutnya, dapat menjadi senjata yang amat ampuh. Juga ia memiliki senjata rahasia berupa segenggam pasir yang amat ampuh karena setiap butir pasir sakti Ini sudah cukup untuk meracuni tubuh lawan dan membinasakannya. Akan tetapi kini ia menghadapi Dibya Krendasaktl dan ia tahu bahwa gendewa di tangan lawan ini amat ampuh. Gendewa itu adalah sebuah senjata yang termasuk keras. Maka ia lalu melolos sehelai sabuk hitam yang panjangnya hanya sekitar lima kaki, sabuk dari kain tebal yang kuat. Sebetulnya ini hanyalah sabuk biasa, bukan senjata. Akan tetapi bagi nenek yang sakti ini, setiap benda apa saja dapat ia pergunakan sebagai senjata, la memilih sabuk yang lemas untuk menandingi gendewa lawan yang keras.Sambil merentangkan sabuk hitam itu dengan kedua tangannya, Nini Bumigarbo berkata,
"Dibya, majulah. Ingin aku membuktikan betapa ampuhnya gendewa di tanganmu itu!"
Ki Dibya Krendasakti mengeluarkan bentakan nyaring dan menerjang maju dengan serangan yang dahsyat. Karena dia maklum betul betapa saktinya Nini Bumigarbo, maka begitu menyerang dia langsung mengeluarkan jurus-jurus terampuhnya. Namun, dengan gerakan lincah dan tenang saja Nini Bumigarbo menyambut serangan itu dengan sabuk hitamnya. Mereka saling serang dengan dahsyatnya, menggerakkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua jurus terampuh dan aji pamungkas mereka. Namun, keduanya memiliki pertahanan yang kokoh kuat, tidak mudah didesak lawan.
Niken Hami sampai merasa pening menyaksikan pertandingan yang amat hebat itu. Seluruh ruangan itu seolah terguncang. Seakan-akan ada dua ekor gajah yang sedang berkelahi mati-matian di ruangan itu, bukan seorang kakek dan seorang nenek! Dua orang itu lenyap tidak tampak bentuknya lagi. Yang tampak hanya bayangan dua orang berkelebatan telah menjadi banyak, diselubungi sinar hitam sabuk di tangan Nini Bumigarbo dan sinar keabuan dari gendewa Dibya Krendasakti. Suara yang terdengar hanya desiran angin, terkadang bersuitan dan berdesingan seperti suara senjata tajam meluncur. Terkadang terdengar bunyi nyaring ketika sabuk bertemu gendewa dan tampak bunga api perpijar-pijar!
Tidak disangka oleh Niken Harni bahwa pertandingan itu akan sedemikian hebatnya, la sendiri sampai mengeluarkan keringat dingin saking tegangnya. Kalau ia menoleh dan memandang kepada Woro Surnarni, ia melihat wanita cantik itu menonton tanpa berkedip. Sepasang alisnya berkerut dan wajahnya tampak tegang dan gelisah. Diam-diam ia merasa semakin iba dan juga terheran-heran. Wanita ini sungguh amat mencinta suaminya. Inikah yang disebut cinta yang sesungguhnya, ataukah ia mencinta seperti itu karena merasa menyesal akan penyelewengannya dahulu? Ia tidak tahu dan tidak akan pernah mengerti. Kini mulai terdengar pernapasan Dibya Krendasakti yang terengah-engah. Sebaliknya, Nini Bumigarbo masih tenang dan teguh seperti sebelum bertanding. Dari kenyataan ini saja dapat dimengerti bahwa tingkat kepandaian Nini Bumigarbo masih lebih unggul. Sebetulnya kalau dibuat perbandingan, tingkat ilmu yang mereka peiajari dan kuasai tidak banyak selisihnya. Akan tetapi yang berbeda adalah daya tahan tubuh mereka.
Hal Ini dapat dimengerti. Dibya Krendasokti telah berlsterl selama hampir tiga puluh tahun dan dia pun selama dua puluh lima tahun sebetulnya mengalami tekanan batin yang amat hebat, namun ditahan dan disembunyikan di balik cintanya terhadap isterinya. Juga dia jarang berlatih setelah hidup sebagai raja kecil di Nusa Ban ng. Sebaliknya, Nini Bumigarbo adalah seorang wanita yang tidak pernah menikah, seorang yang masih perawan, dan selain itu, sampai dua tahun yang ialu pun ia masih tekun berlatih untuk menambah ilmu dan memperkuat diri dalam usahanya mengalahkan Bhagawan Ekadenta. Maka dalam pertandingan ini, Nini Bumigarbo memiliki kelebihan dalam kekuatan dan daya tahan tubuh.
"Sambut ini, Dibya!"
Terdengar bentakan nyaring.
"Syuuuuttt.... krakk...!"
Tubuh Dibya Krendasakti terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung. Gendewanya patah dan wajahnya pucat, napasnya terengah-engah dan dia menggunakan tangan kiri untuk menekan dadanya yang terasa sesak terkena pukulan tangan kiri Nini Bumigarbo.
"Kakangmas....!!"
Woro Sumarnl melompat dari tempat duduknya dan begitu dekat dengan suaminya, ia merangkul dengan penuh kasih sayang dan kekhawatiran.
"Engkau tidak apa-apa, Kakangmas... ...?"
Tanyanya sambil meraba dada suaminya.
Dibya Krendasakti merangkul pundak isterinya.
"Tidak apa-apa, Diajeng. Gayatri agaknya masih teringat akan persahabatan masa lalu maka ia tidak menurunkan tangan maut kepadaku. Dan agaknya sudah tiba saatnya bahwa aku harus membebaskanmu, Diajeng. Ah, biarlah aku menderita dan mati kalau engkau tega meninggalkan aku, Diajeng Woro Surnarni..."
Kakek yang gagah perkasa itu kini tampak berduka dan memandang Wajah isterinya penuh permohonan.
"Tidak, Kakangmas. Aku tidak pernah meninggalkanmu, sampai aku mati...!"
"Diajeng.... aduh, baru sekarang aku menyadari betapa kejamnya aku kepadamu. Diajeng, maukah engkau mengampuni aku...? Aku tidak ingin kehilangan engkau, Diajeng, kalau engkau pergi meninggalkan aku, aku tidak akan menghalangi, akan tetapi berarti engkau membunuh aku...."
"Tidak, Kakangmas, tidak....!"
Suami isteri itu berangkulan dan bertangisan.
Niken Harni bengong teriongong menyaksikan ini.
"He-he-hi-hi-hik! Bertangis-tangisan! Alangkah mesranya, alangkah mengharukan! Dibya, engkau mengaku kalah?"
Nini Bumigarbo bertanya.
Sambil merangkul pinggang isterinya dengan tangan kiri dan membawa isterinya duduk kembali ke kursinya, Dibya Krendasakti menjawab.
"Aku mengaku kalah, Gayatri. Engkau memang hebat sekali. Bahkan aku tahu, kalau engkau menghendaki, agaknya sudah sejak tadi aku roboh dan tewas di tanganmu."
"Ihh, tidak begitu mudah, Dibya. Engkaulah lawanku yang paling tangguh selama ini, tentu saja di bawah kesaktian Bhagawan Ekadenta. Nah, sekarang engkau mau memenuhi permintaan kami berdua, bukan?"
"Tentu saja, Gayatri!"
Dibya Krendasakti lalu bertepuk tangan tiga kali.
Lima orang anak buah laki-laki bermunculan dari pintu. Mereka tadi tidak berani menonton atau mendengarkan, namun tepuk tangan yang nyaring tiga kali ini merupakan perintah panggilan yang harus mereka taati.
"Hayo kalian cepat bawa pergi tengkorak itu dan kuburkan di dalam makam Kunarpo di bukit kecil itu. Kalian sudah tahu dimana makam itu. Kubur baik-baik dan dengan penuh penghormatan!"
Lima orang murid itu menyanggupi dan mereka lalu membawa tengkorak bersama bakinya keluar dari ruangan itu. Niken Harni melihat betapa kini wajah Woro Surnarni berseri-seri dan tampak semakin cantik. Agaknya kehidupan baru yang gemilang dan bahagia menanti di depannya. Juga wajah Dibya Krendasaktl tampak berseri, sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan.
"Gayatri, Niken Harni, sekarang marilah kita makan minum dulu, baru nanti kita bicara! Diajeng Woro Sumarni, sekarang tidak periu lagi memanggil pelayan. Mereka hanya mengganggu saja. Biar tanganmu sendiri yang melayani aku dan tamu-tamu kita ini."
Woro Sumarni tersenyum dan menyentuh pundak Nini Bumigarbo.
"Mbakayu Gayatri, aku sungguh merasa girang sekali bahwa engkau masih ingat kepada kami dan suka dating berkunjung. Terima kasih, Mbakayu, terima kasih. Ternyata kunjunganrnu mendatangkan berkah dan kami berdua merasa mendapatkan hidup baru yang cerah."
"Benar kata isteriku, Gayatri. Kini tidak ada lagi penghalang di antara cinta kami berdua. Semua halangan itu merupakan masa lalu yang sudah kami lupakan semua."
Gayatri tersenyum, akan tetapi senyumnya masam.
"Aku tetap saja tidak percaya kepada laki-laki. Semua omongan laki-laki terhadap wanita itu gombal belaka, merayu dan mengambil hati, akan tetapi sebetulnya palsu!"
"Akan tetapi suamiku tidak, Mbakayu....."
"Ah, sudahlah. Aku tidak mau bicara lagi tentang kepalsuan laki-laki. Hayo kita makan setelah itu baru kita bicara tentang kesanggupan Dibya Krendasaktil"
Mereka lalu makan minum dan Niken Harni melihat betapa Woro Surnarni benar-benar tampak gembira dan bahagia, melayani suaminya dengan sikap lembut dan mesra. Juga wajah Dibya Krendasakti tampak bahagia, terlihat dari sinar matanya yang terang, tidak seperti tadi yang suram mengandung kekerasan. Sehabis makan, Nini Bumigarbo segera mengajak Dibya Krendasakti bicara.
"Aku akan memegang teguh janjiku, Gayatri. Aku sudah kalah dan aku telah pula memenuhi permintaan Niken Harni, yaitu memberi kebebasan kepada isteriku. Sekarang, kita bicara tentang permintaanmu agar aku mencuri pusaka Kahuripan, yaitu Cupu Manik Maya."
"Memang seharusnya begitu, Dibya. Lebih dulu perlu engkau ketahui tentang bangunan istana dan di mana pusaka yang kumaksudkan itu di simpan. Nah, dengarkan baik-baik, akan kugambarkan keadaan istana Kahnripan."
Nini Bumigarbo lalu memberi penjelasan tentang keadaan Istana Kahnripan, dari mana Dibya Krendasakti dapat masuk tanpa banyak halangan dan di mana pula letaknya Gedung Pusaka. Setelah Nini Bumigarbo selesai memberi keterangan, Ki Dibya Krendasakti mengangguk-angguk.
"Aku sudah paham, Gayatri dan percayalah, aku pasti akan berhasil mencuri pusaka Cupu Manik Maya itu dari Gedung Pusaka Istana Kahuripan. Akan tetapi sebelum aku pergi memenuhi permintaanmu, aku masih merasa penasaran, Gayatri. Engkau memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi daripada aku. Kalau engkau turun tangan sendiri mengambil pusaka itu, tentu akan dapat kau lakukan dengan mudah. Akan tetapi mengapa engkau malah minta bantuan kepadaku?"
Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Seperti telah kukatakan tadi, aku tidak bisa turun tangan sendiri karena aku sudah berjanji untuk tidak mengganggu Erlangga dan Narotama dengan tanganku sendiri. Aku sudah berjanji kepada.... Bhagawan Ekadenta yang melindungi raja dan patihnya itu. Nah, sudah jangan banyak bertanya lagi. Kapan engkau akan berangkat melaksanakan pengambilan pusaka seperti yang sudah kau janjikan itu?"
"Hari ini juga aku berangkat, Gayatri!"
"Kakangmas Dibya, aku ikut. Aku akan membantumu!"
Kata Woro Surnarni.
"Aku dapat membelamu kalau engkau terancam bahaya, Kakangmas. Aku mendengar bahwa Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama adalah orang yang sakti mandraguna. Aku khawatir engkau akan mengalami bencana.
"
"Hiah ha ha, Waduh, sikapmu ini membuat aku merasa bahagia sekali, Diajeng! Ternyata engkau memang amat mencintaku, siap membelaku. Terima kasih, Diajeng Woro Surnarni, aku berjanji, mulai saat ini, aku akan lebih mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku! Akan tetapi, jangan khawatir. Mencuri pusaka dari Gedung Pusaka Istana Kahuripan hanya merupakan permainan kanak-kanak bagiku!"
"Dibya Krendasakti, seperti yang telah kukatakan kepadamu, setelah engkau berhasil mencuri Cupu Manik Maya, benda pusaka itu boleh kau miliki. Aku tidak membutuhkannya. Tentu saja engkau harus menjaganya sendiri dan menghadapi segala akibatnya."
"Ha-ha-ha, tentu saja, Gayatri."
"Nah, sekarang aku dan Niken akan meninggalkan Nusa Barung, tolong kau sediakan perahu penyeberangan ke daratan."
Dibya Krendasakti memberi perintah kepada anak buahnya. Nini Bumigarbo dan Niken Harni lalu berpamit kepada suami isteri itu, dan tak lama kemudian mereka berdua sudah duduk dalam sebuah perahu yang didayung oleh dua orang anak buah Nusa Barung dengan cepat.
Dengan ilmunya berlari cepat yang membuat Puspa Dewi dapat berlari seperti terbang, gadis itu yang mencari adik tirinya, Niken Harni, memasuki daerah Kerajaan Wengker. Ia tahu bahwa daerah itu berbahaya. Di situ terdapat banyak orang sakti. Apalagi kini yang menjadi adipati adalah Linggajaya, seorang pria yang jahat namun sakti dan yang menjadi satu di antara musuh-musuhnya. Setelah dulu daiam gerakan persekutuan antara tiga kerajaan kecil yang membantu pemberontakan di Kahurlpan, ia telah berbalik membela Kahuripan sehingga dianggap pengkhianat oleh persekutuan, ia dianggap musuh oleh empat kerajaan itu. Kerajaan Wengker dengan adipatinya Linggawijaya, Kerajaan Wura-wuri dengan adipatinya Bhismaprabhawa di mana gurunya, Nyi Dewi Durgakumala, kini menjadi permaisuri Wura-wuri. Yang ke tiga adalah Kerajaan Parang Siluman dengan adipatinya Ratu Wanita Durgamala yang memiliki banyak pembantu sakti, di antaranya puteri-puterinya sendiri, Ni Lasmini dan Ni Mandari, dan yang ke empat adalah Kerajaan Siluman Laut Kidul dengan penguasanya Ratu Mayang Gupita, raksasa wanita yang sakti itu.
Kini ia memasuki wilayah Kerajaan Wengker, sebuah diantara empat kerajaan itu dan Wengker dapat dikatakan sebagai yang terbesar dan terkuat di samping Kerajaan Parang Siluman. Akan tetapi ia tidak merasa gentar. Ia harus dapat menemukan Niken Harni dan kalau perlu ia akan menemui Adipati Linggawijaya sendiri untuk minta agar adiknya itu dibebaskan, seandainya Niken Harni memang tertawan di Wengker.
Kerajaan Wengker adalah sebuah kerajaan yang cukup luas dan di daerah itu memiliki ciri yang khas, yaitu bahwa para penduduknya sebagian besar terdiri dari orang-orang yang pembawaannya kasar dan jarang terdapat wanita cantik. Para prianya kebanyakan tinggi besar dan bertubuh kokoh kuat, pembawaannya gagah dan keras. Jarang terdapat wanita cantik di antara penduduk Wengker aseli. Karena itu, ketika Puspa Dewi melakukan perjalanan memasuki daerah Wengker, orang-orang yang bertemu dengannya memandang penuh perhatian dan mereka merasa kagum sekali. Tentu saja Puspa Dewi tidak mempedulikan mereka dan langsung saja ia melakukan perjalanan cepat menuju ke kota Kadipaten Wengker.
Pada suatu sore ia tiba di sebuah dusun di tepi sebuah sungai yaitu Kali Ngebel. Dusun Nguter itu merupakan sebuah dusun yang cukup besar karena penduduknya dapat hidup cukup makmur dengan hasil sawah ladang mereka yang subur karena mendapatkan air yang cukup dari Kali Ngebel. Seperti juga di setiap tempat yang ia lalui, ketika ia memasuki dusun itu pun, orang-orang yang melihatnya, terutama orang-orang lelaki, memandangnya dengan tertarik dan penuh kagum. Mereka jarang melihat wanita secantik Puspa Dewi dan mereka tahu bahwa gadis ini adalah seorang asing karena di antara mereka tidak ada yang mengenalnya.
Puspa Dewi terpaksa menunda perjalanannya. Senja telah mendatang. Ia harus melewatkan malam di tempat ini. Ia tidak ingin ada orang di dusun itu yang mencurigainya sehingga perjalanannya ke kota kadipaten akan mengalami banyak gangguan. Karena itu, ia memilih tempat yang terpencil dan jauh dari perumahan, di tepi sungai. Akan tetapi perutnya terasa lapar sekali. Ketika ia berjalan perlahan di tepi sungai, ia melihat berkilatnya kulit ikan yang meluncur di dalam air sungai yang bening itu. Sepasang matanya berkilat, wajahnya berseri. Ada makanan tersedia di dalam air sungai, pikirnya.
Puspa Dewi lalu mencari sebatang ranting pohon dan meruncingi ujungnya. Setelah itu ia lalu berjalan perlahan menyusuri tepi Kali Ngebet sambil memperhatikan ke arah air dengan ranting runcing siap di tangan kanan. Tiba-tiba ia melihat bayangan beberapa ekor ikan berenang di depannya. Cepat sekali ranting runcing itu meluncur dan ujungnya yang kecil runcing sudah menembus kepala seekor ikan! Dengan girang Puspa Dewi mengambil ikan itu dari tongkat runcingnya. Kemudian ia mengintai lagi. Sedikitnya ia harus mendapatkan tiga ekor ikan untuk dapat mengenyangkan perutnya yang lapar karena ikan itu pun tidak terlalu besar, hanya sebesar pergeiangan tangannya. Akan tetapi agaknya gerakan di air ketika ia menangkap seekor ikan tadi membuat ikan-ikan di dekat situ ketakutan. Terpaksa ia harus berjalan terus, mencari ke bagian lain. Akhirnya ia berhasil memperoleh tiga ekor ikan.
Gadis yang sudah biasa melakukan perantauan ini dengan girang lalu membuang isi perut ikan dan memanggang ikan-ikan itu di tepi sungai. Biarpun ikan-ikan itu tidak diberi bumbu, dipanggang begitu saja, namun terasa cukup lezat dan sebentar saja tiga ekor ikan itu tinggal kepala dan tulang saja yang ia lemparkan ke dalam sungai.
Puspa Dewi membersihkan tangan, lalu mencuci muka dan kaki lengannya. Lalu ia mulai mencari tempat yang enak untuk melewatkan malam. Ketika ia sedang mencari-cari tempat untuk mengaso melewatkan malam, tiba-tiba ia mendengar jeritan suara wanita yang datangnya dari dalam hutan kecil di tepi sungai. Cepat ia melompat dan berlari memasuki hutan kecil itu.
Tak jauh ia berlari, ia melihat seorang laki laki bertubuh tinggi besar bermuka hitam, berusia sekitar tiga puluh lima tahun, menarik-narik lengan seorang wanita muda dan menyeretnya menuju ke sebuah guha yang berada di situ.
"Jangan....! Lepaskan aku, lepaskan...! Tolooongggg....!!"
Wanita muda itu menjerit-jerit.
"Ha-ha, tidak ada yang akan mendengarmu. Andaikata ada pun siapa berani mencampuri urusan Drohawisa? Diamlah dan aku tidak akan bertindak kasar terhadap dirimu!"
Tiba-tiba laki-laki tinggi besar itu menggerakkan kedua tangan dan tahu-tahu dia telah memondong tubuh wanita yang meronta-ronta dan menjerit-jerit itu.
"Lepaskan aku....! Aku mau menolong suamiku.... lepaskan aku, kasihanilah aku.... suamiku.... ah, engkau telah membunuhnya...!"
Wanita itu menangis.
"Ha-ha, Wiyanti, engkau menurut saja padaku dan engkau akan hidup senang. Suamimu berani menentangku, maka kubunuh dia dan kalau engkau selalu menolakku, akan kukirim kau menyusul suamimu!"
"Bunuh saja aku! Bunuh....!"
"Ha-ha-ha, sayang kalau dibunuh!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Jahanam busuk!"
Dan Puspa Dewi telah berdiri menghadang di depan laki-laki yang memondong tubuh wanita itu dan hendak memasuki guha.
Laki-laki yang tadi mengaku bernama Drohawisa itu terkejut dan marah sekali melihat ada orang berani menentangnya. Akan tetapi ketika dia melihat bahwa yang menghadang dan memakinya itu adalah seorang gadis yang cantik jelita, dia terbelalak kagum dan segera melepaskan tubuh wanita yang dipondongnya dengan kasar, seperti membuang sebuah benda yang tidak berharga. Wanita itu terbanting jatuh dan mengeluh kesakitan menangis lalu merangkak menjauhi laki-laki itu, duduk bersandar batang pohon dan menangis.
"Wah! Bidadari dari mana datang menemuiku? Cantik sekali engkau. Aduh .... beruntung sekali aku hari Ini, mendapatkan seorang bidadari!"
Dahulu, Puspa Dewi adalah seorang gadis yang berwatak keras dan ganas. Hal ini adalah karena selama lima tahun ia digembleng dalam pendidikan Nyi Dewi Durgakumala yang sesat. Dulu, kalau bertemu orang yang dianggapnya musuh, tentu ia akan menurunkan tangan besi dan menghajar orang itu tanpa banyak bertanya lagi. Akan tetapi semenjak ia mendapat pendidikan Sang Maha Resi Satyadharma selama tiga bulan, wataknya berubah banyak. Biarpun kini ia marah sekail melihat Drohawisa menculik dan hendak memperkosa Wiyanti, namun la menahan diri sebelum mengetahui duduknya perkara. Maka, ia tidak mempedulikan ucapan Drohawisa tadi dan menghampiri Wiyanti yang duduk menangis sambil bersandar pada batang pohon Itu.
Wanita itu berusia sekitar dua puluh lima tahun. Seperti kebanyakan wanita daerah Wengker, wanita ini pun memiliki bentuk tubuh yang tegap dan besar. Wajahnya termasuk sedang saja bagi wanita pada umumnya, namun bagi orang-orang Wengker, ia sudah dapat disebut manis dan menarik.
"Mbakayu, ceritakanlah apa yang telah terjadi? Jangan takut, aku akan melindungimu."
Dengan terisak-isak Wiyanti menceritakan betapa Drohawisa selalu menggoda dan membujuk-rayunya. Wiyanti yang sudah bersuami tentu saja menolak dan siang tadi, ketika Drohawisa menggodanya lagi, suami Wiyanti yang bernama Garino pulang dan menegur Drohawisa dengan marah melihat laki-laki itu menggoda isterinya. Terjadi perkelahian dan Garino dihajar oleh Drohawisa yang tentu saja jauh lebih kuat karena dia adalah seorang jagoan, murid seorang warok muda terkenal bernama Wirobento. Drohawisa menangkap dan melarikan Wiyanti, meninggalkan Garino yang roboh pingsan dengan tubuh menderita luka-luka akibat pukulan dan tendangan Drohawisa.
"Demikianlah, Mas Roro.... dia membawa aku sampai ke tempat ini.... dan aku tidak tahu bagaimana dengan nasib suamiku...."
Wiyanti mengakhiri ceritanya sambil menangis. Mendengar ini, sepasang mata Puspa Dewi mencorong ketika ia membalik dan menghadapi Drohawisa. Ia melihat betapa laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam itu menyeringai dengan pandang mata seolah hendak menelan bulat-bulat gadis cantik jelita yang berdiri di depannya itu.
"Ha-ha-ha, sekarang juga akan membebaskanmu, Wiyanti. Aku tidak membutuhkan engkau lagi. Sepuluh orang seperti engkau pun akan kutukarkan dengan gadis bidadari ini, hehheh-heh!"
"Jahanam busuk! Orang macam engkau ini tidak pantas hidup di dunia ini!"
"Ha-ha, aku mau hidup di neraka asalkan bersama engkau, perawan denok montrok, ayu manis merak ati! Mari kupondong engkau, dewiku!"
Drohawisa adalah seorang hamba nafsu yang selalu melakukan perbuatan apa pun untuk melampiaskan nafsu nafsunya. Tidak ada perbuatan yang dipantangnya dan sudah terbiasa memaksakan kehendaknya. Orang seperti dia itu berwatak sombong dan mengagulkan kekuatan sendiri, memandang rendah kepada semua orang. Kalau bertemu orang yang lebih kuat dia tidak segan untuk merangkak dan menjilat-jilat seperti anjing mencari perhatian, sebaliknya terhadap yang lemah dia selalu menindas dan memandang rendah. Tentu saja dia memandang rendah seorang gadis muda seperti Puspa Dewil Setelah berkata demikian, sambil menyeringai dia sudah menubruk maju dengan cepat untuk menangkap gadis yang kecantikannya membuat dia tergila-gila itu. Sudah gatal-gatal tangannya untuk mendekap dan membelai gadis itu. Kedua lengannya yang panjang dikembangkan, jari-jari tangannya terbuka dan kedua tangan itu dari kanan kiri menyambar ke arah tubuh Puspa Dewi untuk menangkapnya.
Puspa Dewi yang sudah marah tidak mau memberi hati lagi. Cepat seperti kilat menyambar, kaki kirinya mencuat ke depan dan sebelum kedua tangan Drohawisa sempat menyentuhnya, kakinya telah lebih dulu menghantam perut laki-laki tinggi besar bermuka hitam itu.
"Syuuutt.... desss....!"
"Hekk....l"
Tubuh tinggi besar itu terjengkang dan roboh. Drohawisa menggunakan dua tangan untuk menekan-nekan perutnya yang terasa nyeri dan mulas sekali. Mungkin usus buntunya terkena tendangan kaki Puspa Dewi. Akan tetapi dasar orang sombong, hajaran itu masih belum menyadarkannya bahwa dia berhadapan dengan orang yang jauh lebih tangguh daripada dia. Sambil menahan rasa, nyeri dengan kemarahan luar biasa dia bangkit, meringis dan sudah menerjang ke arah Puspa Dewi. Kini terjangannya bukan didorong nafsu berahi untuk merangkul dan mendekap, melainkan didorong nafsu amarah. Tangan kanannya yang dikepal sebesar kepala Puspa Dewi itu menyambar, agaknya hendak memukul pecah kepala gadis yang tadi membuat dia tergila-gila itu.
Dengan tenang Puspa Dewi menangkis pukulan itu dengan tangan kirinya yang bergerak dari dalam keluar dan berbareng tangan kanannya dengan jari-jari terbuka memukul ke arah dada lawan.
"Piakk....l Desss....!!"
Drohawisa mengeluarkan suara aneh, tubuhnya sekali lagi terjengkang dan dia roboh, terduduk. Dia terengah-engah, sukar bernapas karena dadanya terasa seolah disambar palu godam, membuat napasnya sesak. Juga pergeiangan tangan kanannya seolah tadi ditangkis sepotong baja yang membuat lengannya terasa ngilu sampai ke tulangnya. Hajaran keras ini tetap saja belum menembus kekebalan otak Drohawisa, bukan membuat dia sadar bahkan membuat dia semakin marah dan penasaran, juga malu karena dia telah dirobohkan dua kali oleh seorang gadis mudai Biarpun perutnya masih terasa mulas dan dadanya sesak, dia memaksa diri bangkit dan mencabut sebatang golok yang terselip di pinggangnya. Golok besar itu berkilauan saking tajamnya.
"Perempuan setan, engkau sudah bosan hidup Mampuslah!"
Bentaknya dan dia sudah melompat ke depan dan menyerang dengan bacokan buas ke arah kepala Puspa Dewi. Gadis ini maklum bahwa lawannya menyerang untuk membunuhnya. Seorang yang jahat dan kejam, pikirnya dan orang macam ini tidak akan pernah kapok (bertaubat) kalau tidak diberi hajaran yang amat keras. Maka, begitu golok itu menyambar ke arah kepalanya, ia menggeser kaki dan miringkan tubuhnya. Golok menyambar dari atas, lewat samping tubuhnya dan secepat kilat kedua tangan Puspa Dewi bergerak, yang kiri mengetuk siku kanan lawan dan begitu siku terketuk dan lumpuh sehingga golok terlepas, tangan kanannya sudah merampas golok itu! Demikian cepat peristiwa Itu terjadi sehingga Drohawisa tidak dapat mengerti mengapa goloknya dapat terampas. Tiba-tiba tampak sinar golok berkelebat dua kali.
"Crak-crak...., aduhhh....!!"
Drohawisa terpelanting roboh dan bangkit duduk, merintih-rintih dan tangan kirinya sibuk menekan lengan kanan yang buntung sebatas pergelangan lalu berpindah ke kaki kiri yang terbabat buntung separuh, sehingga semua jari kaki kiri itu buntung! Darah bercucuran dan laki-laki tinggi besar bermuka hitam itu merintih dan menangis saking nyeri dan takutnya.
"Manusia jahat dan kejami"
Puspa Dewi berkata.
"Lain kali kalau engkau tidak mengubah watakmu yang jahat, aku akan membuntungi lehermu!"
Setelah berkata demikian, Puspa Dewi menggunakan kedua tangan menekuk dan terdengar suara nyaring ketika golok itu patah menjadi dua potong lalu dilemparkan ke atas tanah oleh Puspa Dewi.
Drohawisa terbelalak. Demikian kaget dia sehingga sejenak rasa nyerinya hampir tidak terasa lagi. Baru sekarang matanya terbuka dan dia sadar bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang sakti mandragunal Akan tetapi dasar jahat. Yang timbul dalam hatinya bukan penyesalan dan kesadaran untuk bertaubat, melainkan dendam sakit hati dan dia harus membalas dendam dengan mengerahkan bantuan kawankawannya! Dengan susah payah dia bangkit berdiri, memandang gadis itu dengan mata yang masih basah oleh tangis kesakitan tadi.
"Katakan, siapa engkau dan tunggu pembalasanku!"
Bentaknya.
Puspa Dewi tersenyum.
"Setiap saat akan kutunggu pembalasanmu. Namaku Puspa Dewi."
Wajah Drohawisa berubah pucat dan matanya terbelalak semakin lebar mendengar nama ini dan bagaikan dikejar setan dia lalu melarikan diri, terpincang pincang, terjatuh, merangkak lalu berlari lagi berloncatan dengan sebelah kaki karena kaki kirinya terasa nyeri bukan main kalau dipakai menginjak tanah.
Puspa Dewi tidak mempedulikan lagi laki-laki itu dan menghampiri Wiyanti. Wanita itu kini bangkit dan lari menghampiri Puspa Dewi lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah-nyembah.
"Aduh, terima kasih atas pertolonganmu, Den Roro...."
"Bangkitlah, Mbakayu Wiyanti dan mari kita lihat keadaan suamimu."
Wiyanti lalu berjalan cepat setengah berlari menuju ke sebuah rumah terpencil yang berada di luar hutan itu. Daerah Itu memang masih belum padat penduduknya dan setiap keluarga memiliki tanah pekarangan yang amat luas sehingga jauh dari tetangga. Ketika mereka tiba di rumah Wiyanti, cuaca sudah mulai remang senja.
Mereka melihat seorang laki-laki berusia tiga puluhan tahun duduk di atas lantai pendapa bersandar dinding bambu dan mukanya matang biru membengkak bekas pukulan. Melihat Wiyanti datang, Garino, laki-laki itu dengan susah payah memaksa diri bangkit berdiri.
"Wiyanti.... engkau.... engkau pulang dengan selamat....?"
"Kakang Garino....!"
Suami isteri itu berangkulan dan Wiyanti menangis.
"Mbakayu Wiyanti, kukira suamimu perlu beristirahat."
Kata Puspa Dewi.
Baru wanita itu menyadari dan ia pun memapah suaminya memasuki .ruangan dalam dan membantu suaminya rebah di atas sebuah amben (pembaringan sederhana dari bambu). Garino rebah telentang dan Wiyanti segera menyalakan lampu, laiu mempersilakan Puspa Dewi duduk di atas bangku kayu sederhana yang berada di ruangan itu.
Setelah cuaca mulai terang oleh sinar lampu, Puspa Dewi melihat bahwa Garino adalah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun, tubuhnya kokoh dan tinggi kurus, wajahnya sederhana namun tidak membayangkan watak yang kasar seperti kebanyakan orang laki-laki di Kerajaan Wengker. Ia juga dapat melihat bahwa Garino hanya menderita luka-luka karena pukulan dan tendangan, hanya bengkak-bengkak dan matang biru, akan tetapi agaknya tidak terdapat luka yang membahayakan nyawanya. Sebaliknya, ketika Garino memandang dan melihat bahwa wanita yang datang bersama isterinya adalah seorang gadis muda yang cantik jelita, dia merasa heran sekali.
"Wiyanti, siapakah gadis ini?"
"Kakang Garino, gadis inilah yang telah menyelematkan aku dari Drohawisa yang jahat dan kejam. Ia amat sakti mandraguna, Kakang, Drohawisa dihajar sampai sebuah tangan dan sebuah kakinya buntung!"
Wiyanti menceritakan dengan wajah gembira.
"Inilah penoIongku, namanya Raden Roro Puspa Dewi!"
Nama Puspa Dewi amat tersohor bagi para senopati dan perajurit Wengker. Akan tetapi Garino adalah seorang petani yang hidup di Lembah Kali Ngebel dan nama gadis itu asing baginya. Maka dia pun tidak terkejut seperti halnya Drohawisa mendengar nama Puspa Dewi, hanya memandang kagum dan dia segera bangkit duduk, dibantu isterinya.
"Den Roro, saya menghaturkan terima kasih atas pertolongan Andika kepada isteri saya."
"Sudahlah, tidak perlu berterima kasih. Penjahat macam Drohawisa itu memang sudah sepatutnya menerima hukuman. Sebaliknya, aku yang mengharapkan bantuan Andika berdua."
Suami isteri itu memandang heran.
"Bantuan dari kami? Bantuan apakah yang dapat diberikan suami isteri miskin dan lemah seperti kami?"
Tanya Wiyanti.
"Benar kata isteri saya, Den Roro. Bahkan setelah terjadinya peristiwa tadi, kami tidak berani lagi tinggal di sini. Besok pagi kami harus sudah pergi dari sini, pindah ke tempat yang tersembunyi dari mereka."
"Kalau kalian merasa lebih aman pergi dari sini, tentu saja hal itu yang terbaik. Akan tetapi aku hanya ingin minta bantuan dua hal kepada kalian. Pertama, aku ingin menumpang di sini untuk melewatkan malam ini...."
"Wah, tentu saja boleh, Den Roro!"
Suami isteri itu berseru hampir berbareng.
"Terima kasih Dan bantuan ke dua, aku minta keterangan dari kalian, barangkali saja kalian mendengar tentang adanya seorang gadis bernama Niken Harni memasuki daerah Wengker baru-baru ini."
"Niken Harni? Saya tidak pernah mendengarnya, Den Roro."
Kata Wiyanti.
"Kakang, apakah engkau pernah mendengar nama itu?"
Suaminya menggeleng kepalanya.
"Saya juga belum pernah mendengar nama itu, Den Roro. Maaf, kami, tidak dapat membantu Andika dalam hai ini."
"Tidak mengapa kalau kalian tidak mengetahuinya. Biarlah malam ini aku menumpang di sini semalam dan besok pagi-pagi aku akan melanjutkan perjalanan mencari Niken Harni."
"Kalau boleh saya mengetahui, siapakah Niken Harni itu, Den Roro?"
Tanya Wiyanti.
Puspa Dewi menghela napas panjang,
"la Adikku."
Karena Puspa Dewi tidak bicara lebih lanjut mengenai Niken Harni, suami isteri Itu pun tidak berani banyak bertanya.
"Den Roro, setelah Drohawisa Andika beri hajaran keras, dia pasti akan mengerahkan kawan-kawannya dan saya khawatir malam ini juga mereka akan datang ke sini untuk melakukan pembalasan. Apakah tidak sebaiknya kalau kita pergi saja malam ini juga meninggalkan tempat ini?"
Mendengar ucapan suaminya yang mengandung ketakutan itu, Wiyanti malah menangis lagi.
"Ahh.... bagaimana baiknya, Kakang? Den Roro, tolonglah kami, Den Roro Puspa Dewi...."
"Jangan kalian khawatir. Malam ini, kalau benar ada yang berani datang mengganggumu, aku yang akan menghadapi mereka!"
"Akan tetapi, Den Roro.... Drohawisa itu berbahaya sekali. Dia mempunyai kawan-kawan jagoan yang juga menjadi gurunya, yaitu Wirobento dan Wirobandrek, dua orang warok muda yang tersohor kedigdayaannya. Bahkan dua orang warok muda itu merupakan pembantu-pembantu atau anak buah dari Ki Surogeni, warok terkenal di Wengker karena dia adalah Ayah dari Sang Ratu Mayangsari. Saya tidak ingin menyusahkah Andika, Den Roro. Saya sendiri tidak takut mati, akan tetapi saya tidak dapat membayangkan isteri saya ini terjatuh ke tangan mereka...."
Suara Garino penuh kegelisahan.
"Hemm, jangan khawatir. Biar Ratu Mayangsari sendiri yang datang, kalau ia membela keparat macam Drohawisa tadi, akan kuhadapi dan kulawan!"
Kata Puspa Dewi. Sikapnya yang gagah dan suaranya yang mantap itu melegakan hati suami isteri itu.
"Wiyanti, mengapa engkau tidak cepat menyiapkan makan malam untuk Den Roro Puspa Dewi?"
"Wah, aku sampai lupa! Biar sekarang juga aku menyiapkan makan malaml"
Kata Wiyanti sambil bangkit dari amben di mana ia duduk sambil memijiti kaki suaminya.
"Biar aku membantumu, Mbakayu. Tutup dan palangi saja pintu depan agar aku mendengar kalau ada orang datang ke rumah ini."
Kata Puspa Dewi.
Wiyanti lalu menutupkan daun pintu dan memasang palangnya. Setelah itu, dua orang wanita itu sibuk di dapur, Wiyanti menyembelih seekor ayam peliharaannya dan mereka lalu menanak nasi dan memasak lauk.
Ternyata tidak terjadi sesuatu seperti yang dikhawatirkan suami isteri itu pada malam itu. Pada keesokan harinya, Garino yang sudah agak pulih kesehatannya bersama Wiyanti sudah berkemas, membawa pakaian dan barang-barang yang dianggap berharga dan tidak berat, siap meninggalkan rumah mereka.
Setelah mandi Puspa Dewi melihat dua orang suami isteri itu berdiri di depan pondok mereka dengan wajah muram, bahkan tampak keduanya habis menangis. Puspa Dewi dapat memaklumi kesedihan hati mereka. Mereka harus meninggalkan segala yang mereka miliki, rumah dan sawah ladang, dan pergi dari situ untuk tidak kembali lagi. Menurut pembicaraan mereka semalam, mereka bahkan belum tahu kemana mereka akan pergi dan bagaimana nasib mereka kemudian.
"Apakah kalian hendak pergi sekarang? Sepagi Ini?"
Tanyanya.
"Kami harus pergi sekarang, Den Roro. Kami khawatir kalau mereka datang sebelum kami pergi."
Jawab Garino.
"Kalian sudah memutuskan hendak ke mana?"
"Sudah, Den Roro."
Jawab Wiyanti dengan suara serak karena semalam ia menangis terus.
Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saya teringat mempunyai seorang paman jauh yang tinggal di pantai selatan. Kami akan pergi ke sana."
Suami Isteri itu agaknya membawa barang-barang mereka yang mereka anggap berharga dan dapat mereka bawa. Wiyanti menggendong buntalan besar, agaknya terisi pakaian mereka. Garino membawa sepikul barang-barang perabot dapur dan alat pertanian. Betapa sederhana kehidupan mereka, pikir Puspa Dewi. Betapa sedikit kebutuhan mereka. Ia merasa terharu karena mereka terpaksa berpisah dengan milik mereka yang paling berharga, yaitu rumah tempat mereka tinggal dan sawah ladang yang menjadi sumber nafkah mereka. Puspa Dewi mengeluarkan bungkusan kain dari ikat pinggangnya, membuka bungkusan terisi perhiasan itu lalu menyerahkan sepasang subang emas terhias permata indah kepada Wiyanti.
"Mbakayu Wiyanti, terimalah pemberianku ini. Kalau kalian tiba di tempat baru, juallah ini untuk membeli sawah lading dan rumah."
Suami isteri itu terbelalak. Perhiasan itu amat Indah dan tentu mahal sekali harganya, lebih mahal dari harga rumah dan sawah ladang yang mereka tinggalkan. Sebagai orang-orang dusun yang polos dan lugu, mereka merasa bingung dan sungkan sekali.
"Akan tetapi, Den Roro...."
Kata Wiyanti sambil menatap sepasang subang itu dengan mata terbelalak.
"Terima sajalah, Mbakayu, tidak usah ragu. Benda ini adalah milikku sendiri. Kalian tentu memerlukannya untuk membeli tanah dan rumah baru."
"Aduh, terima kasih, Den Roro. Andika bukan hanya telah menyelamatkan nyawa kami, bahkan juga menyerahkan benda berharga kepada kami. Bagaimana kami dapat membalas kebaikan budi Den Roro?"
"Aku tidak minta dan tidak berhak menerima balasan, Mbakayu Wiyanti. Yang kalian terima merupakan berkah dari Sang Hyang Widhi, oleh karena itu kalian berkewajiban membalas berkah-Nya dengan cara melaksanakan hidup yang baik dan benar sebagai bakti kalian kepada-Nya. Nah, selamat berpisah dan selamat jalan."
Suami isteri itu memberi hormat dengan sembah kepada gadis yang telah melimpahkan kebaikan kepada mereka, lalu mereka pergi ke arah selatan. Halimun pagi segera menyelimuti dan menyembunyikan mereka dari pandangan Puspa Dewi yang masih berdiri di depan pondok, la memang sengaja menanti di situ, menjaga kalau-kalau benar terjadi apa yang dikhawatirkan suami isteri itu.
Setelah matahari pagi mengusir bersih halimun yang menyelimuti bumi sehingga cuaca menjadi terang dan sinar matahari menghidupi semua yang berada di permukaan bumi, Puspa Dewi juga bersiap-siap untuk pergi meninggalkan tempat itu. Ia sudah meringkas pakaiannya dalam buntalan kain hendak meninggalkan pondok kosong itu ketika ia mendengar derap kaki kuda makin lama semakin nyaring, menandakan bahwa ada beberapa orang penunggang kuda menuju ke pondok itu. Puspa Dewi meletakkan buntalan pakaiannya ke atas bangku bambu di depan pintu pondok, dan berdiri menanti dengan sikap tenang.
Tak iama kemudian tampaklah empat orang penunggang kuda datang memasuki pekarangan pondok itu. Puspa Dewi melihat Drohawisa berada bersama tiga orang lain. Agaknya ada yang merawat Drohawisa sehingga kini dia mampu menunggang kuda, walaupun kendali hanya dia pegang dengan tangan kiri saja. Tangan kanan dan kaki kiri yang buntung itu telah dibalut. Diam-diam Puspa Dewi merasa gemas. Ternyata hajaran yang diberikannya kepada Drohawisa tidak membuat orang itu kapok! Sekarang dia bahkan datang bersama tiga orang yang tampaknya menyeramkan dan buas. Ia tidak mengenal siapa tiga orang itu. Ketika tiga orang itu berlompatan turun dari atas kuda mereka, ia mengamati penuh perhatian. Drohawisa sendiri tidak turun dari atas punggung kudanya. Agaknya, dalam keadaan buntung tangan kanan dan kaki kirinya itu, untuk naik turun kuda dia harus dibantu orang lain.
Orang pertama adalah seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan ternyata laki-laki ini berwajah cukup tampan kalau dibandingkan dengan para pria pada umumnya di Wengker. Pakaiannya indah seperti pakaian bangsawan dan wajahnya yang tampan itu menunjukkan keangkuhan. Sepasang matanya membayangkan kegenitan seorang laki-laki mata keranjang ketika dia memandang kepada Puspa Dewi dengan kagum. Laki-laki ini bukan lain adalah Ki Warok Surogeni, ayah dari Ratu Mayangsari! Warok Surogeni adalah seorang warok yang terkenal di Wengker dan ditakuti orang, apalagi setelah puterinya, Mayangsari, menjadi permaisuri, isteri Sang Adipati Wengker, mendiang Adipati Adhamapanuda dan kemudian diperisteri Adipati Wengker yang baru, yaitu Adipati Linggawijaya.
Orang ke dua adalah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun, bertubuh tinggi besar, wajahnya serba tebal dan kasar. Pinggangnya terbelit sebatang pecut yang ujungnya dipasangi potongan besi kecil-kecil dan runcing tajam. Inilah Ki Wirobento, seorang warok muda yang menjadi anak buah Warok Surogeni.
Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo