Ceritasilat Novel Online

Nurseta Satria Karang Tirta 15


Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo Bagian 15



Dengan pengerahan Aji Panyirepan yang kuat, dia telah membuat semua perajurit sebanyak tiga losin yang berjaga di gedung pusaka tertidur, kecuali dua orang perwira tinggi pemimpin mereka yang masih dapat bertahan terhadap pengaruh Aji Panyirepan. Dibya Krendasakti sempat terheran-heran karena dia juga merasakan adanya hawa yang amat kuat dari Aji Panyirepan yang menguasai seluruh kota raja Kahuripan! Padahal dia hanya mengerahkan ajiannya itu kepada mereka yang berada di gedung pusaka dan sekitarnya. Melihat dua orang perwira tinggi Itu belum juga terpengaruh, dia muncul di depan mereka.

   Dua orang perwira tinggi itu memang udah curiga dan menduga bahwa ada orang yang berniat jahat sedang melepas Aji Panyirepan, maka begitu melihat kakek pembawa gendewa itu berdiri di depan mereka, tanpa banyak cakap lagi mereka berdua mencabut pedang dan menyerang Dibya Krendasakti. Kakek ini tertawa, gendewa di tangan kirinya bergerak.

   "Trang...! Trang....!"

   Dua batang pedang itu terlepas dari tangan dua orang perwira itu saking kuatnya tangkisan gendewa dan membuat telapak tangan yang tadi memegang pedang menjadi lecet terkelupas kulitnya. Selagi kedua orang perwira itu terkejut dan melangkah ke belakang, Dibya Krendasakti sudah mendorongkan tangan kanannya ke depan.

   "Wuuuuusssshhhh...!"

   Angin yang kuat sekali bertiup dan tubuh dua orang perwira itu terlempar, terjengkang dan terbanting roboh. Mereka tak mampu bangkit kembali karena seketika pingsan!

   Dibya Krendasakti lalu memasuki pendapa gedung pusaka, menghampiri pintu depan. Dengan mudah dia membuka daun pintu yang terbuat dari kayu tebal dan berat itu, lalu memasuki tempat yang biasanya merupakan daerah terlarang dan terjaga ketat itu dengan santai.

   Terdapat banyak benda pusaka di dalam gedung itu. Tombak, perisai, pedang, keris, penggada, busur dan anak panah, dan banyak senjata lain. Juga ada benda-benda bekas milik para raja jaman dahulu yang dikeramatkan dan menjadi benda pusaka. Akan tetapi, pusaka-pusaka yang paling penting dan dekat dengan Sang Prabu Erlangga, tentu saja berada di kamar raja di istana. Adapun benda-benda pusaka yang paling dipuja dalam gedung itu, berada di tempat khusus terbuat dari almari kayu terukir indah. Di antara pusaka yang dianggap penting dan diistimewakan itu terdapat Cupu Manik Maya, sebuah cembul atau semacam cawan terbuat dari emas yang bertaburkan intan amat indahnya. Benda pusaka itu mengeluarkan sinar gemilang dan tampak seperti ratu dari semua benda yang terpajang dalam almari itu.

   Dibya Krendasakti yang sudah mendapat gambaran dari Nini Bumigarbo tentang cupu itu, terkekeh girang dan dia segera menjulurkan tangan untuk mengambil benda pusaka itu. Akan tetapi dia terkejut dan menarik kembali tangannya karena ketika tangan itu tiba dekat dengan Cupu Manik Maya, dia merasa betapa tangannya tergetar hebat. Dia memandang kagum dan segera dia mengerahkan perhatiannya, merangkap kedua tangan seperti sembah ke depan hidungnya, lalu mengerahkan tenaga saktinya dan menjulurkan kembali tangannya. Kini dia menggunakan kedua tangan setelah mengalungkan gendewanya di lehernya, Dia dapat menangkap Cupu Manik Maya dengan kedua tangannya, cepat memasukkannya ke dalam kain kuning yang diikatkan ke depan dada, lalu keluar dengan cepat dari gedung pusaka.

   (Lanjut ke Jilid 17)

   Nurseta Satria Karang Tirta (seri ke 02 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 17

   Betapa pun sakti mandraguna juragan dari Pulau Nusa Barung ini, dia dapat merasakan bahwa dia memasuki tempat yang amat berbahaya dan sama sekali tidak boleh dipandang rendah. Setelah tiba di luar gedung pusaka, kembali dia dapat merasakan bahwa ada getaran pengaruh yang kuat sedang melanda hawa udara di Kahuripan. Dia tidak mau mencampuri dan segera menggunakan kepandaiannya, berlari cepat menghilang di dalam kegelapan dan tak lama kemudian dia sudah keluar dari kota raja Kahuripan. Ketika dia melihat betapa sunyinya kota raja itu, dan mendengar lolong anjing saling bersahutan, mendengar kelepak sayap banyak kelelawar dan bercicitnya burung malam dan burung hantu, tahulah dia bahwa malam itu banyak orang yang memiliki ilmu sihir yang amat kuat sedang merajalela di situ. Dia cepatcepat pergi menuju pulang ke Pulau Nusa Barung.

   Memang, firasat yang dirasakan Sang Empu Bharada beberapa waktu yang lalu benar-benar terjadi pada malam bulan purnama yang gelap ini. Malapetaka datang beriringan. Sungguhpun tidak ada janji atau kerja sama, namun secara kebetulan sekali malam itu Dibya Krendasakti melaksanakan janjinya mencuri pusaka Cupu Manik Maya justru pada malam yang ditentukan oleh persekutuan empat kerajaan Wengker, Wura-wuri, Parang Siluman, dan Siluman Laut Kidul bersama beberapa buah kadipaten kecil lainnya! Maka, Dibya Krendasakti merasakan adanya hawa yang aneh menggetarkan dan menguasai seluruh kota raja Kahuripan.

   Inilah pula sebabnya mengapa Aji Panyirepan Dibya Krendasakti demikian ampuh sehingga seolah ajiannya itu mempengaruhi seluruh penduduk kota raja itu! Padahal sesungguhnya, bukan hanya Krendasakti yang mengerahkan Aji Panyirepan pada malam hari itu, melainkan banyak sekali tokoh sakti dari persekutuan itu juga mengerahkan Aji Panyirepan mereka sehingga seluruh penghuni kota raja itu terpengaruh, kecuali mereka yang memang memiliki kekuatan batin yang kuat sehingga tidak terpengaruh. Akan tetapi karena pada malam hari itu, selain cuaca gelap pekat, juga hawanya dingin, maka semua orang, baik yang terpengaruh sihir maupun yang tidak, telah jatuh pulas.

   Di sebuah rumah yang terletak di sebelah belakang kompleks istana, tiba-tiba terdengar tangis bayi. Anak yang baru berusia satu tahun itu menangis. Dia tidak terpengaruh kekuatan sihir dan anak-anak yang jiwanya belum tertutup nafsu daya rendah menjadi peka. Ada sesuatu yang membuat bayi itu menangis, bukan tangis karena ulah hati pikiran, melainkan tangis yang tidak dapat dicari penyebabnya oleh akal pikiran.

   Tangis yang nyaring ini memiliki getaran yang melemahkan pengaruh Aji Panyirepan sehingga penghuni rumah itu yang mendengar tangis ini, yaitu ayah, ibu, dan dua orang kakaknya, terbangun dari tidur. Akan tetapi pada saat itu, banyak bayangan orang menyelinap dari rumah ke rumah dan mereka menyebarkan kembang dan rempa-rempa ke atas atap setiap rumah. Terdapat sedikit pasir di antara bunga-bunga itu.

   Rumah di mana penghuninya terbangun dari tidur oleh tangis anak berusia setahun Itu Juga tidak luput dari lemparan kembang pasir dan rempa-rempa Itu. Tlba-tiba ibu yang kini memondong anak yang berhenti menangis, mengeluh dan terhuyung. Suaminya terkejut dan merangkulnya, akan tetapi dia pun mengeluh dan merasa kepalanya pening seperti dipukul. Juga dua orang anak mereka, berusia dua belas dan tujuh tahun, yang tadinya masih tidur, mengeluh dan menjadi gelisah, mengatakan bahwa kepala mereka pening dan perut mereka mulas. Ayah dan dua orang anaknya yang sudah agak besar itu terserang penyakit dengan tiba-tiba dan hanya anak berusia setahun itu saja yang tidak jatuh sakit. Dan hal aneh seperti ini terjadi hampir di setiap rumah yang dilempari bunga-bunga sebagai sarana penyerangan melalui sihir seperti santet atau tenung

   Yang bertugas melakukan penyebaran santet yang mendatangkan wabah penyakit ini adalah orang-orang Kerajaan Siluman Laut Kidul yang dipimpin Bhagawan Kalamisani yang ahli sihir itu. Juga pada saat yang bersamaan, dan hal ini memang sudah diatur dan direncanakan sebelumnya, terjadi hal yang gawat di Istana Sang Prabu Erlangga dan Gedung Kepatihan tempat tinggal Ki Patih Narotama. Dua bayangan orang yang gerakannya tiada ubahnya dua mahluk golongan iblis karena hanya tampak bayangan-bayangan itu berkelebat memasuki istana yang sudah tidak ada penghuninya yang tidak tidur.

   Setelah tiba di ruangan dalam di mana terdapat lampu-lampu penerangan dan dua bayangan berhenti dan berdiri diam, tampak bahwa mereka itu adalah Puteri Mandari dari Parang Siluman yang cantik jelita, bersama Resi Bajrasakti, datuk Wengker yang seperti raksasa brewok hitam itu. Puteri Parang Siluman dan Datuk Wengker ini adalah dua orang yang memiliki kesaktian tinggi dan Mandari yang pernah menjadi selir Sang Prabu Erlangga dan tinggal di dalam istana, bertugas untuk membunuh Sang Prabu Erlangga, dibantu oleh Sang Resi Bajrasakti. Mereka baru berani bergerak setelah para tokoh sakti dari Wengker, Wura-wuri, Parang Siluman, dan Siluman Laut Kidul menghimpun kekuatan sihir mereka dan menyebarkan Aji Panyirepan sehingga pengaruh kekuatan sihir itu kuat bukan main dan akibatnya, seluruh penghuni kota raja Kahuripan jatuh pulas

   Di dalam rapat besar persekutuan yang menentang Kahuripan itu, telah dibagi-bagi tugas kepada para tokoh yang sakti. Puteri Mandari malam itu bertugas memasuki istana Kahuripan dan melakukan pembasmian terhadap penghuni istana, termasuk Sang Prabu Erlangga. Akan tetapi karena semua tokoh itu yakin akan ketinggian ilmu-ilmu Sang Prabu Erlangga yang sakti mandraguna dan sukar dikalahkan, maka Puteri Mandari diperingatkan agar jangan sekali-kali mencoba membunuh Sang Prabu Erlangga secara langsung.

   Begitu memasuki istana dan melihat keadaan istana yang mewah, di mana ia pernah tinggal sebagai selir terkasih, timbul iri hati dan penyesalan di hati puteri itu karena ia terpaksa meninggalkan istana itu. Melihat empat orang perajurit pengawal duduk bersandar dinding dalam keadaan tidur, Mandari menghampiri mereka dan empat kali tangan kirinya menyambar, mengenai kepala empat orang perajurit itu dan mereka berempat tidak akan dapat bangun kembali karena tamparan yang tampaknya tidak keras itu telah menghancurkan isi kepala dan mereka tewas seketika!

   "Puteri Mandari, mari kita cepat melaksanakan tugas kita, membakar istana seperti telah direncanakan."

   Bisik Resi Bajrasakti.

   Memang menurut rencana mereka harus membakar istana agar semua penghuni yang tertidur di dalam akan mati terbakar semua, berikut Sang Prabu Erlangga kalau mungkin.

   "Nanti dulu, Paman Resi, aku belum puas kalau tidak membunuh mereka dengan tanganku sendiri!"

   Bisik kembali Puteri Mandari.

   Resi Bajrasakti mengerutkan alisnya, dan menggeleng kepalanya.

   "Itu berbahaya sekali! Sudah diputuskan dalam rapat bahwa kita tidak boleh sembrono (gegabah) terhadap Sang Prabu Erlangga!"

   "Jangan khawatir. Aku tidak akan mencoba untuk membunuh dia, melainkan permaisuri dan putera-puteranya! Baru akan puas hatiku!"

   Melihat kenekatan Mandari,. Resi Bajrasakti menghela napas dan terpaksa mengikuti puteri itu yang menuju ke kamar di mana ia tahu para pangeran yang masih kecil-kecil itu tidur. Ketika menuju ke kamar itu, setiap kali melihat perajurit pengawal atau pelayan yang tertidur, Puteri Mandari tidak melewatkan mereka sebelum turun tangan membunuh mereka. Dalam waktu sebentar saja, tidak kurang dari lima belas orang perajurit pengawal dan pelayan telah tewas di tangan Mandari!

   Akhirnya mereka tiba di depan kamar di mana dua orang pangeran, yaitu Pangeran Samara Wijaya yang berusia hampir lima tahun dan Pangeran Budidharma yang berusia sekitar empat tahun biasa tidur ditemani dua orang emban (inang pengasuh). Dengan mudah Puteri Mandari mendorong daun pintu terbuka. Ia hati-hati sekali karena maklum bahwa kamar di mana Sang Prabu Erlangga tidur, berada di samping kamar para pangeran itu. Ia melihat dua orang emban telah tertidur di lantai kamar bertilamkan permadani, dan dua orang pangeran yang masih kecil itu tidur di atas sebuah pembaringan besar. Mereka tidur berjajar dalam keadaan pulas. Resi Bajrasakti mendongkol sekali melihat betapa Puteri Mandari melanggar tugas mereka dan membuat keadaan menjadi berbahaya. Dia berbisik lirih sekali.

   "Paduka lakukan sendiri, saya hendak melaksanakan pembakaran seperti direncanakan. Kalau selesai, harap Paduka cepat keluar."

   Mandari mengangguk dan Resi Bajrasakti lalu keluar dari kamar dengan cepat. Alat-alat untuk melakukan pembakaran memang sudah tersedia dan mulailah dia melakukan pembakaran pada bagian belakang istana, dekat kandang kuda di mana terdapat banyak jerami kering. Sementara itu, Puteri Mandari cepat membunuh dua orang emban yang sedang pulas itu. Mereka mati sebagai kelanjutan dari tidur mereka, tidak sempat terbangun. Kemudian ia melangkah menghampiri pembaringan di mana kedua orang pangeran itu tidur pulas.

   Akan tetapi kedua orang pangeran itu agaknya sudah dikehendaki oleh Sang Hyang Widhi Wasa untuk kelak menjadi raja melanjutkan kedudukan ayah mereka dan mungkin belum tiba waktunya mereka itu mati. Atau mungkin juga jiwa kedua orang anak kecil itu masih bersih sehingga peka sekali. Tiba-tiba saja kedua orang pangeran itu tersentak kaget dan terbangung dari tidur mereka. Mereka terbelalak memandang kepada Puteri Mandari dan anehnya, melihat wajah Puteri Mandari yang cantik jelita itu agaknya mereka melihat wajah yang amat menyeramkan. Mereka terbelalak dan menjerit-jerit sambil menangis.

   "Kanjeng Rama... Kanjeng Ibu..."

   Dua orang pangeran itu menjerit-jerit memanggii ayah ibunya.

   Puteri Mandari terkejut sekali.

   "Keparat...!"

   Ia memaki, akan tetapi ia juga ketakutan dan cepat melompat keluar dari kamar itu dan lari secepatnya menuju ke belakang istana di mana Resi Bajrasakti mulai melakukan pembakaran.

   Sementara itu, di gedung kepatihan juga datang dua orang yang ditugaskan oleh persekutuan untuk mencelakai Ki Patih Narotama. Dan siapa lagi yang mendapatkan tugas ini selain Puteri Lasmini yang cantik jelita, yang pernah menjadi selir tersayang Ki Patih Narotama dan tinggal di gedung kepatihan itu. Ia tentu saja sudah tahu benar akan keadaan di gedung kepatihan dan selain itu, juga ia amat mendendam kepada Ki Patih Narotama sekeluarganya. Karena itu maka Puteri Lasmini yang mendapatkan tugas itu dan untuk melaksanakan tugas berbahaya ini ia ditemani oleh Nyi Dewi Durgakumala sendiri, Permaisuri Wura-wuri.

   Dengan demikian, para tokoh puncak dari Wengker, Wura-wuri, Parang Siluman, dan Siluman Laut Kidul pada saat yang sama malam Itu melakukan penyerangan secara serentak! Seperti juga Mandari, Lasmini tahu benar bahwa tidak mungkin ia dapat membunuh Ki Patih Narotama begitu saja. Ki Patih Narotama terlampau sakti baginya dan ia pun dapat menduga bahwa Ki Patih Narotama yang sakti mandraguna itu tentu tidak akan dapat terpengaruh kekuatan sihir Aji Panyirepan. Maka, tugasnya bersama Nyi Dewi Dur kumala adalah membinasakan Listyarini, isteri Narotama yang dulu menjadi madunya dan amat dibencinya, bersama putera mereka yang baru berusia setahun lebih beberapa bulan. Putera tunggal itu diberi nama Joko Pekik Satyabudhi dan biasa disebut Joko Pekik. Selain membunuh Listyarini dan Joko Pekik, juga Lasmini dan Nyi Dewi Durgakumala bertugas untuk melakukan pembakaran gedung kepatihan.

   Dengan mudah Lasmini dan Nyi Durgakumala memasuki gedung kepatihan karena para perajurit yang berada di situ sudah tertidur dipengaruhi Aji Panyirepan mereka. Dengan kejamnya Lasmini membunuh para perajurit pengawal yang sedang pulas sehingga mereka tewas tanpa dapat atau sempat mengeluarkan suara sedikit pun. Juga Nyi Durgakumaia yang membenci Narotama ikut berpesta ria membantai puluhan orang perajurit pengawal itu. Banjir darah terjadi malam itu di gedung kepatihan. Akan tetapi, biarpun pembunuhan ini mereka lakukan dengan mudah karena sama sekali tidak mendapatkan perlawanan, tetap saja dua orang wanita cantik namun kejam seperti iblis itu bergerak dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Bagaimanapun juga, keduanya tetap khawatir kalau-kalau Ki Patih Narotama akan terbangun sewaktu-waktu dan memergoki mereka. Betapapun saktinya kedua orang wanita ini, mereka masih merasa gentar kalau harus berhadapan dengan Ki Patih Narotama yang sakti mandraguna. Mereka pun dapat menduga bahwa Ki Patih pasti tidak terpengaruh oleh Aji Panyirepan mereka dan berada dalam keadaan tidur yang wajar.

   Lasmini yang sudah hafal akan keadaan di istana kepatihan itu, tahu benar di mana adanya kamar Listyarini, Isteri Ki Patih Narotama. Maka ia langsung saja memasuki kamar itu. Setelah membuka daun pintu kamar itu, ia hanya mendapatkan Joko Pekik Satyabudhi yang berusia kurang lebih satu setengah tahun tidur di atas pembaringan besar, pembaringan ibunya. Yang menemaninya hanya dua orang pelayan wanita, yaitu Biyung Emban (Inang Pengasuh) dan seorang pelayan lain. Dua orang pelayan ini pun tidur pulas terpengaruh Aji Panyirepan. Akan tetapi tidak tampak Listyarini di dalam kamar itu. Tempat tidurnya tidak ada bekas ditiduri. Jelas bahwa Joko Pekik tidur seorang diri di pembaringan itu, dijaga Biyung Emban dan seorang pelayan yang tertidur di atas permadani. Wajah Lasmini berubah merah dan matanya mencorong, hatinya panas, karena ia tahu benar apa artinya ini.

   Ia sudah tahu akan kebiasaan Ki Patih Narotama yang selalu tidur seorang diri dalam kamarnya. Kalau Listyarini tidak berada di kamarnya sendiri bersama anaknya, hal itu hanya berarti bahwa Listyarini tentu "mengungsi"

   Ke kamar Patih Narotama, bertugas untuk menemani dan melayani suami tercinta! Hati Lasmini yang sebenarnya masih mengandung perasaan cinta kepada bekas suaminya itu kini penuh dengan cemburu iri hati, yang membuat ia marah sekail. Ia sudah melolos senjatanya yang ampuh, yaitu Cambuk Sarpokenoko dan mendekati tempat tidur, bermaksud membunuh Joko Pekik. Akan tetapi Nyi Dewi Durgakumala menyentuh lengannya dan menggelengkan kepalanya.

   "TERLALU enak kalau dibunuh,"

   Bisiknya.

   "Lebih baik kita culik, kelak dapat kita jadikan sandera untuk memaksa Narotama menyerah!"

   Lasmini tersenyum dan mengangguk, la menyimpan kembali sabuknya dililitkan di pinggang. Kemudian ia menggerakkan tangannya ke arah dua orang wanita pelayan itu yang tewas seketika tanpa sempat berteriak. Kemudian, ia membungkuk dan menepuk ke arah punggung Joko Pekik, membuat anak yang sedang tidur itu pingsan lalu memondongnya. Keduanya melangkah keluar dari gedung kepatihan tanpa menimbulkan suara. Hati Lasmini kecewa karena tidak menemukah Listyarini di kamarnya sehingga ia tidak mampu membunuh bekas madu yang dibencinya itu.

   Kalau Listyarini tidur bersama Ki Patih Narotama, tidak mungkin ia dapat atau berani mengganggunya. Setelah tiba di luar gedung yang penuh mayat para perajurit itu, Lasmini dan Nyi Dewi Durgakumala lalu mulai melakukan pembakaran-pembakaran di sudut-sudut gedung.

   Kota raja Kahuripan geger ketika terdengar bentakan-bentakan mengguntur. Itulah lengkingan-lengkingan yang dilakukan oleh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama! Dua orang sakti itu terkejut dan terbangun ketika terjadi kebakaran. Mereka berdua segera merasakan adanya getaran asing yang amat kuat dan tahulah mereka bahwa ada kekuatan sihir menyerbu istana kediaman mereka. Keduanya keluar dari kamar dan melihat para pelayan dan perajurit pengawal berserakan, tewas dalam keadaan mengerikan.

   Tentu saja mereka terkejut dan cepat berkelebat keluar. Setelah berada di luar dan mendapatkan seluruh kota raja dalam keadaan sepi, semua tersirep oleh hawa panyirepan yang kuat, dan melihat api mulai membakar sebagian tempat kediaman mereka, raja dan patih yang sakti mandraguna ini lalu mengerahkan kekuatan batin mereka mengeluarkan bentakan-bentakan melengking. Suara mereka yang amat berpengaruh mengandung tenaga sakti itu membobolkan dan membuyarkan semua pengaruh Aji Panyirepan yang dikerahkan para penyerang dari musuh yang menyerbu.

   Seketika pengaruh sihir itu hilang bagaikan awan tertiup angin. Bahkan bentakan-bentakan membuat semua orang, termasuk para perajurit, yang tadinya tertidur karena sihir, kini tersentak bangun. Tentu saja mereka segera berlarian keluar. Para perwira segera mengerahkan para perajurit untuk menanggulangi kekacauan yang terjadi karena kebakaran-kebakaran pada istana raja dan gedung kepatihan. Juga sebagian lagi dengan keadaan masih kacau menyambut penyerbuan ratusan orang perajurit yang berpakaian serba putih itu. Inilah para perajurit yang membentuk Pasukan Siluman yang dipimpin oleh Bhagawan Kundolomuka. Pasukan ini diperkuat ilmu hitam yang bersumber pada kekuasaan gelap atau iblis sehingga sepak terjangnya menggiriskan. Bersama mereka muncul binatang-binatang berbisa seperti ular, kalajengking, kelabang, kelelawar dan sebagainya. Para perajurit Kahuripan tentu saja ngeri melihat ini dan banyak di antara mereka roboh oleh serbuan beberapa ratus perajurit Pasukan Siluman itu.

   Akan tetapi, Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama turun tangan. Selain menyadarkan mereka yang terbius Aji Panyirepan, dua orang priya agung yang sakti ini memunahkan semua daya sihir yang menyerang pnra perajurit. Daya sihir Aji Panyirepan itu memang luar biasa kuatnya karena dikerahkan banyak tokoh sesat, bahkan diperkuat pula oleh Aji Panyirepan yang dilepas Dibya Krendasakti secara kebetulan berbareng dengan penyerangan persekutuan yang memusuhi Kahuripan. Bukan hanya para perajurit dan perwira saja yang tidak tahan dan terbius, bahkan para senopati yang cukup sakti dari Kerajaan Kahuripan tidak dapat menolaknya dan ikut pula jatuh pulas. Di antara mereka itu termasuk Senopati Wiradana, Senopati Sindukerta, Tumenggung Jayatanu, Senopati Muda Yudajaya dan lain-lain. Mereka semua ikut jatuh pulas dan baru mereka terbangun ketika Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama berhasil membuyarkan semua daya panyirepan yang ampuh itu. Setelah terbangun dan berlari keluar, para senopati itu segera memimpin pasukan untuk menyambut serangan ratusan orang perajurit musuh yang berpakaian serba putih itu.

   Karena maksud penyergapan malam itu hanya untuk mengadakan kekacauan dan usaha mereka berhasil baik, maka pimpinan Pasukan Siluman lalu memberi aba-aba kepada pasukannya untuk meninggalkan kota raja. Bhagawan Kundolomuka dan para tokoh sakti lain tahu benar bahwa setelah kini Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama bersama para senopati keluar, keadaan mereka sebaliknya terancam bahaya. Maka mereka cepat kabur meninggalkan kota raja yang masih berada dalam keadaan panik dan bingung karena jatuhnya banyak korban. Apalagi karena musuh meninggalkan santet dan tenung yang menimbulkan wabah penyakit yang menular menggerayangi banyak korban, munculnya penyakit yang aneh dan berbahaya.

   Setelah musuh melarikan diri, para senopati mengadakan pemeriksaan dan perhitungan. Mereka terkejut sekali dan segera melaporkan keadaan yang mereka temukan kepada Sang Prabu Erlangga. Juga Ki Patih Narotama merasa batinnya tertusuk ketika melihat semua penderitaan dan kerugian yang menimpa Kahuripan, terutama sekali hilangnya puteranya yang terculik. Dia melaporkannya kepada Sang Prabu Erlangga yang juga merasa terpukul. Setelah, dilakukan penelitian, maka kerugian mereka cukup hebat.

   Pertama, Joko Pekik Satyabudhi, putera Ki Patih Narotama hilang diculik orang. Ke dua, pusaka istana Cupu Manik Maya hilang pula dicuri orang. Ke tiga, biarpun hanya sedikit, namun ada bagian Istana Sang Prabu Erlangga dan Gedung Kepatihan terbakar. Ke empat, tidak kurang dari seratus orang perajurit dan belasan orang pelayan di kedua istana itu terbunuh. Dan ke lima, Kahuripan mulai diserang wabah penyakit yang menewaskan banyak rakyat.

   Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama pada pagi hari itu juga, mengadakan persidangan dan memanggil semua senopati dan perwira tinggi. Wajah raja dan patih itu tampak agak muram, tanda bahwa mereka merasa prihatin sekali. Setelah Sang Prabu menerima laporan lengkap tentang kerugian yang diderita akibat serangan semalam, dia lalu memerintahkan para senopati untuk melakukan penjagaan yang ketat karena agaknya kerajaan-kerajaan kecil yang memusuhi Kahuripan kini sudah mulai melakukan kegiatan mereka memusuhi Kahuripan lagi.

   "Mereka sungguh tidak tahu diri,"

   Kata Sang Prabu Erlangga.

   "Selama ini kami bersikap lunak, memaafkan semua kejahatan mereka yang lalu, bahkan menjulurkan tangan mengajak hidup damai untuk menyejahterakan rakyat masing-masing. Ternyata mereka kembali mengacau dan mungkin mereka yang telah bersekutu Itu akan mengadakan serangan. Akan tetapi, melihat kekuatan sihir Aji Panyirepan mereka, harus diakui bahwa mereka agaknya memiliki banyak tokoh ahli sihir yang sakti sehingga bahkan para senopati tidak kuasa menolak kekuatan sihir mereka. Kami jadi teringat kepada dua orang muda sakti yang dapat diharapkan bantuan mereka, yaitu Nurseta dan Puspa Dewi. Paman Senopati Sindukerta, mengapa Nurseta tidak muncul ketika terjadi keributan semalam? Di mana dia?"

   Senopati Sindukerta saling bertukar pandang dengan Tumenggung Jayatanu, lalu dia menyembah dan menjawab.

   "Gusti Sinuwun, cucu hamba Nurseta beberapa hari yang lalu meninggalkan kota raja untuk mencari Niken Harni."

   Sang Prabu Erlangga berpaling memandang kepada Senopati Yudajaya.

   "Kakang Senopati Yudajaya, ke mana perginya puterimu Niken Harni? Dan di mana pula adanya Puspa Dewi yang juga tidak muncul malam tadi?"

   "Mohon ompun, Gusti SInuwun. Belum lama Ini terjadi penculikan atas diri isterl hamba Nyi Lasmi, Ibu kandung Puspa Dewi, dilakukan oleh orang-orang Wengker. Puspa Dewi melakukan pengejaran, kemudian Nlken Harni juga melakukan pengejaran. Ternyata, atas pertolongan Gusti Patih, Nyi Lasmi dapat dibebaskan dari orang-orang Wengker dan diantar pulang oleh Puspa Dewi. Akan tetapi melihat adiknya, Ken Harni, belum pulang dan mendengar la melakukan pengejaran ke Wengker, Puspa Dewi merasa khawatir lalu melakukan pencarian ke sana. Demikianlah, Gusti SInuwun, maka malam tadi Puspa Dewi tidak muncul karena dia tidak berada di sini."

   Sang Prabu Erlangga mengangguk-angguk.

   "Dan Nurseta Juga pergi mencari Nlken Harni, Paman Senopati Sindukerta?"

   "Benar, Gusti. Karena merasa khawatir akan keselamatan Niken Harni dan Puspa Dewi yang memasuki daerah Wengker yang berbahaya, maka cucu hamba Nurseta beberapa hari yang lalu pergi mencari mereka ke Kerajaan Wengker."

   Sang Prabu Erlangga menghela napas panjang.

   "Jagad Dewa Bathara! Agaknya memang sudah digariskan bahwa Kahuripan harus mengalami musibah ini sehingga ketika serangan ilmu hitam Itu datang, Nurseta dan Puspa Dewi yang dapat diandalkan tidak berada di sini."

   "Hamba mohon ampun, Gusti Sinuwun, bahwa hamba semalam tertidur dan tidak dapat melakukan kewajiban hamba menjaga ketenteraman kota raja."

   Kata Ki Patih Narotama dengan nada suara penuh penyesalan.

   "Hemm, tidak ada yang bersalah melalaikan kewajiban dalam peristiwa semalam, Kakang Patih. Aku sendiri juga tertidur. Hal ini membuktikan bahwa musuh-musuh kita mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi. Aku tidak menyalahkan Andika, Kakang, apalagi Andika sendiri telah kehilangan putera. Aku ikut prihatin bahwa Joko Pekik terculik. Tahukan Andika siapa kiranya yang menculik puteramu itu?"

   "Kalau hamba tidak salah, bukan mustahil kalau Lasmini yang berada di belakang penculikan ini, Gusti."

   "Kami kira tepat dugaanmu itu, Kakang. Aku sendiri mempunyai dugaan bahwa yang memasuki Istana tentulah Si Mandari. Kalau bukan ia, siapa lagi yang mampu memasuki istana dengan cara yang begitu diperhitungkan dan hati-hati sehingga aku sampai tidak terbangun karena tidak mendengar suara apa pun? Pasti Mandari dan Lasmini berada. di antara mereka yang semalam mengacau di kota raja."

   Pada saat ini, seorang perajurit pengawal datang melapor bahwa di luar datang Puspa Dewi mohon diperkenankan menghadap. Semua orang, termasuk Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama menjadi girang dan wajah mereka berseri mendengar laporan ini.

   "Pengawal, cepat persilakan Puspa Dewi masuk menghadap!"

   Kata Sang Prabu Erlangga.

   Pengawal memberi hormat dan keluar. Tak lama kemudian Puspa Dewi mematuki ruangan dan cepat menghaturkan hormat dengan sembah. Tumenggung Jayatanu dan Senopati Yudajaya memandang dengan girang kepada cucu dan puterl mereka, akan tetapi karena mereka sedang menghadap Sang Prabu Erlangga, mereka pun diam laja dan hanya memperlihatkan kegembiraan hati mereka melalui seyum dan pandang mata.

   "Ni Puspa Dewi, dari mana saja Andika? Ceritakan kepada kami bagaimana Andika pergi mencari Niken Harni."

   Tanya Sang Prabu Erlangga. Puspa Dewi memandang kepada ayahnya dan kakeknya, maklum bahwa tentu Sang Prabu Erlangga telah mendengar dari mereka akan Kepergiannya mencari Niken Harni.

   "Hamba telah berhasil memasuki Kerajaan Wengker dan mendengar keterangan dari Resi Bajrasakti bahwa adik hamba Niken Harni telah dibawa oleh Nini Bumigarbo."

   "Ahh...

   "

   Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama berseru kaget. Mereka tahu siapa Ninl Bumlgarbo, seorang datuk wanita sakti mandraguna yang membenci guru mereka dan membenci mereka akan tetapi tidak berani turun tangan mengganggu mereka karena dilarang oleh Sang Bhagawan Ekadenta.

   "Mengapa Niken Harni dibawa datuk wanita itu?"

   Tanya Sang Prabu Erlangga..

   "Hamba tidak tahu, Gusti. Juga para pimpinan Wengker tidak ada yang mengetahuinya."

   "Ni Puspa Dewi, Wengker memiliki banyak orang sakti, juga adipatinya yang baru adalah Linggawijaya, permaisurinya Dewi Mayangsari yang kabarnya pernah digembleng oleh Nini Bumigarbo. Bagai mana Andika seorang diri dapat masuk kesana dengan leluasa dan selamat?"

   "Sesungguhnya hamba mendapat perlindungan Sang Hyang Widhi, Gusti. Ketika hamba tiba di sana, Adipati Linggawijaya dan Dewi Mayangsari sedang tidak berada di Wengker. Hamba dikeroyok dan tentu akan terancam malapetaka kalau hamba tidak bertindak cepat. Hamba menangkap dan menyandera Tumenggung Suramenggala dan dengan cara itu hamba dapat keluar dari Wengker dengan selamat. Setelah mendengar bahwa Niken Harni dibawa Nini Bumigarbo, hamba masih berusaha mencarinya ke mana-mana. Namun hamba tidak berhasil menemukan jejak Niken Harni maupun Nini Bumigarbo."

   "Hemm, tidak aneh. Nini Bumigarbo memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi."

   "Karena tidak berhasil menemukan Niken Harni, hamba mengambil keputusan untuk pulang lebih dulu agar keluarga hamba tidak merasa khawatir. Begitu memasuki kota raja, hamba terkejut mendengar akan musibah yang menimpa kota raja. Hamba pulang dan mendengar dari kedua Ibu hamba dan Nenek bahwa Kanjeng Rama dan Kanjeng Eyang berada di sini menghadap Paduka, maka hamba lalu cepat menyusul ke sini. Hamba mohon maaf bahwa hamba tidak dapat membantu melawan musuh ketika serangan malam tadi datang, Gusti."

   Ki Patih Narotama merasa kagum dan girang sekali melihat sikap dan ucapan gadis itu yang kini lembut dan penuh hormat, walaupun di dalam kelembutannya masih terkandung kekerasan hati. Kiranya penggemblengan Maha Resi Satyadharma telah mengubah watak keras liar gadis itu dan

   menanamkan kebijaksanaan.

   "Bukan kesalahan Andika atau kesalahan siapa pun, Ni Puspa Dewi. Semua telah terjadi dan kami yakin bahwa yang terjadi sudah dikehendaki Sang Hyang Widhi dan pasti mengandung hikmah yang dapat dipetik dan dimanfaatkan."

   Ucapan Sang Prabu Erlangga ini mengandung maksud yang hanya dimengerti oleh dia dan Ki Patih Narotama. Mereka berdua menyadari bahwa semua peristiwa ini merupakan akibat kesalahan tindakan mereka ketika mengambil Ni Lasmini dan Ni Mandari menjadi selir. Walau niat itu baik untuk memperbaiki hubungan kedua kerajaan, namun caranya yang salah. Caranya merupakan hasil dorongan nafsu.

   Kedatangan Puspa Dewi yang memperkuat barisan pertahanan mereka membuat para senopati berbesar hati. Ki Patih Narotama diserahi tugas mengatur penjagaan dan membagi-bagi tugas penjagaan Kepada para senopatinya.

   Untuk menghadapi bahaya penyerangan musuh, Sang Prabu Erlangga sendiri juga siap untuk turun tangan, mengingat bahwa pihak musuh mempunyai banyak orang sakti mandraguna. Bahkan Sang Prabu Erlangga mengutus Ki Patih Narotama sendiri untuk mengundang Empu Bharada di Tanah Perdikan Lemah Citra, dan Empu Kanwa yang tinggal di dusun Margarejo di luar kota raja, di lereng daerah perbukitan yang sunyi. Pada hari itu juga, Empu Bharada dan Empu Kanwa datang menghadap Sang Prabu Erlangga bersama Ki Patih Narotama. Mereka berempat duduk bercakap-cakap di ruangan pustaka.

   Ki Patih Narotama sudah menceritakan kepada dua orang Empu itu akan peristiwa semalam yang menimpa kota raja Kahuripan, maka ketika menghadap Sang Prabu Erlangga, Empu Bharada lalu berkata setelah dipersilakan duduk dan menerima penghormatan raja yang menganggapnya sebagai sesepuh itu.

   "Puteranda Kanjeng Sinuwun, saya telah mendengar akan malapetaka yang menimpa kerajaan Paduka semalam, juga tentang tercurinya Pusaka Cupu Manik Maya dan tercullknya Cucunda Raden Joko Pekik Satyabudhi dari Gedung Kepatihan. Saya ikut merasa prihatin, akan tetapi tentu Paduka sudah dapat menerimanya dengan sabar karena semua ini sudah dikehendaki Sang Hyang Widhi."

   "Saya juga ikut merasa prihatin, Kanjeng Sinuwun, dan Kakang-Empu Bharada benar. Kalau kita dapat menerima segala kejadian ini dengan sabar dan ikhlas dan memperkuat iman dan penyerahan diri kita kepada Dia Yang Maha Kuasa, saya kira kita akan diberi pengampunan dan jalan keluar dari semua musibah."

   "Terima kasih, Paman Empu Bharada dan Paman Empu Kanwa. Kami menyadari akan hal itu dan semoga kami semua dapat menerima semua musibah ini dengan penuh kesabaran, keikhlasan dan penyerahan seperti yang Paman berdua maksudkan. Sekarang saya hendak mohon bantuan Paman berdua. Karena musuh menyebar racun yang menjadi wabah penyakit dan menimbulkan banyak korban pada rakyat, maka kami mohon kepada Paman Empu Kanwa yang ahli dalam soal pengobatan, untuk menanggulangi wabah ini dan membebaskan rakyat dari ancaman dan gangguan wabah penyakit itu. Dan permohonan kami kepada Paman Empu Bharada, mengingat bahwa besar kemungkinan sewaktu-waktu musuh yang sudah menghimpun kekuatan itu akan menyerang dan mereka memiliki banyak tokoh sakti ahli Ilmu sihir, maka mohon Paman Empu Bharada suka memperkuat pertahanan kami untuk menghadapi serangan ilmu hitam."

   Dua orang pertapa itu menyanggupi dan menyatakan kesediaan mereka untuk memenuhi permintaan Sang Prabu Erlangga. Empu Bharada lalu berkata dengan nada serius.

   "Puteranda Kanjeng Sinuwun, kalau saya tidak salah ingat, disini terdapat senopati-senopati yang cukup digdaya untuk melawan musuh yang berbahaya, pula, selain Paduka sendiri dan Ananda Patih Narotama ini, masih terdapat beberapa orang muda yang sakti mandraguna. Di antaranya adalah Ni Puspa Dewi dan terutama sekali Nurseta. Saya kira mereka itu dapat dimintai bantuan untuk menghadapi lawan yang menggunakan ilmu hitam dan sihir."

   Empu Bharada teringat akan pertanda yang dilihatnya dahulu bahwa Kahuripan akan tertimpa malapetaka dan diselimuti awan gelap, ada pun yang akan dapat menghalau pengaruh jahat itu adalah Sinar Putih atau Nurseta. Tentu saja ? bukan pemuda itu seorang diri yang diberi tugas melawan semua musuh, akan tetapi bantuannya tentu akan dapat diandalkan dan berguna sekali bagi keselamatan Kahuripan.

   "Semua sudah mempersiapkan diri, Paman Empu Bharada. Juga Puspa Dewi baru saja pulang setelah terjadi penyerangan gelap malam itu. Sekarang ia juga sudah mempersiapkan diri memperkuat pertahanan Kahuripan. Akan tetapi sungguh sayang, Nurseta masih belum kembali ke kota raja karena dia sedang mencari puteri Senopati Yudajaya yang pergi ke Wengker dan menurut keterangan Puspa Dewi, adiknya Nlken Harni itu telah dibawa pergi Nini Bumigarbo. Nurseta tidak mengetahui akan hal Itu dan sampai sekarang dia belum kembali."

   Empu Bharada menghela napas panjang. Segala sesuatu yang menimpa diri manusia tidak terlepas dari ikatan karma, semua bersumber dari diri pribadi. Berdasarkan hukum sebab akibat ini, maka segala sesuatu terjadi. Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Manusia hanya wajib berikhtiar sekuat tenaga sebesar kemampuannya, namun akhirnya dia harus dan hanya dapat menerima segala sesuatu yang terjadi kepadanya, suka atau tidak! Dia mengerti bahwa semua yang menimpa Kerajaan Kahuripan ini menjadi akibat dari masuknya Ni Lasmini dan Ni Mandari, dua orang puteri Kerajaan Parang Siluman itu sebagai selir Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama.

   Apa yang dikhawatirkan Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama terjadi tiga hari kemudian. Pagi-pagi sekali, baru saja fajar menyingsing membangunkan ayam-ayam jantan yang berkeruyuk saling bersahutan dengan nyaring sehingga menggugah burung-burung di pepohonan, membuat mereka ramai saling memberi salam pagi yang ribut namun merdu, pasukan gabungan empat kerajaan yang dibantu beberapa raja muda daerah yang kecil, mengadakan serangan besar-besaran.

   Jumlah perajurit dalam pasukan gabungan itu tidak kurang dari tiga laksa orang! Mereka menyerbu dari empat jurusan dan selain mengerahkan seluruh pasukan, mereka pun mengerahkan semua tokoh yang memiliki aji kesaktian untuk memimpin pasukan yang dibagi empat itu. Empat kerajaan yang amat membenci Kahuripan yang menjadi musuh bebuyutan mereka itu tidak mau kepalang tanggung dan tidak mau gagal lagi. Mereka mengerahkan semua tenaga.

   Pasukan pertama terdiri dari sepuluh ribu orang perajurit Wengker bergerak dari depan dan pasukan terbesar ini dipimpin sendiri oleh para pimpinan Wengker lengkap, yaitu Adipati Linggawijaya, Dewi Mayangsari, Resi Bajrasakti, Warok Surogeni, Wirobento, dan Wirobandrek!

   Pasukan ke dua yang bergerak menyerang dari sayap kiri terdiri dari sepuluh ribu orang perajurit Wura-wuri, dipimpin sendiri oleh Adipati Bhismaprabhawa, Permaisuri Dewi Durgakumala, Kala Muka, Kala Manik, Kala Teja, dan Ki Gandarwo.

   Pasukan ke tiga bergerak menyerang dari sayap kanan, terdiri dari sekitar lima ribu orang perajurit Parang Siluman, dipimpin oleh Ratu Durgamala, Bhagawan Kundolomuko, Ni Lasmini, Ni Mandar , dan Ki Nagakumala.

   Pasukan ke empat bergerak dari belakang, terdiri sekitar lima ribu orang perajurit Siluman Laut Kidul, dipimpin oieh Ratu Mayang Gupita sendiri, dibantu oleh Bhagawan Kalamisani, Nagarodra, dan Nagajaya. Semua itu masih diperkuat oleh para perwira kerajaan masing-masing yang memimpin pasukan di bawah komando para pimpinan tertinggi itu. Dan juga ada Pasukan Siluman yang dibentuk oleh Bagawan Kundolomuko dari Parang Siuman, penyembah Bathari Durga dan ahli sihir yang berilmu tinggi itu. Pasukan Siluman yang berpakaian serba putih ini terdiri dari tiga ratus orang, akan tetapi karena mereka itu digerakkan oleh iImu hitam yang dahsyat, maka kekuatannya juga mengglriskanl

   Namun pihak Kerajaan Kahuripan sudah siap siaga sehingga ketika musuh datang dari empat penjuru, dengan tenang pasukan yang sudah siap dibagi menjadi empat itu menyambut mereka. Kekuatan pasukan Kerajaan Kahuripan berjumlah sekitar empat laksa orang. Selaksa orang dipimpin sendiri oleh Sang Prabu Erlangga yang berdampingan dengan Empu Bharada dan beberapa orang perwira tinggi, menjaga bagian depan yang merupakan gapura terbesar. Selaksa orang perajurit dipimpin oleh Ki Patih Narotama yang juga dibantu beberapa orang perwira, menjaga sebelah kanan. Selaksa orang perajurit yang lain dipimpin oleh Puspa Dewi, dibantu ayahnya, Senopati Yudajaya dan beberapa orang perwira, menjaga sebelah kiri. Adapun sisanya, kurang lebih selaksa orang perajurit, dipimpin oleh Senopati Sepuh Wiradana, Senopati Sindukerta, dan Tumenggung Jayatanu dibantu beberapa orang perwira.

   Maka begitu musuh datang menyerbu! dari empat penjuru, pasukan-pasukan Kahuripan keluar dari pintu gerbang dan menyambut dengan gegap-gempita hingga terjadilah pertempuran hebat di luar kota raja, di empat penjuru.

   Perang campuh terjadi, hiruk-pikuk dan gegap-gempita suara puluhan ribu mulut berteriak marah, saling maki, juga teriakan kesakitan, bercampur suara beradunya senjata pedang, golok, tombak, keris dan sebagainya, berdentingan nyaring, hentakan puluhan ribu kaki berdebukan, debu mengepul tebal dan membubung tinggi, dengan napas terengah-engah, darah mulai muncrat dan berceceran, tubuh tanpa nyawa atau terluka mulai berpelantingan, terkapar dan berserakan, malang melintang terinjak kaki kawan maupun lawan!

   Perang! Peristiwa terkutuk. Puncak kebuasan mahluk yang dinamai manusia. Nafsu amarah, dendam, kebencian, menggetarkan udara. Buas seperti binatang liar, haus darah, yang ada dalam benak pikiran hanya membunuh atau dibunuh. Hanya satu keinginan semua pihak. Menang! Mencari- kemenangan dengan cara apapun juga. Terhapuslah sudah semua peradaban, kebudayaan, dan sifat luhur manusia. Tawa bergelak setiap kali merobohkan lawan, memenggal leher, merobek perut, menusuk, dada. Jerit rintih kematian lawan seolah gamelan paling merdu bagi telinganya. Bahkan matahari pun agaknya ngeri menyaksikan kekejaman ini dan matahari bersembunyi di balik awan-awan yang berarak di angkasa.

   Sang Prabu Erlangga yang memimpin pasukannya bertemu dengan pasukan Wengker. Adipati Linggawijaya, Permaisuri Dewi Mayangsari dan Resi Bajrasakti segera maju mengeroyok Raja Kahuripan ini. Raja yang mereka anggap sebagai musuh besar. Mereka bertiga maju dengan harapan akan mampu mengalahkan menawan atau membunuh Sang Prabu Erlangga, karena kalau raja ini tewas atau tertawan, tentu pasukan Kahuripan akan menyerah. Akan tetapi, mereka bertiga terkejut bukan main. Sang Prabu Erlangga benar-benar sakti mandraguna Semua serangan mereka bertiga, bahkan ketika mereka menyatukan tenaga sakti menghantam ke arah Sang Prabu Erlangga, Raja Kahuripan ini menyambut dengan dorongan tangan kirinya dan hawa sakti yang menyambut serangan tiga orang itu sedemikian kuatnya sehingga tiga orang itu hamper terjengkang dan terhuyung ke belakang! Juga semua aji kesaktian mereka kerahkan, namun semua dapat ditangkis Sang Prabu Erlangga.

   Sang Empu Bharada yang membantu Sang Prabu Erlangga dikeroyok oleh Warok Surogeni, Wirobento, dan Wirobandrek. Pertapa ini sebetulnya hampir tidak pernah berkelahi, namun dia adalah seoran yang sakti. Dengan Aji Bayu Sakti tubuhnya yang berpakaian serba hitam itu dapat menghindarkan diri dari sambaran keris di tangan Warok Surogeni, pecut berujung besi di tangan Warok Wirobento dan sepasang kolor merah yang menjadi senjata Warok Wirobandrek. Dia pun membalas dengan tamparan-tamparan yang mengandung Aji Gelap Musti sehingga tiga orang lawan itu sukar untuk dapat merobohkan Empu Bharada.

   Tiba-tiba tampak awan gelap seolah turun dari angkasa dan menggelapkan cuaca di tempat pertempuran bagian depan kota raja itu. Dan dari dalam kegelapan ini muncul suara-suara yang menyeramkan, tawa dan tangis yang bukan suara manusia, lalu muncul bentuk-bentuk mengerikan seolah ada ratusan iblis jadi-jadian muncul dari kegelapan dan mengancam para perajurit Kahuripan. Tentu saja para perajurit terkejut dan menjadi panik.

   Empu Bharada menggunakan Aji Bayu Sakti berkelebatan lenyap meninggalkan tiga orang lawannya dan dia sudah menuju ke pusat dari mana muncul awan gelap dan bayangan iblis itu. Kiranya tiga ratus perajurit dalam Pasukan Siluman itu mulai menyerbu, dipimpin oleh Bhagawan Kundolomuko yang melepas ilmu hitamnya. Melihat ini, Empu Bharada memberi isarat kepada lima ratus orang perajurit yang sudah dipilih untuk menghadapi pasukan ilmu hitam itu yang memang sudah diperhitungkan oleh pihak Kahuripan. Lima ratus orang perajurit ini mengenakan sehelai kain putih yang diikatkan di kepala dan kain itu sudah dirajah (diisi kekuatan gaib) oleh Empu Bharada. Lima ratus orang perajurit inilah yang menyambut serbuan tiga ratus perajurit Pasukan Siluman. Empu Bharada sendiri berdiri dan bersedakap (melipat kedua lengan di depan dada), mengerahkan aji kesaktiannya menyambut ilmu hitam yang dilepaskan Bhagawan Kundolomuko,

   Dahsyat bukan main pertandingan adu sihir dan pertempuran antara dua pasukan yang sama-sama telah diisi "rajah"

   Oleh Bhagawan Kundolomuko dan Empu Bharada. Akan tetapi karena jumlah pasukan Kahuripan lebih banyak maka tentu saja Pasukan Siluman Itu agak kewalahan, apalagi karena kekuatan gaib dari Bhagawan Kundolomuko yang tadinya mendukung mereka itu kini terpaksa dialihkan untuk bertanding melawan Empu Bharada.

   
Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sementara itu, Warok Surogeni, Wiro-bento, dan Wirobandrek yang telah ditinggalkan Empu Bharada, kini membantu tiga orang pimpinan Wengker yang masih mengeroyok Sang Prabu Erlangga. Raja itu kini dikeroyok enam orang lawan yang tangguh! Pasukan sayap kanan dari Kahuripan yang dipimpin Ki Patih Narotama bertemu di luar gapura dengan pasukan Wura-wurl yang dipimpin Adipati Bhismaprabhawa, Permaisuri Dewi Durgakumala, Kala Muka, Kala Manik, Kala Teja, dan Gandarwo. Ki Patih Narotama yang telah memberi petunjuk kepada para perwira pembantunya untuk memimpin pasukan menyambut pasukan Wura-wuri yang menyerbu, mengamuk. Dia marah dan khawatir sekali karena puteranya diculik musuh.

   "Hl-hi-hik! Narotama, sekarang tiba saatnya engkau mati di tangan kami!"

   Dewi Durgakumala tertawa mengejek.

   "Hemm, kalau engkau berani mengganggu puteraku Joko Pekik Satyabudhi dan tidak mengembalikannya kepadaku, aku tidak peduli lagi akan pelanggaran dan akan kubunuh kalian semua, akan kumusnahkan dan kubikin karang abang (lautan api) kerajaan kalian, kubikin rata dengan tanah!"

   Suara Ki Patih Narotama menggetarkan semua yang mendengarnya karena dia sudah dikuasai amarah yang hebat. Narotama adalah seorang yang tidak mau sembarangan membunuh dan baginya merupakan pantangan membunuh. Biasanya, lawan yang dihadapinya hanya dikalahkan dan dirobohkan tanpa membunuh. Akan tetapi bagaimanapun juga, dia hanya seorang manusia biasa, seorang ayah yang menjadi marah dan mata gelap melihat puteranya diculik orang.

   Karena maklum betapa saktinya Ki Patih Narotama, maka Adipati Bhismaprabhawa dan Dewi Durgakumala tidak banyak cakap lagi. Teriakan dahsyat tadi membuat hati mereka menjadi gentar juga. Mereka memberi Isyarat kepada empat orang pembantu mereka dan segera enam orang sakti ini menerjang dan mengeroyok Ki Patih Narotama. Terjadilah pertempuran yang hebat. Dengan keris pusaka Megantoro di tangan, Ki Patih Narotama menghadapi pengeroyokan enam orang sakti itu. Adipati Bhismaprabhawa bersenjatakan sebatang klewang bergagang emas, Dewi Durgakumala menggunakan sebatang pedang, Kala Muka memegang sebatang keris, Kala Manik sebatang klewang, Kala Tejo sebatang ruyung dan Ki Candarwo bersenjatakan pedang.

   Enam orang itu bagaikan enam ekor srigala mengeroyok dan menyerang seekor harimau. Terjadilah perkelahian mati-matian dan Ki Patih Narotama harus mengeluarkan semua ilmu dan mengerahkan semua tenaga untuk melawan enam orang pengeroyok yang tangguh itu. Akan tetapi pasukannya yang berjumlah selaksa orang sudah bertempur melawan selaksa orang perajurit Wura-wuri. Perang campuh yang hebat terjadi, sama seru dan ramainya seperti pasukan yang bertempur di bagian depan kota raja.

   Lima ribu orang perajurit dalam Pasukan Parang Siluman yang dipimpin Ratu Durgakumala, disambut pasukan Kahuripan yang dipimpin Puspa Dewi! Karena Bhagawan Kundolomuka yang memimpin Pasukan Siluman membantu penyerangan dari depan, maka kini yang membantu Ratu Durgamala adalah Lasmini, Mandari, dan Ki Nagakumala. Sungguh merupakan pimpinan yang amat kuat. Akan tetapi Puspa Dewi yang didampingi ayahnya, Senopati Yudajaya, tidak gentar dan dengan tenang saja la menyambut lawan-lawan yang amat tangguh itu. Mereka berhadapan dan saling pandang dengan sinar mata mencorong. Terutama sekali Mandari dan Lasmini. Mereka memandang wajah Puspa Dewi dengan penuh kebencian karena gadis itu merupakan satu di antara penyebab penting gagalnya usaha mereka dahulu untuk menjatuhkan Kahuripan.

   "Perempuan rendah Pengkhianat, tidak malu engkau memperlihatkan mukamu kepada kami?"

   Bentak Mandarl sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Puspa Dewi.

   "Puspa Dewi bocah desa melarat Engkau sudah dimuliakan, diangkat derajatmu menjadi Sekar Kedaton di Wura-wuri, akan tetapi malah mengkhianati kami! Sekarang sudah saatnya engkau menerima hukuman, kupenggal batang lehermu, kurobek dadamu dan kucabut keluar jantungmu!"

   Lasmini juga memaki-maki marah.

   Setelah menerima penggemblengan selama tiga bulan dari Maha Resi Satyadharma, Puspa Dewi telah mampu menjinakkan hatinya dan mampu mengendalikan perasaannya sehingga dihina seperti itu, ia tersenyum saja dan tidak menjadi marah.

   "Lasmini dan Mandari, bukan aku yang berkhianat karena aku memang kawula Kahuripan yang sudah sepatutnya membela, apalagi karena Gusti SInuwun Erlangga dan Gusti Patih Narotama memang merupakan manusi-manusla arif bijaksana yang sudah semestinya kubela. Sebaliknya kamu berdua yang berkhianat dan tidak tahu malu. Sudah mau menyerahkan diri menjadi selir Sang Prabu dan Ki Patih, ternyata Itu hanya siasat untuk melakukan pemberontakan."

   "Keparat, mampuslah!"

   Lasmini sudah menerjang dengan marah sekali, menghujamkan kerisnya ke arah dada Puspa Dewi. Akan tetapi dengan tenang Puspa Dewi menggeser kaki mengelak ke belakang sambil mencabut pedangnya. Sinar hitam tampak ketika Pedang Gandrasa Langking tercabut.

   Mandari, Ratu Durgamala, dan Ki Nagakumala juga berlompatan ke depan untuk mengeroyok. Akan tetapi Ki Yudajaya sudah memberi aba-aba kepada para perwira pembantu untuk maju membantu Puspa Dewi. Terjadilah pertempuran hebat. Puspa Dewi dikeroyok tiga oleh Lasmini, Mandari, dan Ki Nagakumala. Ia harus mengeluarkan semua ilmunya dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk menandingi tiga orang lawan yang teramat tangguh itu. Ratu Durgamala sendiri dihadapi oleh Senopati Yudajaya yang dibantu oleh tiga orang perwira. Akan tetapi, biarpun para pimpinan pasukan ini agak kewalahan menghadapi lawan-lawan yang sakti, sebaliknya pasukan Parang Siluman yang hanya lima ribu orang jumlahnya itu, menjadi kewalahan melawan sepuluh ribu orang perajurit Kahuripan.

   Dengan sendirinya tiga orang yang mengeroyok Puspa Dewi terkadang harus memecah perhatiannya dan terpaksa serlngkali meninggalkan Puspa Dewi untuk membantu anak buah yang terdesak oleh pasukan Kahuripan yang jumlahnya dua kali lipat itu. Hal ini tentu saja meringankan Puspa Dewi yang kewalahan juga dikeroyok tiga orang sakti itu. Terutama Ki Nagakumala merupakan lawan yang amat tangguh. Kalau kakek ini maju seorang diri, tentu saja tidak sukar bagi Puspa Dewi untuk mengalahkannya. Namun dua orang kakak beradik Lasmini dan Mandarl itu pun memiliki tingkat kepandaian yang sudah hampir mencapai tingkat guru atau paman mereka, yaitu Ki Nagakumala.

   Pasukan Kerajaan Siluman Laut Kidul yang dipimpin sendiri oleh Ratu Mayang Guplta, raseksl yang menyeramkan dan sakti, dibantu Bhagawan Kalamisani paman gurunya, dan dua orang adik seperguruannya yaitu Nagarodra dan Nagajaya, menyerang dari belakang dengan lima ribu orang perajuritnya. Mereka disambut sepuluh ribu orang perajurit Kahuripan yang dipimpin oleh Senopati Wiradana, Senopati Sindukerta, dan Tumenggung Jayatanu, dibantu pula oleh beberapa orang perwira tinggi. Biarpun pasukan ini yang jumlahnya dua kali lipat jumlah pasukan penyerbu dapat menekan pasukan musuh, namun para pimpinan mereka kewalahan menghadapi empat orang yang sakti mandraguna dari Siluman Laut Kidul itu.

   Sampai tengah hari pertempuran masih berjalan seru. Kedua pihak sudah kehilangan banyak perajurit yang tewas atau terluka. Namun pihak penyerang tidak mau menghentikan serbuan mereka, tidak mau mundur karena mereka tahu bahwa kalau sekali ini penyerbuan mereka gagal, akan sulitlah untuk melakukan penyerangan lagi. Maka mereka terus mendesak dan para pimpinan memberi aba-aba agar pasukan mereka maju terus!

   Sang Prabu Erlangga prihatin melihat banyaknya perajurit yang tewas, baik perajurit Kahuripan maupun para perajurit pihak musuh. Sedih hatinya melihat Kahuripan banjir darah dan menjadi tempat pembantaian antar manusia. Hal ini membuat dia marah kepada para pimpinan empat kerajaan itu. Kemarahan ini membangkitkan Aji Triwikrama yang dikuasainya. Aji Triwikrama adalah aji kesaktian dari Sang Hyang Whisnu.

   Sang Prabu Erlangga melangkah tiga kail menjejakkan kaki dan tiba-tiba terdengar suara gerengan yang menggetarkan bumi Kahuripan! Enam orang pengeroyoknya, Adipati Linggawijaya, Dewi Mayangsari, Resi Bajrasakti, Warok Surogeni, Wirobento dan Wirobandrek terkejut setengah mati dan mata mereka terbelalak melihat betapa lawan mereka itu tiba-tiba tampak membesar seperti sebatang pohon Waringin! Enam orang yang sakti ini terkejut, namun mereka masih nekat.

   "Ini hanya Ilmu slhirl Serang!"

   Bentak Warok Surogeni kepada dua orang warok lain, yaitu Wirobento dan Wlrobandrek. Tiga orang warokini lalu menerjang maju, menggerakkan senjata mereka menyerang "raksasa"

   Itu.

   "Wuut-wuut-wuut... blaarrrr...!"

   Sang Prabu Erlangga mengibaskan tangannya dan tiga orang itu terlempar jauh dan terbanting keras tanpa dapat bangun kembali karena mereka telah tewas. Serangan mereka tadi dihantam kekuatan yang luar biasa sehingga membalik dan mengenai tubuh mereka sendiri sehingga mereka tewas seketika!

   "Bapa...!!"

   Dewi Mayangsari berlari menubruk tubuh ayahnya, akan tetapi Warok Surogeni sudah tewas.

   Permaisuri itu sambil menangis memondong jenazah ayahnya dan menghilang di antara para perajuritnya. Adipati Linggawijaya juga cepat menyelinap ketakutan bersembunyi di antara para perajuritnya yang sudah terdesak hebat oleh pasukan lawan yang kini mendapat hati dan semakin bersemangat Itu. Otomatis para perwira pembantunya juga jerih dan memberi aba-aba kepada pasukan Wengker untuk mundur meninggalkan kawan-kawan yang tewas; dan yang terluka.

   Ketika mendapat laporan bahwa pasukan bagian belakang yang dipimpin tiga orang senopati kewalahan menghadapi sepak terjang para pimpinan pasukan Siluman Laut Kidul, Sang Prabu Erlangga menyerahkan pimpinan kepada para perwira pembantu dan dia sendiri berlari menuju ke pertempuran di bagian belakang. Dilihatnya betapa pasukan Kahuripan yang dua kali lipat lebih banyak jumlahnya itu dapat menekan dan mendesak pasukan Siluman Laut Kidul, akan tetapi Senopati Wiradana, Senopati Sindukerta, dan Tumenggung Jayatanu terdesak hebat sekali. Bahkan ketika Sang Prabu Erlangga tiba di tengah pertempuran itu, dia melihat tubuh Senopati Sindukerta dan tubuh Tumenggung Jayatanu sudah menderita luka-luka dan berlepotan darah.

   

Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini