Ceritasilat Novel Online

Nurseta Satria Karang Tirta 17


Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo Bagian 17



Tiba-tiba Niken Harni menuding ke bawah puncak dan berseru kepada Nira Bumigarbo.

   "Di sana ada orang mendaki puncak, larinya cepat sekalil"

   (Lanjut ke Jilid 19)

   Nurseta Satria Karang Tirta (seri ke 02 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 19

   Suaranya penuh ketegangan karena selama ia digembleng oleh Nini Bumigarbo, tidak pernah ada orang mampu mendaki puncak yang dikelilingi jurang-jurang amat dalam itu. Dan orang yang berpakaian serba putih itu mendaki dengan cepat sekali, bahkan jurang yang tidak berapa lebar, namun amat lebar bagi orang biasa, dia lompati begitu saja. Gerakannya bagaikan seekor burung garuda, jubah putihnya berkibar membenti sayap. Nini Bumigarbo mengangkat muka memandang dan ia terkekeh.

   "Heh-heh-heh, hi-hik! Tentu saja dia dapat berlari cepat!"

   "Bibi Bumigarbo, apakah Andika mengenal orang itu? Siapa dia?"

   "Seperti Dibya Krendasakti, dia juga seorang sahabatku dua puluh tahun yang lalu. Namanya Wiku Ktut Bumisetra, seorang datuk dari Bali Dwipa."

   Nini Bumigarbo memandang penuh perhatian, lalu terkekeh lagi dan berkata.

   "Tidak salah, pasti dia! Ajiannya berlari cepat itu tentu Aji Garuda Anglayang, tidak salah lagil"

   Niken Harni mengamati gerakan orang yang mendaki puncak itu dengan pandang mata kagum. Ia sendiri setelah beberapa lamanya digembleng Nini Bumigarbo, masih belum berani naik turun puncak sambil berlari dan berloncatan seperti Itu. Tingkat kepandaian orang itu agaknya tidak berada di bawah tingkat Nini Bumigarbo! Dan setelah orang itu mencapai lereng di bawah puncak, Niken Harni mulai dapat melihat wajahnya dengan jelas. Orang itu mendaki dari barat sehingga sinar matahari sepenuhnya meneranginya. Kini ia dapat melihat bahwa orang itu adalah seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh lima tahun, tubuhnya tinggi kurus dengan kulit coklat kehitaman, rambutnya panjang diikat ke belakang dengan kain putih, tergantung sampai ke bawah punggung. Wajahnya yang kurus itu pentil bekas cacar sehingga tampak aneh, matanya berkilauan dan mengeluarkan sinar berkilat. Pakaiannya serba putih dengan jubah lebar. Kakinya mengenakan alas kaki dari kulit tebal, tangan kanannya memegang sebatang tongkat berbentuk ular dan pergelangan kedua tangannya terhias akar bahar besar dan hitam.

   Dengan sebuah lompatan jauh seperti terbang, tubuh kakek itu melayang dan tiba di depan Nini Bumigarbo dan Niken Harni. Begitu berada di depan Nini Bumigarbo dan melihat nenek itu, dia terbelalak, memandang penuh perhatian lalu tertawa terbahak-bahak, dan telunjuk kirinya menuding ke arah Nini Bumigarbo

   "Ha..ha.. ha ..Tidak salah lagi. Engkau pasti Ni Gayatri, kembang Puncak Semeru itu! Lihat, tahi lalat di dagumu itu, pakaian serba hitam itu, dan wajahmu masih tetap ayu! Ha-haha, Dibya Krendasakti tidak salah! Nini Bumigarbo adalah Ni Gayatri yang cantik manis dulu itu. Heh, Ni Gayatri, pangling (lupa) ya kepada seorang di antara para pengagummu ini?"

   "Huh, siapa yang lupa kepada orang sepertimu, Ktut Bumi Setra? Jadi engkau bertemu dengan Dibya Krendasakti di Nusa Barung dan dia yang menceritakan kepadamu tentang diriku?"

   Kakek itu tanpa dipersilakan duduk di atas batu yang berada di depan Nini Bumigarbo dan Niken Harni. Dia tidak menjawab pertanyaan Nini Bumigarbo karena dia seperti terpesona memandang wajah Niken Harni sampai beberapa lamanya lalu berkata perlahan.

   "Wadu-du-duuhh... ini muridmu, Gayatri? Benar Si Dibya Krendasakti. Muridmu ini sungguh ayu manis merak ati, juga berbakat baik sekali! Wah, aku akan senang sekali kalau mempunyai murid seperti ini! Heh-heh-eh-heh!"

   "Huh, mata keranjangmu itu tidak juga berkurang! Hayo jawab pertanyaanku tadi, Ktut! Engkau berkunjung ke Nusa Barung?"

   "Benar, Gayatri dan wah... dasar perutku sedang beruntung, Si Dibya itu agaknya sedang berbahagia sekali. Sepanjang malam dia mengajak aku berpesta pora didampingi isterinya yang semakin cantik saja, dia tertawa-tawa dan bertingkah seperti anak kecil saking senangnya, ha..ha..ha!"

   "Paman Ktut Bumi Setra, mengapa Paman Dibya Krendasakti bersenang-senang?"

   Tanya Niken Harni yang ingin tahu sekali.

   "Heh? Oh? Lho, engkau sudah mengenal namaku, bocah ayu?"

   "Huh, makin tua engkau makin bodoh saja, Ktut! Tadi sudah kusebut namamu tentu saja Niken Harni mengetahui namamu!"

   "Waduh! Namanya Niken Harni? Sungguh tepat, namanya sama manisnya dengan orangnya."

   "Sudahlah, Paman. Tidak ada gunanya Paman memuji-mujiku. Pertanyaanku tadi belum dijawab!"

   Kata Niken Harni ketus.

   "Walah-waiah! Sama galaknya dengan gurunya, ha-ha-ha! Baiklah, cah ayu, Si Dibya Krendasakti itu agaknya menjadi muda kembali. Dia begitu mesra dengan isterinya, tampak sekali mereka bermesraan seperti sepasang kekasih remaja, ha-ha. Dan selain itu, dia juga memamerkan hasilnya mengambil Cupu Manik Maya dari kedaton (istana) Kahuripan! Hebat tidak Si Tua Bangka itu?"

   "He-he! jadi Si Dibya itu sudah berhasil mengambil Cupu Manik Maya? Bagus, bagus sekali! Ah, Si Erlangga tentu kebingungan seperti kebakaran jenggot, he-he-he!"

   "Sang Prabu Erlangga tidak berjenggot Wajahnya bersih halus!"

   Tiba-tiba Niken Harni berseru membelanya.

   "Lho! Bagaimana ini? Mengapa guru dan murid berbeda pendapat?"

   Tegur Wiku Ktut Bumi Setra heran.

   "Huh, aku benci Erlangga dan Narotama!"

   Kata Nini Bumigarbo sambil cemberut.

   "Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama adalah pepundenku (junjunganku)! Sebagai kawula Kahuripan tentu aku membela mereka!"

   Kata pula Niken Harni.

   "Ha-ha-ha, kalian lucu. Berbeda pendapat seperti bumi dan langit akan tetapi sama kerasnya seperti batu gunungl"

   Wiku Ktut Bumi Setra tertawa.

   "Dibya Krendasakti bercerita banyak. Malam itu dia menyaksikan betapa Kadipaten Kahuripan diserbu banyak tokoh empat kadipaten."

   "Ahhh...!"

   Niken Harni berseru kaget.

   "Ha ha, bagus sekali! Lalu bagaiman ceritanya, Ktut?"

   Tanya Nini Bumigarbo dengan wajah berseri.

   "Akhirnya muncul Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama yang berhasil mengusir para penyerbu, akan tetapi para penyerbu itu telah membunuh banyak perajurit, dan bahkan Dibya Krendasakti sempat melihat putera Patih Narotama dibawa lari oleh para penyerbu."

   "Wah, bagus! Bagus sekali!"

   Nini Bumigarbo berteriak kegirangan.

   "Huh, para penyerbu pengecut! Kalah menghadapi orang tuanya, mengapa menculik anak kecil yang tidak tahu apaapa?"

   Seru Niken Harni penasaran sekali. Ia pernah melihat Joko Pekik Satyabudhi, putera tunggal Ki Patih Narotarna. Anak berusia setahun lebih itu amat lucu dan mungil dan sekarang diculik oleh orang-orang jahat! Agaknya hati Wiku Ktut Bumi Setra senang melihat betapa ceritanya mendatangkan perasaan yang berlawanan pada guru dan murid itu.

   "Dalam perjalananku ke sini, aku lewat Kahuripan dan mendengar bahwa baru saja, Kahuripan diserang secara besar-besaran oleh laksaan perajurit dari Wengker, Wurawuri, Parang Siluman, dan Siluman Laut Kidul. Mereka berempat itu menyerang dari empat jurusan, mengepung Kahuripan!"

   "Wah, bagus sekali! Mampus kalian sekarang, murid-murid Resi Satyadharma! He-he-hl-hik!"

   Nini Bumigarbo tertawa senang.

   "Kabarnya terjadi perang besar yang amat hebat, mendatangkan korban beribu-ribu orang di kedua pihak."

   "Dan Kahuripan dapat diduduki dan dltaklukkan, Erlangga dan Narotama ditawan atau dibunuh?"

   Tanya Nini Bumigarbo. penuh harapan.

   Wlku Ktut Bumi Setra menggeleng kepalanya.

   "Tidak mudah menundukkan Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Setelah perang besar yang menjatuhkan banyak korban kedua pihak, kabarnya pasukan Kahuripan dapat memukul mundur semua pasukan keempat kerajaan yang mengepung dan menyerangnya."

   "Huh, menyebalkan. Mereka semua tolol, tidak becus!"

   Nini Bumigarbo mengomel dengan kecewa.

   "Hore"

   Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama memang hebat! Kahuripan amat kuat, siapa yang mampu mengalahkannya?"

   Teriak Niken Harni kegirangan mendengar bahwa Kahuripan menang perang. Biarpun mereka berdua sudah saling berjanji bahwa Niken Harni tidak akan dibawa dalam permusuhan Nini Bumigarbo terhadap raja dan patih Kahuripan itu, tetap saja Nini Bumigarbo panas hatinya melihat gadis itu kegirangan sedangkan ia sebaliknya merasa kecewa dan marah sekail.

   "Huh, kalau saja aku tidak terikat janji dengan Ekadenta, kepala Erlangga dan Narotama tentu sudah kupenggal dari tubuh mereka!"

   "Hei, Gayatri! Mengapa engkau begitu membenci Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotarna?"

   Tanya Wiku Ktut Bumi Setra.

   Nini Bumigarbo yang sedang jengkel mendengar kegagalan empat kerajaan menundukkan Kahuripan, menjawab ketus.

   'Bukan urusanmu! Hemm, Ktut, sebetulnya engkau dating ke sini ada keperluan apakah? Hayo katakan karena aku tidak suka kalau engkau datang tanpa keperluan apa-apa. Aku tidak suka diganggu!"

   "Ho-ho, mengapa engkau bersikap galak terhadap aku, Gayatri? Bukankah sejak dahulu kita bersahabat dan saling bertukar ilmu? Terus terang saja, selama perantauanku ke Nusa Jawa ini, aku belum pernah menemui tandingan yang dapat mengalahkan aku. Maka aku teringat kepadamu dan aku menduga-duga apakah sekarang ilmu kepandaianmu sudah meningkat hebat? Aku ingin sekali menguji kesaktianmu, Gayatri. Itulah keperluanku datang berkunjung ini!"

   Tiba-tiba terdengar seruan dari bawah puncak, suaranya nyaring terdengar dari tempat itu.

   "Bibi Nini Bumigarbo, maafkan kelancangan saya yang datang berkunjung tanpa diundang!"

   Tiga orang itu memandang ke arah suara di bawah puncak dan mereka rnelihat seorang pemuda mendaki puncak dengan cepat dan mudah, seperti yang dilakukan Wiku Ktut Bumi Setra tadi, ini menandakan bahwa pemuda yang sedang mendaki puncak itu bukan orang sembarangan. Nini Bumigarbo memandang dengan alis berkerut, tanda bahwa hatinya tidak senang menerima kunjungi orang yang tidak diundangnya. Akan tetapi Wiku Ktut Bumi Setra memandang dengan wajah berseri.

   "Wah, pemuda itu pantas untuk kuajak menguji kesaktian!"

   Tak lama kemudian Nurseta telah berdiri, berhadapan dengan tiga orang yang masih duduk di atas batu itu. Dia sudah pernah melihat Nini Bumigarbo ketika nenek itu bertanding melawan Bhagawan Ekadenta. Akan tetapi dia tidak mengenal kakek yang tinggi kurus bermuka burik (bopeng) berpakaian serba putih, kedua pergelangan tangan dilingkari akar bahar hitam besar dan tangannya memegang sebatang tongkat ular itu. Wajah kakek itu menyeramkan karena matanya mencorong aneh. Ketika dia melihat gadis jelita yang duduk di atas batu memandang kepadanya, Nurseta juga tidak mengenalnya, akan tetapi dia menduga mungkin gadis ini adik Puspa Dewi yang bernama Niken Harni.

   "Apakah Andika Nimas Niken Harni, adik Puspa Dewi?"

   Tanyanya dengan lembut sambil memandang gadis itu.

   Karena tidak mengenal Nurseta, Niken Harni tidak segera menjawab, melainkan memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Nini Bumigarbo berkata dengan ketus.

   "Bocah lancang, kalau ia benar Niken Harni, lalu engkau mau apa? Berani engkau datang ke tempatku ini tanpa diundang? Apa engkau sudah bosan hidup?"

   Nurseta merangkap kedua tangan di depan dada, memberi sembah dengar hormat ke arah Nini Bumigarbo yang dia tahu merupakan wanita yang disayang oleh Bhagawan Ekadenta, maka patut dihormatinya.

   "Bibi yang mulia, saya ulangi lagi permohonan maaf saya bahwa saya telah berani bertindak lancang datang berkunjung tanpa dipanggil. Kedatangan saya menghadap Bibi adalah untuk mohon agar Bibi sudi membebaskan Niken Harni."

   "Huh berani engkau mencampuri urusanku? Sudah terlalu tinggi kesaktianmu maka engkau berani menentangku?"

   "Maaf, Bibi. Saya sama sekali tidak berani menentang Bibi, saya sebagai orang yang pernah mendapat kebahagiaan menerima pendidikan Bapa Guru Bhagawan Ekadenta, tidak berani kurang ajar terhadap Bibi."

   "Hemm, murid Ekadenta?"

   Nini Bumigarbo meragu.

   Tentu saja ia merasa tidak enak kalau harus membunuh murid Ekadenta, apalagi membunuh, melukai berat saja ia merasa sungkan.

   "Heh, Wiku Ktut, engkau tadi menantang aku. Nah, lawanlah murid Bhagawan Ekadenta ini, kalau engkau dapat menang, baru engkau ada harganya melawan aku!"

   Dengan cara ini, Nini Bumigarbo hendak menghukum Nurseta akan tetapi ia lepas tangan. Kalau Nurseta terbunuh atau terluka, Ktut Bumi Setra yang disalahkan, bukan ia! Mendengar ini, Wiku Ktut Bumi Setra bangkit berdiri, turun dari batu yang didudukinya, lalu menghampiri Nurseta dan berdiri di depan pemuda itu. Dia mengamati wajah pemuda itu dan menyeringai dengan sikap mengejek.

   "Orang muda, engkau murid Bhagawan Ekadenta?"

   "Saya tidak berani mengaku murid penuh, namun saya pernah menerima petunjuk beliau, Paman."

   "Siapa namamu, orang muda?"

   Tanya Wiku Ktut Bumi Setra, agak senang hatinya karena pemuda itu bersikap sopan dan halus.

   "Nama saya Nurseta."

   Mendengar ini, Niken Harni memandang penuh perhatian. Ia belum pernah bertemu Nurseta, akan tetapi tentu saja ia pernah mendengar namanya. Nama Nurseta ini menjadi buah percakapan para pamong praja di kota raja, bahkan ayah dan kakeknya memuji-muji nama ini. Sekarang pemuda yang terkenal setia dan berjasa terhadap Kahuripan itu dating menempuh bahaya untuk membebaskannya!

   "Nurseta. agaknya kita memang berjodoh untuk saling menguji kesaktian. Aku Wiku Ktut Bumi Setra dari Bali-dwip berkunjung ke sini untuk menantang Nin Bumigarbo saling menguji ilmu kepandaian. Dan engkau datang juga menantang Nini Bumigarbo untuk membebaskan Niken Harni. Sekarang Nini Bumigarbo mewakilkan padaku untuk melawanmu. Nah, mari Nurseta, kita main-main sebentar. Ingin aku menguji kesaktian murid Bhagawan Ekadenta!"

   Nurseta maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang tua yang sakti mandraguna. Seorang yang sudah berani menantang Nini Bumigarbo sudah pasti memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia bersikap hormat, menyembah dan berkata tanpa bermaksud menghindar karena takut.

   "Paman Wjku Ktut Bumi Setra, saya datang ke sini bukan untuk menentang atau menantang Bibi Nini Bumigarbo, juga tidak hendak menantang Andika. Saya tidak ingin bermusuhan dengan Andika, Paman."

   "Ha-ha-ho-ho-ho! Tidak suka bermusuhan dan merendahkan hati, ciri khas Bhagawan Ekadenta! Akan tetapi, Nurseta, kalau engkau tidak menantangku, sebaliknya akulah yang menantangmu. Hayo!"

   Tantang Wiku Ktut Bumi Setra.

   "Saya tidak ingin berkelahi dengan Andika, Paman Wiku."

   "Ini bukan berkelahi, melainkan saling menguji ilmu kepandaian"

   Bantah kakek dari Bali itu.

   "Huhuh Mengapa Bhagawan Ekadenta mempunyai murid seperti ini? Pengecut dan penakut! Dia tentu akan merasa malu sekali kalau melihat sendiri betapa muridnya ketakutan dan tidak berani menerima tantangan Wiku Ktut Bumi Setra!"

   Kata Nini Bumigarbo dengan suara mengejek.

   Tiba-tiba Niken Harni bicara dengan suara nyaring dan mengandung penasaran.

   "Wih! Namanya dikenal dan dipuji seluruh orang Kahuripan, akan tetapi nyatanya ditantang seorang kakek kurus saja tidak berani. Sungguh memalukan!"

   Mendengar celaan-celaan itu, wajah Nurseta menjadi kemerahan.

   "Nurseta, mau atau tidak mau engkau harus melawan aku mengadu kesaktian. Nah, sambutlah seranganku ini!"

   Setelah berkata demikian, Wiku Ktut Bumi Setra sudah bergerak memutar tongkat ularnya lalu dengan Aji Garuda Anglayang, tubuhnya seolah melayang dan meluncur ke arah Nurseta dan tongkat ularnya itu seolah menjadi ular hidup dan ujungnya menusuk ke arah leher Nurseta! Gerakannya itu selain cepat juga mengandung tenaga dalam yang amat kuat sehingga terdengar bunyi angin bersiutan.

   Akan tetapi dengan pengerahan Aji Bayu Sakti, gerakan Nurseta tidak kalah cepatnya dan dia sudah mengelak sehingga tusukan tongkat ular hitam itu meluncur lewat di samping tubuhnya. Namun Nurseta masih belum mau membalas. Bagaimanapun juga, melawan seorang datuk yang sudah mengenal baik Nini Bumigarbo dan Bhagawan Ekadenta ini, dia merasa agak sungkan.

   Akan tetapi agaknya Wiku Ktut Bumi Setra tidak ragu-ragu atau sungkan lagi. Begitu tusukannya luput, kini tangan kirinya menyambar ke arah kepala Nurseta dengan tamparan yang amat dahsyat. Gerakan tangan kiri yang dihias gelang akar bahar hitam itu sedemikian cepatnya sehingga berubah menjadi bayangan hitam menyambar kepala seperti geledek mengancam kepala Nurseta.

   Sekali ini Nurseta menggerakkan tangan kanan menangkis tamparan tangan kiri Sang Wiku sambil mengerahkan tenaga sakti karena dia maklum betapa dahsyat tamparan itu, walaupun tampaknya perlahan saja.

   "Syuuuttt... plakk!"

   Dua tangan bertemu dan keduanya terpental. Kakek itu terkejut dan dia baru maklum bahwa pemuda ini tidak percuma pernah mendapat pendidikan Bhagawan Ekadenta karena ternyata memiliki tenaga sakti yang mampu menandinginya! Tongkatnya kini sudah menyambar lagi setelah dia mundur dua langkah. Ujung tongkatnya menusuk ke arah ulu hati pemuda itu. Kembali tangan Nurseta bergerak, yang kiri menangkis dari dalam, membuat tongkat itu terpental dan tusukan ke arah ulu hati itu gagal. Nurseta kini merasa sudah tiba saatnya untuk membalas karena kalau mengalah terus dan membiarkan dirinya dihujani serangan hal itu akan merugikan diri sendiri.

   Dari samping, kakinya mencuat dan menendang ke arah lutut lawan. Dia masih rikuh (sungkan) untuk menendang perut atau dada, maka yang ditendangnya lutut kanan lawan. Akan tetapi kalau tendangan itu mengenai sasaran, mungkin sambungan tulang pada lutut akan terlepas! Akan tetapi dengan sigapnya Wiku Ktut Bumi Setra melompat ke belakang menghindarkan lututnya dari ancaman tendangan. Kemudian dia menerjang lagi dan mengerahkan tongkat lebih cepat sehingga tongkat itu berubah menjadi gulungan sinar hitam.

   Nurseta adalah seorang pemuda yang mendapat gemblengan dari gurunya, mendiang Empu Dewamurti, kemudian selama tiga bulan dia menerima petunjuk-petunjuk dari Bhagawan Ekadenta. Selama ini, Nurseta tidak pernah mempergunakan senjata, melainkan hanya mengandalkan kecepatan gerak tubuhnya dan keampuhan dua pasang kaki tangannya. Maka, keris pusaka Kyai Kolomisani pemberian Ki Patih Narotarna hanya terselip di pinggangnya dan hamper tidak pernah dia menggunakannya. Sekarangpun, biar menghadapi serangan bertubi dari Sang Wiku yang bersenjatakan sebatang tongkat ular hitam, dia pun hanya mengandalkan kaki tangannya untuk mengelak, menangkis, dan membalas serangan lawan. Akan tetapi karena lawannya itu memang seorang datuk dari Bali-dwipa yang amat tangguh, maka Nurseta harus mengerahkan seluruh tenaga dan tak pernah melepaskan gerakan dari Aji Bayu Sakti yang membuat tubuhnya dapat bergerak seperti angin, dan menggerakkan kaki tangannya dengan ilmu silat Baka Denta (Bangau Putih). Kedua lengannya seperti sayap bangau menangkis atau menampar, kedua kakinya seperti kaki bangau yang menendang-nendang, dan terkadang jari tangannya seperti paruh bangau yang menotok dan menusuk.

   Pertandingan berjalan seru. Mereka saling bertukar serangan, saling tendang dan tangkis. Tubuh mereka seolah menjadi dua bayangan yang bergerak cepat diselimuti gulungan sinar hitam dan tongkat yang dimainkan Wiku Ktut Bum Setra.

   Kini Niken Harni memandang dengan sepasang mata yang tak pernah berkedip dan kagum. Ia menyaksikan pertandingan adu kesaktian tingkat tinggi yang menegangkan. Ia sendiri agak sukar mengikuti gerakan dua orang itu dan ia melihat Nini Bumigarbo juga menonton pertandingan dan beberapa kali gurunya itu mengangguk-angguk seperti orang memuji. Semakin kuat dorongan hasrat hati Niken Harni untuk mempelajari dan menguasai ilmu-ilmu tinggi dari Nini Bumigarbo. Ia tidak dapat menilai siapa yang lebih unggul dan tidak tahu siapa yang akan keluar sebagai pemenang.

   Setelah kurang lebih setengah jam mereka bertanding, saling serang dan mengeluarkan semua jurus yang mereka kuasai, namun belum juga dapat mengalahkan lawan, Wiku Ktut Bumi Setra menjadi penasaran juga. Segala gerak tipu ilmu silat telah dia pergunakan, semua tenaga sakti telah dia kerahkan, namun dia tidak mampu mengalahkan lawannya. Jangankan mengalahkan, mendesak pun tidak dapat. Biarpun sudah tiga kali sebuah tamparan tangan kirinya dan dua kali hantaman tongkat ularnya menyerempet tubuh pemuda itu, namun hal itu seolah tidak dirasakan oleh Nurseta yang melindungi dirinya dengan kekebalan. Dia sendiri juga menerima dua kali tamparan Nurseta yang mengenai pundak dan pangkal lengannya, namun juga tidak membuatnya goyah karena dia melindungi bagian yang terpukul dengan kekebalan.

   "Tahan dulu...!"

   Seru Wiku Ktut Bumi Setra.

   Ketika Nurseta menghentikan gerakannya, Sang Wiku melompat ke belakang. Dia menahan diri agar tidak tampak betapa napasnya mulai terengah-engah. Biarpun dia tidak terdesak atau kalah, usia tuanya membuat daya tahan tubuhnya kurang kuat.

   "Terima kasih, Paman Wiku. Memang sebaiknya kalau kita sudahi saja pertandingan yang tidak ada gunanya ini."

   Kata Nurseta agak lega. Dia tidak ingin melukai Sang Wiku, akan tetapi tentu saja dia pun tidak ingin dirinya dilukai.

   "Nurseta, dalam pertandingan tadi, ternyata engkau tidak mengecewakan menjadi murid Bhagawan Ekadenta..."

   "Paman Wiku, guru saya adalah mendiang Empu Dewamurti, adapun Paman Bhagawan Ekadenta hanya memberi petunjuk selama beberapa waktu saja."

   "Bagus, Empu Dewamurti juga seorang pertapa yang sakti mandraguna. Aku pernah mendengar nama besarnya. Bukankah dia dahulu bertapa di Gunung Arjuna? Akan tetapi, Nurseta, dalam pertandingan tadi aku belum kalah. Sekarang, cobalah engkau sambut serangan ilmu sihirku!"

   NURSETA tidak dapat membujuknya lagi dan pemuda ini pun tahu bahwa dia harus waspada karena lawannya bukanlah orang sembarangan. Biarpun dia percaya bahwa Wiku Ktut Bumi Setra tidak berniat untuk mencelakainya melainkan hanya hendak menguji ilmu, namun serangannya dapat mencelakakan kalau dia tidak waspada dan benar-benar mencurahkan perhatian dan kekuatannya untuk membela diri.

   
Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kini Wiku Ktut Bumi Setra berdiri tegak, kepalanya ditundukkan, mulutnya berkemak-kemik membaca mantra, kemudian tubuhnya menggetar dan dia mengangkat mukanya memandang kepada Nurseta, matanya mencorong berkilat, tangan kanan yang memegang tongkat diangkat ke atas. Lalu terdengar suaranya, lirih namun mengandung gema yang menggetarkan jantung

   "Nurseta, lawanlah Si Naga Langking ini!"

   Tiba-tiba saja muncul kabut atau semacam asap tebal berwarna kelabu bergerak perlahan dari datuk Bali itu kearah Nurseta, dibarengi datangnya angin seperti badai dan muncul pula kilat geledek bergemuruh menyambar-nyambar ke arah Nurseta! Kemudian, tongkat di tangan Sang Wiku seolah hidup dan terbang dari tangan yang memegangnya, kini menjadi besar, merupakan seekor ular atau naga sebesar paha manusia dewasa, mulutnya menyemburkan api, mendengus-dengus dengan dahsyatnya, terbang meluncur ke arah Nurseta!

   Nurseta melipat kedua lengan depan dada, dan perlahan-lahan tubuhnya semakin kabur seolah perlahan-lahan lenyap dan hanya tampak bayangannya saja, itu pun samar-samar.

   "Hemm, bocah itu telah menguasai Aji Sirna Sarira!"

   Seru Nini Bumigarbo lirih namun suaranya mengandung kekaguman. Sepengetahuannya, hanya ada beberapa orang saja yang menguasai aji kesaktian ini dan di antara mereka, termasuk ia dan Bhagawan Ekadenta!

   "Ho-ha! Ajimu itu tidak dapat menghindar dari serangan maut Naga Langking!"

   Teriak Wiku Ktut ia mengerahkan seluruh tenaga batinnya intuk memperkuat ciptaan sihirnya itu.

   Naga hitam itu menyambar dan api yang dihembuskan dari mulutnya itu berkobar menyerang bayangan Nurseta! Nurseta terkejut juga melihat betapa naga hitam jadi-jadian itu demikian kuatnya sehingga masih mampir menyerangnya walaupun dia telah bersembunyi dengan Aji Sirna Sarira.

   Maka, dia pun menyambut serangan naga hitam yang menyemburkan api itu dengan mengerahkan tenaga sakti dan mendorongkan kedua tangan ke depan.

   "Wuuuttt.... blarrrr...!"

   Hawa pukulan yang amat dahsyat keluar dari sepasang tangan Nurseta, bertemu dengan naga hitam itu. Naga hitam terpental dan bunga api yang amat besar berpijar-pijar, akan tetapi naga hitam itu segera membalik dan menyerang lagi lebih dahsyat.

   Terjadilah pertandingan yang amat dahsyat. Berkali-kali naga hitam itu bertemu dengan pukulan jarak jauh sehingga terdengar ledakan-ledakan, namun hantaman pukulan sakti Nurseta belum juga dapat mengalahkan naga hitam Itu.

   Ternyata dalam adu tenaga sakti kekuatan mereka juga selmbang. Mungkin Wiku Ktut Bumi Setra lebih kuat sedikit, akan tetapi kembali unsur usia memegang peran penting dalam kekuatan tubuh manusia, terutama dalam daya tahan. Setelah berkali-kali mengadu tenaga sakti, mulailah Wiku Ktut Bumi Setra terengah-engah dan wajahnya agak pucat, dari ubun-ubun kepalanya mengepul uap putih! Sementara itu, biarpun Nurseta juga sudah bermandi keringat, namun dia masih tegar dan napasnya masih biasa.

   Akhirnya Sang Wiku menyadari bahwa dia harus tunduk terhadap ketuaannya sendiri dan dia maklum bahwa kalau adu tenaga sakti itu dilanjutkan, akhirnya dia akan celaka. Mengadu tenaga sakti jarak jauh seperti ini jauh lebih menguras tenaga daripada adu tenaga melalui kaki tangan.

   Padahal Nurseta hanya menangkis saja, tidak pernah balas menyerang. Hal ini sudah menunjukkan bahwa pemuda Itu tidak mempunyai niat untuk bermusuhan. Akan tetapi walaupun hanya menangkis, tetap saja mereka berdua menggunakan tenaga yang sama besarnya dan sama melelahkan. Tiba-tiba Wiku Ktut Bumi Setra menghentikan Ilmu sihirnya dan naga hitam itu melayang ke tangannya dan berubah menjadi tongkat ular hitam lagi. Kabut hitam dan angin pun berhenti dan cuaca terang kembali.

   Wiku Ktut Bumi Setra menggunakan kain jubahnya untuk menghapus keringat dari muka dan lehernya, mengatur pernapasannya, lalu berkata.

   "Nurseta, engkau memang hebat. Akan tetapi aku belum kalah dan kalau sekali ini engkau mampu menandingi aji pamungkasku, barulah aku mengaku kalah!"

   Nurseta diam saja karena dia maklum bahwa mencegah atau membujuk kakek yang keras hati dan suka bertanding ini akan percuma saja. Dia hanya siap untuk melayani lawan yang amat tangguh ini, menunggu dan waspada memperhatikan apa yang hendak dilakukan lawan yang belum mau mengaku kalah itu.

   Dengan tenang, Wiku Ktut Bumi Setra mengeluarkan tiga batang dupa lidi, lalu dia mengambil sehelai daun kering dan memukulkan ujung tongkatnya pada batu. Bunga api berpijar menyambar daun kering yang dia dekatkan sehingga daun itu terbakar dan dia pun membakar ujung tiga batang dupa lidi itu sehingga membara. Tiga batang dupa lidi membara itu lalu dia selipkan di atas kain putih pengikat kepalanya. Setelah itu,Wiku Ktut Bumi Setra lalu bersedakap (melipat kedua lengan depan dada), memejamkan mata dan mulutnya membaca mantra berkepanjangan.

   "Huh, dia akan mengeluarkan aji pamungkasnya yang mengerikan, yaitu Aji Malih Leyak."

   Kata Nini Bumigarbo kepada Niken Harni.

   Gadis ini pernah mendengar bahwa di Bali-dwipa terkenal dengan aji yang ada hubungannya dengan pemujaan Sang Batari Durga, atau pemujaan Setan ini, yang kabarnya amat dahsyat dan jahat. Maka ia memandang dengan penuh perhatian dan merasa ngeri melihat betapa kepala Wiku Ktut Bumi Setra mulai bergerak-gerak sehingga tiga batang dupa lilin itu bergoyang-goyang dan asapnya membuat bentuk yang aneh. Juga bau asap dupa lidi itu makin lama semakin memuakkan. Kalau tadinya berbau wangi yang aneh, kini makin lama berubah menjadi bau busuk, seperti bau bangkai.

   Tiba-tiba seluruh tubuh Wiku Ktut Bumi Setra menggigil dan dari tubuhnya mengepul uap kehitaman tipis yang mengeluarkan bau apak dan busuk. Tubuh yang menggigil itu menjadi semakin besar, hampir dua kali lipat besarnya dan tampaklah wujud yang mengerikan sekali. Mahluk yang tinggi besarnya dua kali manusia dewasa itu bukan manusia lagi, melainkan iblis yang menyeramkan. Rambutnya gimbal dan mencuat ke sana-sini, matanya lebar dan melotot seperti akan melompat keluar biji matanya yang besar-besar, alisnya tebal dan kaku seperti juga rambutnya, mirip kawat. Lengannya berbulu dan panjang, dan tangannya berkuku panjang. Hidungnya besar merekah dan mulutnya yang paling menakutkan. Mulut itu ternganga, dengan gigi besar-besar dan ada taring di kanan kiri, lidahnya terjulur keluar, panjang dan merah dan dari dalam mulutnya tampak api keluar masuk, seolah dia bernapaskan api! Mahluk itulah yang dikenal sebagai Leyak atau Iblis yang dipuja mereka yang meninggalkan jalan kebenaran. Leyak itu terselimuti uap kehitaman yang tipis dan terdengarlah suara gemuruh seperti suara ratusan mulut setan berteriak-teriak di belakang Leyak ini. Wujud yang mengerikan itu kini melangkah maju menghampiri Nurseta sambil mengeluarkan suara gerengan dahsyat.

   Niken Harni yang amat pemberani itu pun kini mengkirik (menggeliang-geliut) saking ngerinya melihat mahluk yang menyeramkan itu. Apalagi tercium bau yang hampir tak tertahankan saking busuknya. Mahluk itu sudah merupakan wujud lain dari Wiku Ktut Bumi Setra. Sukar untuk percaya melihat Sang Wiku dapat berubah seperti mahluk itu, akan tetapi bukti bahwa di atas pengikat rambut mahluk itu terdapat tiga batang dupa lidi yang masih membara dan mengeluarkan asap putih, dan kedua pergelangan tangan mahluk itu juga memakai gelang akar bahar hitam seperti yang dipakai Wiku Ktut Bumi Setra, maka orang baru akan percaya bahwa Leyak itu memang malihan (pergantian rupa) Sang Wiku.

   Nurseta juga terkejut dan sesaat jantungnya berdebar tegang menghadapi mahluk yang selain menyeramkan, juga mengeluarkan wibawa yang teramat kuat. Dia pernah mendengar tentang Aji Malih Leyak ini, akan tetapi baru sekarang dia berhadapan dengan mahluk itu. Akan tetapi dia segera dapat memulihkan ketenangannya dan karena dia tahu betapa kuatnya mahluk ini, dia lalu mencabut Keris Pusaka Kolomisani pemberian Ki Patih Narotama. Dengan keris pusaka di tangan kanan, dia menanti dengan tenang namun waspada.

   Dengan mengeluarkan gerengan yang dahsyat, Leyak itu mulai menyerang ke depan, kedua tangannya yang berkuku panjang itu menyambar yang kanan ke arah kepala Nurseta, yang kiri ke arah lehernya. Tangan-tangan besar berkuku panjang itu pasti akan meremukkan kepala dan mematahkan batang leher. Namun Nurseta yang sudah siap siaga itu dengan cepat sekali sudah mengelak ke belakang, lalu dengan loncatan memutar kaki kirinya mencuat dan menendang ke arah dada mahluk itu.

   "Dess...!"

   Kaki itu tepat menendang perut, dan Leyak itu hanya mundur dua langkah. Nurseta menyusul dengan tusukan kerisnya, juga ke arah perut yang besar itu.

   "Tukk!"

   Tusukan itu tepat mengenai perut Leyak yang gerakannya kaku dan lamban itu, akan tetapi tusukan itu yang mengenai perut seolah menusuk air saja, sama sekali tidak dirasakan Leyak itu! Bahkan tangan kiri Leyak itu menyambar dari samping. Nurseta tidak sempat mengelak hanya miringkan tubuh sehingga bukan dadanya yang terpukul melainkan pundaknya. Dia terhuyung, merasa seperti dipukul palu godam yang amat kuat!

   Terjadilah perkelahian yang seru. Leyak itu lamban dan kaku, namun tubuhnya kebal. Terkadang keris dan tamparan tangan kiri Nurseta seperti mengenai air dan tembus tanpa melukai, akan tetapi terkadang seperti bertemu baja yang keras sehingga tangan atau kerisnya terpental! Nurseta memang jauh lebih cepat gerakannya, akan tetapi karena semua serangannya gagal, dan sebaliknya kalau sampai pukulan tangan Leyak itu mengenainya, dapat mencelakakannya, maka dia berhati-hati sekali. Leyak itu memiliki tenaga yang luar biasa sekali. Juga api yang menyambar-nyambar dari mulutnya itu bukan api biasa, dan lebih panas daripada api biasa.

   Nurseta mulai terdesak dan Leyak itu yang juga selalu gagal dengan serangannya karena gerakan Nurseta terlalu cepat baginya, kini berusaha untuk menangkap tubuh lawan yang hanya setengah besar dan tinggi tubuhnya itu. Nurseta mulai maklum bahwa kalau dia terus melawan dengan mengandalkan kecepatannya, tanpa mampu membalas karena semua serangannya tidak terasa oleh Leyak itu, dia akan terancam bahaya. Sekali saja tubuhnya dapat diringkus tangan-tangan berkuku panjang dan kokoh kuat itu, berarti dia kalah, bahkan mungkin saja dia akan mengalami cedera berat, atau bahkan tewas. Setelah mempertahankan diri beberapa lamanya, akhirnya Nurseta mengambil keputusan untuk mempergunakan aji pamungkas yang sebetulnya tidak boleh sembarangan dia pergunakan. Sekali ini karena terpaksa, maka dia mengambil keputusan untuk mempergunakannya. Dia melompat cepat ke belakang, bersedakap, mencurahkan segala perhatian dan kekuatan batinnya, membanting kaki tiga kali ke atas tanah dan tiba-tiba mengepul uap putih dan tubuhnya berubah menjadi besar sekali, sebesar Pohon Beringin, jauh lebih besar beberapa kali lipat dibandingkan besar tubuh Leyakl

   "Hemm, bocah ini bahkan menguasai Aji Triwikrama! Bukan main!"

   Kata Nini Bumigarbo kagum.

   Perwujudan raksasa itu berdiri tegak, kedua kakinya terpentang lebar, kedua tangan bertolak pinggang, dari mulutnya terdengar gerengan yang menggetar seluruh permukaan gunung, bahkan terasa oleh para penduduk didusun-dusun yang berada di lereng bawah. Leyak itu kalah wibawa. Dia gemetar dan terhuyung ke belakang sampai belasan langkah. Tubuhnya menyusut, semakin kecil dan akhirnya berubah kembali menjadi Wiku Ktut Bumi Setra. Hal ini tidaklah mengherankan. Aji Malih Leyak ini merupakan aji yang berasal dari Bathari Durga yang menjadi Ratu Iblis, adapun Aji Triwikrama berasal dari Sang Hyang Wisnu! Begitu Leyak kembali menjadi Wiku Ktut Bumi Setra.

   "raksasa"

   Itu pun menyusut dan berubah kembali menjadi Nurseta. Wiku Ktut Bumi Setra berdiri dengan wajah agak pucat, lalu tiba-tiba wajahnya berubah kemerahan.

   "Gayatri, aku pamit!"

   Dan tubuhnya sudah berkelebat pergi dari situ.

   "Paman Wiku, maafkan saya!"

   Nurseta berkata, menyesal bahwa dia telah mengalahkan datuk itu sehingga membuat hatinya tersinggung.

   "Nurseta, sampaikan salamku kepada Bhagawan Ekadenta!"

   Terdengar jawaban dari bayangan Wiku Ktut Bumi Setra yang sudah menuruni puncak dengan cepatnya.

   Setelah sisa ketegangan pertandingan tadi menghilang dan suasana menjadi tenang dan sunyi kembali, Nurseta menghampiri Nini Bumigarbo dan memberi hormat dengan sembah.

   "Mohon maaf apabila pertandingan tadi mengganggu ketenteraman tempat tinggal Bibi di sini, akan tetapi saya dipaksa membela diri oleh Paman Wiku Ktut Bumi Setra tadi."

   "Hemm, Nurseta. Kalau tidak ingat bahwa engkau pernah menjadi murid Bhagawan Ekadanta, aku akan senang sekali mengadu kesaktian denganmu! Sekarang katakan, apa kehendakmu?"

   "Maaf, Bibi. Saya mohon sukalah kiranya Andika membebaskan Niken Harni yang Andika tahan di sini agar saya dapat mengantarkannya pulang ke rumah orang tuanya."

   "Huh, ucapanmu lancang, Nurseta! Siapa yang menahan Niken Harni di sini? Tanyakan saja sendiri padanya!"

   Setelah berkata demikian, Nini Bumigarbo bersila menegakkan tubuh dan memejamkan kedua matanya.

   Nurseta menghampiri Niken Harni yang masih duduk diatas batu. Gadis itu masih terkagum-kagum menonton pertandingan yang hebat tadi. Ia kagum kepada Nurseta yang mampu mengalahkan Wiku Ktut Bumi Setra yang demikian sakti mandraguna. Kini keinginannya untuk menimba ilmu dari Nini Bumigarbo semakin kuat. Ketika Nurseta menghampirinya, ia menatap dengan sinar mata tajam.

   "Nimas Ken Harni, Andika ditunggu-tunggu orang tua dan seluruh keluarga Andika yang merasa cemas memikirkan keselamatan Andika. Marilah Andika kuantar pulang, Nimas."

   "Apakah Andika diutus orang tuaku untuk mengajak aku pulang?"

   Tanya Niken Harni.

   "Tidak, Nimas. Aku hanya membantu Puspa Dewi untuk mencarimu di Wengker dan di sana aku mendengar bahwa Andika dibawa pergi Bibi Nini Bumigarbo, maka aku menyusul ke sini dan mengajak Andika pulang."

   "Hemm, kalau begitu, Andika tidak perlu mencampuri urusanku. Aku memang ingin ikut Bibi Nini Bumigarbo dan menjadi muridnya. Andika atau siapa saja tidak boleh menghalangi kehendakku ini. Pergilah dan jangan ganggu kami di sini! Kalau bertemu keluargaku, katakan bahwa kalau sudah selesai belajar, aku akan pulang dan tidak perlu mencari aku!"

   Nurseta tertegun. Sama sekali. tidak disangkanya bahwa gadis ini memang ikut Nini Bumigarbo dengan suka rela karena ingin menjadi murid nenek berpakaian serba hitam itu! Dia merasa kecelik. Kalau mengetahui bahwa Niken Harni memang ingin mengikuti nenek itu, tentu dia tidak akan bersusah payah mencarinya. Dan dia pun tahu bahwa gadis ini benar-benar ingin menjadi murid nenek itu. Sekiranya gadis itu dipegaruhi sihir atau ada daya yang tidak wajar, pasti dia dapat merasakannya sekarang. Dia merasa malu sendiri.

   "Kalau begitu, terserah Andika."

   Kata Nurseta yang segera menghampiri Nini Bumigarbo, memberi hormat dan berkata.

   "Bibi Nini Bumigarbo, saya mohon maaf atas persangkaan saya tadi bahwa Bibi yang membawa pergi dan menawan Niken Harni. Sekarang saya mohon pamit meninggalkan tempat ini."

   Akan tetapi Nini Bumigarbo tidak menjawab, tetap duduk bersila dalam keadaan samadhi. Setelah menanti beberapa lamanya nenek berpakaian serba hitam itu tetap tidak bergerak dan tidak menjawab, Nurseta lalu bangkit berdiri dan pergi meninggalkan puncak itu dengan cepat. Bayangannya diikuti pandang mata Niken Harni.

   Pagi itu Kerajaan Wura-wuri gempar. Pasukan besar Kahuripan ketika memasuki tapal batas daerah Wura-wuri, tidak menemui hambatan. Rakyat Wura-wuri ketakutan karena biasanya, apabila terjadi perang, para perajurit musuh selalu menimbulkan kekacauan dengan perbuatan-perbuatan yang kejam dan biadab. Merampok, membunuh, memperkosa. Semua nafsu setan mereka diumbar, sebagian memang karena didorong nafsu hendak memuaskan diri, sebagian lagi dilakukan sebagai siasat mengacaukan pertahanan musuh.

   Akan tetapi sekali ini, pasukan Kahuripan sama sekali tidak mengganggu rakyat daerah Wura-wuri. Tidak ada penganiayaan, tidak ada pembunuhan, pembakaran rumah, pencurian maupun gangguan wanita. Pasukan besar itu lewat saja melalui dusun-dusun tanpa mengganggu sehingga berita ini segera tersiar dan akibatnya, di sepanjang perjalanan, pasukan Kahuripan bahkan disambut rakyat dengan suguhan dawegan (kelapa muda), pisang, dan buah-buahan lain.

   Ibu kota Wura-wuri gempar ketika para pamong praja mendengar bahwa pasukan besar Kahuripan sudah mulai memasuki daerah mereka dan sedang menuju ke kota raja, dipelopori seribu orang perajurit yang dipimpin oleh Puspa Dewi.

   Pada waktu itu, dua orang kakak seperguruan Nyi Dewi Durgakumala yang diundang oleh permaisuri itu telah tiba di kota raja Wura-wuri. Mereka adalah dua orang saudara kembar berusia sekitar lima puluh lima tahun. Orang akan merasa heran dan bingung kalau berhadapan dengan mereka berdua. Menak Gambir Anom dan Menak Gambir Sawit yang kembar ini serupa benar, baik wajah mereka yang kurus tubuh mereka yang tinggi kurus sampai bentuk rambut dan pakaian mereka. Sebagai kakak-kakak seperguruan Nyi Dewi Durgakumala, dapat dibayangkan betapa saktinya dua orang saudara kembar ini. Mereka merupakan dua di antara para datuk yang terkenal di daerah Blambangan. Senjata ruyung (penggada) merupakan senjata andalan mereka, dinamakan Kyai Rujak Polo! Di samping ilmu silat mereka yang tangguh, kedua orang saudara kembar ini pun memiliki ilmu sihir yang ampuh.

   Mendengar berita bahwa pasukan Kahuripan sudah dating menuju kota Kadipaten Wura-wuri, Adipati Bhismaprabhawa bersama permaisurinya, Nyi Dewi Durgakumala, lalu membuat persiapan mengatur barisan untuk menyambut pasukan musuh. Kedua orang saudara kembar, Menak Gambir Anom dan Menak Gambir Sawit, diangkat menjadi senopati yang akan menghadapi para pimpinan pasukan Kahuripan yang sakti, dan mereka berdua itu dibantu oleh Ki Gandarwo dan Cekel Aksomolo yang juga sudah berada di Wura-wuri, diundang oleh adik seperguruannya, Ki Gandarwo, untuk membantu Wura-wuri.

   Sisa pasukan Wura-wuri yang dapat lolos ketika mereka menyerbu Kahuripan, dikerahkan. Namun diam-diam semangat para perajurit Ini sudah menguncup, jerih menghadapi pasukan Kahuripan yang tangguh dan dipimpin orang-orang sakti mandraguna. Ketika menyerbu ke Kahuripan, mereka bergabung dengan tiga kerajaan lain, namun masih kalah. Apalagi sekarang mereka harus menghadapi pasukan Kahuripan sendirian saja! Para perwiranya"

   Saja sudah patah semangat. Akan tetapi, Adipati Bhismaprabhawa dan Nyi Dewi Durgakumala mengadakan peraturan keras. Kalau ada perajurit melarikan diri dan tidak menyambut serbuan musuh, mereka akan dibunuh sendiri oleh pasukan khusus yang berada di belakang!

   Karena pasukan Wura-wuri sudah kehilangan banyak perajurit ketika menyerbu Kahuripan, maka Adipati Bhismaprabhawa tidak berani melakukan penghadangan jauh dari kota raja, melainkan mengerahkan seluruh pasukan untuk mempertahankan kota raja Kadipaten Wura-wuri.

   Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi setelah matahari naik cukup tinggi, tibalah saat yang dinanti-nantikan dengan penuh ketegangan itu. Pasukan Kahuripan tiba di luar tembok benteng kota raja Wura-wuri, dipelopori seribu orang perajurit. Pasukan pelopor itu dipimpin oleh Puspa Dewi yang menunggang seekor kuda pancal panggung (keempat ujung kakinya berwarna putih), dan tampak gagah sekali. Kedua pihak telah siap dan masing-masing pasukan sudah saling berhadapan, menanti perintah untuk mulai menyerbu.

   Pasukan Wura-wuri berbaris di luar pintu gerbang. Tiba-tiba dari barisan Wura-wuri muncul Nyi Dewi Durgakumala. Wanita setengah tua masih cantik ini mengenakan pakaian gemerlapan. Permaisuri itu kini mengenakan pakaian perang sebagai seorang senopati wanita yang cantik dan gagah. Ia mengangkat tangan tanda bahwa ia ingin bicara. Kemudian terdengar suaranya yang lantang.

   "Hai, orang-orang Kahuripan, dengarlah! Aku, Permaisuri Dewi Durgakumala, sebagai senopati perang mewakili Sang Adipati Bhismaprabhawa, minta agar Ki Patih Narotama maju kesini karena kami ingin bicara!"

   Ki Patih Narotama yang berada di belakang Pasukan Pelopor pimpinan Puspa Dewi, menggeprak kudanya dan maju sehingga berada di depan pasukan itu.

   "Dewi Durgakumala, apalagi yang hendak dibicarakan? Kami minta agar Wura-wuri menyerah agar kami tidak perlu memukul dengan kekerasan yang mengakibatkan tewasnya banyak perajurit Wura-wuri!"

   Kata Narotama, suaranya menggelegar terdengar oleh seluruh pasukan Wura-wuri.

   "Heh, Ki Patih Narotama, kalian tidak dapat menggertak kami! Ketahuilah bahwa puteramu Joko Pekik Satyabudhi telah berada di tangan kami! Kalau Andika tetap hendak menyerbu kami, sebelum ada seorang pun perajurit kami tewas, lebih dulu puteramu akan kami bunuh! Maka, kalau Andika sayang kepada puteramu, tariklah mundur pasukan kalian dan jangan memaksa kami untuk membunuh anak kecil itu!"

   Mendengar ini, Puspa Dewi mengerutkan alisnya.

   "Orang Wura-wuri pengecut! Curang dan licik menculik anak kecil yang tidak tahu apa-apa dijadikan sandera!"

   Ia membentak marah.

   Akan tetapi Ki Patih Narotama memajukan kudanya.

   "Nyi Dewi Durgakumala! Perlihatkan dulu puteraku Joko Pekik Satyabudhi, baru kami percaya omonganmu dan akan mempertimbangkan permintaanmu!"

   "Tidak perlu kami perlihatkan! Pendeknya, Joko Pekik Satyabudhi berada di tangan kami dan kalau pasukanmu maju, kami akan lebih dulu membunuh anak itu!"

   Teriak Nyi Dewi Durgakumala.

   Ki Patih Narotama masih ragu. Dia melihat bahwa putranya itu berada di tangan Lasmini di Parang Siluman. Bagaimana mungkin berada di Wura-wuri? Selagi dia meragu, tiba-tiba terdengar teriakan lantang.

   "Gusti Patih, jangan percaya omongannyal Ia bohong, putera Paduka tidak berada di Istana Wura-wuri!"

   Tiba-tiba dari atas tembok benteng Wura-wuri tampak bayangan orang berkelebat dan Nurseta telah melayang turun dan kini berada di dekat Ki Patih Narotama.

   "Nurseta...!!"

   Seruan ini keluar dari mulut Ki Patih Narotama dan Puspa Dewi.

   "Hamba sudah melakukan penyelidikan ke dalam istana dan memaksa para dayang istana dan memang putera Paduka tidak berada di sana. Nyi Dewi Durgakumala berbohong!"

   Ki Patih Narotama melompat turun dari atas punggung kudanya.

   "Nyi Dewi Durgakumala, atas nama Sang Prabu Erlangga, Raja Kahuripan, kami perintahkan kalian para pemimpin Wura-wuri untuk menyerah agar kami tidak perlu menggunakan kekerasan mengorbankan nyawa banyak perajurit!".

   Tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak dan muncullah dua orang yang serupa segala-galanya, wajahnya, bentuk tubuhnya, pakaiannya! Mereka adalah datuk kembar dari Blambangan itu.

   "Ha-ha-ha, inikah yang bernama Ki Patih Narotama yang kabarnya sombong sekali, dari orang gunung nang-nung, orang desa klutuk di Bali-dwipa, sekarang mendapat kedudukan patih menjadi besar kepala?"

   Kata Menak Gambir Anom.

   "Heh-eh! Ingin tahu aku sampai di mana kemampuannya. Apakah kesaktiannya sebesar nama dan kesombongannya? Hei, Narotama, sebelum pasukan kita saling bertempur, beranikah kau melawan kami, Menak Gambir Anom dan Menak Gambir Sawit, datuk kembar dari Blambangan?"

   Kata Menak Gambir Sawit.

   Ki Patih Narotama pernah mendengar nama besar Datuk Kembar Blambangan ini dan maklum bahwa dia berhadapan dengan dua orang yang sakti mandraguna. Akan tetapi tentu saja dia tidak gentar sedikit pun. Apalagi ketika itu, dia menjadi pemimpin barisan Kahuripan. Pantang untuk takut atau mundur.

   "Majulah Pantang bagi Narotama menghindari tantangan musuh dalam perang!"

   Katanya dengan tegas namun tetap tenang dan waspada.

   Dua datuk kembar itu lalu menggerak-gerakkan kedua lengan bersilang dan kedua lengannya itu menggetar dan perlahan-lahan kedua lengan mereka berubah menghitam! Mereka mulai mengerahkan Aji Hasta Langking (Tangan Hitam) dan setelah kedua lengan tangan itu menghitam, maka pukulan atau tamparan tangan itu mengandung bisa yang amat ampuh dan jahat. Kalau pukulan tangan itu mengenai badan lawan, maka bagian badan yang terpukul itu dapat menjadi hitam dan membusuk! Setelah kedua lengan mereka menjadi hitam legam, keduanya lalu menyerang sambil berteriak nyaring.

   "Hooooohhh!"

   "Haaaaahhh!"

   Tangan-tangan hitam itu menyambar-nyambar secara bertubi-tubi ke arah tubuh Narotama. Akan tetapi Narotama menggunakan kecepatan gerakan tubuhnya, menghindarkan diri dengan elakan-elakan. Terkadang dia menangkis dengan lengannya yang kebal terhadap segala hawa beracun, dan membalas serangan kedua orang pengeroyoknya. Terjadilah pertempuran yang amat seru. Kalau dua orang itu maju satu demi satu, mereka bukanlah lawan Ki Patih Narotama. Akan tetapi kini mereka maju berdua dan tentu saja mereka menjadi kuat sekali sehingga dapat mengimbangi kesaktian Ki Patih Narotama.

   Melihat dua orang datuk kembar itu sudah bertanding melawan Ki Patih Narotama, dan patih itu dikeroyokdua, Nurseta tidak merasa senang. Sungguh curang orang-orang Wura-wuri, bertanding dengan cara mengeroyok.

   Seperti telah diketahui, Nurseta meninggalkan Puncak Gunung Kelud setelah mendengar pengakuan Niken Harni bahwa gadis itu memang ingin menjadi murid Nini Bumigarbo dan bukannya menjadi tawanan nenek itu. Di tengah perjalanan dia mendengar akan perang yang terjadi ketika Empat Kerajaan menyerbu Kahuripan dan dipukul mundur oleh Pasukan Kahuripan. Dia mendengar pula bahwa sebuah pusaka Keraton Kahuripan dicuri musuh, bahkan putera Ki Patih Narotama juga diculik

   pihak musuh. Mendengar ini Nurseta menjadi marah sekali. Alangkah curangnya mereka yang memusuhi Kahuripan.

   Karena di antara Empat Kerajaan musuh itu yang terdekat adalah Wura-wuri, maka dia langsung pergi ke Wura-wuri. Di sini dia melakukan penyelidikan sampai berhasil menyusup ke dalam istana untuk mencari putera Ki Patih Narotama. Akan tetapi dia tidak dapat menemukan anak itu dan menurut keterangan para dayang keraton anak itu memang tidak berada di istana Wura-wuri. Kebetulan sekali pada saat itu, pasukan Kahuripan datang. Nurseta menyaksikan kesibukan dan kegemparan dalam kota raja, dan ketika dia menyelinap dan membaur dengan para perajurit, dia mendengar percakapan antara Ki Patih Narotama dengan Nyi Dewi Durgakumala, maka dia langsung melompat keluar dan menggabungkan diri dengan Pasukan Kahuripan.

   Kini melihat Ki Patih Narotama dikeroyok dua orang yang memiliki kepandaian tinggi, Nurseta sudah maju dengan niat membantu Ki Patih. Akan tetapi tiba-tiba dari pihak musuh muncul dua orang menghadangnya. Mereka ini bukan lain adalah Ki Gandarwo dan kakak seperguruannya, Cekel Aksomolo yang bentuk tubuh dan mukanya seperti Bhagawan Durna!

   "Rrrik-tik-tik-tikkk....!"

   Cekel Aksomolo menggerakkan tasbehnya sehingga terdengar bunyi nyaring berkeritikan yang dapat menggetarkan jantung lawan. Ki Gandarwo juga sudah mencabut senjata andalannya, yaitu sebatang pedang. Mereka berdua, tanpa banyak cakap sudah menerjang dan menyerang Nurseta. Seperti biasa, pemuda ini hanya mengandalkan kaki tangannya saja untuk membela diri. Dengan gerak silat Baka Denta, didasari Aji Bayu Sakti, dia dapat dengan mudah menghindarkan hujan serangan dua orang itu dengan elakan atau terkadang dia menangkis dengan tangannya yang kebal dan berani menangkis senjata baja yang tajam sekalipun. Dia pun membalas dengan tamparan dan tendangan yang tidak kalah dahsyatnya dibandingkan serangan kedua orang pengeroyoknya.

   Sejak tadi Puspa Dewi hanya menonton saja. Ia tidak merasa khawatir melihat Ki Patih Narotama dan Nurseta masing-masing dikeroyok dua orang lawan yang tangguh. Ia yakin akan kemampuan dua orang itu. Kini ia melihat Nyi Dewi Durgakumala, wanita yang pernah menjadi gurunya merangkap ibu angkatnya itu. Juga permaisuri Wura-wuri itu memandang kepadanya dan bibir wanita yang masih cantik itu tersenyum mengejek.

   Puspa Dewi sudah mengenal bekas gurunya ini. Senyum seperti itu menandakan bahwa wanita itu marah sekali. Ia pernah melihat Nyi Durgakumala membunuh orang sambil mengembangkan senyum seperti itu! Ia melihat Nyi Dewi Durgakumala memberi isyarat kepada Adipati Bhismaprabhawa. Adipati yang bertubuh tinggi kurus itu mengangguk dan mencabut klewang (golok) bergagang emas, lalu bersama Nyi Dewi Durgakumala menghampiri Puspa Dewi.

   "Anak durhaka, murid tak mengenal budi!"

   Nyi Dewi Durgakumala memaki.

   "Tidak malu engkau membawa pedangku? Kembalikan pedang Candrasa Langking itu kepadaku!"

   Wajah Puspa Dewi menjadi merah mendengar ucapan bekas gurunya itu. Dia cepat mengambil pedang hitam berikut sarungnya dan menyerahkannya kepada Nyi Dewi Durgakumala.

   (Lanjut ke Jilid 20)

   Nurseta Satria Karang Tirta (seri ke 02 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 20

   "Dulu aku tidak minta, engkau sendiri yang memberikannya kepadaku. Sekarang engkau memintanya kembali. Mari, terimalah!"

   Dengan gerakan cepat Nyi Dewi Durgakumala merenggut pedang itu dari tangan Puspa Dewi, lalu sambil mencabut pedang itu ia berseru dengan suara mengandung kemarahan.

   "Puspa Dewi, bersiaplah untuk mampus, engkau bocah tak mengenal budi!"

   Pedang di tangannya berubah menjadi sinar hitam yang menyambar bagaikan kilat ke arah leher Puspa Dewi ketika Permaisuri Wura-wuri itu menyerang dengan ganas. Puspa Dewi yang sudah siap cepat menghindar. Pada saat itu, Adipati Bhisniaprabhawa juga menerjang dan membacokkan klewangnya ke arah pinggang dara itu.

   Kembali Puspa Dewi menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak. Bagaimanapun juga, Puspa Dewi tidak lupa bahwa dua orang ini pernah memperlakukannya dengan baik sekali, terutama Nyi Dewi Durgakumala. Mereka bahkan pernah mengangkatnya menjadi Sekar kedaton, diakui sebagai puteri mereka yang dihormati dan dimuliakan rakyat Kadipaten Wura-wuri. Maka sampai belasan jurus ia hanya menghindar saja. kemudian ia teringat bahwa ia merupakan seorang yang dipercaya oleh Ki Patih Narotama memimpin Pasukan Pelopor, maka ia pun paham bahwa kalau ia kini bertanding melawan Adipati Bhismaprabhawa dan Nyi Dewi Durgakumala, pertandingan itu bukan untuk urusan pribadi, melainkan masing-masing membela kerajaannya. Mulailah ia membalas, menggunakan Sang Cundrik Arum, yaitu sebatang keris mungil pemberian Sang Prabu Erlangga. Biarpun hanya kecil, namun Cundrik Arum merupakan sebuah pusaka Kahuripan yang ampuh.

   "Tranggg...!"

   Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Klewang besar yang menyambar itu ditangkis Puspa Dewi dengan cundriknya. Bunga api berpijar dan Adipati Bhismaprabhawa terkejut melihat betapa ujung klewang yang beradu dengan cundrik kecil tadi telah somplak! Saking kagetnya, Sang Adipati melangkah mundur dengan mata terbelalak. Melihat ini, Nyi Dewi Durgakumala kembali menyerang dengan hebatnya. Sinar pedang hitam menyambar ke arah kepala Puspa Dewi.

   "Cringggg...!"

   Pedang terpental ketika bertemu dengan cundrik yang menangkis dengan tenaga yang amat kuat. Setelah rnenerima gemblengan Sang Maha Resi Satyadharma selama satu tahun, kini kekuatan dan kepandaian Puspa Dewi sudah jauh melampaui kesaktian bekas gurunya itu.

   Suami isteri penguasa Kerajaan Wura-wuri itu mengeroyok Puspa Dewi. Mereka berdua amat membenci Puspa Dewi karena mereka yang telah mengangkat gadis itu menjadi Sekar Kedaton kini malah bertanding sebagai musuh dengan gadis itu. Terutama sekali Nyi Dewi Durgakumala. Ia amat benci kepada Puspa Dewi yang dulu sungguh disayangnya seperti anaknya sendiri. Wanita ini tidak pernah mempunyai anak dan ketika ia mengambil Puspa Dewi sebagai murid, ia merasa sayang sekali kepada murid yang wataknya keras seperti dirinya sendiri itu. Saking sayangnya, ia bukan saja menurunkan semua aji kesaktiannya kepada Puspa Dewi, bahkan mengangkatnya sebagai anak sendiri. Lebih dari itu, ia seringkali mengurungkan keinginannya yang ditentang oleh Puspa Dewi. Seperti ketika ia memberi syarat kepada Adipati Bhismaprabhawa untuk membunuh Dewi Gendari, isteri Adipati Bhismaprabhawa, sebelum ia menerima lamaran Sang Adipati itu. Akan tetapi Puspa Dewi melarangnya sehingga akhirnya Dewi Gendari tidak dibunuh, melainkan dipulangkan ke kampung halamannya dengan diberi bekal harta yang cukup banyak. Juga ketika beberapa kali Nyi Dewi Durgakumala menculik pemuda untuk dijadikan kekasihnya dan kemudian dibunuh, Puspa Dewi melarangnya dan ia pun kemudian membebaskan pemuda-pemuda itu, sungguhpun diam-diam ia melukai mereka dengan Aji Wisakenaka sehingga mereka akan tewas pula.

   

Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Maling Budiman Pedang Perak Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini