Nurseta Satria Karang Tirta 5
Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
"Wah, licik! Curang! Kalau aku berada di sana, tentu aku akan membantumu, Mbakayu Puspa Dewi!"
Teriak Niken Harni sambil bangkit berdiri dan mengepal kedua tangannya!
"Niken, biarkan Mbakayumu melanjutkan ceritanya."
Kata Prasetyo dan Niken Harni duduk kembali.
"Pada saat yang gawat karena saya meragu harus berbuat apa, dan Ibu berteriak agar aku tidak menyerah, tiba-tiba muncul seorang kakek yang sakti mandraguna dan dia membuat lima orang Wura-wuri itu ketakutan dan melarikan diri. Kakek itu lalu pergi begitu saja. Saya merasa kagum dan penasaran. Saya kejar dia dan akhirnya setelah kami berkejaran semalam suntuk, kakek itu mengalah dan berhenti. Beliau lalu memberi pelajaran kepada saya selama tiga bulan."
"Mbakayu Puspa Dewi, siapakah Kakek itu? Kalau dia begitu sakti mandraguna, saya pun ingin menjadi muridnya!"
"Nama beliau adalah Sang Maha Resi Satyadharma dari Gunung Agung di Bali-dwipa."
"Jagad Dewa Bathara....!"
Tumenggung Jayatanu berseru dengan kagum dan heran.
"Maha Resi Satyadarma? Beliau adalah guru Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama!"
"Benar, Eyang. Beliau juga memberitahu saya akan hal itu."
"Waduh! Hebat engkau, Mbakayu! Engkau menjadi saudara seperguruan Gusti Sinuhun dan Gusti Patih!"
"Ah, mana bisa dikatakan begitu, Niken. Kedua Beliau itu adalah murid-murid Eyang Maha Resi Satyadharma selama bertahun-tahun, sedangkan aku hanya mendapat polesan selama tiga bulan saja."
"Niken, jangan memotong cerita Mbakayumul"
Nyai Tumenggung menegur cucunya.
"Baik... baik...!"
Niken cemberut manja.
"Nah, silakan melanjutkan ceritamu, Mbakayu Dewi."
"Setelah membimbing saya selama tiga bulan, Eyang Resi lalu berpisah dari saya dan saya langsung pergi ke kota raja untuk mencari Ayah dan menceritakan segala hal mengenai Ibu. Sungguh menyesal sekali kedatangan saya menimbulkan kekacauan, Eyang. Mohon diampuni kelancangan saya."
Tumenggung Jayatanu, isterinya, juga Prasetyo dan Dyah Mularsih, merasa terharu mendengar ucapan terakhir Puspa Dewi itu.
"Ah, itu hanya kesalahpaharhan di pihak kami, Puspa Dewi."
Kata Tumenggung Jayatanu.
"Niken Harni, engkau mendengar semua cerita Mbakayumu tadi? Nah, contohlah sikap dan sepak terjang Mbakayumu itu, jangan sekali-kali bersikap tinggi hati dan manja."
Niken cemberut.
"Aih, Ibu...! Siapa sih yang tinggi hati dan manja?"
"Jadi sekarang Diajeng Lasmi masih berada di Karang Tirta?"
"Benar, Ayah. Di rumah Ki Lurah Pujosaputro."
"Kalau begitu, kita berangkat ke sana, sekarang juga untuk menjemputnya!"
"Aku ikut, Ayah!"
Kata Niken Harni.
"Sebaiknya kita semua pergi ke sana beramai-ramai menjemput Mbakayu Lasmi. Dengan begitu ia tentu maklum akan maksud baik kita dan mau ikut ke sini."
Kata Dyah Mularsih.
"Isterimu benar, Prasetyo. Akan tetapi sebelum kita pergi ke Karang Tirta, aku ingin lebih dulu menghadapkan Puspa Dewi kepada Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama karena memang aku pernah ditugaskan untuk mencari Puspa Dewi dan membawanya menghadap ke istana. Puspa Dewi, engkau tidak keberatan untuk menghadap kedua Beliau itu, bukan?"
"Tentu saja tidak, Eyang. Kalau memang Gusti Sinuhun dan Gusti Patih memanggil saya, saya akan menghadap dengan senang hati."
Puspa Dewi diterima oleh keluarga Tumenggung Jayatanu sebagai keluarga sendiri sehingga ia merasa senang. Apalagi kalau membayangkan bahwa ibunya akan diterima pula, bersatu dengan ayahnya, hatinya merasa gembira sekali. Setelah tinggal semalam di gedung tumenggungan itu, pada keesokan harinya Tumenggung Jayatanu mengajak Puspa Dewi untuk menghadap Ki Patih Narotama di kepatihan. Kebetulan sekali Ki Patih berada di rumah sehingga mereka dapat diterima langsung. Ki Patih Narotama menerima mereka di ruangan depan dan wajahnya berseri ketika dia mengenal siapa yang datang bersama Tumenggung Jayatanu.
"Ah, kiranya Paman Tumenggung Jayatanu yang datang. Dan ini... bukankah Puspa Dewi...? Silakan duduk, mari silakan duduk di sini."
Ki Patih menerima sembah mereka dan mempersilakan duduk di atas kursi, berhadapan dengan dia.
Ki Patih Narotama memang bersikap lembut dan ramah kepada para pamong praja yang menjadi bawahannya. Dia tidak mau kalau dia dihormati secara berlebihan seperti seorang raja dan selalu menerima para bawahannya dengan sama-sama duduk di atas kursi.
"Paman Tumenggung, saya merasa gembira sekali Paman datang membawa Puspa Dewi."
"Sesungguhnya, Gusti Patih, saya juga merasa berbahagia sekali dapat bertemu dengan Cucu saya ini dan membawanya ke hadapan Paduka."
"Cucu? Apakah Puspa Dewi ini cucumu, Paman?"
"Benar, Gusti, ia adalah Cucu saya, maksud saya Cucu tiri, karena dia adalah anak kandung mantu saya Senopati Yudajaya dari isteri yang pertama."
"Hemm, benarkah ini, Puspa Dewi? Setahuku Andika adalah murid Nyi Durgakumala, bahkan kemudian Andika menjadi Sekar Kedaton Wura-wuri ketika Gurumu yang mengangkatmu sebagai anak Itu menjadi permaisuri wura wuri! Bagaimanakah sebetulnya semua ini? Coba jelaskan agar aku tidak menjadi ragu dan bingung."
Puspa Dewi menyembah, la pernah bertemu dengan Ki Patih Narotama ini. Bahkan ketika itu, ia mencari Ki Patih Narotama untuk membunuhnya atas perintah gurunya, Nyi Dewi Durgakumala yang mendendam kepada patih itu. Akan tetapi, selain ia tidak mampu menandingi Ki Patih Narotama yang sakti mandraguna, juga sebaliknya patih itu memberi wejangan-wejangan yang menyadarkan pikiran dan membuka mata batinnya bahwa gurunya adalah seorang yang amat sesat. Pertemuannya dengan Nurseta, dan terutama dengan Ki Patih Narotama inilah yang membuat ia sadar dan mendorongnya untuk membela Kahuripan dan menentang persekutuan pemberontak yang berusaha menggulingkan Sang Prabu Erlangga dari tahta. Maka, gadis ini amat menghormati Ki Patih Narotama dan sebelum menjawab pertanyaan tadi, ia lebih dulu menyembah dengan hormat.
"Memang riwayat hamba agak ruwet, Gusti. Hamba sendiri baru saja mengetahui siapa Ayah hamba dan bahwa Eyang Tumenggung ini adalah Eyang hamba. Ketika hamba masih kecil, Ibu hamba berpisah dari Ayah hamba dan tinggal di dusun Karang Tirta."
"Hemm, sekarang aku ingat. Ketika aku melakukan penyelidikan ke Karang Tirta, aku mendengar bahwa Ki Suramenggala mempunyai dua orang anak yang digdaya, puteranya sendiri adalah Si Linggajaya yang jahat itu dan puteri tirinya adalah Puspa Dewi. Kemudian setelah aku mengusir Ki Suramenggala, aku melihat Nyi Lasmi yang tidak mau ikut dan menangis, menceritakan bahwa ia terpaksa menjadi selir Ki Suramenggala yang hidup sewenang-wenang sebagai lurah di Karang Tirta. Nyi Lasmi itukah Ibumu?"
"Benar, Gusti. Hamba diaku sebagai anak oleh guru hamba, Nyi Dewi Durgarkumala dan setelah guru hamba menjadi permaisuri Kerajaan Wura-wuri hamba menjadi Sekar Keraton. Maka hamba tidak dapat menolak ketika hamba diutus menjadi wakil Wura-wuri untuk bergabung dengan kadipaten lain yang berusaha untuk menjatuhkan Sang Prabu Erlangga dari tahta. Akan tetapi setelah melihat kenyataan bahwa Kahuripan berada di pihak benar dan para kadipaten yang bersekutu dengan pemberontak Pangeran Hendratama adalah pihak yang sesat, hamba mengambil keputusan untuk berbalik membela Kahuripan dan menentang persekutuan itu."
"Ya, untuk itu Sang Prabu Erlangga dan aku merasa gembira dan berterima kasih kepadamu, Puspa Dewi. Maka para senopati termasuk Paman Tumenggung Jayatanu dipesan agar mencarimu dan kalau bertemu denganmu mengajak engkau datang menghadap. Lanjutkan ceritamu."
"Setelah perang usai, hamba kembali ke Karang Tirta dan mendengar bahwa Ibu hamba telah dapat terbebas dari Ki Suramenggala, hamba merasa lega karena sesungguhnya hamba juga tidak suka mempunyai Ayah tiri seperti Ki Suramenggala yang kejam dan jahat. Ketika itu, Ibu hamba berterus terang kepada hamba bahwa Ayah kandung hamba sesungguhnya belum mati seperti yang ia ceritakan sebelumnya. Setelah ia menceritakan tentang Ayah kandung hamba, hamba lalu mencarinya ke kota raja dan akhirnya hamba bertemu dengan Ayah kandung hamba, juga dengan Eyang Tumenggung Jayatanu dan semua keluarganya. Nah, demikianlah Gusti Patih dan atas kehendak Eyang Tumenggung, sekarang hamba dibawa menghadap Paduka."
KI PATIH NAROTAMA mengangguk-angguk.
"Bagus sekali, dan aku ikut merasa gembira bahwa akhirnya engkau dapat bertemu kembali dengan Ayahmu Senopati Yudajaya dan keluarganya dan lebih senang lagi bahwa engkau telah menyadari bahwa sudah semestinya engkau membela Kahuripan karena engkau kawula Kahuripan mengingat bahwa Karang Tirta adalah wilayah Kahuripan, Puspa Dewi. Sekarang, marilah engkau dan Paman Tumenggung kuantar menghadap Gusti Sinuhun."
Mereka bertiga lalu pergi ke istana dan seperti biasa, Ki Patih Narotama adalah satu-satunya pembantu Sang Prabu Erlangga yang dengan mudah dapat keluar masuk istana tanpa pengawasan atau pertanyaan. Ketika pengawal dalam keraton melaporkan, Sang Prabu Erlangga dengan gembira siap menerima Ki Patih Narotama yang membawa Tumenggung Jayatanu dan Puspa Dewi datang menghadap.
Sang Prabu Erlangga juga menyatakan kegembiraan hatinya, dan berterima kasih kepada Puspa Dewi akan apa yang pernah ia lakukan ketika ia membela Kahuripan dan menentang persekutuan di mana ia tadinya menjadi wakil. Akan tetapi ketika Sang Prabu Erlangga menawarkan kedudukan sebagai perwira pengawal wanita yang menjaga keselamatan para penghuni istana bagian keputren, Puspa Dewi menolak halus dengan sembah.
"Mohon beribu ampun, Gusti. Bukan hamba semata menolak anugerah yang Paduka berikan kepada hamba. Hamba menghaturkan banyak terima kasih dan hamba merasa berbahagia sekali atas kemurahan hati Paduka kepada hamba. Akan tetapi, Gusti, pada waktu ini hamba masih ingin bebas dari semua ikatan. Hamba ingin merasakan kebahagiaan hidup berkumpul dengan kedua orang tua hamba, hal yang sejak kecil hamba rindukan. Walaupun hamba tidak menjadi seorang punggawa, namun setiap saat hamba siap membela kerajaan Paduka apabila ada pihak yang mengganggu, Gusti."
Sang Prabu Erlangga mengangguk-angguk, tersenyum.
"Kami dapat memaklumi pendirianmu itu, Puspa Dewi. Baiklah, kami pasti akan menghubungimu apa bila kami membutuhkan bantuan. Sekarang terimalah hadiah dari kami ini. Pusaka yang berbentuk patrem Ini disebut Sang Cundrik Arum, hasil tempaan Sang Empu Ramahadi di jaman Jawa Kandha. Pernah menjadi pusaka ageman (pakaian) Sang Permaisuri Bathari Nawangsih dari Kerajaan Medang Kamulan. Pusaka ini, selain ampuh dan memiliki daya pelindung dan penyembuhan, juga dengan memegang pusaka ini Andika dapat memasuki istana kami sewaktu-waktu sebagai seorang kepercayaan kami, Puspa Dewi."
Puspa Dewi merasa senang, bangga dan terharu menerima pusaka yang tak ternilai harganya itu. Ia berlutut menyembah, menerima pusaka berbentuk patrem atau cundrik itu sambil menghaturkan banyak terima kasih. Setelah menerima hadiah lain berupa beberapa perangkat pakaian berikut perhiasan yang serba indah, Puspa Dewi diperkenankan mundur bersama Tumenggung Jayatanu, sedangkan Ki Patih Narotama masih tinggal di istana untuk berbincang-bincang dengan Sang Prabu Erlangga.
Dapat dibayangkan betapa bahagianya hati Puspa Dewi. Senopati Yudajaya atau Prasetyo, ayah Puspa Dewi dan seluruh keluarga Sang Tumenggung ikut merasa senang. Kemudian keluarga itu berkemas dan pada hari yang sudah mereka pilih dan tentukan, berangkatlah keluarga yang terdiri dari Tumenggung Jayatanu, Nyai Tumenggung, Senopati Yudajaya, Dyah Mularsih, Niken Harni, Puspa Dewi dan selosin perajurit pengawal berikut kusirnya, dalam dua buah kereta, menuju ke dusun Karang Tirta.
Dusun Karang Tirta kini merupakan dusun yang jauh lebih makmur dibandingkan tahun-tahun yang lalu. Rumah-rumah para penduduk telah diperbaiki semua. Juga melihat pakaian mereka dan keadaan kesehatan tubuh mereka, mudah diketahui bahwa seluruh penduduk dusun itu sudah terangkat dari lembah kemiskinan. Setidaknya mereka sudah tercukupi kebutuhan sandang-pangan-papan (pakaian, makan, dan rumah tinggal). Semua ini terjadi dengan cepat berkat kebijaksanaan Ki Lurah Pujosaputro, pengganti Ki Lurah Suramenggala yang dicopot oleh Ki Narotama kemudian diusir dari dusun Karang Tirta.
Tak dapat disangkal kenyataan bahwa kemakmuran tidak jatuh begitu saja dari langit! Kebutuhan hidup manusia tidak begitu saja disediakan Sang Hyang Widhi, walaupun jelas bahwa semua bahannya memang hasil ciptaan Yang Maha Pencipta. Sang Hyang Widhi menciptakan tanah, air, hawa udara, sinar matahari, juga benih tanaman-tanaman. Semua benda ini tidak dapat dibuat oleh manusia dan memang sudah dianugerahkan kepada manusia untuk kepentingan hidup manusia. Namun, semua benda itu tidak ada gunanya kalau tidak diolah, dikerjakan, diusahakan oleh manusia sendiri. Jasmani kita, berikut hati akal pikiran, juga merupakan ciptaan Yang Maha Kasih, dan setiap bagian tubuh kita sudah dibuat sedemikian rupa sehingga cocok dan tepat untuk dikerjakan demi kesejahteraan hidup kita. Berkat dari Yang Maha Kasih Itu tidak dapat dipisahkan dengan usaha kita, merupakan dwitunggal yang tidak dapat dipisahkan dan harus bekerja sama untuk kesejahteraan dan kelangsungan hidup kita.
Semua bahan yang telah disediakan oleh-Nya itu tidak akan ada gunanya kalau tidak kita olah dan kerjakan, yaitu kita cangkul, kita airi, kita pupuk, kita pelihara dan rawat dengan baik. Sebaliknya, betapa hebat pun kita berusaha, tanpa adanya satu saja dari semua bahan yang sudah disediakan oleh-Nya itu, juga tidak akan dapat menghasilkan apa-apa. Itu merupakan tugas pribadi untuk mempertahankan hidup, yaitu bekerja! Akan tetapi kita hidup bermasyarakat, bernegara, berpemerintahan, terdiri dari banyak orang. Para penduduk Karang Tirta terdiri dari ratusan orang. Masyarakat perlu diatur, dengan hukum-hukum agar tidak kacau dan saling berebut. Jelas bahwa kehidupan rakyat diatur oleh hukum, agar tertib, agar adil dan membawa rakyat kepada kemakmuran atau kesejahteraan seperti yang diidamkan setiap orang di mana pun di dunia ini.
Apakah adanya peraturan hukum menjamin datangnya kemakmuran rakyat? Hukum adalah barang mati! Karena itu, tangan-tangan yang memegang dan menguasai pelaksanaan hukum itulah yang sepenuhnya diserahi wewenang dan tugas untuk memakmurkan rakyatnya. Jelas, ditangan para pemimpinlah terletak kunci untuk membuka pintu kemakmuran bagi rakyatnya.
Di Karang Tirta, orang pertama yang paling berkuasa adalah Sang Lurah. Sesungguhnya, di tangannyalah tergenggam nasib para penduduk Karang Tirta. Ketika Ki Lurah Suramenggala menjadi lurah, dia bukan merupakan seorang pemimpin yang baik. Dia menggunakan semua sumber hasil tanah dan sumber tenaga manusia menjadi sumber penghasilan yang berlimpahan untuk dirinya sendiri, untuk dia dan keluarganya. Rakyat diperas habis-habisan sehingga kehidupan penduduk Karang Tirta berada di bawah garis kemiskinan, sedangkan kehidupan Sang Lurah dan orang-orang yang dekat dengannya, sanak saudara dan para pembantunya, hidup bermewah-mewah dan berlebihan, kaya raya dan makmur. Padahal Ki Suramenggala dan para pembantunya selalu menganjurkan agar penduduk Karang Tirta berprihatin, hidup hemat dan serba kekurangan demi pembangunan Karang Tirta untuk kemakmuran kehidupan anak cucu kelak!
Semua pembantu lurah, dari carik sampai jagabaya dan pamong yang paling rendah pangkatnya, tidak ada yang jujur. Semua memeras rakyat de-ngan dalih pembangunan dusun, akan tetapi uangnya mereka kantongi sendiri. Para jagabaya yang semestinya menjaga keamanan penduduk, bahkan menjadi penggangu keamanan. Hukum yang dilaksanakan adalah hukum lurah dan para pembantunya, mudah saja memutar-balikkan fakta, menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah demi keuntungan para penguasa itu. Semua ini terjadi karena Ki Lurah Suramenggala tidak menjadi tauladan yang baik sebagaimana seharusnya seorang pemimpin. Dia sebagai orang nomor satu di Karang Tirta, bertangan kotor melakukan penindasan, mengandalkan kekuasaan untuk melaksanakan segala kehendaknya, menumpuk harta tanpa memperdulikan kemiskinan penduduk.
Kalau pemimpin tertinggi di dusun Karang Tirta itu bertangan kotor, bagaimana mungkin para pembantunya, para pamong praja, dapat bertangan bersih? Mereka juga melakukan segala macam kejahatan demi menum-puk harta. Atasannya tidak mungkin berani menegur karena atasan itu, sendiri tangannya kotor,demikian atasannya lagi sampai kepada yang paling atas di dusun itu, yakni Ki Lurah Suramenggala! Jadilah semua pamong itu bertangan kotor!
Untunglah bahwa Kerajaan Kahuripan dipimpin Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama yang bertangan bersih, berhati jujur dan bersikap bijaksana. Ki Patih Narotama yang bertangan bersih, ketika melihat seorang bawahannya, yaitu Ki Lurah Suramenggala, bertangan kotor, langsung saja dia berani memberantasnya. Dia melakukan pembersihan tanpa sungkan karena dia sendiri bertangan bersih! Atas pilihan penduduk, disetujui oleh Ki Patih Narotama, dusun Karang Tirta kini dipimpin oleh Ki Lurah Pujosaputro.
Lurah Pujosaputro ini adalah seorang lurah yang baik, pemimpin yang bijaksana. Dia selalu ingat bahwa dia menjadi lurah karena ada rakyat yang memilihnya, dan rakyat memilihnya karena rakyat percaya bahwa dia akan menjadi pemimpin yang baik, yang memperhatikan kesejahteraan rakyat dusun Karang Tirta. Dan ternyata harapan penduduk Karang Tirta tidak sia-sia.
Ki Lurah Pujosaputro benar-benar mendahulukan kepentingan penduduk daripada kepentingan diri dan keluarganya sendiri. Dia tidak mau menumpuk harta dari perasan keringat rakyat, tidak mau memperkaya diri sendiri dan hasil tanah pedusunan dinikmati penduduk yang mengolahnya. Ki Lurah Pujosaputro sekeluarganya hidup biasa saja, tidak berlebihan dan tentu saja sebagai lurah, juga tidak kekurangan. Karena kebijaksanaannya ini, penduduk suka dan hormat kepadanya. Ada saja yang mengirimi hasil palawija, buah-buahan dan hasil usaha lain kepada keluarga Ki Lurah. Kehidupan penduduk Karang Tirta meningkat dengan pesat dan semua orang merasa gembira. Kini penduduk Karang Tirta tidak merasa iri kepada dusun-dusun lain yang makmur karena kebijaksanaan lurah masing-masing.
Karena lurahnya bertangan bersih, bawahannya, para pamong, tidak ada yang berani bermain kotor dan karena pamong prajanya jujur dan adil, rakyatnya juga senang dan menaati semua peraturan dan hukum yang diberlakukan sama rata, bukan untuk menindas yang bawah dan memenangkan yang atas.
Akan tetapi, menjadi sebuah kenyataan yang membuat kebanyakan orang, terutama yang imannya kurang penuh, menjadi penasaran, betapa banyaknya terjadi orang-orang yang dalam hidupnya dikenal sebagai orang yang baik budi, mengalami bencana dan kesengsaraan, sebaliknya orang yang angkara murka dan mementingkan diri sendiri dan suka melakukan perbuatan jahat, hidupnya bergelimang kesenangan dan kemuliaan! Tentu saja ini sebetulnya hanya menurut pandangan jasmaniah belaka.
Pada suatu malam, belasan orang yang berpakaian serba hitam dan bersikap sombong dan bengis memasuki dusun Karang Tirta. Ketika empat orang pemuda dusun yang bertugas jaga malam menghadang dan bertanya karena melihat betapa dua belas orang itu tidak mereka kenal dan di antara mereka terdapat dua orang yang berpakaian mewah, rombongan itu tanpa banyak cakap lagi menyerang dan merobohkan empat orang pemuda itu sehingga mereka tidak mampu bangkit kembali karena setelah dipukul pingsan!
Rombongan terdiri dari dua belas orang itu lalu melangkah lebar dan cepat menuju rumah Ki Lurah Pujosaputro. Dua orang pemimpin rombongan yang berpakaian mewah itu adalah Wirobento yang tinggi besar bersenjata pecut berujung besi-besi kecil dan Wirobandrek yang juga tinggi besar dengan senjata sepasang kolor merah. Kakak beradik ini merupakan sepasang warok yang terkenal sesat, berusia sekitar tiga puluh dua dan tiga puluh tahun.
"Adi Bandrek, bagaimana kalau gadis sakti Puspa Dewi itu berada di Karang Tirta ini?"
Kata Ki Wirobento dengan suara yang membayangkan perasaan gentar.
"Kakang Bento, mengapa khawatir? Hal ini tidak mungkin karena para penyelidik sudah melaporkan dengan jelas bahwa saat ini gadis itu tidak berada di sini. Kita aman! Pula, bukankah ia telah menjadi Sekar Kedaton Wura-wuri?"
"Hemm, tidak mungkin ia dapat diterima di Wura-wuri setelah ia mengkhianati persekutuan di mana Wura-wuri juga terlibat itu. Aku khawatir kalau-kalau para penyelidik salah duga dan ia nanti akan melakukan pengejaran terhadap kita. Ia sakti mandraguna, Bandrek, kita sama sekali bukan tandingannya."
"Ah, Kakang Bento, tidak perlu takut. Asalkan kita sudah dapat meringkus Nyi Lasmi, Puspa Dewi tidak akan berani berkutik. Kita jadikan Ibunya itu sebagal sandera dan kita lihat saja, apa yang akan dapat ia lakukan!"
"Kamu benar, Bandrek. Mari kita bereskan mereka dan tangkap Nyi Lasmi sesuai dengan pesan Ki Suramenggala!"
Setelah tiba di rumah Ki Lurah Pujosaputro, dua belas orang itu lalu menyerbu. Mereka mendobrak dan menjebol pintu lalu menerjang ke dalam rumah besar itu. Lima orang pemuda yang sedang berjaga di samping rumah, cepat berlari mendatangi, akan tetapi mereka berlima segera roboh disambut serangan orang-orang yang rata-rata memiliki kedigdayaan itu. Dua belas orang itu lalu mengamuk. Sesuai dengan perintah yang mereka terima dari Ki Suramenggala yang kini telah berada di Kerajaan Wengker sebagai orang yang tinggi kedudukannya sebagai ayah Sang Adipati Linggawijaya, mereka membacok siapa saja yang mereka temukan di dalam rumah kelurahan itu. Ketika Ki Pujosaputro dan isterinya muncul dari kamar, mereka berdua disambut bacokan golok yang membuat mereka tewas seketika. Ketika mereka menemukan Nyi Lasmi, mereka meringkusnya dan Ki Wirobandrek segera memanggul wanita yang telah diikat kaki tangannya itu di atas pundaknya dan dua belas orang itu berusaha mencari orang-orang lain yang menjadi penghuni rumah Itu.
Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan gaduh di luar kelurahan dan dua belas orang itu ketika melihat betapa puluhan, bahkan mungkin seratus lebih pemuda dusun dating sambil membawa segala macam senjata dengan sikap mengancam, mereka menjadi gentar juga. Mereka hanya dua belas orang dan sungguhpun mereka merupakan jagoan-jagoan tangguh, namun menghadapi demikian banyak orang mereka menjadi ketakutan dan segera dua belas orang itu melarikan diri sambil memutar senjata mereka untuk menjaga diri.
Para pemuda dusun Karang Tirta, setelah mengetahui bahwa gerombolan itu melakukan pembunuhan terhadap para penghuni rumah Ki Lurah, segera melakukan pengejaran sambil membawa obor. Akan tetapi, dua belas orang itu telah lenyap dalam hutan yang lebat. Terpaksa mereka kembali dengan tangan hampa.
Seluruh penduduk dusun Karang Tirta berduka setelah mengetahui bahwa Ki Lurah Pujosaputro yang mereka sayangi dan hormati telah dibunuh. Juga semua keluarganya dan para pelayan. Hanya ada seorang pelayan wanita yang lolos dari maut karena ia bersembunyi di tempat gelap sambil mengintai ketakutan. Gerombolan itu tidak melihatnya maka ia selamat. Setelah mereka mengadakan penelitian, ada enam orang pemuda yang berjaga malam tewas, lainnya luka-luka, dan penghuni rumah kelurahan itu hanya seorang yang selamat, yang lainnya, Ki Lurah Pujosaputro dan isterinya serta keluarganya yang berjumlah sembilan orang berikut pelayan, semua tewas! Mereka juga mendapat kenyataan bahwa Nyi Lasmi lenyap, dan ada yang melihat malam tadi bahwa wanita itu diculik, dipanggul dan dilarikan penjahat.
Gegerlah dusun Karang Tirta! Semua penduduk wanita menangisi musibah itu, dan yang laki-laki marah dan penasaran, akan tetapi mereka tidak mampu berbuat sesuatu karena ada yang mendengar percakapan para gerombolan itu bahwa mereka adalah orang-orang Kerajaan Wengker, anak buah Ki Lurah Suramenggala yang datang untuk membalas dendam dan menculik Nyi Lasmi yang dulu menjadi selirnya kemudian tidak mau ikut ketika Ki Sura-menggala terusir keluar dari Karang Tirta.
Para penduduk yang berkabung itu hanya dapat merawat semua jenazah dan menguburkannya. Ki Lurah Warsita, lurah dari Karang Sari yang terletak dekat Karang Tirta dan merupakan lurah yang baik dan menjadi sahabat Ki Lurah Pujosaputro, begitu mendengar musibah itu, cepat datang dan mengatur sendiri semua urusan di Karang Tirta. Juga Ki Lurah Warsita lalu mengumpulkan para pemuda Karang Tirta dan karang Sari untuk bersatu melakukan penjagaan terutama di waktu malam untuk melawan kalau-kalau para pengacau itu datang lagi. Dia juga segera mengirim laporan tentang musibah itu ke kota raja Kahuripan. Utusan ke kota raja ini terdiri dari tiga orang, di pimpin oleh Ki Tejomoyo, seorang kakek yang dianggap sebagai sesepuh Karang Tirta.
(Lanjut ke Jilid 06)
Nurseta Satria Karang Tirta (seri ke 02 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 06
Akan tetapi baru melakukan perjalanan setengah hari, utusan ini bertemu dengan rombongan terdiri dari dua kereta yang dikawal selosin perajurit. Melihat ini, tiga orang dusun Karang Tirta itu mengenal bahwa seregu perajurit itu adalah perajurit Kahuripan, maka mereka berhenti di tepi jalan dengan membungkuk hormat karena orang yang berada di kereta dan dikawal pasukan itu pasti seorang priyagung (bangsawan).
"Paman Tejomoyo...!"
Tiba-tiba seorang gadis melompat turun dari dalam kereta yang sudah berhenti dan begitu Tejomoyo mengenal siapa gadis yang mengenalinya itu, dia segera menghampiri, lalu berjongkok dan menangis.
"Aduh, Nakayu Puspa Dewi....!"
Dia tidak dapat melanjutkan karena sudah menangis mengguguk sambil mendeprok dan menutupi muka dengan kedua tangan. Dua orang temannya yang juga mengenal siapa gadis itu, memberi hormat dan juga tidak berani bicara, tidak sampai hati menyampaikan berita yang amat menyedihkan itu.
"Paman, ada apakah? Mengapa Paman bersikap begini? Berdirilah Paman dan ceritakan dengan tenang."
Puspa Dewi memegang kedua bahu kakek itu dan membantunya bangkit berdiri.
Ki Tejomoyo berusaha menenangkan hatinya dengan menghela napas panjang berulang kali. Akhirnya dia dapat tenang dan menghentikan tangisnya.
"Malapetaka menimpa Karang Tirta..."
"Apa yang terjadi? Puspa Dewi, siapa orang itu dan apa yang terjadi?"
Tumenggung Jayatanu keluar pula dari keretanya dan melihat seorang laki-laki berpakaian bangsawan tinggi, Ki Tejomoyo dan dua orang temannya segera berjongkok dan menyembah.
"Eyang, ini adalah Paman Tejomoyo dan dua orang temannya itu saya kenal sebagai penduduk Karang Tirta pula. Paman Tejomoyo ini adalah Eyang Tumenggung Jayatanu, maka ceritakan apa yang terjadi, jangan membuat kami bingung dan penasaran."
"Ampunkah hamba bertiga, Gusti Tumenggung. Hamba tidak tahu bahwa Paduka yang lewat maka hamba tidak menyambut dengan hormat."
Kata Ki Tejomoyo dengan sikap hormat.
"Tidak mengapa, Ki Tejomoyo. Sekarang ceritakan apa yang telah terjadi di Karang Tirta sehingga Andika sampai menangis sedih."
"Aduh, katiwasan, Gusti! Baru kemarin malam terjadinya. Segerombolan orang berjumlah belasan datang menyerbu rumah Ki Lurah Pujosaputro dan mengamuk, membunuhi penghuni rumah kalurahan..."
Puspa Dewi menyambar lengan Ki Tejomoyo dan bertanya dengan nyaring,
"ibuku...! Bagaimana dengan Ibuku...?"
Prasetyo atau Senopati Yudajaya yang juga sudah turun dan menghampiri mereka berkata.
"Dewi tenanglah. Engkau menyakiti lengan Paman ini."
Puspa Dewi sadar dan melepaskan Lengan Ki Tejomoyo yang meringis kesakitan karena lengannya serasa dijepit besi!
"Nyi Lasmi... diculik gerombolan..."
Puspa Dewi berkelebat dan lenyap dari situ. Ia telah menggunakan ilmunya berlari cepat seperti terbang menuju dusun Karang Tirta. Prasetyo berkata kepada Ki Tejomoyo.
"Paman, ceritakan dengan ringkas apa yang telah terjadi."
Dia pun merasa khawatir sekali akan keselamatan Nyi Lasmi. Dengan singkat Ki Tejomoyo menceritakan tentang penyerbuan gerombolan yang membunuh seluruh penghuni rumah Ki Pujosaputro dan hanya seorang pelayan wanita yang lolos dari maut. Juga Nyi Lasmi lenyap diculik gerombolan. Tumenggung Jayatanu marah sekali. Wajahnya yang gagah itu menjadi kemerahan.
"Keparat! Akan kuhajar mereka! Hayo, Prasetyo, kita cepat membalapkan kereta menyusul Puspa Dewi ke Karang Tirta! Dan Andika, Ki Tejomoyo, tadinya hendak pergi kemanakah?"
"Hamba diutus Ki Lurah Warsita dari Karang Sari untuk pergi melaporkan peristiwa itu ke kota raja."
"Kalau begitu lanjutkan perjalananmu dan setelah tiba di sana laporkanlah peristiwa ini kepada Gusti Patih Narotama."
"Baik, Gusti Tumenggung."
Dua buah kereta itu dijalankan lagi dengan cepat menuju Karang Tirta dan tiga orang utusan dari Karang Tirta itu melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja Kahuripan Sementara itu Puspa Dewi telah memasuki pintu gerbang dusun Karang Tirta. Semua orang yang melihatnya menyambut dengan wajah sedih dan segera mengikuti gadis yang cepat lari menuju ke rumah kelurahan itu.
Jerit tangis para wanita menyambut kedatangan Puspa Dewi di rumah itu. Puspa Dewi dikepung banyak orang. Wajah gadis itu agak pucat, akan tetapi ia tetap tenang, lalu ia mengangkat kedua tangan memberi isyarat agar semua orang menghentikan tangis dan suara mereka yang bising.
"Kuharap Andika sekalian berhenti menangis dan saling bicara sendiri. Aku sekarang ingin mendengar keterangan yang sejelasnya tentang peristiwa ini. Siapa yang lebih mengetahui akan peristiwa ini? Aku mendengar Bibi Katmi lolos dari maut, tentu ia lebih mengetahui. Mana Bibi Katmi?"
Nyi Katmi yang tadinya menangis di sudut lalu maju menghampiri Puspa Dewi. la dipersilakan duduk berhadapan dengan Puspa Dewi, sedangkan orang-orang lain tidak gaduh lagi, mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Nah, Bibi Katmi, hapuskan air matamu dan tenanglah. Sekarang ceritakan dengan rinci apa yang telah terjadi kemarin malam."
Nyi Katmi lalu menceritakan dengan suara terharu dan sambil menahan tangisnya.
"Malam itu saya mendengar teriakan-teriakan kesakitan. Ketika saya keluar dari kamar saya melihat belasan orang berpakaian serba hitam membunuhi semua penghuni rumah dengan kejam. Mereka menggunakan klewang (golok). Karena takut, saya terkulai dan jatuh menelungkup dalam keadaan setengah pingsan. Akan tetapi saya masih dapat melihat Mas Ajeng Lasmi dipanggul seorang penjahat dengan kaki tangan terikat dan mendengar ia menangis dan memaki-maki. Karena tidak tahan melihat banjir darah yang terjadi malam itu, saya tidak dapat bangun dan hanya dapat pura-pura mati sambil menahan tangis. Mungkin mereka mengira bahwa saya telah mati, maka tidak ada yang mengganggu saya."
"Apakah engkau mendengar mereka bicara yang menunjukkan siapa mereka?"
Tanya Puspa Dewi.
Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saya mendengar percakapan singkat dua orang di antara mereka. Yang memanggul Mas Ajeng Lasmi berkata; "Wah, wanita ini masih denok lembut!"
Lalu orang ke dua menjawab, 'Awas, ia itu selir Bendoro Menggung Suramenggala, jangan main-main!' Hanya itulah yang saya dengar."
Wajah Puspa Dewi menjadi merah sekali dan ia mengepal tangan kanannya.
"Jahanam Suramenggala yang melakukan ini, keparat!"
Tiba-tiba seorang laki-laki yang usianya sekitar dua puluh enam tahun berkata.
"Saya juga mendengar percakapan dua orang tinggi besar yang memimpin gerombolan itu, Mas Ayu..."
Orang ini menderita luka serangan gerombolan dan lengan kanan dan paha kirinya masih dibalut.
"Hemm, bagus, Kakang Canang. Cepat ceritakan!"
Kata Puspa Dewi sambil memandang pemuda itu.
"Ketika itu saya dan teman-teman melakukan penjagaan di gapura desa ketika dua belas orang berpakaian hitam itu menyerbu masuk. Sebelum dapat berbuat banyak, kami telah mereka serang dan saya pun menderita luka-luka dan roboh. Pada saat itu, saya mendengar dua orang pemimpin mereka bicara. Yang seorang berkata, 'Kita harus berhasil, kalau tidak Gusti Adipati Linggawijaya tentu akan marah kepada kita'. Kemudian orang ke dua berkata, 'Bukan hanya Gusti Adipati, akan tetapi terutama sekali Tumenggung Suramenggala, ayah Gusti Adipati itu, tentu akan menghukum kita. Kabarnya dia lebih kejam dibandingkan puteranya'. Nah, itulah percakapan mereka."
Puspa Dewi mengerutkan alisnya mendengar keterangan itu. Adipati Linggawijaya? Setahunya, adipati di Wengker bernama Adipati Adhamapanuda. Ah, tentu Linggajaya kini telah menjadi adipati di Wengker dan Ki Suramenggala sekarang menjadi Tumenggung Suramenggala karena dia Ayah Linggajaya. Tidak salah lagi. Tentu Ki Suramenggala dan Linggajaya yang mendalangi pembantaian keluarga Ki Lurah Pujosaputro dan menculik Ibunya.
Puspa Dewi lalu meninggalkan pesan kepada mereka yang berada di situ untuk melaporkan kepada Tumenggung Jayatanu dan Senopati Yudajaya yang akan tiba di dusun itu tak lama lagi bahwa ia langsung melakukan pengejaran terhadap para pembunuh dan penculik Ibunya ke Kerajaan Wengker. Setelah meninggalkan pesan itu, Puspa Dewi segera melesat lenyap dan sudah berlari dengan cepat sekali keluar dusun Karang Tirta menuju ke kota raja atau kota Kadipaten Wengker.
Menjelang sore, dua buah kereta yang ditumpangi keluarga Tumenggung Jayatanu tiba di dalam dusun Karang Tirta. Para penduduk menyambut dengan hormat. Setelah Tumenggung Jayatanu dan Senopati Yudajaya mendengar keterangan para penduduk tentang penyerbuan orang-orang Wengker dan membantai keluarga Ki Lurah dan menculik Nyi Lasmi, mereka menjadi marah sekali. Terutama Senopati Yudajaya selain marah juga merasa sedih dan iba kepada Nyi Lasmi, isterinya yang hidup terlunta-lunta setelah berpisah darinya.
Menurut gejolak hatinya. Ingin ia langsung menyusul Puspa Dewi yang oleh para penduduk dikabarkan melakukan pengejaran ke Kadipaten Wengker. Akan tetapi Tumenggung Jayatanu mencegahnya.
"Sungguh tidak bijaksana kalau engkau menyusul puterimu ke sana sekarang."
Kata Kakek itu.
"Kadipaten Wengker mempunyai banyak sekali orang sakti dan mereka juga mempunyai pasukan yang kuat. Engkau akan mencelakai diri sendiri dan tidak akan dapat menyelamatkan Nyi Lasmi kalau mengejar sendiri."
"Akan tetapi, Kanjeng Rama! Lasmi dan Dewi berada di sana! Saya harus membela mereka!"
"Tentu saja kita harus membela mereka, akan tetapi bukan seorang diri. Kita melaporkan ke kota raja dan mengerahkan pasukan untuk melakukan pengejaran ke pedalaman Wengker. Mengenal isterimu Lasmi dan puterimu Puspa Dewi, jangan terlalu dikhawatirkan. Penculik itu tidak akan membunuh Lasmi karena kalau demikian halnya, tentu ia sudah dibunuh bersama anggauta keluarga Ki Pujosaputro, tidak perlu susah-susah diculik. Dan tentang Puspa Dewi, tidak usah khawatir. Puterimu itu adalah seorang yang sakti mandraguna, tidak sembarang orang dapat mengganggunya. Ia Pasti dapat menjaga diri, bahkan tidak mustahil ia akan mampu menolong Ibunya."
Tiba-tiba terdengar teriakan Nyai Tumenggung.
"Aduh, cucuku Ken Harni menghilang...!!"
Tumenggung Jayatanu dan Prasetyo cepat berlari memasuki rumah dan Nyai tumenggung dengan wajah pucat memberitahukan bahwa sejak tadi ia tidak melihat Niken Harni. Dicari-cari juga tidak dapat ditemukan.
"Tadi ia bersamaku, lalu bilang hendak keluar berjalan-jalan sebentar,"
Kata Dyah Mularsih yang juga kebingungan dan khawatir.
"Akan tetapi sampai sekarang ia tidak kembali!"
Prasetyo atau Senopati Yudajaya cepat berlari ke belakang di mana kuda dan kereta berada. Akan tetapi kusir dan para Prajurit juga tidak melihat Niken Harni. Dia berlari keluar dan bertanya-tanya kepada semua orang yang dijumpai di dusun Itu. Akhirnya seorang pemuda yang berada dekat pintu gapura melaporkan bahwa tadi dia melihat gadis bangsawan itu berlari cepat meninggalkan dusun Karang Tirta.
Dengan jantung berdebar tegang dan hatinya gelisah sekali, Prasetyo kembali kepada mertuanya.
"Ada yang melihat Niken berlari meninggalkan dusun!"
Katanya.
"Aduh, bocah ngeyel (tidak penurut) itu! Ia tentu pergi menyusul Puspa Dewi! Ia memasuki gua harimau, sungguh berbahaya sekali!"
Tumenggung Jayatanu berseru.
"Ah, bagaimana ini?"
Nyi Tumenggung menangis.
"Kakangmas Prasetyo, Paduka harus cepat menyusul anak kita!"
Dyah Mularsih mendesak suaminya.
"Tentu saja!"
Jawab Prasetyo.
"Aku akan menyusul mereka sekarang juga, bahaya apa pun akan kutempuh untuk menyelamatkan mereka bertiga!"
Baru saja Prasetyo melangkah hendak keluar, Tumenggung Jayatanu memegang lengan mantunya.
"Nanti dulu, Prasetyo. Sebagai seorang senopati, engkau tidak boleh sembrono. Semua harus diperhitungkan dengan matang agar dapat mengatur siasat sehingga usaha kita tidak gagal. Kalau engkau nekat hendak memasuki Wengker engkau bawalah selosin perajurit pengawal itu. Mereka adalah perajurit-perajurit yang cukup terlatih dan tangguh. Sementara itu, aku akan cepat minta bantuan ke Kahuripan agar dikirim pasukan yang kuat dan aku akan memimpin sendiri pasukan itu menyusul ke Wengker."
Prasetyo mengangguk.
"Sendika dhawuh (siap melaksanakan perintah), Kanjeng Rama!"
Dia lalu memandang kepada isterinya.
"Jangan khawatir, Diajeng, aku pasti akan dapat membawa pulang anak kita."
"Bukan hanya Niken yang kuharapkan akan dapat ditolong, Kakangmas, akan tetapi juga Puspa Dewi dan Ibunya."
Kata Dyah Mularsih.
Prasetyo lalu mengumpulkan selosin orang perajurit pengawal lalu dia memimpin mereka naik kuda dan menuju keselatan, ke arah Kadipaten Wengker yang dianggap daerah berbahaya.
Sementara itu, Tumenggung Jayatanu cepat mengirim utusan yang menyusul perjalanan Tejomoyo dan dua orang temannya untuk minta bantuan kepada Ki Patih Narotama. Sambil menanti datangnya pasukan, Nyai Tumenggung, Dyah Mularsih dan Tumenggung Jayatanu sendiri bermalam didusun Karang Sari yang dekat dari Karang Tirta, di rumah Ki Lurah Warsita.
Ki Suramenggala yang usianya sekitar lima puluh satu tahun itu tertawa bergelak. Tubuhnya yang tinggi besar terguncang, matanya bersinar-sinar ketika dia tertawa senang.
"Ha-ha-ha! Lasmi, akhirnya engkau datang juga untuk melayani suamimu dengan penuh kesetiaan dan kasih sayang! Lasmi, wong ayu denok, betapa aku rindu kepadamu!"
Nyi Lasmi yang tadi diturunkan ke atas lantai dalam ruangan itu oleh Ki Wirobandrek yang segera keluar dari ruangan itu, duduk bersimpuh dan menggosok-gosok pergelangan tangannya yang terasa nyeri karena terlalu lama diikat dan baru saja dilepaskan setelah ia dibawa ke depan Ki Suramenggala. Diam-diam ia merasa heran sekali. Rumah di mana ia dihadapkan bekas suaminya itu merupakan sebuah gedung mewah sekali, dan Ki Suramenggala mengenakan pakaian seperti seorang bangsawan tinggi! Tidak ada orang lain di ruangan itu karena memang Ki Suramenggala menghendaki demikian.
Biarpun di dalam hatinya Nyi Lasmi merasa penasaran dan bersedih sekali mengingat akan pembantaian yang dilakukan terhadap Ki Lurah Pujosaputro sekeluarga, dan ia maklum pula bahwa dirinya berada dalam cengkeraman laki-laki yang jahat itu, namun ia sama sekali tidak merasa takut. Ia tahu benar bahwa Ki Suramenggala amat menyayangnya dan pasti tidak akan menyakitinya. Cinta laki-laki itu kepadanya hanyalah cinta berahi yang didorong nafsu semata.
"Mari, Lasmi, ke sinilah kupeluk kupondong untuk melepaskan rinduku yang sudah menulang-sumsum!"
Ki Suramenggala melangkah maju dan membungkuk hendak meraih tubuh Nyi Lasmi. Akan tetapi Nyi Lasmi menepiskan tangannya dan bangkit berdiri, agak terhuyung karena kedua kakinya juga terasa kaku kejang karena terlalu lama diikat.
"Jangan sentuh aku!"
Bentaknya ketus.
"Aku bukan isterimu lagi!"
"Ah, jangan begitu, manisku. Jangan bersikap jual mahal...!"
Laki-laki itu menggoda sambil menyeringai dan matanya bersinar-sinar penuh gairah nafsu memandang tubuh Nyi Lasmi yang masih tampak padat dan denok itu.
"Ki Suramenggala, aku bukan isterimu lagi dan tidak sudi melayanimu. Andika seorang yang berhati kejam dan jahat! Andika menyuruh anak buah Andika membunuhi Ki Lurah Pujosaputro sekeluarga, padahal mereka tidak bersalah. Mereka adalah orang-orang yang baik budi dan Andika membantai mereka. Alangkah kejamnya!"
"Wah, Lasmi, sayangku. Jangan berpendapat seperti itu. Siapa bilang dia tidak bersalah? Dia merampas kedudukanku sebagai Lurah Karang Tirta."
"Dia menjadi lurah karena pilihan penduduk Karang Tirta, dan Andika dipecat bukan olehnya, melainkan oleh Gusti Patih Narotama! Seharusnya kepada Gusti Patih itu Andika membalas dendam, bukan kepada Ki Lurah Pujosaputro sekeluarga!"
"Ha-ha-ha, akan tiba saatnya aku membunuh Narotama dengan kerisku! Sudahlah mari kita bersenang-senang, yayi (Adinda) Lasmi! Sekarang derajatmu akan meningkat tinggi sekali. Kalau dulu engkau hanya selir lurah, sekarang menjadi selir tercinta seorang tumenggung! Ketahuilah, manis, aku sekarang adalah Tumenggung Suramenggala dan anakku Linggajaya itu sekarang menjadi raja, menjadi Adipati Linggawijaya dari Kerajaan Wengker ini, ha-ha-ha!"
Diam-diam Nyi Lasml menjadi terkejut dan heran. Sukar membayangkan Linggajaya kini menjadi raja! Akan tetapi, mendengar bahwa Ki Suramenggala kini menjadi tumenggung, tidak membuat ia senang menjadi selirnya. Sebetulnya, beberapa bulan saja setelah diambil sebagal selir oleh Ki Suramenggala, ia sudah merasa tidak suka kepada orang yang berwatak kejam dan congkak ini. Kalau dulu ia bertahan, hal itu karena terpaksa, ia kehilangan puterinya dan Ki Suramenggala amat menyayangnya dan laki-laki itu menjadi satu-satunya orang yang dapat dijadikan tempat ia berlindung dan bersandar. Akan tetapi, setelah ia terbebas dari cengkeraman orang itu, apalagi setelah melihat betapa kejamnya Ki Suramenggala mengirim anak buahnya membantai Ki Lurah Pujosaputro sekeluarga, kini ia merasa muak dan benci kepadanya.
"Ki Suramenggala, tidak ada gunanya Andika membujuk rayu padaku. Aku tidak sudi menjadi selirmu, tidak sudi melayanimu. Andaikata Andika menjadi raja besar sekalipun aku tidak ingin nunut mukti (ikut menikmati kemuliaan) denganmu. Andika jahat dan kejam sekali, dan aku benci padamu!"
"Hemm, apa yang kau andalkan maka engkau berani bersikap seperti ini kepadaku, Lasmi? Puterimu Puspa Dewi pun tidak akan mampu berbuat sesuatu dan kalau ia berani muncul, ia pasti akan menjadi tawanan kami pula! Apa kaukira engkau akan dapat melepaskan diri dariku? Dapat melawan kehendakku?"
"Aku seorang yang lemah dan tidak akan mampu melawan manusia berwatak iblis seperti engkau, Ki Suramenggala. Akan tetapi aku tidak sudi menyerah dan kalau engkau memaksaku, aku akan bunuh diri!"
Ki Suramenggala menjadi marah sekali. Kalau saja wanita lain yang berani menolak keinginannya dan merendahkannya seperti itu, tentu sudah dihantamnya seketika dan membunuh
atau menyiksanya. Akan tetapi, dia memang amat mencinta Nyi Lasmi, sungguhpun cintanya itu terdorong oleh gairah nafsunya. Dia tidak jadi menyentuh Nyi Lasmi, lalu duduk di atas kursi dan menggebrak meja di depannya.
"Brakkk...!"
Wajah Ki Suramenggala berubah merah seperti udang direbus. Dia menahan kekecewaan dan kemarahannya. Tadinya ia membayangkan bahwa melihat dia kini menjadi tumenggung, ayah dari Raja Wengker, Nyi Lasmi pasti akan senang dan bangga hatinya dan akan melayaninya dengan manis, menyerahkan diri sebulatnya kepadanya. Akan tetapi ternyata kenyataannya sungguh amat berlawanan. Wanita itu bukan hanya menolak dan tidak sudi melayaninya, bahkan
membencinya dan merendahkannya.
"Keparat engkau, Lasmi! Tidak tahu disayang orang, manusia tak mengenal budi! Keras kepala kau! Baik, aku akan melunakkan kekerasan hatimu itu!"
Ki Suramenggala lalu bertepuk tangan dan dua orang perajurit pengawal memasuki ruangan itu dan berdiri dengan sikap hormat.
"Bawa wanita ini dan masukkan dalam kamar tahanan di belakang! Awas, perlakukan ia baik-baik dan jangan ada yang mengganggunya! Cukupi semua kebutuhannya akan tetapi jangan sekali-kali memberi makan padanya. Aku sendiri yang akan memberi makan. Kerjakan!"
"Sendika (siap melaksanakan perintah), Gusti Tumenggung!"
Jawab pengawal dan mereka segera
memegang lengan Nyi Lasmi dari kanan kiri dengan halus.
Akan tetapi Nyi Lasmi menepiskan kedua tangan yang memegang lengannya itu dan dengan sikap tegak ia berjalan keluar dari ruangan dikawal dua orang perajurit yang membawanya ke dalam sebuah kamar tahanan di bagian belakang gedung katumenggungan itu.
Nyi Lasmi dikeram dalam kamar sebagai tahanan. Ia memang diperlakukan dengan hormat dan baik oleh para pengawal dan pelayan, akan tetapi sama sekali tidak diberi makan. Setelah sehari semalam ia tidak makan, pada keesokan harinya Ki Suramenggala sendiri memasuki kamar dan menyerahkan sepiring nasi bersama lauk-pauknya kepada Nyi Lasmi Tentu saja di dalam makanan ini telah diisi kekuatan sihir untuk melunakkan dan menundukkan hati wanita yang masih amat dicinta oleh Ki Suramenggala itu. Akan tetapi dengan penuh kebencian dalam sinar matanya. Nyi Lasmi memandang piring yang disodorkan oleh Ki Suramenggala itu dengan alis berkerut.
"Aku tidak sudi makan suguhanmu! Lebih baik mati kelaparan!"
Wanita itu membentak ketus dan tangannya menampar piring sehingga terlepas dari tangan Ki Suramenggala dan isinya berserakan di atas lantai.
Ki Suramenggala terkejut sekali, tidak menyangka Nyi Lasmi akan berbuat demikian. Dia sudah mengepal tinju, siap memukul saking marahnya. Nyi Lasmi berdiri tegak dan menanti pukulan dengan mata terbuka, penuh tantangan. Melihat wajah itu, Ki Suramenggala tidak tega memukul dan dia hanya menghela napas panjang lalu keluar dari kamar itu.
Pelayan segera datang membersihkan lantai. Ki Suramenggala menemui puteranya di istana Kerajaan Wengker. Kebetulan sekali pada waktu itu, Linggajaya yang kini menjadi Adipati Linggawijaya, raja Kerajaan Wengker, sedang bercakap-cakap dalam ruangan pribadinya dengan
isterinya, Permaisuri Dewi Mayangsari, dan Sang Resi Bajrasakti.
Mereka sedang membicarakan tentang permusuhan mereka dengan Kahuripan, atau lebih tepat kebencian mereka yang membuat mereka selalu memusuhi Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Sejak menjadi raja di Wengker, Adipati Linggawijaya tidak pernah melupakan kebenciannya terhadap raja dan patih Kahuripan itu, bersama semua satria yang membela Kahuripan. Dia ingin sekali menundukkan Kahuripan, karena kalau dia dapat menguasai Kahuripan, dia akan menjadi raja besar yang akhirnya dapat menguasai seluruh Nusantara!
Sang Adipati Linggawijaya tampak berbeda dengan ketika dia masih menjadi Linggajaya pemuda Karang Tirta putera KiLurah Suramenggala. Memang, sejak dahulu dia merupakan seorang pemuda pesolek dan tampan. Akan tetapi sekarang dia mengenakan pakaian kebesaran yang serba gemerlapan dan tampak anggun berwibawa sekali, sungguhpun usianya masih amat muda, baru sekitar dua puluh satu tahun!
Di sampingnya duduk Dewi Mayangsari yang kini menjadi permaisurinya. Wanita ini pun berpakaian serba indah dan harus diakui bahwa ia cantik sekali dan sungguhpun usianya sudah sekitar dua puluh sembilan tahun, namun ia tidak tampak lebih tua daripada Adipati Linggawijaya! Kulitnya yang agak hitam namun halus bersih itu membuat ia tampak semakin manis. Tidak akan ada yang menyangka bahwa dalam tubuh yang ramping padat, wajah cantik manis dengan sinar mata dan senyum genit ini, terdapat kekuatan yang amat dahsyat karena ia yang tadinya memang sudah digdaya ini mendapat tambahan banyak ajian yang serba hebat dari gurunya yang baru, yaitu Nini Bumigarbo.
Seperti kita ketahui, Nini Bumigarbo yang sakti mandraguna itu amat membenci Sang Maha Resi Satyadarma karena Sang Resi ini telah memberi wejangan kepada Ekadenta sehingga Ekadenta mengambil keputusan untuk menjadi Brahmacari (pantang menikah). Padahal Ekadenta, kakak seperguruannya Itu adalah juga kekasihnya dan sebelumnya mereka berdua yang saling mencinta telah bersepakat untuk menjadi suami isteri.
Keputusan Ekadenta untuk tidak menikah selama hidupnya tentu saja membuat Gayatri, yaitu nama Nini Bumigarbo ketika masih gadis muda, berduka sekali dan ia membenci Sang Maha Resi Satyadharma. Akan tetapi ia tidak berani melampiaskan kebenciannya kepada pendeta yang sakti mandraguna itu. Ia tahu bahwa ia tidak akan pernah menang melawan Sang Maha Resi. Maka, ia lalu berusaha untuk membunuh dua orang murid terkasih dari Maha Resi Satyadharma, yaitu Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Akan tetapi, sungguh menjengkelkan hatinya, Ekadenta selalu menentangnya dan bekas kakak seperguruan dan juga kekasihnya itu membela raja dan patih itu. Beberapa kali ia bertanding, namun selalu kalah oleh Bhagawan Ekadenta yang juga bernama Bhagawan Oitendrya. Akhirnya Nini Bumigarbo mengambil Dewi Mayangsari, permaisuri Kerajaan Wengker sebagai murid. Ia menurunkan kepandaiannya kepada permaisuri itu dengan maksud agar melalui muridnya ini, ia akan dapat melampiaskan sakit hatinya dengan menyerang dan kalau mungkin membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama.
Berhadapan dengan suami Isteri pimpinan Kerajaan Wengker itu, duduk Sang Resi Bajrasakti, kakek yang berusia sekitar lima puluh enam tahun, bertubuh tinggi besar dengan muka penuh brewok dan berkulit hitam arang.
Seperti kita ketahui, Resi Bajrasakti ini sejak dulu menjadi tokoh Wengker dan dia adalah guru Adipati Linggawijaya. Setelah muridnya itu menjadi Adipati Wengker, Resi Bajrasakti diangkat menjadi Guru Kerajaan atau penasihat pribadi Sang Adipati. Kedudukan ini amat tinggi dan dia memiliki kekuasaan besar, hanya di bawah kekuasaan Sang Adipati dan Sang Permaisuri.
Mereka bertiga sedang berbincang-bincang membicarakan keinginan mereka untuk menggempur Kahuripan. Mereka bertiga memang sama-sama membenci Kahuripan. Resi Bajrasakti membenci Kahuripan karena sejak dulu ia memang menjadi tokoh Wengker yang selalu memusuhi Kahuripan, akan tetapi dia sering kali kalah bertanding melawan para tokoh Kahuripan. Permaisuri Dewi Mayangsari membenci Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama karena selain sejak dulu menjadi musuh bebuyutan, ditambah lagi desakan Nini Bumigarbo agar ia menyerang dan membunuh raja dan patih Kahuripan itu. Adapun Adipati Linggawijaya sendiri, dia ingin merampas kedudukan sebagai maharaja di Kahuripan yang memiliki wilayah luas sekali.
Selagi mereka bercakap-cakap, datanglah Tumenggung Suramenggala. Sebagai ayah Sang Adipati, tentu saja para pengawal tidak berani melarangnya untuk kapan saja memasuki Istana. Melihat kedatangan ayahnya, Adipati Linggawijaya mempersilakan Tumenggung Suramenggala duduk di sebelah Resi Bajrasakti. Dia memandang wajah ayahnya yang tampak keruh.
"Kanjeng Rama, apakah yang menyusahkan hati Rama?"
Adipati Linggawijaya bertanya.
Semenjak dia menjadi adipati dan ayahnya menjadi tumenggung, dia mengubah panggilannya. Kalau dulu memanggil ayahnya cukup bapak saja, sekarang menjadi kanjeng rama, tentu saja untuk disesuaikan dengan kedudukannya!
Tumenggung Suramenggala menghela napas.
"Siapa lagi yang dapat menyusahkan hatiku kalau bukan Ibunda Nyi Lasmi itu? Ia berkeras tidak mau kembali sebagai keluarga kita."
Wajah bekas lurah itu menjadi merah dan alisnya berkerut.
"Bukan saja ia menolak, bahkan menghina dan setelah sehari semalam tidak diberi makan, tadi ia menolak dan menampar tumpah nasi yang kubawakan untuknya. Ah, perempuan itu sungguh keras kepala!"
"Kanjeng Rama, mengapa Andika bersedih hanya karena penolakan seorang perempuan dusun seperti itu?"
Kata Dewi Mayangsari.
"Kalau Andika menghendaki selir baru, saya dapat mencarikan seorang perawan cantik untuk Andika!"
"Benar sekali apa yang dikatakan Yayi Ratu Dewi Mayangsari, Kanjeng Rama. Untuk apa memusingkan penolakan perempuan itu? Ia bukan apa-apa bagi keluarga kita, bahkan selama menjadi selir Kanjeng Rama, ia tidak menurunkan anak. Sebaiknya dibunuh saja perempuan itu!"
Kata Adipati Linggawijaya.
"Baik sekali usul itu, Kanjeng Rama."
Kata Dewi Mayangsari.
"Memang sebaiknya dibunuh saja perempuan sombong tak tahu diri itu! Seorang perempuan dusun, janda lagi, berani menolak untuk menjadi selir Kanjeng Rama Tumenggung?"
Mendengar ucapan puteranya dan mantunya itu, Tumenggung Suramenggala termenung, alisnya berkerut.
"Ah, aku... aku tidak tega untuk membunuhnya..."
"Ah, itu mudah saja, Kanjeng Rama? Biar kita suruh saja seorang perajurit pengawal untuk membunuhnya. Kalau Kanjeng Rama tidak tega ia dibunuh di sini, biar ia dibawa keluar istana, ke dalam sebuah hutan lalu dibunuh."
Tumenggung Suramenggala menghela napas panjang beberapa kali lalu mengangguk-angguk.
"Agaknya tidak ada jalan lain..."
"Saya tidak setuju kalau Nyi Lasmi dibunuh!"
Tiga orang itu memandang Resi Bajrasakti yang mengeluarkan kata-kata itu. Adipati Linggawijaya tertawa.
"Ha-ha-heh-heh, agaknya Bapa Resi tertarik kepada Nyi Lasmi?"
Tanyanya.
Resi Bajrasakti juga tertawa.
"Ha-ha-ha, Ananda Adipati, lima orang selir yang masih muda-muda itu sudah cukup banyak bagi saya, untuk apa menambah lagi dengan seorang perempuan yang sudah setengah tua? Bukan itu maksud saya."
"Hemm, kalau begitu, mengapa Bapa Resi tidak setuju kalau ia dibunuh?"
"Ingat, wanita itu adalah Ibu kandung Puspa dewi!"
"Kami tidak takut!"
Kata Adipati Linggawijaya dan Dewi Mayangsari berbareng. Adipati Linggawijaya menyambung.
"Biar ia datang ke sini kalau ia berani, kita akan tangkap gadis liar itu!"
"Bukan begitu maksud saya! Akan tetapi kita pun tahu bahwa Puspa Dewi adalah Sekar Kedaton Wura-wuri yang sudah mengkhianati Wura-wuri. Mengapa kita tidak menggunakan Nyi Lasmi untuk berjasa terhadap Wura-wuri sehingga kita papat bekerja sama semakin erat dengan Kerajaan Wura-wuri? Adipati Bhimaprabhawa, terutama permaisurinya, Nyi Dewi Durgakumala, pasti marah sekali kepada Puspa Dewi dan ingin sekali menangkap gadis itu. Nah, lebih baik kita serahkan Nyi Lasmi kepada mereka. Wura-wuri dapat memancing datangnya Puspa Dewi dengan Ibu kandung gadis itu sebagai sandera dan akhirnya mereka dapat menangkapnya. Dengan demikian sekali tepuk kita mendapatkan dua keuntungan, karena Wura-wuri tentu akan berterima kasih kepada kita."
Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo