Nurseta Satria Karang Tirta 8
Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo Bagian 8
Hati Linggawijaya girang sekali. Pancingannya mengena!
(Lanjut ke Jilid 09)
Nurseta Satria Karang Tirta (seri ke 02 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 09
"Akan tetapi dl sini tidak ada seorang pun gadis yang cantik, Diajeng."
"Kalau begitu Andika bisa mencari di lain tempat!"
Percakapan terhenti, agaknya Lingga-wijaya tidak dapat menjawab, padahal sebenarnya dia mulai mengerahkan Aji Pameletan Guna Asmara yang dia pelajari dari Lasmini, bekas selir Ki Patih Narotama yang dulu pernah berlangen-asmara dengan dia ketika masih menjadi selir Ki Patih Narotama. Kini Lingga-wijaya mulai mengerahkan ajian itu untuk mempengaruhi Niken Harni. Setelah merasa bahwa pengerahan Aji Pengasihan atau Aji Pameletan itu sudah mencapai kekuatan puncak, baru dia bicara lagi. Ketika Itu mereka telah selesal makan.
"Diajeng Niken Harni, dalam ruangan ini hawanya kurang enak. Mari kita bicara di dalam taman. Taman tumenggungan ini luas dan indah sekali, dan malam ini terang bulan, tahukah engkau?"
Dengan sepasang pipi berwarna kemerahan, Niken Harni memandang wajah adipati itu dengan mata berseri dan mulut tersenyum manis. Ada sesuatu yang membuat jantungnya berdebar. Ia merasa tertarik dan suka sekali kepada pemuda ini! Ia tidak menyadari bahwa ini adalah pengaruh rayuan ditambahi aji pameletan yang di kerahkan Linggawijaya untuk mempengaruhinya. Ketika pemuda itu mengajaknya keluar, ke taman, ia pun hanya mengangguk dan tersenyum. Bahkan ketika mereka berdua memasuki taman yang memang teratur indah, di malam terang bulan, tangan kanan Linggawijaya memegang tangan kirinya dan menggandengnya, Niken Harni tidak menolak. Hatinya berbisik, apa salahnya bergandengan tangan antara adik dan kakak?
Taman itu memang indah. Dihias lampu warna-warni di sana-sini dan berbagai macam bunga berkembang, semerbak harum. Ditambah lagi dengan sinar bulan, maka suasananya sungguh indah dan menggairahkan. Linggawijaya mengajak Niken Harni berjalan-jalan sampai ke tengah taman di mana terdapat sebuah pondok kecil mungil. Mereka duduk di atas bangku panjang di luar pondok, menghadapi kolam ikan emas, yang selaln tampak ikan berbagai warna berenang-renang, juga ditumbuhi beberapa tangkai bunga teratai merah.
Mereka duduk bersanding. Linggawijaya bersikap hati-hati, dan dia sudah melepaskan pegangan tangannya. Niken Harni duduk diam seperti terpesona. Ia masih merasakan daya tarik yang amat kuat keluar dari pemuda itu, daya tarik yang penuh cinta kasih. Akan tetapi ia menganggap hal itu sebagai kasih sayang seorang kakak kepada adiknya. Pendidikan moral yang ketat dan tinggi dari ayah, Ibu, dan kakeknya membentuk benteng pertahanan yang kokoh kuat walaupun benteng itu pada saat ini agak goyah oleh daya aji pameletan yang kuat.
"Diajeng, mari kita lanjutkan pembicaraan kita di ruangan makan tadi. Sampai di mana pembicaraan kita?"
Niken Harni mengingat-ingat, lalu tersenyum dan berkata.
"Engkau mengatakan bahwa di sini tidak ada seorang pun gadis yang cantik, dan aku berkata bahwa engkau dapat mencari di lain tempat, Kakangmas."
Linggawijaya menggeleng kepala.
"Biarpun di lain daerah terdapat banyak wanita cantik, akan tetapi aku tidak suka, Diajeng. Aku tidak dapat jatuh cinta kepada mereka. Ahh, kalau saja ada seorang gadis seperti engkau, Diajeng, seorang saja yang mau menjadi teman hidupku, aku akan hidup berbahagia selamanya."
Setelah berkata demikian, kembali tangan kanan Linggawijaya menggenggam tangan kiri Niken Harni. Gadis ini sama sekali belum pernah bergaul dekat dengan pria, maka ia tidak menyadari betapa pemuda di sampingnya itu telah terbakar nafsu berahinya sendiri. Biarpun jantungnya berdebar dan merasa aneh, Niken Harni masih membiarkan saja tangannya dipegang dan diam-diam ia merasa iba kepada pemuda yang mengaku masih sanak dengannya itu.
"Kakangmas, jangan putus asa. Aku yakin bahwa engkau pasti akan dapat menemukan seorang gadis yang pantas untuk menjadi selirmu."
"Tidak, Diajeng. Aku hanya menginginkan engkau seorang! Engkaulah yang pantas menjadi kawan hidupku!"
Melihat kini sinar mata pemuda itu memandang kepadanya seolah mata seekor harimau yang hendak menerkamnya, Niken Harni terkejut sekali.
"Kakangmas! Ingatlah, aku ini Adikmu! Kita masih bersaudara."
"Tidak mengapa, Diajeng. Kita berlainan Ibu berlainan Ayah. Kita tidak sedarah daging. Diajeng Niken Harni, aku cinta padamu, Diajeng. Begitu melihatmu, aku jatuh cinta padamu. Engkau seorang yang pantas menjadi selirku. Mari, Diajeng..!"
Kini Linggawijaya merangkul dengan penuh keyakinan bahwa gadis itu pasti tidak menolaknya karena telah terpengaruh aji pameletannya. Memang pada saat itu, hati dan pikiran Niken Harni telah terpikat dan kacau, namun jiwanya yang bersih menolongnya. Hati nuraninya mengatakan tidak dan menolak kemesraan yang akan dilakukan pemuda itu terhadap dirinya. Ia cepat meronta melepaskan diri dari rangkulan Linggawijaya dan melompat berdiri agak menjauh.
"Tidak! Aku tidak mau menjadi isterimu, Kakangmas. Aku tidak mau menjadi isteri siapapun juga saat ini!"
Bentaknya dan ia mulai marah.
Akan tetapi nafsu dalam diri Linggawijaya telah berkobar membakar dirinya. Apa pun yang terjadi, dia harus memiliki gadis itu.
"Diajeng, jangan menolak aku!"
Bentaknya dan dia sudah menubruk dengan cepat sekali. Niken Harni marah dan hendak memukul, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya tak dapat bergerak ketika Linggawijaya menepuk tengkuknya. Tentu saja di bandingkan kesaktian Linggawijaya, kepandaian gadis ini tidak ada artinya. Ia terkulai lemas dan kaki tangannya tidak dapat digerakkan dengan tenaga besar. Linggawijaya merangkulnya dan pemuda ini merasa penasaran sekali. Bagaimana mungkin aji pameletannya gagal menunduk-kan gadis ini? Sebetulnya dia igin menundukkan gadis ini agar ia menyerahkan diri dengan suka rela, akan tetapi karena hal itu tidak mungkin, terpaksa dia akan menggunakan kekerasan! Bukan hanya karena berani yang membuat dia ingin menguasai Niken Harni, akan tetapi terutama untuk menggunakan sebagai perisai untuk memaksa Puspa Dewi tidak memusuhinya!
"Diajeng Niken Harni yang cantik manis, sekarang engkau akan menjadi Isteriku!"
Kata Linggawijaya dan dia memondong tubuh itu lalu melangkah menuju pintu pondok.
"Jahanam! Jahat engkau! Terkutuk!"
Niken Harni hendak meronta, namun tenaganya tidak dapat ia kerahkan.
Linggawijaya merasa senang sekali ketika merasa betapa tubuh yang padat dan hangat itu meronta-ronta dengan lemah dalam pondongannya. Saking girangnya, dia tertawa bergelak sambil melangkah ke pintu pondok dan dorongan kakinya membuat daun pintu pondok itu terbuka lebar. Dalam pondok itu telah terdapat sebuah lampu gantung yang bernyala cukup terang karena memang sebelumnya Linggawijaya telah mempersiapkannya.
Akan tetapi, tiba-tiba suara tawa Linggawijaya terhenti dan matanya terbelalak memandang ke dalam pondok. Dari dalam pondok itu tampak awan hitam melayang-layang dan berputaran menghadang sampai ke pintu pondok! Linggawijaya adalah seorang sakti. Melihat kejadian aneh ini, dia dapat menduga bahwa tentu ini perbuatan manusia.
"Hei, siapa yang berani main-main menggangguku? Aku adalah Sang Adipati Lingga-wijaya dari Kerajaan Wengker!"
Dia membentak dengan suara mengandung tenaga sakti yang dahsyat sehingga suara ini saja mempunyai daya yang ampuh untuk melumpuhkan lawan.
Akan tetapi awan hitam itu tidak bergeming dan kini terdengar suara yang nyaring menusuk telinga.
"Linggawijaya, bebaskan gadis ini!"
Nada suaranya memerintah dan suara itu kecil tinggi dan parau, suara seorang wanita tua.
"Jahanam, siapa engkau? Kalau bukan iblis, perlihatkan dirimu!"
Linggawijaya yang selalu mengagulkan kepandaian dan kesaktiannya sendiri itu, membentak dan memaki.
Terdengar suara tawa cekikikan, makin lama semakin nyaring dan Linggawijaya terkejut bukan main ketika merasa betapa suara tawa itu mengguncang jantungnya. Cepat dia melepaskan tubuh Niken Harni yang jatuh terduduk di bawah anak tangga pondok, lalu Linggawijaya mengerahkan tenaga saktinya untuk melindungi jantung dan perasaannya. Perlahan-lahan awan hitam itu menipis dan tampaklah sosok tubuh seorang wanita tua. Makin lama sosok itu semakin jelas dan Linggawijaya melihat seorang wanita tua berusia sekitar lima puluh tahun, masih ada bekas. Kecantikan wajahnya, tubuhnya agak kurus dan pakaiannya serba hitam. Sepasang matanya mencorong penuh wibawa dan menyeramkan. Melihat bahwa pengganggunya hanya seorang wanita tua, Linggawijaya memandang rendah dan dia menjadi marah sekali karena wanita itu mengganggu ke senangan-nya.
"Nenek jahat, siapa engkau? Pergilah dan jangan menggangguku, atau engkau akan menyesal nanti!"
"Hi-hi-hik!"
Nenek itu tertawa dan giginya masih berderet rapi dan putih terkena sinar lampu.
"Bocah sombong, engkau tidak berharga untuk mengenal namaku. Hayo engkau menggelinding pergi dan tinggalkan gadis itu!"
DAPAT dibayangkan betapa marah hati Linggawijaya mendengar ucapan yang amat memandang rendah bahkan menghinanya itu. Sementara itu, Niken Harni yang mendengar ucapan nenek itu mengerti bahwa nenek itu hendak menolongnya, maka katanya dengan nyaring tanpa dapat menggerakkan tubuhnya yang masih lumpuh.
"Bibi yang baik, sikat saja! Orang ini jahat seperti ular berbisa! Curang licik seperti bajing (tupai)! Dia memang bajingan (makian, penjahat)!"
Linggawijaya sudah marah sekali dan sambil mengeluarkan bentakan menggelegar dia sudah menerjang dan memukul dengan Aji Gelap Sewu yang amat kuat.
"Syuuuttt"
Desss!!"
Bukan main kagetnya hati Linggawijaya karena begitu pukulannya tiba dekat tubuh nenek itu, tiba tiba saja ada hawa yang luar biasa kuatnya menolak sehingga dia tidak mampu bertahan lagi, tubuhnya terlempar ke belakang dan bergulingan.
"Bagus! Dia benar-benar menggelinding seperti bola!"
Niken Harni biarpun belum dapat bergerak, mengejek dan mentertawakan.
Linggawijaya merasa terkejut dan heran. Bagaimana mungkin pukulannya dengan Aji Gelap Sewu itu dapat mental kembali seolah bertemu dengan sesuatu yang amat kuat dan lentur? Dia tidak percaya dan begitu dapat melompat bangun, dia sudah menerjang lagi, lebih hebat daripada tadi, karena ktni dia menggunakan Aji Sihung Naga, pukulan tangannya yang teramat dahsyat sambil mengerahkan tenaga sakti Wisa Langking yang mengubah kedua tangannya yang memukul berubah hitam karena mengandung racun yang amat kuat.
"Wuuuuttt... bresss...!!"
Kembali tubuh Linggawijaya terpental dan roboh terguling-guling ke bawah anak tangga pondok!
"Horeee...! Rasakan kamu sekarang, manusia busuk!"
Niken Harni bersorak.
Linggawijaya adalah seorang yang terlalu mengagulkan kesaktian sendiri dan memandang rendah kepandaian orang lain. Kalau tidak demikian wataknya, tentu kini dia sudah menyadari benar bahwa lawannya ini adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat yang melampaui tingkatnya sendiri. Sebaliknya, dia malah menjadi semakin penasaran dan marah. Karena pada saat itu dia tidak membawa senjatanya Pecut Tatit Ceni, maka dia segera mencabut kerisnya. Keris ini bukan keris sembarangan, melainkan sebatang keris pusaka luk tiga belas yang disebut Kyai Candalamauik. Begitu dicabut, lawan sudah merasakan getaran daya yang kuat keluar dari pusaka itu. Akan tetapi sungguh aneh dan menyeramkan melihat betapo nenek itu tertawa cekikikan melihat adipati itu memegang keris pusakanya, seolah melihat seorang anak-anak nakal memegang pisau dapur saja!
Linggawijaya sudah mengumpulkan seluruh tenaga saktinya, tangan kirinya merogoh sekepal pasir hitam dan melontarkan pasir itu ke arah nenek berpakaian hitam. Terdengar suara berdengung-dengung seperti ada ribuan lebah beterbangan ketika pasir itu menjadi sinar hitam menerjang ke arah lawan. Akan tetapi dengan tenang saja nenek berpakaian hitam itu menggerakkan kedua tangannya, seperti menggapai ke depan dan semua pasir sakti Brahmara Sewu itu pun rontok ke atas tanah, tak sebutir pun mengenai tubuhnya! Linggawijaya melompat ke depan dan menusukkan kerisnya!
Nenek itu hanya terkekeh.
"Wuuuttt... ceppp!"
Keris itu menusuk perut dan seolah menancap masuk ke perut nenek itu. Akan tetapi nenek itu tetap terkekeh, kemudian ia membentak dengan nyaring.
"Bocah sombong, pergilah!"
Tiba-tiba dari perutnya keluar hawa yang teramat kuat mendorong sehingga Linggawijaya bagaikan sehelai daun kering tertiup angin, terlempar dan jatuh terbanting sampai beberapa tombak jauhnya. Keris di tangannya itu ternyata tidak ada tanda darah padahal tadi tampaknya menancap di perut nenek itu. Kepalanya menjadi pening karena dia terbanting jatuh cukup keras.
"Horeeee...! Mampus kamu sekarangl"
Niken Harni bersorak.
Tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan Dewi Mayangsari telah berada di situ, membantu suaminya bangun dan bertanya.
"Kakangmas adipati, apa yang terjadi di sini? Aku menanti-nanti Andika sejak tadi belum juga pulang dan..."
"Diajeng..... bantulah aku.... melawan iblis betina itu..."
Dengan telunjuk gemetar Linggawijaya menunjuk ke arah pintu pondok yang terbuka. Nenek berpakaian hitam tadi sudah tidak ada lagi di sltul. Dewi Mayangsari memandang ke pintu pondok yang terbuka.
"Tidak ada siapa-siapa di sana...."
Katanya dan tiba-tiba ia melihat Nlken Harni yang masih rebah duduk di atas tanah luar pondok.
"Eh, siapa wanita Ini.,.?"
Tanyanya heran.
"Ia anak tiri Nyi Lasmi. Aku hendak membunuhnya ketika muncul iblis wanita tua itu menghalangiku."
Kata Linggawijaya.
"Dasar bajingan!"
Niken Harni berteriak.
"Dia hendak menperkosaku tadi! Dia bohong, jahanam keparat Linggawijaya!"
Dewi Mayangsari marah sekali.
"Biar kubunuh gadis kurang ajar ini!"
Setelah berkata demikian, Dewi Mayangsari mencabut sebatang keris kecil berwarna hitam dan dengan gerakan cepat sekali ia menubruk ke arah Niken Harni sambil menusukkan kerisnya ke arah dada gadis yang duduk bersandar batang pohon itu. Karena tidak mampu bergerak, Niken Harni hanya menerima serangan itu dengan mata memandang penuh kemarahan kepada penyerangnya. Keris ditusukkan dan...
"Tranggg...!"
Keris itu terlepas dan terlempar dari tangan Dewi Mayangsari sehingga permaisuri Wengker ini terkejut bukan main dan cepat melompat ke belakang. Nenek berpakaian hitam tadi muncul di depan pintu. la yang menangkis serangan keris yang hendak membunuh Niken Harni tadi.
Linggawijaya sudah bangkit kembali "Diajeng, iblis ini tangguh sekali. Mari kita keroyok..."
Akan tetapi Linggawijaya menghentikan kata-katanya ketika dia melihat isterinya itu tiba-tiba maju bertekuk lutut dan menyembah ke arah nenek berpakaian hitam sambil berkata dengan sikap hormat.
"Ibu Guru""
Linggawijaya kaget bukan main dan dia hanya dapat berdiri mematung dengan mata terbelalak. Kiranya nenek yang sakti mandraguna ini adalah guru terakhir isterinya, yaitu Nini Bumigarbo yang terkenal sebagai seorang nenek yang aneh dan memiliki kesaktian luar biasa, yang tidak pernah bergaul dengan orang biasa. Saking kagetnya, dia hanya dapat berdiri terbelalak, tidak tahu harus bersikap dan berkata bagaimana.
"Dewi Mayangsari, apa kamu sudah melupakan pesanku yang menjadi syarat engkau mempelajari ilmu dariku?"
Nenek itu yang bukan lain adalah Nini Bumgarbo atau yang dulu bernama Ni Gayatri bertanya dengan suara penuh wibawa.
"Murid tidak pernah melupakannya."
"Hemm, coba ulangi apa pesanku itu."
"Bahwa murid harus berusaha untuk memusuhi Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama, dan berusaha untuk membunuh mereka."
"Dan kamu sudah melaksanakan itu?"
Tanya Nenek itu dengan ketus.
"Ampun, Ibu Guru, murid sedang berusaha. Murid telah memilih Linggawijaya sebagai suami agar kami berdua bersama-sama dapat menyusun kekuatan untuk menyerang Kahuripan."
"Huh, mana mungkin akan berhasil kalau suamimu ini hanya mengejar wanita dan menjadi budak nafsunya sendiri, hanya ingin bersenang-senang sendiri saja?"
"Ampunkan kami, Ibu Guru. Kedudukan Erlangga dan Narotama amat kuat. Kami harus menyusun kekuatan dan bersekutu dengan para kadipaten lain agar berhasil. Murid tidak pernah melupakan pesan Paduka itu dan sedang mencari jalan dan menyusun kekuatan."
"Hemm, kuberi waktu setahun lagi. Kalau belum juga kau laksanakan membunuh Erlangga dan Narotama, aku akan datang lagi dan mencabut semua ilmumu dariku dan mungkin juga nyawamu! Hayo, gadis cilik, engkau ikut aku!"
Setelah berkata demikian, Nini Bumigarbo dengan gerakan seperti terbang, melompat dekat Niken Harni dan tahu-tahu gadis itu merasa dirinya diterbangkan! Orang lain melihat betapa nenek itu lenyap seolah berubah menjadi awan hitam dan berkelebat lenyap dari situ bersama Niken Harni!
Setelah nenek itu pergi, Dewi Mayangsari menghampiri suaminya. Ia tahu akan watak suaminya yang mata keranjang, maka kalau suaminya hendak memperkosa gadis mana pun, hal itu tidak dipedulikannya benar. Akan tetapi kalau sampai suaminya membuat Nini Bumigarbo marah, hal ini amat gawat.
"Kakangmas, sebetulnya, apakah yang telah terjadi? Sungguh aneh dan tidak mengenakkan sekali kalau sampai Ibu Guru Nini Bumigarbo datang dan marah kepada kita."
Linggawijaya menghela napas panjang. Hatinya masih merasa tegang setelah peristiwa tadi. Akan tetapi kini dia tidak merasa penasaran telah dipermainkan nenek itu seolah dia seorang anak kecik yang tidak berdaya. Sudah lama dia mendengar akan kesaktian Nini Bumigarbo yang sukar dicari keduanya pada waktu itu.
"Aduh, Diajeng. Sungguh mati, aku sama sekali tidak menyangka bahwa ia itu adalah gurumu, Nini Bumigarbo. Kalau aku tahu tentu aku sama sekali tidak berani melawannya. Aku salah sangka dan mendapatkan pelajaran pahit sekali. Gurumu itu benar-benar seorang manusia luar biasa dan memiliki kesaktian yang amat hebat."
"Apakah yang telah terjadi. Aku di kadipaten hanya mendengar bahwa di tumenggungan kedatangan gadis yang mengamuk, dan aku menanti-nantimu akan tetapi engkau tidak kunjung pulang. Hatiku merasa tidak enak maka aku menyusul ke sini."
"Untung sekali engkau ke sini, Diajeng. Kalau tidak, mungkin aku tewas di tangan gurumu itu."
"Tapi mengapa guruku marah kepadamu?. Dan siapa pula gadis tadi?"
"Diajeng, mari kita pulang dulu, nanti kuceritakan semua kepadamu. Lihat, orang-orang mulai berdatangan."
Kata Linggawijaya sambil menunjuk ke arah gedung tumenggungan dari mana keluar orang-orang menuju ke taman.
Dewi Mayangsari setuju. Mereka lalu menyambut Tumenggung Suramenggala dan keluarganya yang memasuki taman dan berpamit untuk pulang ke kadipaten.
"Tapi, di mana gadis liar tadi?"
Tanya Tumenggung Suramenggala kepada Linggawijaya dengan suara mengandung kekhawatiran.
"Ah, ia telah kami usir pergi."
Jawab Linggawijaya dan ayahnya tidak berani banyak bertanya lagi. Adipati dan isterinya itu lalu kembali ke istana kadipaten menunggang kereta yang disediakan oleh Tumenggung Suramenggala.
Setelah duduk di kamar mereka dalam istana kadipaten, Linggawijaya lalu bercerita.
"Tumenggungan kedatangan seorang gadis yang mengamuk dan bertanya tentang Nyi Lasmi. Tadinya semua orang khawatir kalau-kalau Puspa Dewi yang datang mengamuk, bahkan engkau sendiri mendengar akan amukan gadis itu. Aku sendiri lalu pergi bersama Kanjeng Rama dan seregu pengawal menuju ke tumenggungan. Akan tetapi setelah tiba di sana kami melihat bahwa gadis itu sama sekali bukan Puspa Dewi! ia cukup digdaya akan tetapi tidak sesakti Puspa Dewi. Ia amat pemberani dan galak kurang ajar. la adalah anak tiri Nyi Lasmi."
"Anak tiri? Kalau anak tiri Nyi Lasmi seperti juga engkau, Kakangmas, berarti ia tentu puteri Kanjeng Rama Tumenggung Suramenggala."
"Sama sekali bukan, Diajeng. Ternyata suami Nyi Lasmi yang pertama, Ayah kandung Puspa Dewi, mempunyai seorang isteri lain dan isterinya itulah Ibu kandung Niken Harni, gadis tadi. Ibunya itu puteri Tumenggung Jayatanu dari Kahuripan dan Ayahnya seorang senopati. Ia menyusul Puspa Dewi yang mencari Nyi Lasmi yang dilarikan ke tumenggungan oleh Kanjeng Rama."
"Mengapa tidak dibunuh saja gadis liar itu?
"Tadinya aku juga berniat begitu. Akan tetapi aku ialu mendapat gagasan yang lebih menguntungkan. Kalau aku dapat menundukkan Niken Harni, ia dapat kita jadikan sandera apabila sewaktu-waktu Puspa Dewi datang ke Wengker. Sebetulnya aku sudah dapat membujuknya dan hampir berhasil menalukkannya ketika muncul... Nini Bumigarbo itu dengan tiba-tiba. Karena sama sekali tidak mengenalnya dan tidak mengira bahwa ia adalah gurumu, tentu saja aku melawannya."
Suasana menjadi hening. Mereka tenggelam ke dalam lamunan. Kemudian Dewi Mayangsan mengeluh.
"Ahh, aku tidak tahu mengapa Ibu Guru membela gadis itu! Dan peristiwa malam ini sungguh tidak menyenangkan hatiku, Kakangmas. Engkau mendengar sendiri betapa Ibu Guru mengancamku untuk menyerang dan membinasakan Erlangga dan Narotama, diberi waktu setahun. Kalau aku gagal, mungkin saja ia membunuhku!"
"Aku juga heran mengapa gurumu membela seorang gadis puterl senopati Kahuripan kalau ia memusuhi raja dan patih Kahuripan, Diajeng. Sudahlah, jangan risaukan ancamannya itu. Yang penting sekarang kita mencari jalan untuk membasmi raja dan patih di Kahuripan dan untuk itu, tidak mungkin kita mengandalkan kekuatan sendiri."
Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Engkau benar, Kakangmas. Sungguh menyebalkan sekali bahwa Nyi Lasmi yang kita kirim ke Wura-wuri itu juga dapat dibebaskan oleh Ki Patih Narotama. Aku semakin membenci saja patih itu. Biar besok aku sendiri yang akan berkunjung ke Wura-wuri merundingkan usaha menundukkan Kahuripan dengan Adipati Bhismaprabhawa dan Nyi Dewi Durgakumala."
"Bagus, kalau begitu aku pun akan pergi mengunjungi Kerajaan Parang Siluman. Di sana terdapat banyak orang-orang sakti seperti Ratu Pararg Siluman Durgakumala, suaminya, Bhagawan Kundolomuka, dua orang puterl mereka yang terkenal itu, Dewi Lasmlnl dan Dewi Mandari, juga kakak Ratu Durgakumala yaitu Ki Naga Kumala, dan para senopati mereka. Dari sana aku akan pergi mengunjungi Kerajaan Siluman Laut Kidul, yaitu Ratu Mayang Guplta yang juga sakti mandraguna. Kalau kita semua mempersatukan tenaga, mustahil kita tidak akan dapat membinasakan Erlangga dan Narotama!"
Suami isterl itu mendapatkan kembali kegembiraan hati mereka dengan saling menghibur dan tak lama kemudian mereka sudah berenang dalam lautan nafsu mereka sendiri, diombang-ambingkan gelombang-gelombang, dimabokkan buih-buih nafsu sehingga lupa akan segalanya.
Orang-orang seperti Linggawijaya dan Dewi Mayangsari ini adalah orang-orang yang seluruh hidupnya ditujukan hanya untuk mencari kesenangan hati dan kenikmatan tubuh sehingga mereka tanpa mereka sadari telah menjadi hamba-hamba nafsunya mereka sendiri yang semakin menebal, menutupi jiwa mereka sendiri sehingga semakin jauh meninggalkan Sang Sumber dari mana roh mereka berasal.
Ketika Sang Maha Pencipta menciptakan kita terlahir di dunia sebagai manusia, kita, jiwa-jiwa ini dianugerahi jasmani yang sempurna. Jiwa kita mempunyai hubungan langsung dengan Yang Maha Kuasa. Selain jasmani dan rohani, kita juga disertai nafsu-nafsu daya rendah yang menjadi pembantu dan pelayan kita. Nafsu-nafsu ini yang membuat kita mengenal yang enak dan yang tidak enak, yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan, melalui anggauta-anggauta tubuh kita. Rasa enak menyenangkan melalui penglihatan, penciuman, pendengaran, selera, perabaan, dan sebagainya. Nafsu-nafsu ini yang membuat kita dapat menikmati segala macam kesenangan selagi kita hidup sebagai manusia di dunia. Ini merupakan anugerah yang amat besar dari Sang Hyang Widhi Wasa.
Manusia hidup berbahagia apabila dia tetap memiliki jiwa yang terbuka, tidak terhalang apa pun, untuk selalu dapat berhubungan, selalu ada kontak, dengan Yang Maha Kasih dan Maha Agung. Itu mengenai rohaniahnya. Adapun secara jasmaniah, jasmaninya dapat menikmati kehidupan di dunia ini melalui dorongan nafsu-nafsunya yang tetap menjadi peserta, pembantu, atau pelayan. Akan .tetapi sudah menjadi kodrat Tuhan bahwa di samping manusia dan para mahluk lain yang diciptakan hidup di dunia, Tuhan juga membolehkan Setan, Iblis dan sebagainya yang tergabung dalam Kuasa Kegelapan untuk berkeliaran di permukaan bumi untuk menggoda manusia untuk menarik manusia agar menjadi hambanya dan menjauhi Tuhan. Adapun cara yang termudah bagi Kuasa Kegelapan untuk menggoda manusia adalah melalui nafsu-nafsunya.
Nafsu manusia mendatangkan segala macam kenikmatan jasmani. Yang serba enak dan serba nikmat inilah dijadikan umpan oleh Kuasa Kegelapan untuk memancing manusia meninggalkan jalan yang ditentukan oleh Tuhan. Yang serba enak dan nikm ini mendorong manusia untuk mengejarnya sehingga nafsu-nafsu lepas kendali. Kalau sudah begitu, manusia bukan lagi menjadi majikan nafsu, sebaliknya menjadi hamba nafsu dan dia siap melakukan apa saja demi pemuasan nafsunya.
Nafsu mencari harta kekayaan? Baik saja karena harta itu dapat dimanfaatkan untuk keperluan hidupnya, keluarganya, bahkan untuk keperluan hidup orang-orang lain. Mencari harta baik saja selama nafsu tetap menjadi pembantu, karena tentu cara mendapatkan harta itu tetap halal dan bersih. Akan tetapi kalau nafsu sudah memperhamba manusia, maka manusia, demi mengejar harta, menjadi buta akan kebenaran dan mau melakukan apa saja demi mencapai tujuan, yaitu mengumpulkan harta. Dengan cara mencuri, menipu, merampas, korupsi, dan lain perbuatan haram lagi. Dan setan pun berbisik-bisik membela dan membenarkan semua perbuatan itu!
Nafsu berahi? Baik saja karena nafsu mi pun merupakan berkah dari Sang Hyang Widhi yang diberikan kepada semua mahluk di dunia ini. Nafsu ini yang menjadi sarana sehingga manusia dan mahluk lain dapat berkembang biak sesuai dengan kehendak Tuhan. Nafsu berahi ini baik dan bersih selama nafsu ini menjadi hamba dan kita manusia menjadi majikannya sehingga pelaksanaan nafsu ini pun halal dan baik. Akan tetapi bagaimana kalau nafsu berahi sudah berbalik menjadi majikan dan manusia menjadi hambanya? Setan menggunakan nafsu berahi untuk menyeret manusia mengejar kesenangan melalui nafsu ini dan tidak segan melakukan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran. Lahirlah perkosaan, per-jinaan, dan pelacuran. Demikian pula dengan semua nafsu. Kalau tetap dalam kedudukan semula, menjadi pelayan kita, merupakan karunia dari Hyang Widhi Wasa. Sebaliknya kalau menjadi majikan kita, merupakan alat setan yang menyeret kita ke dalam dosa.
Maka, segala tindakan yang dilakukan dua orang yang telah menjadi hamba nafsu seperti Linggawijaya dan Dewi Mayangsari, selalu untuk memenuhi dorongan nafsu mereka, memenuhi semua keinginan untuk memuaskan hati membalas dendam dan mengejar segala macam kesenangan.
Niken Harni sendiri tidak tahu berapa lamanya ia pingsan dan dibawa lari seperti terbang cepatnya oleh Nini Bumigarbo. Tahu-tahu ketika la membuka matanya, ia mendapatkan dirinya rebah telentang di atas sebuah bale-bale (dipan) yang terbuat dari bambu, dalam sebuah ruangan pondok kayu sederhana. Hawa udara yang memasuki ruangan melalui sebuah jendela, terasa amat dingin sejuk. Ia termangu, mengingat-ingat dan rasanya seperti mimpi, la teringat bahwa ia nyaris diperkosa Adipati Linggawijaya dan diselamatkan seorang nenek berpakaian serba hitam. Kemudian ia dibawa "terbang"
Nenek itu dan selanjutnya ia tidak ingat apa-apa lagi.
Tahu- ahu sekarang la rebah di atas bale-bale dalam pondok ini. Teringat akan semua itu, Niken Harni cepat bangkit duduk dan dengan girang ia mendapat kenyataan bahwa tubuhnya tidak setengah lumpuh lagi seperti ketika ia dipondong Linggawijaya. Ia dapat bergerak bebas. Ia lalu melompat turun dari pembaringan ke dekat jendela kamar yang terbuka, memandang ke luar jendela. Semilir angin yang sejuk segar menyambutnya dan apa yang tampak di luar jendela membuat ia terperangah, terkagum-kagum.
Pemandangan pagi hari yang amat indah. Tampak hamparan lereng-lereng gunung dengan jurang-jurang dan perbukitannya. Di sana sini dikelilingi puncak yang sebagian masih tertutup awan putih. Sinar matahari pagi membuat segalanya bagaikan mandi cahaya keemasan dan berseri-seri gembira. Sekarang saatnya pagi hari! Dan ia berada di puncak gunung. Niken Harni yang sejak kecil tinggal di kota raja yang ramai penuh manusia, yang selalu ramai sehingga udara terasa sesak dan telinga dipenuhi segala macam suara berisik, kini merasa betapa tenang dan penuh damai tempat itu. Ia menghirup udara dengan lahapnya, mengisi dada sepenuhnya dengan hawa murni yang segar. Nikmat sekali.
Bunyi burung beraneka nada dan irama bagaikan tembang yang diiringi gemercik air sebagai gamelan. Niken Harni merasa seolah berada dalam dunia lain. Beginikah surgaloka yang sering ia dengar dalam dongeng? Apakah ia bermimpi? Tiba-tiba terdengar suara yang tinggi melengking, suara wanita!
"Niken Harni, pondok ini hanya untuk tempat makan dan tidur! Hiduplah seperti burung, hanya berada di sarangnya kalau perlu saja dan selebihnya berada di udara terbuka. Jangan hidup seperti tikus yang selalu bersembunyi dalam sarangnya. Engkau sudah bangun dari tidur, keluarlah!"
Niken Harni tersenyum. Ia mengenal suara itu. Suara nenek yang luar biasa, nenek yang sakti mandraguna dan yang telah menolongnya terbebas dari ancaman Linggawijaya yang mengerikan. Ia ditolong dan dibawa ke tempat ini! Kalau saja ia dapat mempelajari ilmu kesaktian dari nenek ini! Mungkin ia akan menjadi sakti mandraguna, seperti Mbakayu Puspa Dewi dan tidak akan mudah diganggu orang-orang jahat macam Linggawijaya! Ia pun segera berlari keluar dari pondok dan setelah tiba di luar pintu pondok, ia bertemu dengan pemandangan yang lebih indah lagi. Di depan pondok terdapat taman yang ditumbuhi beraneka macam bunga dan pohon buah, dan di depan sana terbentang alam bawah puncak yang lebih indah daripada yang tampak dari jendela. Ketika melihat nenek yang berpakaian hitam itu duduk bersila di atas batu hitam yang bundar dan datar, ia berlari menghampiri dan ia pun duduk di atas sebuah batu di depan nenek itu.
Dua orang wanita itu saling berpandangan. Yang seorang sudah berusia setengah abad lebih, biarpun masih ada bekas kecantikan pada wajahnya, namun tampak garis-garis dan keriput ketuaan menghias wajahnya. Yang seorang lagi masih muda remaja, berusia delapan belas tahun, masih agak kekanak-kanakan. Namun di dalam sinar mata kedua orang wanita ini, terdapat persamaan. Yaitu, keduanya membayangkan kekerasan hati dan keberanian yang tak mengenal takut dan pantang menyerah? Kini pun Niken Harni menghadapi dan memandang wajah nenek yang bagi orang lain amat menakutkan, apalagi kalau sudah mendengar namanya, dengan terbuka, polos dan sama sekali tidak mengenal takut atau jerih, bahkan mulutnya tersenyum seolah berhadapan dengan seorang kawan sederajat dan setingkatl
Sikap gadis inilah yang menarik hati Nini Bumigarbo, terutama kekuatan dasar yang ada pada batin gadis ini sehingga tadi pun tidak terpengaruh oleh aji pameletan Linggawijaya yang cukup ampuh dan kuat itu. Keberanian, kekerasan hati, dan kekuatan dasar ini amat menarik hati nenek itu. Gadis ini mengingatkan ia akan dirinya sendiri di waktu muda, hanya harus diakui bahwa pertahanannya tidaklah sekokoh dan sekuat batin gadis ini. Justru inilah yang membuat ia mengambil keputusan untuk mengajak gadis ini ke pondok tempat kediaman sementaranya di Puncak Gunung Keludl
Setelah sekian lamanya bertatap muka dengan nenek itu, kembali Niken Harni melayangkan pandang matanya ke bawah puncak dan matanya bersinar-sinar gembira penuh kagum.
"Niken, engkau senang dengan tempat ini?"
Nini Bumigarbo bertanya.
"Wah, senang sekali, Bibi! Akan tetapi siapakah Bibi ini?"
Nini Bumigarbo senang mendengar dirinya disebut Bibi oleh Niken Harni. Bahkan seorang wanita luar biasa dan sakti mandraguna seperti Nini Bumigarbo masih belum kehilangan kebanggaan hati wanita yang merasa senang kalau disebut lebih muda daripada usia yang sebenarnya. Biasanya ia disebut nini atau nenek, kini disebut bibi, berarti penurunan usia yang cukup banyak! Kalau biasanya ia memperkenalkan diri sebagai Nini Bumigarbo, akan tetapi setelah disebut bibi ia pun langsung mengubah sebutan namanya.
"Namaku Nyi Bumigarbo, dulu namaku Ni Gayatri."
"Wah, aku lebih senang nama Gayatri itu, maka biar aku menyebut Bibi Gayatri sajal"
Niken Harni berkata, ucapan yang polos dari hatinya, bukan dibuat-buat untuk menyenangkan hati orang.
"Akan tetapi, Bibi Gayatri, bagaimana ceritanya engkau malam itu dapat dengan tepat menolongku terlepas dari tangan si jahanam Linggawijaya, mengapa pula engkau menolongku, dan mengapa kini engkau membawa aku ke tempat ini?"
Dihujani pertanyaan itu, Nini Bumigarbo tersenyum. Wajah yang tadinya dingin menyeramkan itu tampak manis juga ketika tersenyum dan matanya yang galak menjadi lembut sejenak.
"Niken, malam itu kebetulan saja aku melihat engkau hendak dijadikan korban kebiadaban Linggawijaya. Karena aku suka akan sikapmu yang mati-matian menentangnya, maka aku lalu turun tangan menolongmu."
"Akan tetapi wanita itu mengakuimu sebagai ibu guru. Bukankah ia itu isteri Linggawijaya yang bernama Dewi Mayangsari?"
"Benar, Dewi Mayangsari pernah mempelajari ilmu dariku."
"Akan tetapi mengapa, Bibi Gayatri? Mengapa engkau mengajarkan ilmu kepada permaisuri Wengker yang terkenal menjadi kadipaten yang sesat dan jahat?"
Nini Bumigarbo memandang dengan mata berkilat sehingga mengejutkan hati Niken Harni.
"Aku mau mengajar siapa pun juga, laki atau perempuan, tua atau muda, baik atau jahat, siapa peduli?"
Ia membentak.
Melihat nenek ini marah, Niken Harni juga mengerutkan alisnya dan cemberut.
"Benar juga, sama sekali bukan urusanku, mengapa aku bertanya?"
Mereka berdua berdiam diri. Keduanya cemberut sampai bibir mereka meruncing, cuping hidung mekar dan alis berkerut, pandang mata keruh dan saling menghindarkan pertemuan pandang. Sampai lama keadaan sunyi seperti itu, diam seolah keduanya telah berubah menjadi arca! Agaknya mereka berdua sama-sama keras hati dan keras kepala sehingga tidak ada yang mau mengalah, tidak ada yang mau mulai mendahului membuka percakapan, seolah menjaga gengsi masing-masing! Tiba-tiba terdengar suara tawa berkepanjangan.
"Heh-hehhi-hi-hi-hik...!"
Niken Harni mengangkat muka memandang wanita yang tertawa-tawa itu, kerut di antara kedua alisnya semakin mendalam,
"Hemm, engkau mentertawakan aku, Bibi?"
Tegurnya dengan ketus.
Mendengar pertanyaan ketus ini, Nini Bumigarbo tertawa semakin terkekeh-kekeh.
"Heh-he-he-heh... mirip sekali... hehhehheh... sama benar... hi-hi-hik...!"
"Bibi Gayatri, kalau engkau mentertawakan aku seperti itu, lebih baik aku pergi saja dari sini!"
Kata Niken Harni sambil bangkit berdiri. Melihat nenek itu masih juga tertawa, ia lalu menyeberangi taman depan rumah itu menuju ke pintu pagar depan. Akan tetapi setelah tiba di situ, ia terbelalak melihat betapa di depannya terdapat jurang ternganga lebar dan amat dalam. Ia mengambil jalan memutar, memutari pondok itu. Akan tetapi ia mendapat kenyataan bahwa pondok itu berdiri di sebuah di antara puncak-puncak itu dan dikelilingi jurang-jurang yang amat lebar dan dalam. Sama sekali tidak ada jalan untuk menuruni puncak itu. Untuk turun ke jurang tidak mungkin dan amat berbahaya. Untuk melompati juga sama sekali tidak mungkin karena lebarnya tidak kurang dari dua puluh tombak! Niken Harni membanting-banting kakinya karena jengkel dan akhirnya ia terpaksa kembali memasuki pekarangan pondok itu dan ia berdiri sambil bertolak pinggang di depan Nini Bumigarbo.
"Kalau engkau hendak membunuhku, lakukanlah! Tidak perlu engkau mentertawakan aku seperti itu!"
Bentaknya.
Nenek yang masih terkekeh itu bangkit berdiri di atas batu dan telunjuk kirinya menuding ke arah muka Niken Harni.
"Ah... heh-heh, sungguh luar biasa... aku juga begitu dulu... aha, engkau adalah gambaranku di waktu seusiamu, Niken Harni. Kita sama benar, heh-heh, seperti kembar saja. Bagaimana ada dua orang yang begini sama presis watak dan sikapnya? Heh-heh-hehl"
Hilang kemarahan dari hati Niken Harni.
"Oo... Jadi engkau tertawa seperti itu karena melihat persamaan di antara kita?"
"Ya, ya... karena persamaan itu pula aku membelamu dari kebiadaban Linggawijaya. Aku tertarik dan suka sekali padamu, Niken Harni. Engkau sama dengan aku, engkau cocok dengan aku... Hanya saja..."
Nenek itu tiba-tiba kehilangan gairah tawanya dan tampak kecewa dan susah!
"Hanya apa, Bibi?"
Nini Bumigarbo tiba-tiba terkulai dan duduk kembali di atas batu hitam,
"...hanya saja..."
Suaranya terengah seolah tertahan tangis.
"....hanya.... kalau saja aku mempunyai keteguhan hati sepertimu, tidak mudah tergila-gila dan dipermainkan cinta... tidak akan begini nasibku..."
Dan tiba-tiba Nini Bumigarbo menangis! Ia terisak-isak lalu mengguguk, tangisnya sehebat tawanya tadi. Ia menggunakan kedua tangan untuk menutupi mukanya dan pundaknya terguncang-guncang, tubuhnya menggigil.
Niken Harni adalah seorang gadis yang keras hati, berani mati, dan pantang mundur. Akan tetapi di balik itu, ia pun perasa sekali, mudah merasa iba kepada orang yang menderita, ia lalu maju mendekati, berlutut dekat batu hitam dan merangkul tubuh nenek itu.
"Bibi Gayatri... jangan menangis, Bibi. Segala macam persoalan dapat diperundingkan dan dibicarakan. Tidak ada persoalan yang tidak dapat dipecahkan dan diatasi. Tidak cukup hanya ditangisi saja Bibi."
"Ah, engkau tidak tahu, Niken. Engkau tidak tahu...! Nasibku yang buruk, nasibku yang sengsara... semua ini gara-gara cinta... ah, sungguh aku seorang wanita tolol... goblok... akan tetapi aku lemah... kalau saja aku sekuat engkau! Niken..."
Mendengar keluh kesah ini, timbul terharu. Melihat Nini Bumigarbo Melihat Nini Bumigarbo seperti itu, ia lalu maju mendekati, berlutut dekat batu hitam dan merangkul tubuh nenek itu. keinginan dalam hati Niken Harni untuk mengetahui apa yang telah terjadi dengan nenek ini sehingga ia menjadi begitu sedih.
"Bibi Gayatri, aku merasa ikut bersedih. Maukah engkau menceritakan kepadaku apa yang telah terjadi dengan dirimu? Engkau seorang yang begini sakti mandraguna, siapa yang akan dapat mengganggumu, Bibi?"
"Orang lain tidak dapat menggangguku, Niken. Akan tetapi hatiku sendiri, keinginanku sendiri, alangkah kuatnya, membuat aku gila, membuat aku merana selama hidupku..."
Niken Harni menjadi semakin tertarik.
"Kalau Bibi tidak merasa keberatan, aku ingin mendengar bagaimana kisahnya sampai Bibi menderita seperti ini..."
"Baik, akan kuceritakan padamu, Niken. Akan tetapi hanya dengan satu syarat, yaitu engkau mau menjadi muridku!"
"Hemm, aku senang sekali, Bibi. Akan tetapi jangan terlalu lama. Orang tua dan keluargaku tentu akan menjadi gelisah kalau terlalu lama aku tidak pulang."
"Bisa beberapa hari, beberapa bulan, atau beberapa tahun. Tergantung bakat dan jodohmu denganku sejauh mana. Nah, dengar ceritaku karena setelah ini aku tidak akan mau menceritakan lagi kepada siapapun juga."
Niken Harni lalu duduk kembali di atas batu hitam di depan Nini Bumigarbo, mendengarkan dengan penuh perhatian. Nini Bumigarbo lalu bercerita. Dahulu, puluhan tahun yang lalu, ketika ia masih seorang gadis dewasa bernama Ni Gayatri, ia menjadi murid seorang pertapa yang tidak pernah muncul di dunia ramai dan terkenal sejak kecil hanya bertapa sehingga disebut sebagai manusia setengah dewa! Pertapa itu hanya dikenai dengan nama Sang Resi Dewakaton dan jarang ada orang dapat bertemu dengannya karena hanya terkadang saja dia berada di puncak Gunung Semeru yang sulit didatangi manusia biasa.
Sang Resi Dewakaton ini sudah amat tua, tak seorang pun mengetahui berapa usianya. Menurut dongeng orang-orang tua, ketika mereka masih kecil mereka sudah mendengar akan nama Sang Resi Dewakaton ini sehingga kalau dihitung dari usia mereka maka tentu usia pertapa itu sudah mendekati dua ratus tahun.
Muridnya hanya dua orang, yaitu Ni Gayatri dan .kakak seperguruannya, yang bernama Ki Ekadenta. Mungkin karena mereka bergaul sejak kecil, tidak mengherankan; kalau gadis yang cantik dan pemuda yang tampan itu saling jatuh cinta. Cinta mereka begitu mendalam sehingga keduanya sudah saling berjanji kelak akan hidup berdampingan selama hidup mereka sebagai suami isteri. Kemudian terjadilah peristiwa yang sama sekali mengubah keadaan hidup Ni Gayatri.
"Kakang Ekadenta bertemu dengan seorang resi dari Gunung Agung, Bali-dwipa dan berguru mengenai kejiwaan kepada Sang Resi. Setelah berguru kepada resi itu, sikap Kakang Ekadenta terhadap diriku sama sekali berubah, bahkan terhadap kehidupan duniawi. Dia tidak mau lagi mencampuri urusan duniawi, termasuk tidak mau menikah! Akibatnya, dia menjauhkan diri dariku dan tidak mau lagi terikat perjodohan denganku."
Setelah berkata demikian, wajah nenek itu tampak kecewa bukan main.
"Dia meninggalkanmu dan tidak cinta lagi padamu, Bibi?"
"Dia bilang tetap cinta padaku, bahkan cintanya lebih murni menurut dia, cinta suci yang tanpa pamrih, tanpa keinginan untuk mengambil aku sebagai isteri. Siapa butuh cinta macam itu?"
Niken Harni juga merasa penasaran.
"Mengapa cinta seperti itu? Kalau mencinta tentu ingin menjadi suami isteri! Dia telah menyakiti hatimu, Bibi. Kalau aku bertemu dengan Si Ekadenta itu, akan kutegur dan kumarahi dia!"
Nenek itu menghela napas panjang dan menggelengkan kepala.
"Sukar menyadarkan dia, Niken. Selama tiga puluh tahun ini aku membujuknya dengan halus sampai kasar, namun dia sama sekali tidak tergerak dan berkukuh tidak mau menikah dengan aku atau dengan siapapun juga. Aku menjadi marah sekali dan mulai membencinya, akan tetapi dia tetap bersikap lembut kepadaku. Berkali-kali aku menyerangnya, akan tetapi aku selalu kalah olehnya."
"Wah, kalau engkau kalah olehnya, berarti dia tentu amat sakti mandraguna, Bibi Gayatril"
Niken Harni terkejut.
"Memang dia sakti mandraguna. Setiap kali aku kalah olehnya, aku lalu tekun memperdalam semua aji-ajiku, akan tetapi setiap kali aku maju lagi, aku tetap saja kalah lagi. Agaknya setiap kali dia pun memperdalam ilmu-ilmunya."
"Apakah Bibi menyerang untuk membunuhnya?"
"Ah, tidak sama sekali. Aku mencintanya dengan segenap jiwa ragaku, itulah kelemahanku. Mana mungkin aku tega membunuhnya? Tadinya aku menyerangnya untuk mengalahkannya dan memaksa dia mengawini aku. Kemudian, aku setiap kali menyerangnya membuat perjanjian. Kalau aku kalah, aku tidak akan turun tangan sendiri membunuh Erlangga dan Narotama. Akan tetapi kalau dia yang kalah, aku akan membunuh raja dan patih Kahuripan itu dan dia tidak boleh menghalangikul Akan tetapi itulah, aku selalu kalah!"
"Ah, aneh sekail perjanjian itu, Bibil Apa hubungannya Sang Prabu Erlangga dan Kl Patih Narotama dari Kahurlpan dengan urusan Bibi dan Ekadenta itu?"
"Hubungannya erat sekali! Resi yang mengajarkan kejiwaan kepada Kakang Ekadenta yang membuat Kakang Ekadenta tidak mau menikah, adalah Sang Resi Satyadharma yang bertapa di Gunung Agung Bali-dwipa. Jelas dialah biang keladinya sehingga Kakang Ekadenta tidak jadi menikah dengan aku. Untuk membalas sakit hati ini kepada Resi Satyadharma tidak mungkin karena dia memiliki kesaktian yang tidak akan dapat kutandingi. Maka aku lalu mengalihkan dendamku kepada dua orang muridnya, yaitu Erlangga dan Narotama! Aku ingin membunuh mereka agar Resi Satyadharma menderita kehilangan orang-orang yang dicintanya seperti yang telah kurasakan. Akan tetapi di sana ada Kakang Ekadenta yang selalu menghalangi aku! Aku tidak berdaya... ah, aku tidak berdaya mengobati sakit hati yang bernyala-nyala selama puluhan tahun..."
Nini Bumigarbo menangis lagi.
"Bibi Gayatri, kurasa masih tidak adil kalau Bibi berusaha membalas dendam kepada Resi Satyadharma dengan cara membunuh dua orang muridnya, yaitu Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Mereka itu sama sekali tidak bersalah apa-apa. Yang bersalah atau yang membuat engkau menderita adalah Resi Satyadharma. Entah kalau memang engkau mempunyai permusuhan dengan Kahuripan."
Nini Bumigarbo menggeleng kepalanya.
"Aku tidak mencampuri urusan kerajaan dan kadipaten. Aku tidak berpihak kepada siapapun juga dan tidak mau terlibat tidak mau ikut campur. Yang kubenci hanyalah Erlangga dan Narotama karena mereka itu murid-murid Resi Satyadharma. Aku ingin membunuh mereka untuk membuat resi itu menderita!"
"Kalau begitu, mengapa tidak membalas kepada Resi Satyadharma secara langsung saja, Bibi?"
"Huh, kau tahu apa! Biar aku memperdalam ilmu-ilmuku selama puluhan tahun lagi, masih tidak mudah untuk mengalahkan resi yang sakti mandraguna itu."
"Akan tetapi, Bibi. Mengapa Bibi tidak minta bantuan guru Bibi yang merupakan manusia setengah dewa itu? Kalau dia mau membantu, tentu Bibi dapat membalas dendam Bibi terhadap Resi Satyadharma."
"Huh, kaukira aku begitu bodoh untuk tidak berpikir sampai ke sana? Dahulu pun, begitu Kakang Ekadenta memutuskan hubungan dan mengambil keputusan untuk tidak menikah, aku sudah menghadap Bapa Guru dan menangis di hadapannya, menceritakan segala sakit hatiku dan keinginanku untuk membalas dendam kepada Resi Satyadharma. Akan tetapi tahukah engkau apa yang Bapa Guru katakan? Dia mengatakan bahwa Resi Satyadharma tidak bersalah dan dia sendiri akan merasa malu kalau aku membalas dendam kepada Sang Resi itu. Selain itu, Bapa Guru mengatakan bahwa dia yakin tidak akan menang melawan Resi Satyadharma, bukan karena kalah sakti, melainkan karena berada di pihak yang salah. Siapa salah akhirnya akan kalah, begitu kata Bapa Guru. Tentu saja aku menjadi semakin penasaran dan mencari jalan untuk menimpakan pembalasan dendamku kepada dua orang murid Resi Satyadharma itu."
Kembali hening karena dua orang wanita itu berdiam diri, tenggelam dalam lamunan masing-masing. Niken Harni merasa iba sekali kepada nenek itu yang kini menundukkan mukanya yang muram, akhirnya ia berkata.
"Bibi Gayatri, lalu cara atau jalan apa yang Bibi temukan untuk membalas dendam itu?"
"Aku telah melatih beberapa orang murid, di antaranya Dewi Mayangsari permaisuri Wengker dengan syarat agar mereka itu berusaha untuk menyerang Kahuripan dan kalau mungkin membunuh Erlangga dan Narotama, atau setidaknya menggulingkan kedudukan mereka!"
"Dan mengapa engkau membawa aku ke tempat Ini? Kalau engkau hendak mengajarkan ilmu kepadaku dengan syarat seperti itu, aku tidak mau menjadi muridmu! Kakekku adalah seorang tumenggung, ayahku seorang senopati, mereka adalah pejabat-pejabat Kahuripan dan aku adalah kawula Kahuripan. Bagaimana mungkin aku menjadi seorang pengkhianat memusuhi Kerajaan Kahuripan sendiri? Aku tidak mau, Bibi, lebih baik engkau bunuh saja aku!"
Sikap Niken Harni yang berani menantang agar dibunuh ini kembali membuat nenek itu tersenyum! Lenyaplah kemuraman wajahnya dan ia memandang gadis itu dengan mata bersinar.
"Tidak, Niken. Ketika aku melihatmu yang demikian gigih menentang Linggawijaya dan kuat menahan bujuk rayu dan ketampanannya, aku mendapat gagasan baru untuk membalas dendam. Kini bukan
(Lanjut ke Jilid 10)
Nurseta Satria Karang Tirta (seri ke 02 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 10
membalas dendam kepada Resi Satyadharma dan para muridnya, melainkan membalas dendam kepada Kakang Ekadenta yang telah menyia-nyiakan cintaku dan menghancurkan kehidupanku!"
"Apa?"
Niken Harni terbelalak.
"Engkau hendak mengajarkan ilmu kepadaku dengan syarat agar aku membunuh Ekadenta kakak seperguruanmu itu? Bagaimana mungkin, Bibi? Sedangkan engkau sendiri pun tidak pernah menang melawannya!"
"Hemm, aku tidak begitu bodoh, Niken. Bukan, bukan membalas dendam ini kepada Kakang Ekadenta. Akan tetapi kepada semua laki-laki di dunia ini! Engkau akan kuajari ilmu dan engkaulah yang akan mewakili aku membalas dendam kepada semua laki-laki, membuat mereka tergila-gila, rindu, dan hancur hatinya, menderita dan merana seperti. yang telah kualami!"
Suara Nenek itu meninggi dan tampak ia gembira sekali seolah telah membayangkan terjadinya apa yang diinginkannya itu.
"Eh? Aku harus menghancurkan kebahagiaan hidup semua laki-laki? Apa maksudmu itu, Bibi? Aku tidak mengerti."
"Begini, Niken. Aku sendiri tidak dapat melakukannya karena aku sudah tua. Akan tetapi engkau dapat! Engkau muda belia, cantik jelita dan menarik, semua pria tentu akan tergila-gila melihatmu. Aku akan mengajarkan ilmu-ilmu kepadamu dan kau hadapi para pria itu, terutama yang muda dan tampan. Kalau mereka itu tertarik dan suka kepadamu, bersikaplah seolah-olah engkau juga mencinta mereka. Buat mereka itu tergila-gila dan setelah mereka berada dalam keadaan kasmaran (jatuh cinta) sampai sedalam-dalamnya, nah, saatnya engkau menghancurkannya dengan mentertawakannya dan meninggalkannya. Biar mereka itu tahu rasa, biar merasakan betapa sakitnya diputus cinta, rindu dan menderita selama hidupnya, seperti yang kualami !"
"Lalu apa hubungannya para pria itu dengan sakit hatimu terhadap Ekadenta?"
"Mereka semua itu laki-laki dan mereka memang kejam dan cintanya palsu terhadap kaum wanita. Kalau wanita mencinta dengan sepenuh jiwa, siap mengorbankan diri, laki-laki hanya mencari kesenangannya sendiri. Nah, engkau yang akan mewakili aku menghancurkan kebahagiaan hidup para pria itu, Niken Harni!"
"Kalau aku tidak mau bagaimana?"
Tiba-tiba muka nenek itu berubah menyeramkan dan sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong.
"Tidak mau....??"
Akan tetapi Niken Harni tidak takut.
"Ingat, Bibi Gayatri. Aku bukan orang yang takut ancaman. Aku tidak takut mati!"
Ia menantang.
Nini Bumigarbo tiba-tiba terkekeh.
"Hi-hi-hik? Tidak mau? Kalau begitu, engkaulah yang akan menderita, melebihi aku. Engkau bukan hanya akan kehilangan kebahagiaan hidupmu, bahkan engkau akan menderita sengsara yang hebat. Aku tidak akan membunuhmu, Niken. Aku hanya akan meninggalkanmu di sini! Hidup disini seorang diri, tidak bertemu dengan orang-orang yang kaukasihi, tidak bergaul dengan seorang pun manusia. Engkau akan hidup terus disini, tahun demi tahun sampai engkau menjadi tua renta dan karatan, remuk sedikit demi sedikit. Dan aku terkadang akan menjengukmu untuk mentertawakanmu, he-he-heh-heh!"
Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Diam-diam Niken Harni merasa ngeri juga. Ia tidak takut mati akan tetapi kalau ditinggal sendiri di situ, tak pernah dapat meninggalkan tempat itu, perlahan-lahan menua dan membusuk di situ, sungguh bayangan itu amat mengerikan. Ia seorang gadis yang cerdik, maka ia tidak kehilangan akal dan harapan.
"Kalau aku mau, lalu berapa lama aku harus belajar ilmu darimu di tempat ini?"
"Bisa beberapa hari, beberapa bulan atau beberapa tahun, semua itu tergantung dari kesungguhan dan ketekunanmu sendiri. Engkau belajar di sini sampai engkau ada kemampuan untuk pergi meninggalkan tempat ini."
Niken Harni berpikir cepat. Sekali waktu nenek itu pasti turun dari puncak untuk mencari persediaan makanan kalau habis, dan ia dapat memperhatikan dan mempelajari. Akhirnya, tidak sampai makan waktu lama ia pasti akan dapat turun pula dan bebas. Maka dengan tegas ia berkata.
"Baik, aku mau belajar dengan syarat Itu, Bibi Gayatri!"
'"Benarkah? Nah, kalau begitu ucapkan janjimu bahwa engkau akan melaksanakan syarat yang kuajukan tadi!"
Tanpa ragu Niken Harni bangkit berdiri dan mengucapkan janjinya.
"Aku akan mempelajari ilmu-ilmu dari Bibi Gayatri dengan syarat bahwa sesudah rampung aku akan mewakilinya menghancurkan kebahagiaan hidup para pria yang jatuh cinta kepadaku."
"Berlagak membalas cinta mereka, kemudian meninggalkan mereka begitu saja sehingga mereka menjadi patah hati dan hancur kebahagiaan hidupnya!"
Nenek itu mendikte. Niken Harni mengulang kata-kata itu dengan suara mantap.
Setelah selesai mengucapkan janji, Nini Bumigarbo merangkul gadis itu dengan gembira.
"Engkau sama benar dengan aku, aku yakin engkaulah yang akan dapat mewakili aku, memuaskan hatiku, membuat laki-laki seperti Kakang Ekadenta merana hidupnya! Ingat, melanggar janji akan membuat engkau menjadi manusia yang paling rendah dan hina, Niken."
"Aku tidak akan melanggar janji, Bibi!"
Demikianlah, mulai hari itu, Niken Harni menerima gemblengan ilmu-ilmu yang hebat dari Nini Bumigarbo. Bahkan nenek itu mengajarkan Aji Pengasihan dan Aji Pamelet yang amat ampuh dan kuat. Dan saking sukanya kepada gadis itu, Nini Bumigarbo bahkan pada suatu hari mengoperkan tenaga sakti tingkat tinggi kepada Niken Harni, hal yang belum pernah ia berikan kepada para murid. Bahkan Dewi Mayangsari pun tidak memperoleh pengoperan tenaga sakti ini! Tentu saja kepandaian Niken Harni meningkat dengan amat cepat, apalagi gadis itu memang berbakat baik dan tekun pula.
Rombongan Itu berhenti di sebuah dusun dan seperti biasa, Ki Patih Narotama mengajak rombongannya yang terdiri dari Ki Tejoranu, Nyi Lasmi, dan The Kim Lan untuk bermalam di rumah kepala dusun yang tentu saja menyambut K i Patih Narotama dengan penuh kehormatan. Setelah dijamu makan oleh Lurah Desa Magel, rombongan Itu lalu mengaso dalam kamar masing-masing. Ki Patih Narotama dan ki Tejoranu mendapatkan sebuah kamar masing-masing, adapun Nyi Lasmi dan The Kim Lan tidur sekamar.
Ki Patih Narotama, seperti biasa, dalam kesempatan itu didaulat oleh keluarga Lurah Desa Magel yang memohon agar Ki Patih Narotama suka memberi wejangan kepada keluarganya, terutama belasan orang muda-mudi remaja, yaitu anak-anaknya dan keponakan-keponakannya. Seperti biasa, setiap kali berada di sebuah dusun, Ki Patih Narotama selalu memenuhi permintaan lurah dusun untuk memberi wejangan tenteng tugas para pamong praja, tentang cara hidup yang baik dan benar. Sekali ini, Ki Patih Narotama mendengar dari Kl Lurah bahwa di dusun Magel sedang terjadi banyak penyelewengan dan kesesatan yang dilakukan para muda mudi. Agaknya nafsu berahi sedang mengamuk di kalangan para muda mudi Magel itu sehingga terjadi banyak pelanggaran berupa perkosaan, perjinaan dan sebagainya.
Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo