Si Rajawali Sakti 16
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 16
Tiba-tiba Hui Lan memindahkan pedangnya ke tangan kiri, kemudian ia merentangkan tangan kanan yang disambutt oleh tangan kiri Liu Cin. Keduanya mengerahkan tenaga sakti seperti yang mereka pelajari dari kitab Thian-te Im-yang Sin-kun, dua aliran hawa Im dan yang kini saling tunjang dan disalurkan kearah pedang di tangan mereka. Kemudian. mereka menerjang maju bersama ke arah Thong Thian Lama. Pendeta Lama itu terkejut, cepat dia memutar tasbihnya dari baja hitam. Tasbih menjadi gulungan sinar merupakan perisai menangkis tusukan pedang Hui Lan totokan tongkat pendek di tangan Liu Cin yang sudah menyelipkan tongkat kirinya ke Ikat pinggang.
"Blarrrrr.....!"
Tasbih itu putus ikatannya dan biji-biji tasbih itu jatuh bertebaran di atas tanah. Sebelum Thong Thian Lama dapat mengatasi kagetnya pedang Hui Lan sudah menyambar dengan tenaga gabungan yang amat kuat menusuk ke arah dada pendeta itu.
"Cappp.....!"
Pedang itu menusuk dada dan ketika dicabut kembali, tubuh pendeta Lama itu terkulai roboh. Hongsan Siansu marah sekali dan sambil mengeluarkan teriakan nyaring, pedangnya yang bersinar kuning menyambar ke arah Hui Lan sementara tangan kirinya menggunakan Thai-lek-jiu (Tangan Halilintar) memukul ke arah Liu Cin! Sungguh merupakan serangan sekaligus kepada dua orang yang bergandeng tangan itu secara dahsyat sekali.
Akan tetapi Hui Lan dan Liu Cin yang masih bergandeng tangan dan menggabungkan tenaga mereka, tidak takut menyambut serangan itu. Hui Lan menggunakan pedang di tangan kirinya untuk menangkis pedang Hongsan Siansu sedangkan pukulan Thai-lek-jiu itu disambut tangkisan tongkat pendek yang dialiri tenaga sakti gabungan yang amat kuat.
"Krekkk..... desss.....!"
Pedang kuning ditangan Hongsan Siansu menjadi patah dan ketika pukulan halilintar tangan kiri-nva bertemu tongkat, tangannya Itu terbantai, diikuti tubuhnya terjengkang dan terbanting keras sekali. Wajah Hongsan siansu menjadi kebiruan dan dia tewas seketika karena tenaga sakti yang mengandung hawa beracun dalam Thai-Iek jiu tadi membalik dan menyerang jantungnya sendiri sehingga dia tewas seketika.
Setelah Hongsan Siansu dan Thong Thian Lama tewas, Hui Lan lalu membantu Kui Lin yang masih terdesak oleh Ang Hwa Niocu, sedangkan Liu Cin membantu Bu Eng Hoat yang kewalahan melawan Tung-hai Tok. Kini keadaannya berbalik sama sekali. Bukan hanya anak buah gerombolan pemberontak yang kocar-kacir melawan pasukan pemerintah yang lebih banyak jumlahnya, juga tokoh kangouw yang mendukung pemberontak kini terdesak hebat. Kallon akhirnya roboh juga di bawah serangan pedang dan tombak para perwira yang dibantu Han Lin. Juga Ban Su Kok murid Tung-hai Tok roboh dan tewas. Melihat keadaan semakin berbahaya apalagi melihat Chou Kian Ki telah melarikan diri, Ang Hwa Niocu berseru nyaring, lalu membanting sebuah alat peledak.
"Blarrr....!"
Asap hitam mengepul tinggi. Kul Lin dan Hui Lan yang mengeroyoknya cepat berlompatan ke belakang. Ketika asap tebal itu membuyar Ang Hwa Niocu, Tung Hai Tok, Kwan Su, dan Im Yang Tosu sudah tidak tampak lagi. Mereka menggunakan tirai asap hitam tadi untuk meloncat dan menyelinap di antara para anggauta gerombolan yang masih bertempur dan menghilang. Setelah ditinggalkan para pemimpin mereka, dan banyak di antara mereka tewas atau terluka, sisa para anggota gerombolan pemberontak itu melarikan diri cerai berai dan banyak pula yang menakluk.
Maka terbasmilah pemberontakan itu. paraa perajurit bersorak gembira atas kemenangan mereka. Akan tetapi di antara suara sorak sorai itu terdengar keluh kesah dan rintihan mereka yang terluka dan di antara mereka yang menenggak arak yang dibagikan oleh para perwira untuk merayakan kemenangan itu, tampak banyak yang sibuk mengangkuti mayat-mayat yang banyak itu. Mayat para perajurit di angkat dan diurus sepatutnya, sedangkan mayat para anggota gerombolan diseret dan dikubur secara bersama, dalam sebuah lubang besar diisi puluhan mayat.
Di dalam perang, mereka yang kalah memang mengalami nasib buruk. Yang terluka mendapat perawatan sekadarnya dan yang menakluk menjadi tawanan untuk diadili dan menjalani hukuman. Sudah lajim terjadi di seluruh dunia, setiap kali terjadi perang, baik perang antar bangsa, antar suku antar golongan, maka terjadilah kekejaman-kekejaman di luar batas prikemanusian. Manusia dalam perang menjadi dan kejam yang sesungguhnya bukan jadi watak aselinya. Akan tetapi dalam perang, rasa takut bahwa dirinya tertawan, disiksa atau terbunuh musuh mendatangkan dendam dan kebencian. Ditambah lagi rasa dendam tewasnya rekan, sahabat atau keluarga.
Dendam ini ditujukan kepada pihak musuh tanpa pandang bulu karena merupakan bukan permusuhan atau dendam pribadi terhadap seseorang, melainkan terhadap pihak musuh. Akan tetapi Pangeran Chou Kuang Tian ternyata memiliki kebijaksanaan seperti kakaknya, Kaisar Sung Thai Cu atau bernama Chou Kuang Yin. Mungkin dia meniru atau melanjutkan kebijakan kakaknya. Mayat para perwira pemberontak dan tokoh kangouw yang membantu pihak pemberontak dimakamkan dengan cukup pantas juga mereka yang tertawan, kecuali mereka yang benar-benar merupakan tokoh penting, pimpinan, tidak dihukum mati.
Setelah pemberontakan berhasil ditumpas, Pangeran Chou Kuang Tian mengundang lima orang pendekar muda, yaitu Si Han Lin, Liu Cin, Bu Eng Hoat, Ong Hui Lan, dan Song Kui Lin untuk datang berkunjung ke istana. Pangeran Chou Kuan Tian menghadapkan mereka pada Kaisar Sung Thai Cu yang menerima mereka dengan ramah.
"Kalian adalah pendekar-pendekar muda yang pantas dibanggakan, selain gagah perkasa, juga merupakan pembela-pembela negara yang patriotik. Kami merasa kagum dan heran. Begini muda kalian telah dapat memiliki ilmu yang tinggi, juga memiliki budi pekerti yang baik. Si Han Lin, siapakah gurumu?"
"Guru hamba adalah Thai Kek Siansu, baginda."
Kaisar Sung Thai Cu mengangguk-angguk.
"Ah, pantas kalau engkau muridnya. Kami mengenal siapa manusia sakti Thai Kek Siansu, pertapa Cin-lin-san yang mempunyai peliharaan burung rajawali itu! Dan engkau, Liu Cin, siapa gurumu?"
Liu Cin menjawab dengan hormat "Hamba mendapat kehormatan diambil murid oleh Suhu Ceng In Hosiang Sribaginda."
"Hemmm,* engkau murid Siauwlim Kami pernah mendengar nama Ceng In Hosiang sebagai seorang tokoh Siau lim-pai. Dan engkau Bu Eng Hoat? Siapakah gurumu?"
"Hamba murid Suhu Thong Leng Losu Sribaginda."
"Thong Leng Losu?"
Kaisar Sung Cu mengingat-ingat.
"Hernmm, belum pernah mendengar nama ini. Apakah dia juga seorang pendeta Buddha?"
"Suhu adalah seorang pendeta Lama dari Tibet, Sribaginda."
Kaisar mengangguk-angguk.
"Begitukah? Kami sudah mendengar bahwa antara para pendeta Lama
(Lanjut ke Jilid 16)
Si Rajawali Sakti (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 16
di Tibet, banyak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Sekarang para pendekar wanita yang cantik-cantik ini. Ong Hul Lan siapa yang membimbingmu sehingga engkau menjadi seorang pendekar wanita lihai?"
"Hamba murid Suhu Tiong Gi Cin-jin Sribaginda."
"Tiong Gi Cin-jin? Maksudmu Tung kiam-ong (Si Raja Pedang Timur) yang terkenal sebagai ahli sastra dan pengikut. pelajaran Guru Besar Khong-hu-cu itu? Pantas engkau tampak begini lembut namun kuat dan lihai. Sekarang engkau, Song Kui Lin. Engkau tampak lincah sekali, murid siapakah engkau?"
Kui Lin tersenyum dan menjawab dengan suara lantang.
"Guru hamba adalah Suhu Louw Keng Tojin dan di antara mereka semua ini, hamba yang paling bodoh, Sribaginda!"
"Ha-ha-ha!"
Kaisar Sung Thai Cu tertawa.
"Agaknya selain diberi pelajaran ilmu silat tinggi engkau juga mewarisi filsafat merendahkan diri dari tosu (pendeta To) itu! Kami mengenal Louw Keng Tojin, pendeta To-kauw (Agama To) itu. Bukankah dia yang terkenal dengan julukan Lam-Liong (Naga Selatan)?"
"Benar sekali, Sribaginda Yang Mulia!"
Kata Kui Lin, girang bahwa kaisar itu mengenal pula gurunya. Kaisar Sung Thai Cu merasa gembira sekali.
"Ahhh, sungguh senang hati kami. Semua golongan agama kauw (Tiga Agama) ternyata mendukung pemerintahan kami. Ini berarti bahwa Thian memberkahi Kerajaan Sung! Ketiga agama terbesar, Buddha, To(Tao) dan Khong-kauw (Confucianism) mendukung dan di antara mereka terdapat hubungan persaudaraan yang baik, rakyat tidak akan terpecah belah dan negara akan menjadi kuat. Terima kasih kepada Thian Yang Agung."
Kaisar Sung Thai Cu ingin menghadiahkan pangkat kepada lima orang pendekar yang telah berjasa besar itu. tetapi mereka berlima tidak mau menerimanya dan menolak dengan hormat halus.
"Yang Mulia, ternyata hamba berlima tidak bersedia untuk terikat dengan dudukan. Hamba berlima lebih senang menjadi rakyat biasa saja akan tetapi hamba berjanji bahwa hamba berlima akan selalu siap untuk membela negara dan bangsa"
Si Han Lin berkata mewakili teman-temannya setelah mereka semua menyatakan tidak menerima tawaran pangkat itu.
Sung Thai Cu menghela napas panjang dan mengangguk-angguk.
"Kami mengerti jiwa seorang pendekar yang selalu menghendaki kebebasan, tidak terikat oleh apa pun juga. Baiklah, kalian berlima menolak kedudukan, akan tetapi kami harap kalian berlima tidak menolak pemberian bingkisan dari kami sebagai pernyataan rasa sukur dan terima kasih kami."
Kaisar lalu memberi isarat kepada seorang pelayan pribadi yang mengambil lima buah kantung kain merah berisi uang emas yang sudah dipersiapkan. Lalu atas perintah Kaisar pelayan itu menyerahkan lima kantung uang emas Itu pada lima pendekar Itu, masing-masing sebuah kantung. Lima orang muda itu tidak berani menolak. Mereka menerima dan menghaturkan terima kasih. Setelah pertemuan Itu dinyatakan selesai, lima orang pendekar itu lalu meninggalkan istana, diantar oleh Pangeran Chou Kuan Tian sampai di halaman istana.
Liu Cih dan Ong Hui Lan yang melakukan perjalanan bersama berhenti diluar kota raja bagian selatan. Tadi ketika meninggalkan kota raja. Hui Lan yang menyatakan bahwa ia harus melakukan pengejaran terhadap Chou Kian Ki dan dalam perjalanan melakukan pengejaran Itu, ia sekalian akan singgah rumah orang tuanya, yaitu Ong Su yang tinggal di Nan-king. Kini di jalan umum yang sunyi, di kaki sebuah bukit, hutan, Liu Cin yang menahan agar mereka berhenti. Hui Lan menurut dan mereka lalu duduk di bawah sebatang pohon besar yang rindang dan yang melindungi mereka dari terik sinar matahari. Siang itu memang matahari memutahkan sinarnya yang panas sehingga, menyengat, dan dan amat enak duduk di bawah pohon yang rindang itu, disejukkan angin semilir.
"Liu Cin..... eh, maaf, Cin-ko,"
Kata Hui Lan yang belum lama ini ketika berada di kota raja. ia sudah bersepakat degan Liu Cin untuk menyebut Cin-ko dan Lan-moi.
"Kenapa engkau mengikuti aku berhenti di sini? Apakah engkau lelah dan ingin beristirahat?"
Liu Cin tersenyum.
"Ah, tidak Lan-moi. Hanya aku ingin bicara denganmu dan tidak enak rasanya kalau bicara serius sambil melakukan perjalanan."
Hui Lan memandang wajah pemuda itu penuh perhatian dan sinar matanya mienyelidik.
"Engkau hendak membicarakan apakah, Cin-ko, yang demikian serius itu?"
"Lan-moi, sejak engkau menyatakan hendak melakukan pengejaran terhadap Chou Kian Ki, aku merasa heran sekali, akan tetapi di sana, di depan banyak orang, aku tidak mau banyak bertanya. Akan tetapi hal itu selalu mengganggu pikiranku yang merasa heran dan tidak mengerti. Maka sekarang kuharap engkau suka menjelaskan, mengapa engkau susah payah hendak melakukan pengejaran terhadap putera pangeran pemberontak itu? Apa yang ingin kau lakukan kalau sudah dapat mengejarnya?"
Dengan alis berkerut, muka merah mata mencorong marah Hui Lan biasanya lembut itu berkata tegas.
"Aku...harus membunuhnya!"
Liu Cin terkejut juga melihat wajah gadis itu tampak penuh kebencian ketika mengucapkan kata-kata itu.
"Akan tetapi maafkan aku, Lan-moi, memang bukan urusanku, hanya, aku merasa penasaran sekali. Mengapa engkau begitu membencinya? Mengapa engkau begitu benci sampai harus mengejarnya dan membunuhnya?"
Hui Lan berpikir sejenak dan tampak ragu-ragu. Kemudian ia berkata, kembali lembut.
"Cin-ko, aku minta maaf padamu, terus terang saja, aku hanya dapat mengatakan bahwa aku harus membunuhnya. Aku berjanji kepadamu, kalau sudah berhasil membunuhnya, baru aku akan memberitahu kepadamu mengapa aku harus membunuh jahanam itu."
Di dalam hatinya Liu Cin menduga-duga. Ada yang aneh dalam sikap Hui Lan ini, pikirnya. Dulu dia menemukan dan sempat menolong Hui Lan yang hendak bunuh diri. Gadis itu mengaku bahwa , melarikan diri dari rumah Pangeran Chou karena tidak sudi dinikahkan deng"n Chou Kian Ki dan tidak mau pulang pula ke rumah orang tuanya sendiri. Dan sekarang, gadis itu bertekad untuk membunuh Chou Kian Ki setelah memperdalam Ilmu bersama dia, menguasai ilmu Thian-te Im-yang Sin-kun. Dan berjanji akan memberitahu kepadanya setelah berhasil membunuh Chou Kian Ki. Mengapa ia demikian membenci putera pangeran itu? Apa yang telah dilakukan Chou Kian Ki kepadanya? Liu Cin menduga-duga, akan tetapi tidak mau bertanya apa-apa, bahkan dia bersikap biasa saja.
"Baiklah, Lan-moi. Memang aku tidak berhak mencampuri urusanmu."
"Bukan begitu, Cin-ko! Engkau harus mencampuri urusanku karena terus terang saja, tanpa bantuanmu aku tidak akan berhasil membunuh Chou Kian Ki. Akulah yang akan mati di tangannya engkau tidak mau membantuku."
Ucapan gadis itu keluar dengan suara sedih.
"Tentu saja, Lan-moi. Aku pasti akan tetap membantumu. Yang kumaksud adalah bahwa engkau tidak perlu menceritakan mengapa engkau membenci Chou Kian Ki kalau engkau tidak mau menceritakannya kepadaku."
Hui Lan merasa sedih sekali sehingga ia tidak dapat menahan ketika sepasang matanya menjadi basah dan beberapa butir air mata menetes keluar dan jatuh ke atas pipinya.
"Cin-ko, sekali lagi maafkanlah aku Sesungguhnya, setelah semua budi kebaikan yang kau limpahkan kepadaku, tidak semestinya aku masih merahasiakan sesuatu darimu. Akan tetapi, aku mohon kepadamu, bersabarlah, Cin-ko. Setelah aku berhasil membunuh jahanam itu pasti aku akan memberitahu kepadamu."
Melihat kesedihan Hui Lan, Liu Ci cepat berkata.
"Ah, sudahlah, Lan-moi jangan bicarakan hal itu lagi. Mari kita lanjutkan perjalanan kita. Kau bermaksud lebih dulu pergi ke Nan-king, bukan?"
Suara Liu Cin biasa dan gembira Seolah hendak mengalihkan percakapan tadi tidak mau mengingatnya lagi. Padahal di dalam hatinya, pemuda ini sudah dapat menduga, apa kiranya yang menyebabkan gadis itu mendendam sedemikian besarnya terhadap Chou Kian Ki tidak terlalu sukar ditebak. Hui Lan pernah ditunangkan dengan Kian Ki dan bahkan tinggal di gedung pemuda itu. Kemudian tiba-tiba gadis itu meninggalkannya dan dia menemukannya hendak bunuh diri! Malapetaka apa yang menimpa diri seorang gadis sehingga ia hendak membunuh diri dan kebenciannya sedemikian besarnya?
Dia dapat meraba dengan dugaannya. Bencana paling hebat yang membuat seorang gadis mendendam sakit hati kepada seorang laki-laki adalah perkosaan! Bukan hal yang mustahil kekejian itu dilakukan oleh seorang laki-laki macam Chou Kian Ki kepada Hui Lan. Kian Ki memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga dia tentu dapat menggunakan paksaan menggagahi Hui Lan atau dengan tipu, muslihat lainnya. Karena itu Hui Lan merahasiakannya, tentu gadis itu merasa malu untuk mengatakan kepada orang lain, terutama kepada dia. Akan tetapi ini hanya dugaannya dan dia mengharapkan semoga dugaan itu keliru.
Mendengar pertanyaan Liu Cin yang nadanya biasa dan gembira, Hui Lan rasa lega. Tadinya ia merasa khawatir kaau-kalau pemuda itu mendesaknya atau menjadi kecewa dan marah. Akan tetapi ternyata Liu Cin sama sekali tidak bersikap demikian malah sebaliknya menghentikan percakapan tentang hal itu. la merasa bersukur dan berterima kasih sekali. Semakin yakin hatinya bahwa Liu cin adalah seorang sahabat yang paling baik baginya. Maka ia pun menjadi gembira lagi dan menjawab sejujurnya.
"Benar, Cin-ko. Aku hendak singgah ke rumah orang tuaku, selain menceritakan tentang ditumpasnya pemberontakan yang dipimpin mendiang Jenderal Chou Ban Heng, juga aku ingin sekali memperkenalkan engkau kepada ayah ibuku!"
Wajah pemuda itu berubah kemerahandan hatinya berdebar girang. Kalau seorang gadis hendak memperkenal seorang teman prianya kepada orang tuanya, biasanya hal itu berarti bahwa gadis itu mencinta pria itu, agar orang tuanya mengenal pria pilihan hatinya! Kemudian mereka melanjutkan perjalanan mereka dengan hati ringan gembira. Keduanya merasa semakin suka dan cocok satu sama lain dan bagi Hui Lan sendiri kini rasa sukanya makin mendalam dan harus ia akui bahwa ia mulai jatuh cinta kepada Liu Cin. Song Kui Lin juga meninggalkan kota raja dan melakukan perjalanan seorang diri menuju ke Cin-an. Ia hendak pulang ke rumah ayah tirinya, yaitu Perwira Kwa Siong, duda yang mengawini ibunnya yang sudah menjanda.
Ayah tirinya itu tentu akan gembira sekali mendengar ia menceritakan tentang terbasminya pengkhianatan dan pemberontakan yang di pimpin mendiang Jenderal Chou Ban Heng. Ayahnya itu, biarpun ayah tiri, amat baik kepadanya dan ia tahu bahwa ayah tirinya adalah seorang perwira yang setia terhadap Kerajaan Sung. Sudah dua hari ia meninggalkan kota raja dan tiba di daerah pegunungan yang sunyi. Siang itu matahari memuntahkan sinarnya yang amat panas sehingga Kui Lin yang sejak tadi merasa betapa kulitnya disengat matahari, kini merasa nyaman setelah memasuki daerah yang berhutan dan sejuk dengan bayangan pohon-pohon. Ketika mendengar gemerciknya air, Kui Lin baru merasa betapa tenggorokannya terasa kering karena haus. la segera menyimpang dari jalan umum menyusup di antara pepohonan mencari dari mana datangnya suara air gemercik itu. Akhirnya dengan girang ia menemukan sebuah pancuran air, yaitu air gunung yang mengalir di antara batu-batu dan terjun ke bagian yang lebih rendah.
Air itu jernih sekali. Kui Lin lalu minum, membasuh mukanya dengan air yang dingin sekali, juga membasahi lehernya, leher nya, melepas sepatu menggulung celana untuk membasahi kakinya. Terasa dan sejuk bukan main. Karena tempat sepi, saking keenakan, Kui Lin mulai membuka bajunya karena timbul keinginannya untuk mandi! Tiba-tiba ia mendengar bunyi seperti ranting patah dan berkeresekan suara daun-daun kering terinjak kaki. Ia cepat menoleh dan melihat seorang laki-muda melangkah ke arah tempat itu.
"Kurang ajar!!"
La membentak laki-laki itu baru melihatnya lalu cepat laki-laki itu memutar tubuh, berdiri membelakangi Kui Lin yang setengah telanjang. Gadis itu cepat mengenakan lagi pakaiannya dan sepatunya, kemudian dengan lengan baju masih tergulung sehingga tampak kulit lengannya yang putih mulus berlawanan dengan pakaian yang serba hitam. Dengan langkah ringan dan cepat ia menghampiri laki-laki itu dan memaki.
"Laki-laki kurang ajar, engkau mengintai aku, ya? Anjing kau. monyet, kuda, babi "
Kui Lin tiba-tiba menghentikan makiannya ketika laki-laki itu memutar tubuh menghadapinya karena ia segera mengenalnya.
Pemuda itu bukan itu adalah Bu Eng Hoat, seorang di antara para pendekar yang membantu Pangeran Chou Kuan Tian membasmi pemberontak. Akan tetapi, biarpun ia tahu bahwa Bu Eng Hoat adalah seorang pendekar gagah perkasa yang kiranya tidak mungkin mau mengintai wanita dengan sengaja, ia pernah berkelahi melawan pemuda itu ketika ia hendak menangkapnya dengan tuduhan pemuda itu membunuh Menteri Liong. Teringat ini, Kui Lin yang tadinya sudah tenang, menjadi marah lagi.
"Hemmm, kiranya engkau, Bu Eng Hoat? Mengapa engkau mengikuti aku. Engkau membayangi aku, ya? Mau apa engkau mengikuti aku?"
Wajah Bu Eng Hoat menjadi kemerahan karena marah. Pemudaini berwatak jujur dan keras. Dituduh membayangi tadinya malah dituduh mengintai, dia werasa penasaran sekali.
"Song Kui Lin, engkau ini sungguh keterlaluan sekali! Tanpa menyelidiki lebih dulu begitu mudah menuduh orang! dulu engkau menuduh aku membunuh Menteri Liong, sekarang kembali engkau menuduh sembarangan. Tadi menuduh aku mengintai dan memaki-maki aku, sekarang menuduh aku membayangi dan mengikutimu! Apa kau kira di dunia ini cuma engkau seorang yang paling baik dan semua orang lain jelek dan jahat?"
"Siapa menuduh sembarangan? Aku menuduh karena ada sebabnya. Ketika aku menuduhmu membunuh Menteri Liong, aku diutus Pangeran Chou Kuan Tian untuk menangkapmu. Tadi aku menuduh engkau mengintai karena memang ketika aku membasuh badan, tahu-tahu engkau muncul. Apalagi kalau bukan mengintai? Dan sekarang, kenyataannya engkau berada di sini menyusul aku, apakah itu bukan mengikuti dan membayangi namanya? Hayo jawab kalau bisa!"
Kata Kui Lin galak.
"Akan tetapi buktinya semua tuduhanmu itu kosong dan tidak benar, kenyataannya, dulu aku bukan pembunuh bahkan pembela Menteri Liong. Dan tadi aku sama sekali bukan ingin mengintaimu, tetapi aku mendengar suara gemercik air dan aku ingin minum dan cuci muka. Juga aku tidak mengikuti karena aku memang meninggalkan kota raja dan hendak mencari Suhu Thong Leng Losu yang kini beradadi Beng-san. Nah, semua dugaanmu itu kosong dan keliru,bukan? Kebetulan saja kita bertemu di sini dan terus terangsaja aku senang dapat bertemu dengan engkau yang sudahkukenal sebagai seorang pendekar wanita sehaluan. Sayang begitu bertemu, engkau menyangka yang bukan-bukan!"
"Ooo, begitukah? Kalau benar begitu maafkan aku. Aku tadi membentak dan memakimu karena kaget. Siapa yang tidak kaget tiba-tiba melihat seorang laki-laki melotot memandang ke arah.... kakiku?"
Eng Hoat tersenyum.
"Aku tidak sengaja memandang, akan tetapi ketika melihat engkau membasuh kakimu, hemm, harus kuakui bahwa aku belum pernah lihat kaki seputih dan sebagus itu. Ketika engkau hendak membuka baju, aku cepat memutar tubuh membelakangimu. Aku bukan golongan laki-laki yang kurang ajar. Kui Lin, walaupun terus terangg saja, aku aku kagum dan suka melihat kakimu yang indah tadi."
Kini sepasang pipi Kui Lin yang kemerahan. Mendengar kakinya dipuji indah, apalagi yang memuji itu seorang pendekar yang ia tahu berwatak jujur dan bukan sekadar memuji untuk merayu, hati gadis mana yang tidak merasa bangga dan senang?
Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara gaduh dan muncul belasan orang yang dipimpin oleh tiga orang yang sudah mereka kenal sebagai tokoh-tokoh kang-ouw yang dulu membantu Pemberontak Chou Ban Heng. Mereka itu adalah Tung-hai tok, ketua Tung-hai-pang yang kini diikuti lima belas orang sisa anggauta Tunghai-pang yang tidak tewas dalam perang pemberontakan. Dia ditemani pula oleh Kanglam Sin-kiam Kwan In Su yang merupakan ahli pedang yang terkenal hingga mendapat julukan Kanglam kiam (Pedang Sakti dari Kanglam). Tosu ini berusia kurang lebih enam puluh tahun, bertubuh sedang dan mukanya bersih. Adapun orang ke dua yang menemani Tung-hai-tok adalah Im Yang Tosu, pendeta To tokoh dari utara yang tadi juga mendukung Chou Ban Heng dan ikut melarikan diri setelah pemberontakan itu gagal.
Tung-hai-tok, kakek berusia hampir tujuh puluh tahun yang tinggi besar bermuka merah itu tertawa bergelak ketika melihat Kui Lin dan Eng Hoat. Datuk sesat yang menjadi raja para penjahat di sepanjang pantai timur ini senang sekaali apalagi melihat Kui Lin yang jelita. Dia memang seorang yang memiliki watak mata keranjang.
"Ha-ha-heh-heh. bagus sekali! Ji-wi To-tiang (Kedua Pendeta To), mereka ini adalah dua orang di antara para pembantu Pangeran Chou Kuan Tian. Dengan membunuh mereka, setidaknya kekalahan kita yang lalu dapat terbalas!"
"Siancai!"
Im Yang Tosu berseru.
"Pinto tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan mereka, Tung-hai Pang-cu. Kalau pin-to (aku) membantu Pangeran Chou Ban Heng, hal itu adalah untuk menegakkan kembali Kerajaan Chou. Akan tetapi usaha itu telah gagal, Pangeran Chou Ban Heng telah tewas dan lagi pin-to, tidak ada permusuhan pribadi dengan siapa pun, juga dengan pemuda dan gadis ini!"
"Hemmm, Im Yang Tosu, engkau tidak setia! Mari, Kanglam Sin-kiam, kita berdua bunuh pemuda ini dan tangkap gadis jelita ini, aku ingin bersenang-senang dulu dengannya sebelum membunuhnya. Jangan pedulikan Im Yang Tosu yang tidak setia!"
Ajak Tung-hai-tok kepada Kwan In Su. Akan tetapi tosu inipun menggelengkan kepala.
"Aku pun tidak mencari permusuhan pribadi, apalagi membantumu yang mempunyai keinginan keji menuruti nafsu setan. Tidak, aku tidak mau membantumu."
Tung-hai-tok marah sekali dan pada saat itu tampak bayangan putih berkelebat dan di situ telah berdiri seorang wanita berpakaian serba putih, semua orang memandang penuh perhatian karena mereka tidak mengenal wanita itu. Umurnya sekitar tiga puluh tahun, wajah cantik berkulit putih, bentuk muka bulat. Namun kecantikannya itu membayangkan kekerasan hati, mulutnya berbentuk indah itu selalu tampak sinis seperti tersenyum mengejek dan sepasang matanya tajam dan dingin galak.
Agaknya Tung-hai-tok mengenai wanita cantik itu.
"Hai, bukankah engkau Pek Bian Ci, murid pertama dari Hwa Hwa Moli di puncak Ang-hwa-san (Gunung Bunga Merah)?"
Wanita itu dengan sikap dingin menjawab.
"Benar, Tung-hai Pang-cu (Ketua Perkumpulan Laut Timur). Mengapa engkau dan para anggauta Tung-hai-pang mengepung pemuda, gadis, dan dua orang tosu itu? Siapa mereka dan apa persoalannya?"
"Kebetulan sekali engkau datang, Pek Bian Ci. Engkau tentu telah mendengar betapa perjuangan para pahlawanan untukmenegakkan kembali Kerajaan Chou yang telah direbut oleh para pemberontak yang mendirikan Kerajaan Sung telah gagal. Banyak kawan kami para pahlawan pembela Kerajaan Chou tewas. Pemuda dan gadis ini adalah dua di antara mereka yang membantu pengkhianat Chou Kuang Yin, maka aku ingin membunuh mereka untuk membalas dendam. Akan tapi dua orang tosu ini yang tadinya membantu perjuangan sekarang berbalik tidak mau membantuku membunuh pemuda dan gadis ini. Pek Bian Ci, mengingat akan persahabatanku dengan Hwa hwa Moli gurumu, kuharap engkau suka membantuku membunuh pemuda dan gadis yang membela pemberontak Chou tuang Yin ini."
Pek Bian Ci mengerutkan alisnya dan tampak ragu-ragu. Akan tetapi Tung-hai-tok segera menyambung.
"Pek Bian Ci, bukankah gadis yang berjuluk Ang hwa Niocu itu juga datang dari Ang hwa-san dan merupakan murid Hwa Hwa Moli?"
"Ia adalah Lai Cu Yin, sumoi-ku seperguruanku). Di mana dia?"
Tanya Bian Ci.
"Sumoi-mu? Ia pun tadinya membantu kami akan tetapi ketika terjadi perang ia sudah tewas juga."
Tung-hai-tok bohong untuk memanaskan hati gadis baju putih itu.
Pek Bian Ci tampak marah.
"Keparat siapa berani membunuhnya? Hanya aku yang berhak membunuhnya! Marilah kita bunuh mereka untuk membalas dendam, Pek Bian Ci."
Mendengar ini, Pek Bian Ci lalu cabut pedangnya dan ia menghampiri Bu Eng Hoat.
"Biar kubunuh pemuda jahanam ini!"
Katanya dan tanpa banyak cakap lagi ia sudah menyerang dengan dahsyatnya.
Pedangnya meluncur menusuk ke arah dada Eng Hoat de jurus Sian-li-coan-ciam (Dewi Menusukan Jarum). Gerakannya cepat dan pedangnya menjadi sinar perak menyerang dada lawan. Bu Eng Hoat sudah siap dengan Toyanya. Dia menangkis dengan gerakan Sian-jin-sui-po (Dewa Menyambut Mustika).
"Tranggg.....!"
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pertemuan pedang dan toya menimbulkan percikan bunga api dan begitu menangkis, ujung toya yang lain sudah balas menyerang dengan jurus Liong-jip-houw-hiat (Naga Masuk Gua Harimau). Toya itu dengan dahsyat sudah menusuk ke arah perut Pek Bian Ci. Namun dengan gerakan yang amat gesit! Pek Bian Ci sudah mengelak dan balas menyerang. Segera terjadi perkelahian yang amat seru antara Pek Bian Ci dan Bu Eng Hoat. Pek Bian Ci adalah seorang wanita pembenci pria, maka begitu! mendapat lawan seorang pria, dengan semangat berapi-api ia menyerang dengan niat membunuhnya! Sementara itu, melihat Pek Bian Ci sudah membantunya dan menyerang Bu Eng Hoat, Tung-hai-tok sambil tersenyun menghadapi Song Kui Lin. Dengan mulut cengar cengir dia berkata.
"Nona manis, apakah tidak lebih baik kalau engkau menyerah saja dan menyerah saja dan menjadi sahabatku? Sayang kalau sampai kullitmu yang halus itu terluka."
"Jahanam keparat tua bangka mau mampus!"
Kui Lin membentak marah sambil melepaskan pedang yang dililitkan di pinggangnya sebagai sabuk.
"Tutup mulutmu yang busuk itu dan bersiaplah untuk mampus!"
Ia menggerakkan pedangnya yang lemas itu.
"Singgggg!"
Pedang itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung ketika ia memutarnya, kemudian sinar Itu mencuat dan menusuk ke arah dada Tung-hai-tok!
Tung-hai-tok sudah tahu akan kehebatan gadis ini, maka ia juga tidak berani memandang rendah. Kalau tadi dia mengharapkan untuk dapat menawan gadis ini adalah karena dia mengandalkan bantuan dua orang tosu itu. Akan tetapi ternyata Kwan In Su dan Im Yang Tosu tidak mau membantunya, maka karena dia hanya maju seorang diri, dia tidak berani memandang ringan dan segera mencabut sepasang pedangnya. Dia menangkis lalu memutar siangkiam (sepasang pedang) itu, membalas serangan Kui Lin dengan dahsyat sehingga mereka lalu bertarung mati-matian. Dua orang tosu itu tidak mau membantu Tung-hai-tok, akan tetapi tidak mau membantu Kui Lin dan Eng Hoat.
Mereka tadinya membantu Pangeran Chou Ban Heng untuk memperjuangkan bangkitnya kembali Kerajaan Chou. Sekarang, perkelahian itu adalah urusan pribadi yang sama sekali tidak menyangkut perjuangan melainkan dendam pribadi. Apalagi Tung-hai-tok mempunyai niat kotor terhadap gadis cantik itu. Mereka tidak ingin mencampuri dan hanya menonton. Perkelahian itu seru dan mati-mat Akan tetapi setelah lewat tiga puluh jurus, mulai tampak betapa Kui Lin repotan melawan Tung-hai-tok, dan Eng Hoat juga terdesak oleh Pek Bian Ci yang ternyata lihai bukan main. Kelihaian wanita itu tidaklah aneh kalau diingat bahwa ia merupakan murid tersayang dari Hwa Hwa Moli dan suci (kakak seperguruan) dari Ang-hwa Niocu Lai Cu Yin yang sudah kita kenal kelihaiannya!
Kwan In Su dan Im Yang Tosu hanya menonton. Mereka tidak mau mencampuri perkelahian itu karena merasa bahwa itu bukan urusan mereka dan tidak ada sangkut pautnya dengan perjuangan. bahkan mereka merasa tidak enak dan telah siap untuk meninggalkan tempat itu. Akan tetapi mereka terkejut mendengar suara melengking di angkasa dan melihat seekor burung rajawali meluncur turun dengan cepat. Di punggung rajawali Itu duduk seorang pemuda yang mereka kenal karena pemuda itu pernah membantu pemerintah Kerajaan Sung melawan pemberontak. Karena hati mereka tertarik, maka mereka tidak jadi pergi dan ingin melihat apa yang akan terjadi. Yang datang adalah Si Han Lin dengan rajawalinya.
Seperti diketahui, Si Han Lin dengan para pendekar muda lainnya menghadap Kaisar, diantar oleh Pangeran Chou Kuan Tian dan menolak pemberian kedudukan akan tetapi tidak mungkin menolak pemberian hadiah sekantung uang emas. Dia tidak tergesa-gesa meninggalkan kota raja dan selama dua hari dia berjalan-jalan dan mengagumi keadaan kota raja yang ramai serba mewah. Akan tetapi di samping gedung-gedung besar dan megah, melihat kenyataan bahwa gubuk-kecil reyot lebih banyak jumlahnya dan mereka berada di perkampungan, tersembunyi di belakang gedung-gedung megah itu. Dia melihat pula toko-toko yag dibanjiri pengunjung yang rata-berpakaian indah dan mewah, ada yang menunggang kereta. Namun jumlah mereka masih kalah jauh dibanding dengan mereka yang berpakaian sederhana, pakaian lusuh, bahkan banyak para pengemis berkeliaran di jalan raya mengharapkan dermaan dari para hartawan yang kebanyakan lewat tanpa menengok seolah para pengemis itu tidak tampak oleh mereka.
Melihat perbedaan yang mencolok antara si kaya dan si miskin ini, Si Han Lin menjadi terharu dan sedih, lalu menukarkan uang emasnya pemberian Kaisar kepada para pedagang besar untuk mendapatkan potongan uang yang lebih sehingga sekantung uang emas itu menjadi lima kantung uang dengan potongan yang lebih kecil. Malamnya, dia lalu berkeliling dan diam-diam, tanpa tahu penghuninya, dia membagi-bagi dan melemparkan potongan emas kecil ke dalam gubuk mereka. Bagi para penduduk miskin itu, sepotong emas kecil kiranya cukup untuk makan sekeluarga beberapa bulan lamanya! Setelah uangnya habis, pada keesokan harinya Han Lin meninggalkan kota raja. tibanya di luar kota raja di waktu pagi, tiba-tiba terdengar suara yang amat dikenalnya di udara. Dia menengadah dan gembir"
Sekali melihat rajawali terbang melayang di udara.
"Tiauw-ko!"
Dia berseru sambil mengerahkan tenaga dalamnya sehingga nya dapat mengandung getaran kuat yang mencapai rajawali itu. Sang rajawali mendengar dan sambil memekik girang dia meluncur turun dan hinggap di atas tanah di dekat Han Lin. Begitu hinggap di tanah, rajawali itu lalu menghadap ke arah Han Lin, mengangguk-anggukkan kepalanya lalu mendekam. Han Lin yang sejak kecil berkumpul dengan rajawali itu, maklum akan bahasa isarat ini. Dia tahu bahwa rajawali itu minta agar dia menungganginya dan bahwa rajawali itu memikul tugas tertentu yang diberikan Thai Kek Siansu, gurunya. Tentu gurunya ingin agar dia menghadap. Tanpa ragu lagi dia lalu melompat atas punggung rajawali dan terbanglah burung raksasa itu.
Akan tetapi tak lama kemudian, Han Lin melihat perkelahian di bawah di bagian hutan kecil yang terbuka hingga tampak dari atas. Dia memberi tanda kepada rajawali untuk melayang turun dan melihat bahwa yang berkelahi adalah Kui Lin dan Eng Hoat yang tanding dengan Tung-hai-tok dan seorang wanita baju putih yang lihai. Jelas bahwa dua orang sahabatnya itu terdesak oleh lawan. Maka dia cepat menyuruh rajawali turun dan pada saat itu, keselamatan Kui Lin dan Eng Hoat sudah terancam bahaya maut karena Tung-hai-tok yang ingin cepat-cepat mengalahkan lawan segera mengerahkan lima belas orang anak buahnya untuk mengeroyok!
Melihat keadaan ini, Han Lin memberi aba-aba kepada rajawali dan dia sendiri lompat dan menerjang Tung-hai-tok yang mendesak Kui Lin. Rajawali yang tanggap akan aba-aba Han Lin juga menyerang dan menyambar-nyambar ke arah belasan orang anggauta Tung-hai-pang sehingga mereka menjadi terkejut dan gentar. Banyak yang kena cakar atau kena patuk dan banyak yang terpelanting oleh pukulan sayap burung sakti itu!
"Trang-cring!"
Sepasang pedang di tangan Tung-hai-tok terpental, kedua tangannya tergetar dan nyeri ketika sepasang pedangnya disambar Pek-sim-kiam yang menangkisnya. Tung-hai-tok terkejut dan melompat ke belakang, terbelalak ketika melihat siapa yang datang menangkis siang-kiam di tangannya itu. Dia merasa gentar karena dia maklum akan Kelihaian pemuda yang menunggang rajawali itu.
Sementara itu, Pek Bian Ci yang tidak mengenal Han Lin, tidak peduli akan munculnya pemuda dengan rajawali nya itu. Dengan penuh semangat kebencian terhadap laki-laki yang dilawannya, pedangnya yang berubah menjadi sinar bergulung-gulung, menyambar-nyambar Bu Eng Hoat yang sekuat tenaga melindungi dirinya dengan putaran toyanya. Namun, desakan Pek Bian membuat dia terhuyung ke belakang. Han Lin yang sudah membuat Tung hai-tok melompat ke belakang, melihat betapa Bu Eng Hoat terancam bahaya. Dia melompat dan sinar putih pedang menghadang desakan Pek Bian Ci. Ketika gadis yang membenci laki-laki ini meihat ada pemuda lain menghadangnya, menerjang dengan ganas dan dahsyat.
"Mampuslah!"
Pedangnya membacok ke arah leher dengan pengerahan sinkang (tenaga sakti) sekuatnya. Han Lin dengan tenang menggetarkan Pek-sim kiam dan menangkis.
"Tranggggg.....!"
"Aihhh!"
Pek Bian Ci terkejut bukan main. Pedangnya hampir terlepas dari tangannya dan ia merasa betapa telapak tangannya yang memegang pedang panas dan pedih. Ia memiliki sin-kang yang amat kuat. Kalau kini ada yang yang menangkis pedangnya dan membuat tangannya tergetar hebat dan telapak tangannya panas, maka jelas bahwa tenaga sakti orang itu lebih kuat daripada tenaganya sendiri! Ketika ia menoleh, ia melihat Tung-hai-tok juga sudah menjauh dan la terbelalak melihat seekor burung rajawali raksasa mengobrak-abrik belasan orang anggauta Tung-hai-pang. Tung-hai-tok sendiri melihat Pek Bian Ci melompat ke belakang dengan wajah pucat dan melihat anak buahnya terpelanting ke sana sini, maklum bahwa melawan terus sama saja dengan bunuh diri. Maka dia bersuit nyaring memberi tanda kepada anak buahnya untuk melarikan diri. Dia sendiri melompat jauh dan pergi. Melihat ini, Pek Bian Ci memaki dalam hatinya.
"Pengecut!"
Karena yang ia bela sudah melarikan diri, ia pun tidak ingin celaka di tangan orang yang lebih kuat daripadanya. Ia juga melompat dan larikan diri.
"Lin-ko!"
Kul Lin menghampiri Han Lin dan memegang lengan kakaknya itu, kakak angkat, dengan manja, sementara itu, Bu Eng Hoat menghampiri dua orang tosu yang masih berdiri situ. Dia memberi hormat dan berkata kepada mereka.
"Ji-wi To-tiang (Bapak Pendeta dua), kami mengucapkan terima kasih bahwa ki-wi tidak ikut menyerang kami"
"Siancai! Untuk apa kami menyerang kalian? Kami tidak mempunyai urusan pribadi dengan kalian."
Kata Im Yang Tosu.
Kui Lin menggandeng tangan Han Lin menghampiri dua orang tosu itu. Han Lin segera berkata.
"Ji-wi adalah pendeta-pendeta, sekarang tidak memusuhi kami akan tetapi mengapa ji-wi membela pemberontak Chou Ban Heng? Kami yang merasa diri sebagai para pendekar membela pemerintah, akan tetapi mengapa ji-wi malah membantu pengkhianat dan pemberontak?"
Kanglam Sin-kiam Kwan ln Su menjawab.
"Siapakah yang memberontak? Siapa pula yang membantu pengkhianat dan pemberontak? Kami adalah orang-orag setia kepada Kerajaan Chou dan kami bahkan menentang kekuasaan pemberontak."
Mendengar jawaban ini, Si Han Lin tertarik dan segera menghampiri dan berhadapan dengan dua orang tosu itu.
"Maaf, Ji-wi To-tiang. Saya merasa tertarik dan heran mendengar jawaban tadi. Maukah Ji-wi memberi penjelasan tenntang siapa yang menjadi pengkhianat dan pemberontak menurut pendapat To-liang?"
Kini Im Yang Tosu yang menjawab.
"Siancai, selalu terjadi hal seperti ini, pandangan seperti ini dari dua kelompok yang saling bertentangan. Pin-to (Aku) tahu, kalian para pendekar muda karena menganggap bahwa Chou Kuan Yin yang kini menjadi Kaisar Sung Thai Cu itu benar, maka kalian, berpihak kepadanya dan membela Kerajaan Sung yang didirikannya! Kalian menganggap bahwa Pangeran Chou Ban Heng seorang pengkhianat dan pemberontak!"
"Kenyataannya memang demikian"
Kui Lin berkata dengan galak.
"Dia hendak membunuh Sribaginda Kaisar bermaksud merebut tahta kerajaan!"
"Itu pendapat kalian. Akan tetapi pendapat kami lain sama sekali bahkan sebaliknya dari pendapat kalian. Pangeran Chou Ban Heng adalah seorang patriot yang setia kepada Kerajaan Chou. Semua orang tahu bahwa Chou Kuang Yin merebut tahta kerajaan Chou dan mendirikan Kerajaan Sung. Dialah yang menjadi pengkhianat dan pemberontak bagi Kerajaan Chou. Adapun Pangeran Chou Ban Heng adalah keturunan keluarga Kerajaan Chou yang setia dan berniat untuk menjatuhkan Kerajaan Sung dan membangun kembali Kerajaan Chou. Karena kami menganggap dia benar, dan kami juga ingin memperlihatkan kesetiaan kepada Kerajaan Chou yang dijatuhkan Chou Kuan Yin atau Kaisar Sung Thai maka kami membantu mendiang Pangeran Chou Ban Heng!"
Kata Kanglam sinkiam Kwan In Su menggantikan ucapan sahabatnya.
Kui Lin hendak membantah lagi akan tetapi Han Lin memberi isarat agar ia diam, lalu Han Lin memberi hormat kepada dua orang tosu itu dan berkata.
"Saya hargai pendapat Ji-wi To-tiang itu karena pendapat itu memang tidak dapat disangkal kebenarannya kalau hati akal pikiran kita terbebas dari keakuan yang selalu memihak demi kesenangan dan kepentingan diri pribadi. Kebenaran seseorang atau sepihak mungkin saja dipandang sebagai yang tidak benar sama sekali oleh orang atau pihak lain.
Perbedaan ini timbul dari penilaian dan penilaian biasanya dipengaruhi kepentingan diri sendiri. Yang menguntungkan diri pribadi tentu saja dianggap baik dan benar, sebaliknya yang merugikan diri pribadi selalu dianggap tidak baik dan tidak benar. Demikian pula dengan adanya bentrokan antara sisa pengikut Kerajaan Chou dan pengikut Kerajaan Sung. Akan tetapi, kalau kita dapat menyisihkan keakuan yang selalu mementingkan diri sendiri itu, akan muncul kebijaksanaan dapat melihat kenyataan. Melihat Jiwi Totiang, tentu Jiwi masih ingat akan keadaan pemerintah sebelum Kerajaan Sung berdiri. Lima Wangsa timbul tenggelam dalam waktu singkat, kerajaan demi kerajaan bangun dan jatuh karena terjadinya perebutan kekuasaan dan perang saudara.
Juga tercatat dalam ingatan orang-orang tua betapa Kerajaan Chou juga demikian, rapuh dan pemerintahannya dipenuhi orang-orang yang menjadi penguasa lalim, korup dan memperkaya diri sendiri, bahkan memeras rakyat jelata. Lalu bandingkan dengan kebijsanaan pemerintah Kerajaan Sung yang sekarang! Tidak ada yang dapat mengingkari akan kebijaksanaan Sribagida Kaisar Sung Thai Cu yang selalu menjauhi pertikaian dengan bersikap adil pemurah, juga bersikap adil dan keras terhadap pejabat yang menyeleweng dari peraturan pemerintah. Karena itu kami mendukung dan membela Kerajaan Sung yang pemerintahannya mulai berusaha sekuatnya untuk memerangi kemiskinan dan menyejahterakan rakyatnya. Kami para pendekar akan selalu membela kepentingan rakyat, bukan kepentingan diri pribadi."
Dua orang tosu itu memandang kagum.
"kami berdua juga bukan orang-orang yang nekat tanpa mau melihat kekeliruan diri sendiri, orang muda yang bijaksana."
Kata Kwan In Su sambil memandang kagum.
"Setelah berada di gedung mendiang Pangeran Chou Ban Heng, baru kami mengetahui bahwa dia berjuang karena ambisi priibadi, ingin menjadi Kaisar dan dia juga mengundang tokoh-tokoh kangouw yang sesat untuk membantunya. Hal ini kami sadari, maka setelah usaha merebut kekuasaan itu gagal, kami tidak mau terlibat oleh permusuhan pribadi yang diperlihatkan Tung-hai-tok tadi. Mulai sekarang, kami akan berhati-hati dan tidak mudah dipengaruhi pihak yang menuruti nafsu keinginan pribadi dengan berkedok perjuangan. Kami ingin tekun dalam pertapaan kami."
Dua orang tosu itu memberi salam lalu keduanya pergi dari tempat itu. Han Lin menghadapi Kui Lin dan Eng Hoat sejenak memandang mereka bergantian lalu tersenyum.
"Hemmm, bagus sekali kalian bekerja sama menghadapi serangan Tung hai-tok dan wanita baju putih yang lihai itu. Seandainya kalian tidak melakukan perjalanan bersama, tentu akan lain kesudahannya."
"Akan tetapi kalau engkau tidak segera muncul menolong,kami berdua tentu tidak akan hidup saat ini."
Kata Eng Hoat.
"Bukan aku yang menolongmu atau rajawali itu, melainkan Tuhan yang mengatur sehingga aku dan Tiauw-ko (Kakak Rajawali) datang pada saatnya yang tepat. Bu Eng Hoat, aku juga berterima kasih atas perlindunganmu terhadap adiku Kui Lin."
"Ah, aku tidak melindunginya, mungkin malah la yang melindungiku atau kami saling melindungi, begitulah....."
Kata Eng Hoat bingung karena dia memang tidak pandai bicara.
"Lin-ko, aku tidak melakukan perjalanan bersama dia!"
Kata Kui Lin.
"Benar, Saudara Han Lin. Kami hanya kebetulan saja bertemu di sini."
Kata Eng Hoat membenarkan.
Han Lin tersenyum. Dia senang melihat adik angkatnya itu bergaul dengan Bu Eng Hoat yang gagah, ganteng jantan.
"Ha-ha, ini artinya kalian sudah jodoh...
"
"Lin-ko!"
Kui Lin menjerit sambil melotot kepada kakak angkatnya, mukanya merah padam. Eng Hoat juga terkejut dan menundukkan mukanya yang berubah kemerahan.
"Ha-ha-ha, dengarkan dulu omonganku dan jangan marah, dulu, anak manis!"
Kata Han Lin.
"Omonganku tadi belum selesai sudah kau sambar begitu saja. Yang kumaksudkan, kalian ini sudah jodoh untuk berjumpa di sini, menjadi kawan seperjalanan. Bukankah pertemuan kalian ini tidak disengaja? Nah, itulah artinya jodoh, sudah dipertemukan oleh Tuhan. Berjodoh untuk melakukan perjalanan bersama yang kumaksud, bukan jodoh... hemmm, kalau soal jodoh itu, terserah kepada hati kalian masing-masing. Nah, aku harus cepat pergi, Lin-moi. Guruku memanggilku dan mengirim rajawali untuk menjemputku."
"Aku ikut, Lin-ko!"
"Hush, mana mungkin? Aku menunggang rajawali dan burung ini tidak dapat membawa dua orang, selain itu guru tidak akan mengijinkan aku membawa orang lain menghadap beliau. Engkau pulanglah dulu ke rumah orang tuamu di Cin-an dan setelah aku menghadap Suhu aku akan menyusulmu ke sana. Pulang dan aku minta kepadamu, Saudara Eng Hoat, kau temanilah adikku ini lakukan perjalanan ke Cin-an."
Kui Lin hendak membantah dan Han Lin cepat melanjutkan kata-katanya "Kalian berdua tadi melihat sendiri bahwa masih ada sisa para pengikut Pangeran Chou Ban Heng yang lihai dan akan menyerang kalian kalau bertemu dengan kailan. Nah, dengan melakukan perjalanan bersama kalian akan dapat saling bantu dan saling melindungi, sehingga akan lebih kuat kalau bertemu musuh, Nah sekarang aku harus pergi!"
Setelah berkata demikian, tanpa memberi kesempatan kepada Kui Lin untuk membantah lagi. Han Lin melompat ke atas punggung rajawali yang sudah siap dan mendekam di situ. Rajawali itu lalu terbang dengan cepatnya.
Bu Eng Hoat menghela napas panjang dengan amat kagum.
"Bukan main hebatnya kakakmu itu, Kui Lin. Aku pernah mendengar cerita guruku Thong Leng losuhu tentang Thai Kek Siansu yang amat sakti dan melihat kakakmu yang menjadi muridnya, baru aku tahu bahwa apa yang diceritakan guruku itu memang benar."
Tentu saja Kui Lin merasa bangga. Ia adalah adik angkat Si Han Lin dan senang hatinya mendengar kakaknya dipuji-puji.
"Kakakku memang hebat,"
Katanya. 'Akan tetapi, Bu Eng Hoat, engkau harus tahu bahwa aku sama sekali tidak pernah minta engkau untuk menemani aku pergi ke Cin-an!"
"Aku tahu, Kui Lin. Kakakmu Si Han Lin yang minta aku menemanimu, akan tetapi andaikata kakakmu tidak memintanya, aku pun sedang melakukan perjalanan searah. Aku hendak pergi ke Beng-san, mencari guruku. Karena itu, tidak ada salahnya kalau kita melakukan perjalanan bersama. Tentu saja, kalau kau sudi melakukan perjalanan bersama aku, seorang pemuda yatim piatu miskin dan bodoh."
"Ih, siapa bilang engkau bodoh? tentang miskin, aku tidak peduli orang kaya atau miskin, yang penting orang itu benar dan berwatak pendekar. Lagi pula bukankah engkau juga menerima hadiah sekantung uang emas dari Sribaginda Kaisar? Dengan memiliki sekantung emas itu, engkau tidak miskin lagi."
"Jadi, engkau sudi melakukan perjalanan bersamaku?"
Eng Hoat bertanya penuh gairah karena gembira.
"Asal engkau tidak macam-macam!'
"Kui Lin, apa maksudmu dengan macam-macam itu?"
"Aih, sudahlah mari kita lanjut perjalanan!"
Kata Kui Lin sambil tersenyum simpul.
Mereka lalu melakukan perjalanan berama. Setelah melakukan perjalanan bersama selama beberapa hari saja, pergaulan mereka menjadi akrab. Kui Lin menndapatkan kenyataan bahwa pemuda itu adalah seorang yang berwatak bersih dan baik, selalu bersikap sopan dan hormat kepadanya.
Chou Kian Ki berlutut, mendekam dan menangis di depan gundukan tanah dimana dia baru saja selesai mengubur jenazah ayahnya. Dia tenggelam ke dalam kenangan yang menyedihkan tentang ayahnya, tentang keluarga ayahnya, dan tentang dirinya sendiri. Perjuangan ayahnya membangun kembali Kerajaan Chou gagal, bahkan ayahnya tewas. Dia sendiri masih belum hilang kedukaannya karena kehilangan Ong Hui Lan, satu-satunya gadis yang sangat dikasihinya, bahkan sudah menjadi tunangannya dan lebih daripada itu, sudah digaulinya.
Biarpun dengan mudah dia dapat mencari adis- gadis lain yang cantik, namun tidak ada yang dapat dikasihinya seperti dia mengasihi Ong Hui Lan. Perjuangan gagal ayahnya tewas, kekasihnya meninggalkannya. Biarpun dia mendengar bahwa ibu dan keluarga ayahnya tidak dihukum oleh Kaisar Sung Thai Cu, namun dia merasa malu untuk kembali ke kota raja. Pula belum tentu Kaisar Sung Thai Cu atau Pangeran Chou Kuan Tian akan mengampuninya dan tidak menghukumnya seperti ibu dan keluarga ibunya karena dia sendiri terjun secara langsung dalam pemberontakan ayahnya.
Setelah agak reda tangisnya dan menghapus air matanya, dia tampak lebih tenang walaupun sepasang matanya menjadi kemerahan dan wajahnya muram rambut dan pakaiannya kusut tidak seperti biasanya dia selalu berpenampiilan mentereng dan pesolek. Tiba-tiba mendengar suara banyak orang dan ketika dia menoleh, ternyata yang datang adalah Tung-hai-tok bersama belasan anak buahnya. Wajah kakek ini tampak muram dan marah, akan tetapi diagembira dapat bertemu dengan Chou Kian Ki di tempat itu.
"Chong Kongcu!"
Katanya sambil memberi hormat.
"Pangcu (Ketua),"
Kata Kian Ki.
"Senang hatiku melihat engkau dapat menyelamatkan diri. Di mana teman-teman lain? Apakah tidak ada yang dapat menyelamatkan diri dan sudah terbunuh smnua?"
Tung-hai-tok tidak menjawab karena memandang ke arah gundukan tanah kuburan itu.
"Chou Kpngcu, siapakah yang dikubur di situ?"
Dengan lesu Kian Ki menjawab.
"Aku baru saja mengubur jenazah ayah di sini."
"Ahhh!"
Tung-hai-tok lalu menghampiri kuburan itu lalu menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh belasan orang anak buah Tung-hai-pang. Setelah memberi hormat kepada kuburan Pangeran Chou Ban Heng, kembali Tung-hai-tok duduk di atas tanah berumput menghadapi Kian Ki.
"Pangcu, engkau belum menjawab pertanyaanku tadi. Di mana teman-teman yang lain?"
Tung hai-tok mengepal kedua tangannya dengan wajah merah karena marah "Hemmm, sungguh menggemaskan Ketahuilah, Kongcu. Tadi aku berhasil melarikan diri dengan belasan orang anakbuahku dan juga bersama Kwan In dan Im Yang Tosu. Di dalam perjalan kami bertemu dengan dua orang di antara musuh-musuh kita, yaitu gadis yang bernama Song Kui Lin dan Bu Eng Hoat. Aku sudah merasa girang akan dapat membalas dendam membunuh dua orang itu. Akan tetapi sungguh menggemaskan, dua orang tosu brengsek itu tidak mau membantuku dan hanya menjadi penonton!"
"Hemmm, kenapa begitu? Bukankah selama ini mereka berdua menjadi pembantu setia dari mendiang ayahku?"
"Mereka mengatakan bahwa urusan memperjuangkan Kerajaan Chou telah gagal dan selesai, dan mereka tidak mau membuat permusuhan pribadi. Sungguh menyebalkan!"
"Lalu bagaimana? Bukankah engkau bersama belasan orang anak buahmu, pangcu?"
"Dua orang muda itu cukup lihai dan kebetulan pada saat itu muncul Pek Bian Ci, gadis murid Hwa Hwa Moli dari Ang-san. Ia mau membantuku karena aku mengenal baik gurunya dan kami berdua sudah mendesak dua orang musuh itu dan sudah hampir membunuh mereka akan tetapi"
Tung-hai-tok menghela napas panjang.
"Akan tetapi bagaimana, Pangcu?"
"Sungguh sialan! Mendadak saja muncul pemuda yang menunggang rajawali itu!" "Hemmm, Si Han Lin itu?"
"Benar, Kongcu. Dia muncul dan bersama rajawalinya membantu dua orang musuh kita itu sehingga usahaku membunuh mereka gagal. Terpaksa kami melarikan diri karena dengan adanya penunggang rajawali itu, kami kalah kuat."
"Hemmm, menyebalkan sekali Si Han Lin itu! Aku pernah bertanding melawan dia dan aku belum kalah. Lain kali kalau kami saling bertemu, aku akan bunuh dia!"
Kata Chou Kian Ki geram.
Dia ingat bahwa selain menjadi penyebab gagalnya perjuangan ayahnya, juga Han Lin itu yang menggagalkan dia membawa pulang Ong Hui Lan, tunangan wanita yang dikasihinya. Tung-hai-tok yang sudah tahu betapa lihainya putera Pangeran Chou Ban Heng ini, mengangguk-angguk.
"Aku percaya Kongcu pasti akan mampu mengalahkan dan membunuhnya. Dan kalau sewaktu-waktu Kongcu membutuhkan bantuan kami, Kongcu mengetahui ke mana mencari Tung-hai-pang. Kami selalu membantumu."
"Terima kasih, Pangcu. Aku tak akan pernah melupakan bantuan Pangcu dan Tung-hai-pang yang setia membantu mendiang ayah. Kalau kelak aku berhasil menjadi Raja Kang-ouw, aku pasti mau membantu untuk memperbesar dan memperkuat Tung-hai-pang sebagai sahabat utama."
Tung-hai-tok bersama anak buahnya melanjutkan perjalanan kembali ke pantai Timur, meninggalkan Chou Kian Ki yang kemudian duduk termenung lagi depan makam ayahnya. Setelah merasa puas duduk termenung depan makam ayahnya, Kian Ki lalu mengambil sebuah batu gunung yang besar, menggulingkannya sampai di depan kuburan ayahnya dan pedangnya Hek-kong-Kiam (Pedang Sinar Hitam) dia pergunakan untuk mengukir nama ayahnya di permukaan batu besar itu. Pedang pusaka sangat tajam itu, digerakkan tangan yang dipenuhi tenaga sakti, mengukir huruf-huruf besar berbunyi:
MAKAM YANG MULIA CHOU BAN HENG DARI KERAJAAN CHOU.
Setelah merasa puas dia segera pergi setelah memberi penghormatan terakhir. Baru saja keluar dari hutan di bukit itu, tiba-tiba terdengar suara wanita memanggilnya.
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Chou Kongcu.....!"
Kian Ki berhenti melangkah dan membalikkan tubuhnya. Dia melihat Ang-hwa Niocu Lai Cu Yin berlari cepat menghampirinya. Wanita itu sama sekali tidak tampak seperti seorang yang baru saja mengalami kekalahan perang dan melarikan diri. Ia masih tampak cantik pakaiannya indah mengenakan perhiasan mencolok, dan tiga bunga merah di rambutnya masih seperti biasa, berseri seperti juga wajahnya yang cantik. Ronce-ronce di gagang pedangnya berkibar ketika ia berlari cepat.
"Yin-moi!"
Kian Ki berseru girang.
"Sukur engkau dapat meloloskan dengan selamat."
Ketika Lai Cu mendekat, Kian Ki merangkul yang dibalas dengan penuh kemanjaan dan kemesraan oleh Lai Yu Cin. Mereka bercumbu di tempat sunyi itu untuk melepaskan kerinduan dan terutama untuk menghibur hati mereka yang gundah karena kekalahan dalam pertempuran lawan para pendukung Kerajaan Sung.
Setelah melepaskan kerinduan hati mereka duduk di atas batu-batu yang banyak terdapat di luar hutan itu.
"Kongcu, engkau sekarang hendak pergi ke manakah?"
Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo