Si Rajawali Sakti 3
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
"Aku mau menjadi kaisar baru akan tetapi kalian harus bersumpah dulu bahwa kalian akan menaati semua perintahku sebagai kaisar!"
Para perwira itu serentak menyatakan sumpah mereka bahwa mereka akan mematuhi semua perintah Chao Kuang Yin sebagai kaisar mereka! Demikianlah, dengan mengenakan pakaian sebagai seorang kaisar, Chao Kuang Yin memimpin balatentaranya kembali ke kota raja. Dan memerintahkan agar pasukannya tidak melakukan kekerasaan, tidak mengganggu para pembesar dan rakyat.
Sang Permaisuri yang mewakili puteranya, kaisar yang masih kecil, tidak melihat jalan lain kecuali menyerah. Apalagi ternyata bahwa Chao Kuang Yin m enggunakan taktik lunak, seluruh keluarga istana tidak ada yang diganggu. Mereka dibiarkan hidup seperti biasa, hanya mendapatkan tempat tinggal di luar istana. Bahkan hanya para pejabat yang benar-benar brengsek dan melakukan kejahatan saja yang dihukum. Yang kesalahannya tidak amat besar diampuni dan yang kesalahannya hanya sedikit masih diperbolehkan memegang jabatan yang dengan janji sumpah bahwa mereka akan memperbaiki kelakuannya.
Setelah menjadi kaisar baru, Chao Kuang Yin mendirikan kerajaan baru, yaitu Dinasti Sung dan dia memakai nama Kaisar Sung Thai Cu (960 - 976). Bukan hanya Kaisar Sung Thai Cu mengambil alih kekuasaan, mengganti Dinasti Chou dengan Dinasti Sung tanpa kekerasan sehingga tidak mengorbankan perang dan tidak ada yang terbunuh, juga dia menggunakan taktik akhirnya dengan gemilang. Dia maklum bahwa pihak yang membahayakan adalah para perwira yang dulu mengangkatnya menjadi kaisar dengan paksa. Mereka yang memiliki ambisius besar itu mungkin saja sewaktu-waktu mengulangi perbuatan mereka yang sama untuk memberontak dan menjatuhkannya, menggantinya dengan seorang kaisar baru lagi! Maka dia memanggil dua belas orang perwira itu, menjamu mereka dengan makan minum dalam sebuah pesta diantara mereka sendiri Kemudian setelah mereka makan minum sepuasnya, Kaisar Sung Thai Cu berkata.
"Para perwira yang berjasa! Setelah kini semua cita-cita kita terlaksana dan aku menjadi kaisar pertama dari Dinasti Sung yang kita dirikan, setiap malam aku tidur dengan gelisah kalau aku memikirkan dengan sangsi dan ragu, sampai dimanakah kesetiaan kalian kepadaku?"
Para perwira itu terkejut dan saling pandang, lalu seorang dari mereka yang paling tua, usianya enam puluh tahun berkata.
"Sribaginda, mengapa Paduka berkata demikian? Tentu saja hamba semua setia kepada Paduka. Bukankah selama ini hamba semua selalu menaati semua perintah Paduka?"
Kaisar Sung Thai Cu menghela napas sebelum menjawab.
"Yang mengganjal dalam hati kami adalah
(Lanjut ke Jilid 03)
Si Rajawali Sakti (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 03
kalau kami terringat akan perbuatan kalian ketika memaksa aku menjadi kaisar baru. Sekarang, seandainya kalian melakukan lagi hal itu pada seseorang untuk menjadi kaisar baru menggantikan aku, apakah orang itu dapat menolaknya?"
Kembali para perwira itu saling pandang dan perwira tua yang mewakili mereka segera berkata.
"Sribaginda Kaisar Yang Mulia, percayalah kepada hamba sekalian. Tidak sembarang orang dapat dipilih menjadi kaisar dan kalau dulu hamba sekalian memilih Paduka, hal itu karena Padukalah satu-satunya calon yang memenuhi syarat untuk menjad kaisar!"
"Dengarlah, para pembantuku yan baik Syak wasangka dan praduga merupakan hal yang amat berbahaya bagi kedua pihak. Untuk mengatasi hal ini di antara kita, aku telah mempunyai rencana yang amat baik. Kita semua sudah semakin tua dan melihat jasa-jasa kalian, sudah sepatutnyalah kalau kalian kini hidup dalam keadaan sejahtera dan bahagia penuh kedamaian, tidak perlu memusingkan urusan negara. Maka, sebabaiknya, kalian mengajukan permohonan mengundurkan diri dan kalian semua akan kami berikan tanah, tempat tinggal yang memadai dan harta benda yang cukup. Selain itu, kita dapat memperdekat hubungan dengan ikatan-ikatan keluarga saling menjodohkan keturunan kita sehingga kita menjadi sebuah keluarg besar di mana tidak akan ada lagi curiga-mencurigai dan syak wasangka yang buruk. Bagaimana pendapat kalian?"
Dua belas orang perwira itu tentu saja merasa setuju dan merasa terhormat sekali. Mereka lalu mengajukan permohonan berhenti dari kedudukan mereka dengan berbagai alasan. Kemudian Kaisar Sung Thai Cun memenuhi janjinya. Mereka semua diberi tanah dan gedung tempat tinggal, diberi harta secukupnya sehingga mereka hidup dengan tenang. Mereka bagaikan harimau-harimau yang berbahaya akan tetapi telah diberi makan lebih dari cukup sehingga kekenyangan dan tidak ada semangat sama sekali untuk menyerang pemelihara mereka!
Taktik Kaisar Sung Thai Cun ini mendatangkan akibat yang amat baik, dan merupakan awal yang baik sekali bagi kebesaran Kerajaan Sung sehingga dapat mengakhiri jaman di mana perebutan kekuasaan terjadi tiada hentinya. Mendengar akan kebijaksanaan Kaisar Sung Thai Cun, yang menjadi kaisar dari Dinasti Sung yang baru tanpa ada peperangan, tanpa pembunuhan, maka banyak daerah yang tadinya memisahkan diri dan berdiri sendiri, menakluk kepada Kerajaan Sung. Pertama daerah Nan Ping (Hupei) dan Shu (Secuan) yang menakluk. Mereka diterima dengan baik oleh Kaisar Sung Thai Sun, bahkan para pemimpinnya diberi kedudukan dalam pemerintahan Kerajaan Sung. Melihat kebijaksanaan ini banyak daerah yang menakluk. Bahkan di daerah yang tadinya selalu memberontak yaitu Nan Han (Katon) dan Nan Tang (daerah sepanjang Sungai Yangce) hanya mengadakan perlawanan lemah saja sehingga mereka dapat mudah dikuasai pasukan Sung. Para pemimpinnya juga diampuni dan diberi kedudukan yang layak.
Demikianlah, Kerajaan Sung merupakan kerajaan Pribumi Han yang mengembalikan kebesaran kerajaan dari dinasti-dinasti terdahulu.
Nama besar Chao Kuang Yin yang menjadi pendiri Dinasti Sung dengan menjadi kaisar pertama sebagai Kaisar Sung Thai Cui selalu dikenang dan dicatat dalam sejarah sebagai tauladan.
Akan tetapi, setiap ada penguasa baru, betapa banyak pun pendukungnya, pasti ada saja yang menentang. Pihak pendukung biasanya disebabkan karena munculnya penguasa baru atau dinasti baru itu menguntungkan. Sebaliknya, mereka yang menentang juga disebabkan arena adanya penguasa baru itu merugikan dirinya.
Di antara mereka yang merasa dirugikan tentu saja adalah para pembesar yang tadinya dengan mudah dapat menumpuk harta kekayaan pada waktu Kerajaan Chou belum dijatuhkan. Juga para hartawan yang kini menjadi berkurang penghasilan mereka karena kerja sama mereka dengan para pejabat tinggi terputus, mereka tidak senang kepada pemerintah Sung yang baru. Ada pula sanak keluarga para pejabat tinggi yang dihukum penjara karena menyalahgunakan kekuasaannya di dalam pemerintahan yang lalu, tentu saja merasa sakit hati dan mereka mudah dibujuk dan dibakar oleh mereka yang merencanakan pemberontakan terhadap kerajaan yang baru.
Pemimpin golongan pemberontak itu adalah seorang pangeran Kerajaan Chou yang telah runtuh. Dia seorang pangeran yang masih terhitung keponakan dari mendiang Kaisar Chou Ong yang baru saja meninggal tidak lama setelah Kerajaan Chou jatuh dan Kerajaan Sung belum diri. Dahulu dia menjadi seorang panglima yang bertugas di Selatan. Namanya adalah Pangeran Chou Ban Heng, seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun yang tinggi besar dan gagah per kasa. Dia memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, karena pangeran yang menjadi panglima ini adalah murid Hong-san Sial su Kwee Cin Lok yang menjadi Hong san-pangcu (Ketua Perkumpulan Horw san-pang). Sebetulnya, dialah yang dahulu didukung oleh Ceng In Hosiang, Kwan Su, Im-yang Tosu, Kwee Cin Lok, dan kepala suku Khitan yang bernama Kailon itu, yang mempunyai niat memberontak terhadap pamannya sendiri, yaitu Kaisar Chou Ong. Pangeran Chou Ban Heng memang diam-diam mengadakan persekutu dengan suku bangsa Khitan agar membantunya merebut kekuasaan. Akan tetapi dia belum berani bertindak karena Kerapian Chou mempunyai Panglima Chuo Kuang Yin yang setia.
Maka dia menunda-nunda niatnya dan hendak memperkuat dulu kedudukannya dengan mencari dukungan orang-orang sakti. Untuk keperluan itulah maka lima orang pendukungnya yang lihai itu membujuk para pendeta yang mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Naga Kecil itu. Akan tetapi usaha mereka membujuk itu gagal dan mereka bahkan meninggalkan puncak itu dan Kailon yang mengerahkan anak buahnya bahkan terpaksa melarikan diri. Maka, ketika Panglima Chao Kuang Yin mengambil alih kekuasaan dan mendirikan Kerajaan Sung, tentu saja Pangeran Chou Ban Heng menjadi marah dan penasaran sekali. Dia yang bertugas di Selatan dengan pasukannya lalu tidak mau kembali ke kotaraja melainkan memperkuat kedudukannya di Lembah Sungai Yang-ce di seberang Selatan.
Akan tetapi, kebijaksanaan pemerintah baru Kerajaan Sung yang dipimpin Kaisar Sung Thai Cu sudah tersiar sampai selatan Sungai Yangce. Banyak pimpinan pemberontak menakluk tanpa perang, dan banyak pula para bekas perwira Kerajaan Chou yang tadinya mendukung Pangeran Chou Ban Heng, mengundurkan diri dari persatuan pemberontak itu. Para perajuritnya juga kurang bersemangat untuk melawan ketika pasukan Sung datang mengadakan pembersihan ke selatan. Maka setelah terjadi pertempuran berturut-turut selama tiga bulan, pasukan yang dipimpin Pangeran Chou Ban Heng kalah dan banyak perajuritnya melarikan diri. Usaha pemberontakan itu gagal sama sekali.
Akan tetapi, yang pecah dan menghilang hanyalah para perajuritnya. Adapun para pemimpinnya, Pangeran Cho Ban Heng dan sekutunya, masih ada. Mereka berhasil lolos dan melarikan diri.
Pada suatu malam, di dalam sebuah hutan yang sunyi terpencil di lembah Sungai Yangce, beberapa orang mengadakan pertemuan di sebuah pondok kayu yang masih baru. Pondok yang sederhana sekali dan dibangun dengan terburu-buru. Di tengah ruangan pondok itu terdapat sebuah meja bundar yang cukup besar dan di sekeliling meja duduk bercakap-cakap beberapa orang dengan serius. Di atas tergantung dua buah lampu yang besar sehingga ruangan itu cukup terang.
Yang duduk menghadap keluar adalah orang laki-laki yang berpakaian seperti seorang bangsawan, tubuhnya tinggi besar, dengan kumis dan jenggot tebal pendek dan rapi, wajahnya tampan gagah namun sinar matanya membayangkan kekerasan hati. Inilah Pangeran Chou Ban Heng yang pasukannya telah dipukul cerai-berai oleh pasukan Sung yang mengadakan pembersihan. Dia ditinggalkan para perajurit dan perwira pengikutnya, akan tetapi para datuk persilatan masih setia dan kini duduk dihadapannya. Mereka adalah Ceng In Hosiang, hwesio Sauw-lim-pai yang gemuk pendek, Kang-Lam Sin-kiam Kwan In Su yang tampan, yang Tosu tokoh berasal dari utara, dan Kwee Cin Lok yang berjuluk Hongsan Siansu atau Hongsan Pangcu (Ketua Hongsan-pang). Hong-san Siansu ini adalah guru dari Pangeran Chou Ban Heng maka dia paling dihormati di antara para tokoh persilatan itu.
Ketika terjadi pertempuran, empat orang datuk ini memang tidak mau terlibat karena bagi para datuk itu, amat merendahkan diri kalau mereka ikut beramai-ramai bertempur dalam perang. Kin Pangeran Chou Ban Heng mengundang mereka untuk mengeluh akan kegagalannya dan minta bantuan dan nasihat mereka. Empat orang datuk itu mendengarkan laporan Pangeran Chou yang mengakhiri semua laporannya dengan ucapannya dengan nada sedih dan penasaran. Ucapannya dia tujukan terutama kepada gurunya, yaitu Hongsan Siansu.
"Suhu dan Sam-wi Lo-cian-pwe (Tiga Orang Tua Perkasa) yang terhormat tentu memaklumi betapa sedih dan penasaran rasa hati saya. Kita yang susah payah menyusun kekuatan untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerinta Paman Chou Ong yang brengsek dan korup, ternyata didahului oleh Si Jahanan Chao Kuang Yin yang sekarang menjadi kaisar dan mendirikan Kerajaan Sung yang baru. Padahal, sayalah orangnya yang berhak duduk di singgasana sebagai eorang pangeran, bukan dia. Dia itu hanya seorang jenderal, tidak berhak sama sekali karena dia bukan keluarga istana! Karena itu, sekarang saya mohon Suhu dan Sam-wi Lo-cian-pwe sudi memberi nasihat, bagaimana selanjutnya saya harus berbuat untuk dapat merampas tahta kerajaan dari tangan Chao Kuang Yin?"
"Saya kira tidak ada jalan lain kecuali diam-diam menyusun kekuatan baru, pangeran. Saya kira di daerah Cekiang dan Shansi masih terdapat banyak orang yang belum takluk kepada Kerajaan Sung. Pangeran dapat menyusun kekuatan dan bekerjasama dengan pihak mereka. Kalau sudah memiliki balatentara yang kuat, baru kita bergerak menyerang."
Kata Kwan In Su.
"Siancai!"
Kata Im Yang Tosu.
"Pinto (aku) setuju dengan usul Kanglam Sinkiam.
"Dan jangan lupa untuk menghubungi Saudara Kailon. Dia dapat mengerahkan bangsa Khitan untuk memperkuat barisan kita."
Pangeran Chou Ban Heng tampak gembira dan mendapat harapan baru.
"Bagaimana pendapat Suhu?"
Tanyanya kepada suhunya, Hong-san Siansu Kw Cin Lok.
Sejak tadi Hongsan Siansu mendengarkan dengan alis berkerut, lalu dia berkata.
"Pangeran,usul dari Kanglam Sim kiam dan Im Yang Tosu itu memang baik dan saya setuju. Akan tetapi kita harus berhati-hati dan tidak gegabah atau terburu-buru sekali ini, agar jangan sampai gagal lagi. Sebaiknya, kita menggunak Hong-san-pang sebagai pusat pergerakan sehingga tidak mencolok dan tidak menimbulkan kecurigaan. Dari sana kita menyusun kekuatan. Sementara Paduka menyusun kekuatan, kita juga secara diam-diam harus memperdalam ilmu silat, terutama sekali putera Paduka harus diberi gemblengan yang mendalam. Dengan demikian, seandainya usaha Paduka Pribadi menemui kegagalan, kelak putera paduka akan dapat melanjutkan cita-cita mulia membangun kembali Kerajaan Chou ini menjatuhkan Kerajaan Sung."
Pangeran Chou Ban Heng mengangguk-an gguk setuju. Dia memandang kepada Ceng In Hosiang yang sejak tadi hanya diam saja, lalu bertanya.
"Lo-suhu, bagaimana pendapatmu? sejak tadi Lo-suhu belum memberi saran, harap Lo-suhu suka memberi petunjuk."
Ceng In Hosiang yang bertubuh gendut itu tersenyum lebar akan tetapi dia menggelengkan kepalanya yang bulat.
"Omitohud, apa yang dapat pinceng (aku) katakan? Cita-cita kita dahulu adalah untuk mengganti pimpinan kerajaan yang kotor dan menyengsarakan rakyat, demi kesejahteraan rakyat. Akan tetapi Paduka didahului Chao Kuang Yin yang berhasil mengambi alih kekuasaan. Cara yang diambilnya demikian bijaksana sehingga mengambil-alihan kekuasaan itu tidak menimbulkan perang. Kemudian, ternyata setelah dia mendirikan Kerajaan Sung dan menjadi Kaisar Sung Thai Cu, dia juga bijaksana dan menaklukkan banyak pemerintah daerah tanpa perang. Dia menghukum mereka yang dahulu menjadi pembesar korup dan menjalani pemerintahan, dengan tertib dan bersih ini berarti bahwa cita-cita kita sud tercapai. Mengapa kita harus memusuhi dan merebut kekuasaan dari tangan orang yang bijaksana itu? Merebut kekuasaan berarti perang dan hal itu hanya menyengsarakan rakyat. Tidak, Pangeran pinceng tidak setuju dan tidak mungkin dapat membantu usaha pemberontak ini. Sebaiknya sekarang juga pinceng mohon pamit dan mengundurkan diri."
Setelah berkata demikian, Ceng in Hosiang bangkit berdiri dari kursinya dan setelah menjura dengan hormat kepada Pangeran Chou Ban Heng, dia lalu keluar dari pondok itu. Melihat ini, Pangeran Chou memberi isarat dengan tangannya dan Hongsan Siansu segera bangkit dan keluar, diikuti oleh Kanglam Si kiam dan Im Yang Tosu.
Ceng In Hosiang keluar dari pondok dan ketika dia tiba diluar, dimana terdapat sebuah lampu gantung yang memberi penerangan remang-remang, tiba-tib berkelebat tiga sosok bayangan dan di depannya telah berdiri tiga orang datuk yang tadi duduk di dalam pondok, pelihat mereka yang berdiri di depannya Ceng In Hosiang tersenyum;
"Omitohud, kalian bertiga juga mengambil keputusan seperti yang pinceng ambil? Bagus, dengan begitu kita telah mengambil jalan benar dan mencegah terjadinya perang dan bunuh membunuh antara bangsa sendiri."
Akan tetapi Hongsan Siansu berkata dengan suara kaku.
"Ceng In Hosiang, engkau telah lari dari kerja sama kita, berarti engkau telah menjadi pengkhianat. Kelak engkau tentu hanya akan menjadi penghalang bagi perjuangan kami, karena itu, seorang pengkhianat seperti engkau sudah sepatutnya dibinasakan!"
Setelah berkata demikian, tanpa memberi kesempatan lagi kepada hwesio itu untuk menjawab, Hongsan Siansu sudah nenyerang dengan tamparan tangan kanan yang dahsyat ke arah kepala Ceng In Hosiang yang gundul. Pukulan ini hebat bukan main. Jangankan hanya kepala manusia, batu karang pun akan pecah berantakan terkena Thai-lek-jiu ini. Akan tetapi Ceng In Hosiang adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang lihai. Dia maklum akan hebatnya tamparan itu, maka sambil mengerahkan tenaga sakti, dia menangkis dengan ilmu Thiat-ciang-kang (Tenaga Tangan Besi).
"Wuuuttt........... dukkkkk!!"
Dua tenaga dahsyat bertemu melalui kedua lengan itu dan tubuh Ceng In Hosiang terdorong mundur tiga langkah. Diam-diam dia harus mengakui bahwa tenaga sakti Hongsan Siansu amat kuat. Akan tetapi harus waspada karena pada saat itu, angin dahsyat menyambar dari samping. Cepat dia merendahkan tubuhnya untuk mengelak.
"Singgggg............!"
Sinar pedang seperti kilat menyambar lewat atas kepalanya. Ternyata Kang-lam Sinkiam Kwan In yang menyerangnya dengan pedangnya yang lihai!
Ceng In Hosiang menjadi terkejut sekali. Akan tetapi dia tetap waspada. Ketika ada sinar hitam menyambar dari sebelah kanannya, dia sudah menggerakan tongkat atau toyanya untuk menangkis.
"Tranggggg..........!"
Toya itu menangkis sehelai sabuk kulit naga yang tadi digerakkan Im Yang Tosu untuk menyerangnya.
Ceng In Hosiang maklum bahwa dirinya berada dalam ancaman bahaya maut. Dia dikeroyok tiga orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, yang tidak kalah lengan tingkatnya. Bahkan dia tahu bahwa tingkat kepandaian Hongsan Siansu lebih tinggi. Baru tenaga sinkangnya tadi ketika dia menangkis, membuktikan bahwa Ketua Hong-san-pai itu kuat sekali.
Kembali pedang dan sabuk kulit naga dari Kwan In Su dan Im Yang Tosu menyambar. Ceng In Hosiang cepat memutar toyanya menangkis, akan tetapi karena dua orang datuk itu menyerang berbareng, dia harus menghadapi dua tenaga kuat sehingga tangkisannya itu biarpun dapat menghindarkan serangan lawan, tetap saja membuat tubuhnya terhuyung kebelakang.
Pada saat itu, ada sinar kilat menyambar dari atas ke arah lehernya. Cepat sekali pedang itu menyambar dari atas dan itu adalah hui-kiam (pedang terbang) dari Hongsan Siansu yang dapat terbang digerakkan dengan kekuatan gelombang pikiran.
Ceng In Hosiang cepat mengelak namun kurang cepat sehingga bukan lehernya yang terbabat, melainkan pundak kirinya. Dia menahan keluhannya dan cepat melompat untuk melarikan diri karena pundaknya telah terluka dan mengeluarkan darah.
"Bukkk!"
Ketika dia menangkis pedang Kang-lam Sin-kiam Kwan In Su yang menyambar, dia terkena pukulan sabuk kulit naga dari Im Yang Tosu, tepat pada punggungnya sehingga dia merasa seolah isi dadanya berantakan! Rasa nyeri, panas dan pedih membuat Ceng In Hosiang terjengkang roboh. Akan tetapi tokoh Siauwlimpai ini memiliki tubuh yang terlatih dan kuat. Dia masih dapat bertahan lalu cepat bergulingan menjauhi lawan, dan setelah mendapat kesempatan, dia menggunakan toyanya menekan tanah dan dia pun melompat dengan lompatan Hui-niau-touw-lim (Burung Terbang Masuk Hutan) dan menghilang dalam kegelapan
nalam.
Tiga orang itu tidak dapat melakukan pengejaran karena malam amat gelap dan berbahayalah mengejar seorang selihai Ceng In Hosiang dalam kegelapan itu. Besar kemungkinan yang mengejar akan mendapat serangan mendadak dan celaka. Karena yakin bahwa hwesio itu telah menderita luka parah dan sulit untuk dapat hidup, mereka lalu masuk kembali ke dalam pondok dan melanjutkan perundingan mereka.
Petunjuk Hongsan Siansu tadi disepakati. Mereka menggunakan Hong-san di mana Hong-san-pang berada sebagai pusat pergerakan mereka. Setelah terjadi kesepakatan ini, Pangeran Chou Ban Heng lalu menyuruh seorang anggota Hong-san-pang yang menjadi pengawal untuk memanggil puteranya.
Tak lama kemudian muncullah seorang pemuda berusia sekitar lima belas tahun memasuki pondok itu. Dia adalah Chou Kian Ki, putera tunggal Pangeran Chou Ban Heng. Chou Kian Ki yang berusia lima belas tahun ini bertubuh tegap da wajahnya tampan. Sejak kecil dia tela digembleng oleh kakek gurunya sendiri yaitu Hong-san Sian-su sehingga dalam usia lima belas tahun dia telah memiliki tingkat ilmu silat yang cukup lihai. Juga dia menerima pelajaran bun (sastra) dari ayahnya. Kian Ki memang cerdas sekal Dia bukan hanya tangkas dan lihai dala ilmu silat, akan tetapi jug menguasai kesusastraan. Gerak geriknya lembut seperti seorang sastrawan muda sehingga orang yang tidak mengenalnya tentu tidak menyangka bahwa Chou Kongcu Ki seorang ahli silat yang lihai.
Setelah duduk, Kian Ki menerima penjelasan ayahnya akan semua kesepakatan yang dibicarakan di situ.
"Mulai sekarang, engkau harus mempelajar i ilmu-ilmu dari Lo-cian-pwe Kwan ln Su dan Lo-cian-pwe Im Yang Tosu agar kelak engkau dapat melanjutkan cita-cita kami."
Pangeran Chou mengakhiri kata-katanya.
Karena dia memang suka sekali mempelajari ilmu silat, maka mendengar ini, Kian K i segera maju dan berlutut di depan kaki kedua orang datuk itu sambil menyebut "Suhu".
Demikianlah, mulai hari itu, di Hong-san diadakan usaha untuk membangun kembali Kerajaan Chou untuk merampas tahta kerajaan dari tangan Kaisar Sung Thai Cu. Semua kegiatan ini terselubung dengan adanya Hong-san-pang yang memang sudah lama berdiri sehingga tidak ada yang menaruh curiga.
Ceng In Hosiang yang terluka parah itu mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk melarikan diri. Malam itu gelap sekali sehingga dia lari tersaruk-saruk, beberapa kali terjatuh dan menubruk pohon. Akan tetapi karena maklum bahwa sekali terkejar dan tertangkap, pasti tidak akan diampuni, dia berusaha berlari terus, terkadang dengan merangkak. Dia dapat bertahan sampai pagi hari dan akhirnya dia roboh terguling di sebuah dusun kecil dan pingsan!
Seorang anak laki-laki berusia sekitar sebelas tahun keluar dari dusun itu menggiring tiga ekor kerbau yang akan digembalakannya ke padang rumput tak jauh dari dusun. Anak laki-laki yang bertubuh tinggi namun kurus itu terkejut melihat seorang kakek gundul berjubah lebar dan tangannya memegang tongkat atau toya, menggeletak telentang di atas tanah. Tadinya anak itu mengira bahwa Ceng In Hosiang adalah seorang pendeta yang sedang tidur, akan tetapi ketika melihat darah melumuri pakaiannya yang berwarna kuning, anak itu lalu menghampir i dan berjongkok. Dia melihat betapa jubah pendeta itu robek di bagian pundak kirinya dan dari robekan tu darah berlepotan. Biarpun dia seorang bocah dusun, namun dia pernah melihat seorang hwesio lewat di dusunnya, maka tahulah dia bahwa kakek gemuk pendek Ini adalah seorang pendeta hwesio.
"Losuhu, Losuhu, bangunlah..........!"
Anak Itu menggoyang-goyang pundak kanan Ceng In Hosiang. Akan tetapi hwesio yang sedang pingsan itu tidak bergerak dan tidak membuka matanya yang terpejam.
Akhirnya anak itu dapat menduga bahwa hwesio itu tentu pingsan. Tadinya dia merasa ngeri karena mengira hwesio itu mati, akan tetapi karena dada yang bidang itu masih bernapas, dia mengira bahwa tentu pendeta itu pingsan. Pernah dia melihat orang pingsan di dusunnya dan dia pernah mendengar pula bahwa orang pingsan dapat dibuat sadar dengan siraman air. Dia segera lari pergi untuk mengambil air dengan sebuah ember yang memang selalu dia bawa untuk memandikan kerbau-kerbaunya setelah kenyang membiarkan mereka makan di padang rumput siang nanti. Kemudian setelah mengisi ember itu dengan air, dia kembali ke situ dan tanpa ragu lagi dia lalu menyiramkan air pada muka dan kepala Ceng In Hosiang.
Hwesio itu gelagapan dan membuka! matanya, menggoyang kepalanya daan bangkit duduk, lalu mengeluh karena; merasa betapa pundaknya panas pedih dan dadanya terasa sesak. Ingatlah dia akan segala yang terjadi, maklum bahwa dia terluka. Kemudian dia melihat anak yang berdiri di dekatnya, seorang anak laki-laki berusia sekitar sebelas tahun yang matanya bersinar terang akan tetapi pakaiannya butut, kasar dan tambal-tambalan. Dia melihat pula betapa anak itu masih memegang sebuah ember yang basah dan tahulah dia bahwa anak itu yang tadi menyadarkannya dengan siraman air.
Ceng In Hosiang tersenyum, memandang anak itu.
"Engkaukah yang menyiram muka dan kepalaku dengan air?"
Anak itu lalu menjatuhkan dirinya berlutut memberi hormat kepada hwesio itu.
"Losuhu, maafkan aku. Aku melihat Losuhu rebah telentang dan aku mendengar bahwa orang pingsan dapat sadarkan dengan siraman air, maka aku menyiram muka Losuhu dengan air."
Melihat anak itu agaknya ketakutan, Ceng In Hosiang tertawa.
"Ha-ha, jangan takut. Pinceng berterima kasih kepadamu, anak baik. Siapakah namamu?"
"Namaku Liu Cin, Losuhu."
Ceng In Hosiang mengamati wajah anak itu. Wajah yang terang dan bentuknya gagah, pikirnya. Sepasang mata yang bersinar tajam dan tampak jujur.
"Di mana tempat tinggalmu dan siapa Ayah Ibumu?"
"Orang tuaku............ mereka sudah tiada, Losuhu. Aku bekerja di rumah Kepala
Dusun sebagai pembantu dan mengurus kerbau-kerbaunya "
Hemmm, anak yatim piatu. Ceng In Hosiang menyeringai karena merasa nyeri di dalam dadanya. Agaknya pukulan sabuk kulit naga dari Im Yang Tosu telah mendatangkan luka dalam di dadanya.
"Kenapa, Losuhu? Apakah Losuhu sakit.......?"
Anak itu mendekat dengan khawatir.
Melihat perhatian anak itu, Ceng Hosiang tersenyum. Dia lalu duduk sila dan berkata.
"Liu Cin, engkau sudah menolongku. Maukah engkau menolong lagi?"
"Apa yang dapat kulakukan untukmu, Losuhu?"
Tanya Liu Cin penuh kesediaan untuk menolong.
"Aku hendak bersamadhi mengobat lukaku. Jagalah di sini dan jangan biar pun siapapun mengganggu samadhiku. Maukah engkau melakukan hal itu?"
"Tentu saja, Losuhu. Aku akan mernjagamu dan melarang siapapun menganggumu bersamadhi."
Kata Liu Cin.
Karena kalau tidak segera diobati, lukanya dalam dada dapat menjadi semakin parah, Ceng In Hosiang lalu bersila dan memejamkan mata, lalu mengatur pernapasan dan mempergunakan hawa murni untuk mendorong keluar hawa beracun akibat pukulan sabuk kulit naga dan menyembuhkan luka dalam yang dideritanya.
Liu Cin duduk tak jauh dari hwesio itu untuk menjaganya. Tidak lama kemudian datang seorang laki-laki tinggi kurus berpakaian mentereng, dikawal tiga orang laki-laki tinggi besar yang membawa Kolok. Melihat mereka, Liu Cin membelalakkan matanya dan ketakutan akan tetapi dia tetap tidak mau meninggalkan penjagaannya. Laki-laki kurus itu bukan lain adalah Kepala Dusun Kui-cun di situ dan tiga orang itu adalah para pengawal atau tukang pukulnya. Pada waktu itu, setiap orang kepala dusun berlagak seolah-olah seorang raja kecil di desanya. Dia merasa sebagai orang yang paling berkuasa di dusun itu, segala kehendaknya merupakan hukum bagi para penduduk. Memang banyak kepala dusun yang bijaksana dan menjadi pelindung bagi rakyat di dusunnya, akan tetapi tidak kurang banyaknya kepala dusun yang berlagak sebagai raja! Kepala Dusun Kui-cun ini pun merupakan seorang di antaranya. Dengan adanya tiga orang, pengawal yang pandai ilmu silat dan ber tubuh kuat, maka tidak ada seorang pun di dusun itu yang berani menentang semua kehendaknya. Ketika kedua orang tua Liu Cin tewas dalam kekacauan ketika terjadi perang dan Liu Cin menjadi yatim piatu, Lurah Dusun Kui-cun itu berlagak baik budi dengan menampung nak itu dan diberi pekerjaan. Akan tetapi sesungguhnya dia hanya memeras tenaga anak itu, disuruh menggemba kerbau, mengurus semua ternaknya, membersihkan kandang dan hampir tidak pernah menganggur. Dan semua itu hanya untuk memperoleh semangkok nasi. Bahkan pakaian yang dipakai Liu Cin juga butut dan bertambal karena dia tidak diberi pakaian pengganti lain.
Pada pagi hari itu, Lurah Ci yang dikawal tiga orang tukang pukulnya keluar dari dusun untuk memeriksa tanaman sawahnya yang luas. Akan tetapi ketika tiba di luar dusun, dia melihat tiga ekor kerbaunya yang gemuk-gemuk itu berkeliaran seorang diri dan dia tidak melihat adanya Liu Cin yang ditugaskan menggembala kerbau-kerbau itu. Marahlah Lurah Ci dan dia lalu mencari anak itu. Ketika dilihatnya anak itu sedang duduk di bawah pohon, di dekat seorang wesio yang duduk bersila, kemarahannya memuncak.
"Bocah jahanam!"
Bentaknya sambil melangkah menghampiri, diikuti tiga orang tukang pukulnya.
"Engkau gentong nasi tak mengenal budi! .Tiap hari makan akan tetapi disuruh menggembala kerbau malah bermain-main di sini!"
"Chung-cu (Lurah)........... Lo-ya (Tuan).......... saya tidak main-main, saya sedang menjaga Losuhu yang sedang bersamadhi ini. Kerbau-kerbau itu sedang makan rumput, sebentar akan kumandikan di sungai."
"Cerewet! Siapa yang memberimu makan? Aku atau Hwesio Gundul ini?"
Bentak Sang Lurah dan dia lalu menggerakkan kakinya.
"Bukkk..........!"
Tubuh anak itu terguling-guling. Akan tetapi dia bangkit dan segera menghampiri lagi hwesio itu dan duduk di dekatnya, menahan rasa nyeri di pipinya yang lecet karena terguling-guling tadi.
"Setan cilik!"
Lurah Ci semakin marah, karena melihat Liu Cin kembali duduk dekat hwesio itu dan terutama sekali karena kakinya terasa nyeri ketika menendang anak itu tadi. Kebetulan yan dia tendang adalah tulang lutut Liu Cin sehingga kakinya kini terasa berdenyut-denyut menendang tulang yang keras.
"Hwesio ini tentu telah mempengaruhi Liu Cin sehingga anak ini menjadi berani menentangku. Hwcsio ini mungkin orang jahat yang akan mengacau dusun kita. Heh, hwesio gendut, cepat kau pergi! menyingkir dari sini!"
Akan tetapi hwesio itu tidak mempedulikannya dan tetap saja duduk melakukan siu-lian (meditasi).
"Hei, hwesio tua! Apakah engkau tuli? Pergi cepat dari sini, engkau kularang berada di sini!"
Kembali Lurah Ci membentak. Dia tadi menendang Liu Cin akan tetapi betapa marah pun, dia tidak berani menendang hwesio gendut itu.
"Lo-ya, saya mohon, biarlah Losuhu ini bersamadhi sejenak di sini karena dia sedang berusaha mengobati luka-lukanya."
Kata Liu Cin.
"Apa? Engkau membela hwesio ini? Apamu sih hwesio ini? Bocah setan, cepat pergi sana urus kerbau-kerbaunya, kalau tidak aku akan mengusir kamu!"
Ketika melihat Liu Cin tetap saja duduk, lurah itu dengan marah membentak ke-ada tiga orang tukang pukulnya.
"Cepat kalian seret hwesio ini, usir dia agar pergi dari sini. Biar aku yang nenyeret anak setan ini!"
Mendengar perintah ini, tiga orang laki-laki tinggi besar itu melangkah maju, sambil tersenyum mengejek mereka mendekati Ceng In Hosiang. Dengan kasar dua orang di antara mereka memegang lengan Ceng In Hosiang, seorang memegang lengan kanan dan orang kedua memegang lengan kiri.
"Hayo pergi, hwesio jembel!"
Mereka menghardik dan mulai menarik sekuat tenaga. Akan tetapi tubuh hwesio itu sama sekali tidak bergerak! Dua orang tukang pukul itu merasa heran dan mereka mengerahkan seluruh tenaga untuk membetot dan menarik, akan tetapi makin kuat mereka menarik, semakin kokoh tubuh hwesio itu, seperti sebuah batu besar, sama. sekali tidak dapat digerakkan!
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jangan! Jangan ganggu Losuhu ini........ Tiba-tiba Liu Cin lari dan memegai lengan seorang di antara dua tukang pukul itu dan ditarik-tariknya agar melepaskan hwesio itu.
Melihat ini, tukang pukul ketiga menjadi marah dan sekali tangannya menampar, tubuh Liu Cin terpelanting keatas. Setelah menampar Liu Cin, tukang pukul itu yang marah melihat dua orang rekannya belum juga mampu menarik hwesio gendut itu, cepat menghampiri dan berkata.
"Biar kutendang dia menggelinding dari sini!"
Dari belakang tubuh hwesio itu, kakinya menendang.
"Bukkk!"
Akan tetapi kakinya seperti menendang sebuah karung penuh beras Sama sekali tubuh itu tidak bergerak sedikit pun, apalagi menggelinding seperti yang dikatakan tukang pukul itu. Dia merasa penasaran sekali dan kembali dia menendangi punggung hwesio itu bertubi-tubi.
"Bukkk-bukkk-bukkk..........!"
Liu Cin yang sudah bangkit, melupakan rasa nyeri di pipinya dan dia lari menghampiri tukang pukul yang menendangi punggung hwesio itu, lalu memegang lengannya dan menarik-nariknya.
"Jangan! Jangan tendangi Losuhu ini! Kasihan, dia sudah terluka, dia sakit.........!!"
Tukang pukul yang menendang-nendangi punggung hwesio itu menjadi semakin marah. Dia merasa heran, penasaran dan malu sekali bahwa tendangannya yang bertubi-tubi seolah tak dirasakan sama sekali oleh hwesio itu, sebaliknya kaki-kirinya menjadi nyeri dan sepatunya pecah-pecah, kakinya bengkak-bengkak. Maka, melihat anak itu menarik-nariknya, dia mengalihkan sasaran tendangannya.
"Bocah setan, kalau dia tidak boleh ditendang, engkau yang akan kutendang1"
Dan dia mengayun kakinya, dengan seayalnya menendang ke arah perut Liu Cin! Kalau tendangan itu mengenai perut anak itu, dapat menyebabkan kematiannya.
"Wuuuttt....... krekkkkk!!"
Adouuww..........!"
Si penendang itu terpelanting, mencoba bangkit, berloncat-loncatan dengan sila kaki, jatuh lagi dan menangis mengaduh-aduh sambil memegangi kaki kanannya yang tadi menendang ke arah Lui Cin. Kiranya sebelum kaki itu mengenai perut Liu Cin, ada toya menyambar dan menyambut tulang kering kaki itu sehingga tulang kaki itu patah-patah!
Lurah Ci yang tidak tahu apa yang terjadi, mengira Liu Cin mengguna batu atau apa menyerang tukang pukulnya. Dia memaki dan menangkap lengan Liu Cin.
Pada saat itu, Ceng In Hosiang telah tadi menggunakan tangan kiri yang direnggut lepas dari tukang pukul yang memeganginya dan menggerak toya untuk memukul kaki tukang pukul yang menendang Liu Cin, kini setelah lengan kirinya ditangkap lagi, cepat menggerakan kedua lengannya sehingga dua orang tukang pukul yang memegang kedua lengannya itu terbawa dan saling bertumbukan.
"Desssss.........!!"
Dua orang itu berteriak lalu roboh pingsan setelah kepala mereka saling beradu sehingga agaknya mereka berdua menderita gegar otak! Sementara itu, ketika Lurah Ci menagkap kedua lengan Liu Cin, anak itu ronta-ronta, akan tetapi tentu saja dia kalah kuat dan tidak mampu melepaskan keduua lengannya. Biasanya, Liu Cin tidak berani bahkan takut sekali terhadap kepala dusun ini, karena tidak pernah ada yang membelanya. Akan tetapi sekarang, melihat ada hwesio luar biasa membelanya dan merobohkan tiga orang tukang pukul, rasa takutnya seketika menghilang dan dia cepat mendekatkan mukanya dan menggigit tangan kanan Lurah Ci yang memegangnya, menggigit sekuat tenaga.
"Waduhhhhh..........!"
Lurah Ci berteriak kesakitan sehingga terpaksa dia melepaskan pegangannya. Melihat kulit tangannya bekas tergigit dan berdarah, dia semakin marah.
"Bocah setan...........!"
Dia memaki dan menghampiri Liu Cin dengan muka beringas dan kedua lengan dikembangkan, kedua tangan seperti hendak mencekik anak itu.
Melihat ini Lui Cin lalu berlari memapaki dan menyeruduk ke arah perut Lurah Ci.
"Bukkk.............. bresss........!"
Diseruduk perutnya, Lurah Ci yang sama sekali tidak pernah mengira anak yang biasanya menurut itu berani melakukan hal itu, terjengkang roboh! Dia memaki-maki merangkak bangkit, lalu mencabut pedang yang selalu tergantung di pinggangnya, pedang yang biasanya dia pamerkan bagai pedang pusaka yang keramat! lalu menghampiri Liu Cin dengan penuh kemarahan, dengan pedang terangkat. Tentu saja anak itu merasa tidak berdaya, akan tetapi dia tidak mau memperlihatkan rasa takut dan hanya berdiri memandang lurah itu dengan sepasang mata bersinar.
Pada saat Lurah Ci membacokkan pedangnya, tiba-tiba ada dua benda kecil menyambar dan tepat mengenai kedua kakinya, di bawah lutut.
"Tuk! Tuk!"
Lurah Ci menjerit, pedangnya terlepas dari tangannya dan diapun roboh terguling, mengaduh-aduh dan kedua tangannya sibuk meraba kedua kakinya. Ternyata tulang kering di bawah betisnya patah terkena sambaran dua buah batu yang tadi dilontarkan Ceng Hosiang!
Lurah Ci dan tiga orang tukang pukulnya, setelah dua orang yang geger otak tadi siuman, kini hanya mengaduh-aduh. Bahkan dua orang yang kepala diadu tadi menangis seperti anak kecil agaknya gegar otak membuat mereka bersikap aneh.
Ceng In Hosiang masih duduk bersila dan kini dia saling pandang dengan Lui Cin. Karena ingin mengetahui watak anak itu, Ceng In Hosiang berkata pada Liu Cin.
"Lui Cin, orang-orang ia sudah banyak menyusahkanmu, sekaran engkau boleh melakukan apa saja sesukamu terhadap mereka. Kini engkau mempunyai kesempatan untuk membalas dendam. Lakukanlah sesukamu!"
Liu Cin memandang kepada empat orang itu satu demi satu, kemudian berkata.
"Loya, Lurah Kiu-cun dan kalian! bertiga Paman yang menjadi pengawalnya, sekali ini kalian mendapatkan pelajaran dari Losuhu ini. Dia masih bersikap, lunak dan mengampuni kalian berempat, akan tetapi kalau lain kali kalian masih kejam dan sewenang-wenang terhadap penduduk dusun, pasti Losuhu ini akan datang lagi dan menghancurkan kepala kalian, bukan hanya kaki kalian!"
Melihat anak itu hanya mengeluarkan peringatan ini dan sama sekali tidak membalas dendam, Ceng In Hosiang merasa kagum dan juga girang sekali.
"Liu Cin, sekarang engkau bebas dari ancaman mereka. Engkau sekarang boleh pergi sesuka hatimu."
Katanya.
Tiba-tiba Liu Cin berlari menghampiri hwesio itu dan menjatuhkan diri berlutut di depannya.
"Losuhu, saya sudah tidak mempunyai keluarga, tidak mempunyai rumah, ke mana saya harus pergi? Lo-suhu, perkenankanlah saya untuk ikut dengan Losuhu saja, biar saya dapat membantu dan merawat Losuhu yang sedang sakit."
"Omitohud!"
Ceng In Hosiang berseru akan tetapi di dalam hatinya dia merasa senang sekali. Dia telah berhasil mengobati luka dalam tubuhnya dan dia memang ingin sekali mengangkat bocah ini menjadi muridnya. Selama ini dia belum pernah mempunyai murid dan begitu bertemu dengan anak itu, timbul keinginannya untuk mengambilnya sebagai murid, apalagi melihat sifat-sifat yang baik dipunyai Liu Cin. Juga anak yatim piatu dan sekarang malah sudah mohon sendiri untuk menjadi muridnya.
"Anak baik, tahukah engkau bahwa menjadi muridku bukan merupakan kehidupan yang enak bagimu? Selain pinceng miskin tidak memiliki apa-apa, juga engkau akan melakukan perjalanan jauh yang amat sukar dan berat, selain itu engkau harus pula tekun berlatih dan hal ini pun amat berat dan tidak menyenangkan."
"Losuhu, betapa berat pun, saya akan melaksanakan dengan senang hati. Saya tidak mungkin dapat hidup seperti yang sudah-sudah menjadi sapi perahan di rumah kepala dusun dan menerima penghinaan setiap hari dari semua orang. Kalau Losuhu tidak sudi menerima saya sebagai murid atau pelayan, saya akan pergi ke mana saya, asalkan tidak harus hidup di dusun ini."
Ceng In Hosiang masih ingin menguji watak anak itu.
"Omitohud, agaknya lebih baik kalau engkau pergi ke mana pun engkau kehendaki, Liu Cin. Pinceng helum dapat menerimamu sebagai murid."
Mendengar ini, wajah Liu Cin berubah pucat dan dia lalu bangkit berdiri dan lari sambil menahan isak tangis karena kekecewaannya. Ceng In Hosiang mengikutinya dengan pandang mata, kemudian menghela napas panjang dan dia pun bangkit berdiri. Dia memandang kepada lurah Ci yang masih merintih-rintih tidak mampu bangkit berdiri, lalu mengambil sebungkus obat dari saku jubahnya.
"Kalian ini orang-orang berhati kejamdan jahat. Ancaman Liu Cin tadi bukan gertak kosong belaka. Kalau engkau sebagai lurah dan tiga orang kaki tanganmu ini tidak mengubah watak kalian dan masih bersikap kejam dan sewenang-wenang terhadap rakyat dusun, pinceng pasti akan datang memberi hukuman seperti yang dikatakan anak tadi. Pakai obat luar ini dan kembalilah ke jalan benar!"
Dia melemparkan bungkusan obat itu kepada Lurah Ci, kemudian sekali berkelebat, tubuhnya lenyap dari situ. Lurah Ci dan tiga orang tukang pukulnya terkejut dan maklum bahwa mereka tadi berhadapan dengan seorang hwesio yan amat sakti. Mereka menjadi ketakutan dan sejak hari itu, mereka benar-benar bertobat dan mulai mengubah sikap dan watak mereka.
Liu Cin berlari secepatnya meninggalkan tempat itu. Dia berlari terus sampai napasnya terengah-engah dan akhirnya saking lelah dan kehabisan napas, tubuhnya tidak kuat lagi bertahan dan di terguling roboh. Dia menelungkup di atas tanah berumput. Tubuhnya berdenyut-denyut, lelah bercampur lapar dan haus ditambah rasa nyeri bekas tendanga Lurah Ci dan tamparan tukang pukul tadi. Akan tetapi perasaan campur aduk itu kini terasa nyaman setelah dia menelungkup di atas tanah. Tubuhnya terasa sejuk terkena rumput-rumput yang gemuk dan basah bekas embun, dan alangkah harumnya bau tanah dan rumput. Ah, dia tak ingin bangun lagi, biarlah dialah dia rebah begini selamanya! Liu Cin memejamkan matanya, akan tetapi dia kini membayangkan wajah hwesio tua yang telah menolongnya, membayangkan penolakan hwesio itu kepalanya. Tak terasa lagi kedua matanya mencucurkan air mata karena kecewa dan kesal. Apa yang dapat dia lakukan? Ke mana dia akan pergi? Apa yang akan dimakannya untuk menghentikan rontaan dalam perutnya yang lapar? Apakah tidak lebih baik kalau dia mati saja menyusul ayah ibunya? Tiba-tiba dia teringat beberapa tahun yang lalu ketika seorang tetangga mati menggantung diri karena putus asa telah bertahun-tahun menderita sakit berat. Ayahnya dahulu berkata bahwa bunuh diri merupakan perbuatan seorang pengecut yang berdosa besar! Selagi hidup tidak boleh putus asa, harus berdaya upaya, berikhtiar untuk mengatasi semua kesulitan dalam kehidupan!
Teringat akan ini, Liu Cin bangkit duduk, memaki diri sendiri yang tadi putus asa dan ingin mati saja. Dia menoleh ke kanan kiri dan melihat tumbuh-tumbuhan sayur yang dapat dimakan. walaupun biasanya sayur itu dimasak dan diberi bumbu lebih dulu. Dia bangkit dan memetik daun yang muda lalu memakannya. Tidak selezat kalau dimasak dan dibumbui, akan tetapi setidaknya dapat dimakan dan mengurangi rasa perih lambungnya.
Dia berjalan lagi, tak pernah berhenti dan pada sore hari itu dia tiba di tepi sungai yang amat lebar. Sungai Ya ce! Dia pernah mendengar cerita ayah tentang sungai yang amat luas ini sekarang baru dia berhadapan dengan sungai itu. Akan tetapi dia menjadi bingung. Perjalanannya terhalang sungai yang demikian lebarnya. Akan tetapi, dia berkata kepada dirinya sendiri, andaika ada perahu penyeberangan, dia pun tidak mampu membayar biaya penyeberangan. Lagi pula, menyeberang pun dia hendak pergi ke manakah?
Berpikir demikian, Liu Cin lalu menyusuri pantai sungai itu menuju ke kiri, ke arah Barat. Akan tetapi baru beberapa li (mil) dia berjalan, kakinya sudah tidak kuat melangkah lagi dan dia pun menjatuhkan diri di bawah sebatang pohon, merebahkan badan di atas rumput tebal tian tertidur saking lelahnya.
Liu Cin tertidur setengah pingsan sampai lama dan ketika akhirnya dia terbangun, dia melihat kegelapan menyelimutinya sehingga sejenak dia menjadi panik. Digosok-gosoknya kedua matanya yang tidak dapat melihat apa-apa, dengan hati takut dia mengira bahwa kedua matanya telah menjadi buta! Akan tetapi ketika dia mengarahkan pandang matanya ke atas, dia melihat bintang-bintang bertaburan di langit, maka tahulah dia bahwa hari telah menjadi malam. Hatinya merasa lega. Dia tidak buta, dan ternyata dia telah tertidur sampai malam.
Kesunyian malam yang diisi musik lembut dari bunyi jengkerik dan belalang, membuat suasana menjadi seram. Dia teringat akan dongeng tentang setan dan hantu, maka Lui Cin mulai menggigil. Kemudian dia menyadari bahwa dia menggigil bukan hanya karena rasa takut melainkan karena hawa malam yang amat dingin. Dia pun teringat akan binatang binatang malam yang buas. Siapa tahu di tempat sunyi ini terdapat binatang buas. Teringat akan ini, Liu Cin lalu memanjat pohon besar itu dan duduk di atas cabang, tinggi diatas pohon. Dia tidak boleh tidur, dia akan bergadang semalam suntuk karena kalau dia tertidur, ada bahayanya dia akan terjatuh. Dia duduk di antara ranting dan cabang, daun-daun pohon itu dan semakin larut malam hawanya semakin dingin. Rasa takut semakin mencengkeram hati Liu Cin sehingga dia menggigil dan merangkul batang yang menjulang di depannya seolah mencari perlindungan.
Teringat akan semua cerita yang pernah didengarnya tentang hantu-hantu mendatangkan perasaan ngeri dan takut dan orang yang ketakutan selalu membayangkan hal-hal menyeramkan yang belum terjadi. Pendengaran yang terpengaruh rasa takut membuat apa pun yang didengarnya menjadi seram bunyinya. Bunyi binatang malam yang tadinya terdengar merdu dan lembut, kini berubah Menjadi seperti suara iblis menjerit-jerit. suara gemersik air terdengar seperti para setan dan hantu sedang bercakap-cakap dan berbisik-bisik, membicarakan dirinya! Juga pandang mata terpengaruh, bayangan-bayangan kini membentuk gambaran-gambaran mengerikan, seperti gambaran, hantu-hantu, apalagi karena bayangan itu bergerak-gerak oleh angin, bahaya yang datang dari binatang-binatang hanya remang-remang sehingga segala sesuatu tampak menakutkan, Bahkan :perasaan badan juga terpengaruh rasa takut. Ketika ada beberapa ekor semut merayap ke kakinya, Liu Cin hampir menjerit dan menepuk-nepuk kaki itu, sama sekali tidak ingat akan semut karena dia membayangkan bahwa itu adalah jari-jari hantu yang menggerayangi kakinya.
"Losuhu........!"
Dia mengeluh. Dahulu, kalau dia merasa sedih dan bingung, hati dan mulutnya selalu mengeluh dan menyebut nama ayah ibunya yang sudah tiada. Akan tetapi sekarang tiba-tiba di teringat akan hwesio yang pernah menolongnya itu dan otomatis mulutny menyebut hwesio itu.
Tiba-tiba telinganya mendengar bunyi berdesir kuat dan matanya melihat bayangan putih-putih melayang dari pohon di depan ke arah pohon di mana di berada! Bayangan putih itu kemudian hinggap di atas ujung cabang, hanya sekitar dua tombak jauhnya. Cabang itu bergoyang-goyang sehingga tubuhnya pun ikut bergoyang. Liu Cin ketakutan setengah mati dan dia merangkul kuat kuat cabang di depannya agar jangan jatuh karena pingsan. Kemudian terdengar suara dari arah bayangan putih itu.
"Liu Cin...........!"
Suara itu memanggil dan suaranya terdengar demikian menyeramkan, bukan seperti suara manusiai demikian parau, dalam, dan mendatangkan hawa dingin.
"Liu Cin, jadilah muridku dan engkau akan menjadi Hantu yang sakti, tidak adalagi yang mengganggumu, bahkan engkau boleh mencuri apa saja yang kau sukai, boleh membunuh dan menyiksa siapa saja yang kau benci. Engkau akan hidup senang! Hayo, katakan bahwa engkau mau menjadi muridku, ha-ha-ha!"
Setan, dia setan, pikir Liu Cin yang hampir pingsan saking takutnya. Dia Raja setan! Akan tetapi dia tidak mau mencuri, apalagi membunuh. Dia tidak mau menjadi hantu yang menakutkan orang. dia tidak berani menjawab, hanya mengelengkan kepalanya kuat-kuat!
Dengan mata terbelalak Liu Cin melihat betapa tiba-tiba bayangan putih itu melayang dan terdengar suara tawanya yang menyeramkan. Bayangkan itu hinggap di puncak pohon dan terdengar lagi uaranya
.
"Liu Cin, besok pagi engkau turunlah dari sini, berlututlah di depan pohon ini sebagai muridku! Engkau akan kuberi banyak emas dan juga kesaktian. Kalau engkau tidak mau melakukannya, kau akan kubunuh!"
Kemudian terdengar lagi suara tawa dan bayangan itu berkelebat lenyap.
Liu Cin semakin ketakutan. Apalagi mengingat bahwa kalau besok dia tidak mau berlutut pada pohon ini mengaku murid, dia akan dibunuh! Berlutut pada pohon ini? Kalau begitu, yang muncul tadi tentulah Hantu Pohon ini! Ingin sekali dia turun dari pohon dan melarikan diri, akan tetapi saking takutnya kedua kakinya terasa lumpuh dan tak dapat digerakkan.
"Losuhu............. Losuhu, tolonglah saya. ......... Liu Cin merintih perlahan. Setelah dia beberapa kali menyebut hwesio penolongnya itu, degup jantungnya agak tenang dan dia dapat menggerakkan kaki tangannya. Dengan hati-hati dan perlan-lahan seolah-olah takut kalau kalau Hantu Pohon terbangun dan melihat niatnya melarikan diri, dia mulai menuruni pohon itu. Akhirnya dia dapat turun dan berdiri di atas tanah. Lalu, tanpa menoleh lagi dia segera lari sekuatnya.
Akan tetapi baru beberapa langkai dia lari, tiba-tiba berkelebat bayangar putih yang menghadang di depannya dan suara yang menyeramkan itu memanggil.
"Liu Cin........!"
Saking kaget dan takutnya karena dia yakin bahwa itu tentulah Setan Penjaga Pohon yang menghadangnya, Liu Cin jatuh terjerembab di atas tanah, menelungkup, menyembunyikan mukanya di antara rumput-rumput dan tubuhnya menggigil, mulutnya tanpa disadarinya berseru.
"Losuhu, tolooonggggg......!"
Dan dia pun pingsan!
Ceng In Hosiang yang gemuk pendek itu tertawa senang. Dia menghampiri, membungkuk lalu mengangkat tubuh Liu Cin yang pingsan, memanggulnya dan dia lari dengan cepatnya.
"Ha-ha-ha, anak baik! Muridku yang baik............!"
Sejak saat itu, Liu Cin menjadi murid Ceng In Hosiang yang semalam sengaja menguji anak itu. Ternyata Liu Cin tidak terpikat oleh harta dan kesaktian dari iblis yang harus dia gunakan untuk melakukan kejahatan. Pada dasarnya, anak itu memiliki bakat dan watak yang baik.
Lima tahun cepat sekali lewat sejak Si Han Lin menjadi murid Thai Kek Siansu di Puncak Cemara, sebuah di antara puncak-puncak di Pegunungan Cin-ling san. Waktu memang akan melesat bagaikan tatit kalau tidak diperhatikan. Juga Sang Waktu amat perkasa, segala sesu dilahapnya .sehingga akhirnya semua a' tunduk dan menyerah kalah.
Selama lima tahun, Si Han Lin y dulu berusia sepuluh tahun ketika diba Thai Kek Siansu, telah menerima pendidikan yang dipelajari dan dilatih! dengan tekun. Anak ini memang cerdas dan tahu diri, rajin sekali sehingga gurunya merasa senang. Dia mendapat latihan dasar-dasar ilmu silat. Juga Thai Siansu mengajarkan ilmu sastra sehingga Han Lin bukan saja pandai membaca menulis, bahkan dia dapat membaca kitab-kitab kuno, filsafat-filsafat para arif bijaksana di jaman dahulu, bahkan pandai pula menuliskan huruf indah dan merangkai kata-kata menjadi sajak.
Setelah kini hidup terbebas dari tekanan-tekanan, muncullah watak aseli Han Lin, yaitu watak yang gembira dan suka humor, lincah jenaka. Hal ini tidak dilarang oleh Thai Kek Siansu karena kakek itu selalu mengingatkan muridnya bahwa hidup ini merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Kasih. Anugerah itu haruslah dinikmati dan disyukuri, bukan hanya di mulut dan dalam pikiran, namun kalau orang merasa bersyukur dan bahagia, sudah tentu hal itu mendatangkan kegembiraan dan gairah hidup. Kegembiraan dan gairah hidup inilah yang membuat seseorang, terutama yang masih muda, menjadi lincah jenaka dan suka bercanda. Segala sesuatu atau segala
peristiwa diterima dengan hati yang selalu bersyukur dan memuji keagungan dan kemurahan Tuhan, dipandang dari sudut yang selalu cerah.
Setelah kini berusia lima belas tahun, mulailah Thai Kek Siansu bicara tentang kehidupan, membuka mata batin muridnya agar melihat kenyataan-kenyataan dalam hidup. Han Lin juga mulai mengajukan banyak pertanyaan akan hal-hal yang terjadi dalam kehidupan kepada gurunya. Karena dia sering turun gunung untuk menjual hasil tanaman rempah-rempah bahan obat yang mereka tanam di puncak, kemudian pendapatan penjualan itu dibelikan segala kebutuhan hiduf mereka, bahan makanan dan pakaian maka Han Lin mendapat banyak kesempatan untuk melihat kehidupan manusia di dusun-dusun yang terdapat di kaki Pegunungan Cin-ling-san.
Pada suatu pagi, Han Lin berlatil silat tangan kosong di dalam taman di belakang pondok. Setelah dia berada di puncak sebagai murid Thai Kek Siansu anak ini membantu gurunya menanan sayur mayur dan rempah-rempah bahan obat, juga dia membuat sebuah taman bunga. Dengan gerakan yang lembut dari indah Han Lin berlatih silat. Dia hanys mengenakan celana tanpa baju. Tubuhnya yang tegap walaupun kurus tampak berkilau oleh keringat karena dia telah berlatih silat sejak fajar menyingsing tadi.
Setiap kali berlatih silat, Han Lin selalu ingat akan ucapan gurunya tentang Ilmu silat.
"Ilmu silat adalah perpaduan antara keindahan dan kesehatan. Keindahan seni tari, keindahan gerak seni bela diri, kesehatan jasmani dan kesehatan rohani. Tanpa adanya empat unsur itu, Ilmu silat akan menjadi buruk, kasar dan condong mengarah perbuatan jahat dan sesat."
Han Lin selalu teringat akan ucapan mi, maka kalau dia berlatih ilmu silat, ke empat unsur itu seolah menyatu dalam dirinya. Dia selalu bergerak dengan lembut dan indah namun di balik keindahan itu terdapat pertahanan atau perlindungan diri yang kuat. Tubuhnya terasa segar dan sehat, dan jiwanya tenang tenteram penuh damai karena pikiran atau lengkapnya, hati akal pikirannya bagaikan air telaga yang dalam, diam tidak terdapat banyak keriput yang dapat menimbulkan gelombang.
Tiba-tiba terdengar bunyi pekik burung rajawali. Han Lin menghentikan latihannya dan sambil menengadah memandang burung raksasa itu melayang turun, dia berseru.
"Tiauw-ko (Kakak Rajawali)! Turunlah, mari kita berlatih sebentar!"
Burung rajawali itu menukik tu dan hinggap di depan Han Lin. Han Lin telah menjadi seorang pemuda remaja berusia lima belas tahun yang bertubuh tegap dan berwajah tampan dan manis. Kulitnya agak gelap karena dia banyak bekerja di ladang dan tempat terbuka setiap hari mandi cahaya matahari.
Burung rajawali itu adalah seekor burung yang langka, amat besar dan memiliki kekuatan yang hebat. Seekor harimau pun tidak berdaya melawannya. Kedua kakinya memiliki cakar yang tajam melengkung runcing seperti baja, juga paruhnya amat kuat, mampu beradu dengan senjata terbuat dari baja yang ampuh tanpa menjadi rusak. Kedua macam senjata ini masih ditambah denga kibasan kedua sayapnya yang amat kuat dan mampu meremukkan batu gunung. Selain itu, gerakannya juga amat cepat apalagi karena dia memiliki sayap yang kuat sehingga dia mampu berkelebat seperti seekor burung kecil yang gesit.
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo