Ceritasilat Novel Online

Si Tangan Halilintar 12


Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo Bagian 12



"Bagus, bagus, hebat!."

   Mendengar pujian ini, gadis itu menyerang semakin gencar dan Siauw Beng juga mengimbanginya.

   Tiba-tiba gadis itu mengubah gerakan silatnya dan berseru nyaring.

   "sambut seranganku ini!."

   Siauw Beng terkejut karena gadis itu kini berkelebat dan membuat gerakan berputar-putar. Gerakan kedua lengannya mengeluarkan angina berpusar seperti angina rebut. Itulah ilmu silat tangan kosong Pat-hong-sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin).! "Hyaaattt"!!"

   Gadis itu menyerang dengan ganas sekali dengan jurus Hong-cui-pai-hio (Angin Meniup Daun). Kedua tangan itu menyambar-nyambar dan tubuhnya berkelebat, menyerang Siauw beng dari delapan penjuru! Siauw beng yang bagaimanapun juga tidak mau kalah, mendorong-dorongkan tangan kanannya. Dari telapak tangan itu keluar hawa dorongan yang amat kuat. Pernah gadis itu terserempet dorongan sehingga tubuhnya terhuyung ke belakang. Tiba-tiba gadis itu mengeluarkan bentakan melengking dan tubuhnya melompat ke atas, lalu dari atas ia turun dengan kedua kaki terlebih dulu, menginjak kearah kepala pemuda itu!

   Siauw Beng cepat mengelak lalu menyambut sebelah kaki lawan dan mendorongnya ke atas sehingga tubuh gadis itu melayang ke atas sampai melebihi pohon tingginya! Akan tetapi ketika ia meluncur turun, tubuhnya seperti melayang dan ia hinggap di atas dahan pohon seperti seekor burung saja. A Siong bertepuk tangan.

   "Bagus sekali! Kalian berdua memang lihai sekali!"

   Gadis itu melayang turun ke depan Siauw Beng dan tersenyum. Manis sekali.! "Julukanmu Si Tangan Halilintar ternyata bukan omong kosong! Ciang-hwat-mu (Ilmu Tangan Kosongmu) memang hebat, aku telah mengujinya dan aku mengaku kalah. Akan tetapi aku ingin sekali menguji Kiam-hwat (ilmu pedang) yang tadi telah engkau perlihatkan ketika melawan susiok Can Ok!."

   Setelah berkata demikian, gadis itu mencabut pedangnya yang berkilauan.

   "Nah, cabutlah pedangmu, Tangan Halilintar!." "Nona, kiranya sudah cukup. Mengapa kita harus bertanding lagi? Aku khawatir akan merusak po-kiam (pedang pusaka) yang kau pegang itu.

   Kalau pedangmu sampai rusak, engkau akan merasa kecewa dan aku akan merasa menyesal sekali".

   "Hemm, pedangku ini adalah Liong-cu-kiam ( Pedang Naga ), tidak mungkin akan terbabat putus oleh pedangmu. Mungkin pedangmu yang akan patah oleh pedangku". Kalau begitu lebih berbahaya lagi! Aku tidak ingin pertandingan persahabatan yang main-main ini mengakibatkan pedang kita rusak". Tiba-tiba A Siong menghampiri mereka sambil membawa dua potong ranting kayu sebesar lengan dan panjangnya seukuran pedang.

   "Ha-ha, kalian tidak perlu menggunakan pedang pusaka masing-masing. Untuk mengukur ilmu pedang masing-masing, cukup menggunakan ini sebagai pengganti pedang!."

   Siauw Beng dan gadis itu agaknya setuju dan mereka berdua menerima sepotong kayu ranting dari tangan A Siong. Gadis itu sudah menyimpan kembali pedangnya.

   "Bagus, usul ini baik sekali! Nah, Tangan Halilintar, coba perlihatkan ilmu pedangmu!."

   "Engkau yang ingin menguji ilmu pedang, nona, maka engkaulah yang harus membuka serangan".

   "Hemm, awas, lihat serangan pedangku!"

   Gadis itu membentak dan iapun sudah menggerakkan rantingnya menyerang dengan tusukan kea rah mata Siauw Beng. Itulah jurus yang amat berbahaya bagi lawan! Siauw Beng membuat gerakan ke samping untuk mengelak, akan tetapi ranting di tangan gadis itu, begitu tusukannya gagal, sudah di lanjutkan dengan gerakan membabat dari samping kea rah leher lawan. Siauw Beng kagum. Ilmu pedang yang dimainkan gadis ini memang hebat dan dahsyat sekali. Tenaganya kuat dan gerakannya begitu cepat bagaikan angina sehingga dia terpaksa menangkis dengan rantingnya.

   "Tukk!"

   Dua ranting bertemu dan keduanya mundur dua langkah, lalu gadis itu menyerang lagi. Agaknya karena ia yakin akan ketangguhan lawan, maka kini ia tidak mencoba-coba lagi, lalu langsung saja mengeluarkan ilmu pedang intinya, yaitu Sin-liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Sakti).

   Pedangnya bergerak-gerak bergelombang seperti seekor naga melayang-layang dan mengamuk. Pedang itu, pada saat itu digantikan ranting, menusuk, membabat, membacok atau berputar menyambar-nyambar, masih dibantu dengan gerakan tangan kiri menampar dan dua kakinya bergantian mencuat dengan tendangan-tendangan maut! Benar-benar seorang gadis ahli pedang yang hebat, pikir Siauw Beng. Gadis ini tentu saja menjadi seorang ahli pedang yang hebat karena perguruannya juga terkenal dengan ilmu pedangnya. Buktinya Can Ok itu berjuluk Toat-beng Siang-kiam (Sepasang Pedang Pencabut Nyawa) dan kalau tadi sepasang pedang itu tidak patah oleh Lui-kong Sin-kiam (Pedang Sakti Halilintar) di tangannya, tentu dia tidak dapat memperoleh kemenangan dalam waktu singkat. Menurut ayah atau gurunya, Ma Giok, Can Ok adalah murid datuk Sungai Huangho yang berjuluk Hui-kiam Lo-mo (Iblis Tua Pedang Terbang).

   Kalau Paman gurunya dan kakek gurunya semua ahli pedang, tentu saja gadis ini pun mahir bermain pedang. Akan tetapi bagaimana ilmu pedang gadis ini jauh lebih lihai dibandingkan ilmu pedang yang dimainkan Can Ok tadi? Akan tetapi betapa hebatpun permainan "pedang "gadis itu, Siauw Beng yang sudah menguasai ilmu pedang ajaib Lui-kong Sin-kiam, tentu saja tidak merasa terdesak. Dia juga segera mengerahkan tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus ampuh dari Lui-kong Sin-kiam. Begitu ia mainkan ilmu pedang ini dan membalas, gadis itu mengeluarkan seruan kaget. Semua serangannya membalik dan ranting di tangan pemuda itu berubah menjadi sinar kilat berwarna kehijauan seperti halilintar menyambar-nyambar! Juga semua serangan bantuan dengan tangan kiri dan kedua kakinya, sama sekali tidak pernah dapat menyentuh sasaran, bahkan kalau ujung lengan baju kiri pemuda itu menangkis, dara ini merasa tangan atau kakinya yang tertangkis amat panas dan nyeri.

   "Wuutttt"!"

   Kini ranting di tangan Siauw Beng mendesak dan berputar-putar. Ketika gadis ini menangkis, dia mengerahkan sin-kang menyambut tangkisan itu.

   "Wuuuttt"

   Kreekkk!"

   Ranting di tangan gadis itu patah menjadi dua dan ia melompat ke belakang, wajahnya menjadi pucat akan tetapi hanya sebentar dan ia sudah berdiri tegak menghadapi Siauw Beng dengan wajah berseri dan mulut tersenyum gembira.! "Hebat sekali ilmu pedangmu. Senang sekali aku dapat berkenalan denganmu, Tangan Halilintar!." "Nona, kamilah yang beruntung sekali dapat berkenalan dengan nona yang gagah perkasa dan telah membantu kami menghadapi gerombolan bajak tadi", kata A Siong sambil memandang wajah yang manis itu.

   "Nona, harap nona jangan menyebut aku Tangan Halilintar. Aku adalah seorang biasa saja dan namaku Lauw Beng dengan sebutan Siauw Beng (Beng Kecil) dan ini adalah suhengku A Siong".

   "Baiklah, mulai sekarang aku akan menyebutmu Siauw Beng dan A Siong", kata gadis itu yang agaknya tidak peduli bahwa dua orang pemuda itu, terutama sekali A Siong, jauh lebih tua daripadanya.

   "Dan aku sendiri bernama Wong Ai Yin". Gadis itu lalu duduk di atas sebuah dari empat perahu yang berada di situ, yaitu sebuah perahu kecil milik Siauw Beng dan tiga buah milik para baja sungai tadi.

   "Dan jangan kalian menganggap bahwa mereka tadi gerombolan bajak atau perampok. Sesungguhnya mereka adalah segolongan pejuang yang menentang segolongan pejuang yang menentang pemerintah Mancu yang menguasai tanah air kita". Siauw Beng teringat akan cerita ayah angkatnya. Ayahnya juga menceritakan bahwa Hui-kiam Lo-mo dan muridnya Can Ok, adalah orang-orang golongan hitam, akan tetapi mereka itu pembenci Kerajaan Mancu. Bahkan dulu mereka menyerang Lam-liong Ma Giok karena mereka menuduh Ma Giok pengkhianat karena menolong putera pembesar Mancu yang di ganggu perampok.

   Dia menghela napas panjang. Benarkah orang sesat dapat menjadi pejuang, dapat menjadi pahlawan? Ataukah mereka itu berjuang dengan pamrih untuk menguntungkan diri pribadi? Orang sesat selalu bertindak dengan dasar pamrih untuk keuntungan sendiri, maka yang mereka namakan berjuangan itu sesungguhnya hanya untuk menutupi kejahatan mereka.

   "Nona Wong"".

   "Husshh!"

   Gadis itu memotong ucapan Siauw Beng.

   "Kalau aku menyebut kalian Siauw Beng dan A Siong, mengapa engkau menyebut aku pakai nona-nonaan segala? Namaku Wong Ai Yin dan sebutanku Ai Yin begitu saja, tanpa nona-nonaan!." "Baiklah, Ai Yin. Terus terang saja, kami merasa heran sekali melihat keadaanmu. Bagaimana engkau menyebut Toat-beng Siang-kiam Can Ok tadi sebagai paman gurumu? Dan kalau dia paman gurumu, mengapa aku mendapat kenyataan bahwa ilmu silat tangan kosong maupun pedangmu jauh lebih lihai daripada dia?."

   (Lanjut ke Jilid 10)

   Si Tangan Halilintar (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 10

   Gadis itu memandang wajah Siauw Beng dengan sinar mata mencorong, wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum.

   "Siauw Beng, sudah sepatutnya kalau laki-laki memperkenalkan diri lebih dulu kepada perempuan. Karena itu, sebelum aku menceritakan keadaanku, engkau harus lebih dulu menceritakan tentang kalian, darimana kalian datang dan hendak pergi kemana, lalu mengapa kalian sampai bentrok dengan paman guru Can Ok dan anak buahnya di sini". Siauw Beng dan A Siong saling berpandangan. Ai Yin berkata.

   "Hayo, duduklah kalian, tidak enak bercakap-cakap sambil berdiri seperti anak wayang!."

   Siauw Beng dan A Siong tersenyum. Gadis ini lucu dan ramah. Mereka lalu duduk dalam perahu, berhadapan dengan Ai Yin dan Siauw Beng menceritakan keadaannya secara singkat.

   "Aku tidak mempunyai ayah ibu lagi, mereka sudah meninggal dunia ketika aku masih"

   Bayi, dan"".

   "Aduh, kasihan sekali kau, Siauw Beng", Ai Yin memotong.

   "Sejak bayi aku di pelihara ayah angkatku, juga guruku, dan aku menjadi muridnya bersama suhengku A Siong ini. Dia jua sudah yatim piatu. Ayah angkatku itu adalah seorang pejuang pula, mungkin engkau sudah mendengar namanya, Ai Yin".

   "Siapa sih namanya?." "Namanya Ma Giok dan sekarang tinggal di Thai-san.""Aih, kau maksudkan Ma Giok yang berjuluk Lam-liong (Naga Selatan) itu?." "Benar, kau kenal dia?." "Aku pernah mendengar namanya di puji-puji ayahku, akan tetapi susiok Can Ok pernah menceritakan bahwa Lam-liong mengkhianati perjuangan dan membela pembesar Mancu". Dari ucapannya ini saja, tahulah Siauw Beng bahwa gadis ini jujur dan terbuka, menceritakan apa adanya tanpa khawatir menyinggung perasaan orang.

   "Aku tidak heran mendengar Can Ok bercerita seperti itu kepadamu, Ai Yin. Ketika itu, dua puluh tahun lebih yang lalu, guruku itu melihat rumah seorang pembesar Mancu di serbu segerombolan perampok yang selain merampok juga membunuh orang dan menculik wanita.

   Putera pembesar itu yang masih pengantin baru di culik oleh segerombolan perampok dan pengantin wanitanya, seorang perempuan Han, akan di perkosa di depan suaminya, Melihat ini, suhu turun tangan menyelamatkan mereka dan mengusir para perampok, walaupun gerombolan itu mengaku sebagai pejuang yang membenci Kerajaan Mancu. Nah, kalau engkau yang melihat peristiwa seperti itu terjadi di depanmu, apakah engkau tidak akan menolong mereka dan menentang para gerombolan itu?."

   Ai Yin mengangguk-angguk.

   "Sudah ku duga demikian, maka akupun tidak percaya kepada cerita susiok Can Ok. Buktinya, dia tadi juga bermaksud buruk kepada kalian. Aku tidak segan-segan menentang siapapun juga yang melakukan kejahatan".

   "Nah, setelah kami berdua selesai belajar ilmu-ilmu dari ayah angkatku dan dari mendiang suhu Pek In San-jin kami lalu di suruh turun gunung oleh ayah angkatku".

   "Hemm, Pek In San-jin?

   Nama itupun pernah ku dengar dari ayahku yang memuji-muji dia sebagai seorang tokoh sakti yang setia kepada Kerajaan Beng yang sudah runtuh oleh orang Mancu". Ai Yin memandang kepada Siauw Beng dengan kagum.

   "Pantas engkau lihai, kiranya mendapat gemblengan dari orang sakti itu. Lalu kemana kalian hendak pergi?." "Kami hendak melihat-lihat keadaan Kota Raja". Kata Siauw Beng yang tidak bercerita tentang ditemukannya Pedang Lui-kong Sin-kiam dan pelajaran ilmu silat di dinding gua.

   "Ketika kami tiba di tepi Sungai Huang-ho, kami membeli sebuah perahu kecil ini dari orang yang menawarkannya. Kami lalu melanjutkan perjalanan dengan perahu dan setibanya di sini, kami dihadang gerombolan tadi dan baru kami tahu bahwa yang menjual perahu kepada kami adalah Can Ok tadi. Mungkin dia melihat kantung uang kami ketika kami membayar perahu kecil itu. Nah, sekarang tiba giliranmu, untuk bercerita, Ai Yin.

   Ceritamu tentu jauh lebih menarik".

   "Namaku Wong Ai Yin. Aku tidak mempunyai ibu lagi. Ibu meninggal ketika aku masih kecil. Aku hidup bersama ayahku di dusun besar Po-keng di lereng gunung Beng-san. Ayahku bernama Wong Tat, akan tetapi lebih dikenal dengan julukannya Bu-tek Sin-kiam".

   "Aku pernah mendengar nama besar Bu-tek Sin-kiam. Menurut ayah angkatku, Bu-tek Sin-kiam adalah seorang pejuang yang ditakuti Kerajaan Mancu", kata Siauw Beng.

   "Memang ayahku dahulu seorang pejuang yang gigih melawan orang-orang Mancu, akan tetapi karena semua perjuangan itu gagal, kini ayah lebih banyak bertapa di lereng Beng-San. Ayah pernah menjadi murid kakek guru Hui-kiam Lo-mo, maka ayahku menjadi suheng ( Kakak seperguruan ) Toat-beng Siang-kiam Can Ok yang kusebut susiok (paman guru)".

   "Akan tetapi bagaimana tingkat kepandaianmu dapat lebih tinggi daripada tingkat kepandaian paman gurumu, Ai Yin?"

   Tanya A Siong.

   "Tingkat kepandaian ayahku jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian kakek guru Hui-kiam Lo-mo karena setelah tamat belajar pada kakek guru, ayah memperdalam ilmunya dari para pendeta Lama Jubah Merah di Tibet". Siauw Beng dan A Siong mengangguk-angguk maklum.

   "Ayah sudah bertahun-tahun mengasingkan diri di gunung Beng-san dan tidak mencampuri urusan dunia ramai. Akan tetapi ayah selalu memesan kepadaku untuk membantu perjuangan para pendekar yang menentang kekuasaan pemerintah penjajah, juga agar aku bersikap dan bertindak sebagai seorang pembela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan. Setelah ayah menganggap aku cukup kuat untuk melindungi diri sendiri, ayah memperkenankan aku pergi turun gunung dan memesan agar aku mengunjungi susiok Can Ok untuk membantunya kalau dia masih melakukan kegiatan melawan Kerajaan Mancu.

   Akan tetapi, ketika aku melihat dia mengganggu kalian yang bukan orang Mancu, aku menjadi penasaran dan menentangnya. Sekarang aku tidak sudi lagi membantunya karena ternyata perjuangannya hanya menjadi kedok bagi gerombolannya yang sesungguhnya hanyalah gerombolan bajak sungai dan perampok!."

   Siauw Beng menghela napas panjang.

   "Yah, begitulah keadaannya, Ai Yin. Memang, menurut cerita ayahku, dahulu pemerintah Kerajaan Beng menjadi lemah karena para pemimpinnya hanya mementingkan kesenangan diri pribadi, melakukan koropsi dan kecurangan sehingga Negara menjadi lemah, rakyatnya tidak bersemangat sehingga mudah saja mereka ditaklukan oleh Bang Mancu. Ketika itu, beberapa orang pendekar, termasuk ayahmu itu, berusaha untuk menentang pemerintah penjajah. Akan tetapi semua usaha itu gagal dan pemerintah Kerajaan Mancu menjadi semakin kuat sehingga seluruh wilayah daratan telah mereka kuasai.

   Kini, tidak ada kesempatan lagi bagi kita untuk melanjutkan perjuangan puluhan tahun yang lalu itu karena kita tidak akan mendapat dukungan rakyat jelata. Pemerintah Mancu ini lebih bijaksana, memperhatikan kesejahteraan rakyat jelata. Juga para pemimpin bangsa Mancu membuka kesempatan besar kepada pribumi Han untuk itu mendorong roda pemerintahan. Bahkan para bangsawan Mancu tidak segan-segan untuk menggunakan nama Han, menerima kebudayaan kita sebagai kebudayaan mereka, kehidupan keluarga mereka juga disesuaikan dengan kehidupan kita. Tidaklah mengherankan kalau rakyat akhirnya dapat menerima kepemimpinan bangsa Mancu, bahkan para pendekar pun banyak yang mulai mendukung usaha pemerintah demi kesejahteraan rakyat. Aku sendiri sudah beberapa kali bertemu orang-orang Mancu yang berwatak baik. Juga ayah angkatku menganjurkan kepadaku agar kami membela kebenaran dan keadilan sebagai pendekar karena sekarang bukan waktunya untuk memberontak terhadap Kerajaan Mancu.

   Menurut ayahku, pemberontakan menggulingkan pemerintah Mancu bukanlah hal yang mudah karena tidak mungkin kita lakukan tanpa dukungan sepenuhnya dari rakyat jelata. Sekarang kami berdua harus melakukan perantauan dan siap menentang siapa saja yang melakukan kejahatan, tidak peduli apakah dia orang Mancu ataukah orang Han sendiri. Dengan cara itu pun kita sudah membantu memerangi kejahatan dan menentramkan kehidupan rakyat".

   "Benar sekali, Siauw Beng. Ayahku juga berpendapat seperti itu. Kau tadi mengatakan bahwa kalian hendak pergi ke kota raja?." "Ya, akan tetapi sebelum ke Kota raja, kami hendak pergi dulu ke kota Keng-koan. Aku ingin berkunjung ke makam ayah kandungku".

   "Ayahmu dimakamkan di sana? O ya, engkau belum mengatakan siapa mendiang ayah kandungmu itu, Siauw Beng".

   "Mendiang ayah yang belum pernah ku lihat itu bernama Lauw Heng San".

   "Setelah mengunjungi makam ayahmu, engkau lalu pergi ke kota raja?."

   "Ya, kami ingin melihat-lihat kota raja dan menyaksikan sendiri apakah benar Kaisar Kang Shi merupakan Kaisar Kerajaan Ceng (Mancu) yang bijaksana dan kabarnya kini sedang berperang melawan bangsa Mongol. Dari keadaan penghidupan rakyat di kota raja kita dapat melihat bagaimana sikap rakyat terhadap kaisar itu".

   "Bagus! Kalau begitu, aku akan pergi ke sana bersama kalian!"

   Ai Yin tampak gembira sekali, wajahnya berseri. Siauw Beng dan A Siong saling pandang, agaknya terkejut mendengar ucapan gadis yang mengatakan hendak ikut dengan mereka ke kota raja! Tentu saja kedua orang pemuda ini terkejut dan ragu karena baru saja mereka mengenal Ai Yin dan tiba-tiba saja gadis itu hendak melakukan perjalanan bersama.! "Akan tetapi sebelum kita pergi ke sana, aku ingin minta bantuan kalian lebih dulu".

   "Bantuan? Tentu saja kami siap membantumu, Ai Yin!"

   Kata A Siong.

   "Bantuan apakah yang dapat kami berikan kepadamu, Ai Yin?"

   Siauw Beng juga bertanya.

   "Begini, aku sudah berada di sini, mengikuti kelompok yang di pimpin susiok Can Ok selama hampir tiga bulan. Aku mendengar bahwa di Bukit Menjangan di sana itu terdapat gerombolan jahat yang suka mengganggu penduduk, bukan hanya melakukan perampokan, melainkan juga suka menculik wanita. Semua itu ku dengar dari para nelayan dan sudah kuusulkan kepada susiok untuk menyerbu dan menentang gerombolan itu. Akan tetapi susiok selalu menolak dan mengatakan bahwa gerombolan itu adalah Perkumpulan Hek-houw-pang (Perkumpulan Macan Hitam) yang juga merupakan sekumpulan patriot yang menentang Pemerintahan Mancu. Selama ini aku masih ragu untuk turun tangan sendiri karena menurut keterangan yang ku dapat, gerombolan itu mempunyai anggota sebanyak lima puluh orang lebih dan mereka semua ganas dan kejam, memiliki senjata sepasang cakar harimau dan di pimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar berjuluk Hek-houw Mo-ko (Iblis Macan Hitam) yang sakti.

   Aku khawatir kalau gagal jika pergi sendiri. Akan tetapi aku mendengar laporan dari dusun di kaki bukit itu bahwa kemarin puteri kepala dusun di culik dan lima orang penduduk dusun yang membela gadis itu telah di bunuh. Sekarang aku kebetulan bertemu dengan kalian maka aku minta bantuan kalian untuk menolong penduduk dusun di sekitar dusun itu dan menghajar gerombolan jahat itu".

   "Wah, aku siap membantumu, Ai Yin. Biar ku hajar si Harimau Hitam itu!."

   Kata A Siong sambil mengepal tinjunya.

   "Benar, Ai Yin. Kami berdua siap membantumu". Gadis itu menjadi girang sekali. Ia meloncat berdiri dan berkata.

   "kalau begitu, kita tunggu apa lagi? Mari kita berangkat. Kasihan puteri lurah dusun itu yang telah mereka culik kemarin!."

   Mereka bertiga lalu berangkat, menumpang perahu kecil milik Siauw Beng. A Siong mendayung perahu, Ai Yin duduk di tengah dan Siauw Beng duduk di depan. Perahu meluncur cepat ke hilir dan tak lama kemudian Ai Yin berseru agar A Siong mendayung perahu itu ke tepi sungai sebelah kanan.

   Mereka lalu mendarat dan A Siong menambatkan tali perahu ke sabatang pohon.

   "Inikah Bukit Menjangan itu?"

   Tanya Siauw Beng sambil memandang kea rah sebuah Bukit tak jauh dari situ. Bukit itu penuh dengan hutan lebat sehingga tampak hijau kehitaman, menyeramkan.

   "Benar, mari kita cepat mendaki sebelum matahari condong ke barat", kata Ai Yin. Mereka bertiga mempergunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh) dengan cepat berlari mendaki bukit itu. Ada jalan setapak mendaki ke atas. A Siong berjalan ke depan sambil memegang dayung perahu. Dengan dayung itu dia siap untuk menjaga diri kalau-kalau ada serangan mendadak. Ai Yin berjalan di belakangnya dan Siauw Beng mengikuti dari belakang. Karena mereka belum pernah datang ke situ dan asing dengan daerah yang penuh hutan di bukit itu, maka tentu saja mereka kini tidak dapat melakukan perjalanan cepat. Hutan-hutan bukit itu ternyata lebat bukan main.

   Ketika mereka melihat bekas jejak kaki banyak rusa dan setelah tiba di lereng bukit melihat ratusan ekor menjangan yang melarikan diri setelah melihat mereka, tahulah mereka mengapa tempat itu disebut Bukit Menjangan. Kiranya memang terdapat banyak sekali rusa di situ. Saking lebatnya hutan dan jalan setapak itu kini tidak tampak lagi karena banyaknya semak belukar dan rumput tebal tumbuh dengan liar, maka beberapa kali tiga orang itu menjadi bingung karena jalan mereka terhalang jurang yang curam sehingga terpaksa mereka harus mencari jalan lain. Juga berkali-kali mereka menemukan jalan yang tadi pernah mereka lalui sehingga mereka menjadi bingung. Padahal, matahari mulai turun ke barat karena perjalanan mereka yang tersesat dalam hutan itu membuat mereka berputar-putar dan makan waktu yang lama.

   "Ah, mengapa aku begini bodoh? Kalian tunggu sebentar, aku akan meneliti keadaan dari atas", kata Ai Yin, lalu tubuhnya melayang ke atas seperti seekor burung terbang.

   Ia hinggap di atas cabang sebatang pohon besar, lalu memanjat naik sampai ke puncak pohon yang tinggi itu. Dari tempat tinggi itu Ai Yin memandang ke sekeliling. Tak lama kemudian ia sudah melayang turun.

   "Nah, sudah tahu aku dimana sarang mereka", katanya.

   "Mari ikut aku!"

   Ia lalu menjadi penunjuk jalan menuju kea rah tertentu. Matahari yang sudah condong ke barat menjadi penentu arah sehingga mereka menuju ke arah yang benar, yaitu menuju sebuah perkampungan kecil yang terlihat dari puncak pohon oleh Ai Yin tadi. Akan tetapi karena mereka tidak dapat menemukan jalan rahasia yang dibuat perkumpulan Hek-houw-pang untuk keperluan mereka sendiri, dan terpaksa harus mengambil jalan pintas yang harus melalui daerah sukar yang penuh dengan semak belukar dan berduri, maka setelah senja barulah mereka tiba di depan sebuah perkampungan. Cuaca mulai agak gelap dan ketika mereka bertiga berdiri di depan pintu gerbang yang amat kokoh itu, tiba-tiba pintu gerbang itu terbuka dan dari dalam bermunculan puluhan orang dengan pakaian serba hitam!

   Dan sambil berlari-lari mereka membuat lingkaran mengepung tiga orang itu. Tiga orang muda itu tampak tenang-tenang saja menghadapi pengepungan sekitar empat puluh orang itu, bahkan Ai Yin tersenyum-senyum mengejek. Gadis yang pemberani ini menyapu para pengepung dengan pandang matanya yang tajam, lalu setelah memutar tubuhnya satu kali berkata dengan suara nyaring.

   "Heeiii! Macan-macan kecil, kami datang untuk bicara dengan pemimpin kalian. Mana dia Hek-houw Mo-ko? Apakah dia tidak berani keluar menemui kami?."

   Tiba-tiba, seolah menyambut seruan Ai Yin tadi, terdengar auman harimau dari dalam perkampungan, gerengan suaranya menggetarkan keadaan sekeliling tempat itu. Tiga orang muda itu maklum bahwa orang yang mengeluarkan gerengan sehebat itu tentu menggunakan sin-kang (tenaga sakti) sehingga suaranya mengandung getaran yang amat kuat. Lalu dari dalam gapura itu muncul seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun.

   Pakaiannya dari sutera hitam. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat, mukanya penuh brewok dan matanya yang lebar mencorong penuh wibawa. Kedua tangan orang ini disambung cakar harimau, tidak seperti para anak buah yang kedua tangan mereka memegang sepasang cakar harimau yang bergagang sepanjang lengan. Dengan langkah perlahan namun tegap bagaikan langkah seekor harimau, laki-laki itu berjalan dan para pengepung di bagian gapura memberi jalan dengan sikap hormat, dia maju terus sampai berhadapan dengan tiga orang muda itu. Dengan matanya mencorong dia mengamati tiga orang itu, pandang matanya berhenti pada Ai Yin dan gadis itu merasa seoalh pandang mata laki-laki tinggi besar itu menggerayangi tubuhnya dari kepala sampai ke kakinya sehingga mukanya berubah merah dan matanya mencorong merah.

   "Jahanam busuk, apakah engkau yang berjuluk Hek-houw Mo-ko dan menjadi pemimpin gerombolan Hek-houw-pang yang suka mengganggu penduduk, merampok barang dan ternak, juga menculik gadis-gadis itu?."

   Hek-houw Mo-ko mendengus, matanya seolah hendak menelan gadis itu hidup-hidup dan jelas tampak bahwa dia terpesona oleh kecantikan Ai Yin.

   "Nona, engkau tinggallah di sini menjadi biniku dan dua orang pemuda ini boleh pergi dari sini dengan aman dan tidak akan kami ganggu". Ai Yin membelalakkan matanya. Beraninya orang itu! Mukanya serasa di bakar oleh api kemarahan yang berkobar dihatinya.

   "Keparat bermulut busuk!"

   Bentaknya dan Ai Yin sudah mengunus pedangnya lalu tanpa banyak cakap lagi karena saking marahnya gadis itu tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi, ia sudah menerjang Hek-houw Mo-ko dengan dahsyat sekali. Hek-houw Mo-ko terkejut bukan main. Sebagai orang yang banyak pengalaman dia segera mengenal serangan yang luar biasa hebatnya dan tahulah dia bahwa gadis cantik itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan! Dia cepat mengelak sambil menggerakkan kedua tangannya yang disambung cakar harimau terbuat dari baja yang sudah di rendam racun.

   Segera Ai Yin sudah bertanding seru melawan ketua Hek-houw-pang dan laki-laki tinggi besar brewok ini diam-diam memberi tanda kepada anak buahnya untuk bergerak. Empat puluh orang lebih itu segera mengepung dan mengeroyok Siauw Beng dan A Siong. Mereka bermaksud membunuh dulu dua orang pemuda itu, baru mereka akan membantu ketua mereka menangkap gadis yang cantik itu. Akan tetapi, mereka disambut dengan kejutan hebat. Begitu kedua orang pemuda itu menggerakkan tubuh mereka, dalam beberapa detik saja delapan orang pengeroyok sudah roboh dan tidak mampu bangkit kembali karena tulang patah atau terluka dalam. Tamparan dan tendangan Siauw Beng dan A Siong terlalu kuat bagi mereka sehingga mereka mengeroyok dengan hati gentar dan kacau. Akan tetapi hal ini justeru membuat pengeroyok mereka semakin lemah dan kembali delapan orang berpelanting.! "Hyaattt"!"

   Ai Yin menyerang dengan hebat.

   Kebenciannya terhadap kepala gerombolan yang berani kurang ajar kepadanya itu membuat ia menyerang dengan dahyat untuk membunuh. Hek-houw Mo-ko melihat serangan yang amat ganas itu, segera menggerakkan tangan menangkis. Cakar harimau baja itu bertemu dengan pedang.

   "Criinggg"!"

   Tampak bunga api berpijar dan Hek-houw Mo-ko terhuyung ke belakang. Dia semakin terkejut dan mulai merasa gentar. Cakar harimaunya dari baja itu kuat sekali dan biasanya kalau bertemu dengan lawan yang bersenjata cakarnya mampu mematahkan pedang atau golok lawan. Akan tetapi sekali ini, cakarnya tidak mampu mematahkan Liong-cu-kiam, sebaliknya malah sebuah jari cakar itu patah! Maka dia mulai panic, apalagi ketika di liriknya dan dia melihat betapa belasan anak buahnya sudah roboh dan tidak mampu bangkit kembali, hanya duduk dan merintih-rintih sambil memegangi bagian tubuh yang patah tulangnya.

   Dia mulai takut dan cepat dia menyelinap dan menyusup kedalam kelompok anak buahnya yang banyak. Melihat kepala gerombolan itu menghilang di antara anak buahnya, Ai Yin menjadi marah sekali. Pedangnya berkelebatan menyambar-nyambar, menjadi gulungan sinar terang dan berturut-turut terdengar teriakan dan tubuh bergelimpangan mandi darah di sambar sinar pedang itu. Sementara itu, ketika A Siong sedang mengamuk, dia melihat Hek-houw Mo-ko melarikan diri memasuki pintu gerbang perkampungan. Melihat Ai Yin mengamuk dengan pedangnya dan Siauw Beng masih menggunakan kaki dan tangan kanannya untuk merobohkan para pengeroyok yang kini sudah berkumpul semua di situ, A Siong lalu melakukan pengejaran kepada kepala gerombolan itu. Dengan gerakan ringan ia melewati kepala para pengeroyok di depannya dan mengejar ke dalam perkampungan yang sunyi karena semua anggota gerombolan telah berkumpul di depan pintu gapura untuk mengeroyok.

   A Siong masih sempat melihat Hek-houw Mo-ko melompat dan memasuki sebuah bangunan yang paling besar di perkampungan itu. Karena malam mulai tiba, maka cuaca sudah remah-remang. Namun dalam rumah besar itu terdapat penerangan. Dia melompat ke serambi rumah dan melihat di situ sunyi, dengan hati-hati dia lalu memasuki ruangan depan. Dia harus waspada dan hati-hati karena amat berbahaya mengejar seorang penjahat kejam yang memasuki rumahnya. Dia dapat di serang dengan tiba-tiba, bahkan ada kemungkinan rumah itu di pasangi alat-alat rahasia untuk menjebaknya. Ruangan depan itupun kosong tidak nampak seorangpun manusia. Berindap-indap A Siong mencari orang yang dikejarnya. Agaknya rumah itu telah ditinggalkan semua penghuninya karena sepi sekali. Namun di ruangan dalam terdapat lampu penerangan. Dengan berani dia memasuki ruangan yang sebelah dalam. Di sini pun sunyi dan dari ruangan ini dia dapat melihat melalui pintu bahwa ada pula ruangan sebelah belakang.

   Akan tetapi menembus ruangan dalam itu terdapat pintu-pintu kasar yang daun pintunya tertutup. Selagi dia bingung tidak tahu harus mencari kemana, tiba-tiba dia mendengar suara orang bicara di ruangan belakang. Cepat dia melangkah ke ruangan itu dan suara itu datang dari sebuah kamar besar yang pintunya tertutup. Dia menghampiri pintu dan mendengarkan suara laki-laki dan wanita yang terdengar berbantahan.

   "Aku tidak sudi! Bunuh saja aku, aku tidak sudi ikut denganmu!"

   Terdengar suara wanita itu. Lalu A Siong mendengar suara laki-laki yang sudah dikenalnya, suara Hek-houw Mo-ko.! "Gadis bodoh tak mengenal budi! Kalau aku tidak benar-benar cinta kepadamu, sejak kemarin engkau tentu telah ku paksa, ku perkosa seperti para gadis lain, lalu ku berikan kepada anak buahku. Akan tetapi aku tidak mau melakukan itu terhadap dirimu karena aku sungguh cinta padamu dan aku ingin engkau menjadi isteriku.

   Maka, sekali lagi, menurutlah. Mari ku ajak engkau pergi dari sini dan kita hidup berbahagia di tempat lain. Engkau dapat hidup mewah dan terhormat di sana. Marilah manis".

   "Tidak, aku tidak sudi ikut denganmu. kalau engkau memaksaku, aku akan bunuh diri, daripada menjadi isterimu. Terkutuk engkau, laki-laki jahanam yang jahat dan kejam!." "Hemmm, kalau begitu aku akan memaksamu ikut denganku, mau atau tidak mau engkau harus menjadi isteriku!."

   Asiong mendengar suara gedebukan dan kain robek. Maka dia lalu menendang daun pintu kamar itu.

   "Braakkkk"!"

   Daun pintu jebol dan A Siong melompat masuk. Dia melihat Hek-houw Mo-ko hendak memaksa dan meringkus seorang gadis bertubuh tinggi tegap. Akan tetapi gadis itu meronta dan bajunya yang di cengkram Hek-houw Mo-ko menjadi robek dari leher sampai pinggang, sehingga tubuh bagian atasnya kini hanya tertutup pakaian dalam berwarna merah muda yang tipis dan tembus pandang.

   Mendengar suara pintu jebol, Hek-houw Mo-ko terkejut sekali. Cepat dia melepaskan gadis yang meronta-ronta dengan gigih itu dan menghadapi A Siong dengan marah. Dia tadi gentar menghadapi Ai Yin dan dia tahu bahwa dia tidak akan menang melawan dara perkasa itu. Akan tetapi kini melihat A Siong yang tidak membawa senjata, dia memandang rendah. Dia marah sekali. A Siong merupakan seorang di antara tiga orang muda yang mengacaukan perkampungannya, maka tanpa bicara apa-apa lagi dia sudah menerkam dengan kedua cakarnya ke arah A Siong. A Siong yang sudah waspada sejak tadi, maklum bahwa kedua tangan yang di sambung cakar harimau itu berbahaya sekali, maka dia cepat mengelak ke samping, lalu membalas serangan lawan dengan sebuah tendangan. Akan tetapi Hek-houw Mo-ko juga mampu mengelak dengan cepat. Maka bertandinglah dua orang laki-laki yang sama tinggi besarnya itu dalam kamar.

   Untung bahwa kamar itu cukup luas sehingga mereka dapat bertanding dengan leluasa. Akan tetapi segera ternyata bahwa A Siong masih lebih unggul walaupun lawannya memiliki sepasang cakar berbisa yang menyambung kedua tangannya dan A Siong sendiri bertangan kosong. Selain tingkat kepandaian A Siong memang agak lebih tinggi dan dia memiliki tenaga sakti yang jauh lebih kuat karena dia telah makan daging ular kembang merah, juga pada saat itu hati Hek-houw Mo-ko sudah terlanda panic dan ketakutan. Setelah dia mendapat kenyataan bahwa lawannya inipun lihai sekali, hatinya merasa gelisah dan dia mulai mencari kesempatan untuk melarikan diri. Tadinya dia ingin memaksa gadis yang kemarin di culik, puteri lurah itu, untuk menemaninya karena dia jatuh cinta kepada gadis itu. Akan tetapi sekarang yang terpenting baginya adalah menyelamatkan diri. Maka dia lalu menyerang dengan nekat, mencakar dengan tangan kanannya kea rah muka A Siong sambil menggereng bagaikan seekor harimau terluka.

   
Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
A Siong sudah waspada. Melihat serangan nekat itu, dia cepat miringkan tubuhnya dan setelah memutar tubuh ke kanan dia menangkap lengan kanan lawan dan dengan pengerahan tenaga sakti dia memutar lengan itu ke belakang tubuh lawan. Sekali dia mendorong lengan itu ke atas, terdengar bunyi berkretekkk dan sambungan tulang pundak kanan Hek-houw Mo-ko terlepas! Kepala perampok itu mengeluh karena rasa nyeri seperti menusuk jantungnya dan dia membungkuk untuk menahan rasa nyeri. A Siong menggunakan kesempatan itu untuk menangkap kedua pergelangan kaki kepala perampok itu dengan kedua tangannya dan sekali angkat dan tarik, tubuh kepala gerombolan itu telah tergantung dan dia lalu memutar-mutar tubuh itu, kemudian dia lemparkan keluar kamar melalui pintu yang jebol. Tubuh itu meluncur dan kepalanya menghantam dinding.

   "Praakkk".!"

   Tubuh itu terbanting dan kepalanya retak. Hek-houw Mo-ko tewas seketika.

   A Siong menghampiri gadis yang berlutut sambil memegangi bagian depan bajunya yang robek. Ia tadi menonton perkelhaian itu dengan muka pucat, mata terbelalak dan tubuh gemetaran. Kini, melihat A Siong menghampirinya ia memandang wajah pemuda tinggi besar itu. A Siong melihat betapa sepasang mata yang lebar dan jeli itu terbelalak seperti mata kelinci yang ketakutan. maka dia tersenyum dan berkata lembut.

   "Nona, jangan takut. Aku datang untuk menolongmu dan membawamu pulang pulang ke rumah orang tuamu". Mendengar ucapan itu dan bertemu pandang mata dengan sepasang mata pemuda tinggi besar yang membayangkan kejujuran itu, gadis agaknya baru yakin bahwa pemuda ini benar-benar datang untuk menolongnya. Maka kalau tadi ia sama sekali tidak menangis, kini ia mengeluh dan menubruk kedua kaki A Siong dan terkulai pingsan.! Melihat gadis itu kini rebah telentang di atas lantai dengan tubuh bagian atas depan hanya tertutup pakaian dalam yang tipis sehingga lekuk lengkung dadanya membayang, jantung A Siong berdebar tegang.

   Belum pernah selama hidupnya dia melihat pemandangan seperti ini. Dan wajah gadis itu mendatangkan kesan mendalam di hatinya. Gadis yang tabah, berani mati dan lebih baik mati daripada menyerahkan diri kepada kepala perampok, seperti yang di dengarnya tadi ketika gadis itu berbantahan dengan Hek-houw Mo-ko. Dan wajah gadis yang bertubuh tinggi tegap ini begitu memelas, dan begitu manis menimbulkan rasa suka dan iba di hatinya yang belum pernah tersentuh oleh seorang wanita. Dengan jari-jari gemetar dia mencoba untuk menutupkan baju luar yang robek, akan tetapi karena dada yang membusung itu membuat bajunya menjadi ketat, maka begitu dia melepaskan tangan, baju itu terbuka kembali.!

   Dia menjadi gugup dan bingung, lalu dia melepas baju luarnya sendiri dan mengenakan bajunya itu pada tubuh atas gadis itu dia harus merangkul dan memasukkan lengan gadis dengan mengangkat tubuh itu dan mendudukannya lalu menyangganya. Bajunya terlalu besar, akan tetapi dapat menutup dan menyembunyikan dada yang setengah telanjang itu. hatinya merasa lega dan dia lalu memondong tubuh gadis itu, membawanya keluar dari rumah. Setelah tiba di pintu gapura, A Siong melihat bahwa perkelahian telah berakhir. Siauw Beng dan Ai Yin pada saat itu keluar dari rumah, memasuki perkampungan itu.

   "Suheng, siapa yang kau pondong itu?"

   Tanya Siauw Beng, heran melihat A Siong memondong tubuh seorang gadis. Mereka berhenti di depan sebuah rumah dimana tergantung lampu penerangan sehingga birapun remang-remang, Siauw Beng dan Ai Yin dapat melihat bahwa gadis itu seperti orang tertidur.

   Jantung A Siong berdebar dan dia merasa malu sekali.

   "Ia"

   Ia"

   Adalah puteri kepala dusun yang kemarin di culik. Ia gadis yang tabah dan gagah berani mempertahankan kehormatannya. Ketika ia hendak di paksa pergi oleh Hek-how Mo-ko, aku datang dan aku berhasil menewaskan kepala gerombolan itu. Gadis ini jatuh pingsan dank u bawa keluar". Pada saat itu, gadis itu bergerak dalam pondongan A Siong sehingga pemuda ini cepat menurunkannya dengan hati-hati seketika ia teringat akan peristiwa tadi dan kembali ia menjatuhkan diri berlutut merangkul kedua kaki A Siong.

   "In-kong telah menyelamatkan saya dari malapetaka yang lebih mengerikan daripada maut. Tidak ada yang dapat saya lakukan untuk membalas budi kebaikan in-kong (tuang penolong) kecuali menyerahkan jiwa raga saya kepada in-kong".

   "Eh, apa"

   Apa maksudmu, Nona? Nanti"

   Atau besok pagi kami akan mengantarmu pulang ke rumah orang tuamu".

   "Tidak, in-kong"

   Tidak"

   Saya tidak mau pulang""gadis itu kini menangis lirih.

   "Sudahlah, A Siong, soal ini kita bicarakan nanti, perlahan-lahan kita bujuk. Sekarang yang penting kita perlu memeriksa keadaan dalam kampung untuk mengumpulkan barang-barang yang mereka rampas dari penduduk dan menemukan kembali para gadis lain".

   "Benar, suheng. Kau temani saja nona ini, aku dan Ai Yin akanmemeriksa keadaan dalam perkampungan", kata Siauw Beng.

   "Baik, sute". Setelah Siauw Beng dan Ai Yin mulai memeriksa ke dalam rumah-rumah di perkampungan gerombolan itu, A Siong mengajak gadis itu keluar pintu gerbang karena dia tidak mau menganggur di situ.

   "Mau apa kita keluar, in-kong?." "Kita lihat keadaan para penjahat itu. Aku harus mengerahkan tenaga mereka untuk membantu mengangkut kembali barang-barang dan ternak yang di rampok oleh gerombolan. Enak saja kalau dia dibiarkan pergi tanpa harus bertanggung jawab atas semua perbuatan mereka yang jahat. Mari". Eh, siapakah namamu, Nona?."

   "Nama saya Lu Bi Hwa, anak tunggal puteri lurah dusun Ki-Cun di kaki bukit ini sebelah utara". Mereka tiba di luar pintu gerbang atau gapura perkampungan itu dan di sana masih ada belasan orang yang mengeluh dan saling menolong. Yang lain mungkin telah pergi sambil membawa mayat kawan-kawan mereka yang tewas. Ketika tujuh belas orang itu melihat A Siong muncul bersama Bi Hwa, mereka terkejut dan nampak ketakutan, bahkan ada yang siap melarikan diri. Bulan telah muncul sejak senja tadi, bulan sepotong yang masih redup sinarnya namun lumayan dapat memberi sedikit penerangan sehingga keadaan di situ remang-remang.

   "Jangan ada yang berani melarikan diri. Aku akan membunuh mereka yang mencoba untuk melarikan diri!"

   A Siong membentak. Belasan orang itu semakin ketakutan. Mereka tadi sudah melihat kehebatan sepak terjang pemuda tinggi besar ini, yang dengan tangan kosong dapat merobohkan banyak orang yang bersenjata sepasang cakar harimau.

   Mereka serentak berlutut menghadap A Siong dan berseru.

   "Ampunkan kami, taihiap (Pendekar besar)".

   "Hayo kalian semua masuk ke perkampungan dan berkumpul di rumah besar tempat tinggal ketua kalian. Urus dan kuburkan mayat ketua kalian yang berada di sana dan tunggulah perintah kami selanjutnya.

   "Hayo jalan!"

   Semua orang itu sudah mati kutu. Mereka takut kalau melarikan diri akan benar-benar di bunuh pendekar tinggi besar itu. Maka mereka semua lalu memasuki perkampungan itu, di iringkan A Siong dan Bi Hwa. Diam-diam Bi Hwa merasa kagum bukan main melihat sepak terjang penolongnya. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan seorang yang demikian gagah perkasa, tegar dan berwibawa. sampai berusia dua puluh tahun Bi Hwa ini belum menikah karena ia selalu menolak pinangan para pemuda dari dusunnya atau dusun-dusun lain karena ia merasa tidak cocok dengan mereka. Sudah banyak ia melihat gadis yang menikah lalu hidup bagaikan bujang bagi suaminya.

   Melayani semua kebutuhan suami, emngurus anak-anak, mencuci, masak, membersihkan rumah dan pekarangan, masih di tambah membantu pekerjaan di sawah lading kalau sang suami terlalu sibuk. Pendeknya, tenaga wanita diperas habis-habisan. Kawan-kawannya sedusun yang sudah menikah, rata-rata bertubuh kurus dan wajahnya cepat tua! Ketika ia berada dalam ancaman malapetaka yang hebat, akan di paksa menjadi isteri kepala gerombolan dan akan di perkosa, ketika ia sudah putus asa dan pasti akanmembunuh diri kalau di perkosa, tiba-tiba muncul pemuda gagah perkasa ini yang menyelamatkannya! Maka ia sudah mengambil keputusan bulat dalam hatinya. Ia akan menjadi isteri pemuda ini, akan menyerahkan jiwa raganya. Ia akan sanggup bekerja keras seperti para isteri lain. Ia akan melakukan semua itu dengan senang hati, tidak seperti kawan-kawannya, karena ia melakukannya untuk membalas budi kebaikan pemuda itu.

   Setelah mereka tiba di rumah kepala gerombolan, ternyata Siauw Beng dan Ai Yin juga sudah selesai memeriksa semua rumah di perkampungan itu. Mereka menemukan barang-barang rampasan, juga hewan ternak yang di kumpulkan di belakang perumahan. Selain itu, mereka juga menemukan lima orang gadis dusun yang keadaanya amat menyedihkan. Wajah mereka pucat, sikap mereka ketakutan dan tubuh mereka kurus. Lima orang gadis itu adalah korban penculikan yang sudah berbulan-bulan berada di situ dan menjadi korban keganasan kepala gerombolan dan anak buahnya. Mereka berlima itu menangis sedih, mengingat nasib mereka walaupun mereka kini telah terbebas dari cengkraman para penjahat. Mereka melihat batapa suramnya masa depan mereka. Akan sukar mendapatkan pria yang mau memperistri gadis yang pernah menjadi permainan para penjahat keji itu. Lu Bi Hwa segera menghampiri lima orang gadis itu dan ia menghibur mereka sehingga akhirnya mereka berhenti menangis.

   Para anak buah gerombolan itu lalu mengubur jenazah Hek-houw Mo-ko dan malam itu mereka di haruskan berkumpul di ruangan depan rumah besar itu. Siauw Beng dan Ai Yin mengambil keputusan bahwa besok pagi para anggota gerombolan itu di haruskan mengangkat barang-barang rampokan itu kembali ke dusun. Mereka bertiga akan mengawal para gadis kembali ke rumah orang tua masing-masing.

   "Ai Yin, engkau malam ini mengaso dan tidurlah. Biar aku dan suheng yang melakukan penjagaan agar mereka tidak melarikan diri dan untuk berjaga-jaga kalau ada teman-teman mereka yang berani masuk perkampungan ini ", kata Siauw Beng setelah mereka semua makan hidangan yang dimasak oleh Lui Bi Hwa dan lima orang gadis itu. Di rumah kepala gerombolan itu tersedia bahan makanan yang cukup banyak. Malam itu Ai Yin tidur di senuah kamar rumah besar itu. Kamar yang bersih dan Ai Yin yang sudah kecapaian itu dengan mudah tertidur pulas. Siauw Beng duduk di serambi depan, bersila di atas lantai yang di gelari tikar tebal.

   Para gadis juga tidur di sebuah kamar besar. Mereka berlima baru malam ini dapat tidur nyenyak dengan hati tentram. Akan tetapi Bi Hwa tidak mau tidur dan ia duduk menemani A Siong yang juga duduk di serambi depan bersama Siauw Beng. Di serambi ini, A Siong membuat api unggun, bukan untuk mendapatkan penerangan karena di situ juga ada sebuah lampu gantung, akan tetapi untuk mengusir nyamuk yang terdapat banyak di tempat itu. Dari serambi mereka dapat melihat ke luar. Bulan sepotong sudah naik tinggi dan cahayanya mulai agak tering sehingga cuaca di luar rumah itu remang-remang namun masih dapat di tembus pandang mata. Siauw Beng memejamkan matanya seperti orang tidur. Sebetulnya dia hanya duduk diam seperti sedang siu-lian ( samadhi ), akan tetapi dia menyadari keadaan di luar dirinya sehingga dia dapat mendengar ketika Bi Hwa dan A Siong bercakap-cakap.

   "In-kong, saya sudah mengambil keputusan tetap.

   Saya tidak akan kembali ke rumah orang tua saya. Saya akan ikut denganmu ke manapun engkau pergi, In-kong".

   "Akan tetapi aku seorang perantau miskin, bahkan rumah tinggalpun tidak punya!." "Tidak mengapa, In-kong. Saya sanggup hidup bagaimanapun juga bersamamu. Saya akan melayanimu, mengerjakan semua keperluanmu, mencuci, memasak dan engkau suruh apapun akan saya lakukan dengan senang hati dan rela". A Siong menghela napas panjang lalu menengok kea rah Siauw Beng. Kemudian dia berkata lirih.

   "Mari kita bicara di sana saja". Dia menambahkan kayu kepada api unggun, lalu bangkit mengajak Bi Hwa pergi ke pekarangan agar dapat bicara dengan leluasa tanpa di dengar orang lain. Setelah cukup jauh mereka duduk di atas dua buah batu besar, berhadapan. Bahkan A Siong sendiri tidak tahu bahwa Siauw Beng membayangi mereka, lalu bersembunyi di balik batu-batu bukit dan mendengarkan percakapan mereka.

   "Bi Hwa, keputusanmu itu keliru.

   Tidak mungkin engkau ikut bersamaku terus. Engkau akan hidup serba kekurangan, sengsara dan terkadang di ancam bahaya. Aku adalah seorang petualang yang tidak memiliki apa-apa, tiada keluarga, tiada rumah tinggal, tiada harta benda. Aku tidak dapat menerima engkau ikut bersamaku, Bi Hwa". Gadis itu menundukkan mukanya menangis perlahan.

   "Inkong, apakah engkau tidak kasihan kepadaku?"

   Tanyanya di sela isaknya.

   "Tentu saja aku kasihan padamu, Bi Hwa. Engkau seorang gadis yang baik, tabah, teguh mempertahankan kehormatanmu, engkau pantas di hormati. Aku kagum kepadamu, Bi Hwa".

   "Kalau begitu, mengapa engkau tidak mau menerima saya, In-kong?"

   Tanyanya dengan suara memelas.

   "Sudah ku katakana bahwa aku seorang perantau miskin. Engkau akan hidup serba kekurangan dan sengsara, sekali waktu mungkin sehari tidak dapat makan".

   "Aku rela, in-kong. Biar hidup sebagai pengemis gelandangan sekalipun, saya rela.

   Saya rela menjadi pelayanmu, in-kong". Hening sejenak,hanya terdengar beberapa kali A Siong menghela napas panjang, berulang-ulang. Kemudian dia berkata dengan suara sedih.

   "Percayalah Bi Hwa seandainya aku ini seorang pemuda biasa yang memiliki tempat tinggal, memiliki kebebasan dan harapan masa dengan, sungguh mati aku akan menerima permintaan mu ini dengan senang hati. Akan tetapi, dalam keadaanku seperti sekarang ini, hal itu tidak mungkin ku lakukan. Aku harus membantu sute Siauw Beng, aku sudah berjanji kepada guruku untuk menemani sute, untuk membantunya, bahkan untuk melayaninya. Tidak mungkin aku menerimamu, Bi Hwa".

   "Apakah". Apakah". Tidak ada jalan keluarnya"

   In-kong"?."

   A Siong menghela napas berat, lalu terdengar suaranya lirih.

   "maaf, Bi Hwa, ku rasa tidak ada"."

   Isak tangis itu semakin kuat dan tiba-tiba Bi Hwa melompat turun dari atas batu. Ia terguling roboh, akan tetapi bangkit lagi dan berlari sambil menangis ke arah jurang yang berada tak jauh dari situ.

   Perkampungan itu berada di lereng dekat puncak bukit Menjangan, maka terdapat banyak jurang di sekitar perkampungan. Dengan nekat Bi Hwa setelah tiba di tepi jurang, hendak meloncat ke dalamnya. Akan tetapi tiba-tiba dua buah lengan yang kuat merangkul pinggalnya. Ia meronta-ronta, namun tidak dapat terlepas dari rangkulan A Siong.

   "Bi Hwa, apa yang hendak kau lakukan ini?"

   A Siong memaksa, mearik tubuh gadis itu menjauhi jurang.

   "Lepaskan, In-kong, lepaskan. Biarkan saya mati saja! Tiada gunanya hidup lebih lama kalau in-kong tidak mau menerima saya" "Gadis itu menangis sesunggukan.

   "Akan tetapi mengapa, Bi Hwa? Mengapa engkau menjadi nekat begini? Engkau masih mempunyai keluarga, bahkan ayahmu adalah seorang kepala dusun yang hidupnya serba kecukupan!"

   Bujuk A Siong tanpa melepaskan rangkulannya karena gadis itu masih meronta, berusaha melepaskan dekapan A Siong.

   "Tidak, tidak! Nama saya sudah tercemar, semua orang akan membicarakan saya, semua orang akan mencemooh dan memandang hina! Bahkan orang tuaku juga akan menderita karena aib. Biarkan saya mati, In-kong!." "Husshhh! Mengapa engkau berkata demikian? Aku mendengar sendiri ketika engkau bicara dengan kepala perampok itu. Engkau belum ternoda atau"

   Sudahkah tercemar maka sekarang menjadi putus asa?." "Tidak, In-kong! Kalau saya sudah ternoda, tentu saya sudah tidak hidup lagi. Tentu saya sudah membunuh diri".

   "Kalau begitu, mengapa engkau merasa namamu tercemar?."

   In-kong tidak tahu, semua gadis yang sudah di culik oelh iblis itu telah ternoda. Siapa yang akan percaya bahwa saya belum tersentuh? Tidak akan ada yang percaya dan orang sekampung akan mencemooh". Ia berhenti sebentar sambil terisak.

   "Bahkan ayah ibuku tidak akan percaya kalau saya mengatakan bahwa saya belum ternoda. Ah, malu sekali, In-kong. Mati jauh lebih baik daripada hidup menghadapi itu semua!."

   "Bi Hwa, biarlah aku yang akan bicara dengan orang tuamu.Aku yang akan menyakinkan mereka bahwa engkau masih bersih, belum ternoda. dan kalau ada orang di dusunmu yang tidak percaya dan mengejekmu, dia akan ku hajar!." "Saya tidak menginginkan itu, In-kong. Saya hanya menginginkan agar diperbolehkan ikut dengan mu, kemana pun In-kong pergi".

   "Akan tetapi aku tidak mungkin dapat menerimamu, betapa pun berat rasa hatiku. Aku tidak enak kepada sute, kepada suhu dan"""engkau keliru, suheng!"

   Tiba-tiba ucapan A Siong itu terputus oleh suara ini dan muncullah Siauw Beng bersama Ai Yin di tempat itu. Ternyata tadi ketika Siauw Beng mendengarkan percakapan A Siong dan Bi Hwa sambil bersembunyi di belakang batu besar, datang Ai Yin menyusulnya dan gadis inipun ikut mendengarkan.

   "Sute"! Ai Yin"! Kalian"

   Kalian di sini"? "A Siong bertanya gagap sehingga dia lupa bahwa kedua lengannya masih mendekap pinggang ramping Bi Hwa!

   Adapun gadis itu yang melepaskan rangkulan lengan A Siong dengan kedua tangannya. Baru A Siong menyadari dan cepat dia melepaskan rangkulannya dan mundur dua langkah. Suheng, Bi Hwa, Mari kita bicara di serambi", kata Siauw Beng dengan suara serius. Mereka berempat lalu pergi ke rumah besar itu. Api unggun di serambi itu masih menyala dan Siauw Beng segera menambahkan kayu sehingga api unggunnya bernya semakin besar, mengusir hawa dingin dan nyamuk. Mereka duduk dekat api unggun, A Siong menundukkan mukanya yang menjadi merah, sedangkan Bi Hwa mengambil tempat duduk di atas lantai dekat pemuda itu, memandang kepada Siauw Beng dan Ai Yin dengan harap-harap cemas.

   "maaf, suheng. Tadi aku telah melihat dan mendengar semua tentang keadaan kalian berdua. Engkau keliru kalau merasa tidak enak kepadaku dan kepada ayahku. Suheng, engkau berhak menentukkan jalan hidupmu sendiri. Apalagi mengenai perjodohan.

   Ayah tentu akan menyetujui dan merestui kalau engkau berjodoh dengan nona ini. Aku juga rela sepenuhnya, suheng. Hanya engkau yang dapat menolong Bi Hwa dan kalau kalian sudah saling mencinta, mengapa mesti ragu-ragu lagi?." "Siauw Beng berkata benar, A Siong. Tidak ada aib menimpa dari Bi Hwa dan keluarganya kalau ia menikah denganmu. Biarlah aku yang akan membicarakan dengan orang tua Bi Hwa, melamarnya untukmu agar kalian berdua dapat menikah dengan sah".

   

Pendekar Muka Buruk Karya Kho Ping Hoo Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini