Ceritasilat Novel Online

Si Tangan Halilintar 15


Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo Bagian 15



Tiga orang pendekar itu bercakap-cakap di ruangan depan. Ciang Hu Sen yang berusia lima puluh tujuh tahun, kehilangan wataknya yang selalu gembira. Bhe Kam yang berusia lima puluh, jubahnya masih kedodoran seperti dulu, dan Lee Bun yang berusia lima puluh tiga tahun bertubuh tinggi kurus dan mukanya seperti tengkorak, maka ia di juluki Si Muka Tengkorak.

   "Melihat keakraban antara anakku dan Song Cin, aku berpendapat sebaiknya mereka segera dinikahkan"kata Bhe Kam Si Copet Sakti kepada dua orang saudara seperguruan itu.

   "Ciang-suheng, kuanggap dapat menjadi wali mewakili suheng Song Kui yang sudah meninggal. Bagaimana pendapatmu, Suheng?."

   Ciang Hu Seng yang gemuk pendek itu tertawa senang.

   "He-he-he-he, pendapatmu itu baik sekali. Aku akan dapat menikmati arak pengantin sebagai wali pengantin pria tentu aku mendapatkan kehormatan pertama, ha-ha-ha!."

   "Aku setuju sekali, Bhe-suheng. Puterimu itu sudah berusia dua puluh tahun dan Song Cin sudah berusia dua puluh dua tahun. Sudah tiba waktunya bagi mereka untuk berumah tangga dan yang penting lagi, kasihan kalau orang-orang muda seperti mereka harus melewatkan masa mudanya di tempat sunyi ini. Setelah menikah mereka dapat turun gunung, kembali ke Souw-Cin dan membentuk keluarga bahagia. Tentu masih ada peninggalan keluarga Song di Souw-ciu, setidaknya para sahabat kedua suheng Song tentu siap membantu Song Cin ", kata Lee Bun.

   "Akan tetapi bagaimanapun juga, perkabungan yang dilakukan Song Cin atas kematian ayahnya haruslah penuh lebih dulu yang ku kira hanya tinggal dua bulan lagi." "Tentu saja hal itu sama sekali tidak boleh di langgar ", kata Bhe Kam dan tiga orang itu selanjutnya bercakap-cakap sambil minum arak untuk mengusir hawa dingin yang mulai menyelimuti dusun di dekat puncak itu.

   Sementara itu, Song Cin dan Siu Cen selesai berlatih silat. Mereka lalu duduk mengaso di atas bangku panjang dalam rumah itu, menghapus keringat yang membasahi leher dan muka. Wajah Siu Cen tampak segar kemerahan dan rambutnya agak kusut, namun semua itu menambah kecantikannya sehingga Song Cin yang duduk di sebelahnya memandang dengan terpesona.

   "Ih, Cin-ko ( Kakak Cin ), mengapa sengkau memandangku seperti itu?" "Seperti apa?"

   Song Cin tersenyum tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah gadis itu, terutama kea rah mulutnya yang manis.

   "Seperti.... Seperti.... Mata kucingku memandang aku sewaktu aku makan!." "Wah, memangnya aku ini kucing dan engkau.... Engkau....

   "keduanya tertawa geli dan gembira.

   "Katakan terus terang, Cin-ko. Apa saja yang kau lihat kalau engkau memandang aku seperti itu? Di antara kita harus jujur terbuka dan tidak ada yang menyimpan rahasia, bukan?."

   "Cen-moi ( Adik Cen ), kalau aku berterus terang, engkau tentu tidak akan marah, bukan? Dan engkau mau memaafkan aku kalau keterus-teranganku menyinggungmu dan membuatmu tidak senang?." "Cin-ko, aku tidak percaya bahwa engkau akan begitu tega untuk menyinggung dan membuat aku tidak senang. Katakanlah!." "Aku memandangmu dan melihat betapa engkau cantik jelita seperti seorang dewi, Cen-moi dan semakin mendalam rasa cinta di dalam hatiku yang telah tumbuh sejak dulu, sejak engkau dan aku masih remaja. Diam-diam aku mencintaimu, Cen-moi, hanya tentu saja hal itu ku rasakan secara diam-diam. Engkau cantik jelita dan di dunia ini tidak mungkin ada keduanya!."

   Wajah Siu Cen menjadi kemerahan, bibirnya terbuka dalam senyum dan matanya bersinar-sinar, wanita mana yang tidak akan merasa bahagia sekali mendapatkan pujian seperti itu? Apalagi kalau yang memuji itu tunangannya sendiri, pemuda yang juga di cintainya.

   "Aihh... koko, engkau terlalu memuji, jangan merayu.....!." "Sungguh mati, moi-moi, pujianku itu bukan sekedar merayu, bukan hanya di mulut, melainkan timbul dari lubuk hatiku. Aku sudah jatuh kepadamu semenjak engkau remaja dulu." "Hemm, kalau benar demikian, mengapa sejak dulu engkau diam-diam saja, Cin-ko?." "Tentu saja, Cen-moi. Aku takut menyatakan perasaan hatiku padamu. Bagiku, engkau seperti bidadari kahyangan, bagaimana aku berani menyatakan cinta ku? Apalagi orang tuaku memutuskan untuk menjodohkan kakak Song Cun denganmu yang di setujui orang tuamu dan engkau bertunangan dengan Cun-ko, aku hanya berani memandang dan mengagumimu dari jauh." "Aduh, kasihan engkau, Cin-ko ", kata Siu Cen sambil memegang tangan pemuda itu. jari-jari tangan mereka saling menggenggam dan meremas selama ini mereka hanya berani menyatakan cinta dan kemesraan dengan saling mempertemukan jari-jari tangan mereka, tidak berani berbuat lebih dari itu karena mereka tetap menjaga harga diri masing-masing dan membatasi kesopanan.

   "Maka, biarpun aku merasa kasihan kepada Cun-ko dan timbul harapanku ketika engkau memutuskan hubunganmu dengan Cun-ko dan ternyata sekarang engkau menjadi calon isteriku. Ceng-moi, apakah sebelum ini engkau tidak sedikitpun pernah memandang dan memikirkan diriku?"

   Siu Cen tersenyum.

   "Jangan kecewa kalau aku bicara terus terang, Cin-ko." "Tidak, aku bahkan akan merasa senang kalau engkau bicara terus terang, Cen-moi." "Begini, ketika remaja dulu, aku menganggap engkau dan Cun-ko hanya sebagai saudara-saudara seperguruan, sama-sama keturunan anggota Ciong-yang Ngo-taihiap. Terus terang saja aku merasa kagum kepadamu dan juga kepada Cun-ko. Sama sekali belum ada perasaan cinta dalam hatiku, bahkan aku tidak mengerti dan apa dan bagaimana perasaan cinta itu. Kemudian, engkau tahu bahwa orang tuamu dan orang tuaku menyetujui untuk menjodohkan aku dengan Cun-ko.

   Aku tidak berani menolak dan setuju saja, apalagi aku melihat bahwa Cun-ko adalah seorang pemuda yang baik dan gagah perkasa. Dan tentu saja sebagai tunangan, aku mencoba untuk menumbuhkan cinta kepada calon suamiku itu dan aku tidak berani memandang pria lain, termasuk engkau yang ku anggap sebagai calon adikku. Akan tetapi.... Lalu terjadi peristiwa yang menjijikkan itu. Ketika melihat Cun-ko bertindak begitu curang dan kejam terhadap Lauw Beng, aku menjadi muak dan timbul kebencian di hatiku. Aku tidak sudi menjadi isteri seorang laki-laki securing dan sekejam itu, maka kau langsung memutuskan hubungan. nah, setelah kita tinggal di sini dan aku mengenalmu lebih baik.....

   "Siu Cen tidak melanjutkan ucapannya, menundukkan muka dengan malu-malu.

   "Lalu bagaimana, moi-moi? lanjutkanlah dan katakana saja terus terang." "Lalu orang tuaku menjodohkan denganmu dan aku..."

   Aku setuju..."""

   "Hemmm, kalau begitu engkau menjadi calon isteriku karena hendak mentaati orang tua saja? Sebetulnya tidak ada perasaan apapun dalam hatimu terhadap diriku? Tidak ada cinta seperti aku mencintaimu?." "Hushhh....

   "Siu Cen menggerakkan tangan dan jari-jari tangannya menutup mulut Song Cin.

   "Jangan berkata begitu, Cin-ko." "Katakanlah bahwa engkau juga mencintaku, Cen-moi." "aih, mengapa engkau belum juga percaya kepadaku? Apakah sikapku selama ini masih kurang menyakinkan? Baiklah kalau engkau menghendaki, Cin-ko. Aku.... Cinta kepadamu. nah, puaskah engkau? Kalau aku tidak mencintaimu apa kau kira aku mau di jodohkan dengamu?." "Cen-moi....! "saking girang hatinya, Song Cin merangkul. Akan tetapi Siu Cen menghindar dan menggeser duduknya, menangkap kedua tangan pemuda itu sehingga tentu saja Song Cin tidak dapat merangkulnya.

   "Eh, Cen-moi? Mengapa engkau menolak? Kita saling mencinta, bahkan kita sudah bertunangan, mengapa engkau selalu menghindar apabila aku hendak memelukmu?

   Bukankah hal itu hanya merupakan pelepasan rasa rindu dan cinta kita?." "Engkau benar, Cin-ko. Akan tetapi bagaimanapun juga, kita ini terkurung oleh tata susila yang sudah diterima masyarakat sehingga tidak dapat bebas begitu saja melakukan apa yang kita rasakan. Biarpun kita menganggap hal itu tidak apa-apa dan pantas, namun karena telah menjadi hokum yang diterima masyarakat bahwa itu tidak benar, terpaksa kita juga harus menyesuaikan diri. Maka, kita harus mampu menahan dorongan hati kita sendiri, Cin-ko."

   Song Cin menghela napas panjang dan dia menggunakan jari-jari tangannya untuk membelai tangan tunangannya.

   "Aku tahu mengapa cumbu dan belaian antara dua orang yang belum menikah di anggap tidak pantas, Cen-moi. Memang harus diakui bahwa perbuatan itu mendatangkan rangsangan birahi dan kalau batin tidak kuat dapat menjurus kea rah hal-hal yang melanggar kesusilaan.

   Baiklah, aku tidak kecewa, bahkan bangga sekali bahwa engkau dapat mengendalikan diri, dan maafkan aku tadi yang menuntut lebih daripada apa yang sepantasnya kau lakukan." "Aku girang engkau dapat mengerti, Cin-ko. Mari, kita pergi mandi, sebentar lagi aku harus membantu di dapur menyiapkan makan malam."

   Dua orang ini bergandeng tangan meninggalkan taman dan memasuki rumah melalui pintu belakang. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi ada sepasang mata yang memandang mereka dengan sinar mata berkilat penuh cemburu dan kemarahan. Malam itu gelap sekali. Hujan yang turun membuat udara menjadi sangat dingin sehingga semua orang yang tinggal di dusun-dusun di sekitar Pegunungan Liong-san lebih suka mengeram dalam kamar yang lebih hangat. Juga semua penghuni rumah Lee Bun lebih suka berada dalam kamar masing-masing setelah mereka makan malam.

   Mereka semua merasa tenang dan tentram karena mereka yakin bahwa tidak ada seorangpun yang akan berani mengganggu rumah tempat tinggal mereka, rumah yang cukup besar dengan pekarangan dan taman yang luas. Pemilik rumah itu adalah lee Bun, orang kelima dari Ciong-yang Ngo-taihiap yang terkenal sebagai pendekar-pendekar lihai dan juga sebagai patriot-patriot yang penuh semangat. Lee Bun terkenal dengan pedang hitamnya dan ia tidak pernah berkeluarga, hidup sebatang kara sebagai seorang pertapa perantauan. Pada waktu itu, setelah perjuangan mereka menentang pemerintah Mancu gagal dan dan dua orang yang pertama dan kedua, kakak beradik Song, tewas oleh pasukan pemerintah penjajah Mancu, tiga orang sisa dari Ciong-yang Ngo-taihiap berkumpul dan tinggal di dusun dekat puncak Liong-san untuk menghindarkan pengejaran pasukan Kerajaan Mancu. Mereka semua tinggal mondok di rumah Lee Bun yang besar.

   Selain tuan rumah Lee Bun yang lihai, di situ tinggal pula Bhe Kam, orang ke empat dari Ngo-taihiap (Lima Pendekar Besar) yang dikenal sebagai Sin-touw (Malaikat Copet), juga memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia tinggal mondok bersama isteri dan seorang puterinya, yaitu Bhe Siu Cen yang juga merupakan seorang gadis pendekar yang lihai. Terdapat pula di rumah itu Ciang Hu Seng, orang ke tiga dari Ngo-taihiap yang mempunyai tingkat kepandaian lebih tinggi daripada Bhe Kam atau Lee Bun. Selain empat orang lihai ini, disitu terdapat pula Song Cin, putera mendiang Song Kwan yang berjuluk Kiam-sian (Dewa Pedang), orang kedua dari Lima Pendekar itu. Pemuda ini juga cukup lihai. Lima orang yang lihai ilmu silatnya tinggal di rumah besar itu. Siapa yang akan berani mengganggu? Mengganggu rumah itu sama dengan mengusik sarang harimau.! Akan tetapi, ketika semua orang penghuni rumah itu tertidur pulas karena malam telah larut, sudah lewat tengah malam, ada bayangan berkelebat di atas genteng tidak menimbulkan suara.

   Ini menunjukkan bahwa gin-kang (ilmu meringankan tubuh) orang itu memang sudah tinggi tingkatnya. Tak lama kemudian, bayangan hitam itu telah bergerak menyelinap di dalam rumah itu dan berhenti di luar jendela kamar tidur Bhe Siu Cen. Dia mengeluarkan sebatang hio-swa (dupa lidi) dan membakar ujungnya. Tercium bau harum setelah ujung hio-swa terbakar. Cepat dia memasukkan benda itu melalui celah-celah jendela sehingga asap hio-swa itu mengepul dalam kamar. Bayangan itu mendekam di bawah jendela. Setelah menanti beberapa lama sampai hio-swa yang ujungnya membara mengeluarkan asap itu terbakar habis, dia lalu mengeluarkan dua buah butir pil dan memasukkannya ke mulut. Lalu dengan sedikit pengerahan tenaga, dia sudah dapat membuka paksa daun jendela, melompat masuk dan menutupkan lagi daun jendela. Bau harum memenuhi kamar itu. Dengan tenangnya, bayangan hitam itu menyalakan sebatang lilin kecil di atas meja sehingga kamar itu tidak gelap sekali, di terangi nyala lilin yang remang-remang.

   Lalu dihampirinya pembaringan yang tertutup kelambu. Ketika ia menyingkap kelambu, tampak Siu Cen tidur telentang dalam keadaan pulas. Bayangan itu tersenyum. Dupa lidi yang asapnya mengandung racun pembius yang amat kuat itu ternyata telah bekerja dengan baik. Untuk mendapat keyakinan, dia menguncang-guncang pundak gadis itu, namun Siu Cen tidak terbangun seperti dalam keadaan pingsan. Bayangan hitam itu tersenyum senang dan melanjutkan perbuatannya yang telah di rencanakannya sejak sore tadi, tanpa gangguan karena selain seisi rumah telah tidur nyenyak, juga Siu Cen sendiri dalam keadaan tidur pulas oleh pembius itu. Menjelang pagi, setelah Siu Cen mengeluh dan menggerakkan tubuhnya, barulah si bayangan hitam itu turun dari pembaringan. Siu Cen terkejut sekali. Nalurinya yang tajam tidak terpengaruh pembius lagi yang sudah mulai meninggalkannya. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang tidak wajar terjadi.

   Ia cepat menyingkap kelambu dan melompat turun dari atas pembaringan. Akan tetapi ia menjerit ketika mendapat kenyataan bahwa dirinya tidak berpakaian! Cepat ia menyambar selimut untuk menyelimuti tubuhnya dan pada saat itu, ia melihat bayangan hitam melompat ke atas kosen jendela. Lilin kecil di atas meja masih menyala dan dalam cuaca yang remang-remang itu Siu Cen melihat seorang laki-laki yang masih muda dan yang mendatangkan kesan adalah bahwa laki-laki itu buntung lengan kirinya! Lengan baju kiri itu menggelantung kosong, jelas nampak bahwa lengan kirinya telah buntung.

   "kau... kau.... Siauw Beng....!"

   Seru Siu Cen. Laki-laki itu tertawa dan sekali berkelebat tubuhnya lenyap dari situ.

   "Siu Cen hendak mengejar, akan tetapi teringat bahwa ia telanjang. Maka cepat ditanggalkannya selimutnya dan ia memakai pakaiannya yang berserakan di atas tempat tidur. Pada saat itu baru ia mendapat kenyataan yang membuat ia terkejut dan iapun menangis tersedu-sedu, menelungkup di atas pembaringannya.

   Ia telah diperkosa orang! Ia menjerit dan menangis oleh kenyataan yang amat mengguncang batinnya itu. Jerit tangis Siu Cen membangunkan semua penghuni rumah. Empat orang laki-laki yang kesemuanya ahli-ahli silat yang tangguh, segera berlompatan keluar dari kamarnya dan dengan cepat mereka berdatangan ke depan kamar Siu Cen karena dari kamar itulah keluarnya jerit tangis itu.

   "Siu Cen, apa yang terjadi?"

   Teriak Bhe Kam sambil mengetuk-ngetuk daun pintu kamar puterinya. Tidak ada jawaban, hanya tangis mengguguk yang terdengar.

   "Cen-moi.... Bukalah pintunya....!!!"

   Song Cin juga mengetuk dan dia merasa khawatir sekali.

   "Siu Cen, kalau tidak segera kau buka, akan ku jebol daun pintu ini!"

   Kata Lee Bun. Akan tetapi tetap saja pintu tidak buka bahkan tangis itu semakin mengguguk.

   "Kita buka pintu ini dengan paksa!"

   Kata Lee Bun dan mendengar ini, Bhe Kam dan Song Cin yang sudah tidak sabar lagi lalu mendorong daun pintu.

   "Brakkk...!"

   Daun pintu terbuka dan semua orang menyerbu masuk.

   "Siu Cen, apakah yang terjadi?"

   Bhe Kam menghampiri pembaringan dimana gadis itu rebah menelungkup sambil membenamkan mukanya di bantal dan menangis. Lee Bun lalu menyalakan sebatang lilin besar sehingga keadaan di dalam kamar itu menjadi terang. Kini semua orang melihat daun jendela yang terbuka dan hidung mereka mencium bau harus yang di tinggalkan asap pembius yang sudah meninggalkan kamar itu.

   "Ceng-moi, mengapa engkau menangis....?"

   Song Cin menghampiri pembaringan dan hendak menyentuh pundak gadis itu. Akan tetapi ia melihat bercak darah pada tilam pembaringan yang awut-awutan itu. Tiba-tiba Bhe Kam memegang lengan Song Cin dan menariknya menjauh dari pembaringan. Pada saat itu, Nyonya Bhe berlari memasuki kamar.

   "Siu Cen, ada apakah, anakku.....?"

   Nyonya itu segera menubruk anaknya.

   Akan tetapi, Ciang Hu Seng yang gemuk pendek itu tiba-tiba sudah melompat ke arah jendela dan keluar diikuti oleh Lee Bun. Dua orang pendekar tua ini sudah dapat menduga apa yang terjadi dan mereka berusaha untuk melakukan pengejaran. Akan tetapi setelah tiba di atas, mereka tidak melihat bayangan orang, maka mereka turun dan kembali ke kamar Siu Cen. Siu Cen sudah duduk di atas tempat tidur, di rangkul ibunya. Song Cin terduduk di atas kursi, kepalanya menunduk sampai dagunya menempel leher. Bhe Kam mengerutkan alis dan ketika Ciang Hu Seng dan Lee Bun memasuki kamar, dia sedang bertanya.

   "Siu Cen, hayo katakana apa yang terjadi! Kamar ini bau keharuman aneh, mungkin obat bius dan engkau..... hayo katakan apa yang terjadi semalam?."

   Siu Cen menahan isaknya, mengangkat muka dan memandang kea rah Song Cin yang duduk di atas kursi di sudut kamar..."."

   Cin-ko..... maafkan... aku.....

   "dan iapun menangis lagi, terkulai lemas dalam rangkulan ibunya.

   "Siu Cen, beginikah sikap seorang yang gagah? Hayo, katakana, siapa yang telah melakukan kekejian terkutuk ini!"

   Bentak Bhe Kam lagi, mukanya merah sekali karena marah. Gadis itu kembali memandang kepada Song Cin. Pemuda itu pun memandangnya. Dia tahu bahwa gadis itu merasa berat untuk bercerita karena kehadirannya, maka ia lalu bangkit berdiri dan melangkah hendak keluar dari kamar itu..."."

   Cin-ko.... Jangan pergi....! Engkau berhak mengetahui.... Engkau harus mendengar....

   "tiba-tiba Siu Cen berkata dan seolah timbul tenaga baru dalam dirinya. Isaknya terhenti dan biarpun air matanya masih berderai, ia dapat bicara dengan jelas.

   "Ayah, Ibu, Paman Ciang dan Paman Lee, juga Cin-ko, ketahuilah bahwa ada seseorang semalam telah... menodaiku! Dia memperkosaku selagi aku dalam keadaan terbius dan tidak ingat apa-apa.....

   "Semua orang tidak merasa kaget karena semua sudah menduga akan kejadian itu.

   "Kami tahu, akan tetapi siapa yang melakukan ini? Hayo ceritakan!"

   Bhe Kam yang marah sekali membentak lagi.

   "Baru saja, ketika aku terbangun, aku melihat bayangan melompat dan berdiri di kosen jendela itu. Dia tidak bicara, juga wajahnya tidak dapat kulihat jelas karena cuaca hanya remang-remang dan gelap, akan tetapi yang jelas sekali dia.... Lengannya.... Lengan kirinya buntung......" "Lauw Beng.....!"

   Teriak Song Cin.

   "Keparat, jahanam! Dia itu Lauw Beng, bukan?"

   Tanya Bhe Kam kepada puterinya.

   "Aku pun mengira demikian dan kuteriaki nama Siauw Beng. Akan tetapi dia tidak menjawab dan melompat pergi. Aku tidak dapat mengejar karena aku..... aku... harus berpakaian dulu....

   ""Jahanam! Kurang ajar anak itu. Agaknya dia membalas dendam karena kita menghajarnya dulu ", kata Lee Bun.

   "Ya, sudah jelas dia orangnya. Selain bukti bahwa pelakunya berlengan kiri buntung, juga besar alasannya yang mendorong dia melakukan perbuatan terkutuk itu.

   Tentu dia membalas dendam karena lengannya juga dibuntungi ", kata Ciang Hu Seng. Song Cin juga marah, akan tetapi pemuda itu diam-diam merasa sangsi.

   "akan tetapi para susiok (paman guru), kalau benar Siauw Beng yang melakukan, mengapa ia membalas dendam kepada Cen-moi? Cen-moi tidak bersalah apapun terhadap dia." "Hemm, orang yang sudah bergaul akrab dengan seorang Puteri Penjajah Mancu, mana mungkin pantang melakukan segala kejahatan? Tentu dia telah menjadi penjahat cabul pula dan dia hendak menghancurkan perasaan kita dengan perbuatannya terhadap Siu Cen!."

   Sementara itu, Siu Cen sudah menangis lagi dalam rangkulan ibunya yang juga menangis.

   "Kita harus bertindak! Kita harus cari jahanam itu dan membunuhnya!"

   Kata Bhe Kam sambil mengepal kedua tangannya.

   "Tenanglah, Sute (adik seperguruan), kita harus membicarakan hal ini dengan kepala dingin agar dapat diambil tindakan yang tepat.

   Mari kita biarkan Siu Cen bersama ibunya dan kita bicarakan soal ini ", kata Song Cin keluar dari kamar Siu Cen yang masih menangis dalam rangkulan ibunya.

   "Sudah, hentikan tangismu, anakku. ayahmu pasti akan membalaskan sakit hati ini!." "Ibu, bagaimana aku dapat berhadapan dengan Sin-ko? Setelah terjadi peristiwa dengan diriku ini, apakah Sin-ko masih mau melanjutkan perjodohan ini? Ah, ibu dia tentu akan memandangku dengan hina, menganggap aku kotor.... Ah lebih baik mati saja daripada begini, ibu......"

   Nyonya Bhe menguatkan hatinya. Sebagai seorang wanita, iapun tahu benar bahwa pada umumnya, seorang wanita yang sudah bukan perawan lagi akan dicemooh dan di anggap rendah oleh laki-laki! Akan tetapi demi membesarkan hati puterinya ia berkata.

   "aku kira Song Cin bukan laki-laki seperti itu, anakku. Biarpun masih muda, dia bersikap bijaksana. Aku yang akan bicara dengannya, Siu Cen dan aku yang akan menjelaskan bahwa engkau tidak melakukan kesalahan apapun.

   Peristiwa ini merupakan kecelakaan, suatu perkosaan, sama sekali tidakmencemarkan kehormatanmu sebagai wanita!."

   Nyonya Bhe maklum bahwa apa yang dikatakannya itu sebetulnya berlawanan dengan isi hatinya. ia tahu benar bahwa pada umumnya, kaum pria memandang keperawanan seorang wanita sebagai sesuatu yang suci, sesuatu yang amat berharga, sesuatu yang menjadi syarat mutlak bagi seorang calon isteri. Ucapan ibunya itu setidaknya menghibur hati Siu Cen.

   "Ibu"

   Benar"

   Benarkah itu...?." "Tentu saja ibu benar, Nak. Sekarang mandilah, bertukarlah pakaian dan keluarlah dari kamar seperti biasa. Urusan ini hanya di ketahui oleh anggota keluarga saja, jangan sampai diketahui orang lain."

   Siu Cen merasa terhibur dan timbul harapan baru dalam hatinya. Ia lalu pergi mandi dan Nyonya Bhe menyusul suaminya yang sedang berunding dengan Ciang Hu Seng, Lee Bun dan Song Cin.

   Tiga orang sisa anggota Lima Pendekar Besar itu merasa yakin bahwa pelaku jahanam itu pastilah Lauw Beng, putera mendiang Lauw Heng San yang pernah menjadi antek penjajah Mancu. Apalagi Lauw Beng mendatangkan perasaan benci dalam hati mereka karena pemuda itu bergaul akrab dengan Puteri Mayani, puteri seorang Pangeran Mancu dari kota raja! Dan lebih dari itu, Lauw Beng ini yang menjadi biang keladi sehingga dua orang rekan mereka yang tertua, yaitu Song Kwan dan Song Kui tewas dikeroyok perajurit Mancu. Kini, Siu Cen diperkosa orang dan sungguhpun Siu Cen tidak dapat melihat wajah pemerkosanya karena gelap, namun bukti lengan kiri yang buntung, membuat mereka yakin bahwa pemerkosanya tentu Lauw Beng yang buntung lengan kirinya.! Setelah merundingkan dan mempertimbangkan dari segala sudut pandangan, Ciang Hu Seng berkata.

   "Tak dapat diragukan lagi, Lauw Beng yang melakukan perbuatan biadab ini!

   Persoalannya sekarang apa yang harus kita lakukan?." "Apalagi yang harus kita lakukan kecuali mencari dan membunuh keparat itu?"

   Kata Bhe Kam yang marah dan merasa sakit hati sekali mengingat apa yang menimpa diri anak tunggalnya.

   "Bhe-sute, kita harus ingat bahwa Lauw Beng memiliki ilmu kepandaian yang tinggi ", bantah Ciang Hu Seng.

   "Kami tidak takut!"

   Seru Lee Bun.

   "Kami akan maju berempat dan tentu akan dapat membunuhnya!."

   Ciang Hu Seng tertawa. Hanya sebentar dia tadi terpengaruh peristiwa yang menimpa diri murid keponakannya, akan tetapi sekarang dia sudah pulih dan tenang kembali sehingga muncul tawanya yang memang selalu berada di mulutnya.

   "Ha-ha, aku juga tidak takut Lee-sute. Aku hanya memperhitungkan dan bersikap hati-hati. Apa artinya kalau kita maju bersama kemudian gagal? Kita tidak boleh hanya mengandalkan keberanian, akan tetapi harus memakai perhitungan.

   Ingat, perjuangan kita menentang penjajah Mancu juga mengalami kegagalan karena kita hanya mengandalkan keberanian tanpa perhitungan matang. Keberanian tanpa perhitungan hanya merupakan kenekatan yang ngawur. Selain itu, harus diingat bahwa disana ada Lam-liong (Naga Selatan ) Ma Tai-hiap yang menjadi ayah angkat dan guru Lauw Beng. Juga ada Siuw lim pai karena Lauw Beng sudah di anggap sebagai murid Siauw lim pai. Kalian tentu tidak suka kalau sampai terjadi kesalah-pahaman dan bentrok dengan Ma Tai-hiap dan Siauw-lim-pai." "Hemmm, Ciang-suheng, kalau begitu, apa yang harus kita lakukan?"

   Tanya Bhe Kam penasaran karena tentu saja dia tidak mau menghentikan keinginannya untuk membalas dendam kepada pemerkosa puterinya.

   "Itulah yang harus kita pikirkan sekarang, yakni mengambil cara yang terbaik.

   "Song Cin, mengapa engkau diam saja sejak tadi? Bagaimana menurut pendapatmu?"

   Ciang Hu Seng bertanya kepada pemuda yang sejak tadi hanya diam saja seperti orang bingung.

   "Saya hanya menurut saja apa yang sam-wi Su-siok ( Paman guru bertiga ) putuskan ", katanya.

   "Sekarang begini saja. Agar tidak salah paham dengan Lam-liong Ma Giok dan Siauw-lim-pai, juga agar kedudukan kita lebih kuat sehingga tidak akan gagal menghukum si jahat Lauw Beng, sebaiknya kita bersama pergi melapor ke Siauw-lim-pai dan kepada Ma Taihiap untuk minta pertanggung jawabnya. Bagaimana pendapat kalian?."

   Semua menyatakan setuju dan demikianlah, pada keesokan harinya, empat orang itu berangkat meninggalkan puncak Liong-San. Song Cin merasa agak gelisah karena sejak malam tadi, Siu Cen tidak pernah menampakan diri. Bahkan Bhe Kam dan isterinya memasuki kamarnya dan minta agar ia keluar karena semua orang akan pergi, gadis itu menolak. Ia hanya menggelengkan kepala dan mengerutkan alisnya.

   Ia tidak menangis lagi, akan tetapi wajahnya membayangkan kesedihan luar biasa. Melihat keadaan anaknya ini, Bhe Kam hanya menghela napas panjang dan memesan kepada isterinya agar dapat menghibur anak mereka dan menjaga agar anak mereka tidak melakukan hal yang bukan-bukan, misalnya membunuh diri. Setelah mereka semua pergi, Siu Cen didekati ibunya dan dihibur, dengan suara gemetar ibunya berkata.

   "Siu Cen, jangan engkau terlalu tenggelam kedalam kesedihan. Ayahmu tadi khawatir kalau-kalau engkau mengambil keputusan pendek untuk membunuh diri. jangan, anakku"".

   "Tidak, Ibu. Aku tidak ingin mati sebelum melihat jahanam itu dihukum berat atas kekejiannya terhadap diriku. Kalau semua orang gagal menghukumnya, aku sendiri yang akan pergi mencari dan membalas dendam ini. Aku hanya bersedih membayangkan bagaimana sikap Cin-ko sekarang terhadap diriku"".

   "Tidak perlu disedihkan, Siu Cen. Kalau dia mengubah sikapnya, di dunia ini bukan selebar telapak tangan. Kita anggap saja dia bukan jodohmu! Sebagai puteri pendekar yang gagah perkasa, engkau sama sekali tidak patut kalau berputus asa dan berkecil hati, kehilangan semangat. Nah, minumlah obat ini. Sengaja kubuatkan untukmu."

   Melihat semangkok obat rebusan berwarna kehitaman itu, Siu Cen memandang ibunya dengan heran.

   "Ibu, obat apakah itu? Kesehatanku baik-baik saja, tidak perlu minum obat." "Untuk pencegahan, Siu Cen. Jahanam keparat itu telah menodaimu, obat ini untuk mencegah akibatnya." "Maksud ibu.... Aku... aku akan hamil....?." "Kalau tidak diberi obat pencegah ini, ada kemungkinannya, Siu Cen, walaupun kemungkinan itu kecil sekali. Akan tetapi obat ini akan membersihkan semua kekotoran ini."

   Mendengar ucapan ini, cepat-cepat Siu Cen mengambil cawan dan meminumnya sampai habis.

   Barulah tenang rasa hatinya ketika ia merasa betapa perutnya terasa panas disebelah dalam.

   "baiklah ibu. Aku akan menenangkan hatiku. Ibu benar. Kalau Cin-ko mengubah sikapnya berarti diapun picik seperti semua laki-laki yang selalu merendahkan kaum perempuan."

   Mulai saat itu, Siu Cen benar-benar telah pulih kembali hatinya, mulai dapat membebaskan diri dari tekanan. Iapun semakin tekun berlatih silat.

   Lauw Beng bersembahyang di depan makam mendiang Lauw Heng San, ayah kandungnya. Makam itu berada di kota Keng-koan, di tanah kuburan umum yang keadaannya menyedihkan, tidak terawatt. Masih untung bagi Lauw Beng, makam itu mempunyai batu nisan yang ada ukiran nama ayahnya itu sehingga dia dapat menemukannya. Tadi bersama Ai Yin, dia membeli perabot sembahyang di kota Keng-koan dan kini dia bersembahyang memasang hio-swa ( dupa lidi ), ditemani Ai Yin yang juga bersembahyang. Setelah bersembahyang dan membersihkan makam itu, mencabuti rumput liar, Lauw Beng duduk di depan makam, bersila dan termenung. Ai Yin duduk didekatnya dan menatap wajah pemuda itu yang menunduk. Semilir angina mendatangkan udara sejuk dipagi itu.

   "Hai, Siauw Beng, melamun, ya? Diam saja sejak tadi! Apakah kau bersedih mengingat ayahmu?"

   Lauw Beng yang biasa disebut Siauw Beng ( Beng kecil ) itu, memandang kepada Ai Yin dan tersenyum.

   "Tidak, Ai Yin. Aku tidak sedih memikirkan ayahku. Aku belum pernah melihat ayahku, belum pernah melihat ibuku." "Engkau sudah berkunjung ke makam ibumu?." "Sudah pernah satu kali. Makam ibuku terletak disebuah dusun di kaki bukit." "Lalu mengapa kau termenung sejak tadi seakan-akan lupa bahwa aku berada di sini?." "Kalau aku duduk di depan makam ini aku teringat betapa ayah dan ibuku, juga semua manusia lain di dunia ini, yang selagi hidupnya melakukan bermacam-macam perbuatan, pada akhirnya hanya menjadi gundukan tanah yang sunyi dan ditinggalkan sendiri. Apa artinya menjadi kaya atau miskin, berkuasa atau tidak, gagah perkasa atau lemah? Akhirnya sama juga, menjadi tanah dan tidak diperhatikan lagi, mungkin hanya setahun sekali atau dua kali di kunjungi sanak keluarga, lalu di tinggalkan lagi sepi sendiri..... ahh, apa gunanya semuanya dalam hidup ini kalau akhirnya hanya menjadi timbunan tanah terlantar seperti ini?."

   "Aih, Siauw Beng, jangan teruskan! Jangan bicara tentang kematian dan dikuburkan, ditinggalkan sendiri. Aku menjadi ngeri!." "Hemmm, ini masih belum, Ai Yin. badan ini di kubur, di injak-injak, menjadi busuk dan hancur. Dan jiwa ini diseret ke dalam neraka yang katanya penuh dengan siksaan, penuh derita....." "Aih, sudahlah, Siauw Beng! Aku menjadi takut! Takut mati....!"

   
Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Gadis itu berteriak.

   "Yang penting bukan memikirkan sesudah mati, akan tetapi memikirkan selagi masih hidup ini kita harus bagaimana? Apa sih sebenarnya tujuan hidup ini?."

   Lauw Beng tersenyum memandang wajah yang cantik dan manja kekanak-kanankan itu ketika memandang dan tampak begitu ingin memperoleh jawaban.

   "Kalau ditanyakan kepada kita, tentu saja kita dilahirkan ini tanpa tujuan pribadi masing-masing. Berpikirpun kita in belum mampu ketika di lahirkan, bagaimana kita dapat mempunyai tujuan?

   Yang mempunyai tujuan akan kehidupan kita tentu saja yang menciptakan kita, yang membuat kita hidup dan terlahir di dunia ini sebagai manusia. kalau kehendak Thian ( Tuhan ) itu dapat kita namakan tujuan, sungguhpun semua rencana Thian merupakan rahasia bagi kita, namun Thian itu Maha Baik, karena itu tujuannya terhadap kita tentu saja juga baik! Thian membuat kita terlahir di dunia dengan segala perlengkapan yang ada pada kita. Kiranya tidak terlalu salah kalau dikatakan bahwa tujuan Thian tentu saja agar kita melaksanakan tugas kita membantu pekerjaan-Nya, agar kita menjadi Alat-Nya. Thian mengatur dan memelihara segala sesuatu di alam maya pada ini agar baik dan benar, memberkati seluruh dunia seisinya melalui angina, air, sinar matahari, tanah dan tumbuh-tumbuhan. Juga melalui kita manusia. Tugas kitalah untuk melaksanakan atau menyalurkan berkat Thian itu kepada seluruh isi alam, terutama kepada manusia, kepada semua mahluk hidup, kepada alam.

   Kalau kita merusak segalanya itu dengan perbuatan yang jahat demi memenuhi keinginan kita sendiri, demi kesenangan kita sendiri yang dikendalikan nafsu, berarti kita menentang rencana, tujuan, atau kehendak-Nya." "Hemm, jadi kesimpulannya, tujuan kita dihidupkan sebagai manusia di dunia ini, agar kita hidup melaksanakan kebaikan, kebenaran dan keadilan, begitu? Dan kalau kita melakukan yang sebaliknya, yaitu melakukan kejahatan berarti kita merusak rencana Thian?." "Kurang lebih begitulah. Thian itu Maha Kuasa, akan tetapi juga Maha Kasih sehingga Dia memberi kebebasan kepada kita untuk memilih. Menjadi manusia bajik yang menjadi alat Thian ataukah menjadi manusia jahat yang menjadi alat Setan."

   Ai Yin menghela napas panjang.

   "Ayahku seringkali bicara seperti engkau ini. Agaknya semua orang juga tahu akan kebajikan dan kejahatan. Akan tetapi mengapa di dunia ini lebih banyak orang yang jahat daripada yang baik.

   Jarang aku bertemu orang yang baik budi, akan tetapi terlalu sering aku bertemu orang-orang yang jahat." "Memang patut disayangkan, akan tetapi sesungguhnya memang demikian, Ai Yin. Akan tetapi hal itu tidak aneh. Setan memang menggunakan umpan yang serba enak dan nikmat sehingga lebih banyak manusia yang terpancing melakukan kejahatan demi memperoleh kenikmatan, kesenangan yang serba enak."

   Karena asyik bicara, dua orang ini sama sekali tidak tahu bahwa ada tujuh orang laki-laki yang mengintai mereka dari luar tanah kuburan. Kemudian, tujuh orang itu saling berbisik-bisik dan ketika mereka memasuki tanah kuburan menghampiri dua orang muda yang duduk di bagian tengah tanah kuburan, barulah Siauw Beng dan Ai Yin mengetahui bahwa ada orang-orang datang menuju ke tempat mereka. Akan tetapi tempat itu merupakan kuburan umum. Mereka mengira bahwa tujuh orang itu tentu akan mengunjungi makam sanak keluarga mereka masing-masing.

   Siauw Beng dan Ai Yin hanya tertarik karena melihat betapa tujuh orang itu membawa pedang yang tergantung di punggung masing-masing. Pada waktu itu, Pemerintah Mancu melarang rakyat membawa senjata dan akan merampas senjata yang dibawa orang, maka pada umumnya orang tidak berani membawa pedang. Yang berani membawa senjata adalah mereka yang menentang penjajah itu, dan inipun sebagian besar menyembunyikan senjata mereka, tidak dibawa terang-terangan. Maka, mereka berdua dapat menduga bahwa tujuh orang yang memasuki tanah kuburan itu pastilah para pendekar yang menentang Kerajaan Ceng, yaitu nama Kerajaan yang didirikan Bangsa Mancu sejak mereka menguasai Cina dalam tahun 1645. Maka, ketika tujuh orang itu ternyata menghampiri mereka, Siauw Beng dan Ai Yin merasa heran dan mereka segera bangkit berdiri. Tujuh orang itu kini berdiri berhadapan dengan Siuw Beng dan Ai Yin, mata mereka ditujukan kepada Siauw Beng, terutama pada lengan kirinya yang buntung.

   Siauw Beng dan Ai Yin mengamati tujuh orang itu. Mereka berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun dan dari pakaian mereka yang ringkas itu mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang pandai dalam ilmu silat atau orang-orang kang-ouw ( sungai telaga, dunia persilatan ). Seorang diantara mereka, yang matanya sipit wajahnya pucat dan jenggotnya panjang beruban, agaknya yang paling tua dan berusia sekitar lima puluh dua tahun, berkata dengan suara penuh wibawa.

   "Orang muda, apakah engkau yang dijuluki Si Tangan Halilintar?."

   Siauw Beng tidak segera menjawab karena sebetulnya dia merasa sungkan untuk mengakui sendiri bahwa dia adalah Si Tangan Halilintar, julukan yang mengandung sikap pamer. Akan tetapi melihat Siauw Beng tidak segera menjawab, Ai Yin sudah mendahuluinya.

   "Tepat sekali! Dia inilah yang berjuluk Si Tangan Halilintar yang terkenal sakti, bijaksana dan budiman!."

   "Ai Yin..."!"

   Siauw Beng menegur temannya karena dia tidak ingin namanya dipuji-puji seperti itu. Akan tetapi tujuh orang itu mengerutkan alis dan mengira bahwa pemuda yang buntung lengan kirinya itu mencegah nama julukannya di perkenalkan karena takut dan merasa bersalah.! "Hemmm, bagus sekali, akhirnya kami dapat menemukan engkau, penjahat muda yang kejam dan seperti iblis! Menyerahlah untuk kami tangkap dan kami hadapkan ke pengadilan untuk memberi hukuman setimpal dengan kejahatan-kejahatan yang kau lakukan!." "Wah-wah-wah, sejak kapan Kang-lam Jit-hiap ( Tujuh Pendekar Selatan Sungai ) menjadi antek Mancu?"

   Tiba-tiba Ai Yin berkata dengan nada mengejek. Tujuh orang itu terkejut dan di jenggot panjang memandang kepada Ai Yin penuh selidik.

   "Engkau mengenal kami, Nona? Siapakah engkau?." "Dengar baik-baik, Kang-lam Jit-hiap. Aku bernama Wong Ai Yin, puteri Bu-tek Sin-kiam Wong Tat dan selamanya kami adalah pendekar penentang kejahatan dan tak sudi menjadi antek Mancu!."

   Sikap tujuh orang itu berubah dan pembicara yang mewakili kawan-kawannya itu berkata.

   "Ah, kiranya Nona adalah puteri Pendekar patriot Buk-tek Sin-kiam ( Pedang Sakti Tanpa Tanding ).! Kami sama sekali bukan antek pemerintah Mancu, Nona. Kami hendak menangkap si jahat ini untuk dihadapkan pengadilan para orang gagah." "Eh, jangan ngawur! Kalian ini orang-orang tua seenaknya saja menuduh temanku ini jahat. Si Tangan Halilintar Lauw Beng ini sama sekali bukan penjahat, sebaiknya dia adalah seorang pendekar pembela kebenaran dan keadilan yang selalu menentang kejahatan!." "Nona Wong, agaknya engkau yang masih amat muda dan belum berpengalaman mudah saja terbujuk oleh iblis ini. Ketahuilah, Si Tangan Halilintar ini melakukan banyak kejajatan yang menggegerkan dunia kang-ouw. Dia membunuh banyak orang kangouw, dan yang lebih jahat lagi, dia memperkosa wanita lalu membunuh mereka.!

   Sadarlah, Nona, engkau telah tertipu oleh penjahat ini."

   Ai Yin hendak membantah, akan tetapi Siauw Beng memegang lengannya.

   "Ai Yin, biar aku yang menghadapi mereka."

   Lalu dia memberi hormat kepada tujuh orang itu lalu berkata.

   "Jit-wi Lo-cian-pwe ( Tujuh Orang Tua Gagah ), terus terang saja, saya sungguh tidak mengerti akan tuduhan jit-wi ( kalian bertujuh ) ini. Saya tidak pernah melakukan kejahatan seperti yang kalian tuduhkan itu." "Hemmm, mana ada penjahat mengakui kejahatannya? Si Tangan Halilintar, selama beberapa bulan ini entah berapa banyak yang kau bunuh, harta engkau curi dan wanita engkau perkosa lalu kau bunuh! Semua orang mengetahui bahwa Si Tangan Halilintar yang buntung lengan kirinya adalah seorang penjahat yang teramat keji. Sekali lagi, menyerahlah dengan baik, atau terpaksa kami akan menggunakan kekerasan untuk menangkapmu, hidup atau mati!." "Heiii, Kam-lam Jit-hiap!

   Kalian ini benar-benar pendekar atau siauw-jin ( orang rendah ) yang bicara ngawur dan menyebar fitnah! Akulah yang selama ini melakukan perjalanan bersama Siauw Beng dan bersama-sama menentang kejahatan dan menolong orang-orang yang tertindas. bagaimana kalian dapat menuduhkan semua kejahatan itu? Akulah saksinya, dan aku berani bersaksi dan bersumpah di depan siapapun juga!."

   Tujuh orang itu saling pandang. Nama besar Bu-tek Sin-kiam membuat mereka meragu. Kalau gadis ini benar puteri Bu-tek Sin-kiam kiranya tidak mungkin ia berdusta. Akan tetapi siapa tahu? Jangan-jangan gadis ini sudah terpikat dan jatuh cinta kepada Si Tangan Halilintar. Kalau perempuan sudah jatuh cinta, bisa saja dia berusaha melindungi pria yang dicintainya.! Nona Wong, dengarlah baik-baik. Kami adalah orang-orang sepaham dan segolongan dengan ayahmu, Bu-tek Sin-kiam dan tentu saja kami tidak ingin berselisih apalagi bermusuhan dengan puteri Bu-tek Sin-kiam.

   Akan tetapi mungkin saja engkau tidak tahu bahwa engkau berteman dengan seorang penjahat yang amat keji! Kalau engkau hendak menjadi saksi yang mengatakan bahwa dia tidak bersalah, di sana ada puluhan orang sakti yang menyatakan bahwa Si Tangan Halilintar ini telah membunuh dan memperkosa banyak orang! Bagaimana kesaksian satu orang dapat melawan kesaksian puluhan orang?." "Aku tidak peduli! Yang jelas, Siuaw Beng ini tidak bersalah dan aku akan membelanya terhadap tuduhan siapapun juga!." "Nanti dulu, Ai Yin, biarkan aku yang mengambil keputusan ", kata Siauw Beng lalu dia menghadapi tujuh orang itu.

   "Lo-cian-pwe, aku siap untuk dihadapkan di pengadilan manapun karena memang aku sama sekali tidak pernah melakukan semua kejahatan yang dituduhkan tadi. Aku tidak takut menghadapi fitnah ini."

   "Bagus, kalau begitu tugas kami menjadi ringan dan kami tidak harus mempergunakan kekerasan!"

   Kata si jenggot panjang.

   "Tidak.....!"

   Dengan suara melengking Ai Yin melompat ke depan Siauw Beng seolah hendak melindunginya.

   "Ai Yin..."!"

   Gadis itu membalik dan menghadapi Siauw Beng. Matanya mengkilat mukanya merah karena marah.

   "Siauw Beng, jangan bodoh! Semua yang dituduhkan padamu itu hanya ada dua kemungkinan. Pertama, mungkin hanya fitnah yang disebarkan orang-orang yang tidak suka kepadamu. Kedua, mungkin saja ada orang yang menyamar sebagai engkau dan melakukan semua kejahatan itu semata-mata untuk merusak namamu agar engkau dimusuhi semua orang! Kalau engkau menyerah, berarti engkau menyerahkan nyawa karena orang-orang yang sudah termakan fitnah seperti tujuh orang tua bodoh itu pasti akan membunuhmu. Sebaiknya kita menyelidiki sendiri siapa yang menyebar fitnah ini dan menangkap pelakunya untuk membersihkan namamu!."

   Mendengar ucapan Ai Yin yang keras ini Siauw Beng tertegun. Benar juga, pikirnya, dan ia mengangguk.

   "Kurasa engkau benar, Ai Yin."

   Lalu dia menghadapi tujuh orang itu.

   "Jit-wi Lo-cian-pwe, maafkan aku. Aku akan pergi sendiri melakukan penyelidikan dan aku akan menyerat orang yang menyebar fitnah itu ke hadapan Lo-cian-pwe!" "Si Tangan Halilintar! Seperti yang kami katakana tadi, engkau harus ikut kepada kami untuk menghadap pengadilan. Kami tidak dapat melepas engkau begitu saja setelah engkau memperkosa dan membunuh seorang murid wanita kami! Menyerahlah, atau terpaksa kami akan menyerangmu!" "Seranglah kalau kalian berani, kalian orang-orang tua yang mengaku pendekar akan tetapi bodoh dan ngawur!"

   Ai Yin berdiri menghalang seolah hendak melindungi Siauw Beng. Tujuh orang itu mencabut pedang mereka dan dengan muka membayangkan kemarahan mereka mengepung.

   Ai Yin juga marah dan ia mencabut Liong-cu-kiam, melintangkan pedang itu depan dada dan siap melawan Kang-lam Jit-hiap.! Siauw Beng memperhatikan gerakan tujuh orang yang mengepung itu dan diam-diam terkejut. Mereka itu membentuk kiam-tin ( barisan pedang ) dan melihat kedudukan mereka, tujuh orang pendekar pedang itu membentuk Jit-seng Kiam-tin ( Barisan Pedang Tujuh Bintang ).! Agaknya Ai Yin, yang menjadi puteri tunggal Si Pedang Sakti Tanpa Tanding, juga mengenal barisan pedang yang tangguh itu, maka sambil berteriak melengking ia sudah mendahului mereka dan menerjang sambil berseru.

   "Lihat pedang!."

   Sinar pedang bergulung-gulung menyambar kea rah tujuh orang itu. Tujuh orang itu terkejut sekali. Mereka maklum bahwa puteri Bu-tek Sin-kiam, biarpun masih begitu muda, tentu memiliki ilmu pedang yang amat dahsyat, maka mereka membentuk barisan bintang dan mereka bergerak secara sambung menyambung dan saling melindungi.

   Ke manapun sinar pedang Ai Yin menyambar, selalu pedangnya bertemu dengan tangkisan-tangkisan tujuh buah pedang. Memang tujuh orang itu merasa betapa tangan mereka yang memegang gagang pedang tergetar hebat, akan tetapi bagaimanapun juga, sebatang pedang Ai Yin tentu saja kewalahan menghadapi pengeroyokan tujuh pedang lawan. Tiba-tiba Siauw Beng menangkap lengan kiri Ai Yin dan menarik gadis itu untuk melarikan diri.

   "Ai Yin, kita pergi!"

   Katanya sambil menerjang ke kiri. Dua orang yang berada di kiri cepat menggerakkan pedang mereka untuk mencegah larinya Siauw Beng akan tetapi dua kali kaki kiri Siauw Beng menyambar dan dua orang itu terpelanting roboh. Kesempatan itu dipergunakan Siauw Beng untuk menarik Ai Yin lari dengan cepat meninggalkan para pengeroyok itu. Setelah berlari jauh dan tidak dapat di kejar Kang-lam Jit-hiap, Ai Yin meronta, melepaskan lengan kirinya yang dipegang tangan kanan Siauw Beng.

   "Eh, Siauw Beng! Engkau ini bagaimana sih? Aku membelamu dari mereka, malah engkau memaksa dan mengajak aku lari! Memalukan benar! Kau kira aku takut melawan Jit-seng Kiam-tin mereka?." "Bukan begitu, Ai Yin. Aku bahkan yakin engkau akan mampu mengalahkan mereka. Akan tetapi kalu kita kesalahan tangan melukai atau membunuh mereka, namaku menjadi semakin terkenal sebagai seorang penjahat yang memusuhi para pendekar!." "Akan tetapi mereka keras kepala, hendak menangkapmu!." "Untuk itu, mereka tidak dapat disalahkan, Ai Yin. Coba bayangkan, andaikata kita yang mengalami hal seperti itu, anaknya diperkosa lalu di bunuh orang, bagaimana rasanya? Tentu saja mereka menjadi mata gelap, pikirannya tidak begitu jernih lagi, adanya hanya luapan nafsu amarah dan dendam. Apalagi tanda-tandanya sudah begitu jelas! Penjahat itu lengan kirinya buntung dan berjuluk Si Tangan Halilintar!

   Keadaan dan julukan penjahat itu sama benar denganku, maka dapat dimaafkan kalau mereka menjadi marah sekali, setiap bantahan dan alasan kita dianggap bohong."

   Ai Yin mengangguk-angguk.

   "Setelah aku mendengar omonganmu, memang benar demikian, Siauw Beng. Mata mereka di butakan nafsu amarah, pikiran mereka di gelapkan dendam sakit hati. Akan tetapi yang terkutuk adalah penjahat itu. Bukan saja dia kejam dan jahat dengan pembunuhan-pembunuhan dan perkosaan-perkosaan itu, akan tetapi dia juga licik dan curang sekali menggunakan namamu sehingga engkau yang makan getahnya."

   Mendengar suara gadis itu penuh gelora amarah Siauw Beng berkata.

   "Tenangkan hatimu dan usir kemarahan itu, Ai Yin. Dengan pikiran jernih dan hati tenang, kita dapat berpikir lebih terang. Mendengar pengakuan Kang-lam Jit-hiap tadi bahwa seorang murid perempuan mereka di perkosa dan dibunuh penjahat itu, maka jelas bahwa ini bukan sekedar fitnah bohong.

   Jelas memang ada orang yang menyamar sebagai aku dan melakukan semua kejahatan itu, tentu dengan maksud agar aku yang menjadi bulan-bulan kemarahan orang. Hal ini mengingatkan aku akan pengalamanku dahulu ketika aku di musuhi Ciong-yang Ngo-taihiap dan ayah angkatku sendiri, Ma Giok. Akan tetapi hal itu terjadi karena salah paham. Mereka mengira aku menjadi pengkhianat dengan membela Puteri Mancu yang mereka sangka mengerahkan pasukan membunuh kakak beradik Song yang menjadi orang pertama dan kedua dari Lima Pendekar Besar itu. Akan tetapi sekarang jelas ada orang yang agaknya teramat membenci aku dan dengan caranya yang licik itu dia hendak mencelakai aku." "Tapi dia juga berlengan kiri buntung. Apakah engkau tahu, siapa orang yang buntung lengan kirinya dan membencimu, Siauw Beng?."

   Siauw Beng menggeleng kepalanya.

   "Bahkan seorang yang berlengan kirinya buntung saja belum pernah aku melihatnya, apalagi yang mengenal dan membenciku."

   Siauw Beng, apakah ada orang yang membencimu, amat membencimu?"

   Tanya Ai Yin pula, alisnya berkerut dan matanya memandang tajam seperti seorang penyelidik kelas berat sedang menyelidiki sebuah kasus rumit.! "Entahlah, mungkin saja banyak sekali walaupun, puji sukur kepada Thian, aku sendiri tidak mempunyai perasaan benci kepada siapapun." "Siauw Beng, jalan satu-satunya adalah menyelidiki tentang penjahat itu. Kita mencari berita tentang dirinya dan dimana ada berita penjahat itu beraksi, kita harus cepat mengejar ke sana."

   Demikianlah, Siauw Beng dan Ai Yin mulai mendengar-dengarkan dan mencari berita tentang sepak terjang penjahat yang memakai nama Si Tangan Halilintar yang buntung lengan kirinya itu. Akan tetapi sejak bertemu dengan Jit-hiap ( Tujuh Pendekar ) Siauw Beng terpaksa harus menyembunyikan diri dari orang banyak. Apalagi dia pernah dikejar dan di serang pasukan Pemerintah Mancu, dan sekali lagi oleh serombongan pendekar.

   Si Tangan Hlilintar berlengan kiri buntung yang membunuhi banyak orang, baik orang itu pembesar Mancu ataukah pendekar. Juga dimana-mana dia melakukan perkosaan dan pembunuhan terhadap wanita.! Yang terkadang hampir tak dapat menahan rasa penasaran dan kemarahannya adalah Ai Yin. Ketika mereka berdua mendengar bahwa Si Tangan Halilintar itu melakukan perkosaan dan pembunuhan di sebuah dusun, mereka cepat masuk dusun itu. Akan tetapi begitu orang melihat Siauw Beng, mereka berduyun-duyun datang dengan segala macam senjata di tangan, di pimpin oleh kepala dusun dan beberapa orang yang tampaknya ahli silat.! "Bunuh Si Tangan Halilintar! Bunuh si lengan buntung!"

   Demikian mereka berteriak-teriak dan hendak menyerbu.

   "Tahaaannnn..."".!"

   Tiba-tiba Ai Yin berteriak melengking, mengejutkan semua orang yang menahan langkahnya dan memandang gadis yang sudah melayang naik ke atas sebuah atap rumah bersama seorang pemuda berlengan kiri buntung.

   Yang mereka yakini sebagai penjahat yang sedang tersohor itu, yang semalam memperkosa dan membunuh seorang gadis dusun itu.

   "Kalian semua dengarlah baik-baik.! Penjahat yang melakukan pembunuhan dan perkosaan, yang menggunakan nama julukan Si Tangan Halilintar itu adalah palsu! Si Tangan Halilintar yang asli adalah pendekar ini, seorang pendekar bernama Lauw Beng yang tidak pernah melakukan kejahatan bahkan selalu menentang kejahatan! Aku, Wong Ai Yin, puteri Bu-tek Sin-kiam, menjadi saksinya! Aku selalu bersamanya dan tidak pernah melihat dia melakukan kejahatan. Penjahat itu adalah Si Tangan Halilintar palsu.! Akan tetapi, dengan suara penuh gemuruh penduduk itu menyatakan tidak percaya dan mereka lalu memungut batu dan menyambitkan batu-batu itu kea rah Siauw Beng dan Ai Yin! Ai Yin jengkel sekali dan membanting kakinya, tidak ingat bahwa ia berdiri di atas genteng sehingga ada genteng yang remuk.

   "Menyebalkan! Monyet-monyet bodoh itu!."

   Siauw Beng yang juga repot menangkis batu-batu itu seperti halnya Ai Yin berkata.

   "Percuma saja, Ai Yin. Hayo pergi dari sini!."

   Dia menggandeng tangan gadis itu dan mereka melayang turun ke belakang rumah itu dan melarikan diri. Sambil berteriak-teriak penduduk mengejar dan berteriak-teriak penduduk mengejar dan mencari mereka, akan tetapi dua orang muda itu telah pergi jauh. Setelah tiba di tempat yang jauh dari dusun itu, Ai Yin berhenti dan ia membanting-banting kaki kanannya saking jengkel.

   "Sialan dangkalan! Masa kita dilempari batu dan di kejar-kejar seperti anjing!." "Sudahlah, Ai Yin. Bukan kesalahan mereka. Kita harus mencari penjahat itu dan mulai sekarang aku tidak akan memperlihatkan diri kepada umum sebelum penjahat itu tertangkap."

   Mereka melanjutkan perjalanan, tetap mengikuti jejak si penjahat yang berpindah-pindah dan meninggalkan jejaknya berupa pembunuhan dan perkosaan.

   Ketika pada suatu siang Siauw Beng dan Ai Yin tiba diluar sebuah hutan, tiba-tiba bermunculan orang-orang berpakaian sebagai pendekar. Ada belasan orang jumlahnya dan dari lain jurusan muncul pula sekitar dua puluh orang pasukan pemerintah Ceng, dipimpin seorang perwira Mancu yang tinggi besar.! "Bunuh penjahat Si Tangan Halilintar!." "Tangkap pemberontak!"

   Siauw Beng dan Ai Yin terkejut sekali. Setiap kali mengejar jejak yang ditinggalkan penjahat itu, selalu saja mereka di hadang orang-orang kang-ouw atau pasukan pemerintah, seakan-akan gerakan mereka telah diketahui orang! Mereka tidak tahu bahwa memang pasukan dan para orang kang-ouw itu mendapatkan berita entah dari siapa datangnya, akan adanya Si Tangan Halilintar di suatu tempat dan ketika mereka mendatangi tempat itu, benar saja mereka bertemu Siauw Beng dan Ai Yin. Tanpa banyak cakap lagi, puluhan orang yang berteriak-teriak itu sudah menyerbu dan menyerang Siauw Beng.

   Siauw Beng merasa percuma saja kalau dia membela diri menyangkal. Orang-orang itu tidak mau mendengarkan dan mereka semua itu sudah yakin bahwa dialah penjahat Si Tangan Halilintar itu! Ai Yin yang membela Siauw Beng tentu saja juga ikut dikeroyok. Siauw Beng dan Ai Yin merobohkan para pengeroyok terdekat dengan tamparan atau tendangan. Mereka mencabut pedang, akan tetapi pedang itu hanya untuk menangkis saja. Mereka merobohkan pengeroyok akan tetapi tidak mau melukai dengan senjata tajam.

   "Ai Yin, lari.....!"

   Ketika mendapat kesempatan, Siauw Beng mengajak gadis itu meloloskan diri dari kepungan dan lari. Akan tetapi, baru berlari belasan langkah, tiba-tiba mereka di hadang tiga orang. Ketika melihat bahwa satu di antara tiga orang itu adalah Can Ok, Ai Yin marah sekali.

   "Can-susiok ( paman guru Can ), berani engkau hendak menyerang aku?."

   Can Ok berkata kepada seorang laki-laki Mongol yang bertubuh tinggi kurus.

   

Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini