Ceritasilat Novel Online

Si Tangan Halilintar 7


Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



Teng Bhok sudah menggerakkan goloknya menyambar ke arah kepala Song Kwan.

   "Singggg... Golok itu berdesing menyambar, namun Kiam-sian (Dewa Pedang) Song Kwan dengan amat mudahnya mengelak dan tiba-tiba pedangnya berubah menjadi sinar mencuat ke arah lambung Teng Bhok. Kepala gerombolan ini terkejut sekali dan cepat dia membuang diri kebelakang sehingga terhindar dari maut.

   Demikian cepat dan tak terduga serangan balasan pedang di tangan Song Kwan itu sehingga Teng Bhok mengeluarkan keringat dingin. Pada saat itu enam orang anak buahnya sudah menyerang, maka Teng Bhok menjadi berbesar hati dan diapun menyerang dengan goloknya sambil mengerahkan tenaga karena yang dia andalkan hanyalah ketajaman golok dan tenaga kasarnya yang sekuat kerbau.

   Akan tetapi Song Kwan segera mengeluarkan ilmu pedangnya yang amat hebat. Dia mengeluarkan teriakan melengking dan tiba-tiba bentuk pedang di tangannya lenyap, berubah menjadi gulungan sinar perak yang menyilaukan mata. Gulungan sinar ini selain menjadi perisai yang melindungi seluruh tubuhnya, juga dari gulungan sinar pedang itu menyambar kilatan-kilatan pedang yang mengirim serangan balasan.

   "Hyaaaaaaahhh... trang-trang-cdngg...!!"

   Tiga orang pengeroyok berseru kaget ketika golok mereka terlepas dan terpental dari pegangan mereka dan sebelum hilang rasa kaget mereka, tiga orang itu sudah terpelanting roboh disambar kilatan sinar pedang! Teng Bhok dan tiga orang anak buahnya terkejut sekali. Akan tetapi kembali Song Kwan mengeluarkan pekik melengking dan dia membuat gerakan jurus Ngo-heng Keng-thian (Lima Unsur Melengkung di Langit), sebuah jurus ilmu pedang Ngo-heng Kiam-sut yang amat hebat.

   Kilatan pedang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya, lebih cepat daripada kedipan mata dan terdengar Teng Bhok dan tiga orang anak buahnya berteriak kesakitan dan merekapun roboh satu demi satu sebelum mereka tahu apa yang terjadi. Tujuh orang penjahat itu tewas seketika karena pedang di tangan Song Kwan itu menyerang dengan tepat ke arah bagian yang mematikan! Melihat ini, Ang Jit Tojin menghela napas.

   "Sian-cai...! Engkau agak terlalu keras, Song-taihiap, akan tetapi pinto tidak menyalahkanmu. Bagaimanapun juga, mereka adalah bangsa kita sendiri. Sayang, di jaman yang buruk ini, di mana bangsa asing Mancu menjajah tanah air kita, terdapat banyak bangsa kita sendiri yang menjadi pengkhianat, sudi menjadi antek penjajah. Dan lebih menyedihkan lagi, terdapat lebih banyak lagi orang-orang seperti mereka yang tidak memperdulikan nasib rakyat jelata yang sudah ditindas penjajah, bahkan mereka masih tega menambah derita rakyaf dengan perbuatan jahat mereka."

   "Totiang benar,"

   Kata Song Kui, adik kandung Song Kwan yang merupakan orang ke dua Clong-yang Ngo-taihlap, berusia tiga puluh delapan tahun dan berwajah tampan bertubuh sedang. Namun Song Kui ini kalau menghadapi penjahat, bahkan lebih galak dan keras daripada kakaknya, maka dunia kangouw memberi julukan Kiam-mo (Setan Pedang) padanya.

   "Dosa paling besar para penjahat ini adalah kepura-puraan mereka menjadi pejuang, padahal itu hanya sebagai kedok saja untuk mencari keuntungan demi kesenangan diri mereka sendiri." "Sudahlah,"

   Ang Jit Tojin menghela napas panjang pula. Bagaimanapun juga, mereka adalah juga manusia-manusia dan setelah menjadi mayat, kita harus mengurus mereka sebagaimana mestinya dengan baik-baik."

   Ang Jit Tojin lalu mengambil perhlasan milik Kui Siang dari saku, baju Teng Bhok, kemudian dia menyuruh para anak buah pejuang untuk mengurus tujuh mayat gerombolan itu dikebumikan bersama semua jenazah yang sudah dipetikan.

   Setelan semua penguburan selesai, Ang Jit Tojin mengajak Kui Siang duduk bercakap-cakap di ruangan dalam kuil tua. Nyonya muda ini sudah agak segar karena mendapat kesempatan mengaso dan ia mendapatkan obat gosok dari Ang Jit Tojin untuk mengusir rasa penat dan pegal-pegal pada kedua kaklnya. Mereka, Ang Jit Tojin, lima pendekar Ciongyang, dan Kui Siang, duduk mengelilingi meja kayu sederhana dan duduk di atas bangku-bangku kayu yang kasar. Ang Jit Tojin menyerahkan perhiasan yang diambilnya dari saku baju pada mayat Teng Bhok dan menyerahkannya kepada Kui Siang. Kui Siang membiarkan perhiasan itu bertumpuk di atas meja di depannya dan ia berkata setelah memandangi enam orang pendekar itu satu per satu.

   "Saya menghaturkan banyak terima kasih kepada totiang dan para taihiap disini karena tanpa pertolongan cu-wi (anda sekalian) saya tentu sudah membunuh diri daripada diperhina manusia jahat itu."

   Suaranya mengandung keharuan.

   "Jangan bicara demikian, toa-nio. Kami memang bermaksud menyelamatkanmu seperti yang dipesan suamimu. Ketahuilah bahwa suamimu, Lauw Heng San, adalah orang segolongan dengan kami."

   Kui Siang memandang heran, pandang mata penuh pertanyaan kepada tosu itu.

   "Orang segolongan? Apa maksud totiang? Bukankah... bukankah suami saya komandan Pasukan Garuda Sakti yang memusuhi golongan totiang?" "Hal itu terjadi karena dia telah tertipu oleh ayah tirimu, toa-nio, sehingga dia menduga bahwa kami adalah segerombolan orang jahat. Akan tetapi dia telah sadar akan kekeliruannya setelah bertemu dengan gurunya yang menjadi seorang di antara kami. Apalagi mendengar bahwa ayah ibunya di dusun Linhan-koan dibunuh kaki tangan Thio-ciangkun. Dia menjadi sadar, marah dan mengamuk di gedung Thio-ciangkun. Akan tetapi sebelumnya dia sudah menitipkan engkau kepada kami agar kami suka melindungimu." "Lalu... lalu... di mana dia sekarang?"

   Tiba-tiba wajah nyonya muda itu menjadi pucat sekali.

   Dari pandang mata dan sikap enam orang yang duduk di depannya itu ia mendapatkan firasat yang mengerikan.

   "Di mana suamiku...?"

   Ang Jit Tojin mengerutkan alisnya. Berat rasa hatinya untuk meneritakan. Pada dasarnya memang perasaan tosu ini lembut dan peka sekali. Dia memandang kepada Song Kwan dan memberi isarat dengan pandang matanya agar pendekar itu yang bercerita.

   "Begini, toanio. Setelah dia sadar bahwa dia membantu pihak yang jahat dan memusuhi para pendekar pejuang pembela bangsa dan tanah air, dan mendengar bahwa orang tuanya sendiri dibunuh kaki tangan Thio-ciangkun karena berkenalan dengan Pat-jiu Sin-kai, guru suamimu, maka Lauw Heng San lalu pergi ke gedung Thio-ciangkun mengamuk. Kami menyusl dan membantunya. Ia berhasil membunuh para jagoan di sana, juga berhasil membunuh Thiociangkun, akan tetapi dia sendiri juga tewas." "San-koko...!"

   Kui Siang menjerit dan roboh pingsan, terkulai dan tentu akan terjatuh dari kursinya kalau tidak ada bayangan orang yang cepat menyambarnya sehingga ia tidak sampai terjatuh. Bayangan itu bukan lain adalah Ma Giok yang baru saja masuk dan melihat nyonya muda itu terkulai, dia segera menyambar dan menangkapnya sehingga Kui Siang tidak terguling. Ma Giok memondong tubuh Kui Siang, memandang kepada enam orang itu, menggeleng kepala dan berkata halus.

   "Aih, Kalian terlalu mengguncangnya, tidak seharusnya berita itu disampaikan begitu mendadak."

   Mendapatkan teguran dari pemimpin para pejuang ini, Ang Jit Tojin menjawab.

   "Lam-Hong (Naga Selatan), maafkan kami. Pinto yang tadi menyuruh Songtaihiap menyampaikan keterangan itu kepadanya." "Sudahlah, kita harus merawatnya. Kasihan sekali wanita ini. Baru saja kematian suaminya dan juga kehilangan ayah tiri dan ibunya."

   Dia membawa tubuh Kui Siang ke dalam sebuah kamar di kuil itu dan merebahkannya di atas pembaringan kayu.

   Setelah menekan beberapa jalan darah untuk membuat wanita itu tidur pulas agar lahir batinnya dapat beristirahat, Ma Giok keluar menernui teman-temannya. Setelah pemimpin pejuang itu mengambil tempat duduk, Song Kwan bertanya sambil menatap wajah Ma Giok yang berjuluk Lam-liong (Naga Selatan) itu dengan heran.

   "Ma-enghiong (pendekar Ma), apa yang kaumaksudkan ketika berkata bahwa Lauw-toanio juga kehilangan ibunya?"

   Ma Giok menghela napas panjang.

   "Kalian tentu tahu bahwa dahulu, ketika mendiang Bu Kiat masih menjadi panglima, dia adalah seorang rekanku, sama-sama menjadi panglima dalam pasukan pimpinan Jenderal Gouw Sam Kwi. Bahkan kami menjadi sahabat baik dan aku mengenal pula isterinya. Juga Bu Kul Siang yang kini menjadi isteri Lauw Heng San itu baru berusia dua tahun ketika ayah kandungnya tewas dalam perternpuran. Aku hanya mendengar bahwa Nyonya Bu dan anaknya menjadi tawanan rnusuh dan selanjutnya aku tidak mendengar lagi kabar beritanya.

   Ketika aku rnenjadi tawanan, baru kuketahui bahwa isteri Thio Ci Gan atau Pangeran Abagan itu adalah Nyonya Bu Kiat. Karena itu, ketika terjadi keributan dan kalian membebaskan aku, aku segera mencari Nyonya Bu dan puterinya, namun keduanya pergi tiada yang tahu ke mana. Kini, Bu Kui Siang dapat kalian selamatkan, akan tetapi aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Nyonya Bu Kiat. Nah, bukankah itu berarti bahwa Kui Siang sekarang ini telah kehilangan segalagalanya? "Siancai...! Kasihan sekali nyonya muda itu!"

   Kata Ang Jit Tojin, tokoh Butong-pai itu.

   "Akan tetapi pinto juga hanya mendengar dari penyelidik bahwa isteri muda Pangeran Abagan itu adalah bekas isteri Panglima Bu Kiat yang menjadi pahlawan. Bagaimana ia dapat tiba-tiba rnenjadi isteri seorang pangeran, Mancu, orang yang telah menewaskan suaminya dalam perang?" "Hemm, aku dapat menduganya. Aku masih ingat bahwa Nyonya Bu adalah seorang wanita terpelajar yang berbudi baik.

   Seorang wanita seperti dia tidak mungkin sudi merendahkan diri, baru saja kematian suaminya lalu sudi menjadi isteri muda seorang panglima Mancu, apalagi musuh suaminya, kalau tidak terpaksa sekali. Dan satu-satunya hal yang memaksanya tentu saja puterinya! Ia tentu terpaksa diperisteri Pangeran Abagan yang menyamar sebagai Thio Ci Gan karena ingin menyelamatkan puterinya, Bu Kui Siang yang kemudian menjadi isteri Lauw Heng San."

   Ang Jit Tojin dan lima orang pen dekar Ciong-yang itu mengangguk-angguk dan kembali tosu itu menggumam.

   "Kasihan sekali, kini ia harus menderita, hidup seorang diri ditinggal mati suarri dan kehilangan ibu..." "Ya, memang kasihan. Apalagi ia nasih ditambah tugas berat, harus menelihara calon anaknya seorang diri."
   "Eh? Apa maksudmu, Lam-Hong?"

   "Ang-totiang, ketika tadi aku membawanya masuk dan memeriksa kesehatannya, aku mendapat kenyataan bahwa Bu Kui Siang itu telah mengandung, mungkin sudah dua tiga bulan."

   Jawab Ma Giok yang selain seorang ahli silat kenamaan juga seorang yang pandai dalam ilmu pengobatan. Kawan-kawannya mengangguk-angguk.

   "Ma-enghiong, sekarang apa yang harus kita lakukan?"

   Tanya Song Kwan mewakili para saudara mudanya dan Ang Jit Tojin juga memandang wajah pemimpin itu dengan (Lanjut ke Jilid 06)

   Si Tangan Halilintar (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 06

   ingin tahu.

   "Kita harus cepat meninggalkan kuil ini. Mereka mendatangkan pasukan besar dari kota raja dan tak lama lagi mereka tentu akan menyerbu ke sini. Bagaimanapun juga, gerakan kita berhasil. Kita sudah dapat membunuh Pangeran Abagan dan membasmi kaki tangannya. Kota Keng-koan telah terbebas dari penindasan seorang pangeran Mancu.

   Kita harus terpencar, dan masing-masing menghimpun kekuatan di manapun kita berada dan 'melanjutkan gerakan kita menentang para pembesar yang menindas rakyat, mengganggu pemerintah kerajaan penjajah Mancu."

   Enam orang pendekar itu mengangguk menyetujui.

   "Dan bagaimana dengan Lauw-toanio?"

   Tanya Ang Jit Tojin.

   "Hemm, maksudmu Bu Kui Siang? Ia menjadi tanggung-jawabku. Mengingat sahabatku, mendiang Panglima Bu Kiat, dan mengingat pula akan jasa Lauw Heng San, maka sudah menjadi kewajibanku untuk mencarikan jalan terbaik bagi Bu Kui Siang. Aku tahu bahwa mulai sekarang, ia tentu menjadi seorang buruan pemerintah seperti juga kita dan kalau tidak ditolong, wanita lemah seperti ia tentu akan cepat tertawan." "Memang kita tidak boleh membiarkan ia tertawan. Engkau mempunyai tugas yang amat berat, Lam-liong. Ke manakah engkau hendak membawa ia pergi? Dan di mana kami dapat menghubungimu?"

   Tanya Ang Jit Tojin.

   "Kukira, mulai sekarang lebih baik kita berjuang sendiri-sendiri untuk melindungi dan menolong rakyat. Dengan berpencar sendiri-sendlri kita akan lebih leluasa bergerak dan lebih mudah bersembunyi dari tangan panjang pemerintah penjajah Mancu. Aku sendiri akan pergi ke Thai-san, menghadap lo-cianpwe (orang tua gagah) Pek In San-jin (Orang Gunung Awan Putih) dan mengabarkan tentang kematian lo-cian-pwe Pat-jiu Sin-kai dan kematian muridnya Ngojiauw-eng Tan Kok. Selain itu, aku hendak mencarikan tempat yang aman bagi Bu Kui Siang di sana. Mungkin untuk sementara waktu, kalau lo-cian-pwe Pek In San-jin mengijinkan, aku akan berada di sana untuk mohon petunjuknya memperdalam Hmu silatku."

   Demikianlah, para pendekar itu, Ma Giok, Ang Jit Tojin, kelima Ciong-yang Ngo-taihiap yang terdiri dari Song Kwan, adiknya Song Kui, Ciang HuSeng, Bhe Kam, dan Le Bun, dan beberapa orang anggauta pejuang lain yang menjadi anak buah mereka, berkemas dan satu demi satu berpamitan kepada Ma Giok yang menjadi pemimpin mereka, lalu meninggalkan kuil itu.

   Setelah semua oran, pergi dan hanya tinggal Ang Jit Tojin yang masih menemaninya karena Ma Giok memang menahannya untuk memberi keterangan kepada Bu Kui Siang, mereka berdua lalu menyadarkan Kui Siang yang masih tertidur pulas karena ditotok jalan darahnya oleh Ma Giok tadi. Wanita itu terbangun dan melihat ada dua orang laki-laki duduk di atas bangku dalam kamar itu, ia segera bangkit duduk, ia mengenal Ang Jit Tojin tosu tinggi kurus berjenggot panjang itu, akan tetapi ia tidak mengenal pria yang seorang lagi. Akan tetapi wajah pria itu tidak mendatangkan rasa takut di hatinya. Wajah seorang laki-laki setengah tua yang tampan gagah, mukanya bersih tanpa kumis atau jenggot, pandang matanya tajam dan lembut, mulutnya tersungging senyuman ramah dan penuh pengertian, pakaiannya seperti seorang petani sederhana namun bersih dan rapi. Akan tetapi, begitu tersadar, Kui Siang segera teringat akan suaminya yang dikabarkan telah tewas, maka ia lalu turun dari pembaringan dan langsung menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Ang Jit Tojin sambil menangis.

   "Totiang..., benarkah... benarkah suami saya telah tewas...?" "Duduklah yang tenang, toa-nio, dan kuatkan hatimu,"

   Kata Ang Jit Tojin sambil mernbangunkan Kui Siang dan menuntun wanita itu duduk kembali ke atas pembaringan.

   "Hentikan tangismu, Kui Siang, dan tabahkan hatimu. Mendiang ayahmu, Bu Kiat, dan mendiang suamimu, Lauw Heng San, adalah pendekar-pendekar gagah perkasa. Mereka tidak akan senang melihat sikapmu yang lemah ini. Hentikan tangismu dan kuatkan hatimu. Ingat akan kandunganmu yang harus kaujaga baik-baik."

   Kata Ma Giok dengan suara lembut berwibawa. Mendengar ini Kui Siang terbelalak memandang laki-laki yang tidak dikenalnya itu. Ang Jit Tojin, segera memperkenalkan.

   "Lauw-toanio, ini adalah pendekar Ma Giok yang berjuluk Lam-liong, selama ini menjadi pemimpin kami para pejuang. Mulai sekarang engkau berada dalam per lindungannya."

   Kui Siang masih memandang heran, saking herannya ia sampai lupa akan kesedihannya dan tidak menangis lagi.

   Apalagi mendengar bahwa mendiang ayah kandungnya dan mendiang suaminya tidak suka melihat ia menangis! "Akan tetapi... bagaimana engkau mengenal mendiang ayah kandungku, suamiku dan tahu akan keadaan diriku?" "Kui Siang, tentu saja engkau tidak mengenalku, karena ketika itu engkau masih berusia dua tahun. Aku sudah mengenalmu ketika engkau berusia dua tahun, Ayah kandungmu, mendiang Bu Kiat, adalah rekanku. Kami sarna-sarna panglima dalam pasukan Jenderal Gouw Sam menentang penjajah Mancu. Aku juga mengenal ibumu dengan baik. Dan aku mengenal suamimu karena akulah yang pertama-tama menjadi tawanan Panglima Mancu Thio, ayah tirimu itu yang sesungguhnya adalah seorang Pangeran Mancu bernama Abagan. Sekarang, keadaan kita di sini amat berbahaya. Setiap saat pasukan pemerintah Mancu akan datang menyerbu. Karena itu, semua pejuang sudah pergi dan engkau juga harus cepat melarikan diri karena mulai sekarang engkau dianggap isteri seorang pemberontak.

   Aku akan membawamu melarikan diri dan akan melindungimu, Kui Siang." "Lauw-toanio, percayalah. Dalam perlindungan Lam-liong, engkau akan aman dan selamat. Nah, sekarang sudah tidak ada waktu lagi. Cepatlah berkemas dan bawa semua barangmu, toanio." "Benar, Kui Siang. Kita harus pergi sekatarig juga."

   Kata Ma Giok.

   "Kalau ada pertanyaan lagi, kita bicarakan dalam perjalanan saja."

   Tidak ada lain jalan bagi Kui Siang kecuali menaati ucapan kedua orang itu. la maklum bahwa ia berada di tangan orang-orang sakti yang dapat dipercaya. Apalagi Ma Giok yang mengaku sebaga sahabat mendiang ayah kandungnya. Dan melihat wajahnya saja sudah menimbulkan kepercayaan besar dalam hatinya. Ia bahkan yakin bahwa seorang iaki-iaki dengan sinar mata, senyum dan sikap seperti, itu tidak mungkin mempunyai watak yang jahat! Akhirnya mereka bertiga meninggalkan kuil itu dan setelah tiba di Jereng Bukit Ayam, Ang Jit Tojin dan Ma Giok berhenti melangkah.

   Tosu itu mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat sambil berkata.

   "Lam-liong, kita berpisah di sini. Mudah-mudahan kita dapat bertemu dan bekerja sarna kembali di masa mendatang."

   Ma Giok membalas penghormatan itu.

   "Ang-totiang, selamat berpisah, dan banyak terima kasih atas bantuanmu selama ini." "Lauw-toanio, jaga baik-baik dirimu dan taatilah semua petunjuk Lam-Hong yang melindungimu." "Terima kasih, totiang."

   Jawab Kui Sing, diilam hatinya merasa terharu karea tosu itu juga bersikap amat baik terhadap dirinya. Ang Jit Tojin lalu berkelebat lenyap lari situ, berlari amat cepatnya.

   "Nah, sekarang kita mengambil jalan sendiri. Di lereng sana itu terdapat sebuah dusun. Aku akan mencari sekor :uda. Apakah engkau dapat menunggang kuda, Kui Siang?" "Bisa, paman. Suamiku pernah mengajarkan aku menunggang kuda."

   Lehernya ieperti dicekik ketika ia teringat akan suaminya, namun ditahannya agar tidak nenangis. Mereka lalu menuju ke sebuah dusun yang berada di lereng Bukit Ayam.

   Benar saja, Ma Giok bisa mendapatkan sekor kuda yang cukup baik, yang dibelinya agak mahal. sehingga mulai dari dusun itu, kui Siang dapat menunggang kuda, diiringkan Ma Giok yang berjalan kaki. Dalarn perjalanan itu, Ma Giok menceritakari kenibali dengan jelas tentang kematian Lauw Heng San yang menyadari kesalahannya sehingga dia mengamuk, rnembunuh Thio-ciangkun dan para jagoannya dan. dia sendiri tewas.

   "Bagaimanapun juga, suamimu menjadi. kaki tangan pemerintah penjajah Mancu karena tertipu, dan dia sudah menyadari kesalahanya, bahkan dia tewas sebagai seorang pahlawan pembela tanah air dan bangsa. Dia mati secara terhormat, Kui Siang, patut dibanggakan. Namanya akan tetap dikenang sebagai seorang pahlawan bangsa."

   Kui Siang tidak menangis akan tetapi ia mengusap beberapa air mata yang mengalir ke atas pipinya.

   "Akan tetapi setelah ayah tiriku dan suamiku meneninggal, lalu bagaimana dengan ibuku," "Aku sudah berusaha mencari Nyonya Bu, akan tetapi tidak dapat menemukannya.

   Yang jelas, ibumu melarikan dirl, akan tetapi tidak ada yang tahu ke mana larinya." "Aduh, kasihan ibu " "Ya, kasihan Nyonya Bu. Akan tetapi percayalah, Kui Siang, orang yang baik seperti ibumu pasti dilindungi Thian dan ia akan selamat. Akan kuselidiki dan cari ke mana ia pergi dan tentu akan kupertemukan denganmu kalau kelak aku berhasil mencarinya." "Terima kasih, paman. Akan tetapi sebetulnya apakah kesalahan ayah Thio Ci Gan maka paman sekalian memusuhinya? Menurut aku, selama aku menjadi anak tirinya, dia adalah seorang yang baik hati. Bahkan suamiku dulu juga memuji-mujinya. Mengapa paman sekalian begitu membencinya?"

   Sejenak Ma Giok menghela napas panjang. Dia adalah seorang yang berpengalaman luas, bukan saja ahli silat namun juga mengerti tentang persoalan manusia dengan segala ragamnya. Sambi! menuntun kuda yang ditunggangi Kui Siang, akhirnya dia bicara.

   "Begitulah keadaan dunia ini, Kui Siang. Kita manusia dipermainkan oleh keadaan yang selalu bertentangan. Keratan Mancu, dalam hal ini tentu saja para pucuk pimpinannya, angkara murka dan menjajah tanah air kita. Tentu saja rakyat Maneu membela negaranya sebagai warga negara yang berbakti kepada bangsa dan tentu saja olehbangsa Maneu sendiri para pembela negara itu dianggap sebagai pahlawan. Ayah tirimu adalah seorang Pangeran Mancu bernama Abagan. Dia seorang yang cerdik dan dia sengaja menyamar menjadi seorang Han bernama Thio Ci Gan yang menjadi anglima kerajaan Mancu. Tentu saja dia seorang warga negara Mancu yang baik karena membela kerajaan bangsanya. mungkin saja diapun seorang yang baik seperti yang kaukatakan tadi. Namun bagi kami, dia adalah seorang kaki tangan penjajah yang amat jahat, yang menindas bangsa kami. Mungkin saja pribadinya baik, akan tetapi sifat pekerjaannya adalah jahat.

   Kami golongan pejuang selalu menentang dan memusuhi para pembesar Mancu, tiada bedanya bagi kami apakah mereka itu berpribadi baik atau buruk, karena mereka merupakan kaki tangan penjajah yang menindas rakyat."

   Kui Siang mendengar banyak keterangan dari Ma Giok sehingga ia mulai mengerti tentang perjuangan para pendekar. Apalagi setelah ia mendengar tentang sepak terjang ayah kandungnya, Bu Kiat, yang mengorbankan nyawa demi perjuangan melawan penjajah Mancu. Bangkit pula semangatnya dan diamdiam iapun bersukur bahwa suaminya tewas sebagai seorang pejuang, bukan sebagai antek penjajah. Mereka berdua melantkan perjalanan mereka menuju Thai-san. Dalam perjalanan jauh yang makan waktu lama itu Ma Giok bersikap baik, kebapakan, sopan dan penuh perhatian terhadap Kui Siang sehingga Kui Siang merasa bersukur dan berterima kasih.

   Juga Kui Siang merasa kasihan sekali melihat nasib! Ma Giok, mendengar betapa isterinya telah meninggal dunia datam keributan perang, bahkan belum lama ini, ketika terjadi pertempuran menentangThio-ciangkun, puterinya yang bernama Ma Hong Lian, anak tunggalnya, juga tewas. Kini Ma Giok juga sebatang kara, namun pendekar itu sama sekali tidak pernah memperlihatkan kesedihan, walaupun sebagian rambutnya mendadak telah berubah menjadi putih! Ke mana perginya Nyonya Bu, ibu ndung Bu Kui Siang? Nasib nyonya ini memang amat menyedihkan. Dalam usia muda, baru dua puluh tahun, sebagai seang ibu dari anak yang berusia dua tahun, ia telah ditinggal mati suaminya, panglima Bu Kiat, dan ia sendiri bersama puterinya yang masih kell mennjadi seorang tawanan Thio-ciangkun, panglima pasukan Mancu.

   Kemudian ia diambil isteri muda oleh Thio-ciangkun walaupun hatinya menolak, mengingat bahwa Thio-ciangkun adalah musuh mendiang suaminya yang menyebabkan kematian suaminya, namun terpaksa Nyonya Bu menerima karena Thiociangkun mengancam akan membunuh anaknya yang baru berusia dua tahun itu. Demi keselamatan anaknya, ia mengorbankan dirinya. Memang harus diakuinya bahwa Thio-ciangkun mencintanya, juga pembesar itu menyayang Kui Siang seperti anak sendiri. Akan tetapi hati nyonya ini menjadi semakin sakit ketika akhirnya ia mengetahui bahwa suaminya yang memakai nama Thio Ci Gan itu sebetulnya seorang Pangeran Mancu bernarna Abagan. Akan tetapi hal ini disimpannya dalam hati sebagai rahasia dan tidak memberitahukan kepada puterinya. Sikap baik Thio-ciangkun terhadap dirinya dan juga terhadap Kui Siang agak menghibur hatinya. Maka iapun bertahan menjadi isteri Thio-ciangkun sampai delapan belas tahun lamanya.

   Akan tetapi, pada suatu hari ia mendengar kabar bahwa suarninya, dalam memberantas gerombolan pemberontak, telah menawan seorang yang bernama Ma Giok. Dari para pelayan dan pengawal ia mendengar bahwa Ma Giok itu seorang pemimpin pemberontak. Ketika mendapat kesempatan mengintai, ia terkejut sekali mengenal Ma Giok sebagai Ma-ciangkun, panglima yang menjadi rekan mendiang suaminya ketika sama-sama membantu pasukan Jenderal Gouw Sam Kwi! Maka, iapun dengan lembut dan tidak mecolok ikut membujuk suaminya agar jangan membunuh Ma Giok, dengan alasan yang lama seperti dikemukakan Lauw Heng San bahwa dengan memenjarakannya, maka dapat memancing datangnya para pemberontak lainnya. Kemudian datanglah peristiwa yang sama sekali tidak disangka-sangkanya itu Lauw Heng San, mantunya, mengamuk dan membunuhi para jagoan, bahkan juga Thio-ciangkun dibunuhnya sehingga mati sampyuh.

   Mantunya itu dibantu oleh para pendekar yang memberontak. Dalam keributan ini, Nyonya Bu yang telah menjadi Nyonya Thio itu mencari puterinya. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia tidak dapat menemukan puterinya. Sementara itu pertempuran masih berlangsung hebat dan bahkan terjadi pembakaran gedung! Nyonya Bu menjadi panik dan iapun melarikan diri lewat pintu belakang. la maklum bahwa malapetaka telah menimpa dirinya lagi. Lauw Heng San telah bersatu dengan pemberontak. Hal ini tentu akan berakibat buruk sekali terhadap diri puterinya, Bu Kui Siang. Dan ia sebagai ibunya pasti akan terlibat pula. Oleh karena itu, wanita yang berusia empat puluh tahun itu dapat mengambil sekor kuda dari belakang gedung dan ia melarikan diri keluar dari kota Keng-koan dengan menunggang kuda. Walaupun bukan seorang ahli, namun sedikit banyak Nyonya Bu pernah belajar ilmu silat di waktu muda dan iapun pandai menunggang kuda.

   Ia terus membalapkan kudanya keluar dari pintu gerbang kota Keng-koan sebelah barat. Karena panik melihat mantunya mengamuk, gedung terbakar dan puteri nya melarikan diri, Nyonya Bu Iupa sehingga dalam pelariannya itu ia tidak membawa apapun kecuali pakaian dan perhiasan yang menempel di tubuhnya. Akan tetapi pakaian dan perhiasan yang dipakainya itu cukup indah dan berharga ntuk menarik perhatian gerombolan yang jahat. Pada masa itu, pemerintah Ceng (Mancu) baru saja berhasil menumpas perlawanan Jenderal Gouw Sam Kwi sehingga pemerintah yang baru saja menang itu belum sempat mengatur keamanan di seluruh Cina yang teramat as itu. Oleh karena itu, dalam suasana yang keruh itu, di mana pasukan penjaga keamanan belum banyak, terjadilah Hukum rimba dan orang-orang yang kuat badannya namun lemah batinnya, dikuasai Nafsunya sendiri dan bertindak sewenang-wenang.

   Kecenderungan manusia yang menjadi jahat untuk menyenangkan diri, Merajalela karena pemerintah baru masih belum sempat membenahi keamanan. tambah lagi dengan adanya sikap pemberontak dari rakyat yang sebagian besar tidak suka melihat tanah air dikangkangi orang Mancu dan bangsanya dijajah. Maka keadaan menjadi kacau dan orang-orang mempergunakan setiap kesempatan untuk mencari kesenangan mengumbar nafsu tanpa memperdulikan bahwa perbuatan mereka itu keji dan jahat. Setelah membalapkan kudanya selama setengah malam. dan pagi harinya, akhirnya Nyonya Bu terpaksa menghentikan larinya kuda yang sudah hampir ambruk karena kehabisan napas dan kelelahan itu. ia berhenti di sebuah jalan yang sepi, yang terletak di an tara dua buah bukit. Suasana d1 situ lengang dan sunyi sekali. Mahatarl mulal menylnarkan cahayanya yang hangat, di depan sana tarnpak gerombolan pohon,menandakan bahwa itu adalah sebuah hutan. Nyonya Bu juga lelah sekali namun hatinya merasa lega karena ia sudah dapat menlnggalkan kota Keng-koan.

   la tahu bahwa ia sudah berada jauh darl Kengkoan, namun tidak tahu la berada dl mana dan lebih tldak tahu lagl la hendak pergl ke mana. la sudah tidak mempunyai keluarga lagi. Puterinya, satu-satunya keluarga, tidak tahu pergi ke mana. Mungkin keluarga Thio-ciangkun masih ada. Mungkin putera-puteranya masih ada. Akan tetapi selama ini ia terasing dari keluarga suaminya itu. keluarga suaminya dan isteri pertama suaminya adalah keluarga Mancu dan ia sebagai seorang w'anita Han agaknya dipandang rendah dan diasingkan. Kalau saja Thio-ciangkun tidak menyayang ia dan puterinya, mungkin sudah lama mereka berdua diusir dari gedung Thioiangkun. Nyonya Bu melepas kendali kuda dan membiarkan kudanya minum dari air anak sungai kecil yang mengalir di dekat dan, lalu makan rumput yang tumbuh subur di situ. Ia sendiri kelelahan dan duduk di atas batu di bawah sebatang pohon.

   Hatinya sedih dan bingung. Sebelum melarikan diri, ia mendengar bahwa suaminya dan mantunya saling bunuh, berkelahi dan mati sampyuh keduanya tewas. Puterinya menghilang gedungnya terbakar dan ia kehilangan segala-galanya. Akan tetapi Nyonya Bu tidak menangis, melainkan termenung bingung. Air mata wanita itu sudah habis ditumpahkan dalam tangisnya selama bertahun-tahun semenjak ia ditinggal mati Bu Kiat, suaminya yang pertama. la mengorbankan dirinya, membiarkan dirinya diperisteri Thio-ciangkun yang ia ketahui adalah Pangeran Abagan. Hatinya sudah mengeras dan ia hanya dapat merasakan bahagia kalau melihat puterinya, Bu Kui Siang, hidup berbahagia. Akan tetapi sekarang mantunya tewas dan Kui Siang menghilang. Habislah sudah segalanya. Dan ia merasa kesepian bukan main, tak tahu apa yang harus ia lakukan dan ke mana ia harus pergi.

   Karena semalam menunggang kuda dan tubuhnya penat sekali, duduk di bawah pohon yang melindunginya dari sengatan matahari pagi, dihembus angin yang bersilir lembut dan sejuk, nyonya Bu tidak dapat menahan rasa kamuknya lagi. Ia bersandar pada batang pohon dan sebentar saja ia sudah tertidur nyenyak. Entah berapa lama ia tertidur pulas, nyonya Bu tidak tahu. Ia terbangun karena merasa rambutnya ada yang menarlk-narik. Ketika ia terbangun dan lembuka matanya, tidak ada siapa-silapa di situ. Karena masih mengantuk, iapun memejamkan kedua matanya kembali. Baru saja matanya terpejam, ia merasa betapa kedua kakinya tersentuh sesuatu. Cepat ia membuka kedua matanya dan kini ia terbelalak, sadar betul melihat kedua kakinya sudah telanjang, tidak bersepatu lagi. Kedua sepatunya telah hilang, entah ke mana dan bagaimana.

   Selagi ia kebingungan menghadapi peristiwa aneh hilangnya sepasang sepatunya, tiba-tiba terdengar suara orang terkekeh yang datangnya dari atas. Cepat ia menengadah dan sepasang matanya terbelalak heran dan juga ngeri. Di sana, di atas pohon yang sandarinya tadi, tampak seorang nenek duduk nongkrong di at as sebatang cabang pohon, terkekeh-kekeh dan kedua kakinya yang ongkang-ongkang (bergantungan) itu diayun-ayun dan kedua kaki itu mengenakan sepasang sepatunya yang hilang! Tangan kanan nenek itu meraba-raba rambutnya dan Nyonya Bu melihat bahwa rambut yang sudah penuh uban itu terhias benda cemerlang yang bukan lain adalah hiasan rambutnya sendiri yang berbentuk sekor burung merak terbuat dari emas dan permata. Dengan heran ia meraba kepalanya dan benar saja, hiasan rambutnya sudah tidak ada.

   Teringatlah ia bahwa tadi.ia terbangun karena merasa rambutnya ada yang meraba dan menarik-narik. Kiranya nenek itu yang mencuri hiasan rambut dan sepasang sepatunya! Akan tetapi, ia tidak berani menyatakan perasaan marahnya, bahkan merasa seram dan ngeri. Nenek itu memang menyeramkan, apalagi dilihat dari bawah, sedang duduk ongkang-ongkang di tempat tinggi seperti itu. Sukar ditaksir usianya karena muka itu tidak karuan. Memang masih ada garis-garis kecantikan membekas pada wajah itu, akan tetapi kecantikan yang mengerikan karena sepasang mata itu melirak-lirik, terkadang terbelalak mencorong, terkadang menyipit lucu dan aneh, hidungnya cengar-cengir dan mulutnya memakai gin-cu merah tebal sekali, bibirnya mencap-mencep, senyum-senyum mengejek dan mencibir, dan bergerak-gerak bicara lirih tak jelas artinya. Kulit muka itu dibedaki putih tebal seperti tembok dikapur. Rambutnya memang bersih dan panjang, akan tetapi tidak disisir dan dibiarkan riap-riapan dak karuan, dan rambut itu sudah berrwarna dua namun mengkilap.

   Pakaianya juga aneh. Berkembang-kembang, dari kain yang bersih dan baru, akan tetapi penuh tambal-tambalan, tambalan kain baru lagi. Meremang rasa bulu ngkuk Nyonya Bu. Nenek gila! Tentu orang nenek yang gila dan rnenyeramkan sekali, lebih pantas disebut hantu daripada manusia. Tubuhnya kurus dan biarpun sukar mengetahui usianya, namun dilihat rambut yang sudah berwarna dua dan garis-garis di sekitar kedua matanya, tentu usia nenek itu sudah lebih dari enam puluh tahun.

   "Hi-hi-hehe-heheheh...!"

   Nenek itu terkekeh-kekeh dan memandang ke arah dua buah kakinya yang bersepatu, seperti anak kecil bergembira karena memakai sepatu baru. Nyonya Bu menabahkan hatinya yang merasa seram. Ia tidak perduli kalau hiasan rambutnya yang mahal diambil nenek itu, akan tetapi sepatu itu amat ia perlukan. Tanpa sepatu, bagaimana ia dapat melakukan perjalanan?

   Kaki yang sudah puluhan tahun selalu memakai alas tentu akan terasa nyeri kalau dipakal berjalan telanjang saja.

   "Heii... nenek yang baik! Kembalikan sepasang sepatuku dan engkau boleh memiliki hiasan rambut itu! Kemballkan kepadaku!"

   Akan tetapi nenek itu hanya tertawa ha-ha-he-he tanpa memperdulikan Nyonya Bu sarna sekali, bahkan ia lalu mengambil beberapa helai daun pohon dan dimasukkan daun-daun itu ke mulutnya lalu dimakannya dengan enak! Nyonya Bu bergidik. Daun-daun pohon itu kasar dan sarna sekali tidak biasa dimakan orang.

   "He! Ini ada sekor kuda! Wah, kuda yang besar bagus, tentu mahal sekali harganya!" "Dan ini ada seorang cantik sekali. Biar tidak muda lagi, namun cantik jelita bahkan!" "Ha-ha-ha, beruntung sekali kita pagi ini! Kuda itu boleh kita jual dan hasilnya dibagi antara kalian berempat, akan tetapi kuda betina cantik ini untuk aku sendiri, kalian tidak boleh mengganggnya"

   Tiba-tiba muncul lima orang laki-laki. Empat orang diantara mereka menangkap dan memasangkan kendali kuda yang tadi dilepas Nyonya Bu, sedangkan yang seorang lagi menghampiri wanita itu. Nyonya Bu terkejut dan sekilas ia mendongak, akan tetapi nenek gila itu sudah tidak tampak di atas pohon iagi. la bangkit dan memperhatikan lima orang itu dan merasa gelisah. Mereka itu jelas bukan orang baik-baik. Wajah mereka bengis, pakaian lusuh dan sikap mereka kasar sekali. Yang menglmpirinya adaiah seorang laki-laki gemuk pendek dengan kepaia besar, usianya sekitar empat puluh tahun dan dia memegang sebatang golok besar, matanya yang lebar itu memandang kepadanya seperti hendak menelannya bulat-bulat! Nyonya Bu merasa ngeri dan ia mencoba untuk menyelamatkan diri dengan gertakan.

   "Jangan ganggu aku! Aku adalah isteri Thio-ciangkun panglima di Keng-koan! Kalau kalian berani mengganggu, pasukan keamanan akan datang menangkap kalian!"

   Akan tetapi mendengar ucapan itu, lima orang kasar itu tertawa bergelak, dan si pendek gendut itu tertawa sarnpai perutnya bergelombang.

   "Ha-ha-haha Thio-ciangkun dan pasukannya sudah hancur binasa oleh para pejuang semalam dan engkau hendak menggertak kami, manis? Mari, ikutlah dengan aku dan engkau akan hidup senang!"

   Setelah berkata demikian, kepala gerombolan Itu menubruk dengan kedua tangan terpentang di kanan kiri. Melihat ini, Nyonya Bu yang pernah belajar silat itu cepat mengelak ke kiri lalu kaki kanannya menendang ke arah perut yang gendut itu. Akan tetapi sejak menjadi isteri Thio-dangkun de lapan belas tahun yang lalu ia tidak pernah lerlatih, gerakannya menjadi kaku, lambat dan tidak bertenaga.

   "Bukk... bretttt...!"

   Biarpun kakinya mengenai perut si gendut, namun ia nerasa seperti menendang sebuah karung penuh gandum saja, dan elakannya juga kurang cepat sehingga tangan kanan kepala gerombolan itu masih dapat nencengkeram pundak bajunya sehingga bajunya terobek.

   Tampaklah kulit pundaknya yang putih mulus.

   "Ha-ha-ha-ha, kakimu kecil mungil dan lunak dan kulit tubuhmu... waaahh, putih mulus... hemmm, hebat sekali...!"

   Si pendek gendut menjadi semakin bergairah dan ia sudah bergerak hendak menubruk lagi, ditertawai oleh empat orang anak buahnya yang sudah dapat menguasai kuda. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara mencuit dan tampak sinar hijau menyambar ke arah muka kepala gerombolan itu.

   "Cuiiiittt... capp... aauugghhhh...!"

   Tubuh si gendut pendek, terjengkang dan darah muncrat membasahi mukanya. Sehelai daun telah menancap di dahi, antara kedua matanya dan tubuhnya yang pendek gendut itu berkelojotan sebentar lalu diam, tewas seketika. Nyonya Bu terkejut sekali dan terbelalak memandang mayat kepala gerombolan yang menggeletak terlentang di depannya. Empat orang anak buah gerombolan itupun terkejut dan sejenak mereka hanya terbelalak memandang.

   Kemudian mereka menjadi marah sekali. Mereka mengira bahwa pemimpin mereka tentu dibunuh oleh Nyonya Bu. Maka tanpa dikomando lagi mereka berempat mencabut golok dan menyerbu ke arah wanita itu dengan golok terangkat, siap untuk membacok, dan mulut mereka mengeluarkan teriakan marah. Nyonya Bu hanya tertegun, tak mampu bergerak dan sudah pasrah karena ia tahu bahwa tidak mungkin ia melepaskan diri dari ancaman orang itu.

   "Cuit-cuit-cuit-cuitt"!"

   Empat sinar hijau menyambar dari atas dan empat orang pendajahat itu tersentak ke belakang seperti diterjang sesuatu, mulut mereka mengeluarkan teriakan mengerikan dan tubuh mereka terjengkang. seperti halnya pemimpin mereka, di dahi masing-masing menancap sehelai daun dan agaknya daun itu menanxap dalam sekali sehingga darah muncrat-muncrat, mata terbelalak, tubuh berkelonjotan sebenntar lalu terdiam.

   Mereka semua tewas seketika! Suasana yang sunyi menyeramkan menyusul peristiwa mengerikan itu. nyonya Bu hanya berdiri terbelalak, memandang lima mayat di depannya dan merasa kedua kakinya lemas. Ditahan-tahannya agar tidak roboh pingsan saking ngerinya. Tiba-tiba terdengar suara tawa aneh itu dari atas, terkekeh-kekeh.

   "Hi-hi-'heh-heh-heh-heh!"

   Nyonya Bu mendongak dan melihat nenek gila tadi sudah duduk pula di atas sebatang batang pohon, kedua kakinya yang bersepatu itu terayun-ayun dan sambil matanya rnelirak-lirik menggelikan, mulutnya tersenyum mengejek dan iapun bernyanyi dengan suaranya yang melengking tinggi sehingga terdengar aneh sekali, membuat Nyonya Bu mengkirik (berdiri bulu romanya).

   "Yang hidup harus mati agar yang mati bisa hidup Yang hidup mematikan agar yang mati menghidupkan Haya-haya.mo ya-ya-ya..."

   Nyonya Bu merasa ngeri. Apakah ia yang hidup juga akan dibunuh?

   Diam-diam ia meraba gagang pisau belati yang tadi dibawanya dari rumah untuk berjaga diri dan yang tadi belum sempat ia pergunakan karena lupa. Akan tetapi pada saat itu iapun menyadari bahwa si nenek gila itu adalah seorang yang sangat sakti, yang dapat membunuh lima orang jahat yang kuat itu hanya dengan sehelai daun! Bagaimana mungkin itu? Akan tetapi kenyataannya begitulah. Lima orang itu semua tewas hanya karena daun pohon yang menancap di dahi mereka masing-masing. Daun yang basah dan lunak! Dan bagaimanapun juga, nenek gila itu telah menyelamatkannya dari malapetaka yang mungkin lebih mengerikan daripada maut sendiri. Tiba-tiba dalam keputus-asaannya tadi, dalam kesendiriannya, ia seperti mendapatkan pegangan kuat. Mengapa tidak? Cepat Nyonya Bu menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah nenek yang duduk di atas pohon itu.

   "Bibi yang sakti... bibi yang budiman..." "Hushh!"

   Nenek itu memotong dengan marah.

   
Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Memangnya aku ini bibimu? Kapan aku kawin dengan pamanmu? Hihi-heh-heh-heh! Kurang ajar kamu! Aku ini Kui-bo (Biang Hantu), sebut aku Kui bo atau... kamu ingin menernani lima orang itu?"

   Cuiiiitt...! Sinar hijau neluncur dan sehelai daun rnenancap di atas batu dekat Nyonya Bu. Wanita ini terbelalak pucat. Sehelai daun dapat nenancap dalarn sebuah batu yang keras! mustahil, akan tetapi kenyataannya demikian! "Kui-bo...!"

   Nyonya Bu menyembah berulang-ulang.

   "Ampunkan saya. Saya menghaturkan beribu terima kasih..." "Tidak cukup! Sepatutnya berlaksa!"

   Nenek itu terkekeh lagi.

   "Dasar gila", pikir Nyonya Bu. Apa boleh buat, ia harus menaati perintah nenek gila itu.

   "Baiklah, Kui-bo. Saya menghaturkan berlaksa terima kasih atas pertolongan Kui-bo menyelamatkan saya dari ancaman orang jahat ini." "Huh, siapa jahat? Mereka itu bukan jahat, melainkan gila ya, gila basah"

   Nenek itu kembali tertawa terkekeh-kekeh sehingga biarpun merasa ngeri, akan tetapi Nyonya Bu juga rnerasa lucu sekali.

   "Heh, kenapa engkau tidak. tertawa? Engkau tidak senang ya melihat aku tertawa?"

   Nenek itu membentak marah dan Nyonya Bu terkejut sekali, akan tetapi tentu saja ia tidak tahu harus berbuat apa. Untuk tertawa ia takut kalau-kalau disangka mentertawakan nenek itu, kalau tidak, nenek itu marah-marah dan menyangka ia tidak suka melihat nenek itu tertawa. Sungguh serba salah.

   "Ti... tidak, Kui-bo... tentu saja aku senang melihat engkau tertawa."

   Akhirnya Nyonya Bu berkata membela diri.

   "Kalau senang, mengapa tidak ikut tertawa? Hemm, aku mau membuat engkau ikut tertawa sampai puas!"

   Setelah berkata demikian, nenek itu tertawa lagi, akan tetapi sekarang suaranya berbeda, terdengar aneh sekali, mengikik seperti bukan suara manusia Dan tiba-tiba terjadi keanehan nyonya Bu tiba-tiba tertawa bergelakada sesuatu yang membuat ia harus tertawa, seolah perutnya digelitik. Ia hendak bertahan, akan tetapi tidak mampu dan iapun tertawa bergelak, lalu terkekeh-kekeh, merasa geli bukan main sampai ia menekuk pinggangnya, membungkuk-bungkuk sambil menekan perutnya, terus tertawa terpingkal-pingkal.

   "ha ha ha... heh heh... hi hi hih... aduuhh... ampun... ha ha ha... he he he... ampun, Kui-bo... hi hi hi...?"

   Tiba-tiba tubuh nenek itu melayang turun dari atas pohon dan sekali ia menepuk punggung Nyonya Bu, wanita itu berhenti tertawa.

   Tubuhnya terasa lemas dan iapun terkulai ke atas tanah, lalu menangis terisak-isak, sesenggukan Sikap nenek itupun berubah seketika Ia berhenti terkekeh, lalu berloncat-loncat seperti anak kecil bermain-main ia mengitari Nyonya Bu, kemudian melihat betapa wanita itu tetap saja menangis sedih, nenek itu tiba-tiba mendekam di samping Nyonya Bu dan ikut pula menangis. Tangisnya amat lantang, berkaok-kaok seperti anak kecil digebuk! Mendengar tangis ini, Nyonya Bu yang sedang berduka karena teringat akan nasibnya yang buruk, menjadi terkejut dan heran. Ia berhenti menangis. Saking herannya dan mengangkat muka memandang ke arah nenek yang menangis berkaok-kaok itu. Ia terbeialak melihat nenek itu rnenangis sungguh-sungguh bukan sekedar berteriak-teriak, melainkan juga air matanya bercucuran.

   "Kui-bo..., kenapa engkau menangis?' Nyonya Bu yang lupa kesedihannya dan tangisnya berhenti sama sekali, bertanya merasa kasihan.

   Nenek itu menghentikan tangisnya dan mengambil sehelai saputangan dari balik ikat pinggangnya, lalu menyusut hidungya dengan suara nyaring.

   "Heh? Engkau bertanya mengapa aku menangis? Tanyalah kepada dirimu endiri, kenapa engkau menangis, karena aku menangis hanya mengikutimu saja."

   Nyonya Bu menghela napas. Ia maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang nenek gila, akan tetapi nenek gila yang amat lihai. Nenek gila yang sakti, yang membunuh banyak orang dengan begitu mudahnya, hanya mengguakan daun-daun! Iamengerling ke arah mayat-mayat itu dan bergidik.

   "Kui-bo, aku merasa ngeri sekali melihat mayat-mayat itu. Marilah kita pergi ke tempat lain untuk bicara dan akan kuceritakan mengapa aku bersedih dan menangis."

   Nenek itu menoleh ke arah mayat-mayat dan ia terkekeh. Tertawa dengan air mata masih membasahi mata dan pipinya.

   "Heh-heh-heh, kenapa ngeri?

   Ketika mereka masih hidup dan dapat bergerak sekalipun, tidak mengerikan. Kenapa setelah mati dan tidak mampu apa-apa lagi, mereka mengerikan? Kenapa manusia takut kepada orang mati? Heh-heh-heh, alangkah tololnya. Kalau. kau merasa ngeri, hayo kita pergi ke tempat lain."

   Tiba-tiba nenek itu mengulurkan tangan kirinya dan menangkap lengan kanan Nyonya Bu, ditariknya dan diajaknya pergi.

   "Nanti dulu, Kui-bo. Kudaku... Nyonya Bu menengok ke arah kudanya yang masih makan rumput.

   "Heh-heh, kuda? Untuk apa?"

   Nenek itu berhenti dan bertanya heran.

   "Untuk apa? Tentu saja untuk ditunggangi. Untuk apa lagi?"

   Tanya nyonya Bu, tidak kalah herannya walaupun ia sudah tahu bahwa nenek itu berotak miring.

   "Bodoh! Tolol banget kamu!"

   Nenek dan memaki.

   "Apa engkau tidak rnernpunyai kaki? Hayo jawab, apa engkau tidak mempunyai kaki?"

   Nenek itu memegang pundak Nyonya Bu dan rnengguncangnya.

   "Eh... eh, punya, Kui-bo, punya..." "Nah, kalau punya kaki, untuk apa kakimu itu? Mengapa untuk berjalan saja, harus meminjam kaki kuda. Malas kau! bodoh kau!"

   Nenek itu menarik lagi lengan Nyonya Bu, diajak pergi.

   "Ya... ya..., kuda boleh ditinggal, kan tetapi buntalanku itu, berisi pakaian dan uang " "Untuk apa pakaian dan uang? Kalau butuh itu, ambil saja dari mereka yang nemiliki berlebihan. Sudah, jangan cerewet. Kutampar nanti kau!!"

   Nyonya Bu tidak berani bicara lagi dan membiarkan dirinya diseret oleh nenek itu menjauhi tempat di mana mayat-mayat itu menggeletak. Nenek itu berhenti di bawah sebuah pohon besar, melepaskan tangan Nyonya Bu dan duduk di atas sebuah batu.

   "Hayo duduk dan ceritakan rnengapa tadi engkau menangis!"

   Katanya. Nyonya Bu duduk dan tidak berani membantah. Nenek gila ini berbahaya sekali, pikirnya. Kalau tidak dituruti permintaannya, mungkin saja ia dibunuh.

   Kalau hanya dibunuh masih mending, bagaimana kalau ia disiksanya? ia bergidik ngeri. Maka berceritalah ia dengan sejujurnya.

   "Aku bernama Nyonya Bu, delapan belas tahun yang lalu, suamiku tewas dalam perang dan aku rnenjadi tawanan lalu dipaksa menjadi isteri Thio-ciangkun dan tinggal di kota Keng-koan." "Mengapa suamimu tewas perang?" "Suamiku bernama Bu Kiat dan menjadi seorang perwira dalam pasukan Jenderal Gouw Sam Kwi menentang penyerbuan pasukan Mancu."

   Nenek itu melompat turun dari batu dan berjingkrak menari-nari.

   "Heh-heh, bagus, bagus! Kalau begtu suamimu itu masih rekan seperjuanganku... Heh-heh-heh!"

   Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti tertawa dan menari, lalu bertanya kepada Nyonya Bu, nadanya penuh teguran.

   "Eh, siapa itu Thio-ciangkun?"

   Dengan terus terang Nyonya Bu menjawab.

   "Thio Ciangkun (Perwira Thio) adalah Thio Ci Gan, akan tetapi dia setulnya adalah Pangeran Abagan."

   "Hee? Seorang pangeran Mancu?" "Benar, kui-bo." "Keparat! Dan engkau lalu menjadi isterinya setelah suamimu tewas?"

   Tiba-tiba tangan kiri nenek itu mencengkeram leher Nyonya Bu. Nyonya Bu yang sudah merasa putus asa hidup di dunia ini menjadi nekat "Hik-hik!"

   La terkekeh walaupun lehernya dicekik.

   "Mau bunuh aku? Lekas bunuh, akupun tidak suka lagi hidup di dunia ini bunuhlah, kui-bo!"

   Aneh sekali. Ditentang begitu nenek malah hilang marahnya. Ia melepaskan cekikannya dan mengomel.

   "Tak tahu malu, suaminya yang pejuang terbunuh malah menjadi isteri orang Mancu! Huh, wanita macam apa kau ini!"

   Teguran seperti itu lebih menyakitkan daripada kematian sekalipun. Wajah Nyonya Bu menjadi merah. Ia turun dari atas batu dan dengan dada membusung ia menentang pandang mata nenek itu dan berkata lantang.

   "Kui-bo, jangan sembarangan saja menuduh. Kalau saja tidak ada hal yang memaksaku, sampai matipun aku tidak sudi menjadi isteri pangeran Mancu.

   Akan tetapi aku terpaksa. Aku tertawan bersama anak tunggalku, anak perempuan yang baru berusia dua tahun. Kalau aku menolak, tentu anakku itu akan dibunuh! Demi menyelamatkan anakku maka terpaksa aku mengorbankan diri menjadi isteri Pangeran Mancu itu."

   Nenek itu mengangguk-angguk, agaknya otaknya yang miring itu dapat memahami hal ini. Tiba-tiba ia menjadi marah.

   "Di mana pangeran Mancu iblis laknat itu kini berada? Akan kuhancurkan kepalanya?" "Percuma, Kui-bo. Dia sudah mampus." "Eh? Siapa yang lancang mendahului aku membunuhnya? Akan kuhajar pembunuh lancang itu. Dia mengecewakan hatiku!"

   Nenek yang miring otaknya itu mencak-mencak marah. Nyonya Bu menghela napas panjang. dasar orang gila, pikirnya, bicaranya tidak karuan.

   "Tidak ada gunanya, kui bo. Pembunuhnya juga sudah mati."

   Nenek itu memandang dengan mata terbelalak dan tampak bingung.

   "Heh? bagaimana ini? Lalu siapa yang harus kubunuh? Apa yang terjadi, Nyonya Bu?" "Begini, Kui-bo. Setelah anakku itu berusia dua puluh tahun, ia menikah dengan seorang pendekar bernama Lauw leng San. Pendekar itu terbujuk oleh Thio-ciangkun"" "Huh, nama palsu. Sebut saja Pangean Abagan!"

   Bentak nenek itu.

   "Lauw Heng San yang menjadi mantuku itu terbujuk oleh Pangeran Abagan. Dia mengira bahwa Pangeran Abagan adalah seorang ayah mertua dan pembesar yang baik. Maka diapun ikut dan membantu para pembesar untuk menlumpas para pejuang yang menentang pemerintah Mancu dan menganggap mereka itu pengacau dan penjahat" "Wah, tolol benar mantumu itu, Mantu apa itu, pecat saja dan ceraikan dari anakmu!"

   Nenek itu kembali rnarah dan kalau marah sinar matanya mencorong seperti mata kucing di waktu malam gelap.

   "Nanti dulu, Kui-bo, kulanjutkan ceritaku.

   Mantuku itu kemudian menyadari bahwa Pangeran Abagan adalah orang Mancu yang jahat, bahkan ia men dengar bahwa Pangeran Abagan membunuh banyak pendekar pembela negara dan bangsa. Maka, kemarin, Lauw Heng San mengamuk, dikeroyok para jagoan anak buah Pangeran Abagan. Heng San mengamuk, banyak jagoan dibunuhny, dan dia akhirnya mati saling bunuh dengan Pangeran Abagan. Melihat keributan ini, aku melarikan diri naik kuda, tidak tahu ke mana perginya puteriku yang melarikan diri lebih dulu. Sampai akhirnya aku tiba di sini bertemu denganmu, Kui-bo. Ahh, rasanya aku lebih baik mati saja. Sejak suamiku, Bu Kiat, tewas, nasib diriku terus dirundung malang. Harapanku satu-satunya hanya pada puteriku. Kalau puteriku berbahagia, akupun reia berkorban dan menanggung kesengsaraan. Akan tetapi sekarang"

   Ah, lebih baik aku mati saja, Kui-bo""

   Nyonya Bu menangis iagi.

   "Stop, stop! Jangan menangis lagi, nanti aku ikut menangis. Kau ingin mati? tidak tahan hidup lagi? Pengecut, penakut, tidak pantas kau menjadi isteri seorang pendekar patriot seperti Bu Kiat apa kau tidak ingin membalas kejahatan perwira anjing Mancu?" "Aduh, Kui-bo, bagaimana mungkin? Aku hanya seorang wanita yang Ielah dan sudah mulai tua. Tentu saja aku ingin membasmi penjajah Mancu yang telah membunuh suamiku dan kini membuuh mantuku dan membuat puteriku melarikan diri entah ke mana. Hidupku sengsara semenjak bangsa Mancu menjajah tanah air kita. Aku ingin membalas lendam, akan tetapi bagaimana?" "Ho-ho-heh-heh, dasar perempuan goblok! Lihat aku ini. Apa aku ini kurang tua? Akan tetapi aku sudah membunuh banyak anjing Mancu. Jadilah muridku dan engkau akan dapat membunuh banyak musuh!"

   Mendengar ini, Nyonya Bu ialu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki nenek itu.

   "Su-bo (Ibu guru), te-cu (murid) suka sekali kalau Subo sudi mengajarkan ilmu kepada te-cu" "Hemm, kalau engkau benar-benar ingin menjadi muridku, mulai sekarang engkau harus tunduk dan taat kepadaku, melaksanakan semua perintahku, Engkau sanggup?" "Te-cu sanggup, su-bo!" "Nah, perintahku yang pertama. Mulai saat ini engkau tidak boleh menyebut Subo kepadaku. Sebut saja Kui-bo karena aku dikenal sebagai Pek-sim Kui-bo (Biang Iblis Berhati Putih). Dan aku akan tetap menyebutmu Nyonya Bu!" "Baik, Kui-bo."

   Kata Nyonya Bu dengan sikap taa t. Ia tahu bahwa gurunya ini seorang nenek yang sakti sekali akan tetapi wataknya aneh, seperti orang gila. Kalau tidak di turuti kehendaknya, bisa repot dan berbahaya sekali. Mungkin ia akan dibunuhnya seketika. Nyonya Bu tidak tahu bahwa nenek itu, biarpun seperti orang gila, namun ia dapat membunuh dengan kejam hanya kepada orang jahat, dan tidak pernah mengganggu orang baik-baik, bahkan selalu menolong orang yang tertindas.

   Karena itu dunia kangouw (sungai telaga, persilatan) memberinya julukan Biang Iblis Berhati Putih.

   "Bagus! Nah, sekarang marl kita pergi."

   Pek-sim Kui-bo memegang tangan Nyonya Bu dan membawanya berlari. Nyonya Bu terkejut bukan main. ia menggerakkan kedua kakinya untuk ikut berlari, akan tetapi tiba-tiba ia merasa tubuhnya terangkat, kedua kakinya tidak menyentuh tanah, akan tetapi tubuhnya meluncur dengan cepatnya. ia melihat nenek itu berlari cepat sekali dan ia merasa seolah dirinya dibawa terbang! Setelah matahari condong ke barat, barulah Pek-sim Kui-bo berhenti. Mereka. telah berlari jauh sekali, melewati dua buah bukit dan keluar masuk beberapa buah hutan besar. Ketika Pek-sim Kui-bo berhenti di sebuah hutan, ia melepaskan tangan Nyonya Bu dan sambil menengadahkan mukanya ke atas, hidungnya kembang-kempis mencium-cium.

   

Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini