Ceritasilat Novel Online

Suling Pusaka Kumala 11


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 11



Akan tetapi pagi hari itu dia tidak merasa lapar dan di dalam buntalannya masih tersimpan lima buah kueh bak-pao yang dibelinya semalam di dusun terakhir yang dilewatinya. Tiba-tiba telinganya menangkap suara nyanyian. Dia menahan langkahnya dan memandang ke arah datangnya suara nyanyian itu. Nyanyian lagu sederhana dan dengan suara yang sederhana pula. Penyanyinya seorang yang bersahaja pula. Seorang petani berusia kurang lebih empat puluh tahun tanpa baju, hanya bercelana hitam sebatas lutut.

   Bajunya yang ditanggalkan itu berada di atas sebuah batu besar di luar ladang yang sedang dicangkulnya. Dia bekerja dengan tenang, lengan rajin dan seenaknya sambil bernyanyi-nyanyi. Han Lin terpesona. Pagi yang indah itu tampak semakin berseri. Karena tertarik, diapun berhenti dan duduk di bawah sebatang pohon, melihat petani itu bekerja seperti suatu pemandangan yang indah sekali. Sebetulnya suatu pemandangan yang biasa saja, dapat dilihat di mana saja setiap hari. Akan tetapi entah mengapa, bagi Han Lin pemandangan itu menyentuh perasaannya dan membuatnya terharu. Petani miskin bernyanyi-nyanyi sambil bekerja!

   Seorang wanita petani berusia tiga puluh tahun lebih berjalan menghampiri tempat bekerja petani itu. Dia membawa sebuah keranjang berisi makanan dan ninuman. Petani itu berhenti bernyanyi dan menunda pekerjaannya, mencuci tangan dan kakinya di solokan kecil di tepi ladang. Kemudian menghampiri isterinya yang telah mengeluarkan mangkok, panci-panci tempat nasi dan sayuran, juga cangkir dan poci minuman.

   "Kebetulan engkau datang, perutku memang sudah mulai bernyanyi."

   Kata suami itu sambil mengangkat sebuah mangkok.

   "Karena itu aku dengar tadi engkau bernyanyi."

   Kata sang isteri sambil mengambilkan nasi yang ditampung di mangkok yang dipegang suaminya.

   "Aku bernyanyi untuk melupakan rasa laparku."

   Kata pula suami itu sambil tertawa dan isterinyapun ikut tertawa.

   Tawa mereka begitu lepas dan terbuka dan Han Lin yang menyaksikan serta mendengarkan itu semua, ikut tersenyum senang. Petani itu lalu makan, dilayani isteri nya. Dari tempat dia duduk Han Lin melihat betapa makanan itu amat sederhana. Nasi dengan hanya satu macam masakan sayur. Dan minumnya itupun hanya air jernih! Akan tetapi petani itu makan dengan lahapnya dan kelihatan nikmat sekali.

   Itulah orang berbahagia! Itulah keluarga bahagia! Demikian Han Lin berpikir Dalam bekerja berat, bernyanyi, itu tardanya bahagia. Makan begitu bersahaja tampak demikian lezat dan nikmat. Demikianlah orang yang sudah merasa cukup segala-galanya. Karena merasa penasaran bagaimana orang yang miskin seperti petani itu dapat hidup berbahagia, setelah petani itu selesai makan dan isterinya sudah pergi membawa tempat makanan kosong, dia lalu bangkit dan menghampiri petani yang masih duduk mengaso itu. Melihat sedang pemuda yang juga berpakaian seperti petani namun pakaiannya bersih, petani itu lalu mengangguk dan tersenyum.

   "Siauwte (adik laki-laki), hendak ke manakah?"

   "Aku melihat twako (kakak laki-laki) dan merasa tertarik sekali. Ingin aku bercakap-cakap sebentar dengan twako kalau kiranya tidak mengganggu pekerjaan twako."

   "Ah, tidak. Aku bekerja tidak tergesa gesa. Hujan belum akan turun sebelum lewat bulan ini dan aku pasti akan merampungkan pencangkulan ladangku ini belum hujan turun. Marilah kita bercakap-cakap kalau engkau menghendaki.dari logat bicaranya seperti bukan orang sini, siauwte. Dari manakahengkau?"

   "Benar, twako. Aku datang dari daerah utara sana. Aku tertarik melihat engkau bekerja dan makan tadi. Twako apakah engkau dapat menjawab pertanyaanku ini?"

   "Pertanyaan apakah, siauwte?" "Berbahagiakah hidupmu, twako?"

   Mendengar pertanyaan itu, si petani termenung dan mengerutkan alisnya seperti menghadapi pertanyaan yang sukar dimengerti dan sukar pula dijawab.

   "Bahagia? Apakah itu, siauwte?"

   Kini berbalik Han Lin yang termenung. Dia belum pernah mempertanyakan kepada diri sendiri apakah bahagia itu.

   "Bahagia itu......"

   Dia menjawab dengan sukar sekali.

   "Eh....., yaitu kalau engkau selalu merasa senang dalam hidupmu tidak pernah merasa susah dan khawatir, tidak kekurangan sesuatu, merasakan damai dan tenteram lahir batin..... pendeknya, ya berbahagia begitulah."

   Petani itu masih mengerutkan alisnya "Sukar benar. Aku tidak mengerti apa bahagia itu dan bagaimana rasanya, bahkan tidak membutuhkan bahagia yang tidak kukenal itu. Akan tetapi aku selalu merasa senang. Tanah yang kugarap ini milikku sendiri, dan tanahnya subur. Hanya cukup untuk makan aku bersama isteri dan dua orang anakku. Isteriku seorang wanita yang baik dan anak-anakku juga penurut. Apalagi yang kubutuhkan?"

   Han Lin tersenyum. Kini dia melihat kenyataan dari pelajaran yang seringkali di dengarnya dari Bu-beng Lo-jin dan Cheng Hian Hwesio. Inilah contoh atau buktinya seorang yang berbahagia, yaitu orang yang telah dapat menerima segala-keadaan sebagaimana adanya tanpa mengharapkan apa-apa! Tidak mengharap-kan apa-apa yang dibayangkannya lebih pada apa yang ada! Apa yang ada itu-Kebenaran. Apa yang ada dan yang jadi itulah Kekuasaan Tuhan. Orang seperti petani yang sederhana ini adalah orang yang hidup selaras dengan kekuasaan Tuhan, tidak dipengaruhi nafsu akan menyeretnya untuk mengejar-ngejar kesenangan, untuk mencari apa apa yang lebih daripada apa yang ada yang dianggapnya tentu akan lebih menyenangkan.

   Petani itu minum air putih yang jernih dengan hati akal pikiran terbebas daripada nafsu. Kalau nafsu mengusik hatinya dan timbul keinginan untuk minum air teh atau arak, tentu seketika air putih itu akan menjadi hambar dan tidak enak dan timbullah kecewa dan penyesalan. Demikian pula dengan makanan yang sederhana itu. Kalau di waktu makan nasi dan sayur itu nafsunya mempengaruhi pikirannya sehingga dia menginginkan makan paha ayam atau dagi sapi, tentu seketika nasi sayur itu tak terasa tidak enak dan dia mungkin akan marah-marah kepada isterinya. Jadi jelasnya, kebahagiaan itu sebenarnya, seperti juga Tuhan, sudah selalu ada pada diri kita masing-masing. Hanya karena nafsu menguasai, nafsu yang mendorong kita untuk mengejar-ngejar kesenangan, maka kita tidak merasakan bahwa kebahagian sudah ada pada kita setiap saat.

   Kesehatan adalah kebahagiaan. Kesehatan ada pada diri kita setiap saat, akan tetapi kita masih mencarinya ke mana-mana. Bagaimana mungkin kita bisa mendapatkannya? Kesehatan SUDAH ada ada diri kita. Kalau kita merasa tidak sehat, hal itu tentu ada penyebabnya, yaitu penyakit. Kalau penyakit itu sudah dihilangkan, maka kesehatan itu ada. akan tetapi, siapakah di antara kita yang SADAR akan kesehatannya? Demikian pula kebahagiaan.

   Kebahagiaan sudah ada pada kita setiap saat, seperti petani sederhana itu. Kalau kita merasa tidak bahagia, jangan mencari kebahagiaan, melainkan carilah sebabnya mengapa kita merasa tidak berbahagia. Kalau penyebab atau halangan kebahagiaan itu dapat disingkirkan, maka kita SUDAH BERBAHAGIA! Seperti petani itu, dia tidak mempunyai sesuatupun yang menutup atau menghalangi kebahagiaan, dengan menerima apa adanya, menerima kenyataan, menerima keputusan atau kehendak Tuhan, maka dia sudah berbahagia, walau- mungkin dia tidak tahu apa itu kebahagiaan! kebahagiaan adalah suatu keadaan diri lahir batin, karenanya tidak bisa dibuat buat, tidak bisa dicari-cari. Tepat sekail ujar-ujar nabi Khong Cu dalam kita Tiong-yong pasal empat dan lima yang berbunyi seperti berikut:

   "Hi Nouw Al Lok Ci Di Hoat, Wi Ci Tiong. Hoat si Kai Tiong Ciat, Wi Ci Hoo. Tiong Ya Cia, Thian He Ci Tai Pun Ya. Hoo Ya Cia, Thian He Ci Tat Too Ya. Ti Tiong Hoo, Thian Tee Wi Yan, Dan Dut Yok Yan."

   Artinya :

   "Sebelum timbul Senang, Marah, Duka dan Gembira, keadaan itu disebut Dalam Imbangan Jejak (Seimbang) Apabila pelbagai perasaan itu timbul namun mengenal batas, keadaan itu disebut Keselarasan. Keseimbangan Jejak ini adalah Pokok Terbesar dunia. Keselarasan adalah Jalan Utama sesuai dengan Kekuasaan Tuhan. Apabila Keseimbangan Jejak dan Keselarasan dapat dilaksanakan dengan sempurna, kebesaran abadi akan meliputi seluruh langit dan bumi."

   Han Lin mengangguk-angguk sambil melamun. Pantas saja kedua orang guru-nya itu selalu menganjurkan agar dia selamanya menjaga agar dirinya selalu berada dalam Keseimbangan Jejak, dalam arti kata tidak diseret oleh nafsu-nafsunya sendiri dan dalam Keselarasan, dalam arti kata selaras dengan kenyataan apa adanya, sehingga dalam keadaan yang bagaimanapun dia waspada bahwa semuanya itu ada yang mengatur, bahwa Kekuasaan Tuhan selalu bekerja dan berkuasa di manapun juga. Inilah yang dinamakan Penyerahan. Menyerah terhadap kekuasaan Tuhan yang Maha Bijaksana. Tentu saja penyerahan dalam arti kata yang sehat, yaitu tidak melupakan ikhtiar lahiriah. Berikhtiar berlandaskan penyerahan.

   "He, siauwte. Engkau sedang mengapa?"Tiba-tiba petani itu bertanya heran.

   Han Lin balas memandang deng heran pula.

   "Aku mengapa?"

   "Engkau sejak tadi hanya mengangguk-angguk dan tersenyum -senyum seorang diri. Apa sih yang membuat engkau bersikap seaneh itu?"

   Han Lin bangkit berdiri dan menjura "Aku sedang mempertimbangkan dan melihat kenyataan bahwa engkau seorang yang berbahagia, twako. Terima kasih atas keramahanmu."

   Dia lalu membalikan tubuhnya dan pergi dari situ dengan perasaan ringan.

   Petani itu memandang dan mengikuti bayangannya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Aneh. Pemuda yang aneh. Bahagia?"

   Dia menggerakkan pundaknya, Ia berjalan ke tengah ladang, memegang dan mengayun cangkulnya kembali. Setengah belahan tanah oleh ayunan cangulnya mendatangkan perasaan puas dan senang dalam hatinya sehingga sebentar saja dia sudah melupakan pemuda aneh itu. Han Lin melanjutkan perjalanan dengan hati gembira. Dia telah menemukan bukti pelajaran tentang hidup yang amat penting. Pelajaran tentang kehidupan tidak ada artinya sama sekali kalau tidak dapat menghayati dan pengertian hanya mengambang kalau kita tidak menemukan bukti.

   Han Lin mendaki lereng di pegunungan itu. Sungai Fen-ho mengalir di bawah sana. Dia tidak dapat lagi menyusuri tepi sungai karena di bagian itu tepinya Merupakan dinding bukit yang terjal. dan lereng itu penuh dengan pohon-pohon besar. Tiba-tiba telinganya mendengar suara orang dari dalam hutan dan dia cepat memasuki hutan dan menuju ke arah suara itu. Dia bersembunyi di balik sebatang pohon besar ketika melihat tiga orang laki-laki kasar tinggi besar sedang mengepung seorang gadis yang berpakaian sutera putih. Gadis itu cantik sekali, berkulit putih mulus dan kedua pipinya kemerahan karena sehatnya. Gerak-geriknya lembut dan biarpun dikepung tiga orang laki-laki kasar yang sikapnya mengancam ia tampak tenang saja. Sepasang matanya seperti mata burung Hong, indah dan tajam pandangannya namun lembut. Hidungnya kecil mancung dan mulutnya berbentuk indah dengan bibir yang selalu tersenyum ramah. Di punggungnya ia mengendong sebuah buntalan kain kuning yang besar. Pinggangnya ramping dan kedua kakinya mengenakan sepatu kulit yang mengkilat, berwarna hitam.

   "Saudara-saudara, apa yang kalian kehendaki maka kalian menghadang perjalananku? Harap suka minggir dan memberi jalan kepadaku,"

   Kata gadis itu dengan suara halus.

   Han Lin tersenyum. Terdengar aneh sekali. Gadis itu bicara dengan sikap sopan dan lembut, padahal sekali pandang saja dia dapatmenduga bahwa tiga orang laki-laki itu bukan orang baik-baik! Tiga orang laki-laki itu saling pandang dan menyeringai. Agaknya merekapun heran disapa sedemikian lembutnya oleh gadis itu. Sepatutnya gadis itu menangis Ketakutan dan minta ampun!

   "Ha-ha-ha, tadinya kami menghendaki buntalanmu itu, akan tetapi melihat dirimu yang jauh lebih berharga dari segala macam harta, maka kami mengajakmu untuk hidup bersama kami. Kami tanggung hidupmu akan kecukupan dan terlindung. Lihat, engkau berada di tangan orang kuat, nona."

   Pembicara itu, yang mukanya brewok, menggerakkan tangan kanannya, miring menghantam sebatang pohon sebesar paha orang dewasa seperti dibacokkan, terdengar suara keras dan pohon itupun tumbang! Akan tetapi agaknya demonstrasi tenaga kuat itu tidak mendatangkan kesan kepada gadis itu. Ia menggeleng kepalanya.

   "Maaf, saudara. Aku seorang perantau yang tidak ingin terikat oleh siapa dan apapun juga. Tugasku amat banyak, yaitu menolong dan mengobati orang-orang yang dilanda sakit, mengusir wabah yang sedang melanda dusun-dusun karena itu biarkanlah aku lewat. Kebaikanmu tentu akan mendapat berkah dari Thian (Tuhan)."

   "Teng-ko, kenapa mesti banyak cakap? Tubruk dan pondong saja!"

   Kata orang ke dua yang mukanya pucat kuning sambil tertawa. Si brewok juga tertawa. akan tetapi tiba-tiba, tanpa memberi peringatan, dia sudah menubruk ke arah gadis itu dengan kedua lengan dipentang lebar, siap untuk merangkul dan menangkap!

   Han Lin mengerutkan alisnya, akan tetapi kerut alisnya hilang lagi dan dia tersenyum melihat betapa gadis itu dengan langkah yang ringan dan teratur baik telah dapat mengelak sehingga tubrukan itu luput! Kiranya gadis lemah itu bukan tidak memiliki kepandaian. Dari gerakannya yang ringan dan gesit. mudah diduga bahwa ia memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang lumayan. Si brewok terbelalak dan menjadi penasaran. Bagaikan seekor biruang yang berdiri di atas kaki belakangnya, dia berbalik dan kini menubruk lagi sambil membuka lengan untuk menghalangi gadis itu mengelak. Akan tetapi kembali tubrukannya tidak berhasil karena gadis itu meloncat ke belakang.

   "Hayo kalian bantu aku menangkap gadis ini!"

   Si brewok berseru kepada dua orang kawannya dan mereka bertiga menghadang dari tiga jurusan dengan kedua lengan terpentang lebar, siap untuk menangkap dan merangkul gadis itu. Melihat ini, Han Lin tidak dapat tinggal diam lagi. Dia melompat keluar dari tempat persembunyiannya dan berlari menghampiri mereka.

   "Hei, kalian bertiga! Tidak malukah tiga orang laki-laki mengganggu seorang gadis terhormat?"

   Tegur Han Lin kepada tiga orang itu.

   Si brewok dan dua orang kawannya itu terkejut mendengar teguran ini dan mereka cepat memutar tubuh menghadapi Han Lin. Akan tetapi orang-orang seperti mereka yang terbiasa memaksakan kehendak dan mempergunakan kekerasan, mana dapat sadar mendengar teguran orang? Bukan teguran itu membuat mereka marah dan menganggap pemuda itu usil mencampuri urusan mereka dan lancang mulut mengeluarkan kata-kata yang mereka anggap menghina. Si brewok menudingkan telunjuk kanannya ke arah muka Han Lin dan membentak dengan suara kasar.

   "Bocah lancang mulut! Berani engkau mencampuri urusan kami? Hayo serahkan buntalanmu itu dan berlutut minta ampun, baru mungkin kami dapat mengampuni dan tidak membunuhmu!"

   Han Lin tersenyum.

   "Hemm, sekaran aku mengerti. Kiranya kalian adalah perampok-perampok dan pengganggu wanita. Orang-orang seperti kalian patut dihajar!"

   "Bocah setan, kau sudah bosan hidup!"

   Si brewok menerjang ke depan dan kepalan tangan kirinya yang sebesar kepala orang itu sudah menyambar ke arah Han Lin. Orang itu ternyata memiliki tenaga yang besar sekali dan pukulannya menyambar bagaikan peluru kc arah muka Han Lin. Pemuda itu mengelak dengan mudah sehingga pukulan itu hanya mengenai tempat kosong. Akan tetapi dua orang perampok yang lain sudah menyerang pula dengan dahsyatnya dan ternyata merekapun bertenaga besar dan dapat bergerak cepat. Akan tetapi, kecepatan mereka itu tidak ada artinya bagi Han Lin. Kembali hanya dengan beberapa langkah berputar dia sudah dapat menghindarkan diri dari serangan mereka. Si brewok yang penasaran melihat pukulannya dapat dielakkan sudah menyerang lagi dengan pukulan beruntun, tangan kiri memukul kepala dan tangan kanan mencengkeram ke arah perut. Menghadapi serangan maut yang berbahaya ini, Han Lin merendahkan tubuh sehingga pukulan ke arah kepalanya lewat di atas kepala dan cengkeraman ke arah perutnya itu dia tangkis dengan tangan kiri sambil menotok ke pergelangan tangan kanan lawan.

   "Tukk!"

   Seketika tangan kanan si brewok menjadi kejang dan pada saat itu Han Lin sudah menggerakkan kakinya menendang. Si brewok roboh terjengkang. Dua orang kawannya menerjang, akan tetapi merekapun roboh terjengkang disambar tendangan kaki Han Lin. Ketiganya merasa pening dan sakit perut, akan tetapi mereka merangkak bangun sambil menghunus golok mereka. Kini dengan wajah beringas penuh ancaman mereka mengepung Han Lin. Han Lin melirik ke arah gadis itu. Gadis itu berdiri di bawah pohon, sikapnya tenang sekali dan ia menonton pertarungan itu dengan alis berkerut, agaknya hatinya tidak berkenan melihat orang berkelahi.

   Akan tetapi iapun maklum bahwa tidak mungkin menghentikan penyerang tiga orang perampok yang ganas dan kejam itu. Maka iapun hanya menonton dengan tenang karena beberapa gebrak tadi saja sudah membuat ia mengerti bahwa pemuda itu tidak akan kalah! Melihat betapa tiga orang itu mencabut golok dan mengepungnya dengan wajah beringas dan kejam, Han Lin menjadi gemas juga. Orang-orang seperti ini harus diberi pelajaran yang lebih keras, pikirnya, untuk membuat mereka menyadari bahwa banyak orang yang jauh lebih kuat dari mereka. Mengharapkan mereka akan bertaubat merupakan harapan yang terrlalu muluk, akan tetapi setidaknya hajaran keras akan membuat mereka agak jera. Diapun berdiri dengan tenang dan waspada menghadapi mereka karena dia pun tahu bahwa mereka bertiga memiliki ilmu silat yang cukup tangguh. Akan tetapi dia masih merasa cukup untuk menghadapi tiga batang golok mereka dengan tangan kosong saja.

   "Mampuslah.....!!"

   Si brewok sudah menerjang ke depan, goloknya menyambar menjadi sinar putih dan mengeluarkan suara berdesing mengarah leher Han Lin. Pemuda ini mengatur langkahnya. Selangkah saja ke kanan dan memutar tubuh dia sudah terhindar dari sambaran golok itu. Akan tetapi terdengar desing-desing lain dan dua golok yang lain juga sudah menyambarnya dari dua jurusan. Dia mempergunakan kelincahannya bergerak dan meloncat ke belakang. Tiga orang itu mengejar dan menghujani Han Lin dengan serangan golok. Demikian cepat gerakan golok mereka sehingga lenyap untuk tiga batang golok itu, berubah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar. Diam-diam Han Lin menyayangkan bahwa tiga orang yang memiliki ilmu golok yang sudah demikian tangguh, lau merendahkan diri menjadi perampok dan pengganggu wanita.

   Padahal, kalau saja mereka mau masuk menjadi tentara, mereka tentu akan memperoleh kedudukan lumayan. Gadis berpakaian putih itu menonton dengan sinar mata tajam dan waspada, iapun mengerti bahwa tiga orang perampok itu memiliki ilmu golok yang tangguh. Akan tetapi ia tidak khawatir karena tepat seperti diduganya, pemuda itu lihai bukan main. Dia dapat berkelebatan diantara tiga gulungan sinar golok, bagaikan seekor burung murai beterbangan dengan lincah sekali. Gadis itu bernapas lega dan diam-diam ia merasa kagum juga pada pemuda yang berpakaian seperti orang pemuda petani itu.

   Si brewok dan dua orang kawannya merasa penasaran bukan main. Mereka telah mengerahkan tenaga dan mengerahkan semua ilmu golok mereka menyerang bertubi-tubi, akan tetapi golok mereka seperti menyerang bayangan saja. Tidak pernah golok mereka mengenai sasaran bahkan tidak pernah dapat menyentil ujung baju pemuda itu.

   Sebaliknya malah seringkali mereka kehilangan bayangan pemuda itu seolah-olah pemuda itu pandai menghilang? Setelah lewat tiga puluh jurus, karena pemuda itu membuat mereka berputar-putar, mereka merasa pening.

   Han Lin merasa sudah cukup mempermainkan mereka. Ketika golok si brewok menyambar ke arah tubuhnya, dia mendahului, dengan jari telunjuk kiri menotok siku kanan si brewok sehingga lengan kanannya lumpuh seketika dan Han Lin memegangi tangan kanan yang masih mengenggam gagang golok dan didorong ke arah lengan kiri lawan.

   "Crokkk....! Aduhh.....

   "

   Pangkal lengan kiri si brewok dibacok goloknya sendiri sehingga terluka parah. dan tendangan membuat tubuh si brewok terlempar dan diapun roboh terbanting, goloknya terlepas dan mencelat jauh. Dia tidak segera dapat berdiri melainkan memegang lengan kirinya sambil meringis kesakitan. Dua orang kawannya menjadi terkejut dan juga marah. Mereka memperhebat serangan mereka terhadap Han Lin. Akan tapi Han Lin tidak memberi kesempatan lagi kepada mereka. Seperti yang dilakukan terhadap si brewok tadi, diapun memaksa kedua orang perampok itu membacok lengan kirinya sendiri kemudian merobohkan mereka dengan tendangan! robohlah tiga orang itu dengan pangkal lengan luka parah. Walaupun luka itu tidak sampai mematahkan tulang, namun mengerat daging sampai ke tulang dan darah mengucur dengan derasnya! Juga tendangan yang keras dan mengenai dada mereka itu membuat dada mereka terasa sesak dan nyeri.

   Setelah Han Lin merobohkan tiga orang lawannya, dia menjadi bengong melihat pemandangan di depannya. Dia melihat gadis itu sedang merawat luka parah di pangkal lengan si brewok Dengan dua buah jari tangan, gadis itu menotok jalan darah di pundak untuk menghentikan mengalirnya darah keluar dari luka di pangkal lengan. Setelah itu ia membuka buntalannya, mengambil bungkusan obat bubuk berwarna kuning dan menaburkan obat itu ke atas luka yang menganga. Juga dari buntalannya itu ia mengambil kain putih yang bersih dan membalut luka itu kuat-kuat. Tanpa berkata-kata kepada mereka, ia merawat luka pada lengan tiga orang perampok itu dan setelah tiga orang perampok itu mendapat perawatan, ia berkata dengan lembut.

   "Luka itu jangan sampai terkena air dan setelah dua hari baru boleh pembalutnya dibuka."

   Si brewok membungkuk kepada gadis itu dan berkata,

   "Terima kasih, nona."

   Juga dua orang temannya membungkuk kemudian setelah memandang ke arah Han Lin dengan mata mengandung kebencian, mereka meninggalkan tempat itu dengan cepat, menghilang di antara pohon-pohon yang lebat.

   Han Lin yang sejak tadi berdiri bengong melihat pekerjaan gadis itu, seolah baru terbangun dari mimpi. Dia menelan ludah dan menegur dengan hati-hati.

   "Nona, tiga orang perampok itu tadi berniat buruk terhadap dirimu!"

   Gadis itu membereskan buntalannya, menggendong kembali di punggungnya, baru ia mengangkat muka memandang kepada Han Lin. Dua pasang mata bertemu pandang dan Han Lin merasa betapa lembut namun tajamnya sepasang mata gadis itu sehingga mau tidak mau dia yang lebih dulu menundukkan pandang matanya. Kemudian ia mendengar suara yang lunak halus itu.

   "Kalau begitu, mengapa?"

   "Mereka itu jahat dan engkau nyaris celaka oleh mereka, akan tetapi mengapa engkau malah membantu dan merawat luka di lengan mereka?"

   Gadis berpakaian putih itu tersenyum, seperti senyum seorang guru yang mendengar pertanyaan bodoh dari seorang murid. Senyun yang penuh pengertian, sekaligus teguran.

   Kemudian ia bicara dan suaranya yang lembut itu terdengar seperti seorang guru yang memberi pelajaran kepada seorang murid.

   "Sobat, selama bertahun-tahun aku mempelajari ilmu pengobatan dan sudah menjadi kewajibanku untuk melaksanakan pelajaran itu dalam kehidupan ini. Mereka itu terluka parah yang dapat membahayakan nyawa mereka. Tentu saja aku menolongnya. Seandainya perkelahian tadi berakibat engkau yang terluka parah, tentu akupun akan menolong dan mengobatimu."

   Entah bagaimana, mendengar ucapan gadis itu dan melihat sikapnya yang seperti menegurnya, mendadak Han Lin merasa dirinya bersalah! Bersalah telah melukai tiga orang itu! Dia merasa seolah olah gadis itu menegurnya karena dia telah melukai mereka.

   "Akan tetapi..... aku tadi..... maksudku hanya untuk menolongmu dari tangan tiga orang penjahat tadi, nona."

   "Aku tahu dan aku menghargai pertolonganmu. Agaknya karena engkau seorang pendekar yang pandai ilmu silat, maka sudah menjadi kewajibanmu untuk menentang penjahat. Akan tetapi akupun mempunyai kewajiban, yaitu mengobati orang yang menderita sakit. Kita sama-sama melaksanakan kewajiban kita, bukan? jadi, jangan persalahkan aku kalau aku mengobati mereka tadi."

   Han Lin menundukkan mukanya. Tampak nyata perbedaan antara kewajiban mereka. Tindakannya hanya menimbulkan bencian dan sakit hati di pihak tiga orang penjahat tadi, sedangkan tindakan gadis itu menimbulkan perasaan terima kasih kepada mereka!

   "Akan tetapi aku melihat tadi engkau inipun menghindarkan diri dari serangan mereka, nona. Aku yakin bahwa nona tentu juga memiliki ilmu kepandaian silat, atau setidaknya pernah belajar ilmu silat."

   "Aku belajar cukup dari guruku sekedar membela dan menyelamatkan diri."

   "Engkau ahli ilmu pengobatan, juga kau memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang lihai. Dua orang guruku, Cheng Hian Hwesio dan Bu-beng Lo-jin, pernah memberitahu kepadaku bahwa dunia kang-ouw (persilatan) terdapat orang ahli pengobatan yang budiman berjuluk Thian- beng Yok-sian (Dewa Obat Anugerah Tuhan). Apakah dia.....?"

   "Tepat sekali. Thian beng Yok-sian adalah guruku,"

   Kata gadis itu memotong kata-kata Han Lin.

   "Ah, aku girang sekali dapat berkenalan dengan murid seorang lo-cian-pwe(orang tua gagah) yang budiman itu ternyata engkau juga seorang pendekar budiman. Perkenalkan, nona, namaku Han Lin. Kalau boleh aku mengetahui namamu, nona?"

   "Namaku Tan Kiok Hwa."

   Kata gadis itu dengan singkat.

   "Nona Tan Kiok Hwa, pertemuan antara kita sungguh merupakan suatu kebetulan dan aku akan merasa terhormat dan girang sekali kalau engkau sudi menerima perkenalanku. Aku berasal dari gunung Thai-san di Puncak Bambu di mana tinggal guru-guruku. Ibuku..... sudah meninggal dunia dan ayahku.... telah lenyap sejak aku belum lahir. Aku sedang merantau untuk mencari ayahku dan mempergunakan ilmu-ilmu yang telah kupelajari untuk membela kebenaran dan keadilan. membela mereka yang lemah tertindas, menentang mereka yang jahat dan menindas. Nah, kalau engkau suka menceritakan riwayatmu, nona....."

   Gadis itu menundukkan mukanya.

   "aku sudah yatim piatu. Ayah ibuku meninggal dunia karena penyakit ketika ada wabah menyerang dusun kami di sebelah selatan Sungai Yang-se-kiang. Aku sejak berusia lima tahun diambil murid dan telah merantau dan mempelajari ilmu pengobatan."

   "Dan ilmu silat....."

   "Ya, dan ilmu silat. Akan tetapi aku mengutamakan ilmu pengobatan, Ayah ibuku meninggal karena penyakit, oleh karena itu aku merasa sudah menjadi kewajibanku untuk menolong orang-orang yang terserang penyakit dan melawan kalau ada wabah menyerang dusun kota."

   "Kalau begitu, sudah lama engkau berpisah dari gurumu?"

   Tanya Han Lin.

   "Belum begitu lama, baru kurang lebih setengah tahun. Suhu menyuruh aku turun gunung dan mempergunakan kepandaianku untuk menolong sebuah dusun yang terserang wabah demam, kemudian aku diharuskan mengambil jalan hidup sendiri memasuki dunia ramai."

   "Akan tetapi engkau seorang gadis. Banyak sekali bahaya yang mengancammu."

   "Aku tidak takut, selain aku dapat menjaga diri, juga siapakah orang yang mau mengganggu seorang ahli pengobatan yang siap untuk menolong siapa saja yang terkena penyakit?"

   Han Lin tidak menjawab melainkan cepat memutar tubuhnya karena dia mendengar suara yang tidak wajar di sebelah belakangnya. Ternyata tampak bayangan berkelebat dan seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun telah berdiri di depannya. Laki-laki itu bertubuh jangkung dan agak kurus, wajahnya merah dan jenggotnya sampai ke leher. Di punggungnya tampak gagang pedang, bajunya longgar dan lengan bajunya panjang dan lebar, seperti baju seorang pendeta. Wajahnya memperlihatkan ketenangan, akan tetapi matanya bergerak liar dan mengandung kekejaman. Dia berdiri dalam jarak empat meter dari Han Lin dan Kiok Hwa, dan matanya mengamati wajah Kiok Hwa seperti orang yang menyelidiki. Lalu pandang matanya memandangi ke arah buntalan di punggung gadis itu, setelah itu dia memandang ke arah pakaian Kiok Hwa yang serba putih.

   "Nona, apakah benar aku berhadapan dengan Pek I Yok Sianli (Dewi Obat Baju Putih)? Apakah nona yang sebulan yang lalu menolong dusun di hulu sungai dari wabah muntah berak?"

   Kiok Hwa mengangguk.

   "Yang menolong dusun itu memang benar aku, akar tetapi mengenai julukan itu, mungkin hanya panggilan orang-orang saja, aku sendiri tidak pernah mempergunakan julukan itu."

   "Bagus sekali! Ha-ha-ha, sudah hampir satu bulan aku mencarimu, ke dusun itu dan mencoba untuk mencari jejakmu. Akhirnya dapat kutemukan di sini. Nona, engkau harus ikut denganku ke rumah kami!"

   "Kenapa aku harus ikut denganmu?"

   "Engkau harus mengobati puteraku yang menderita luka keracunan yang amat parah. Marilah, nona. Engkau ikut aku ke rumah kami sekarang juga!"

   Wajah Han Lin menjadi merah dan dia melangkah maju lalu berkata dengan suara tegas namun halus.

   "Paman, di mana ada aturannya orang minta tolong dengan memaksa?"

   Laki-laki itu memandang kepada Han Lin dengan mata mencorong lalu menghardik.

   "Siapa engkau? Apamu nona ini?"

   "Bukan apa, hanya seorang kenalan baru. Akan tetapi......"

   "Kalau begitu, jangan mencampuri urusan orang lain! Atau barangkali engkau sudah bosan hidup?"

   Orang itu bersikap menantang. Han Lin menjadi penasaran sekali, akan tetapi sebelum dia menjawab, Kiok Hwa sudah menengahi.

   "Saudara Han Lin, biarkanlah. Aku mau pergi dengan paman ini untuk menolong puteranya."

   "Akan tetapi, Kiok-moi!"

   Saking gugupnya, Han Lin kelepasan menyebut gadis itu Kiok-moi (adik perempuan Kiok).

   "Engkau tidak boleh begitu saja mengikuti seorang yang sama sekali tidak kau ketahui siapa!"

   Mendengar ucapan ini, orang itu mengerutkan alisnya.

   
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Heh, pemuda dusun, Ketahuilah bahwa aku bukan orang sembarangan! Aku adalah majikan Hek-ke san (Bukit Ayam Hitam) dan orang kang ouw menjuluki aku Kim-kiam-sian (Dewa Pedang Emas)! Apa engkau ingin lehermu kupenggal dengan pedangku?"

   "Sudahlah, Paman Kim!"

   Kiok Hwa kembali melerai.

   "Maafkan sahabatku ini, Aku siap untuk mengikutimu ke rumahmu untuk mengobati puteramu. Mari kita berangkat. Lin-ko (kakak laki-laki Lin)! aku pergi dulu!"

   Dengan senyum dan pandang mata penuh kemenangan dan ejekan terhadap Han Lin, Kim Cun Wi, nama orang yang berjuluk Dewa Pedang Emas itu, melangkah pergi bersama Kiok Hwa. Langkahnya lebar dan cepat, akan tetapi dengan mudah Kiok Hwa dapat mengimbangi kecepatannya sehingga sebentar saja mereka telah pergi jauh. Han Lin berdiri tertegun dengan muka merah. Apa yang dapat dia lakukan?

   Biarpun orang itu bersikap memaksa, akan tetapi Kiok Hwa yang dipaksanya mau! Dia bahkan menjadi malu kendiri. Akan tetapi hatinya merasa kurang enak. Orang itu kelihatan seperti bukan orang baik-baik. Biarpun mengaku kebagai majikan sebuah bukit, akan tetapi sikapnya seperti orang yang biasa memaksakan kehendaknya dengan kekerasan. Kiok Hwa dapat terancam bahaya dari orang semacam itu dan dia tidak mungkin dapat membiarkannya saja tanpa bertindak. Tidak, dia tidak boleh menegakan, tidak boleh membiarkan Kiok Hwa pergi bersama orang itu tanpa dikawal, berpikir demikian, dia lalu mempergunakan ilmu berlari cepat dan melakukan pengejaran, kemudian membayangi dua orang itu dari jarak jauh. Dia melihat mereka mendaki sebuah bukit yang puncaknya dari jauh tampak seperti seekor ayam hitam. Itulah agaknya yang menyebabkan bukit itu disebut bukit Ayam Hitam.

   Padahal yang berbentuk seperti ayam hitam itu adalah sebuah hutan yang lebat. Dia membayangi terus dan akhirnya dua orang itu memasuki hutan yang lebat itu. Tak lama kemudian mereka tiba di sebuah perkampungan kecil yang berada di tengah hutan di puncak itu. Sebuah perkampungan yang terdiri dari belasan rumah mengepung sebuah rumah yang besar dan megah. Sekeliling perkampungan itu tertutupi oleh pagar tembok yang setinggi manusia dan di bagian depan pagar tembok itu terdapat sebuah pintu gapura yang besar. Kim Cun Wi dan Kiok Hwa menghilang di balik pintu gapura pagar tembok itu dan Han Lin mengambil jalan memutari pagar tembok dan meloncati pagar itu di bagian belakang perkampungan itu yang merupakan perkebunan penuh tanaman sayur-sayuran. Tanpa rasa takut sedikitpun, Kiok Hwa mengikuti tuan rumah memasuki rumah besar.Beberapa orang wanita menyambut Kim Cun Wi.Mereka adalah isteri dan dua orang selirnya.

   Begitu bertemu mereka, Kim Cun Wi segera bertanya.

   "Bagaimana keadaan Hok-ji (anak Hok)?"

   Isterinya, seorang wanita yang berusia empat puluh tahun lebih, menangis. Sambil menahan tangisnya sehingga terisak, ia menjawab.

   "Badannya bertambah panas dan dia mengigau..."

   "Sudah, jangan menangis. Aku sudah mengundang seorang tabib yang amat lihai, dan anak kita tentu akan sembuh. Marilah, Yok Sianli, mari silakan masuk dan langsung saja ke kamar anak kami."

   Kata Kim Cun Wi. Kiok Hwa merasd aneh disebut Yok Sianli (Dewi Obat), akan tetapi iapun diam saja, hanya

   (Lanjut ke Jilid 12)

   Suling Pusaka Kumala (CeritaLepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 12

   mengikuti tuan dan nyonya rumah memasuki sebuah kamar yang besar, lengkap dan mewah. Di atas pembaringan rebah seorang laki-laki muda yang berwajah pucat. Wajah itu cukup tampan, namun pucat dan bersinar kehijauan, dan tubuh yang telentang di pembaringan itu tinggi besar. Sepasang mata itu terpejam dan pernapasannya lemah.

   Melihat sekilas saja, Kiok Hwa dapat menduga bahwa pemuda itu telah keracunan hebat dan racunnya tentu mengandung hawa panas. Tanpa diminta lagi dihampirinya pembaringan dan ia menyeret sebuah kursi ke dekat pembaringan dani duduk di atas kursi. Ditariknya sebelah lengan pemuda itu, diperiksanya denyut nadinya dan ia mengerutkan alisnya. Ternyata penyakit pemuda itu lebih berat daripada yang diduganya. Ia mendekatkan jari tangannya depan hidung pemuda itu dan merasakan betapa panasnya pernapasan yang lemah itu. Dirabanya dahi pemuda itu dan akhirnya ia menoleh kepada Kim Cun Wi dan para isterinya yang menonton dengan hati gelisah namun sinar mata mereka mengandung penuh harapan.

   "Bagaimana, Yok Sianli? Bagaimana keadaannya? Berbahayakah keadaannya dan dapatkah dia diobati sampai sembuh?"

   Tanya Kim Cun Wi dengan suara gelisah.

   "Dia telah terluka dalam yang hebat, agaknya terkena pukulan beracun. Di bagian manakah dia terpukul?"

   Tanya Kiok Hwa dengan sikap tenang.

   "Di dada kanannya. Ada tanda sebuah jari yang hitam kehijauan di bekas pukulan itu."

   Kata Kim Cun Wi yang berjuluk Kim-kiam-sian (Dewa Pedang Emas) itu. Diam-diam Han Lin merasa heran. Pemuda itu memiliki seorang ayah ahli pedang yang sudah berjuluk Dewa Pedang, bagaimana dapat terluka seperti ini? Akan tetapi ia tidak perduli akan hal itu. Bukan urusannya.

   "Tolong bukakan bajunya. Aku ingin memeriksa luka di dadanya itu."

   Kim Cun Wi cepat membukakan baju puteranya yang masih rebah telentang dalam keadaan pingsan. Kiok Hwa memeriksanya. Di dada sebelah kanan memang terdapat bekas jari telunjuk yang warnanya hitam menghijau, dan di seputar bekas jari itu, kulit dadanya hitam dan melepuh.

   

   "Wah, ini pukulan Ban-tok-ci (Jari Selaksa Racun)! Terlambat sehari lagi saja nyawanya tidak akan dapat tertolong lagi."

   Tentu saja tuan rumah dan para isterinya terkejut setengah mati mendengar ucapan itu.

   "Akan tetapi, Yok Sianli, engkau sekarang masih dapat menyembuh kannya, bukan?"

   "Mudah-mudahan saja, kalau Thian membimbingku."

   Kata Kiok Hwa dan ia lalu berdiri, mengerahkan tenaga sin-kang dan menotok dengan dua jari ke arah dada pemuda itu. Beberapa bagian tertentu ditotoknya.

   "Untuk apa ditotok jalan darahnya di banyak tempat?"

   Tanya Kim Cun Wi yang mengikuti semua gerak-gerik Kiok Hwa dengan penuh perhatian.

   "Aku mencegah agar darah yang keracunan tidak mencapai jantung. Dan sekarang, racun yang bercampur dengan darah itu harus dikeluarkan. Ambilkan pisau yang tajam dan bersih."

   Kim Cun Wi sendiri melayani Kiok Hwa.

   "Sediakan air panas."

   Kembali permintaannya dipenuhi. Kiok Hwa lalu membakar pisau itu di bagian ujungnya sampai ke tengah, lalu membersihkannya dengan kain bersih.

   "Paman Kim, sekarang engkau harus memegangi puteramu, jangan sampai dia meronta. Darah yang keracunan harus dikeluarkan semua dari lukanya."

   "Baik, Yok Sianli."

   Kim Cun Wi lalu naik ke atas tempat tidur dan dia memegangi kedua lengan puteranya.

   Kiok Hwa lalu menggerakkan pisau yang tajam itu, menoreh kulit dada di mana terdapat tanda bekas jari tangan hitam. Darah mengalir keluar dari luka yang dibuat oleh pisaunya. Darah yang kental menghitam. Tanpa jijik sedikitpun Kiok Hwa memijat-mijat dada di sekitar luka sehingg darah yang keluar banyak dan ada darah yang mengotori jari-jari tangannya. Setelah yang keluar darah merah, Kiok Hwi menghentikan pijatannya dan mencuci luka itu dengan air panas. Kemudian ia mengambil bubuk obat dari buntalan pakaiannya dan menaburkan bubuk putih ke dalam luka itu. Setelah itu, ia membalut luka di dada itu dengan kain putih yang disediakan oleh Kim Cun Wi. Kiok Hwa lalu mengeluarkan tiga jarum emas dan tiga jarum perak dari buntalan pakaiannya, lalu menusukkan jarum-jarum itu di sekitar luka.

   "Darah beracun telah keluar, akan tetapi di dalam dadanya masih ada hawa beracun. Jarum-jarum ini mencegah hawa beracun menyebar dan setelah hawa beracun dapat dikeluarkan, dia akan selamat dan sembuh."

   Kim Cun Wi merasa girang sekali.

   "Dan bagaimana untuk mengeluarkan hawa beracun itu?"

   "Paman sebagai seorang ahli silat mengapa masih bertanya kepadaku? Tentu saja dengan menghimpun hawa murni ke tan-tian (bawah pusar) dan dengan sin-kang (tenaga sakti) mendorong keluar hawa beracun itu. Kurasa sebagai putera paman, dia akan mampu melakukannya."

   Pada saat itu, Kim Hok, ialah putera Kim Cun Wi mengeluh dan bergerak. Ayahnya segera menghampirinya, dan menyentuh pundaknya.

   "Bagaimana rasanya badanmu, Hok-ji (anak Hok)?"

   Kim Hok memandang ayahnya.

   "Badan rasanya panas, ayah, ada hawa bergolak di dalam dada."

   Dia meraba dadanya dan mendapatkan dadanya terbalut dan ada beberapa batang jarum masih menusuk di sekitar luka.

   "Siapa yang mengobati aku, ayah?"

   "Yang menyelamatkan nyawamu adalah nona ini. Ia adalah Pek I Yok Sianli."

   Kim Hok menoleh dan melihat gadis itu, dia terbelalak dan terpesona. Demikian cantiknya gadis itu dalam pandang matanya sehingga pada saat itu juga dia sudah jatuh cinta!

   "Nona....... engkau telah menyelamatkan nyawaku. Terima kasih banyak, nona Aku telah berhutang nyawa kepadamu, entah bagaimana aku harus membalasnya Aku bernama Kim Hok, nona, aku harus mengetahui namamu. Siapakah namamu, nona?"

   Kim Hok bangkit duduk biarpur dia meringis menahan sakit, dibantu oleh ayahnya.

   Kiok Hwa mengerutkan alisnya, akan tetapi menjawab dengan wajar.

   "Namaku Tan Kiok Hwa."

   Agaknya Kim Hok belum kuat duduk terlalu lama, maka dia merebahkan dirinya lagi telentang dan mulutnya berkata seperti orang mengigau.

   "Nama yang indah, seindah orangnya. Ayah, aku tidak mau menikah kalau tidak dengan nona Tan Kiok Hwa ini. Dengan ia disampingku sebagai isteri, aku tidak takut lagi akan pukulan beracun!"

   Wajah Kiok Hwa berubah merah, akan tetapi ia bersikap tenang saja. Tanpa berkata sepatahpun ia mencabuti jarum-jarumnya, menyimpannya kembali ke dalam buntalan, lalu melangkah keluar kamar sambil berkata kepada Kim Cun Wi.

   "Tugasku di sini sudah selesai, paman. Ijinkan aku melanjutkan perjalananku."

   Setelah berkata demikian dengan cepat ia keluar dari rumah besar itu. Akan tetapi baru saja ia tiba di depan pintu, sesosok bayangan berkelebat cepat mendahuluinya dan tahu-tahu Kim Cun Wi telah berdiri di depannya. Orang tua ini memberi hormat dengan kedua tangan terangkap di depan dada dan berkata dengan ramah.

   "Perlahan dulu, Yok Sianli. Kami menghendaki agar engkau tinggal beberapa hari di sini untuk kami jamu sebagai eorang tamu kehormatan untuk menyatakan terima kasih kami."

   Kiok Hwa membalas penghormatan itu lalu berkata lembut,

   

   "Terima kasih Paman Kim. Akan tetapi aku tidak pernah mengobati orang dengan minta imbalan apapun juga. Mengobati orang merupakan tugas kewajiban bagiku."

   "Akan tetapi, ini adalah kehendak Kim Hok!"

   "Juga darinya aku tidak mengharapkah terima kasih. Melihat dia dapat disembuhkan saja sudah merupakan imbalan yang amat berharga bagiku. Selamat tinggal, paman!"

   Kiok Hwa mengambil jalan menyimpang dari orang yang menghadangnya itu. Akan tetapi dengan cepat Kim Cun Wi melompat dan kembali menghadangnya.

   "Akan tetapi kami mempunyai urusan penting denganmu untuk kita bicarakan."

   Kiok Hwa mengerutkan alisnya.

   "Aku tidak mempunyai urusan apapun denganmu, paman. Kalau ada, katakan saja di sini."

   "Urusan ini harus dibicarakan dengan kami sekeluarga, terutama sekali dengan Kim Hok. Engkau tentu mendengar tadi ucapan puteraku bahwa dia tidak akan menikah kalau bukan denganmu. Karena itu, marilah kembali ke dalam rumah dan kita bicarakan urusan ini."

   Kembali wajah Kiok Hwa berubah merah dan alisnya berkerut.

   "Maaf, paman. Akan tetapi aku sama sekali tidak pernah berpikir tentang perjodohan. Aku sama sekali belum siap untuk mengikatkan diri dengan perjodohan. Harap paman sekeluarga mencari saja gadis lain yang lebih cocok dengan puteramu. Nah, aku pergi!"

   Setelah berkata demikian, Kiok Hwa hendak menyingkir, akan tetapi kembali Kim Cun Wi menghadangnya. Kini wajah majikan Bukit Ayam Hitam itu memandang dengan mata diliputi kemarahan dan tarikan wajahnya mengeras.

   "Jadi engkau tidak mau menjadi isteri puteraku?"

   Kiok Hwa tidak menjawab, melainkan menggeleng kepalanya.

   "Tidak ada kata tidak mau bagiku, Pek I Yok Sianli. Mau tidak mau engkau harus menjadi isteri puteraku!"

   "Kalau aku tetap tidak mau?"

   "Aku akan menggunakan kekerasan menangkapmu dan memaksamu."

   "Hemm, bagus. Kiranya begini macam dan wataknya orang yang menyebut dirinya Kim-kiam-sian, majikan Hek-ke-san. Aku tetap tidak mau!"

   Tiba-tiba Kim Cun Wi menubruk urtuk menangkap gadis itu. Akan tetapi dengan sigapnya gadis itu mengelak. Kim Cun Wi menjadi penasaran dan menubruk lagi sambil berusaha untuk menangkap lengan gadis itu. Akan tetapi dengan lincahnya Kiok Hwa melangkah ke sana sini dan langkahnya demikian teratur. tubuhnya demikian gesit dan ringan sehingga sampai belasan kali Kim Cun Wi menubruk, belum juga dia dapat menangkap gadis itu. Menyentuh ujung bajunya-pun tidak mampu! Pada saat itu, belasan orang anak buah Bukit Ayam Hitam datang berlari-lari untuk melihat apa yang terjadi.

   Melihat anak buahnya, Kim Cun Wi berseru.

   "Hayo bantu aku tangkapi gadis ini!"

   Untuk menangkap gadis cantik itu? Tentu saja para anak buah itu bergembira mendengar perintah ini dan bagaikan anjing-anjing kelaparan melihat tulang, mereka berebut dan menubruk untuk mendekap atau menangkap Kiok Hwa. Gadis itu menjadi sibuk juga, melangkah ke sana-sini untuk menghindarkan diri dari sergapan mereka. Pada saat itu berkelebat bayangan yang gerakannya cepat sekali dan begitu dia terjun ke dalam pengeroyokan itu, empat orang sudah terguling roboh oleh tamparan dan tendangannya. Orang itu bukan lain adalah Han Lin.

   Seperti kita ketahui, Han Lin juga me masuki perkampungan itu lewat belakang. Melompati pagar tembok dan tiba di ladang milik perkampungan itu. Dia menggunakan kecepatan gerakannya untuk menyusup ke dalam dan bersembunyi di wuwungan rumah besar. Dia tidak berbuat apa-apa dan tidak turun tangan selama Kiok Hwa tidak diganggu. Akan tetapi dia mendengarkan pembicaraan antara Kiok Hwa dan Kim Cun Wi. Gadis itu hendak dipaksa menjadi mantunya! Kemudian, melihat betapa Kiok Hwa dikeroyok oleh belasan orang yang hendak menangkapnya, dia tidak dapat berdiam diri lebih lama lagi. Melayanglah dia turun dari wuwungan dan menerjang mereka yang mengeroyok Kiok Hwa.

   Ketika Kim Cun Wi melihat siapa yang merobohkan orang-orangnya, dia marah sekali melihat bahwa orang itul adalah pemuda yang tadinya membujuk Kiok Hwa agar tidak mau diajak pergi untuk mengobati anaknya. Dia segera meraba punggungnya dan di lain saat tampak sinar keemasan berkelebat. Tangannya telah memegang sebatang pedang! yang berkilauan seperti terbuat dari emas, atau baja yang diselaput emas. Itulah yang membuat dia dijuluki Kim-kiam sian (Dewa Berpedang Emas)!

   Han Lin melihat betapa ketika menggerakkan pedang emasnya, gerakan Kim Cun Wi itu cukup dahsyat. Maka diapun segera memungut sebatang pedang milik seorang di antara empat pengeroyok yang dirobohkan tadi dan menghadapi Kim Cun Wi dengan pedang ini.

   "Bocah tidak tahu diri! Berani engkau mencampuri urusanku?"

   Bentak majikan bukit Ayam Hitam itu sambil menuding dengan telunjuk kirinya.

   "Engkau yang tidak tahu diri!"

   Jawab Han Lin.

   "Sudah memaksa orang untuk mengobati puteramu yang sakit, sekarang hendak memaksa orang untuk menjadi mantumu! Aturan mana ini?"

   "Jangan banyak mulut! Mampuslah!"

   Kim Cun Wi menerjang dengan pedangnya, namun Han Lin sudah mengelak sehingga pedang itu hanya mengenai tempat kosong belaka. Kembali Kim Cun Wi nenyerang, sekali ini sambil mengerahkan tenaganya. Lenyap bentuk pedang dan yang tampak hanya sinar emas yang meluncur cepat ke arah dada Han Lin.

   "Singgg.......!"

   Pedang berdesing akan tetapi kembali luput karena Han Lin sudah menggeser kakinya ke kanan sambil nenarik tubuhnya ke belakang. Begitu sinar pedang lewat, diapun mengimbangi serangan lawan dengan menusukkan pedangnya ke samping, ke arah lambung lawan. Akan tetapi Kim Cun Wi juga dapat mengelak dan kini dia memutar pedangnya, menyerang Han Lin dengan bertubi-tubi. Karena serangan pedang itu amal berbahaya, tidak cukup hanya dielakkan saja, Han Lin menangkis ketika pedang menyambar ke lehernya.

   "Trangggg.......!"

   Bunga api berpijar dan Han Lin terkejut juga melihat betapa pedang di tangannya tinggal setengahnya saja. Pedang itu sudah buntung! Hal ini tidak aneh karena pedang yang dipegang Han Lin adalah pedang biasa, sedangkan yang berada di tangan Kim Cun Wi adalah sebatang pedang pusaka. Melihat ini, Kim Cun Wi mengeluarkan suara tawa mengejek, lalu mendesak terus dengan serangan pedang emasnya.

   Namun Han Lin sama sekali tidak menjadi gentar. Dengan pedang buntungnya dia balas menyerang, menjaga dengan hati-hati agar mereka tidak mengadu pedang lagi. Dia hanya mengelak dari serangan lawan, dan membalas dengan pedang buntungnya. Kalau lawan menangkis, diapun menarik kembali pedang buntungnya dan menyerang di lain bagian. Terjadilah perkelahian yang amat seru dan ternyata bahwa Kim Cun Wi tidak membual menggunakan julukan Dewa Pedang. Ilmu pedangnya memang hebat sekali. Akan tetapi lawannya memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi tingkatnya, maka setelah Han Lin memainkan Leng-kong Kiam-sut (Ilmu Pedang Sinar Dingin), Kim Cun Wi mulai kewalahan.

   Sementara itu, Kiok Hwa juga masih dikeroyok oleh belasan orang yang seakan berlumba untuk menangkapnya. Karena tidak mungkin hanya mengandalkan langkah-langkah kakinya untuk menghindarkan diri dari pengeroyokan banyak orang itu, mulailah Kiok Hwa menggunakan kakinya untuk menendangi mereka. Ia berhasil merobohkan empat orang pengeroyok, akan tetapi karena tendangannya tidak dimaksudkan untuk membunuh atau melukai lawan, mereka yang terkena tendangan hanya terjengkang dan segera bangkit dan mengeroyok kembali. Pertandingan antara Han Lin dan Kim Cun Wi berlangsung seru. Pedang di tangan mereka berubah menjadi gulungan sinar yang menyelimuti tubuh mereka. Hanya kaki mereka yang tampak berlompatan atau bergeser ke sana-sini.

   Akan tetapi, setelah Han Lin mengeluarkan ilmu pedang Leng-kong Kiam-sut, Kini Cun Wi terdesak hebat. Dia berjuluk Dewa Pedang dan hampir seluruh ilmu pedang di dunia persilatan dikenalnya. Karena mengenal ilmu pedang dari berbagai aliran inilah yang membuat dia sukar dikalahkan. Akan tetapi sekali ini menghadapi Leng-kong Kiam-sut dia menjadi bingung karena tidak mengenal ilmu pedang itu. Han Lin mempercepat gerakannya. Gerakan ini mengandung sin-kang yang menimbulkan hawa dingin. Cepat pedang buntung itu menyambar ke arah leher Kim Cun Wi. Orang- ini terkejut bukan main. Demikian cepatnya serangan itu sehingga tidak keburu ditangkis lagi. Satu-satunya cara menghindarkan diri hanya mengelak, maka cepat dia menarik tubuh atas ke belakang.

   "Crattl"

   Pedang buntung luput mengenai leher, akan tetapi masih mengenai ujung pundak sehingga baju, kulit dan dagingnya robek dan mengeluarkan banyak darah. Kim Cun Wi terhuyung ke belakang dan menggunakan kesempatan ini, Han Lin menerjang mereka yang mengeroyok Kiok Hwa. Dalam waktu singkat, enam orang telah berpelantingan terkena tamparan atau tendangannya. Para pengeroyok menjadi panik, dan Han Lin cepat menyambar lengan Kiok Hwa.

   "Mari kita pergi dari sini!"

   Ajaknya dan dia menarik lengan itu dan diajaknya gadis itu melarikan diri. Kiok Hwa maklum bahwa kalau lebih lama tinggal di tempat itu tentu mendatangkan hal yang tidak enak, maka iapun mengerahkan gin-kangnya dan mengikuti Han Lin meninggalkan perkampungan itu. Mereka berdua mempergunakan ilmu berlari cepat dan sebentar saja mereka sudah turun dari Bukit Ayam Hitam. Setelah tiba di kaki gunung, Han Lin mengajak Kiok Hwa ber henti di bawah sebatang pohon besar.

   "Nah, engkau sekarang tentu sudah ahu benar betapa banyaknya orang jahat di dunia ini, Kiok-moi. Engkau menolong mereka, akan tetapi sebaliknya engkau malah diganggu. Sebaiknya kalau engkau hendak menolong orang, engkau lihat-lihat dulu macam apa orang yang akan kautolong itu."

   "Kewajibanku menolong siapa saja tanpa membedakan keadaan orang itu Lin-ko. Tidak perduli apakah dia baik atau jahat, kaya atau miskin, kalau mereka membutuhkan bantuan pengobatan tentu akan kubantu." "Akan tetapi, Kim Cun Wi tadi bahkan hendak memaksamu menikah dengan puteranya!"

   "Aku menolak dan kalau mereka menggunakan kekerasan, aku akan membela diri mati-matian."

   Han Lin menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia pernah mendengar dari Cheng Hian Hwesio bahwa seorang budiman sejati membalas kejahatan dengan perbuatan baik, membalas kebencian dengai kasih sayang.

   Agaknya Kiok Hwa merupakan orang seperti itu. Dia sendiri, biar pun sudah dijejali banyak pelajaran tertang hidup dan kebatinan, rasanya tidak sanggup membalas kejahatan dengan perbuatan baik, atau membalas kebencian orang kepadanya dengan kasih sayang!

   "Engkau seorang yang luar biasa dan berbudi mulia, Kiok-moi."

   Katanya dengan jujur sambil memandang kagum.

   "Engkaulah yang luar biasa. Engkau memiliki ilmu silat yang tinggi dan aku girang dan kagum melihat engkau tidak menjatuhkan tangan, maut kepada mereka."

   "Akan tetapi aku belum dapat mengalahkan kebencian di hatiku terhadap orang yang jahat, Kiok-moi. Sekarang, kalau boleh aku bertanya, engkau hendak pergi ke manakah?"

   "Aku hendak pergi ke pertemuan antara Sungai Fen-ho dan Huang-ho, ke puncak Hong-san......."

   "Dan ke Guha Dewata di puncak itu? Akupun hendak pergi ke sana, Kiok-moi, aku hendak mencoba untuk mencabut pedang Im-yang-kiam. Apakah engkau hendak pergi ke sana dengan niat yang sama?"

   "Kalau banyak tokoh kang-ouw tidak berhasil mencabut Im-yang-kiam, apalagi aku, Lin-ko. Aku hanya ingin benar melihat pedang istimewa itu. Kabarnya terbuat dari baja putih yang mampu menawarkan segala macam racun."

   "Kalau begitu, marilah kita pergi ke sana bersama, Kiok-moi. Tentu saja jika engkau tidak berkeberatan melakukan perjalanan bersama aku."

   "Mengapa keberatan? Marilah, Lin-ko."

   Hati Han Lin terasa gembira bukan main. Walaupun dia tidak memperlihatkan dalam sikapnya, namun pandang matanya berbinar-binar tanda senangnya hati. Mereka lalu melakukan perjalanan bersama dan karena sepanjang jalan itu sunyi, mereka mempergunakan ilmu berlari cepat menyusuri sungai. Puncak Burung Hong adalah sebuah di antara bukit-bukit terakhir di kaki Pegunungan Lu-liang-san. Pertemuan antara Sungai Fen-ho dan Huang-ho terjadi di kaki bukit ini. Puncak Burung Hong mengandung banyak batu-batu besar yang dari jauh saja sudah tampak seperti raksasa berjajar.

   Di antara batu-batu besar itu terdapat banyak guna yang lebar, akan tetapi yang amat terkenal adalah Guha Dewata. Menurut dongeng para dewa kalau menerima hukuman lalu diturunkan ke dunia dan para dewa terhukum itu memilih guha itu untuk bersamadhi menebus dosa. Guha itu lebarnya ada sepuluh meter dan dalamnya tiga meter. Di dalam guha tampak batu-batu besar bertumpuk-tumpuk Dan di antara batu-batu yang bertumpuk itu tampaklah sebatang pedang yang menancap di batu besar, yang kelihatan hanya gagangnya saja. Di kanan kiri Guha Dewata ini terdapat dua losin orang serdadu yang menjaga dengan ketat, setiap hari diganti dengan pasukan penjaga lain. Mengapa ada pasukan tentara berjaga di situ?

   Ini adalah tindakan pemerintah untuk menjaga agar pencabutan pedang Im-yang-kiam dilakukan dengan tertib dan jujur. Tidak oleh membongkar batu-batu itu dan mengambil pedang itu harus dengan dicabut. Kalau ada yang melanggar tentu akan ditangkap oleh pasukan itu. Betapa pun inginnya para tokoh kang-ouw untuk memiliki pedang peninggalan seorang panglima yang gagah perkasa itu, namun tak seorangpun berani mencoba untuk membongkar batu-batu di situ. Siapa yang berani bermusuhan dengan pemerintah yang memiliki banyak pasukan?! Para tokoh kang-ouw, bahkan para jagoan istana dan para datuk, sudah mencoba untuk mencabut pedang itu, akan tetapi sampai saat itu, tidak ada yang berhasil.

   Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   

Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Tawon Merah Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini