Suling Pusaka Kumala 26
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 26
Setelah tangis Siang Kui mereda, Sian Eng menggunakan sehelai saputangan untuk mengusap air mata dari muka Siang Kui.
"Nah, bicaralah, enci. Percayalah bahwa aku tentu akan dapat membantumu memecahkan segala persoalan yang mengganggu hatimu."
"Sian Eng, bagaimana aku harus mengatakan kepadamu? Ah, Eng-moi, hatiku sakit sekali, kebahagiaanku hancur, kehidupanku rusak binasa......"
Sian Eng terkejut.
"Ah....! Apakah yang telah terjadi denganmu, enci? Tentu Cheng Kun itu penyebabnya! Hayo kata-kan, apa yang telah dia lakukan kepadamu?"
Sian Eng dapat menduga dengan mudah. Bukankah ia yang menganjurkan Siang Kui untuk mencari Cheng Kun yang tak pernah datang lagi berkunjung. Kemudian Siang Kui pergi dan semalam suntuk tidak pulang. Seminggu setelah pulang gadis itu lalu mengeram diri dalam kamar, tidak makan tidak minum sampai tiga hari lamanya! Siapa lagi yang menjadi penyebabnya selain Cheng Kun?
Siang Kui menghela napas, melepaskan ganjalan hatinya. Memang Sian Eng satu-satunya orang yang akan dapat menolongnya menghadapi Sian Hwa Sian-li yang lihai. Tanpa dipengaruhi kekuatan sihir sekalipun ia sudah mengambil keputusan untuk menumpahkan semua kedukaannya kepada Sian Eng.
"Ketika engkau berkunjung ke rumah Cheng Kun, apa yang terjadi, enci Siang Kui?"
Sian Eng mendesak.
(Lanjut ke Jilid 27)
Suling Pusaka Kumala (CeritaLepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 27
"Banyak hal terjadi, Eng-moi. Ketika aku berkunjung ke sana, aku langsung mencari Kun-ko ke dalam taman. Dan tahukah engkau apa yang kulihat? Dia sedang berkasih-kasihan dengan seorang wanita yang cantik dan pesolek. Wanita yang menurut perkiraanku sudah berusia tiga puluhan tahun akan tetapi genitnya bukan main. Seorang iblis betina!"
Wajah gadis itu menjadi merah sekali karena kemarahannya timbul ketika ia teringat kepada Sian Hwa Sian-li.
"Hemm, sudah kuduga bahwa dia seorang laki-laki yang tidak setia. Lalu apa yang terjadi, enci Siang Kui?"
"Melihat mereka berkasih-kasihan, aku menjadi panas hati dan aku menyerang wanita itu untuk membunuhnya. Akan tetapi..... ternyata ia lihai sekali, Eng-moi. Aku..... aku kalah dan roboh tertotok oleh wanita itu."
"Hemm, kiranya ia lihai?"
Kata Sian Eng dengan kaget. Ia tahu bahwa ilmu silat Siang Kui cukup tinggi. Kalau wanita itu mampu menotok roboh Siang Kui, jelas bahwa wanita itu memang lihai sekali.
"Aku jatuh pingsan dan ketika aku siuman kembali, aku telah berada di kamar Kun-ko. Dia menghiburku dan memberi minum anggur. Setelah minum anggur, aku..... aku menjadi seperti mabok dan tidak dapat menguasai diriku. Kesadaranku seperti hilang dan aku...... aku..... bahkan tidak menolak ketika dia menggauliku....."
Siang Kui menundukkan mukanya dan merasa malu sekali.
"Ya Tuhan......!"
Sian Eng berseru.
"Jahanam itu.....!!"
"Keesokan harinya baru aku menyadari apa yang telah kulakukan. Aku menyesal dan menangis. Kun-ko menghiburku, dan mengatakan bahwa dalam waktu seminggu dia akan datang untuk menentukan hari pernikahan kami. Tentu saja aku percaya kepadanya dan aku merasa terhibur dan aku lalu pulang. Akan tetapi di tengah perjalanan, seorang gadis cantik mengajak aku bicara. Ia bernama Ciang Mei Ling dan ia mengaku sebagai tunangan Pangeran Cheng Lin. Apa yang ia ceritakan benar-benar membuat aku merasa gelisah sekali. Ia menceritakan bahwa ia sendiripun menjadi korban kebiadaban Cheng Kun, digauli setelah ia diberi minum anggur yang sama dengan yang kuminum. Katanya semua itu diatur oleh Sian Hwa Sian-li....."
"Siapa itu Sian Hwa Sian-li?"
"Ia adalah wanita yang berkasih-kasihan dengan Cheng Kun."
"Ah, kiranya begitu?"
"Aku masih tidak percaya akan semua omongan Ciang Mei Ling karena Kun-ko sudah menjanjikan kepadaku untuk datang menentukan hari pernikahan kami. Akan tetapi setelah lewat seminggu, dia tidak muncul dan tidak memberi kabar. Aku menjadi khawatir sekali, Eng-moi, apalagi kalau aku teringat akan cerita Ciang Mei Ling. Jangan-jangan.... Kun-ko itu memang benar seorang yang jahat dan hanya akan mempermainkan aku.... dan menurut Ciang Mei Ling, mereka semua, Pangeran Cheng Lin, Pangeran Cheng Boan, Cheng Kun dan Sian Hwa Sian-li, mereka semua itu bersekongkol, entah untuk apa...."
"Gila! Aku harus turun tangan. Tak dapat kubiarkansaja laki-laki itu merusak kehidupan dan kebahagiaanmu, enci Siang Kui. Kalau perlu aku akan menggunakan kekerasan untuk memaksa dia menikahimu. Tenang sajalah, aku pasti akan menyeret dia bertekuk lutut di depanmu!"
Kata Sian Eng dengan nada suara penuh kemarahan.
"Hati-hatilah, Sian Eng. Iblis betina Sian Hwa Sian-li itu lihai bukan main dan Pangeran Cheng Boan mempunyai banyak jagoan lihai yang menjadi pengawal keluarganya."
Siang Kui memperingatkan.
"Jangan khawatir, enci Siang Kui. Aku tentu akan berhati-hati."
Jawab Sian Eng.
Malam itu bulan bersinar hampir sepenuhnya. Tidak ada awan menghalang sehingga sinar bulan menerangi kota raja. Suasana amatlah indahnya. Seluruh kota bermandikan cahaya bulan dan hampir semua orang berada di luar rumah mereka. Kanak-kanak bermain-main di pelataran rumah, teriakan-teriakan mereka mengundang suasana gembira. Orang-orang dewasa berjalan-jalan dengan riangnya. Akan tetapi, suasana yang ramai meriah itu tidak berlangsung lama.
Angin yang membawa hawa dingin datang bertiup. makin lama hawa udara menjadi semakin dingin sehingga kanak-kanak sudah diteriaki ibu mereka untuk masuk ke dalam rumah agar tidak sampai masuk angin. Orang-orang dewasa juga tidak betah bertahan di luar. Tak lama kemudian suasana menjadi sepi. Jalan-jalan ditinggalkan orang, jendela dan pintu rumah ditutup agar hawa dingin tidak menyerang masuk ke dalam rumah. Yang berkeadaan mampu segera membuat perapi-an di tungku untuk menghangatkan badan. Para perajurit yang bertugas jaga malam itu di gardu-gardu penjagaan gedung-gedung para pembesar atau bangsawan tinggi, mengenakan mantel bulu yang tebal dan ada pula yang membuat api unggun di gardu penjagaan.
Akan tetapi dalam udara yang dingin itu ada orang yang berada di luar. Bahkan ia bergerak cepat sekali, hanya tampak bayangannya saja yang berkelebatan dan selalu ia memilih tempat yang terlindung kegelapan bayangan bangunan atau pohon. Ketika ia tiba di sebuah rumah, ia berhenti di dalam bayangan rumah itu yang gelap. Dari situ ia memandang ke seberang jalan di mana berdiri gedung megah seperti istana milik Pangeran Cheng Boan. Bayangan itu adalah Lo Sian Eng, Pakaiannya yang ringkas berwarna merah muda itu tampak gelap dalam sinar bulan itu. Di punggungnya tergantung sebatang pedang beronce merah.
Sian Eng marah sekali ketika mendengar cerita Lo Siang Kui tentang perbuatan biadab yang dilakukan Cheng Kun atas diri kakak sepupunya itu. Malam ini, tanpa memperdulikan hawa udara yang amat dingin, gadis perkasa itu mengenakan pakaian ringkas, membawa pedangnya dan keluar dari rumah pamannya pergi menuju gedung tempat tinggal Cheng Kun. Agar tidak menarik perhatian orang, Sian Eng menyelinap dalam bayangan gelap dan kini ia berada di dalam bayangan rumah yang berdiri di seberang gedung Pangeran Cheng Boan. Dari tempat gelap di seberang jalan itu ia dapat melihat sebuah gardu penjagaan dan melihat belasan orang perajurit yang berjaga di sekitar gardu itu. Rumah gedung itu sendiri sudah menutup semua daun jendela dan pintunya.
Akan tetapi di luar gedung tergantung banyak lampu teng yang cukup memberi penerangan kepada pekarangannya yang luas. Dari tempat persembunyiannya Sian Eng dapat melihat pula bahwa gedung itu dikelilingi pagar tembok yang cukup tinggi, bahkan di bagian atas pagar tembok dipasangi hiasan runcing seperti tombak berjajar.
Dengan jalan memutar, melalui tempat-tempat yang gelap oleh bayangan bangunan dan pohon-pohon, Sian Eng tiba di bagian belakang pagar tembok itu. Tempat itu sepi sekali dan dengan pengerahan gin-kangnya (ilmu meringankan tubuhnya) ia melompat dan bagaikan seekor burung tubuhnya melayang ke atas dan mtangannya menangkap sebatang tombak yang berada di atas pagar tembok. Dengan mudah ia mengangkat tubuhnya dan kini ia berdiri di atas pagar tembok, di antara tombak-tombak yang berjajar. Setelah menjenguk ke sebelah dalam pagar tembok ia melihat bahwa itu adalah sebuah taman yang berada di belakang gedung. Ia lalu melompat turun tanpa menimbulkan suara ketika kakinya menginjak tanah seperti seekor kucing saja. Akan tetapi ia cepat menyusup ke belakang rumpun bunga ketika mendengar kentungan dipukul orang dan ia melihat dua orang perajurit datang meronda sambil membawa sebuah lampu gantung di ujung sebatang tongkat.
"Bagus, inilah yang kuharapkan."
Bisik nya kepada diri sendiri sambil menyelinap ke balik pepohonan untuk menghadang datangnya dua orang peronda itu. Ia tidak mengenai keadaan di gedung itu dan ia membutuhkan seorang penunjuk jalan!
Dua orang perajurit peronda itu sama sekali tidak pernah menyangka bahwa di depan mereka terdapat seorang gadis perkasa yang telah siap menyerang mereka seperti seekor singa betina siap menerkam dua ekor kelenci. Kemunculan Sian Eng memang mengejutkan sekali. Dua orang itu hanya tampak dua buah lengan berkelebat dan tahu-tahu mereka sudah roboh dan tidak mampu bergerak lagi karena sudah tertotok. Sian Eng menyambar tongkat yang ujungnya tergantung lampu teng itu agar tidak sampai ter-banting dan terbakar. Ia meniup padam lampu itu dan memandang kepada dua orang yang sudah rebah telentang tanpa dapat bergerak. Ia memilih seorang dari mereka yang wajahnya membayangkan ketakutan. Inilah yang akan dapat dijadikan penunjuk jalan, pikirnya dan tangan kirinya diayun memukul leher orang ke dua yang matanya melotot.
Orang itupun mengeluh dan pingsan. Sian Eng menepuk pundak orang yang dipilihnya. Ketika orang itu menggerakkan tubuhnya dan hendak bangkit duduk, pedang Coa-tok Sin-kiam (Pedang Sakti Bisa Ular) telah menodong lehernya. Ujung pedang yang runcing itu terasa menggigit kulit sehingga orang yang sudah ketakutan itu menjadi semakin takut sehingga dia menggigil.
"Ampun.... ampunkan saya.... jangan bunuh saya....."
Dia meratap.
"Aku tidak akan membunuhmu asal engkau dapat menunjukkan kepadaku di mana. adanya kamar tuan muda Cheng Kun!"
Bisik Sian Eng dengan nada suara mengancam.
"Awas, kalau engkau menipuku atau engkau berteriak, pedangku ini akan menembus lehermu!"
"Baik.... baik..... lihiap (pendekar wanita)..... kamarnya berada di bagian belakang, di sebelah kiri....."
Tangan orang itu menunjuk ke arah gedung besar itu.
"Tunjukkan, bawa aku ke sana. Awas, jangan sampai ketahuan orang, ambil jalan yang aman."
Kata Sian Eng dan orang itupun bangkit berdiri, dan pedang di tangan Sian Eng itu tidak pernah meninggalkan kulit lehernya. Peronda itu lalu berjalan menyeberangi taman menuju ke bagian belakang gedung. Sian Eng berjalan di belakangnya menodongkan pedangnya.
Sebagai seorang perajurit pengawal yang biasa meronda di seluruh bagian gedung itu tentu saja orang itu mengenai semua bagian gedung dan, diapun tahu pintu-pintu rahasia dari mana dia memasuki gedung. Tentu saja pintu-pintu rahasia itu hanya diketahui oleh penghuni gedung dan para perajurit pengawal. Sian Eng terus menodong punggung penjaga itu sampai penjaga itu berhenti melangkah dan dengan telunjuk kanannya menuding ke arah pintu sebuah kamar yang berada di bagian belakang sebelah kiri gedung itu.
"Lihiap, itulah kamar Cheng Kongcu."
Bisiknya lirih.
"Jangan bohong! Kalau engkau berani berbohong, akan kubunuh kau!"
Desis Sian Eng sambil menodongkan pedangnya ke dada orang itu. Orang itu menggigil ketakutan.
"Tidak ..... saya tidak berani berbohong, lihiap."
Katanya. Setelah yakin bahwa orang itu tidak akan berani berbohong kepadanya, tangan kiri Sian Eng bergerak dan orang itu terkulai roboh dengan tubuh lemas tak mampu bergerak. Setelah menyeret tubuh penjaga itu ke belakang sebuah pot kembang besar, Sian Eng lalu menghampiri pintu kamar itu dan mengetuk.
"Tok-tok-tok!"
Terdengar suara seorang laki-laki dari dalam kamar.
"Siapa itu?"
Sian Eng sengaja menjawab dengan suara yang lembut dan mesra.
"Saya, Kongcu, harap buka pintunya."
Hening sejenak, lalu suara laki-laki itu terdengar pula.
"Siapakah engkau?" "Saya pelayan baru, kongcu, hendak melayani kongcu kalau-kalau kongcu membutuhkan sesuatu."
Kata pula Sian Eng dengan suara memikat. Tepat seperti dugaannya. Kongcu itu mata keranjang dan timbul keinginan hatinya untuk melihat wanita yang mengaku pelayan baru dan yang suaranya merdu memikat itu. Sian Eng mendengar langkah kaki menuju ke pintu. Ia sudah siap dengan pedang di tangannya.
"Kriiittt....!"
Daun pintu dibuka dan Cheng Kun terbelalak kaget melihat seorang gadis yang memakai topeng kain. Akan tetapi kekagetannya segera berubah menjadi ketakutan ketika sebatang pedang sudah menodong dadanya. Dia mundur-mundur masuk kembali ke kamarnya, diikuti oleh Sian Eng yang tetap menodongkan pedangnya.
"Kau..... siapakah engkau..... dan apa artinya ini......?"
"Tidak perlu engkau tahu siapa aku."
Kata Sian Eng yang sengaja mengenakan topeng kain penutup separuh mukanya bagian bawah sebelum ia mcngetuk daun pintu tadi.
"Yang perlu kau ketahui adalah bahwa aku akan menembuskan pedang ini di dadamu kalau engkau berani berteriak!"
Wajah Cheng Kun berubah pucat sekali.
"Jangan..... jangan bunuh aku. Apakah kesalahanku dan apa sebetulnya yang kau kehendaki dariku?"
Dia berusaha untuk bersikap tenang, akan tetapi tetap saja suaranya gemetar.
"Apa kesalahanmu? Engkau masih menanyakan hal itu? Engkau bedebah biadab. Engkau telah menggunakan muslihat untuk menodai Lo Siang Kui! Setelah engkau menodainya, engkau berjanji akan menentukan hari pernikahan kalian dalam waktu seminggu. Akan tetapi telah sepuluh hari engkau tidak muncul. Apa engkau sudah ingin mampus?"
Sian Eng menekan pedangnya dan ujung pedang menembus baju, menyentuh kulit terasa betapa keras dan runcingnya. Mendengar ucapan itu, Cheng Kun memutar pikirannya. Sudah pasti wanita ini bukan Siang Kui sendiri karena dia tentu akan mengenali suaranya walaupun bentuk tubuh gadis ini mirip Siang Kui. Dan teringatlah dia akan adik sepupu Siang Kui, gadis yang amat lihai itu, yang seingatnya ber-nama Lo Sian Eng. Tentu gadis ini adik sepupu itu. Cheng Kun cukup cerdik dan diapun dapat menduga bahwa gadis ini tentu hanya menakut-nakutinya dan mengancamnya, tidak bermaksud membunuh-nya. Dia menjadi berani dan dia sengaja membuat suaranya nyaring ketika berseru.
"Ampunkan saya! Jangan bunuh saya.. ....."
"Hushh! Jangan berteriak-teriak!"
Bentak Sian Eng.
"Katakanlah apa yang harus saya lakukan. Saya akan menaati semua perintahmu, akan tetapi jangan bunuh saya."
Kata Cheng Kun yang merendahkan suaranya lagi dengan keyakinan bahwa teriakannya tadi tentu terdengar oleh Sian Hwa Sian-li yang kamarnya tidak jauh dari situ.
"Engkau tidak ingin mampus? Kalau begitu, besok pagi engkau harus datangi keluarga Lo dan menyatakan keputusan-mu untuk segera menikahi Lo Siang Kui dalam waktu secepatnya, dalam bulan ini juga. Kalau tidak kau lakuknn itu, pasti pedangku akan memenggal lehermu!"
Pada saat itu, sesosok bayangan berkelebat memasuki pintu kamar itu dan ada sinar merah menyambar ke arah leher Sian Eng dari belakang. Sinar merah itu ternyata adalah sehelai sabuk merah yang digerakkan secara lihai sekali oleh Sian Hwa Sian-li. Biarpun hanya sabuk sutera merah, akan tetapi karena digerakkan dengan pengerahan sin-kang, kalau ujung sabuk itu mengenai tengkuk Sian Eng, tentu gadis ini akan roboh. Namun, ketika itu tingkat kepandaian Sian Eng sudah maju pesat. Ia dapat menangkap sambaran angin serangan ke arah tengkuknya itu dan secepat kilat ia merendahkan tubuhnya lalu membalik dan pedangnya sudah mendahuluinya menyerang ke arah dada penyerang gelapnya itu.
"Singgg.....!"
Sinar pedang menyambar dan Sian Hwa Sian-li terkejut bukan main. Hebat sekali serangan balasan yang tiba-tiba itu dan terpaksa ia melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang Sian Eng.
"Hemmm, engkau tentu Sian Hwa Moli yang tak tahu malu itu!"
Bentak Sian Eng yang sengaja mengubah julukan Sian Hwa Sian-li (Dewi Bunga Dewa) menjadi Sian Hwa Mo-li (Iblis Betina Bunga Dewa)!
Sian Hwa Sian-li mengerutkan alisnya dan memandang penuh perhatian, akan tetapi ia tidak mengenai gadis yang separuh mukanya tertutup kain merah ini. Seorang gadis yang lihai, bukan saja mampu menghindarkan serangannya, bahkan dapat melakukan serangan balasan yang amat berbahaya. Ia mengerling ke arah Cheng Kun dan melihat pemuda itu telah lari bersembunyi ke sudut kamar. Hatinya lega bahwa pangeran itu tidak terluka.
"Siapa engkau? Mau apa engkau mengacau di sini?"
Bentak Sian Hwa Sian li.
"Mau membunuh iblis betina semacam engkau!"
Bentak Sian Eng dan ia sudah menyerang lagi.
Tadinya Sian Eng sengaja menutupi mukanya dengan kain merah agar ia tidak akan dikenal dan kalau keadaannya berbahaya seperti yang diceritakan Siang Kui, ia akan melarikan diri. Akan tetapi begitu melihat Sian Hwa Sian-li, ia teringat akan cerita Siang Kui dan timbul kebenciannya terhadap wanita cantik pesolek itu. Ia lalu mengambil keputusan untuk membasmi wanita ini. Serangan Sian Eng hebat karena gadis itu memainkan ilmu pedang Coa-tok Sin-kiam-sut (Ilmu Pedang Sakti Bisa Ular), Bukan hanya jurusnya saja yang berbahaya bahkan pedangnya itu sendiri amat berbahaya karena pedang itu mengandung racun ular yang amat ganas.
Sian Hwa Sian-li sendiri adalah seorang ahli tenting racun, maka begitu pedang itu menyambar, ia dapat menangkap bau racun yang keluar dari pedang. Ia terkejut dan tentu saja maklum bahwa sekali saja tergores pedang itu cukup untuk mendatangkan ancaman maut baginya. Iapun mem-pergunakan kegesitannya untuk melompat keluar dari kamar yang terlalu sempit untuk berkelahi itu. Sian Eng melompat dan mengejar. Mereka bertanding di luar kamar yang lebih luas dan segera sinar pedang di tangan Sian Eng sudah mendesak dengan hebatnya. Cheng Kun yang masih ketakutan segera berteriak-teriak,
"Tolonggg! Ada pembunuh! Tolongggg.....!!"
Teriakan itu mengundang munculnya Suma Kiang dan Toa Ok! Sian Eng terkejut bukan main ketika dua orang datuk yang lihai ini muncul. Ia sudah berhasil mendesak Sian Hwa Sian-li dengan hebat. Melihat orang yang pernah diakuinya menjadi ayahnya dan juga gurunya muncul bersama Toa Ok, maklumlah ia bahwa ia berhadapan dengan lawan-lawan yang terlalu kuat baginya. Melawan Sian Hwa Sian-li seorang diri ia tentu akan dapat mengalahkannya. Juga ia merasa mampu menandingi bekas ayah dan gurunya yang sesungguhnya musuh besarnya itu, ia merasa bahwa ilmu kepandaiannya kini sudah melebihi tingkat kepandaian Suma Kiang. Akan tetapi ia meragu apakah ia akan mampu menandingi Toa Ok yang amat lihai itu. Apalagi kalau mereka bertiga maju bcrsama. Bagaimana mungkin ia akan dipat menang? Tentu ia terancam bahaya maut kalau ia terus nekat menandingi mereka bertiga. Tiba-tiba Sian Eng melompat jauh untuk melarikan diri.
Akan tetapi ketika ia tiba di sebuah tikungan, dari balik dinding itu muncul sesosok bayangan. Secara amat tiba-tiba bayangan itu menyerang dengan totokan It-yang-ci yang amat hebat. Sian Eng sama sekali tidak menduga akan ada orang muncul di tikungan dan langsung menyerang dengan totokan, terkejut dan cepat miringkan tubuhnya untuk menge-lak dari totokan. Akan tetapi pada saat itu, kaki orang itu menendang dengan gerakan melingkar yang aneh sekali. Ia tidak mampu menghindarkan diri lagi dan pinggir lututnya terkena tendangan. Tanpa dapat dihindarkan lagi tubuh Sian Eng terpelanting. Pada saat itu, Sian Hwa Sian-li telah melompat dekat dan wanita yang berhati kejam ini yang merasa penasaran dan marah tadi didesak oleh Sian Eng, segera menggerakkan sabuk sutera merahnya ke arah leher Sian Eng, mengirim serangan maut.
"Syuuuutttt....!"
Ujung sabuk sutera merah itu meluncur cepat. Biarpun terpelanting jauh, namun Sian Eng dapat menguasai dirinya, maka melihat menyambarnya sinar merah, iapun menggerakkan pedangnya menangkis.
"Brettt.....!"
Ujung sabuk sutera merah itu putus terobek pedang di tangan Sian Eng.
Sian Hwa Sian-li terkejut sekali dan melompat ke belakang. Pada saat itu, Toa Ok juga sudah mendekati dan sinar emas berkelebat ketika pedang Kim-liong-kiam (Pedang Naga Emas) di tangannya menyambar dengan tusukan ke arah dada Sian Eng. Dalam keadaan yang amat gawat dan berbahaya itu Sian Eng masih mampu dengan amat cepatnya menggulingkan tubuhnya sehingga tusukan itu luput! Hal ini membuat Toa Ok men-jadi penasaran dan marah. Dengan sekali lompatan dia sudah mengejar dan dia mengangkat pedangnya, kemudian diba-cokkan ke arah leher Sian Eng yang masih bergulingan.
"Wuuuuttt..... trang......!!"
Tampak bunga api berpijar menyilaukan mata ketika pedang Kim-liong-kiam yang menyambar ke arah leher Sian Eng itu tertangkis dari samping. Toa Ok membelalakkan matanya ketika melihat bahwa yang me-nangkis pedangnya adalah Suma Kiang!
"Heiii! Apa artinya ini?"
Teriaknya penasaran.
"Jangan bunuh ia! Aku mengenal ilmu pedangnya!"
Kata Suma Kiang yang segera mendekati Sian Eng dan sekali tangan kirinya bergerak, dia telah merenggut kain merah penutup muka gadis itu. Sian Eng melompat berdiri dan iapun beradu pandang dengan Suma Kiang yang terbelalak. Kemudian Suma Kiang berseru dengan girang sekali karena tentu saja dia segera mengenai wajah anaknya.
"Suma Eng, anakku....!"
Teriaknya.
Sian Eng adalah seorang yang cerdik sekali. Sekilas pandang saja maklumlah ia bahwa dirinya berada dalam bahaya. Ia berhadapan dengan banyak lawan pandai dan tidak mungkin ia akan mampu menyelamatkan dirinya kalau ia menggunakan kekerasan melawan mereka. Biarpun kini melihat muka Suma Kiang timbul kebenciannya yang amat sangat mengingat akan kematian ibunya yang diperkosa secara biadab oleh laki-laki yang tadinya ia sangka ayahnya sendiri ini, namun Sian Eng menahan perasaannya.
Ia harus bersikap cerdik, kalau ia ingin selamat. Pihak lawan terlampau kuat, teru-tama sekali pemuda yang kini berdiri tegak sambil memandang kepadanya itu. Pemuda yang tampan dan gagah, berpakaian indah. Itukah Pangeran Cheng Lin tunangan gadis bernama Ciang Mei Ling seperti diceritakan oleh Siang Kui kepadanya? Akan tetapi, betapa hebat ilmu kepandaian pemuda itu! Dengan tangan kosong, dalam beberapa gebrakan saja pemuda itu mampu merobohkannya, walaupun serangan itu dilakukan mendadak dan tidak tersangka-sangka olehnya. Na-mun, agaknya biarpun ia diserang dalam keadaan siap siaga, akan sukar mengalahkan pemuda itu! Semua ini berkelebat seperti kilat dalam benaknya dan Sian Eng segera menekan perasaannya dan mengatur siasat dalam sikapnya.
"Ayah....!"
Serunya kaget, heran dan girang.
"Ayah berada di sini?"
Ia menyarungkan pedangnya dan maju menghampiri ayahnya sambil mengembangkan kedua lengannya. Iapun membiarkan dirinya di-peluk oleh Suma Kiang yang benar-benar merasa girang bukan main.
"Anakku! Ia ini anakku. Ia Suma Eng, anakku tersayang. Ah, untung aku mengenai ilmu pedangmu tadi, Eng-ji (anak Eng) sehingga aku sempat menangkis pedang Toa Ok. Kalau tidak.... ah, engkau tentu telah menjadi mayat....!"
Kata Suma Kiang terharu.
"Anakku, mereka semua ini bukanlah musuh, melainkan sahabat-sahabatku yang baik. Perkenalkanlah. Beliau ini adalah Pangeran Cheng Lin yang masih keponakan dari Pangeran Cheng Boan pemilik istana ini!"
Dia menunjuk kepada Ouw Ki Seng yang kini memandang dengan senyumnya yang khas kepada Sian Eng.
Diam-diam pemuda ini kagum kepada Sian Eng. Tadi telah dilihatnya betapa Sian Eng dapat mendesak dan mengalahkan Sian Hwa Sian-li! Dan kini setelah penutup mukanya direnggut, tampak betapa cantik jelitanya gadis itu!
"Seorang pangeran, ayah?"
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Sian Eng yang bersandiwara dengan pandainya.
"Kalau begitu aku harus memberi hormat dengan berlutut!"
Ia membuat gerakan hendak berlutut, akan tetapi Ki Seng cepat maju dan memegang kedua pundak nya untuk mencegahnya berlutut.
"Tidak perlu berlutut, Nona Suma Eng!"
Ketika merasa betapa kedua telapak tangan pangeran itu menyentuh kedua pundaknya, Sian Eng hendak mem-perlihatkan kekuatannya sekalian hendak menguji kepandaian pangeran yang tadi telah merobohkannya itu. Ia mengerahkan sinkang dan menyalurkannya ke arah kedua pundaknya. Hawa yang panas dengan kuatnya keluar dari kedua pundaknya itu untuk menolak dan membuat kedua telapak tangan itu kepanasan dan terpental! Wajah Ki Seng tampak kaget akan tetapi senyumnya berubah sinis.
Dia maklum bahwa gadis jelita ini hendak mengujinya,maka diapun mengerahkan tenaga saktinya dan kedua tangannya tetap menempel di pundak itu, tidak dapat di-lontarkan tenaga sakti yang dikerahkan Sian Eng dan gadis itu merasa betapa kedua telapak tangan yang menempel di kedua pundaknya itu terasa dingin seperti es! Adu tenaga ini hanya sebentar saja, tidak tampak oleh orang biasa, akan tetapi orang-orang seperti Suma Kiang, Toa Ok, dan Sian Hwa Sian-li tentu saja dapat menduganya.
"Pangeran, terimalah hormat saya."
Kata Sian Eng setelah kedua tangan itu melepaskan pundaknya dan iapun mengangkat kedua tangan ke depan dada. Inipun merupakan serangan ujian, karena gerakan kedua tangannya itu menimbulkan serangkum hawa yang menyambar ke arah dada pangeran itu.
"Nona, engkau terlampau sungkan!"
Kata Ki Seng sambil merangkap kedua tangan pula dan menggerakkannya ke depan untuk menyambut penghormatan gadis itu. Tentu saja dalam melakukan ini, diapun mengerahkan sin-kang dan akibatnya, Sian Eng terdorong mundur sampai dua langkah! Tahulah gadis ini bahwa pemuda itu benar-benar sakti, mengingatkan ia akan kesaktian Han Lin. Agaknya pangeran ini akan merupakan seorang lawan yang berat bagi Han Lin.
"Paman Suma Kiang, puterimu ini sungguh hebat dan mengagumkan!"
Kata Ki Seng sambil tersenyum.
Suma Kiang tertawa. Hatinya senang sekali. Diapun tahu bahwa tadi puterinya telah menguji kelihaian pangeran palsu itu.
"Suma Eng, perkenalkan, kakek yang gagah perkasa ini adalah Toat-beng Kui-ong...."
"Aku sudah mengenalnya, ayah. Dia adalah Toa Ok dan pernah aku hampir mati di tangannya."
Kata Sian Eng dengan cepat mendahului Toa Ok. Ia tahu bahwa kalau ia tidak mengaku telah mengenai Toa Ok dan kemudian Toa Ok mengenalnya, maka tentu orang-orang itu akan merasa curiga padanya. Karena itu ia mendahului dan mengaku terus terang. Dengan mengandalkan kedudukan Suma Kiang di situ, ia merasa tenang dan ada yang diandalkan untuk menolongnya.
Toa Ok memandang dengan ragu.
"Nona mengenai aku? Ah, aku sudah terlau tua sehingga tidak mengenai lagi siapa nona."
Sian Eng tersenyum, manis sekali. Ia tahu bahwa kakek ini belum mengetahui bahwa kedua orang rekannya, Ji Ok dan Sam Ok, telah tewas di tangannya dan tangan Han Lin. Ia tidak perlu memberi-tahukan hal itu. Kematian dua orang datuk sesat itu memang di tempat sepi dan tidak ada seorangpun mengetahui. Yang tahu hanya ia dan Han Lin.
"Toa Ok, mungkin engkau sudah lupa. Akan tetapi cobalah ingat baik-baik. Ketika engkau bersama Ji Ok dan Sam Ok, dan seorang wanita lagi, menyerang guruku Hwa Hwa Cinjin di Puncak Ekor Naga pegunungan Cin-Ling-san, aku membantu guruku itu dan memukul mundur kalian berempat."
Toa Ok terbelalak.
"Ahh! Jadi eng-kaukah gadis murid Hwa Hwa Cinjin itu?"
"Jadi engkau telah menyerang supek Hwa Hwa Cinjin, Toa Ok?"
Suma Kiang bertanya kaget.
"Serangan itu mengakibatkan kematian suhu Hwa Hwa Cinjin yang sudah tua, ayah."
Sian Eng memberitahu dengan maksud untuk mengadu domba dua orang itu.
"Ah, hal itu terjadi lama sebelum kita menjadi rekan dan sahabat Huang-ho Sin-liong."
Kata Toa Ok. Pada saat itu, Pangeran Cheng Boan datang dikawal belasan orang perajurit. Dia mendengar ucapan dua orang jagoan-nya itu dan melihat sikap mereka yang seperti akan bermusuhan.
"Tenang dulu kalian berdua! Ada urusan dapat dibicarakan. Apa yang telah terjadi? Kami mendengar bahwa ada seorang pembunuh masuk ke sini dan hendak membunuh Cheng Kun!"
Suma Kiang segera melangkah maju menghadapi Pangeran Cheng Boan. Dia adalah pembantu pangeran itu sejak dua puluh tahun lebih yang lalu, menjadi pembantu yang setia. Kini dia maklum bahwa keadaan puterinya gawat dan dia harus dapat membelanya.
"Ampun, Yang Mulia."
Katanya merendah.
"Yang masuk ke sini ternyata adalah anak perempuan saya sendiri. Agaknya terjadi kesalah-pahaman di sini, harap paduka suka mengampuninya dan suka mendengarkan alasannya mengapa ia sampai datang membikin ribut di sini."
Pangeran Cheng Boan mengerutkan alisnya dan memandang kepada Sian Eng. Ia menduga tentu gadis ini yang diaku anak oleh Suma Kiang, karena ia tidak mengenai gadis itu. Kenapa gadis cantik ini hendak membunuh puteranya? Apa alasannya?
"Mari kita semua masuk ke ruangan belakang dan bicara di sana. Kalau alasan anakmu ini masuk akal, kami akan mempertimbangkannya."
Perintah Pangeran Cheng Boan dan semua orang mengikutinya masuk ke ruangan belakang. Mereka semua duduk mengelilingi sebuah meja besar.
Pangeran Cheng Boan, Cheng Kun, Ki Seng, Toa Ok, Sian Hwa Sian-li, Suma Kiang dan Sian Eng yang duduk di sebelah kiri ayahnya. Gadis ini sama sekali tidak tampak gentar. Ia duduk dengan tenang, yakin bahwa ayahnya tentu akan membelanya dan iapun terus bersandiwara sebagai anak Suma Kiang yang merasa bahagia bertemu dengan "ayahnya"
Itu! Pada saat itu, seorang gadis cantik memasuki ruangan itu. Ia tampak ragu melihat semua orang duduk mengelilingi meja dengan wajah serius. Akan tetapi melihat gadis itu, Pangeran Cheng Boan segera berkata kepadanya.
"Masuk dan duduklah, Nona Ciang."
"Maaf, Pangeran. Saya mendengar ribut-ribut bahwa ada seorang penjahat datang mengacau dan...."
"Duduklah, nona. Engkaupun sebagai seorang penjaga keamanan keluarga di sini, berhak untuk mengetahui. Kami sedang hendak membicarakan tentang hal itu."
Kata Pangeran Cheng Boan.
Sian Eng memandang kepada gadis itu dan mendengar bahwa gadis itu disebut "nona Ciang", iapun menduga bahwa tentu gadis ini yang bernama Ciang Mei Ling, tunangan Pangeran Cheng Lin seperti yang diceritakan oleh Siang Kui. Mei Ling mengangguk dan segera duduk di kursi kosongdekat Ki Seng.
"Yang Mulia, sebelum kita semua membicarakan tentang kedatangan anak saya ini, perkenankan saya memperkenalkan paduka dan semua yang hadir kepada anak saya."
Mendengar permintaan itu, Pangeran Cheng Boan mengangguk dan memandang kepada Sian Eng dengan penuh perhatian, dalam hatinya menduga-duga apa sebabnya gadis cantik jelita itu hendak membunuh puteranya. Sementara itu, Cheng Boan juga memandang kepada Sian Eng dengan alis berkerut.
"Suma Eng, anakku. Tadi sudah kuper-kenalkan padamu Pangeran Cheng Lin dan Toa Ok. Biar kulanjutkan memperkenalkan semua yang hadir kepadamu. Beliau ini adalah tuan rumah, dan kepada beliau inilah aku menghambakan diri. Beliau adalah Pangeran Cheng Boan, paman dari Pangeran Cheng Lin atau adik dari Yang Mulia Sribaginda Kaisar."
Sian Eng bangkit dari tempat duduk-nya dan dengan gerakan lembut gemulai ia mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil membungkuk dalam-dalam dan suaranya halus penuh hormat.
"Terimalah hormat saya, Yang Mulia."
Sebutan itu ia tiru dari Suma Kiang. Pangerran Cheng Boan mengangguk.
Kemudian Suma Kiang memperkenalkan Cheng Kun.
"Dan ini adalah Cheng Kongcu, putera Yang Mulia Pangeran Cheng Boan."
Kembali Sian Eng memberi hormat dan Cheng Kun hanya menganggukkan kepala sedikit dengan mulut masih cemberut teringat akan ancaman Sian Eng tadi.
"Wanita ini adalah Sian Hwa Sian-li, seorang di antara para pembantu Pangeran, dan gadis ini adalah Nona Ciang Mei Ling, juga menjadi penjaga keamanan bersama kami semua."
Setelah diperkenalkan kepada semua yang hadir, Sian Eng duduk kembali. Pada saat itu, seorang perajurit pengawal masuk dan memberi hormat kepada Pangeran Cheng Boan, melaporkan ditemukannya dua orang peronda yang pingsan, seorang di taman dan yang seorang lagi di bagian belakang gedung dekat kamar Cheng Kun, di belakang sebuah pot kembang. Pangeran Cheng Boan mengangguk dan menyuruh perajurit itu mundur. Semua perajurit yang tadi mengawal Pangeran Cheng Boan hanya menjaga di luar ruangan itu.
"Nah, sekarang ceritakan apa yang telah terjadi malam ini. Engkau cerita lebih dulu Cheng Kun. Apa yang terjadi denganmu tadi."
Kata Pangeran Cheng Boan kepada puteranya.
Cheng Kun memandang kepada Sian Eng yang tersenyum kepadanya. Dia mengerutkan alisnya lalu berkata kepada ayahnya.
"Saya sedang duduk dalam kamar saya ketika ada orang mengetuk daun pintu kamar saya dari luar. Ketika saya tanya siapa itu, ia menjawab bahwa ia seorang pelayan baru. Saya membuka daun pintu dan gadis ini dengan muka tertutup kain merah menodongkan pedangnya kepada saya dan mengancam akan membunuh saya."
Pemuda itu berhenti sebentar dan meragu.
"Hemm, kau tidak bertanya mengapa ia hendak membunuhmu?"
Tanya ayahnya.
"Saya bertanya, ayah, dan ia...... ia mengatakan bahwa saya harus segera menikahi Lo Siang Kui dalam bulan ini juga, kalau tidak ia akan memenggal leherku."
Kata pula Cheng Kun sambil me-raba lehernya.
"Apa artinya ini?"
Bentak Pangeran Cheng Boan kepada Sian Eng.
"Nona Lo siang Kui adalah tunangan puteraku, kenapa engkau memaksanya untuk segera menikahinya dengan ancaman akan membunuhnya? Sudah tentu dia akan menikahinya, akan tetapi tidak dengan jalan diancam hendak dibunuh seperti itu! Apa maksudmu dengan ancaman itu?"
Sian Eng tersenyum tenang dan berkata kepada Cheng Kun.
"Cheng Kongcu, kenapa tidak bicara yang sesungguhnya menceritakan apa yang telah terjadi antara engkau dan Lo Siang Kui?"
Ditegur begitu, Cheng Kun diam saja, merasa takut dan malu untuk menceritakan perbuatannya terhadap tunangannya sendiri.
"Apa-apaan semua ini? Bicara apa. kalian? Hayo ceritakan!"
Bentak Pangeran Cheng Boan.
"Yang Mulia, gadis ini memang hendak mengacau. Jelas ia hendak membunuh Cheng Kongcu, maka sebaiknya tangkap ia sebagai pembunuh!"
Tiba-tiba Sian Hwa Sian-li berkata dengan pangeran itu.
"Nanti dulu!"
Bentak Suma Kiang.
"Kalau belum ada kepastian anakku bersalah, aku akan membelanya! Yang Mulia, setidaknya berilah dulu kesempatan kepada Suma Eng untuk menceritakan mengapa ia melakukan ancaman kepada Cheng Kongcu."
Pangeran Cheng Boan mengangguk-angguk.
Baginya, Suma Kiang merupakan pembantu utama yang paling setia dan dapat dipercaya, maka tentu saja dia tidak akan begitu saja menghukum anak perempuan pembantu itu. Maka dia laiu memandang kepada Sian Eng dan berkata.
"Nona, ceritakanlah dengan jujur apa yang terjadi dan mengapa engkau berani masuk ke sini dan mengancam putera kami."
"Tentu saja saya akan menceritakan dengan terus terang dan sejujurnya, Yang Mulia. Apalagi setelah saya bertemu dengan ayah saya yang ternyata menghambakan diri kepada paduka, ayah yang sudah lama saya cari. Saya akan bercerita dengan sebenarnya. Saya datang ke kota raja untuk mencari ayah saya ini dan saya mondok di rumah keluarga Lo, perguruan Hek-tiauw Bu-koan dan pada suatu hari, yaitu kemarin, saya melihat enci Lo Siang Kui berduka bahkan hampir ia membunuh diri dengan tidak mau makan sampai berhari-hari. Setelah saya bujuk-bujuk, akhirnya ia mengaku bahwa sepuluh hari yang lalu, ketika ia berkunjung kepada tunangannya, yaitu Cheng Kongcu di sini, ia telah dinodai oleh Cheng Kongcu."
"Apa....?"
Pangeran Cheng Boan bertanya sambil menoleh kepada puteranya. Dia tidak perduli kalau puteranya berhubungan dengan para wanita, akan tetapi menodai tunangannya sendiri, sungguh hal ini membuat dia merasa tidak senang karena perbuatan itu dapat mencemarkan nama dan kehormatan keluarga mereka.
"Benarkah itu, Cheng Kun?"
Cheng Kun menundukkan mukanya yang berubah kemerahan dan dia melirik kepada Sian Hwa Sian-li, khawatir kalau gadis itu menceritakan betapa Siang Kui telah dirobohkan sampai pingsan oleh Sian Hwa Sian-li kemudian dia bawa ke kamarnya.
"Benar, ayah. Kami berdua telah khilaf.... telah lupa diri...."
Sian Eng tidak begitu bodoh untuk menceritakan semua peristiwa itu karena ia tidak ingin dimusuhi oleh Cheng Kun. Ia sudah mengambil keputusan untuk menyelidiki keadaan keluarga ini yang agaknya menyimpan rahasia besar dengan mengadakan persekutuan dengan orang-orang seperti ayahnya, Toa Ok, dan pemuda lihai yang ternyata pangeran putera Kaisar itu.
"Enci Lo Siang Kui tidak menceritakan bagaimana hal itu terjadi. Ia hanya mengatakan bahwa ia telah ternoda dan Cheng Kongcu berjanji kepadanya untuk dalam waktu seminggu berkunjung kepadanya untuk menentukan hari pernikahan mereka. Akan tetapi ditunggu sampai sepuluh hari, Cheng Kongcu tidak kunjung datang sehingga enci Siang Kui menjadi putus asa dan bertekad untuk membunuh diri dengan tidak mau makan. Saya meng hiburnya dan malam ini saya sengaja datang menemui Cheng Kongcu untuk memaksanya agar dia memenuhi janjinya kepada enci Siang Kui dan segera mengajukan ketentuan hari pernikahan mereka. Saya sama sekali tidak tahu bahwa ayah saya menghambakan diri di sini, kalau saya tahu tentu saya tidak akan melakukan hal itu, Yang Mulia."
"Ampunkan hamba dan anak hamba, Yang Mulia."
Kata Suma Kiang.
"Dengan penjelasan itu, ternyata anak saya tidak bermaksud membunuh Cheng Kongcu, melainkan hendak menggertaknya demi untuk menolong nona Lo Siang Kui. Karena itu mohon pengampunan paduka, dan anak saya ini dapat menyumbangkan kepandaian silatnya untuk membantu paduka."
"Cheng Kun, engkau telah bertindak gegabah dengan menggauli tunanganmu sendiri. Bagaimana kalau hal itu tersiar di luaran? Nama baik dan kehormatan kita akan tercemar. Tidak ada jalan lain, engkau harus memboyongnya ke sini dan menikahinya dengan sah walaupun untuk itu tidak perlu dirayakan secara besar-besaran. Kelak, kalau engkau menikah dengan puteri pilihanku, Nona Lo Siang Kui dapat dijadikan selir pertama."
"Baik, ayah. Akan saya laksanakan."
Kata Cheng Kun dengan hati lega karena ternyata Sian Eng tidak menceritakan seluruhnya.
"Suma-sicu, engkau menawarkan puterimu untuk membantu kami, apakah ia yang hanya seorang gadis muda ini memiliki ilmu kepandaian yang cukup memadai?"
"Tidak semestinya kalau saya memuji pandaian anak saya sendiri, Yang Mulia. Akan tetapi paduka dapat menanyakan kepada Sian Hwa Sian-li ini karena tadi ia sudah bertanding melawan anak saya."
Jawab Suma Kiang sambil tersenyum memandang kepada Sian Hwa Sian-li yang tadi terdesak hebat oleh Sian Eng.
"Bagaimana pendapatmu tentang Ilmu kepandaian silat Nona Suma Eng ini, Sian Hwa Sian-li?"
Tanya Pangeran Cheng Boan sambil menoleh kepada wanita itu. Sian Hwa Sian-li menjadi merah mukanya. Ia tidak dapat memungkiri bahwa Sian Eng lebih lihai darinya, bahwa ia tadi sudah hampir kalah melawan gadis itu, akan tetapi untuk mengakui kekalahannya tentu saja ia merasa malu.
"Saya mendapat kenyataan bahwa ilmu silatnya cukup lihai, Yang Mulia."
Katanya sederhana.
Sejak tadi ketika penutup muka Sian Eng dibuka, Ki Seng diam-diam merasa kagum bukan main. Tadi melihat betapa gadis itu dapat menandingi bahkan mendesak Sian Hwa Sian-li, dia sudah merasa kagum sekali. Setelah melihat wajah yang cantik jelita itu, dia terpesona dan dalam pandang matanya, wajah Sian Hwa Sian-li dan wajah Ciang Mei Ling tampak buruk dibandingkan wajah gadis ini! Demikianlah memang ulah nafsu yang menguasai diri manusia. Nafsu selalu menuntut dan menghendaki yang baru, yang dianggapnya akan lebih menyenangkan daripada yang telah dimilikinya. Kesenangan nafsu berakhir dengan kebosanan karena nafsu ingin menjangkau yang lebih, dan yang belum terdapat, belum di-miliki selalu tampak lebih bagus, lebih menyenangkan daripada yang telah berada di tangan.
"Ilmu kepandaian silat nona ini hebat sekali, Paman Pangeran, bahkan ia mampu mengalahkan Sian Hwa Sian-li tadi,"
Kata Ki Seng atau Pangeran Cheng Lin palsu.
Mendengar ini, Sian Hwa Sian-li mengerling kepadanya dengan alis ber-kerut. Akan tetapi wanita ini tidak berani berkata apa-apa walaupun dalam hatinya ia marah sekali. Rasa tidak sukanya kepada Ki Seng yang telah diketahuinya bukan pangeran aseli itu semakin menebal. Mendengar ucapan Ki Seng itu, Pangeran Cheng Boan merasa girang sekali. Dia percaya sepenuhnya kepada keterangan pemuda yang sakti itu dan tentu saja dia merasa senang mendapatkan pembantu baru yang selain cantik jelita juga memiliki ilmu silat yang tinggi dan boleh diandalkan, apalagi mengingat bahwa gadis itu adalah puteri Suma Kiang yang sudah dipercaya benar.
"Suma-sicu, kami maafkan apa yang telah diperbuat Suma Eng malam ini dan kami suka menerimanya sebagai pembantu kami."
Kata pangeran itu.
Sian Eng menjadi girang sekali. Kini ia mendapat kesempatan untuk membalas dendam sakit hatinya kepada Suma Kiang, juga kepada Toa Ok, dan ia akan dapat pula menyelidiki persekongkolan itu. Kini semua orang mengucapkan selamat kepada Sian Eng, bahkan Sian Hwa Sian-li sendiri tampak ramah kepadanya. Semua tampak ramah kecuali Ciang Mei Ling yang bersikap dingin dan tidak acuh kepadanya. Pangeran Cheng Boan lalu memerintahkan para pelayan untuk menghidangkan makanan dan minuman karena dia hendak merayakan diterimanya Siar Eng sebagai pembantu dengan sebuah pesta kecil di antara mereka semua. Sian Eng yang amat cerdik pandai membawa diri sehingga tidak ada seorang pun yang mencurigainya, kecuali mungkin Ciang Mei Ling yang kadang-kadang mengerling kepadanya dan Sian Eng mendapatkan betapa kerling mata gadis itu amat tajam dan seolah menembus ke dalam dada dan menjenguk hatinya. ia menjadi waspada terhadap Ciang Mei Ling yang dianggapnya berbahaya.
Sian Eng mendapatkan sebuah kamar dalam istana yang besar itu. Malam itu juga ia berpamit dari Pangeran Cheng Boan untuk kembali sebentar ke rumah Lo Siang Kui, mengabarkan tentang hasil pertemuannya dengan keluarga Pangeran Cheng Boan sekalian berpamit dari keluarga Lo Kang karena mulai malam itu ia akan tinggal di istana Pangeran Cheng Boan sebagai seorang pengawal atau penjaga keamanan keluarga pangeran itu.
Siang Kui dan ayah ibunya senang mendengar keterangan Siang Kui bahwa soal pernikahan antara Siang Kui dan Cheng Kun akan ditangani oleh Pangeran Cheng Boan sendiri dan keputusannya pasti akan dilakukan pangeran itu dalam waktu dekat. Biarpun ayah dan ibu Siang Kui belum mengetahui keadaan puteri mereka yang ternoda oleh calon mantu mereka itu, namun berita tentang akan dipercepatnya hari pernikahan puteri mereka, membuat mereka merasa gembira.
Malam itu juga Sian Eng berpamit dari mereka dan membawa buntalan pakaian-nya, berpindah ke dalam istana Pangeran Cheng Boan. Semenjak malam jahanam itu di mana ia terbius oleh anggur beracun yang disuguhkan Sian Hwa Sian-li kepadanya sehingga dalam keadaan tidak sadar dan terangsang ia ternoda oleh Cheng Kun, hati Ciang Mei Ling dipenuhi kebencian Bukan hanya benci kepada Cheng Kui dan Sian Hwa Sian-li yang menggunakai siasat keji sehingga ia menyerahkan kehormatannya kepada Cheng Kun, akan tetapi juga timbul kebenciannya terhadap tunangannya sendiri, Ouw Ki Seng atau Pangeran Cheng Lin! Kini baru terbuka, matanya bahwa pangeran yang menjadi tunangannya itu bukan seorang laki-laki yang baik.
Ia tahu bahwa Pangeran Cheng Lin mengadakan hubungan gelap berjina dengan para selir muda Pangeran Cheng Boan, dan bahwa tunangannya itu pun berbuat mesum dengan Sian Hwa Sian-li. Kini ia dapat menduga bahwa ketika ia dahulu menyerahkan diri kepada Pangeran Cheng Lin, sama seperti ia menyerahkan diri kepada Cheng Kun, semua itu terjadi di luar kesadarannya. Peristiwanya sama dan kini ia dapat mengambil kesimpulan bahwa semua itu telah diatur oleh Sian Hwa Sian-li! Ia merasa dirinya kotor tercemar, dan ia melihat pula sikap tunangannya yang kini tidak acuh terhadap dirinya.
Kini tinggal dendam membara di hatinya, bahkan kini timbul kecurigaan tentang kematian ayah ibunya. Benarkah Twa-to Siang-houw (Sepasang Harimau Golok Besar) yang membunuh ayah ibunya? Kenapa dua orang perampok itu membunuh ayah ibunya? Dan malam itu ia sudah melawan mereka berdua. Rasanya mustahil kalau ayahnya sampai kalah dan terbunuh oleh mereka berdua. Ia sendiri dikeroyok oleh mereka berdua dan biarpun ia terdesak, namun ia merasa yakin bahwa mereka berdua bukan lawan ayahnya. Mereka tidak akan mampu mengalahkan ayahnya! Jangan-jangan ini hanya merupakan tipu muslihat yang sudah diatur oleh Pangeran Cheng Lin dan Sian Hwa Sian-li! Semua pemikiran itu membuat Mei Ling merasa muak dan benci kepada tunangannya, biarpun tunangannya itu seorang pangeran! Ia tidak akan merasa bahagia menjadi isteri seorang pria seperti itu.
Semenjak ia ternoda oleh Cheng Kun, diam-diam Mei Ling melakukan pengintaian terhadap mereka semua. Karena itu ia mengetahui belaka ketika Cheng Kun memperdaya Lo Siang Kui sehingga gadis tunangannya itu dijadikan korban kebiadabannya. Ia sudah berusaha menemui Lo Siang Kui ketika pada keesokan harinya gadis itu pergi meninggalkan gedung Pangeran Cheng Boan. Ia sudah berusaha membuka rahasia kejahatan Cheng Kun, akan tetapi Lo Siang Kui tidak percaya kepadanya.
Mei Ling lalu mengintai mereka. Akan tetapi Pangeran Cheng Boan dan para kaki tangannya itu bersikap hati-hati sekali dan Mei Ling juga tidak berani sembrono karena maklum betapa lihainya para pembantu pangeran itu. Kalau sampai pengintaiannya ketahuan, ia tentu akan celaka. Karena itu, sampai peristiwa munculnya Sian Eng di rumah itu untuk mengancam Cheng Kun, Mei Ling masih belum dapat mengetahui rahasia komplotan itu. Akan tetapi ia menduga keras bahwa hubungan antara Pangeran Cheng Lin dan Pangeran Cheng Boan bukan hubungan kekeluargaan biasa. Pasti ada rahasia di balik semua itu dan ingin la mengetahui rahasia itu.
Kemunculan Sian Eng yang menyerang dan mengancam Cheng Kun untuk mem-pertanggungjawabkan perbuatannya terhadap Lo Siang Kui, pada mulanya menarik perhatian Mei Ling dan ia kagum kepada Sian Eng. Akan tetapi alangkah menyesal dan kecewanya ketika pada akhirnya ternyata bahwa Sian Eng adalah puteri Suma Kiang dan gadis itu bahkan menghambakan diri kepada Pangeran Cheng Boan! Rasa suka yang tadinya timbul di hatinya terhadap Sian Eng yang menyerang Cheng Kun berubah menjadi kebencian karena ia menganggap Sian Eng seorang di antara para kaki tangan Pangeran Cheng Boan.
Pada suatu senja Mei Ling melakukan pengintaian terhadap Cheng Kun dan Sian Hwa Sian-li. Dua orang ini mengadakan pertemuan di pondok kecil di tengah taman, minum arak sambil bercakap-cakap. Melihat kedua orang itu duduk di bangunan pondok yang terbuka itu sambil bercakap-cakap, Mei Ling lalu menginta dan menyelinap di balik rumpun bunga yang banyak daunnya sehingga tubuhnya tertutup sama sekali. Apalagi tempat ia bersembunyi mengintai dan mendengarkan itu terlindung bayangan pohon yang gelap.
"Aku masih merasa heran sekali, Cheng Kongcu. Kalau ayahmu pangeran sudah mengetahui bahwa Ouw Ki Seng itu adalah Pangeran Cheng Lin yang palsu, mengapa ayahmu mau saja menerimanya sebagai sekutunya, bahkan membiarkan dia berbuat sesuka hatinya menggaul para selir ayahmu?"
Mei Ling terbelalak dan jantungnya berdebar keras membuat kedua kakinya gemetar. Apa yang didengarnya itu terlalu hebat dan penting. Ouw Ki Seng, tunangannya itu, ternyata hanya seorang pangeran palsu? Apa pula ini? Tiba-tiba ia terkejut setengah mati ketika pundaknya ada yang menyentuh. Ia cepat menoleh dan betapa kagetnya ketika ia melihat bahwa yang menyentuh pundaknya itu bukan lain adalah Sian Eng, puteri Suma Kiang! Secara otomatis Mei Ling menggerakkan tangannya untuk memukul, akan tetapi Sian Eng sudah menangkap pergelangan tangannya dan menaruh telunjuk tangan kanannya di depan mulut, memberi tanda supaya Mei Ling tidak membuka suara membuat gaduh. Melihat tanda dan sikap ini, biarpun la merasa heran dan curiga, Mei Ling tidak jadi bergerak menyerang. Mereka berdua berhimpitan bersembunyi di balik rumpun bunga dan mendengarkan sambil mengintai ke arah dua orang yang duduk berhadapan terhalang meja kecil di mana terdapat dua guci anggur dan arak.
"Sssttt, hati-hati engkau bicara!"
Desis Cheng Kun ketika mendengar ucapan Sian Hwa Sian-li tadi.
"Ah, apa yang kau khawatirkan, Cheng Kongcu? Malam ini Pangeran Cheng Lin tidak berada di sini."
Kata wanita itu.
"Benar, akan tetapi bagaimana dengan Ciang Mei Ling? Dan Suma Eng yang kini juga berada di sini? Kalau mereka mendengarnya...."
"Sudahlah, tidak perlu banyak khawa-tir, kekasihku yang tampan."
Kata Sian Hwa Sian-li dengan sikap genit.
"Sebelum mengajakmu ke sini tadi, aku sudah memeriksa dan mengintai kamar mereka. Dua orang gadis itu berada di kamar masing-masing. Pula, tempat ini terbuka, kalau ada orang datang mendekat tentu ikut akan melihatnya. Kita dapat bicara dengan leluasa di tempat ini."
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku tidak begitu khawatir tentang Mei Ling. Bukankah ia sudah kutundukkan? Pula, ia adalah tunangan Pangeran Cheng Lin, mungkin ia sudah tahu bahwa pangeran itu palsu. Yang kukhawatirkan adalah Suma Eng itu. Ia tampaknya galak dan ganas, ilmu kepandaiannya tinggi sekali."
"Tidak perlu takut. Gadis itu adalah puteri Suma Kiang. Mungkin saja ayahnya sudah memberi tahu tentang diri Pangeran Cheng Lin."
"Akan tetapi hatiku belum yakin. Ah, kalau saja aku bisa mendapatkan si cantik jelita itu seperti aku mendapatkai Mei Ling, tentu ia akan dapat kukuasai Akan tetapi mungkinkah hal itu dilaksanakan? Ia begitu lihai!"
"Hi-hik, mengapa tidak mungkin? Dengan anggur perangsangku, seorang dewa dari kahyanganpun dapat terjatuh ke dalam pelukanmu, Cheng Kongcu."
"Aih! Benarkan itu, Sian-li? Kalau begitu, cepatlah lakukan untukku. Ia cantik jelita sekali dan ia pernah menghinaku Aku ingin sekali mendapatkannya agar puas hatiku dan dapat membalas penghinaanku."
"Tunggu saja tanggal mainnya! Suatu waktu ia pasti akan menjadi milikmu akan tetapi apa yang kau peroleh atas semua jasaku itu?"
"Jangan khawatir, Sian-li. Aku tidak akan melupakanmu. Kalau kelak ayah sudah dapat menjadi kaisar, engkau tentu akan menjadi mantu kaisar, menjadi seorang di antara isteri-isteriku yang paling berjasa dan kucinta."
"Hemm,"
Sian Hwa Sian-li cemberut "Engkau akan mempunyai berapa orang isterikah, Cheng Kongcu?"
"Tentu saja banyak! Kalau ayah sudah menjadi Kaisar kelak, berarti aku menjadi putera mahkota yang kelak menggantikan ayah menjadi Kaisar. Aku akan mempunyai isteri sebanyak mungkin, juga selir dan dayang-dayang yang cantik jelita."
"Hemm, dasar mata keranjang."
Sian Hwa Sian-li berlagak marah dengan sikap genit.
"Jangan khawatir, Sian-li. Engkau tetap akan menjadi seorang di antara isteriku yang kucinta. Engkau akan selalu berdekatan dengan aku karena engkau juga menjadi pengawal pribadiku dan pelindungku."
"Akan tetapi bagaimana ayahmu pangeran akan dapat menjadi kaisar menggantikan Kaisar Cheng Tung? Bukankah masih ada Pangeran Cheng Lin itu, walaupun sebenarnya dia Ouw Ki Seng? Kaisar Cheng Tung sendiri sudah menerimanya sebagai seorang pangeran."
"Ah, jangan khawatirkan tentang pangeran palsu itu."
"Akan tetapi Ouw Ki Seng itu lihai sekali, Cheng Kongcu. Kita harus berhati-hati sekali!"
Sian Hwa Sian-li memperingatkan.
"Takut apa? Di sini ada Suma Kiang ada Toa Ok, ada engkau sendiri, ditambah lagi Ciang Mei Ling dan Lo Sian Kui yang tentu sekarang suka membantu kita!"
"Akan tetapi kalau ayahmu pangeran sudah mengetahui bahwa dia Pangeran palsu, kenapa tidak dilaporkan saja kepada Kaisar Cheng Tung agar dia ditangkap dan dihukum?"
"Ah, ternyata engkau masih bodoh Sian-li. Kita mengajak Ouw Ki Seng bersekutu dan sengaja mendukungnya sebaga pangeran hanya untuk memperalat dia dalam usaha menyingkirkan para penghalang, Tanpa disingkirkannya para penghalang dalam istana itu, bagaimana mungkin ayah akan dapat menjadi kaisar?"
"Siapakah penghalang-penghalang itu, Cheng Kongcu?"
"Ssstt, jangan kuat-kuat bicara!"
Cheng Kun memperingatkan, Sian Hwa sian-li menoleh ke kanan kiri,
(Lanjut ke Jilid 28)
Suling Pusaka Kumala (CeritaLepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 28
dengan pandang mata tajam menyapu keadaan sekeliling.
Lo Sian Eng dan Mei Ling yang melakukan pengintaian menahan nafas. Akan tetapi Sian Hwa Sian-li agaknya tidak mencurigai sesuatu.
"Tenanglah, tidak ada siapa-siapa di sekitar sini."
Katanya.
"Ceritakanlah, Siapa penghalang-penghalang yang harus di-singkirkan itu, Cheng Kongcu? Ingat, aku adalah pembantu dan juga pelindungmu, Maka sebaiknya kalau aku mengetahui segala keadaan sehingga dapat membantu dengan tepat dan tahu siapa kawan siapa lawan."
"Mereka adalah lima orang pangeran yang berada di dalam istana. Mereka itu harus disingkirkan karena merupakan penghalang bagi ayah untuk menjadi kaisar. Tentu saja hal ini akan dapat dilakukan dengan mudah oleh Ouw Ki Seng yang tinggal di istana sebagai seorang pangeran pula."
Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo