Ceritasilat Novel Online

Suling Pusaka Kumala 30


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 30



"Paman Kakek yang budiman, petunjuk apakah yang hendak kakek berikan kepada kami? Mengapa kakek menghalangi pelaksanaan hukuman terhadap orang-orang yang membunuh dua orang putera kami?"

   "Omitohud! Sri Baginda Kaisar, pinceng tahu bahwa paduka adalah seorang yang amat bijaksana dan baik hati, yang kadang dapat mendatangkan kelemahan ini hingga paduka mudah diperdaya orang jahat. Ketahuilah bahwa pemuda yang memakai nama Han Lin ini adalah murid yang amat baik. Pinceng berani menjamin, berani menanggung bahwa dia tidak mungkin membunuh kedua orang pangeran putera paduka itu."

   "Akan tetapi, paman kakek yang budiman, ketahuilah bahwa ada bukti dan saksi dalam tuduhan itu dan sudah terbukti bahwa Han Lin ini yang membunuh pangeran Cheng Bhok. Tanpa bukti dan saksi, tidak mungkin kami mau menjatuhkan hukuman dengan semena-mena terhadap orang yang tidak berdosa."

   Kata Kaisar Cheng Tung.

   "Bukti dan saksi itu bohong semua!"

   Kata Sian Eng dan begitu ia mengerahkan tenaga sin-kang, tali yang membelenggu kedua tangannya sudah putus dan kedua tangannya itu kini bebas. Ia lalu membebaskan pula belenggu kedua tangan Kiok Hwa dan melihat suhunya di situ, Han Lin juga membebaskan kedua tangannya yang terbelenggu. Para perwira yang memimpin pasukan pengawal adalah orang-orang yang sudah tepengaruhi Pangeran Cheng Boan, maka ketika Pangeran Cheng Boan berseru,

   "Tangkap mereka!"

   Para perwira itu memberi isarat kepada anak buahnya untuk bergerak.

   "Semua diam dan tidak boleh bergerak!"

   Tiba-tiba Kaisar Cheng Tung membentak dan semua pengawal itu tentu saja tidak berani bergerak. Bagaimanapun juga, mereka tentu saja lebih tunduk kepada Kaisar Cheng Tung daripada kepada pangeran Cheng Boan.

   "Nona, katakan mengapa engkau bilang bahwa bukti dan saksi itu bohong semua."

   "Yang Mulia, lo-cian-pwe ini benar kalau mengatakan bahwa paduka terlalu lemah sehingga mudah diperdaya orang. Paduka tidak tahu bahwa ada komplotan besar yang bergerak di belakang paduka yang merencanakan semua pembunuhan atas diri para pangeran itu. Paduka tidak tahu bahwa Pangeran Cheng Lin yang berdiri di belakang paduka itu adalah seorang manusia berhati iblis yang menyamar sebagai Pangeran Cheng Lin, dan bahwa Pangeran Cheng Lin yang aseli bukan lain adalah saudara Han Lin inilah"

   Tentu saja ucapan yang lantang sekali ini seperti menyambarnya halilintar dalam cuaca terang. Semua orang terkejut dan pada saat itu, sesosok bayangan meluncur dari atas panggung Kaisar dan melayang ke atas panggung di mana Sian Eng berdiri.

   "Bohong! Fitnah! Perempuan busuk engkau patut mati!"

   Ki Seng sudah menerjang bagaikan seekor burung elang menyambar, kedua tangannya sudah memukul dan mendorong dengan pengerahan tenaga sakti ke arah Sian Eng. Han Lin melihat serangan yang amat berbahaya itu. Diapun melompat ke depan Sian Eng menyambut serangan itu dengan kedua telapak tangannya pula.

   "Blaarrr.....!"

   Dua tenaga sakti yang amat dahsyat dan kuat itu saling bertumbukan dan akibatnya, tubuh Ki Seng terpental keluar panggung dan tubuh Han Lin juga terdorong mundur. Dua orang pemuda itu sudah siap lagi untuk saling serang, akan tetapi pada saat itu terdengar suara Kaisar Cheng Tung.

   "Semua berhenti! Yang berani bergerak menyerang berarti menentang perintah kami dan akan dihukum berat!"

   Mendengar perintah ini, Ki Seng tidak berani bergerak, akan tetapi dia menoleh ke arah panggung tempat kaisar berada dan dia berseru dengan lantang.

   "Akan tetapi, ayahanda Kaisar yang mulia! Mereka ini berani melempar fitnah dan menghina hamba, berarti mereka berani menghina paduka pula!"

   "Diamlah dulu, Pangeran Cheng Lin. kami akan menyelidiki semua ini dan kalau mereka bersalah, pasti kami jatuhi hukuman. Tidak perduli siapa, kalau dia bersalah pasti tidak akan terlepas dari hukuman. Sekarang kami perintahkan engkau Cheng Lin dan juga semua pangeran, dan kalian bertiga yang didakwa sebagai pembunuh, agar menghadap kami dalam persidangan. Paman Kakek Cheng Hian Hwesio juga kami persilakan hadir dalam persidangan, demikian pula semua menteri agar hadir dan ikut menyaksikan!"

   Setelah berkata demikian, Kaisar Cheng Tung membungkuk terhadap Cheng Hian Hwesio dan meninggalkan panggung kembali ke dalam istana.

   Dapat dibayangkan betapa panik rasa hati Pangeran Cheng Boan melihat betapa keadaan menjadi berbalik dan mengancam dirinya. Akan tetapi, hadirnya Cheng Hian Hwesio bekas kaisar Hui Ti sungguh membuat dia tidak mampu berkutik. Diapun tidak berani mengerahkan para pembantunya untuk menyerang Han Lin dan dua orang gadis itu. Han Lin saja sudah demikian lihainya, apalagi Cheng Hian Hwesio yang menjadi gurunya. Juga para pejabat tinggi kini menggiringkan Cheng Hian Hwesio dan tiga orang muda itu. Dia tidak berdaya, tidak berani bergerak dan terpaksa mengikuti mereka masuk ke istana, menuju ke ruangan persidangan di mana Kaisar Cheng Tung sudah duduk dijaga ketat oleh para perwira pengawal yang berdiri di belakang tempat duduk kaisar.

   Mereka semua menghadap Kaisar. Dalam ruangan persidangan ini, para penghadap tidak berlutut seperti biasa, melainkan disediakan kursi-kursi untuk mereka, di bagian yang lebih rendah daripada tempat duduk kaisar. Kaisar Cheng Tung menghendaki demikian karena terasa tidak enak dan tidak leluasa baginya kalau harus bersidang dengan orang-orang yang berlutut. Hui Sian Hwesio mendapatkan kursi kehormatan di sebelah kiri kaisar Cheng Tung yang menghormatinya sebagai sesepuh. Para menteri duduk di kiri kanan. Empat orang pangeran, yaitu Pangeran Cheng Hwa, Cheng Ki, Cheng Tek dan Cheng Lin palsu duduk menghadap di depan kaisar. Tak jauh dari situ, menghadap Kaisar pula, Han Lin, Sian Eng dan Kiok Hwa berlutut di atas lantai.

   Sebagai pesakitan tentu saja mereka tidak duduk di atas kursi, melainkan berlutut. Suasana dalam ruang-persidangan itu hening dan angker, dengan penjagaan yang ketat sehingga Sian Eng yang biasanya rewel itupun tidak banyak ulah, melainkan menurut saja ketika disuruh berlutut di sebelah kiri Han Lin, sedangkan Kiok Hwa berlutut di sebelah kanan pemuda itu. Suasana hening itu membuat suara Kaisar Cheng Tung terdengar lantang dan jelas ketika dia berkata sambil memandang Cheng Hian Hwesio yang duduk di sebelah kirinya.

   "Paman Kakek Cheng Hian Hwesio, kami harap kakek suka lebih dulu menceritakan tentang diri Han Lin sebagai murid paman kakek."

   "Omitohud, pinceng hanya dapat menegaskan bahwa murid pinceng Han Lin adalah seorang pemuda yang baik dan pinceng berani menanggung bahwa dia tidak mungkin melakukan pembunuhan terhadap para pangeran. Adapun yang mengaku sebagai Pangeran Cheng Lin juga pinceng kenal dengan baik. karena dia dahulu menjadi murid pinceng dengan nama A-seng. Pinceng telah melatih A-seng selama bertahun-tahun, akan tapi ternyata kemudian bahwa dia adalah seorang yang berwatak jahat sekali, dia bahkan pernah berusaha untuk membunuh pinceng, dan dia telah membunuh dua orang pengikut pinceng. Karena itu, pinceng harap paduka agar berhati-hati dengan orang muda yang sesat itu."

   Kata Theng Hian Hwesio sambil memandang pada Ki Seng.

   "Ayahanda Kaisar, hwesio tua ini sejak dulu pilih kasih, tidak heran kalau dia kini membela Han Lin dan melemparkan fitnah kepada hamba."

   Kata Ki Seng, mengambil keputusan untuk menyangkal semua tuduhan dan membela diri sekuatnya.

   "Diamlah, Cheng Lin dan jangan bicara kalau tidak ditanya. Ini merupakan persidangan dan harus dipatuhi oleh siapapun juga."

   Kaisar Cheng Tung menegur.

   "Sekarang giliranmu, nona. Siapa namamu?"

   Kaisar memandang kepada Sian Eng dan gadis ini mengangkat muka dan menatap wajah kaisar dengan berani. Kaisar Cheng Tung tertegun. Jarang ada wanita muda berani menentang pandang matanya setabah itu.

   "Nama hamba Lo Sian Eng, Sribaginda yang mulia."

   Jawab Sian Eng.

   "Coba jelaskan apa maksudmu ketika mengatakan tadi bahwa ada komplotan yang merencanakan pembunuhan terhadap para pangeran."

   "Kebetulan sekali hamba tinggal di rumah Pangeran Cheng Boan karena hamba dianggap sebagai puteri dari Suma Kiang, seorang jagoan yang menjadi pembantu Pangeran Cheng Boan. Kesempatan itulah hamba pergunakan untuk mendengar percakapan tentang rahasia mereka Pangeran Cheng Boan bersekongkol dengan Pangeran Cheng Lin palsu untuk membunuh semua pangeran agar kelak Pangeran Cheng Lin palsu dapat menjadi kaisar."

   "Bohong besar! Harap paduka tidak mempercayai kebohongan besar gadis setan itu, yang mulia!"

   Pangeran Cheng boan berseru.

   Kaisar Cheng Tung mengerutkan alisnya memandang kepada Pangeran Cheng boan.

   "Adinda, apakah engkau tidak tahu akan peraturan dalam persidangan? Adinda tidak boleh bicara sebelum ditanya dan apakah engkau mengira kami akan mudah percaya omongan orang begitu saja? Kami akan menyelidiki dengan tuntas sehingga akan terbukti dan terlihat siapa yang salah dan siapa yang benar, karena itu, jangan mengganggu kalau ada yang sedang memberi keterangan dan jangan bicara kalau tidak ditanya!"

   Pangeran Cheng Boan memberi hormat dan berkata lirih.

   "Ampunkan hamba kakanda yang mulia."

   Kaisar Cheng Tung memandang kepada Sian Eng dan berkata.

   "Nona Lo Sian Eng, sekarang ceritakan sebenarnya apa yang telah terjadi dan bagaimana engkau dapat berada dalam pondok di hutan bersama Han Lin dan nona berpakaian putih ini. Ceritakan sejujurnya dan jangan takut akan ancaman siapapun juga."

   "Baik, Sri Baginda Yang Mulia. Hamba tidak takut terhadap ancaman siapapun juga karena hamba menceritakan yang sebenarnya. Kemarin dulu, hamba melihat kakak Han Lin dan enci Tan Kiok Hwa ini sedang diserang dan hendak dibunuh oleh dua orang datuk persilatan yang sesat, yaitu Suma Kiang dan Toa Ok. Mereka berdua adalah kaki tangan Pangeran Cheng Boan. Kakak Han Lin sedang menderita luka-luka karena hukuman cambuk yang pelaksanaannya selama 2 kali dilakukan oleh dia yang menamakan dirinya Pangeran Cheng Lin itu. Hamba lalu membantu kakak Han Lin dan enci Tan Kiok Hwa sehingga dua orang pembunuh itu melarikan diri. Hamba bertiga lalu tinggal di pondok dalam hutan untuk mengobati luka-luka. Pengobatan dilakukan oleh enci Tan Kiok Hwa yang bagi rakyat tidak asing lagi dengan sebutan PeK I Yok Sian-li karena ia sudah banyak menolong rakyat yang diserang wabah penyakit. Tiba-tiba malam tadi pondok kami diserbu pasukan dan kami dituduh telah membunuh seorang pangeran. kami ditangkap dan dihadapkan paduka. Karena pandainya mereka mengatur siasat, paduka juga tertipu dan paduka menjatuhkan hukuman kepada kami bertiga. Hamba yakin bahwa kematian pangeran itu tentu dilakukan mereka lalu menjatuhkan fitnah kepada kami bertiga. Hamba mohon keadilan paduka yang bijaksana, yang mulia."

   Pangeran Cheng Hwa mengerutkan alisnya. Mendengar keterangan Sian Eng itu, dia merasa bahwa dia yang dijadikan sasaran penipuan itu sehingga dia tadinya yakin bahwa Han Lin yang melakukan pembunuhan itu.

   Kaisar Cheng Tung memandang kepada Kiok Hwa.

   "Nona Tan Kiok Hwa. Kami telah mendengar tentang PeK I Yok Sian-li, kiranya engkau orangnya, Engkau terkenal sebagai seorang ahli pengobatan yang sudah banyak memberi pertolongan kepada rakyat tanpa minta imbalan. Orang seperti engkau tentu tidak suka melakukan kejahatan dan berbohong. Nah, ceritakanlah bagaimana engkau sampai terlibat dalam urusan pembunuhan terhadap Pangeran Cheng shi sehingga ikut ditawan?"

   "Sri Baginda Yang Mulia, kiranya hamba tidak dapat banyak memberi keterangan lagi karena semua sudah diceritakan oleh adik Lo Sian Eng. Semua yang diceritakannya tadi benar belaka. Hamba baru pulang dari dusun yang dilanda musibah wabah. Di tengah perjalanan menuju kota raja, hamba melihat kakak Han Lin yang sudah hamba kenal dalam keadaan luka-luka yang cukup parah. Hamba lalu mengobatinya dan pada saat itu muncul Suma Kiang dan Toa Ok yang menyerang kakanda Han Lin dan hamba. Tentu hamba berdua sudah tewas di tangan mereka karena kakak Han Lin sedang terluka parah kalau saja tidak muncul adik Lo Sian Eng yang membantu sehingga dua orang itu dapat diusir. Hamba bertiga lalu pergi ke pondok dalam hutan untuk mengobati luka-luka hamba. Kemudian tiba-tiba malam itu pasukan datang menyerbu dan menangkap hamba bertiga dengan tuduhan membunuh seorang pangeran. Demikianlah keadaan yang sesungguhnya, Yang Mulia."

   Kaisar Cheng Tung mengangguk-angguk sambil mengerling ke arah Pangeran Cheng Boan dan Ki Seng. Kedua orang ini tampak menundukkan muka dan mengerutkan alis. Kaisar Cheng Tung lalu berkata kepada Han Lin, suaranya lantang berwibawa terdengar oleh semua yang yang hadir dalam persidangan itu.

   "Han Lin sekarang katakan dengan tegas, jujur dan terus terang. Siapakah sesungguhnya dirimu? Benarkah apa yang di katakan Nona Lo Sian Eng tadi bahwa engkau sebenarnya adalah Pangeran Cheng Lin?"

   Han Lin segera memberi hormat dan menjawab dengan tenang dan tegas.

   "Ampunkan hamba, Yang mulia. sesungguhnyalah, hamba bernama Cheng Lin dan menurut keterangan mendiang ibu hamba, ayah hamba adalah paduka sri Baginda Kaisar Cheng Tung."

   Suasana menjadi hening di ruangan itu. pangeran Cheng Boan dan Ki Seng bersungut-sungut memprotes, namun tidak berani mengeluarkan suara. Kaisar menatap wajah Han Lin dan dia membayangkan wajah Chai Li. Ada keharuan menyelinap dalam hatinya. Akan tetapi dia masih belum yakin dan akan menyelidiki sampai jelas benar yang mana sebetulnya putera kandungnya yang terlahir dari Puteri Chai Li.

   "Han Lin, kalau benar engkau Pangeran Cheng Lin seperti yang kau katakan, lalu kenapa engkau tidak mengaku demikian kepada kami, sebaliknya menggunakan nama Han Lin?"

   "Hamba tidak berani, Yang Mulia, karena bukti diri hamba, yaitu Suling Pusaka Kemala yang hamba terima dari mendiang ibu hamba, telah dicuri oleh A-seng yang kini telah mengaku sebagai Pangeran Cheng Lin,"

   Ki Seng menjadi gelisah duduknya, mukanya berubah sebentar merah sebentar pucat. Ingin rasanya dia menyerang Han Lin, akan tetapi dia tidak berani dan hanya memandang kepada Han Lin dengan mata melotot penuh kebencian.

   "Hemm, Han Lin, tahukah engkau bahwa sedikit saja engkau bercerita bohong, kami akan menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepadamu? Apakah benar semua keteranganmu tadi?"

   "Hamba berani bersumpah dan berani mempertanggung-jawabkan semua keterangan hamba, kalau hamba berbohong hamba siap untuk menerima hukuman apapun juga yang paduka jatuhkan kepada hamba."

   "Kalau begitu, ceritakanlah riwayatmu, sejak kecil sampai sekarang. Ceritakan yang penting dan garis besarnya saja untuk membuktikan kebenaran keteranganmu tadi."

   Kata Kaisar Cheng Tung dengan suara memerintah.

   "Hamba dilahirkan di perkampungan Mongol. Ibu hamba adalah Puteri Chai Li, keponakan dari kakek Kapokai Khan. Ketika hamba terlahir, ayah kandung hamba tidak ada di sana. Ketika hamba berusia tiga tahun, datang Suma Kiang yang kemudian dengan ancaman menculik ibu Chai Li dan hamba, membawanya pergi dari perkampungan ibu hamba. Di tengah perjalanan, ibu dan hamba ditolong dan dibebaskan dari tangan Suma Kiang yang amat jahat. Suma Kiang yang hendak mengganggu ibu membuat ibu nekat menggigit lidahnya sendiri sampai putus. Untung ada Gobi Sam-sian, tiga orang pendekar budiman yang menolong kami....."

   Wajah Kaisar Cheng Tung menjadi agak pucat.

   "Ia..... ibumu.... putus lidahnya? Menjadi gagu.....?"

   Tanyanya lirih.

   "Benar. Yang Mulia. Ibu masih dapat bicara, akan tetapi tidak jelas dan ia lebih banyak menggunakan tulisan kalau hendak menyatakan sesuatu. Ketika hamba berusia enam tahun, Gobi Sam-sian menggembleng hamba ilmu silat. Ketika hamba berusia sepuluh tahun, mendiang ibu hamba baru menceritakan tentang asal-usul hamba, siapa ayah kandung hamba yang belum pernah hamba lihat karena beliau telah meninggalkan ibu hamba sewaktu hamba berada dalam kandungan dan sejak itu tidak pernah ada kabar beritanya lagi!"

   Dalam ucapan Han Lin ini terkandung nada teguran yang membuat wajah Kaisar Cheng Tung menjadi kemerahan. Dia menghela napas panjang lalu berkata lirih.

   "Lanjutkan ceritamu!"

   "Mendiang Ibu Chai Li menyerahkan sebatang suling, yaitu Suling Pusaka Kemala setelah ia meniup suling itu dan memainkan sebuah lagu. Pada saat itu, Gobi sam-sian mengajak hamba berdua dengan ibu melarikan diri dari pengejaran Suma Kiang dan Sam Ok yang hendak membunuh hamba dan ibu. Akan tetapi Suma Kiang dapat menyusul. Gobi Sam-sian roboh oleh Suma Kiang dan Sam Ok. Ibu melompat ke dalam jurang ketika hendak ditangkap Suma Kiang. Hamba lalu diperebutkan oleh Sam Ok dan Toa Ok. Kemudian muncul Suhu Bu Beng Lojin yang menolong hamba dan kemudian hamba menjadi murid beliau."

   "Jadi ibumu melompat ke dalam jurang dan tewas?"

   Kaisar Cheng Tung bertanya, suaranya terkandung keharuan yang mendalam.

   "Tadinya hamba mengira demikian, Yang Mulia. Akan tetapi ternyata kemudian bahwa ibu Chai Li selamat karena tertolong oleh Ji Ok. Kemudian suhu Bu Beng Lojin membawa hamba pergi menghadap Suhu Cheng Hian Hwesio dan hamba digembleng ilmu oleh Suhu Cheng Hian Hwesio. Pada saat itulah muncul A-seng yang mengaku orang tuanya dibunuh penjahat. Dia diterima oleh Suhu Cheng Hian Hwesio dan menjadi murid beliau, jadi boleh dibilang dia itu masih saudara seperguruan hamba. Karena hubungan kami baik dan dia hamba anggap sebagal saudara seperguruan, maka hamba ceritakan asal usul hamba kepadanya. Hamba memperlihatkan Suling Pusaka Kemala kepada A-seng. Lima tahun kemudian pada suatu hari A-seng datang dan bermalam dalam kamar hamba. Ketika hamba terbangun, ternyata A-seng sudah tidak ada dan Suling Pusaka Kemala hamba hilang, dicuri oleh A-seng. Hamba mengejar ke pondok Suhu Cheng Hian Hwesio. Ternyata A-seng telah minggat bahkan telah membunuh dua orang pembantu Suhu Cheng Hian Hwesio dan membakar pondok, bahkan menyerang Suhu Cheng Hian Hwesio, kemudian karena tidak berhasil lalu melarikan diri."

   "Jahat sekali!"

   Kata Kaisar Cheng Tung sambil melirik ke arah Ki Seng yang mengerutkan alis, cemberut dan menggeleng-geleng kepala seolah membantah semua cerita Han Lin.

   "Lalu bagaimana? Lanjutkan!"

   "Hamba lalu turun gunung hendak mencari A-seng dan merampas kembali suling pusaka, juga hamba ingin pergi ke kota raja menghadap Sri Baginda Kaisar Cheng Tung untuk mengingatkan beliau bahwa ibu Chai Li hidup sengsara sampai matinya dengan selalu mengharap-harap berita yang tak kunjung tiba....."

   "Berani engkau bicara seperti itu terhadap ayahanda kaisar yang mulia!"

   Bentak Ki Seng.

   "Diam kau!"

   Kaisar Cheng Tung membentak pula dan dia memejamkan kedua matanya dan memegang kepalanya yang tiba-tiba pening. Dia merasa menyesal sekali mendengar bujukan orang-orang seperti Pangeran Cheng Boan sehingga dia melupakan Puteri Chai Li yang pernah dicintanya.

   "Bagaimana dengan nasib ibumu?"

   Tanyanya dengan lirih kepada Han Lin.

   "Ibu Chai Li tewas ketika hendak melindungi hamba dari serangan Ji Ok dengan pisau terbang. Ibu yang terkena pisau dan tewas. Akan tetapi hamba telah berhasil membalaskan kematian ibu dan hamba telah membunuh Ji Ok."

   "Kemudian bagaimana engkau terlibat dengan urusan pembunuhan Pangeran Cheng Bhok di hutan dekat pondok di mana engkau berada?"

   "Paduka telah mengetahui. Hamba tanpa sengaja dapat menyelamatkan Pangeran Cheng Hwa dari usaha pembunuhan orang bertopeng. Hamba diterima masuk istana sebagai pengawal. Lalu hamba difitnah hendak menyerang para pangeran, padahal yang hamba serang adalah A-seng yang telah mencuri Suling Pusaka Kemala milik hamba. Hamba dijatuhi hukuman cambuk dan A-seng menggunakan kesempatan ini untuk mencambuk hamba dua kali dengan pengerahan dengan tenaga saktinya sehingga hamba menderita luka parah. Bahkan ketika adik Tan Kiok Hwa mengobati hamba yang terluka, muncul Suma Kiang dan Toa Ok Untuk membunuh hamba, untung muncul adik Lo Sian Eng yang menolong hamba. Hamba bertiga mengaso dan berobat dalam pondok, akan tetapi kembali kami difitnah, dituduh membunuh Pangeran Cheng Bhok. Hamba yakin bahwa ini tentu perbuatan A-seng atau yang kini nenyamar sebagai Pangeran Cheng Lin palsu."

   "Akan tetapi kenapa Pangeran Cheng Bhok tewas oleh sebatang pedang dan engkau mengakui pedang itu sebagai milikmu?"

   Tanya Kaisar Cheng Tung.

   "Memang benar itu pedang hamba, yang Mulia. Akan tetapi pedang hamba Im Yang Pokiam itu telah diambil oleh A-seng ketika hamba dijatuhi hukuman cambuk dan belum pernah kembali ke tangan hamba."

   Kaisar Cheng Tung hampir tidak dapat menahan kemarahan lagi. Dia hampir yakin akan kebenaran keterangan Han lin dan diapun memandang kepada Ki Seng dengan sinar mata penuh kemarahan. Akan tetapi dia adalah seorang yang bijaksana dan tidak mau dipengaruhi nafsu amarah. Dia harus mendapatkan bukti yang lebih meyakinkan lagi.

   "Pangeran Cheng Lin, engkau sudah mendengar semua keterangan tadi. bagaimana jawaban dan pembelaan dirimu, Kami ingin mendengar."

   Kata Kaisar Cheng Tung.

   Ki Seng memandang ke arah Han Lin dengan mata melotot dan muka marah. kemudian dia memberi hormat kepada Kaisar Cheng Tung.

   "Ayahanada Kaisar yang mulia. Semua itu hanya fitnah belaka. Mereka memang bersekongkol untuk menjatuhkan hamba, agar penjahat pembunuh Han Lin ini dapat mengambil alih kedudukan hamba. Dia berbohong dan palsu!"

   "Pangeran Cheng Lin, apakah engkau masih ingat suling ini?"

   Kaisar Cheng Tung mengeluarkan Suling Pusaka Kemala yang sejak tadi memang sudah dipersiapkan dalam persidangan itu. Dia mengangkat suling itu untuk diperlihatkan kepada semua yang hadir.

   "Tentu saja hamba ingat, Ayahanda kaisar Yang Mulia. Itu adalah Suling Pusaka Kemala yang dulu hamba terima dari mendiang Ibu Chai Li."

   "Bagus kalau masih ingat. Nah, terimalah suling ini dan coba tiup dan mainkan lagu yang biasa dimainkan Puteri Chai Li dengan suling ini."

   Kaisar Cheng Tung menyerahkan suling. Ki Seng menerimanya dan dia menjadi bingung. Dia pernah mendengar Han Lin meniup suling itu dan dia hanya ingat sedikit-sedikit lagu itu.

   Dia sendiripun sudah mempelajari untuk meniup suling itu sebelumnya, untuk menjaga segala kemungkinan. Dia dapat memainkan banyak lagu dengan tiupan suling itu, akan tetapi, lagu yang di maksudkan Kaisar Cheng Tung itu dia tidak tahu, hanya pernah mendengar Han Lin memainkannya satu kali.

   "Hayo cepat mainkan lagu itu, kami ingin sekali mendengarnya."

   Terpaksa Ki Seng menempelkan suling pada bibirnya dan meniup suling itu, memainkan lagu yang pernah didengarnya dari Han Lin, akan tetapi karena dia hanya tahu dan ingat sepotong-sepotong saja, maka lagu itu dia campur dengan lagu lain sehingga terdengar tidak karuan dan kacau balau! Sian Eng yang sedikit banyak juga mengerti akan seni suara, tidak dapat menahan geli hatinya dan tertawa, akan tetapi cepat mendekap mulutnya dengan kedua tangan sehingga suara tawanya yang merdu hanya sempat membocor sedikit. Semua mata yang hadir kini ditujukan kepada Ki Seng yang menjadi semakin gugup sehingga dia menyudahi tiupan sulingnya.

   "Tahukah engkau, apa nama lagu yang biasa dimainkan dengan tiupan suling oleh Puteri Chai Li?"

   Tanya Kaisar Cheng Tung kepada Ki Seng. Ki Seng diam saja, tidak mampu menjawab dan tampak bingung, wajahnya berubah agak pucat.

   "Hayo jawab!"

   Bentak Kaisar Cheng Tung.

   "Hamba....hamba tidak ingat lagi..... sudah terlalu lama...."

   Kaisar menoleh kepada seorang perwira pengawal.

   "Ambil suling itu dan serahkan kepada Han Lin."

   Kepala pengawal itu menghampiri Ki Seng. Tanpa berkata apapun Ki Seng menyerahkan suling itu dan kepala pengawal membawanya kepada Han Lin dan menyerahkan suling itu. Han Lin menerima dan menempelkan suling itu pada dada dan bibirnya dengan rasa haru yang mendalam karena dia teringat kepada ibunya.

   "Han Lin, tahukah engkau lagu apa yang sering dimainkan ibu kandungmu dengan suling ini?"

   Tanya Kaisar Cheng Tung.

   "Hamba tahu, Yang Mulia. Lagu itu adalah sebuah lagu Mongol yang berjudul Suara Hati Seorang Gadis."

   Kaisar Cheng Tung tersenyum dan mengangguk-angguk.

   "Dan engkau dapat memainkan lagunya dengan Suling Pusaka Kemala itu?" "Akan hamba coba, Yang Mulia."

   "Mainkanlah dan buktikan kepada semua orang bahwa sebenarnya engkaulah Pangeran Cheng Lin yang aseli."

   Keadaan menjadi hening sekali karena semua orang ingin sekali mendengar apakah Han Lin benar-benar akan dapat mainkan suling itu dengan benar. Yang tahu akan kebenarannya tentu saja hanya Kaisar Cheng Tung karena dia seoranglah yang mengenal lagu yang biasa dimainkan Puteri Chai Li itu.

   Dari dalam keheningan itu mencuat keluar suara suling yang mengalun merdu dan Kaisar Cheng Tung memejamkan kedua matanya. Lagu Suara Hati Seorang Gadis itu membawanya melayang ke masa lalu dan terbayanglah dalam benaknya gadis Mongol jelita yang menjadi kekasihnya, Puteri Chai Li duduk dengan agungnya dan meniup suling itu.

   Ketika suara suling itu berhenti, Kaisar Cheng Tung membuka kedua matanya dan ternyata sepasang bola mata itu berlinang air mata.

   "Han Lin, engkaulah Pangeran Cheng Lin yang aseli, engkaulah puteraku, putera Chai Li......, kesinilah, Cheng Lin, biarkan aku memelukmu!"

   Han Lin merangkak maju menghampiri dan Kaisar Cheng Tung lalu merangkulnya. Sepasang mata Han Lin atau Pangeran Cheng Lin bercucuran air mata. Dia terharu, bahagia dan juga sedih teringat akan ibunya. Terdengar tepuk tangan dan semua orang tercengang dan memandang. Ternyata yang bertepuk tangan itu adalah sian Eng. Saking girangnya ia lupa diri, Ia sedang berada dalam istana, di ruangan persidangan lagi. Akan tetapi sungguh aneh, ketika semua orang memandangnya, para menteri dan pejabat itu serentak ikut bertepuk tangan karena merekapun merasa gembira.

   Akan tetapi suara tepukan gemuruh itu masih kalah oleh nyaringnya teriakan yang keluar dari mulut Ki Seng.

   "Keparat Han Lin! Engkau atau aku yang akan mati di sini!"

   Semua orang terkejut dan menengok, Ki Seng sudah bangkit dengan marah sekali. Wajahnya menjadi merah dan menyeramkan, matanya mencorong seperti mata harimau dalam kegelapan. Melihat ini, Kaisar Cheng Tung berseru kepada para pengawal.

   "Tangkap pangeran palsu yang jahat ini!"

   
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pasukan pengawal segera dipimpin dua orang perwira pengawal, siap untuk mengepung.

   "Yang Mulia..... ayahanda Kaisar, perkenankanlah hamba yang akan menandinginya."

   Kata Han Lin atau Pangeran Cheng Lin kepada ayah kandungnya.

   "Jangan, Cheng Lin, biar pasukan yang menangkapnya. Dia berbahaya sekali."

   Kata Kaisar Cheng Tung yang mengkhawatirkan keselamatan putera yang baru ditemukan itu.

   "Omitohud.....! Sri Baginda, biarkan saja mereka berdua itu membuktikan apa yang benar dan siapa salah di antara mereka. Yang benar akhirnya tentu menang dan yang salah kalah!"

   Kata Cheng Hian Hwesio.

   Mendengar ucapan paman kakeknya yang juga menjadi guru dari kedua orang muda itu, Kaisar Cheng Tung percaya dan merasa tenang. Dia memberi isarat kepada para pengawal dengan tangannya. Para pengawal itu disuruh mundur oleh dua orang perwira dan mereka hanya berjaga-jaga di pinggiran.

   Sementara itu, Han Lin atau Pangeran Cheng Lin melangkah maju menghampiri Ki Seng yang sudah siap dan bertekad untuk mengamuk dan terutama sekali membunuh Han Lin yang telah membuka rahasianya. Dia tahu bahwa kiranya tidak mungkin baginya untuk dapat lolos keluar dari istana yang terjaga ketat itu. Tidak mungkin baginya untuk melawan pasukan kota raja yang berjumlah ribuan. Akan tetapi dia tidak mau mati begitu saja menerima hukuman. Dia harus dapat membunuh Han Lin, Sian Eng dan Kiok Hwa dan kalau mungkin, dia hendak membunuh pula kaisar! Akan tetapi pertama-tama dia harus membunuh Han Lin yang dianggap musuh besarnya.

   Kini dua orang muda itu berdiri saling berhadapan dalam jarak tiga meter. Han Lin berdiri dengan sikap tenang sekali, kedua bola matanya masih basah. Sebaliknya Ki Seng berdiri agak membungkuk seperti seekor biruang hendak menerkani mangsanya.

   "Han Lin, engkau merusak kebahagiaan hidupku. Engkau harus mati di tangan ku!"

   Bentak Ki Seng dan suaranya sudah tidak seperti biasa lagi, tidak lembut ramah melainkan parau dan mengandung ancaman yang mengerikan.

   "A-seng, kalau ada orang tersesat dan melakukan kejahatan, hal itu masih wajar. Akan tetapi engkau selalu membalas kebaikan orang dengan kejahatan, hal itu sungguh keterlaluan sekali. Suhu Cheng Hian Hwesio menampung dan menerimamu sebagai murid yang disayangi, namun apa balasmu? Engkau membunuh Paman Nelayan Gu dan Paman Petani Lai dua orang pembantu setia Suhu Cheng Hian Hwesio, engkau membakar pondok suhu dan bahkan berani menyerang dan hendak membunuh Suhu Cheng Hian Hwesio. Kemudian, sebagai saudara seperguruanmu, aku besikap jujur dan baik kepada-mu, menceritakan riwayatku yang kurahasiakan kepada orang lain. Akan tetapi apa yang kau lakukan terhadap aku? Engkau mencuri Suling Pusaka Kumala, bukan itu saja, bahkan engkau mengatur siasat untuk melempar fitnah keji kepadaku sehingga nyaris aku dihukum mati. Kemudian, yang sungguh amat jahat sekali, engkau diterima dan diperlakukan dengan penuh kebijaksanaan dan baik sekali oleh Sri Baginda Kaisar, engkau dijadikan seorang pangeran yang mulia dan dihormati, akan tetapi apa balasmu?

   Engkau bersekongkol dengan Pangeran Cheng Boan untuk membunuhi semua pangeran agar kelak engkau yang akan menggantikan kedudukan Kaisar. Sungguh dosamu tak mungkindapat diampuni, A-seng!"

   Pada saat itu terdengar suara gaduh di sebelah kiri.

   "Heii, kau kira akan dapat melarikan diri dariku?"

   Tampak bayangan merah muda berkelebat. Tahu-tahu Sian Eng sudah mencengkeram leher baju Pangeran Cheng Boan yang hendak melarikan diri secara diam-diam dan sekali banting, tubuh Pangeran Cheng Boan yang gendut itupun terpelanting keras dan roboh menelungkup. Punggungnya diinjak kaki kanan Sian Eng sehingga dia tidak mampu berkutik.

   "Yang Mulia, apa yang harus hamba lakukan dengan pengkhianat ini?"

   Tanya Sian Eng sambil memandang ke arah Kaisar Cheng Tung. Perbuatan dan sikap gadis ini sungguh lancang sekali dan bisa dianggap kurang sopan di hadapan Kaisar. Akan tetapi Kaisar Cheng Tung menganggap gadis pemberani itu tangkas dan lucu. Dia tersenyum dan memberi perintah kepada kepala pengawal.

   "Tangkap Pangeran Cheng Boan yang berkhianat itu dan jebloskan dulu dalam penjara menanti keputusan hukuman!"

   "Ampun, ampunkan hamba, kakanda kaisar....!"

   Pangeran Cheng Boan meratap. Akan tetapi para pengawal sudah menangkap, membelenggu dan menyeretnya keluar dari ruangan itu.

   "A-seng, sekutumu sudah ditangkap. Lebih baik engkau menyerah untuk ditangkap dan diadili sebagaimana mestinya."

   Kata Han Lin.

   "Mampuslah engkau!"

   Bentak Ki Seng yang menjadi semakin marah melihat. Pangeran Cheng Boan sudah ditangkap. Habislah semua harapannya. Selain Pangeran Cheng Boan, tidak ada lagi yang akan dapat membela dan mendukungnya. Dalam kemarahannya, begitu menyerang dia menggunakan jurus Sin-liong-to-sim (Naga Sakti Menyambar Hati), sebuah jurus dari ilmu silat Sin-liong-ciang-hoat (Ilmu Silat Naga Sakti) yang ampuh dan yang dia pelajari dari Cheng Hian Hwesio. Kedua tangannya membentuk cakar naga dan mencengkeram ke arah dada Han Lin. Jari-jari kedua tangan Ki Seng itu seakan telah berubah menjadi baja dan kalau cakarannya mengenai dada lawan, dada itu akan terkoyak dan hatinya akan dapat dirogoh dan disambar keluar!

   Han Lin mengenal jurus ini karena diapun telah mempelajari Sin-liong Ciang hoat dari Cheng Hian Hwesio. Dia tahu betapa dahsyat dan berbahaya serangan Ki Seng itu, Dengan tenang namun cepat dia menggeser kakinya ke belakang lalu tubuhnya condong ke kiri, merendah dan kelagi kedua tangan Ki Seng lewat dia menghantam dari bawah dengan tangan kanannya ke arah lambung kanan lawan. Serangan balik ini dilakukan cepat sekali. Gerakan Han Lin ini mengelak dan seka-ligus menyerang maka tentu saja berbahaya bagi lawan karena tidak tersangka-sangka. Namun Ki Seng sudah memutar lengan kanan yang luput mencengkeram tadi ke kanan bawah menangkis pukulan tangan kanan Han Lin.

   "Dukkk!"

   Dua buah lengan bertemu dan keduanya terdorong ke belakang oleh kekuatan yang dahsyat. Kiranya keduanya tadi telah mempergunakan sin-kang yang amat kuat. Mereka bersiap lagi dan segera terjadi pertandingan yang amat seru.

   Ouw Ki Seng bersilat dengan Sin liong Ciang- hoatdan mengeluarkan jurus-jurus yang paling dahsyat. Walaupun Han Lin juga pernah mempelajari ilmu silat ini, namun dibandingkan Ki Seng, dia kalah matang dalam latihan. Karena itu, dia menandingi ilmu silat Ki Seng Itu dengan ilmu silat Ngo-heng Sin-kun yang dia pelajari dari Bu-beng Lo-jin.

   Cheng Hian Hwesio ketika menurunkan ilmu ilmunya kepada Han Lin untuk dapat menandingi Ki Seng, telah melihat bahwa Ngo-heng Sin-kun yang dikuasai Han Lin cukup tangguh dapat mengatasi Sin-liong Ciang-hoat. Dan ternyata perhitungan hwesio tua itu benar. Pertandingan tangan kosong itu berlangsung seru dan tampaknya seimbang. Namun perlahan-lahan Han Lin mulai mendesak Ki Seng. Mereka saling terjang dengan pengerahan sin-kang yang amat kuat sehingga gerakan kedua tangan mereka mendatangkan angin pukulan yang bersuitan, bahkan angin pukulan itu terasa oleh mereka yang berada dalam ruangan persidangan yang luas itu.

   Ki Seng mencoba menggunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) untuk mengungguli lawannya, namun Han Lin mengimbanginya dengan gin-kang yang tidak kalah ringannya. Tubuh kedua orang muda itu berkelebat dan kadang lenyap. Bagi yang ilmu silatnya tidak berapa tinggi, sukar sekali untuk dapat mengikuti gerakan kedua orang itu. Yang tampak hanya dua bayangan orang berkelebat ke sana - sini, berputaran dan sukar mengenal mana Han Lin dan mana Ki Seng. Akan tetapi Cheng Hian Hwesio dapat mengikuti pertandingan itu dan dia melihat betapa perlahan tetapi pasti, Han Lin mulai mendesak Ki Seng.

   "Haiiitt....!!"

   Tiba-tiba Ki Seng membentak nyaring. Dia mengerahkan tenaga sin-kang dan menggunakan jurus Sin-liong-hoan-sin (Naga Sakti Memutar Tubuh). Tubuhnya yang tadinya mengelak atas pukulan Han Lin dan membalik, kini berputar cepat sekali dan tahu-tahu kedua tangan membentuk cakar dan menyerang. Yang kiri mencakar ke arah kepala Han Lin, sedangkan yang kanan mencengkeram ke arah perut.

   Serangan ini hebat bukan main, Han Lin mengenal jurus ini dan tahu bahwa cakaran tangan kiri ke arah muka Han Lin itu hanya gertakan atau untuk mengalihkan perhatian saja sedangkan inti penyerangan terletak pada cengkeraman tangan kanan ke arah perutnya. Karena itu, cepat dia mengelak ke kanan sehingga cengkeraman tangan kiri lawan itu luput. Ketika cengkeraman tangan kanan Ki Seng mengejar dan menyambar ke arah perutnya, Han Lin yang sudah memperhitungkan itu cepat menangkis dengan tangan kirinya dan pada saat itu juga kaki kanannya mencuat dan menendang ke arah perut Ki Seng. Ki Seng yang tidak mengenal Ngo-heng Sin-kun terkejut sekali. Tidak sempat lagi dia mengelak atau menangkis, maka dia mengerahkan sin-kang untuk melindungi perutnya dengan kekebalan.

   "Wuuuttt..... dukkk!"

   Tubuh Ki Seng terpental sampai empat meter jauhnya. Akan tetapi dia turun berdiri dan sama sekali tidak menderita luka dalam, hanya terasa agak nyeri pada kulit perut yang tertendang.

   Melihat barisan pengawal bersenjata tombak panjang berjajar di sebelah kiri, tiba-tiba Ki Seng menubruk ke kiri dan dengan gerakan cepat sekali dia telah menotok lemas seorang perajurit pengawal dan merampas tombaknya. Tanpa mengeluarkan kata-kata dia menerjang ke depan dan menyerang Han Lin yang bertangan kosong itu dengan tombaknya. Dia memainkan tombaknya seperti senjata tongkat atau tombak itu kini membentuk sinar panjang bergulung-gulung dan menyerbu ke arah Han Lin bagaikan seekor naga mengamuk. Inilah In-liong-tung-hoat (Ilmu Tongkat Naga Awan), ilmu tongkat ampuh gemblengan Cheng Hian Hwesio. Tongkat atau tombak di tangan Ki Seng itu menyambar-nyambar secara bergelombang dengan dahsyat sekali, suaranya mengiuk-ngiuk dan ke manapun tubuh Han Lin berkelebatan mengelak, sinar tombak itu terus mengejarnya bagaikan tangan maut. Menghadapi tongkat yang menyambar-nyambar ganas itu, Han Lin terdesak hebat dan dia hanya mampu mengelak dan kadang menangkis dengan lengannya.

   "Han Lin, sambutlah tongkat pinceng ini!"

   Tiba-tiba terdengar seruan Cheng Hian Hwesio dan dia sudah melemparkan tongkat bambunya kepada Han Lin yang melompat ke belakang. Pemuda itu girang sekali dan cepat menyambar tongkat bambu milik Hwesio tua itu.

   "Terima kasih, suhu!"

   Katanya dan kini Han Lin bagaikan seekor harimau tumbuh sayap. Dia memiliki ilmu tongkat yang amat hebat, juga amat aneh gerakannya, yang disebut Sin-tek-tung (Tongkat Bambu Sakti) dan kebetulan sekali tongkat bambu milik Cheng Hian Hwesio itupun merupakan sebatang tongkat bambu. Maka begitu dia memutar tongkatnya, terdengarlah suara menderu-deru yang menyambut gulungan sinar tombak yang dimainkan Ki Seng. Terjadilah pertandingan silat tongkat yang amat dahsyat. Bayangan dua orang yang kadang tampak kadang tidak itu terselimuti dua gulungan sinar yang saling menghimpit dan saling mendesak, diseling bunyi nyaring beradunya batang tombak dan tongkat.

   Melihat kemahiran Ki Seng yang dapat mengimbangi permainan tongkat Han Lin, Cheng Hian Hwesio menghela napas panjang dan berkata seorang diri lirih.

   "Omitohud, bakat yang demikian hebat mengapa terdapat pada orang yang berwatak demikian rendah? Pinceng telah salah lihat, pinceng memang bodoh sekali. Omitohud......"

   Sian Eng yang berdiri tidak jauh dari tempat duduk Cheng Hian Hwesio berkata lirih untuk menghibur.

   "Banyak sekali orang yang kita kira sebaik-baiknya orang akan tetapi ternyata sejahat-jahat-nya orang, lo-cian-pwe, Saya sendiri juga terkecoh oleh Suma Kiang yang teramat jahat, padahal dahulu saya kira dia sebaik-baiknya orang di dunia ini."

   Pertandingan itu berlangsung seru dan mati-matian. beberapa kali Kaisar Cheng Tung merasa khawatir dan hendak memberi perintah kepada para pengawal untuk mengeroyok Ki Seng, akan tetapi ketika bertemu pandang dengan Cheng Hian Hwesio dia melihat kakek itu menggelengkan kepala kepadanya sehingga hatinya tenang kembali karena dia mengerti bahwa kakeknya yang menjadi guru kedua orang muda yang sedang berkelahi itu agaknya yakin bahwa Cheng Lin akan keluar sebagai pemenang.

   Memang demikianlah. Cheng Hian Hwesio yang dapat mengikuti jalannya pertandingan dengan baik melihat bahwa seperti yang dahulu pernah diperhitungkannya, melihat dengan jelas bahwa Han Lin atau Cheng Lin masih lebih tangguh. Kini tongkat bambu itu mulai mengurung dan mendesak tombak di tangan Ki Seng. Pada saat pertandingan sudah berlangsung hampir lima puluh jurus, tiba-tiba Ki Seng mengeluarkan bentakan nyaring dan tombaknya menusuk ke arah dada Han Lin. Pemuda ini melihat datangnya tombak yang amat cepat dan kuat itu, mencondongkan tubuhnya ke kanan dan ketika tombak meluncur di bawah lengan kirinya yang dia kembangkan dia cepat menggunakan lengak kirinya untuk menjepit tombak dan tangan kirinya menangkap batang tombak. Pada saat yang sama, tangan kanannya yang memegang tongkat bambu sudah menggerakkan tongkat bambu yang menotok ke arah pergelangan tangan kanan Ki Seng.

   Tentu saja Ki Seng terkejut dan terpaksa melepaskan tombaknya dari pegangan tangan kanan. Akan tetapi tongkat bambu itu dengan cepatnya menyambar ke arah pergelangan tangan kiri sehingga kembali Ki Seng terpaksa melepaskan pegangan tangan kirinya. Dengan sendirinya tombak itu berpindah ke tangan kiri Han Lin.

   Ki Seng melompat mundur, wajahnya berubah pucat. Kalau dinilai sebagai sebuah pertandingan, jelas bahwa dia sudah kalah dua kali. Pertama kali dia kalah dalam mengadu ilmu silat tangan kosong tadi, kemudian untuk kedua kali-nya dia kalah dalam bertanding menggunakan senjata. Melihat lawannya sudah tidak memegang senjata, Han Lin melepaskan tombak rampasan dan tongkat bambu kepada Sian Eng.

   "Eng-moi, kembalikan tongkat kepada suhu!"

   Katanya. Sian Eng dengan cekatan menyambar dua batang senjata yang di lemparkan kepadanya itu.

   Kemudian dia menyerahkan kembali tongkat bambu kepada Cheng Hian Hwesio dan tombak kepada pengawal sebagai pemiliknya. Ki Seng kini sudah berhadapan dengan Han Lin, keduanya bertangan kosong.

   "A-seng, lebih baik engkau menyerahkan diri untuk diadili."

   Kata Han Lin.

   "Persetan dengan kamu!"

   Ki Seng membentak dan dia sudah menerjang lagl dengan tangan kosong. Dia mengerahkan tenaga dalamnya dan ketika dia menyerang, dari kedua telapak tangannya keluar uap putih yang mendahului pukulannya menyambar ke arah Han Lin. Han Lin mengenal ilmu vang dahsyat itu. Itulah Pek in Hoat-sut (ilmu Sihir Awan Putih). Baru uap putih itu saja sudah dapat melumpuhkan semangat lawan karena mengandung kekuatan sihir yang amat ampuh! Akan tetapi dia sudah tahu bagaimana untuk menghadapi ilmu ini, atas petunjuk Cheng Hian Hwesio dahulu ketika menggemblengnya. Ketika awan putih itu menjadi semakin tebal dan seperti hidup menyerbu ke arahnya, dia lalu mengeluarkan teriakan yang melengking dan menggetarkan seluruh ruangan itu. Itulah Imu Sai-cu Ho-kang (Auman Singa) yang dapat membuyarkan segala macam kekuatan sihir dan kedua tangannya didorongkan ke depan dengan pengerahan tenaga sakti Jit-goat Sin-kang (Tenaga Sakti Matahari Bulan).

   "Wirrrr...!"

   Uap putih yang tebal itu ketika dilanda getaran suara seperti auman singa seolah ditiup angin keras dan membalik! Ki Seng yang menjadi marah nekat menerjang maju sambil memukul dengan kedua tangan terbuka didorongkan ke arah dada Han Lin. Han Lin menyambutnya dengan kedua tangannya pula. Kini kedua orang itu sudah mengambil keputusan untuk mengadu tenaga mempertahankan nyawa.

   "Blarrrr....!"

   Dua pasang telapak tangan itu bertemu di udara dan dua tenaga raksasa yang dahsyat bertumbukan. Bahkan sebelum telapak tangan mereka bersentuhan, mereka berdua sudah terdorong oleh tenaga kuat sekali sehingga keduanya terpental ke belakang! Han Lin ter-huyung dan wajahnya pucat sekali, napasnya agak terengah. Dia mengalami pukulan hebat di dalam dadanya, akan tetapi masih dapat dia tahan dengan tenaga saktinya. Sebaliknya, Ki Seng terlempar ke belakang dan hampir saja terbanting roboh. Biarpun dia dapat menahan sehingga tidak sampai roboh, namun dari sudut bibirnya mengalir sedikit darah segar, tanda bahwa dia sudah menderita luka dalam.

   Melihat keadaan Ki Seng, kembali Han tin berkata.

   "A-seng, lebih baik menyerah agar dapat diadili."

   "A-seng, engkau manusia tolol!"

   Sian Eng berseru dan tanpa ragu kini ia menyebut orang yang tadinya dianggap sebagai Pangeran Cheng Lin dengan nama A-seng, menirukan Han Lin.

   "Engkau hanya diperalat oleh Pangeran Cheng Boan untuk membunuhi semua pangeran Kalau sudah berhasil, engkau sendiri akan disingkirkan dan dibunuh olehnya! Lebih baik engkau menyerah. Engkau tidak akan mampu menang melawan Lin-ko!"

   Mendengar ini, Ki Seng mengerutkan alisnya. Kini terbukalah matanya bahwa dia telah dipermainkan dan diperalat Pangeran Cheng Boan. Baru dia menyadari dan sekarang baru dia mengerti mengapa begitu mudahnya dia menggauli dan berjina dengan para selir pangeran itu. Kiranya para selir itu memang diumpankan untuk memancingnya. Kesadaran ini membuat dia menjadi semakin marah dan karena yang dihadapi hanya Han Lin maka semua kemarahannya dia tumpah-kan kepada pemuda itu.

   "Mampuslah kau!"

   Bentaknya dan kini dia menerjang dengan menggunakan kedua jari telunjuknya. Terdengar suara bercuitan ketika dua buah jari telunjuk itu menyerang ke arah tubuh Han Lin. Itulah It-yang-ci, ilmu menotok jalan darah yang amat hebat itu. Untung bagi Han Lin bahwa digembleng Cheng Hian Hwesio dan mempelajari It-yang-ci.

   Kalau tidak, tentu dia berada dalam bahaya ketika Ki Seng menyerangnya dengan ilmu yang ampuh itu. Melihat serangan ini, Han Lin juga memainkan It-yang-ci untuk mengimbanginya. Terkejutlah hati Ki Seng melihat ini dan mengertilah dia bahwa dia tidak mempunyai harapan lagi untuk dapat mengalahkan Han Lin dan bahwa gurunya, Cheng Hian Hwesio yang mengajari Han Lin dengan ilmu itu. Tiba-tiba dia menjadi bingung dan mencari akal. Bagaimanapun juga, dia tidak boleh tertangkap dan tidak boleh mati sebelum dia membuat perhitungan dengan Pangeran Cheng Boan yang telah mempermainkannya, dengan para anak buah Pangeran Cheng Boan yang diam-diam membuat persekongkolan untuk memperalat dia dan kemudian dia akan dibunuh kalau sudah berhasil.

   Dalam adu ilmu It-yang-ci, kembali Ki Seng terdesak. Hal ini terjadi bukan karena dia kalah matang dalam latihan, bahkan sesungguhnya dia lebih matang J daripada Han Lin karena dia telah lebih lama menguasai It-yang-ci. Akan tetapi pada saat itu hatinya gelisah dan sebagian perhatiannya tercurah pada usaha untuk mencari akal dan mencari jalan agar dia terlepas dan lolos dari tempat itu.

   Tiba-tiba Ki Seng mengeluarkan teriakan melengking yang mengejutkan semua orang dan tubuhnya mencelat ke belakang. Tanpa dapat disangka-sangka sebelumnya, dia telah berada di dekat Pangeran Cheng Hwa dan memegang lengan kiri Pangeran Mahkota itu dengan tangan kirinya sedangkan jari telunjuk kanannya sudah menempel pada pelipis pangeran itu.

   "Semua diam dan menjauh! Sedikit saja ada gerakan Pangeran Cheng Hwa akan kubunuh lebih dulu. Aku hanya ingin keluar dari istana tanpa gangguan. Aku tidak akan membunuhnya kalau aku dapat keluar dari sini tanpa dihalangi!"

   Setelah berkata demikian, dia mendorong Pangeran Cheng Hwa untuk berjalan menuju pintu besar ruangan itu. Semua orang terkejut bukan main sehingga mereka hanya berdiri dan dengan muka pucat seperti telah berubah menjadi patung. Kemudian, para perwira pasukan pengawal membuat gerakan maksudnya hendak mengerahkan pasukan untuk menyerang Ki Seng dan menolong Pangeran Cheng Hwa. Akan tetapi Kaisar Cheng Tung segera berseru,

   "Jangan ada yang bergerak! Biarkan dia keluar dari istana asal dia tidak mengganggu Pangeran Cheng Hwa. Akan tetapi kalau dia berani membunuh Pangeran Cheng Hwa, biar dia larl ke ujung dunia sekalipun, dia harus ditangkap dan kami akan menjatuhkan hukuman yang paling berat yang pernah diterima seorang manusia!"

   "Jangan khawatir, Sribaginda! Hamba tidak akan mengganggu Pangeran Cheng Hwa! Akan tetapi seluruh penghuni rumah Pangeran Cheng Boan akan hamba basmi!"

   Setelah berkata demikian, Ki Seng mendorong Pangeran Cheng Hwa keluar dari ruangan itu dan terus keluar dari dalam istana. Para pengawal tidak ada yang berani bergerak.

   "Hamba akan membayanginya dan menjaga keselamatan Kakanda Pangeran Cheng Hwa!"

   Kata Han Lin dan diapun melangkah keluar. Sian Eng dan Kiok Hwa juga segera kekiar mengikuti Han Lin. Para perwira menggerakkan pasukan pengawal bergerak keluar pula. Mereka tidak berani menyerang Ki Seng, akan tetapi hanya membayangi dari belakang. Ki Seng tahu bahwa dia dibayangi banyak orang, akan tetapi dia tidak perduli karena yakin bahwa selama Pangeran Cheng Hwa berada di bawah ancamannya, tak seorangpun akan berani menyerangnya. Dan mereka yang membayangi, juga Han Lin, Sian Eng dan Kiok Hwa, tidak berani mengikuti terlalu dekat.

   Setelah tiba di depan istana Pangeran Cheng Boan, beberapa orang perajurit pengawal yang mengenai baik Ki Seng dan Pangeran Cheng Hwa, memberi hormat. Ki Seng mencabut sebatang pedang vang tergantung di pinggang kepala jaga, kemudian dia berkata kepada Pangeran Cheng Hwa.

   "Pangeran, aku membebaskanmu di sini!"

   Setelah berkata demikian, Ki Seng melompat dan berlari cepat memasuki istana Pangeran Cheng Boan. Begitu dia masuk ke dalam gedung besar dan mewah seperti istana itu mulailah pembantaian yang mengerikan itu terjadi.

   Beberapa orang pelayan yang menyambut keluar, roboh seketika terbacok pedang. Darah mulai membanjir. Ki Seng terus memasuki bagian tempat tinggal para selir. Tujuh orang selir Pangeran Cheng Boan yang menjadi kekasihnya itu menyambut dengan heran, akan tetapi mereka itu satu demi satu roboh dan tewas dibantai Ki Seng.

   Mendengar suara ribut-ribut, muncullah Suma Kiang, Toa Ok dan Sian Hwa Sian-li. Mereka terbelalak kaget dan heran melihat ke tujuh orang selir Pangeran Cheng Boan telah rebah malang melintang mandi darah dan melihat Ki Seng yang berdiri di ruangan itu memegang sebatang pedang yang berlumuran dara dan sikap pemuda itu ketika memandang kepada mereka menyeramkan. Tiga orang pembantu Pangeran Cheng Boan ini tadi-pun ikut menonton ke lapangan di depan istana ketika Han Lin, Sian Eng dan Kiok Hwa hendak dijatuhi hukuman penggal kepala. Mereka melihat kekacauan ketika muncul Cheng Hian Hwesio menggagalkan pelaksanaan hukuman mati itu.

   Mereka tidak berani berbuat sesuatu, apalagi karena Pangeran Cheng Boan juga tidak berbuat sesuatu. Ketika Kaisar memerintahkan agar membawa tiga orang hukuman itu ke ruangan sidang dalam istana, dan memerintahkan semua menteri dan pangeran untuk ikut pula menyaksikan persidangan, mereka bertiga tentu saja tidak dapat ikut masuk. Mereka segera kembali ke istana Pangeran Cheng Boan untuk menanti perkembangan selanjutnya. Mereka tidak tahu dan tidak dapat menduga apa yang telah terjadi di dalam istana. Maka kemunculan Ki Seng yang membantai para selir dan pembantu rumah tangga Pangeran Cheng Boan sungguh mengejutkan hati mereka.

   Sian Hwa Sian-li Kim Goat yang merasa akrab dengan Ki Seng, bahkan menjadi kekasih pemuda itu, menghampiri dan menyentuh lengan Ki Seng sambil bertanya.

   "Pangeran, apakah yang telah terjadi? Engkau membunuh mereka ini? Apa artinya semua ini....?"

   Akan tetapi melihat wanita cantik ini dan sikapnya yang manis, Ki Seng teringat bahwa wanita inipun ikut

   (Lanjut ke Jilid 32 - Tamat)

   Suling Pusaka Kumala (CeritaLepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 32 (Tamat)

   bersekutu memperalat dia, maka sebagai jawaban pertanyaannya itu tiba-tiba saja tangan kirinya menyerang dengan totokan It-yang-ci ke arah dada Sian Hwa Sian-li. Serangan itu dilakukan secara mendadak dan tidak terduga-duga oleh wanita yang berdiri amat dekat itu. Serangan It-yang-ci memang dahsyat sekali, apalagi dalam jari tangan Ki Seng sudah mengandung racun Ban-tok-ciang (Tangan Racun Selaksa). Sian Hwa Sian-li terkejut dan mencoba untuk melempar tubuh ke samping.

   "Siuutt... tukkk!"

   Jari telunjuk kiri Ki Seng masih mengenai pundak wanita itu, Sian Hwa Sian-li menjerit karena merasa pundaknya seperti tertusuk besi panas membara.

   Ia terhuyung-huyung dan pada saat itu, pedang di tangan Ki Seng menyambar ke arah lehernya. Darah muncrat dan Sian Hwa Sian-li roboh dan tewas seketika. Akan tetapi Suma Kiang dan Toa Ok sudah dapat mengatasi rasa kaget mereka. Melihat Ki Seng menyerang Sian Hwa Sian-li mereka cepat mencabut pedang masing-masing. Toa Ok mencabut Kim-liong-kiam (Pedang Naga Emas) dan Suma Kiang mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dan mereka berdua langsung saja menyerang Ki Seng dari kanan kiri, pada saat Ki Seng membabatkan pedang-nya ke leher Sian Hwa Sian-li tadi.

   Pada saat Sian Hwa Sian-li roboh, pedang Toa Ok menyambar dari kanan dan sepasang pedang Suma Kiang menyambar dari kiri. Ki Seng mendengar sambaran tiga batang pedang dari kanan kiri itu. Dia cepat memutar pedangnya yang sudah merobohkan Sian Hwa Sian-li tadi untuk melindungi tubuhnya. Akan tetapi sekali ini penyerangnya adalah datuk-datuk persilatan yang amat lihai. Bukan saja mereka berdua itu memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, akan tetapi juga pedang-pedang yang mereka pegang adalah pedang ampuh yang terbuat dari baja pilihan.

   "Tran-trang-trakk....!"

   Pedang di tangan Ki Seng yang tadi dirampasnya dari kepala jaga, patah-patah dan pedang Toa Ok masih menyambar ke arah lehernya. Ki Seng miringkan kepalanya dan menarik ieher ke belakang, akan tetapi tetar saja ujung pedang itu menyentuh kulit pundaknya. Baju robek berikut kulitnya. Pada saat itu, pedang kiri Suma Kiang juga sudah merobek celana dan melukai paha kanannya. Darah mengucur dari pundak dan paha. Akan tetapi Ki Seng terus mengamuk, biarpun dia hanya menggunakan kaki tangannya karena pedangnya telah patah-patah.

   Akan tetapi kedua orang lawannya memiliki ilmu silat yang tinggi, terutama sekali Toa Ok yang tingkat kepandaiannya hanya berselisih sedikit saja dibandingkan tingkat Ki Seng. Kedua lengan Ki Seng yang kadang terpaksa dia pergunakan untuk menangkis pedang, sudah penuh luka dan berlumuran darah. Juga dadanya terkena pukulan tangan kiri Toa Ok yang mengandung racun. Dia masih berusaha untuk melawan mati-matian, akan tetapi dia menjadi bulan-bulanan tiga batang pedang itu sehingga tubuhnya penuh luka. Dia seperti bermandi darahnya sendiri dan akhirnya, sebuah tusukan pedang di tangan Toa Ok menembus dadanya. Robohnya Ki Seng dalam keadaan mengerikan karena tubuh-nya penuh luka. Dia tewas seketika. Pada saat itu, Han Lin dan Sian Eng berlompatan masuk.

   Tadi mereka menonton perkelahian itu dari luar dan tempat itu sudah dikepung para perajurit. Para perajurit pengawal Pangeran Cheng Boan sudah dilucuti. Toa Ok dan Suma Kiang adalah datuk persilatan yang selain berkepandaian tinggi juga sudah mempunyai banyak pengalaman. Akan tetapi ketika mereka melihat munculnya Han Lin dan Sian Eng, wajah mereka berubah pucat dan timbul rasa takut dalam hati mereka. Mereka memandang ke luar, akan tetapi semakin kecut rasa hati mereka melihat betapa gedung tempat tinggal Pangeran Cheng Boan itu telah dikepung ketat oleh banyak sekali pasukan kerajaan.

   

Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini