Suling Pusaka Kumala 31
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 31
Sian Eng sudah menghampiri Suma Kiang yang masih memegang sepasang pedangnya. Gadis inipun sudah memegang Ceng-liong-kiam. Pedangnya ini tadinya dirampas ketika ia ditangkap, akan tetapi pedang yang dijadikan satu di antara barang bukti itu tadi diserahkan kepadanya oleh seorang perwira yang menerima tugas dari kaisar untuk menyerahkan pedang Ceng-liong-kiam kepadanya dan pedang Im-yang-kiam kepada Han Lin. Karena itu kini ia menghampiri bekas ayah dan juga gurunya itu dengan Ceng-liong-kiam di tangan. Sepasang mata gadis itu mencorong penuh kebencian melihat orang yang pernah merawat dan membimbingnya, orang yang pernah bersikap amat baik dan penuh kasih sayang kepadanya, akan tetapi juga orang yang telah menyebabkan kematian ayah dan lbu kandungnya, yang telah memperkosa ibui kandungnya.
Melihat sinar mata penuh kebencian dan kemarahan dari gadis itu ditujukan kepadanya, Suma Kiang merasa ngeri dan juga sedih. Kasih sayangnya terhadap gadis ini masih terkandung dalam hati-nya. Dia selalu menganggap gadis ini sebagai anak kandungnya sendiri yang tidak pernah dia miliki.
"Eng-ji, engkau..... mau apakah?"
Tanyanya dan suaranya menggetar.
"Mau membunuhmu, membalaskan kematian ayah dan ibu kandungku!"
Kata Sian Eng. suaranya lirih namun penuh ancaman.
"Akan tetapi..... aku tidak membunuh mereka...."
"Engkau yang menyebabkan kematian mereka! Engkau harus mati di tanganku!"
"Eng-ji, ingat, aku ayahmu, aku mendidik dan merawatmu, aku selalu menyayangmu.....!"
"Cukup! Tak perlu banyak merengek, lihat pedangku dan bersiaplah untuk mati!"
Bentak Sian Eng yang segera menyerang dengan pedangnya. Biarpun hatinya sedang merasa sedih sekali karena dalam keadaan terjepit dan terancam seperti itu, orang yang dianggapnya sebagai anak sendiri dan yang disayanginya tidak membela bahkan hendak membunuhnya, terpaksa Suma Kiang menggerakkan sepasang pedangnya untuk menangkis.
Akan tetapi Sian Eng melancarkan serangan bertubi-tubi sehingga Suma Kiang harus mengerahkan tenaga dan mainkan siang-Kiamnya untuk melindungi dirinya. Sementara itu, begitu melihat Han Lin di hadapannya, Toa Ok maklum bahwa tidak ada gunanya lagi bicara karena sejak pemuda itu masih kecil mereka sudah saling berhadapan sebagai musuh. Maka, dia tidak berkata apapun dan langsung saja menggerakkan pedangnya untuk menyerang dengan dahsyat. Sinar emas bergulung-gulung ketika dia mema-inkan Kim-liong-kiam.
Namun, dengan tenang Han Lin menggerakkan Im-yang Po-kiam yang telah berada di tangan kembali ketika perwira pengawal menyerahkan pedang itu kepadanya. Seperti juga Suma Kiang, Toa Ok maklum sepenuhnya bahwa dia sudah terkepung dan agaknya tidak mungkin melepaskan diri. Bagaimanapun juga dia pasti akan tertangkap dan kalau sampai tertangkap, dia pasti akan dijatuhi hukuman mati. Melawan mati, tidak melawanpun mati. Dia seorang gagah yang biasa malang melintang di dunia persilatan. Pantang baginya untuk mati sebagai seekor babi disembelih. Lebih baik mati sebagai seekor harimau yang membela diri dan melawan sampai titik darah terakhir!
"Hyiaaatt....!!"
Toa Ok menyerang dengan pengerahan tenaga sekuatnya. Pedangnya berubah menjadi sinar emas menyambar ke arah leher Han Lin. Han Lin bersikap tenang namun waspada. Ketika sinar emas itu menyambar ke lehernya, dia cepat melangkah mundur sambil merendahkan tubuhnya sehingga sinar emas itu menyambar di atas kepalanya. Namun sinar emas itu membalik dan terus mengejarnya dengan serangan bertubi-tubi berupa bacokan atau tusukan. Dahsyat sekali desakan serangan pedang dari Toa Ok itu. Han Lin mengerahkan gin-kang sehingga tubuhnya menjadi ringan sekali dan dapat bergerak dengan cepat bukan main sehingga semua sambaran pedang itu dapat dia elakkan.
Akan tetapi dia tidak dapat mengelak terus, Toa Ok adalah seorang yang amat lihai dan kalau dia hanya mengelak terus, berarti dia terancam bahaya maut. Han Lin mulai membalas dan sambaran pedang pusaka Im-yang Pokiam itu dahsyat bukan main. Toa Ok tak mungkin dapat mengelak terhadap sambaran pedang itu, maka diapun mengerahkan tenaganya dan menangkis dengan Kim-liong-pang. Sepasang pedang bertemu di udara, kuat bukan main karena kedua pihak telah mempergunakan seluruh sin-kang mereka,
"Singgg..... trang....trakkk!"
Pada pertemuan pedang yang ketiga kalinya, Toa Ok melompat ke belakang dengan muka pucat karena pedangnya telah patah menjadi dua potong! Pedang Naga Emas yang telah menemaninya berkelana di dunia persilatah selama sepuluh tahun. kini patah.
Ini merupakan firasat buruk sekali baginya. Pedang yang telah membunuh entah berapa ratus orang itu, yang belum pernah rusak menghadapi senjata lawan yang bagaimanapun juga, kini bertemu dengan Im-yang Pokiam yang berada di tangan Han Lin. Sebetulnya bukan karena keampuhan Im-yang Pokiam saja yang membuat pedang Kim-liong-kiam di tangan Toa Ok itu patah, melainkan terutama sekali karena Han Lin mengerahkan tenaga sakti Jit-goat Sin-kang ketika menggerakkan pedang itu.
"Keparat!"
Toa Ok memaki dan dia melontarkan pedang yang tinggal sepotong itu ke arah Han Lin. Jangan dipandang ringan lontaran pedang buntung ini. Lontaran yang mengandung tenaga sakti itu membuat pedang buntung itu meluncur seperti anak panah cepatnya dan pedang buntung itu masih dapat menembus apa saja yang menjadi sasaran. Han Lin sama sekali tidak memandang ringan serangan ini. Dia lalu menggerakkan pedangnya, menangkis ke arah atas.
"Cringgg.... cepp!"
Pedang buntung itu melenceng ke atas dan menancap ke langit-langit ruangan itu sampai ke gagangnya. Melihat lawannya sudah tidak memegang senjata, Han Lin juga menyarungkan pedang ke punggungnya lagi.
"Toa Ok, menyerahlah saja agar engkau dapat diadili."
Kata Han Lin membujuk. Betapapun sakit hatinya kalau dia teringat akan semua perbuatan Toa Ok kepadanya, namun pemuda ini masih selalu ingat dan menjunjung tinggi semua ajaran yang pernah diterimanya dari Bu Beng Lojin dan Cheng Hian Hwesio. Dia tidak mau sembarangan membunuh kalau hal itu masih dapat dicegahnya. Akan tetapi Toa Ok menjadi semakin marah melihat pedangnya patah. Sebetulnya kalau saja dia tidak dikuasai nafsu amarahnya, melihat Han Lin menyarungkan pedangnya itu saja dia sudah harus menginsyafi betapa pemuda itu telah mengalah kepadanya. Namun, kemarahan membutakan mata hati dan mengenyahkan semua pertimbangan akal budi.
Sambil mengeluarkan suara gerengan seekor binatang terluka, dia sudah menerjang ke depan. Serangannya aneh sekali. Tubuhnya berpusing dan kedua tangan dan kakinya menyerang bertubi-tubi dengan pukulan yang mengeluarkan uap hitam ber-bau amis. Itulah ilmu silat Pat-hong Hong-ci (Delapan Penjuru Angin Hujan) dan pukulan itu mengandung ilmu Ban tok-ciang (Tangan Selaksa Racun)!
Maklum akan kelihaian lawan dengan ilmu silatnya yang dahsyat itu, Han Lin atau Pangeran Cheng Lin segera mainkan ilmu andalannya, yaitu Ngo-heng Sin-kun (Silat Sakti Lima Unsur) dan untuk mengimbangi pukulan lawan yang mengandung Ban-tok-ciang, dia mengerahkan Jit-goat Sin-kang (Tenaga Sakti Matahari dan Bulan). Terjadilah perkelahian tangan kosong yang hebat sekali.
Yang tampak hanya bayangan tubuh Han Lin berkelebatan di sekitar bayangan tubuh Toa Ok yang berpusing seperti gasing. Kadang-kadang dua buah lengan bertemu dan ruangan itu seolah tergetar. Mereka saling serang dan sekali ini, karena tidak melihat kemungkinan melarikan diri, Toa Ok mengeluarkan seluruh kemampuannya dan mengerahkan seluruh tenaganya. Han Lin melawannya dengan hati-hati sehingga pertandingan itu berlangsung seru.
Sementara itu, Suma Kiang sudah terdesak hebat oleh Sian Eng. Setelah Sian Eng menerima bimbingan dan gemblengan ilmu silat selama lima tahun dari Hwa Hwa Cin-jin, tingkat ilmu silatnya memang sudah lebih tinggi dibandingkan tingkat Suma Kiang. Akan tetapi ini bukan satu-satunya sebab mengapa ia dapat mendesak Suma Kiang dengan mudah. Sebetulnya kalau Suma Kiang menghendaki, dengan kematangan pengalamannya, tidak akan begitu mudah bagi Sian Eng untuk mengalahkannya.
Yang membuat Suma Kiang lemah melawan Sian Eng karena saat itu seluruh kasih sayangnya terhadap Sian Eng bangkit. Teringat dia ketika gadis itu masih kecil, sering digendong dan ditimangnya dengan penuh kasih sayang seorang ayah. Bagaimana sekarang dia akan tega untuk membunuh atau bahkan melukai anak yang tersayang itu? Gejolak hati dan pikirannya ini membuatnya lemah dan permainan pedangnya menjadi kacau. Namun, karena pengalaman yang matang membuat gerakan pedangnya seperti otomatis, seolah sepasang pedang itu telah menyatu dan menyambut kedua tangannya, maka dia masih terus dapat menghindarkan diri dari semua serangan Sian Eng dengan elakan atau tangkisan.
Akan tetapi, setelah puluhan jurus lewat, Suma Kiang menjadi semakin terdesak dan akhirnya, ketika sepasang pedang Suma Kiang menggunting pedang Sian Eng yang membacok ke arah kepalanya, menahan pedang itu sehingga terjepit sepasang pedang, tiba-tiba saja tangan kiri Sian Eng memukul dengan dorongan telapak tangan ke arah dada Suma Kiang.
"Wuuuttt.....dessss....!!"
Itulah pukulan Toat-beng Tok-ciang (Tanga Beracun Mencabut Nyawa) yang amat ampuh, tepat mengenai dada Suma Kiang. Biarpun Suma Kiang telah mengerahkan sin-kang untuk melindungi dadanya, tetap saja tubuhnya terjengkang, sepasang pedangnya terlepas dan tubuhnya terbanting keras ke belakang. Dia telah menderita luka dalam dadanya. Sian Eng melompat maju mengejar dan ujung pedangnya telah menempel di leher Suma Kiang! Suma Kiang yang sudah telentang tak berdaya itu memandang kepada Sian Eng.
"Eng-ji, di tempat ini juga aku menyelamatkanmu ketika engkau tertangkap, dan di tempat ini juga engkau akan membunuhku? Bunuhlah, anakku, kalau itu yang kau inginkan, bunuhlah...."
Kata Suma Kiang yang sudah putus asa.
Sian Eng tertegun. Terbayang ia ketika ia malam-malam datang ke gedung ini, kemudian ia dikeroyok dan dijatuhkan oleh Pangeran Cheng Lin palsu. Ia tentu sudah mati kalau saja Suma Kiang tidak menahan Toa Ok kemudian mengakuinya sebagai puterinya sehingga ia tidak sampai dibunuh. Terbayang pula olehnya akan semua kebaikan yang pernah dilimpahkan orang yang kini ditodongnya itu kepadanya dan diapun menarik napas panjang dan menarik kembali pedangnya. Para perwira memimpin anak buah mereka untuk menangkap Suma Kiang yang lalu diborgol dan dibawa pergi dari situ sebagai tawanan. Pada saat itu, perkelahian antara Han Lin dan Toa ok sudah mencapai puncaknya Ketika dengan marah dan penasaran Toa Ok memukul lagi dengan penggunaar Ban-tok-ciang sekuatnya,Han Lin menyambutnya dengan totokan satu jari It yang-ci.
"Ciuuuuuttt.... tukkk!"
Toa Ok mengeluarkan teriakan aneh ketika telapak tangannya bertemu dengan totokan jari telunjuk Han Lin. Tubuhnya terhuyung ke belakang dan diapun roboh terpelanting muntah darah. Han Lin memberi isarat kepada perwira pengawal yang cepat mengerahkan anak buahnya untuk menangkap dan membelenggu Toa Ok.
Kakek tinggi besar yang usianya sudah tujuh puluh tahun ini sudah tidak berdaya dan menurut saja ketika ditangkap. Seluruh penghuni gedung itu ditangkap dan dimasukkan penjara, menunggu jatuhnya hukuman yang diberikan oleh pengadilan. Beberapa hari kemudian sidang pengadilan dibuka dan Pangeran Cheng Boan. Suma Kiang. dan Toa Ok dijatuhi hukuman mati karena mereka di-anggap orang-orang yang bersekongkol untuk memberontak dan mengatur pembunuhan terhadap para pangeran. Adapun anggauta keluarga Pangeran Cheng Boan dan para pelayan yang bekerja padanya juga mendapat hukuman buang karena mereka dianggap orang-orang yang dapat membahayakan keluarga istana.
Cheng Hian Hwesio diterima oleh Kaisar Cheng Tung dan diangkat menjadi kepala kuil istana di mana kakek yang udah amat tua itu dapat melewatkan sisa hidupnya dengan tenteram dan tenang. Han Lin diterima sebagai anak kandung Kaisar Cheng Tung dan dinobatkan menjadi seorang pangeran. Pengangkatan sebagai Pangeran Cheng Lin itu dirayakan dengan pesta yang dikunjungi oleh seluruh keluarga istana dan para menteri dan pejabat tinggi. Lo Sian Eng dan Tan Kiok Hwa yang sejak peristiwa itu untuk sementara diminta tinggal di istana keputrian, hadir pula dalam perayaan pesta itu.
Kedua orang gadis ini merasa gembira dan berbahagia sekali melihat pria yang mereka cinta itu duduk dengan anggun dan gagah dalam pakaian pangeran yang indah dan mewah, membuat dia tampak semakin tampan dan gagah. Akan tetapi, diam-diam ada perasaan pedih di hati mereka. Mereka melihat seolah-olah Han Lin kini berada jauh tinggi di antara bintang- bintang sedangkan mereka berada di atas tanah yang demikian rendah. Akan tetapi Kiok Hwa tampak tenang saja sedangkan Sian Eng dapat menutupi kepedihan hatinya dengan wataknya yang gembira dan wajahnya yang cerah. Ia tersenyum-senyum manis seperti biasa. Akan tetapi dari pandang mata mereka, dua orang gadis ini dapat saling menjenguk dan melihat keadaan hati masing-masing.
Semenjak Sian Eng mengetahui betapa Kiok Hwa yang dia tahu saling mencinta dengan Han Lin mengalah dan sengaja pergi meninggalkan ia dan Han Lin berdua, perasaan hati Sian Eng terhadap Kiok Hwa sudah berubah sama sekali. Kalau dulu ia merasa cemburu dan benci, sekarang perasaan itu sudah tidak ada lagi. Apalagi setelah Kiok Hwa menolongnya dan menyembuhkannya ketika ia terluka di dalam pondok hutan itu bersama Han Lin, ia merasa suka dan kagum sekali kepada Kiok Hwa. Ia merasa benar akan perbedaan antara ia dan Kiok Hwa. Kiok Hwa seorang gadis budiman, cantik jelita dan lemah lembut budi pekertinya, ramah dan tulus sikapnya. Sebaliknya ia sendiri adalah seorang gadis yang keras dan kasar, mudah marah. Kini ia melihat bahwa Han Lin sudah benar dan tepat kalau memilih Kiok Hwa.
Dua orang gadis itu sudah berhenti makan minum dan keduanya duduk termenung. Tiba-tiba Pangeran Cheng Lin atau Han Lin menghampiri meja mereka. Dua orang gadis itu memandang dan segera berdiri. Yang mereka hadapi sekarang bukanlah Han Lin pemuda biasa lagi, melainkan Pangeran Cheng Lin yang harus mereka hormati.
Pangeran Cheng Lin tersenyum melihat dua orang gadis itu bangkit berdiri.
"Mari kalian berdua ikut aku ke taman, aku hendak bicara dengan kalian. Di sini terlalu banyak orang dan terlalu berisik, tidak leluasa kita bicara."
Katanya dan dua orang gadis itu hanya mengangguk dan mengikutinya keluar dari ruangan itu melalui pintu samping dan mereka memasuki taman istana yang luas dan indah.
Pangeran Cheng Lin berjalan dengan tenang, tanpa berkata-kata, menuju ke sebuah pondok merah mungil yang berdiri di dekat kolam ikan. Hari sudah siang dan matahari bersinar cerah. Akan tetapi duduk di pondok itu sungguh nyaman dan sejuk. Selain pondok itu memberi keteduhan, juga di sekitar pondok tumbuh banyak pohon cemara dan di kolam itu terdapat air mancur yang mengeluarkan bunyi gemercik.
Mereka duduk berhadapan terhalang sebuah meja bundar kecil. Dua orang gadis itu duduk dengan kepala tunduk. Mereka merasakan suasana yang sejuk nyaman, akan tetapi juga merasa canggung dan salah tingkah. Dua orang gadis Itu menundukkan muka dan menanti dengan jantung berdebar penuh ketegangan tanpa mengetahui apa yang menyebabkan hati mereka merasa tegang. Kehadiran pemuda itu sebagai seorang pangeran tulen sungguh membuat mereka menjadi bingung, tidak tahu bagaimana harus bersikap, tidak tahu harus mengeluarkan suara bagaimana. Bahkan Sian Eng yang biasanya tabah dan tidak pernah merasa rikuh itu, kini kedua pipinya menjadi kemerahan dan rasanya ingin menangis karena bingung dan salah tingkah.
Akhirnya Kiok Hwa yang dapat lebih dulu menenangkan hatinya. Gadis ini memang biasanya bersikap tenang menghadapi apapun juga dan dapat menguasai perasaannya sepenuhnya.
"Pangeran, apakah yang hendak paduka bicarakan dengan kami berdua?"
Pangeran Cheng Lin tersenyum mendengar sebutan pangeran dan paduka yang dipergunakan Kiok Hwa itu.
"Ain, Hwa-moi, aku masih tetap Lin-ko seperti dulu. Apa salahnya engkau memanggilku dengan sebutan tetap Lin-ko? Namaku Han Lin atau Cheng Lin sama saja, dapat kau sebut Lin-ko."
Setelah Kiok Hwa bicara, timbul keberanian dalam hati Sian Eng dan iapun menatap wajah pemuda itu dan berkata tegas.
"Enci Kiok Hwa benar. Paduka adalah seorang pangeran, bagaimana kami berani mempergunakan sebutan akrab seperti dulu lagi?"
"Wah, Eng-moi, engkau juga ikut-ikutan. Bukankah hubungan antara kita masih akrab seperti dahulu? Justeru aku mengajak kalian berdua ke sini untuk membicarakan tentang hubungan antara kita bertiga."
Dengan lembut Kiok Hwa bangkit berdiri.
"Pangeran Cheng Lin, biarlah saya mohon pamit.... saya akan pergi, saya tidak berhak mengganggu paduka berdua adik Sian Eng. Paduka cocok sekali untuk berjodoh dengan adik Sian Eng yang amat mencintai paduka. Selamat tinggal, pangeran. Selamat tinggal dan berbahagialah, adik Sian Eng....."
Kiok Hwa membalikkan tubuhnya dan hendak melangkah pergi meninggalkan taman.
"Nanti dulu, Hwa-moi!"
Pangeran Cheng Lin melompat dekat gadis itu dan memegang lengannya.
"Engkau tidak boleh pergi meninggalkan aku begitu saja!"
Melihat pemuda itu menahan kepergian Kiok Hwa dan memegangi lengannya. Sian Eng juga bangkit berdiri dan ia berkata dengan tegas.
"Tidak, enci Kiok Hwa! Engkau tidak boleh pergi meninggalkan Pangeran Cheng Lin. Bukan engkau yang harus pergi, melainkan aku! Pangeran Cheng Lin, saya mohon diri, saya tidak boleh mengganggu ikatan cinta antara paduka dan enci Kiok Hwa. Paduka sepantasnya berjodoh dengan enci Kiok Hwa karena saya tahu bahwa paduka dan ia saling mencinta. Saya tidak tahu diri. Selamat tinggal, pangeran, selamat tinggal, enci Kiok Hwa!"
Sian Eng menahan isaknya dan berlari dari dalam pondok.
"Eng-moi..... tunggu!"
Pangeran Cheng Lin berlari cepat mengejar dan dia menyambar dan memegang lengan Sian Eng.
"Tidak, engkau juga tidak boleh pergi. Mari, dengarlah dulu kata-kataku, kita bertiga bicara dulu. Setelah itu baru kalian boleh mengambil keputusan!"
Dia menarik lengan Sian Eng dan gadis itu terpaksa menurut dan berjalan kembali ke dalam pondok. Setelah tiba di dekat Kiok Hwa, Sian Eng melepaskan diri dan merangkul Kiok Hwa sambil mengusap air matanya.
"Aku ingin melihat engkau berbahagia! enci."
Katanya lirih.
"Aku juga tidak ingin mengganggu kebahagiaanmu, adik Eng."
Kata Kiok Hwa sambil balas merangkul.
"Kalian duduklah, Hwa-moi dan Eng moi. Hatiku terharu dan kagum sekali melihat kalian. Kalian adalah orang-orang yang berjiwa besar dan berhati mulia, memiliki cinta kasih sejati. Cinta kasih sejati tidak membuat orang tidak mementingkan kesenangan dan kepentingan diri pribadi, melainkan mementingkan kebahagiaan orang yang dikasihinya. Akupun sayang kepada kalian, tidak perlu aku berdusta. Aku mencintamu, Hwa-moi. Akan tetapi akupun amat sayang padamu, Eng-moi. Aku tidak ingin melihat kalian menderita. Aku ingin melihat kalian berbahagia. Karena itu, tidak mungkin aku hidup berbahagia berdua saja dengan adik Tan Kiok Hwa kalau hal itu akan membuat adik Lo Sian Eng kesepian dan menderita, sebaliknya akupun tidak mungkin dapat hidup berbahagia berdua saja dengan Eng-moi kalau hal itu akan membuat Hwa-moi kesepian dan merana."
Pangeran Cheng Lin berhenti sebentar dan menghela napas panjang.
Kesempatan itu dipergunakan Kiok Hwa untuk berkata dengan nada penuh pertanyaan.
"Pangeran, lalu apa maksud paduka? Ucapan paduka itu sungguh membingungkan."
"Benar sekali pertanyaan enci Kiok Hwa? Apa sih maumu, Pangeran? Paduka bicara seperti teka-teki, begini tak benar dan begitu salah. Lalu bagaimana baik-nya?"
Tanya Sian Eng.
Wajah Pangeran Cheng Lin berubah kemerahan.
"Aku.... eh, aku tidak bermaksud ingin mencari senang sendiri.... maksudku...... begini saja: Hanya ada dua pilihan, yaitu kita bertiga hidup bersama dan menikmati kebahagiaan hidup bersama. atau kalau hal itu tidak mungkin kalian lakukan, biarlah kita bertiga berpisah dan mengambil jalan hidup masing-masing. Aku sungguh tidak ingin mendapatkan yang satu dan kehilangan yang lain."
Kiok Hwa bangkit berdiri, juga Sian Eng dan mereka berdua saling pandang dengan mata terbelalak.
"Maksudmu.....?"
Kiok Hwa memandang pemuda itu dengan sinar mata tajam penuh selidik.
"..... paduka ingin menikah dengan kami berdua?"
Sambung Sian Eng. Pangeran Cheng Lin menghela napas panjang lalu mengangguk, menahan perasaan rikuhnya.
"Kalau kalian setuju. Itulah jalan terbaik bagiku. Aku akan berusaha untuk bersikap adil dan akan membahagiakan kalian berdua."
Pada saat itu terdengar tepuk tangan dari luar pondok dan Pangeran Cheng Lin cepat bangkit berdiri. Kiranya Pangeran Cheng Hwa yang melangkah masuk sambil tertawa dan bertepuk tangan.
"Bagus, bagus sekali! Kionghi (selamat), adinda Cheng Lin! Tentu saja engkau boleh menikah dengan mereka, karena sebagai pangeran, engkau diperkenankan memiliki sampai lima orang isteri."
Pangeran Cheng Lin sudah maju menyambut Pangeran Cheng Hwa dan otomatis Sian Eng dan Kiok Hwa juga maju memberi hormat. Tanpa disengaja Kiok Hwa berdiri di sebelah kanan Pangeran Cheng Lin dan Sian Eng berdiri di sebelah kirinya. Mendengar ucapan Pangeran Cheng Hwa itu, kedua orang gadis itu terbelalak dan serentak mereka menoleh dan memandang kepada Pangeran Cheng Lin dengan alis berkerut.
"Lima orang......? Wah..... tak mungkin itu....."
Kata Kiok Hwa.
"Lima orang isteri? Tidak sudi aku. Aku dan enci Kiok Hwa berdua saja sudah cukup. Kalau ada yang lain lagi, seorang lagi saja, aku akan minggat!"
Teriak Sian Eng cemberut.
"Ha-ha-ha-ha!"
Pangeran Cheng Hwa terbahak.
"Kionghi, adinda, kionghi....!"
Dan sambil terus tertawa dia meninggalkan pondok itu. Pangeran Cheng Lin menggerakkan kedua tangannya. Tangan kirinya merangkul pundak Sian Eng dan tangan kanannya merangkul pundak Kiok Hwa.
"Jangan khawatir, aku akan hidup selamanya dengan kalian berdua calon-calon isteriku yang tercinta, tidak akan ada yang lain."
"Paduka berani bersumpah, pangeran?"
Seperti diatur saja, ucapan ini keluar dan bibir kedua orang gadis itu.
"Aku bersumpah kepada Tuhan, langit bumi menjadi saksi bahwa aku, Pangeran Cheng Lin, tidak akan memiliki isteri lain kecuali Tan Kiok Hwa dan Lo Sian Eng. Nah, akan tetapi sekarang kalian harus memenuhi satu permintaanku."
"Apa itu?"
Tanya mereka berdua dari kanan kiri.
"Sebut aku Lin-ko, bukan pangeran!"
"Lin-ko.....!"
Kiok Hwa berkata lirih dan merdu.
"Lin-koko......!"
Sian Eng mendesah manja.
Pangeran Cheng Lin merangkul kedua orang calon isterinya itu dan mereka berdua bersandar ke dada yang bidang itu dari kanan kiri sambil memejamkan mata.
Berbahagialah tiga orang manusia yang selalu menjunjung tinggi dan membela kebenaran dan keadilan itu, tiga orang muda yang telah menemukan cinta kasih yang sejati, bukan sekedar cinta nafsu belaka. Cinta kasih sejati baru akan dapat bernyala di dalam hati manusia bila mana hati itu sudah bebas daripada kebencian, dan kebencian baru akan dapat lenyap apabila hati penuh dengan maaf dan pengampunan terhadap sesama yang bersalah kepada kita. Akan tetapi, karena hati akal pikiran kita sudah dikuasai nafsu, maka amat sukarlah untuk dapat mengampuni dan tidak mendendam kepada orang lain yang berbuat jahat kepada kita. Hanya kalau Kekuasan Tuhan bekerja dalam hati sanubari kita, memberi bimbingan kepada kita, barulah hal itu dapat terlaksana.
Hanya kekuasaan Tuhan yang akan mampu menundukkan nafsu-nafsu yang selalu mempermainkan dan memperhamba hati akal pikiran kita. Dan Kekuasaan Tuhan hanya akan bekerja sepenuhnya apabila kita menyerah dengan penuh kepasrahan, penuh keikhlasan, dengan sepenuh keimanan kita. Pangeran Cheng Lin menjadi tangan kanan Pangeran Cheng Hwa. Bahkan beberapa tahun kemudian, ketika Pangeran Mahkota Cheng Hwa menggantikan ayahnya menjadi kaisar, Pangeran Cheng Lin menjadi pembantu utama dan penasihatnya yang amat dipercaya dan dapat diandalkan.
Sampai di sini pengarang mengakhiri kisah Suling Pusaka Kemala ini dengan harapan semoga dapat menghibur para pembaca dan sedikit banyak mengandung manfaat bagi kita semua. Amin.
Lereng Lawu, akhir Juli 1989.
T A M A T
PENERBIT CV GEMA
DJVU file oleh : Syaugy_ar
Convert, Edit dan Ebook oleh : Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo