Suling Pusaka Kumala 8
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 8
"A-kiu dan A-hok, mundur kalian!"
A-seng membentak dan dua orang itu berloncatan ke belakang, membiarkan A-seng yang maju menghadapi dua orang suhengnya!
Dua orang itu tertegun dan memandang kepada A-seng dengan mata terbelalak seolah-olah mereka melihat setan! Wajah pemuda itu masih- sama, wajah yang tampan dan gagah, akan tetapi ada sesuatu yang mengerikan pada sinar matanya yang mencorong dan senyumnya yang sinis! Sama sekali lenyap sikap menghormat dan rendah hati yang biasanya diperlihatkan apabila pemuda itu berhadapan dengan kedua orang suhengnya itu.
"Sute...... apakah yang terjadi? Siapakah kedua orang ini dan.... dan.... siapakah engkau sebenarnya?"
Tanya Nelayad Gu, sedangkan Petani Lai memandang dengan alis berkerut.
"Nelayan Gu dan Petani Lai, kalian tidak perlu tahu siapa adanya kedua orang ini!"
Jawab A-seng dengan suara angkuh dan tegas.
"Ahhh....? Sute, beginikah sikapmu terhadap dua orang suhengmu?"
Bentak Petani Lai marah.
"Kalian bukan suhengku!"
"A-seng.....!!" "Ha-ha-ha, namaku bukan A-seng! Aku hanya menggunakan nama itu agar dapat mempelajari ilmu dari suhu Cheng Hian Hwesio! Sekarang aku telah tamat belajar tidak perlu menganggap kalian sebagai suheng. Memalukan sekali mempunyai suheng yang ilmu silatnya masih serendah tingkat kalian!"
Dua orang itu sampai menjadi bengong karena tertegun dan heran bukan main.
Benarkah yang bicara itu A-seng yang biasanya ramah dan hormat? Orangnya memang sama akan tetapi sikapnya berbeda seperti bumi dengan langit. Pemuda ini demikian angkuh, demikian sombong dan tinggi hati. Petani Lai yang keras hati menjadi marah bukan main mendengar ucapan itu. Dia menggerakkan cangkulnya di atas kepala dan mendamprat.
"A-seng, jahanam keparat! Berani engkau menghinaku?"
"Ha-ha-ha, mengapa tidak berani? Apa yang dapat kau lakukan dengan cangkulmu itu? Untuk mencangkul tanah juga tidak dalam, hanya untuk menakut-nakuti anjing saja!"
"Jahanam! Berani engkau melawanku?"
Tantang Petani Lai.
"Ha-ha, apa yang harus kutakutkan? Bagiku, cangkulmu itu tiada gunanya, Petani Lai!"
"Keparat, lihat senjataku!"
Bentak Petani Lai dan diapun sudah menyerang dengan ganas.
A-seng menyambar sebatang tongkat bambu yang berada di situ dan diapun menyambut serangan itu dengan tongkat bambunya. Gerakannya cepat bukan main dan segera keduanya sudah terlibat dalam sebuah perkelahian yang dahsyat. di bawah sinar bulan purnama, tubuh mereka berdua hampir tak nampak, tertutup oleh sinar dari senjata masing-masing yang membentuk lingkaran-lingkaran yang menyambar-nyambar. Nelayan Gu terkejut sekali melihal gerakan tongkat bambu.
Gerakannya demikian mantap, mengeluarkan angin besar dan berdengung-dengung nyaring sehingga dalam belasan jurus saja Petani Lai sudah terdesak mundur! Akan tetapi dia tidak mau mengeroyok. Bukan wataknya untuk mengeroyok, apalagi kalau diingat bahwa lawan mereka hanyalah sute mereka sendiri. Petani Lai juga merasa penasaran sekali. Dia seolah merasa berhadapan dengan dinding sinar bambu yang amal kokoh. Ke manapun cangkulnya menyambar, selalu bertemu dengan tongkat dan setiap kali senjata mereka beradu, di merasa betapa tangannya tergetar hebat
Tiba-tiba terdengar A-seng berkata, suaranya nyaring dan penuh kekuatan.
"Petani Lai, engkau tidak akan menang melawan aku! Lihat, kedua tanganmu sudah mulai lemah!"
Petani Lai terkejut bukan main ketika merasakan betapa kedua tangannya benar-benar menjadi lemah sekali dan pada saat itu, tangan A-seng menyambar dan berhasil menotok ulu hatinya. Hebat sekali totokan itu. Petani Lai merasa se-olah ada sebatang pedang yang runcing menembus ulu hatinya dan melukai bagian dalam dadanya. Dia mengeluh, cang-kulnya masih menyambar namun segera terlepas dari tangannya dan diapun roboh terkulai! "Ha-ha-ha, sebegini sajakepandaian-mu!"
A-seng tertawa-tawa dengan girang.
Nelayan Gu terkejut sekali dan cepat dia meloncat ke dekat tubuh Petani Lai ntuk memeriksa keadaan rekan itu. Alangkah kagetnya ketika ia melihat bahwa rekannya itu telah tewas! Rekannya telah tewas oleh totokan yang dahsyat sekali dan diapun dapat menduga bahwa itu adalah ilmu totok It-yang-ci yang ampuh. Wajahnya menjadi pucat sekali kemudian berubah merah ketika dia bangkit berdiri sambil memandang ke arah A-seng dengan sinar mata bernyala saking marahnya.
"Manusia iblis! Engkau kejam sekali!"
Bentaknya.
"Ha-ha-ha, bagus kalau engkau mengetahui itu, Nelayan Gu. Untuk memperoleh kemenangan orang harus berhati kejam!"
"Sebetulnya, siapakah engkau? Mengapa pula engkau melakukan semua ini dan sekarang bahkan membunuh Petani Lai yang tidak bersalah apa-apa padamu?"
"Dia sendiri yang mencari mati karena menantangku. Dan engkaupun akan menyusulnya, ha-ha-ha!"
A-seng tertawa-tawa dengan sikap mengejek.
"Akan tetapi siapakah engkau ini?"
"Baiklah, karena engkau akan mati aku tidak keberatan untuk mengaku siapa adanya diriku sebenarnya. Aku bernama Ouw Ki Seng keponakan dari ketua Ban tok-pang. Pada suatu hari aku tersesat naik ke Puncak Awan Putih dan melihat datuk sesat Huang-ho Sin-liong Suma Kiang bertanding dengan kalian, kemudian dia dikalahkan dengan mudah oleh heng Hian Hwesio. Karena itu, aku ingin sekali mempelajari ilmu silat dari Cheng Hian Hwesio yang sakti dan akhirnya kehendakku terpenuhi. Sekarang, semua ilmu dari Cheng Hian Hwesio telah diturunkan kepadaku."
Wajah Nelayan Gu menjadi pucat ketika dia menatap wajah A-seng dengan pandang mata terbelalak.
"Jadi kalau begitu, pembantaian terhadap sepuluh orang petani itu......."
"Ha-ha-ha, engkau boleh tahu sekarang, Nelayan Gu. Akulah yang melakukan. Aku sengaja membunuhi mereka agar Cheng Hian Hwesio menaruh iba kepadaku dan suka menerimaku sebagai murid. Dan siasatku itu berhasil dengan baik."
"Jahanam! Manusia berwatak iblis! Sejak muda engkau telah menjadi manusia iblis yang kejam sekali!"
"Ha-ha, untuk dapat mencapai keinginan hidupnya, orang harus bersikap cerdik Nelayan Gu. Sekarang, setelah engkau mengetahui semua keadaanku, bersiaplah untuk mampus!"
Nelayan Gu sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring diapun sudah menerjang dengan dayung bajanya, menyerai dengan dahsyat. Namun, A-seng menghadapinya dengan tenang. Tongkat bambunya bergerak dan setelah menangkis, iapun balas menyerang dengan sama dasyatnya.
"Tunggg.....!"
Kedua senjata bertemu dan akibatnya, Nelayan Gu terhuyung belakang. A-seng menyerang terus dan mendesak Nelayan Gu yang sudah terhuyung belakang. Tiba-tiba tampak sinar hitam menyambar tubuh Nelayan Gu dari arah kiri. Nelayan Gu cepat mengelak dan beberapa batang paku beracun lewat dekat tubuhnya. Itulah paku-paku beracun yang disambitkan oleh A-kiu dan A-hok. Demikianlah watak mereka dari golongan sesat. Lawan yang sudah terdesak malah dikeroyok dan diserang dengan senjata rahasia! Ban-tok-pang (Perkumpulan Selaksa Racun) merupakan perkumpulan golongan sesat yang terkenal jahat dan curang. Nelayan Gu memutar dayungnya untuk melindungi dirinya, akan tetapi tiba-tiba tongkat bambu di tangan A-seng membentur dayungnya dan melekat! Inilah penggunaan sin-kang (tenaga sakti) untuk menempel dan Nelayan Gu tidak mampu lagi menarik lepas dayung bajanya.
Pada saat itu, kembali ada sinar hitam paku-paku menyambar. Nelayan Gu menggerakkan tangan kirinya untuk menyampok sinar hitam itu dan berhasil menangkis paku-paku itu, akan tetapi pada saat itu tangan kiri A-seng sudah mengirim totokan dengan ilmu lt-yang-ci. Jari tangan kirinya yang meluncur itu mengeluarkan suara bercuitan dan tanpa dapat ditangkis maupun dielakkan lagi, jari tangan itu telah berhasil menotok bawah tulang iga kanan Nelayan Gu. Nelayan Gu tersentak kaget, dayungnya terlepas dan diapun roboh terkulai dengan mata terbelalak dan tetap terbelalak ketika dia tewas seketika!
A-seng tidak mempedulikan lagi lawannya yang telah tewas.
"Mari kita bakar pondok itu. Biarkan hwesio tua itu mati terbakar di dalamnya. Mari!"
Dia mengajak A-kiu dan A-hok.
Ketiganya lalu berlari cepat menghampiri pondok dan ternyata mereka memang sudah merencanakan pembakaran karena telah tersedia banyak rumput kering di luar pondok. Mereka mengepung pondok dengan rumput kering, kemudian membakar rumput-rumput kering itu. Pondok yang terbuat daripada kayu dan bambu itupun terbakar dengan mudah! Api menyambar dan membakar dinding kayu, lalu menyambar pintu dan jendela merambat atap. A-seng memandang api sambil tersenyum lebar. Suara api memakan kayu dan bambu terdengar seperti musik yang merdu di telinganya. Dia tidak membutuhkan lagi Cheng Hian Hwesio, bahkan harus membunuh hwesio itu karena Cheng Hian hwesio itu agaknya yang akan mampu menandinginya, karena merupakan ancaman baginya.
"Omitohud.....!"
Terdengar seruan dan tiba-tiba saja atap yang belum termakan api jebol dari bawah.
"Braaakkkk.....I"
Tubuh Cheng Hian Hwesio menjebol atap itu dan melayang ke atas, lalu turun ke dekat A-seng. Hwesio itu memandang kepada A-seng dengan mata terbelalak heran.
"A-seng, apa yang telah terjadi?"
Tanyanya.
A-seng mendekati hwesio itu, seperti hendak melapor. Akan tetapi setelah tiba dekat, dia membentak.
"Inilah yang terjadi!"
Dan tangan kirinya sudah meluncur dengan amat cepatnya ke arah dada Cheng Hian Hwesio. Dia menyerang dengan It-yang-ci! Cheng Hian Hwesio terkejut, akan tetapi ketenangannya membuat dia masih sempat mengerahkan ilmu kekebalannya melindungi dada yang ter-totok.
"Tukkk.....!"
Jari telunjuk A-seng bertemu dengan dada yang terasa seperti sebuah dinding baja, akan tetapi tetap saja totokan yang amat ampuh itu dapat menembus kekebalan dan akibatnya Cheng Hian Hwesio terjengkang!
"Ha-ha-ha, Cheng Hian Hwesio, mampuslah engkau!"
Dan A-seng lalu menyerang hwesio yang sudah terjengkang itu dengan totokan It-yang-ci lagi!
Akan tetapi Cheng Hian Hwesio adalah seorang hwesio sakti yang sudah puluhan tahun melatih diri. Biarpun dari mulutnya mengalir darah segar menandakan bahwa dia telah terluka dalam, namun melihat serangan susulan itu, diapun lalu mengerahkan sisa tenaganya, menyambut serangan A-seng dengan ilmu It yang-ci pula.
"Desss.....!"
Dua tenaga yang amat kuat bertemu dan akibatnya A-seng terjengkang! Ternyata dia masih kalah kuat dibandingkan gurunya dan kenyataan in membuat A-seng terkejut.
"Ledakkan!"
Bentaknya dan dua orang tokoh Ban-tok-pang itu lalu membanting dua buah benda yang meledak dan menimbulkan asap tebal hitam. Cheng Hian Hwesio menahan napas dan melompat jauh ke belakang. Setelah asap tebal memudar, dia sudah tidak melihat tiga orang itu tadi. Dia melihat pondok yang sudah terbakar semua dan menghela napas panjang. Dia masih bingung akan sikap A-seng yang menyerangnya dan untuk mengobati luka dalamnya, dia lalu duduk di atas batu dan menghimpun hawa murni. Tahulah dia bahwa It-yang-ci yang dipergunakan A-seng menyerang dirinya sudah bercampur dengan ilmu yang sesat, yaitu hawa yang mengandung racun!
Jendela kamar Han Lin diketuk perlahan dari luar. Han Lin merasa heran sekali dan agar tidak mengganggu suhunya yang tidur di kamar sebelah, dia turun dari pembaringan, mendekati jendela dan bertanya dengan suara lirih.
"Siapa di luar?"
"Aku, sute. Aku Ingin bicara denganmu."
Mendengar suara A-seng, Han Lin segera membuka daun jendela dan tampaklah wajah A-seng di bawah sinar bulan purnama.
"Ah, engkau, suheng. Ada keperluai apakah malam- malam begini engkau datang berkunjung?"
"Sute, pelajaranku telah selesai d suhu menyuruh aku turun gunung. Besok pagi-pagi sekali aku sudah harus meninggalkan Puncak Awan Putih. Karena itu aku malam-malam berkunjung kepadamu karena aku ingin bercakap-cakap lebih dulu denganmu sebelum pergi. Kalau engkau tidak keberatan, aku ingin bermalam di sini bersamamu agar dapat bercakap cakap sebelum aku pergi besok pagi pagi."
Han Lin tersenyum.
"Tentu saja boleh, suheng. Silakan masuk."
A-seng melompat masuk ke dalam kamar itu dan mereka lalu duduk di atas kursi, berhadapan terhalang meja kecil.
"Wah, engkau sudah tamat belajar, suheng? Kalau begitu mulai besok pagi engkau sudah akan bebas seperti seekor burung terbang di udara. Alangkah bebas dan senangnya!"
"Aku tidak tahu apakah aku harus senang ataukah susah! Aku harus berpisah dari suhu yang begitu baik kepadaku, dan berpisah dari engkau yang sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Aku belum tahu harus berbuat apa. Hidupku sebatang kara."
"Ah, mengapa khawatir, suheng? Engkau masih muda dan kuat, engkau dapat mengerjakan apa saja dengan menggunakan kepandaianmu, menjadi piauwsu (pengawal barang kiriman), atau menjadi guru silat bayaran, atau masuk tentara."
"Hemm, aku tidak menyukai itu semua. Mungkin aku akan merantau, sute. Aku ingin sekali merantau jauh ke utara, ingin memasuki daerah Mongol. Siapa tahu aku akan bertemu dengan keluargamu. Kalau aku mengatakan bahwa aku kakak seperguruanmu, tentu mereka akan menyambutku dengan baik."
"Tentu saja, suheng. Paman kakekku, Kapokai Khan, adalah seorang yang baik hati dan dapat menghargai orang gagah. Kalau kelak engkau sempat berjumpa dengan dia, sampaikan hormatku kepadanya."
"Akan tetapi, agar mereka dapat percaya, aku harus mengetahui keadaanmu baik-baik, sute. Aku telah mengetahui riwayatmu, akan tetapi engkau belum memberitahu siapa nama ibumu kepada ku. Kalau kakek itu bertanya, aku tidak dapat mejawabnya."
"Katakanlah bahwa ibuku bernama Puteri Chai Li."
"Hemm, Puteri Chai Li? Nama yang bagus sekali, sute. Sekarang aku yakin mereka akan menerimaku dengan baik dan paman-kakekmu akan memperayaiku."
Mereka bercakap-cakap sampai jauh malam, kemudian mereka tidur di atas pembaringan Han Lin. A-seng memperhatikan dengan kerling matanya betapa Han Lin mengambil suling kemala dari ikat pinggangnya dan menyusupkan ke bawah bantal. Tak lama kemudian keduanya sudah tidur nyenyak.
Akan tetapi A-seng hanya pura-pura tidur. Dia sengaja bernapas panjang-panjang seperti seorang tidur nyenyak. Setelah yakin bahwa Han Lin sudah tidur pulas, A-seng mulai menggerakkan tangan perlahan-lahan seperti tidak sengaja tangannya menyusup ke bawah bantal yang ditiduri Han Lin. Tak lama kemudian, tangannya sudah ditarik kembali dan telah memegang suling pusaka kemala!
Kemudian tangan kirinya bergerak, siap melancarkan serangan It-yang-ci, akan tetapi ditahannya. Dia ragu-ragu. Dia tahu bahwa Han Lin lihai sekali, jauh lebih lihai daripada dua suhengnya, Nelayan Gu dan Petani Lai. Belum tentu sekali serang dia akan dapat membunuhnya. Pula, kalau sampai gagal dan terdengar oleh Bu-beng Lo-jin, akan berbahaya ekali. Suling pusaka kemala sudah berada di tangannya. Benda itu dikehendakinya. Benda sebagai tanda dan bukti bahwa pemegangnya adalah putera Kaisar Cheng Tung, seorang pangeran! Dan benda itu sudah berada di tangannya. Karena dia amat cerdik, dia tidak jadi menyerang Han Lin, melainkan turun dari pembaringan dengan hati-hati sekali, kemudian keluar dari kamar itu melalui jendela sambil menyelipkan suling pusaka kemala di ikat pinggangnya. Sebelum pergi dia menutupkan kembali daun jendela kamar tu, lalu meloncat dan berlari pergi, menghilang di bawah bayang-bayang pohon.
Seperti biasa setiap fajar, keruyuk ayam hutan jantan membangunkan Han Lin dari tidurnya. Begitu membuka mata, iia teringat akan A-seng dan cepat menengok ke kiri. Kosong. Mimpikah dia semalam? Bukankah A-seng tidur di sisinya?
Dia bangkit dan seperti biasa pada setiap pagi, yang pertama kali dilakukannya adalah mengambil suling pusaka kemala yang ditaruh di bawah bantalnya. Dia menyusupkan tangannya ke bawah bantal, meraba-raba dan menjadi heran, cepat dibukanya bantal itu, diangkatnya dan terbelalak dia memandang ke bawah bantal yang tidak ada apa-apanya!
Suling pusaka kemala yang dia simpan di bawah bantal seperti biasa telah tiada! Kembali dia menengok ke arah bantal di sebelah yang ditiduri A-seng semalam. Diangkat nya bantal itu akan tetapi tetap saj sulingnya tidak berada di situ. Dia melompat turun dan memeriksa seluruh pembaringan. Tidak ada suling! Dia lompat ke dekat jendela dan ternyata jendela itu dalam keadaan tidak terkunci atau terpalang. Jelas bukan mimpi. Semalam A-seng memasuki kamarnya melalu jendela itu dan tidur di sebelahnya, karang A-seng sudah tidak ada dan suling pusaka kemalanya juga tidak ada!
Han Lin menjadi penasaran sekai Dengan tergesa-gesa dipakainya sepatunya, lalu dibereskan pakaian dan rambutnya kemudian dia membuka jendela, melompat keluar dan lari dengan cepat meninggalkan puncak menuju ke Puncak Awan Putih untuk mencari A-seng! Dia tidak tahu bahwa ada yang membayangi. Orang itu bukan lain adalah Bu-beng Lojin yang merasa heran melihat tingkah muridnya yang tergesa-gesa pergi dari puncak di waktu sepagi itu. Karena ingin tahu, Bu-beng Lo-jin diam-diam membayangi tanpa diketahui oleh Han Lin karena dilakukannya dalam jarak yang cukup jauh.
Karena hatinya ingin cepat bertemu dengan A-seng yang membawa pergi suling pusaka kemala, Han Lin mempergunakan Ilmu berlari cepat sehingga sebentar saja dia sudah tiba di Puncak Awan Putih. Akan tetapi apa yang dilihatnya amat mengejutkan hatinya. Pondok itu telah runtuh dimakan api dan masih mengepulkan asap! Dan dia melihat Cheng Hian Hwesio duduk bersila di atas batu besar. Tidak tampak A-seng, Nelayan Gu atau Petani Lai di situ.
"Losuhu, apa yang telah terjadi?"
Tanyanya dengan suara nyaring. Cheng Hian Hwesio membuka matanya.
"Han Lin, engkaukah ini? Bencana telah datang menimpa. Pinceng tidak tahu mengapa terjadi hal seperti ini. Nelayan Gu dan Petani Lai juga tidak tampak sejak semalam. Mari kita mencari mereka."
Hwesio tua itu telah berhasil mengusir hawa beracun akibat pukulan A-seng dari tubuhnya dan dia lalu melompat turun. Diikuti oleh Han Lin, dia lalu cari dua orang murid dan pembantunya Itu ke belakang pondok. Dan di sana, di atas petak rumput, mereka menemuki Nelayan Gu dan Petani Lai sudah menjadi mayat!
"Omitohud.....! Telah terjadi seperti apa yang pinceng khawatirkan......"
Hwesio itu mengeluh dengan nada suara berduka.
"Akan tetapi apa yang telah terjadi losuhu? Siapa yang telah membunuh kedua orang suheng ini?"
"Omitohud......! Siapa lagi kalau bukan murid murtad A-seng itu."
"A-seng?"
Han Lin tertegun. A-seng menipunya, pura-pura bermalam akan tetapi mencuri suling pusaka kemalanya, dan ternyata di sini telah melakukan hal yang lebih hebat pula. Amat keji perbuatannya yang dilakukan di Puncak Awan Putih. Membunuh Nelayan Gu dan Petani Lai, masih membakar pondok Cheng Hian Hwesio pula!
"Akan tetapi, mengapa dia melakukan hal ini, losuhu?"
"Pinceng yang bodoh, salah menilai orang. Disesalipun tiada gunanya, akan tetapi siapa yang tidak akan bersedih? Mereka ini tewas dengan sia-sia. Ah, gurumu Bu-beng Lo-jin yang benar, Han Lin. Pinceng seperti buta, tidak melihat harimau dalam kulit domba."
"Cheng Hian Hwesio, engkau benar. Disesalipun tidak ada gunanya lagi. Dan engkau ingat akan kata-katamu dahulu. Di sini karmamu mempermainkanmu! Karma yang bekerja dengan amat cerdiknya. Dan dua orang pembantumu yang setia ini telah bersikap setia sampai mati. Mereka telah mati, tak perlu ditangisi lagi."
Bu-beng Lo-jin muncul menghampiri Cheng Hian Hwesio.
"Omitohud.......! Lo-jin, pinceng masih merasa bingung dan terpukul. Bagaimana pun juga, anak itu telah kami tolong, Ayah bundanya dan keluarganya mati terbunuh penjahat, dia hidup sebatangkara dan kami terima sebagai murid. Akan tetapi kenapa kini dia melakukan ini?"
Suara kakek itu pilu penuh perasaan sedih dan sesal.
"Yang dia bunuh itu bukan keluarganya, melainkan sepuluh orang petani biasa yang tidak berdosa."
Kata Bu-ben Lo-jin tenang.
"Yang dia bunuh?"
Han Lin berteriak "Suhu, jadi dia....."
"Ya, dialah, pemuda yang mengaku bernama A-seng itu, yang membantai sepuluh orang itu. Mereka adalah petani-petani biasa dan sama sekali bukan keluarganya!"
"Omitohud.....! Benarkah itu? Akan tetapi mengapa?"
"Cheng Hian Hwesio, biarpun engkau udah berpengalaman, akan tetapi agaknya engkau tidak banyak mengenal kehidupan para datuk dan tokoh jahat. Kejahatan yang dilakukan A-seng itu belum seberapa' Dan mengapa dia membunuh sepuluh orang yang diakuinya sebagai keluarganya? Agar hatimu tergerak dan suka menerimanya sebagai muridmu. Dia melakukan pembunuhan itu hanya dengan satu tujuan, yaitu menjadi muridmu. Dan ia sudah berhasil. Sangat berhasil sehingga dia dapat menimba ilmu darimu samai lima tahun! Bahkan kecurigaanku sendiri menjadi luntur karena selama lima tahun ini dia benar-benar bersikap baik seperti yang kudengar dari Han Lin.
Ah, Cheng Hian Hwesio, anak itu adalah serang iblis cilik yang amat berbahaya. Dia akan menjadi tokoh yang mengerikan dalam dunia persilatan."
Cheng Hian Hwesio menghela napas panjang.
"Omitohud....., pantas dua tahun terakhir ini dia sengaja mengadu ilmu yang dia pelajari dari pinceng dengan ilmu yang dipelajari Han Lin darimu! Kiranya ini suatu bujukan agar pinceng menurunkan ilmu yang lebih hebat, agar tidak kalah oleh muridmu! Sungguh menyesal sekali, aku bahkan telah mengajarkan lt-yang-ci dan Pek-in Hoat-sut kepadanya!"
Bu-beng Lo-jin juga terkejut mendengar ini. Dia tahu betapa hebatnya dua ilmu itu, terutama It-yang-ci.
"Sungguh ingin sekali aku mengetahui, dia itu siapa dan dari perkumpulan sesat yang mana."
"Pinceng juga tidak tahu. Dia ditemani dua orang yang melempar bahan peledak sehingga menghalangi pinceng mencegah mereka melarikan diri." "Asap beracun?"
"Agaknya begitu, akan tetapi pinceng sempat menjauhkan diri. Anak itu secara tidak tersangka-sangka telah menyerang pinceng dengan It-yang-ci membuat pinceng sempat menderita luka yang cukup parah. Akan tetapi pinceng sempat menggertaknya dan dia lalu melarikan diri di balik asap tebal."
"Dia bahkan hendak membunuhmu? Astaga, benar-benar iblis cilik yang tidak mengenal budi! Han Lin, kelak kalau bertemu dengan iblis itu, engkau harus berhati-hati sekali terhadap kelicikannya."
Kata Bu-beng Lo-jin.
"Semalampun teecu telah menjadi korban kelicikannya, suhu. Dia mengetuk jendela teecu dan mengatakan bahwa pagi ini dia harus pergi, maka dia ingin bermalam di kamar teecu untuk bercakap cakap. Tentu saja teecu tidak menolak, karena dia adalah suheng teecu. Akan tetapi ketika pagi tadi teecu terbangun, ia sudah tidak ada dan.... suling pusaka kemala teecu juga hilang."
"Omitohud......!"
Cheng Hian Hwesio berseru keras.
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pusaka itu dicuri dan dibawanya lari? Han Lin, engkau harus mencarinya dan engkau harus merampasnya kembali! Itu adalah satu-satunya benda pusaka yang menjadi bukti akan keadaan dirimu!"
Han Lin terbelalak memandang kepada Cheng Hian Hwesio.
"Jadi losuhu suda tahu.....?"
"Han Lin, akulah yang memberitahu kepadanya akan keadaan dirimu. Dia adalah gurumu juga, bukan? Dia berhak untuk mengetahui siapa engkau."
"Sudahlah, Han Lin. Pinceng juga tidak akan membocorkan rahasiamu. Akan tetapi satu-satunya benda bukti bahwa engkau adalah seorang pangeran adalah suling pusaka kemala itu. Karena itu engkau harus mendapatkannya kembali,"
Kata Cheng Hian Hwesio.
"Akan tetapi, losuhu. Setelah teecu (murid) pikir-pikir, apa gunanya suling pusaka kemala itu bagi teecu? Teecu tidak ingin menjadi pangeran. Biarpun ayah tecu seorang kaisar, akan tetapi dia telah meninggalkan kami ibu dan anak, berarti dia tidak mau mengakui kami. Kalau di sudah tidak mau mengakui, untuk apa teecu harus memaksanya untuk mengaku teecu? Teecu tidak ingin menjadi pangeran yang dipaksakan."
Cheng Hian Hwesio dan Bu-beng Lo-jin saling pandang dan keduanya tertawa senang, bahkan Bu-beng Lo-jin sampai terbahak-bahak. Kemudian Cheng Hian Hwesio memegang kedua pundak Han Lin dan berkata.
"Pendirianmu itu sehat dan benar sekali, Han Lin. Akan tetapi tidaklah engkau ingin menyelidiki mengapa Kaisar Cheng Tung tidak menjemput ibumu? Dan tidak inginkah engkau mengenal ayah kandungmu? Dan untuk itu, engkau harus memegang suling pusaka kemala itu."
"Senjata itu boleh jadi tidak perlu bagimu, Han Lin,"
Kata Bu-beng Lo-jin (Orang Tua Tanpa Nama).
"Akan tetapi jelas perlu bagi pemuda yang mengaku bernama A-seng itu. Kalau tidak perlu, untuk apa dia mencuri suling pusaka kemala itu darimu? Apakah engkau telah menceritakan apa adanya suling itu dan siapa dirimu sebenarnya?"
Han Lin mengangguk.
"Karena dia merupakan seorang suheng yang baik, teecu sudah menceritakannya, suhu."
"Nah, pantas saja dia lalu mencuri suling pusaka kemala itu! Dia tahu bahwa suling itu merupakan satu-satunya benda bukti bahwa pemegangnya adalah Putera Kaisar Cheng Tung yang terlahir dari ibu Mongol! Dia tentu akan menggantikan kedudukanmu sebagai pangeran di kota raja dengan bukti suling itu!"
"Omitohud......! Akan hebatlah kalau begitu. Orang selicik dia, setelah menjadi pangeran, bukan tidak boleh jadi lalu berusaha untuk menjadi putera mahkota agar kelak menggantikan kedudukan kaisar! Dan kalau kaisarnya seperti dia, celakalah negara dan bangsa"
Seru Chen Hian Hwesio dan suaranya mengandung penyesalan besar sekali.
"Pinceng tidak boleh tinggal diam saja!"
Han Lin tertegun. Pikirannya tidak melayang sejauh itu dan diapun terkejut melihat segala kemungkinan buruk itu Dia memang tidak ingin menjadi pangeran, akan tetapi kalau sampai A-seng yang demikian licik dan jahat menjadi pangeran dan kemudian bahkan menjadi pengganti kaisar, dia memang tidak boleh tinggal diam saja.
"Kalau begitu, menurut suhu berdua, teecu harus mencarinya dan merampas kembali suling pusaka kemala itu?"
Tanyanya kepada dua orang tua itu.
"Tentu saja, engkau harus menghalangi dia menjadi pangeran dan kemungkinan menjadi pengganti kaisar. Tidak salah lagi perkiraan kami. Dia mencuri suling pusaka kemala itu tentu hanya dengan tujuan itu, karena tidak ada alasan lain."
Kata Bu-beng Lo-jin.
"Omitohud...... dan pinceng telah mengajarkan semua ilmu simpanan pinceng kepadanya'"
Kata Cheng Hian Hwesio dengan nada penuh penyesalan.
"Lo-jin, pinceng harus mengetahui lebih dulu tingkat kepandaian Han Lin. Jangan sampai dia kalah kalau bertanding melawan A-seng itu."
"Han Lin, perlihatkan ilmu-ilmu yang pernah kau pelajari dariku kepada Cheng Hian Hwesio."
Kata Bu-beng Lo-jin.
"Akan tetapi kasihan sekali dua orang murid ini, apakah tidak lebih baik kala kita kubur mayat mereka lebih dulu?"
"Omitohud, engkau benar, Lo-jin." "Han Lin, galilah dua lubang untuk mengubur mereka."
Kata Bu-beng Lo-jin.
"Baik, suhu. Di mana teecu harus menggali lubang itu, losuhu?"
Tanya Han Lin kepada Cheng Hian Hwesio. Hwesio itu lalu memilihkan tempat yang baik untuk makam Nelayan Gu dan Petani Lai. Setelah mendapatkan tempat yan dianggapnya layak dan baik, Han Lin lai menggunakan cangkul menggali dua buah lubang yang cukup dalam dan lebar.
Kemudian, secara sederhana sekali dua mayat itu dikubur dan setelah lubang ditutup kembali, Cheng Hian Hwesio berdiri dengan kedua tangan dirangkap di depan dada, berdiri seperti patung di depan dua makam itu. Diam-diam timbul penyesalan yang mendalam di dalam hatinya. Kalau dia tidak menerima A-seng sebagal murid, tidak menurunkan It-yang-ci kepadanya, belum tentu kedua orang murid dan pembantunya yang setia ini akan tewas di tangan pemuda iblis itu! Tanpa dirasakan, dua butir air mata bergantungan di pelupuk mata hwesio itu! Melihat ini, Bu-beng Lo-jin menghibur.
"Penyesalan tiada gunanya, semua telah terjadi menurut garis yang ditentukan. Kematian merekapun tidak perlu dibuat penasaran, karena mereka tewas dalam membela kebenaran dan menentang yang jahat. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi kemudian. Semua itu merupakan rahasia. Kita hanya dapat menerima dengan penuh rasa syukur karena dalam setiap peristiwa itu terkandung hikmah yang mendalam dan penuh rahasia. Tidakkah engkau pikir demikian, Cheng Hian Hwesio?"
Hwesio itu tersenyum.
"Omitohud, engkau benar sekali, Lo-jin. Perasaan pinceng begini lemah dan mudah hanyut."
"Karena engkau banyak melakukan samadhi atas dasar cintakasih terhadap semua mahkluk, perasaanmu menjadi peka sekali dan mudah hanyut. Hal itu bukanlah tidak baik. Berbeda dengan aku yang selalu membuka mata dengan waspada melihat keadaan hidup ini di mana baik buruk selalu mengambil tempat dalam hati akal pikiran manusia silih berganti. Baik dan buruk itu hanya ada dalam penilaian manusia dan penilaian manusia itu palsu adanya."
"Omitohud, apa yang kau katakan itu amat mendalam artinya, namun tidak dapat disangkal kebenarannya, Lo-jin."
Han Lin juga berlutut di depan makam memberi penghormatan kepada mendiang kedua orang suhengnya yang selalu bersikap baik kepadanya, menjadi penasaran mendengar ucapan terakhir dari suhunya itu.
"Maaf, suhu. Teecu tidak mengerti apa artinya dengan ucapan suhu tadi bahwa baik dan buruk itu hanya ada dalam penilaian manusia dan penilaian manusia itu palsu adanya?"
"Ah, apakah engkau belum mengerti akan hal yang sewajar dan sesederhana itu? Pikirkan baik-baik. Yang dinamakan baik dan buruk itu tidak akan ada kekal tidak ada penilaian. Sesuatu itu wajar wajar saja, tidak baik dan tidak buruk. Akan tetapi setelah ada penilaian dan perbandingan, barulah dinamakan ini baik dan itu buruk. Jadi yang melahirkan baik buruk adalah penilaian. Mengertikah?"
"Teecu mengerti, suhu. Akan tetapi mengapa penilaian manusia suhu katakan palsu adanya?"
Han Lin mengejar.
"Penilaian manusia selalu didasari rasa suka dan tidak suka, dengan perhitungan diuntungkan atau dirugikan. Kalau diuntungkan timbul rasA suka dan penilaiannya tentu baik, sebaliknya kalau dirugikan timbul rasa tidak suka dan penilaiannya tentu buruk. Orang sedunia boleh nenganggap Si A sebaik-baiknya orang, akan tetapi kalau SI A merugikan dan memusuhi kita, dapatkah kita menganggapnya sebagai orang baik? Sebaliknya, orang sedunia boleh menganggap Si B sejahat-jahatnya orang, akan tetapi kalau Si B menguntungkan kita, amat baik terhadap kita, dapatkah kita menganggap dia seorang jahat? Tentu saja tidak. Terhadap orang yang kita suka karena menguntungkan kita, tentu kita akan menilainya baik. Sebaliknya terhadap orang yang kita tidak suka karena merugikan kita, tentu kita akan menilai-nya jahat. Nah, penilaian seperti itu bukankah palsu adanya?"
"Akan tetapi, suhu. Bukankah penilaian yang sifatnya umum di mana diri kita tidak terlibat?"
Han Lin terus mengejar.
"Memang ada pendapat dan penilaian umum dan itu sudah dijadikan ukuran oleh kita untuk menganggap mana yang baik dan mana yang jahat. Akan tetapi jangan lupa bahwa umum juga telah terpengaruh oleh pendapatnya masing-masing berdasarkan suka atau tidak suka, diuntungkan atau dirugikan. Karena itu, bentrokan pendapat bukan hanya terjadi kepada pribadi-pribadi, melainkan juga bentrokan pendapat dan penilaian antara kelompok, golongan, dan bangsa. Bangsa Han kita semua memandang mendiang Jenghis Khan sebagai orang yang sekejam kejamnya dan sejahat-jahatnya. Akan tetapi coba bertanya kepada bangsa Mongol. Mereka semua menganggap bahwa mendiang Denghis Khan adalah orang besar, gagah perkasa, pahlawan bangsa. Mengapa demikian? Alasannya mudah saja. Bangsa Han merasa dirugikan oleh Jenghis Khan, sebaliknya bangsa Mongol merasa diuntungkan. Nah, penilaian siapa kah di antara kedua bangsa ini yang benar? Bukankah kedua-duanya mengandung ketidak-kebenaran?"
Han Lin termenung dan mengangguk-angguk perlahan.
"Akan tetapi, suhu, mungkinkah kita hidup tanpa penilaian, tanpa rasa suka atau tidak suka?"
"Ha-ha-ha, kita adalah manusia-manusia yang masih memiliki nafsu, tentu saja tidak mungkin. Akan tetapi kalau engkau sudah yakin bahwa penilaian itu merupakan pendapat yang miring, berat sebelah dan palsu, kita dapat berhati-hati menghadapi jalan pikiran kita sendiri. Karena itu, dalam melakukan sesuatu, sikapmu terhadap seseorang jangan sekali kali berdasarkan rasa suka atau tidak suka saja, karena itu menimbulkan penilaian yang palsu. Kalau engkau misalnya berhadapan dengan seorang yang jahat, tengoklah ke dalam hatimu apakah engkau menganggapnya jahat karena rasa tidak suka, karena dirugikan atau karena dendam. Anggapan begitu adalah tidak benar dan palsu. Akan tetapi amatilah dengan teliti keadaan orang itu sebagaimana adanya, tanpa dendam, tanpa kebencian, tanpa rasa suka atau tidak suka. Kalau engkau biasakan bersikap seperti ini, sikap dan perbuatanmu terhadap semua orang besar kemungkinannya benar dan tepat."
Han Lin mengangguk-angguk. Selama lima tahun ini, dia sudah banyak mendapat wejangan, baik dari Bu-beng Lo-jin maupun dari Cheng Hian Hwesio. Semuai yang dikatakan Bu-beng Lo-jin tadi hanya merupakan penjelasan saja yang membuka mata batinnya menimbulkan pengertian.
"Omitohud, Lo-jin telah membuka rahasia kekuasaan nafsu atas diri manusia demikian gamblangnya sehingga pinceng yakin bahwa Han Lin tentu telah mengerti baik. Sekarang, coba perlihat-kan semua ilmu yang pernah kau pelajari agar pinceng dapat membandingkan siapa di antara engkau dan A-seng yang lebih lihai, Han Lin."
"Baik, Losuhu."
Setelah memberi hormat kepada dua orang gurunya, Han Lin lalu bersilat tangan kosong memainkan Ngo-heng Sin-kun (Silat Sakti Lima Unsur). Dia sengaja bersilat dengan secepatnya dan menggunakan sin-kang sehingga setiap gerakan tangannya mendatangkan angin yang kuat. Juga dia bergerak berdasarkan ilmu langkah yang diajarkan oleh Bu-beng Lo-jin. Dalam ilmu silat, gerak dan langkah kaki merupakan dasar pokok. Makin teratur dan kuat kedudukan kaki, makin cepat gerakannya, semakin tangguh pula ilmu silat itu. Melihat ilmu silat tangan kosong Ngo-heng Sin-kun ini, Cheng Hian Hwesio menganguk-angguk. Dengan ilmu silat itu, ditambah pengetahuan Han Lin tentang Sin-liong-ciang-hoat yang diajarkannya, maka dalam pertandingan tangan kosong jelas Han Lin tidak akan kalah melawan A-seng.
"Cukup, Han Lin!"
Cheng Hian Hwesio berseru dan Han Lin menghentikan gerakannya.
"Sekarang, bersiaplah. Pinceng hendal menyerangmu dengan It-yang-ci, jaga dirimu baik-baik. Lo-jin, tolong kau ikut memperhatikan sehingga kita dapat mengambil keputusan apakah dia perlu mempelajari It-yang-ci ataukah tidak."
"Aku mengerti maksudmu, Cheng Hian Hwesio. Memang hal itu baik sekali. Pergunakanlah it-yang-ci sebaiknya untuk mendesaknya. Dan kau Han Lin, berhati-hatilah menghadapi serangan Cheng Hian Hwesio karena engkau belum mengenal It-yang-ci!"
"Baik, suhu. Losuhu, teecu telah siap"
Kata Han Lin sambil memasang kuda-kuda dengan kokoh dan teguh sekali.
"Bagus, sambutlah!"
Cheng Hian Hwesio lalu memainkan ilmu silat lt-yang-ci dan kedua tangannya, dengan telunjuk diacungkan, melakukan serangan totokan bertubi-tubi. Dari kedua telunjuknya menyambar hawa serangan yang mengeluarkan bunyi bercuitan dahsyat!
Han Lin terkejut sekali. Cepat dia mengatur langkahnya dan mengelak dengan menambah kecepatan gerakannya. Cheng Hian Hwesio menyarang terus dan Han Lin mencoba untuk menangkis. Akan tetapi ketika dia menangkis dan tangannya bertemu telunjuk, dia terhuyung ke belakang karena dari telunjuk itu menyambar kekuatan yang amat hebat. Diapun coba membalas serangan Cheng Hian Hwesio karena satu-satunya jalan untuk menahan desakan lawan dengan membalas serangan itu dengan setangan pula. Terjadilah pertandingan yang amat seru. Mereka saling serang dan saling elak dan tangkis, akan tetapi jurus tampak bahwa Han Lin mulai terdesak oleh rangkaian serangan It-yang-ci yang amat dahsyat itu setelah mereka bertanding lewat lima puluh jurus.
Akhirnya, dalam pertemuan tenaga sakti, Han Lin terhuyung-huyung sampai lima langkah ke belakang.
"Omitohud, engkau akan kalah kalau A-seng mempergunakan It-yang-ci!"
Seru Cheng Hian Hwesio.
"Sekarang masih ada semacam ilmu yang telah kuajarkan kepadanya, yaitu ilmu Pek-in Hoat-sut (Sihir Awan Putih). Coba engkau hadapi ilmu ini, Han Lin!"
"Teecu telah siap, Losuhu!"
Kata Hai Lin yang telah pulih kembali dan memasang kuda-kuda untuk
(Lanjut ke Jilid 09)
Suling Pusaka Kumala (CeritaLepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 09
menyambut serangan ilmu sihir itu.
Dia tahu bahwa hwesio itu akan menyerangnya dengan ilmu sihir, maka dalam persiapan itu diapun telah mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) untuk menghadapinya. Cheng Hian Hwesio melipat kedua lengan di depan dada, kemudian sambil mengeluarkan bentakan, kedua lengannya, dilepas dari lipatan dan kedua tangannya mendorong ke depan. Serangkup uap putih seperti awan menerjang ke depan dan angin keras bertiup ke arah Han Lin, membawa awan putih itu menyergap.
Ketika merasakan angin yang amat dingin mulai menyergapnya dan uap putih itu membuat matanya kabur dan tubuhnya juga menggigil, Han Lin terkejut sekali dan cepat dia mengerahkan ilmunya yang dipelajarinya dari Bu-beng Lo-ji yaitu Sai-cu Ho-kang (Auman Singa Dari mulutnya keluar pekik melengki seperti auman singa.
"Haaauuuuummmm.......!"
Suaranya itu mendatangkan getaran hebat sekali dan ilmu ini menurut Bu-beng Lo-jin dapat memunahkan tenaga sihir dan serangan yang berdasarkan sin-kang yang kuat. Ilmu Sai-cu Ho-kang ini dilakukan dengan mengerahan tenaga khi-kang. Begitu auman itu menggetar, awan putih terdorong ke belakang dan akhirnya perlahan-lahan lenyap, tidak menyerang lagi.
"Omitohud.... bagus sekali. Sai-cu Ho-kang yang kau kuasai telah mampu menangkis Pek-in Hoat-sut, maka tidak perlu dikhawatirkan lagi terhadap ilmu yang telah dimiliki A-seng ini. Akan tetapi, engkau masih terancam bahaya kalau dia menggunakan It-yang-ti. Karena itu, pinceng akan mengajarkan It-yang-ci kepadamu. Melihat dasarmu yang kuat dan bakatmu yang besar, dalam sebulan engkau sudah akan menguasai teorinya, tinggal kau latih saja."
"Terima kasih, Losuhu."
"Bagus kalau begitu, Cheng Hian Hwesoo Bagaimana dengan ilmunya yang lain, asalnya yang menggunakan senjata?"
"A-seng hanya mempelajari In-lion tung (Tongkat Naga Awan), akan tetapi Han Lm juga telah mempelajarinya, dan dengan Leng-kong Kiam-sut (Ilmu Pedang Sinar Dingin) yang kau ajarkan kepada Han Lin, dia tidak usah khawatir kalau berhadapan dengan A-seng menggunakan senjata."
Demikianlah, sejak hari itu, Cheng Hian Hwesio diajak mengungsi ke Puncak Bambu pondok tempat tinggal Bu-beng Lo-jin karena tempat tinggal hwesio itu telah habis terbakar. Dan setiap hari selama sebulan Han Lin mempelajari ilmu It-yang-ci dari hwesio tua itu.
Benar seperti yang dikatakan Cheng Hian Hwesio, dalam satu bulan saja Han Lin telah dapat menguasai teori It-yang-ci, tinggal mematangkan dalam latihan saja. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Han Lin sudah menghadap kedua orang gurunya dan Cheng Hian Hwesio berkata "Han Lin, sekarang engkau telah menguasai sai It-yang-ci, tinggal mematangkan saja melalui latihan. Pinceng tidak khawatir lagi karena engkau tentu akan mampu mengatasi A-seng yang jahat itu."
"Han Lin, sudah tiba saatnya bagi kita untuk berpisah. Sudah tepat waktunya bagimu untuk turun gunung dan terjun ke dunia ramai, mempergunakan segala ilmu yang telah kau pelajari dari kami untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, menentang mereka yang melakukan penindasan dan perbuatan jahat dan membela mereka yang lemah tertindas."
Biarpun sudah menduga bahwa sewaktu-waktu dia tentu akan disuruh turun gunung oleh kedua orang gurunya, namun pada waktu saat itu tiba, mendengar ucapan gurunya, dia menjaditerkejut juga dan perasaannya menjadi tegang dan terharu. Segera ia memberi hormat sambil berlutut kepada dua orang gurunya dan berkata.
"Ji-wi suhu (bapa guru berdua) telah lanjut usia, siapakah yang akan melayani ji-wi kalau teecu (murid) harus pergi meninggalkan ji-wi suhu?"
Dua orang tua itu saling pandang lalu tertawa.
"Omitohud, anak baik, pinceng adalah seorang perantau yang dapat menjaga diri sendiri."
"Akan tetapi Lo suhu biasanya dilayani oleh mendiang suheng Nelayan Gu dan Petani Lai, dan sekarang mereka berdua telah tiada. Biarlah teecu yang menggantikan mereka melayani Losuhu."
"Ha-ha-ha, jangan memanjakan pinceng yang sudah tua. Pinceng dapat mengurus diri sendiri dan jangan khawatir! Hanya satu pesan pinceng. Selain engkau harus selalu ingat akan semua nasihat yang telah kaudapat dari pinceng dan Lo-jin, juga jangan sekali-kali lupa untuk mencari A-seng dan merebut kembali Suling Pusaka Kemala itu. Andaikan engkau tidak ada keinginan untuk mempergunakan pusaka itu, tidak ingin menonjolkan diri, akan tetapi engkau harus ingat bahwa pusaka itu dapat disalah-gunakan oleh A-seng!"
"Baik, Losuhu. Semua petunjuk losuhu akan akan teecu ingat selalu. Akan tetapi sesungguhnya, hati teecu tidak tega untuk meninggalkan suhu berdua hidup tanpa dilayani siapapun."
"Ha ha ha, kami sudah terbiasa hidup menyendiri. Aku sendiri sudah biasa hidup sendiri, terbang di udara bebas tanpa ikatan. Ada waktunya bertemu dan berkumpul, ada pula waktunya berpisah. Han Lin, engkaupun harus bersikap demikian dalam hidup, yaitu jangan membiarkan dirimu terikat oleh apapun, karena sekali engkau terikat akan sesuatu, maka ikatan itu akan mendatangkan duka. Orang yang kehilangan hanyalah orang yang memiliki. Kalau engkau tidak memiliki apa-apa, engkau tidak akan kehilangan. Mengertikah engkau, Han Lin?"
"Teecu mengerti, suhu."
"Omitohud, bebas dari ikatan. Betap mudahnya diucapkan, namun siapaka selain engkau yang dapat melaksanakan dalam kehidupan, Bu-beng Lo-jin?"
"Ha-ha-ha-ha, Cheng Hian Hwesio, memang pengertian saja belum cukup untuk mengalahkan diri sendiri. Han Lin, masih ingatkah engkau akan pelajaran dalam kitab To-tek-keng tentang penaklukkan diri sendiri? Bagaimana bunyinya?"
Han Lin mengangguk lalu bersajak dengan suaranya yang bening dan lantang.
"Mengerti akan orang lain adalah bijaksana, mengerti diri sendiri adalah waspada. Menaklukkan orang lain adalah berjaya, menaklukkan diri sendiri adalah kuat perkasa. Mengetahui batas kecukupan berarti kaya, tidak mengenal cukup berarti murka. Enggan meninggalkan kedudukan akan terbelenggu, mati tanpa tersesat berarti panjang usia."
"Bagus. Akan tetapi jangan hanya pandai menghafalkan saja ujar-ujar atau pelajaran itu, melainkan harus dicamkan benar dan dilaksanakan dalam kehidupanmu. Kalau kita melaksanakan dalam hidup, maka barulah tidak sia-sia Sang Bijaksana Lo-cu memberikan pelajaran itu."
"Omitohud, indah sekali wejanganmu itu, Lo-jin. Memang sesungguhnyalah, Han Lin. Menghafal selaksa kata-kata mutiara yang indah-indah tiada gunanya sama sekali, kalau hanya sekadar dihafalkan. Akan tetapi melaksanakan satu saja kata-kata mutiara itu akan membuat kita dapat melalui jalan kebenaran. Kami ber dua orang-orang tua yang sudah mulai kehilangan tenaga dan semangat, hanya dapat mengundurkan diri di tempat sunyi sambil memberi doa restu kepadamu."
"Terima kasih, ji-wi suhu."
"Sekarang berkemaslah karena hari ini juga engkau harus turun gunung."
Kata Bu-beng Lo-jin.
"Aku hanya mempunyai sebuah pesan. Kalau engkau turun gunung dan melalui pegunungan Lu-liang-san, jangan lupa singgahlah ke sebuah puncak di Lu-liang-san di mana Sungai Fen-ho masuk ke Sungai Huang-ho. Puncak itu adalah Puncak Burung Hong, di mana terdapat sebuah guha besar yang disebut Guha Dewata. Di depan guha itu, di atas batu-batu besar, terdapat sebatang pedang yang menancap di atas batu. Pedang itu adalah sebuah pusaka langka dan ampuh sekali yang disebut Im-yang -kiam dan sudah sejak ratusan tahun menancap di situ. Ada ukiran tulisan pada batu yang mengatakan bahwa siapa yang mampu mencabut pedang Itu berhak memilikinya, akan tetapi sampai sekarang tidak ada orang yang mampu mencabutnya. Nah, aku ingin engkau singgah di sana dan cobalah engkau mencabut pedang itu, Han Lin. Kalau engkau mampu mencabutnya, berarti engkau berhak memilikinya. Pedang itu mempunyai riwayat yang amat terhormat, sebagai pedang milik seorang gagah, pahlawan sejati yang patriotik."
"Omitohud, pinceng pernah mendengar adanya Im-yang-kiam itu, Lo-jin. Akan tetapi belum pernah mendengar riwayatnya. Dapatkah engkau menceritakan riwayat pedang aneh itu?"
"Pedang itu milik seorang panglima Kerajaan Sung yang bernama Kam Tiong. Ketika Kerajaan Sung diserbu oleh bangsa Mongol dan akhirnya dapat dikuasai bangsa Mongol. Panglima Kam Tiong merupakan seorang panglima yang gigih melakukan perlawanan. Namun, dia melihat pengkhianatan beberapa orang menteri dan panglima yang bersekutu dengan bangsa Mongol sehingga Kerajaan Sung jatuh. Dia menjadi demikian menyesal dan sakit hati. Ketika kota raja Sung jatuh, dia melarikan diri dan menjadi pertapa di Puncak Burung Hong di pegunungan Lu-liang-san. Kemudian dia menghilang, tak seorangpun tahu di mana kuburnya. Akan tetapi dia meninggalkan pedang yang ditusukkan menancap pada batu itu dan meningalkan pesan dengan tulisan berukir di batu bahwa siapa yang mampu mencabut pedang pusaka itu, dia berhak memilikinya. Tusukan pedang di batu itu merupakan pelampiasan penyesalan dan kemarahannya yang melihat bebe-rapa orang menteri dan panglima seolah "menjual"
Kerajaan Sung kepada musuh. Demikianlah ceritanya."
"Menarik sekali. Kalau begitu pinceng juga menganjurkan agar engkau mencoba coba, Han Lin. Siapa tahu engkau berjodoh dengan pedang itu."
Kata Cheng Hian Hwesio.
"Akan tetapi, suhu. Pedang itu sudah berada di sana selama ratusan tahun. Tentu sudah didatangi banyak sekali orang gagah dari seluruh penjuru."
"Memang, banyak sekali para datuk dan tokoh kang-ouw datang ke sana untuk mencabut pedang pusaka itu, akan tetapi tiada seorangpun berhasil. Pedang itu seolah telah menjadi satu dengan batu dan tidak dapat d cabut lagi."
"Kalau demikian banyaknya orang gagah yang berilmu tinggi tidak berhasil mencabut pedang itu, bagaimana pula teecu..."
"Omitohud, jangan berkata demikian, Han Lin, sebelum engkau sendiri mencobanya. Di dalam kehidupan ini ada apa yang dikatakan jodoh. Kalau engkau berjodoh dengan pedang itu, bukan tidak mungkin engkau yang akan dapat mencabut dan memilikinya."
"Benar, Han Lin."
"Akan tetapi, kenapa ji-wi suhu sendiri tidak mencoba untuk mencabutnya? Dengan tingkat kepandaian ji-wi suhu, mungkin saja pedang itu dapat dicabut?"
"Omitohud, untuk apa pedang bagi pinceng? Menyembelih ayampun pinceng tidak pernah."
"Akupun bukan orang yang suka memiliki pedang, Han Lin. Tongkat bambu ini cukup untuk mengusir setan, kalau ada yang mencoba menggangguku. Engkau cobalah, hitung-hitung mewakili kami."
"Baiklah, suhu. Akan teecu kunjungi tempat itu dan akan teecu coba. Pedang pusaka itu milik seorang pahlawan yang gagah perkasa, tentu bertuah."
"Han Lin, pinceng telah mengajarkan kepadamu bagaimana untuk memperguna-kan It-yang-ci untuk pengobatan. Pinceng akan lebih senang kalau engkau pergunakan It-yang-ci untuk pengobatan daripada untuk merobohkan orang."
"Teecu mengerti, Losuhu."
Han Lin lalu berkemas. Tidak banyak yang dibawanya. Hanya beberapa potong pakaian yang dibungkus dengan kain kuning dan beberapa potong uang emas dalam kantung. Uang itu pemberian Bu-beng Lo-jin. Sambil memegang sebatang tongkat bambu diapun memberi hormat dengan berlutut sebagai penghormatan terakhir atau salam perpisahan.
"Ji-wi suhu, teecu mohon pamit dan senantiasa mohon doa restu dari ji-wi suhu."
Dua orang kakek itu mengangguk-angguk dan menggerakkan tangan kanan, Bu-beng Lo-jin tersenyum lebar dan sepa sang mata Cheng Hian Hwesio berlinang. Bagaimanapun juga, pemuda itu adalah cucu-buyut keponakannya sendiri!
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pegunungan Cin-ling-pai memanjang dari utara ke selatan. Sungai Huang-ho mengalir di sepanjang pegunungan ini dan banyak mendapat tambahan air dari sumber-sumber yang mengalir di pegunungan itu. Pegunungan yang amat panjang ini mempunyai banyak sekali bukit dan puncak-puncak yang berbahaya. Hanya beberapa bukit rendahan saja yang dihuni manusia. Di lereng-lereng dari bukit-bukit ini terdapat pedusunan sederhana dari para petani gunung. Akan tetapi banyak puncak yang sama sekali tidak dihuni manusia, bahkan jarang atau bahkan tidak pernah terinjak kaki manusia.
Satu di antara puncak-puncak yang tidak pernah didatangi manusia bahkan para pemburupun tidak berani mendaki puncak yang amat berbahaya, dengan hutan-hutan liar yang penuh binatang buas, adalah Puncak Ekor Naga. Memang dilihat dari jauh, puncak ini bentuknya seperti ekor naga. Akan tetapi pada suatu pagi, seorang laki-laki dan seorang gadis remaja mendaki puncak itu dengan gerakan cepat. Setengah berlari mereka mendaki puncak dan memasuki hutan yang lebat itu. Laki laki itu sudah berusia enam puluh tahunan, bertubuh tinggi kurus dengan muka merah, dahinya lebar dan sepasang matanya sipit. Mulutnya selalu tersenyum sinis, dan mata yang sipit itu kadang mencorong liar. Jenggotnya sudah penuh uban dan berjuntai sampai ke lehernya. Tangan kanannya memegang sebatang tongkal ular hitam.
Adapun gadis remaja itu berusia kurang lebih tiga belas tahun. Wajah gadis remaja itu cantik manis, dengan mata yang lebar dan kocak. Mulutnya manis sekali dengan bibir yang selalu merah basah dan murah senyum mengejek. Lesung pipit di pipi kanannya dan tahi lalat kecil di pipi kirinya membuat wajah itu manis sekali, apalagi kalau tersenyum. Akan tetapi sinar mata yang kocak itu kadang-kadang mengeras dengan pandangan yang tajam menusuk. Biarpun usianya baru tiga belas tahun, namun sudah tampak tanda-tanda bahwa ia akan menjadi seorang, gadis yang bertubuh langsing dan padat.
Gerak-geriknya lincah dan ringan sekali ketika ia mendaki puncak itu sambil setengah berlari. Mereka itu bukan lain adalah Huang-ho Sin-liong Suma Kiang dan anak yang sudah dianggap puterinya sendiri, yaitu Suma Eng. Seperti telah diceritakan di bagian depan, setelah Suma Kiang dikalahkan Cheng Hian Hwesio di Puncak Awan Putih, dia tidak mau lagi tinggal di pegunungan Thai-san dan dia membawa Suma Eng ke Lu-liang-san untuk menghadap seorang supeknya (uwa gurunya) yang bertapa di Puncak Ekor Naga di Lu-liang-san.
"Hati-hati, Eng Eng. Tempat ini berbahaya. Aku mencium bau binatang buas!"
Kata Suma Kiang kepada puterinya "Hutan ini tentu dihuni banyak binatang buas yang berbahaya."
"Ayah, perlu apa kita takut terhadap binatang buas? Kalau mereka berani muncul, tentu akan kubunuh dengan pedangku!"
Jawab Suma Eng dengan suara tegas penuh keberanian.
"Awas, Eng Eng, di atasmu!"
Tiba-tiba Suma Kiang berseru. Cepat gadis remaja itu memandang ke atas dan pada saat itu, seekor ular yang ekornya melibat dahan pohon dan kepalanya bergantung ke bawah berayun dan menyambar ke arah Suma Eng!
Gadis remaja itu dengan sigapnya mengelak sehingga sambaran moncong ular itu luput. Sedikitpun dara cantik itu tidak merasa ngeri atau takut. Dengan gerakan yang cepat sekali tangan kanannya sudah mencabut Ceng-liong-kiam (Pedang Naga Hijau) yang bersinar hijau itu dan ia menanti dengan gagah. Ular sebesar paha orang dewasa itu agaknya tidak melihat bahaya. Dia penasaran sekali ketika sambarannya tadi luput dan kini dia sudah terayun kembali dan menyambar dengan cepat sambil uembuka moncongnya dan mengeluarkan suara mendesis! Kembali Suma Eng mengelak dengan merendahkan tubuhnya sehingga kepala ular itu menyambar lewat di atas kepalanya dan sebelum ular itu dapat membalik dan menyerang lagi, gadis remaja itu telah meloncat seperti terbang dan sinar hijau berkelebat.
"Crakkk....!"
Darah muncrat dan tubuh ular itu terlepas dan dahan, jatuh ke atas tanah menyusul kepalanya yang lebih dulu terpisah dari badan dan jatuh. Tubuh ular tanpa kepala itu berkelojotan sebentar lalu diam tak bergerak. Suma Eng melihat pedangnya. Sedikitpun tidak ternoda darah, menunjukkan betapa cepatnya gerakan memenggal leher ular itu tadi.
"Bagus!"
Suma Kiang memuji dengan girang dan bangga. Biarpun masih belum dewasa, Suma Eng telah memiliki ilmu pedang yang cukup tangguh.
"Sekarang kita cari biruang. Di daerah sini terdapat biruang hitam yang buas. Aku ingin melihat apakah engkau berani melawan seekor biruang."
"Tentu saja aku berani, ayah!"
Kata Suma Eng penuh semangat sambil menyarungkan kembali pedangnya.
Mereka berjalan terus dan di tempati terbuka di depan mereka melihat seekor biruang yang cukup besar. Seekor biruang jantan yang sedang mendongkel-dongkel tanah mencari sesuatu.
"Nah itu dia! Beranikah engkau melawan biruang itu, Eng Eng?"
Tanya Suma Kiang.
Suma Eng memandang binatang itu dai matanya bersinar-sinar penuh semangat "Tentu saja aku berani, ayah. Lihat, aku akan membunuh biruang itu!"
Dengan tabah Suma Eng lalu mempercepat langkahnya lari menghampiri biruang itu. Suma Kiang berlari di belakangnya dan datuk inipun siap untuk sewaktu waktu melindungi puterinya kalau-kalau terancam bahaya.
Biruang itu mendengar langkah kaki lalu memutar tubuhnya dan mengangkat kedua kaki depannya. Tingginya dua kali tinggi Suma Eng! Matanya mencorong dan melihat gadis remaja itu, dia memperlihatkan taringnya dan menggrreng. Akan tetapi Suma Eng tidak menjadi takut dan ia sudah memcabut pedangnya, berindap-indap menghampiri lebih dekat, tubuhnya ringan dan gesit, matanya menatap tajam wajah biruang itu. Ketika bertemu pandang, biruang itu mengedipkan mata beberapa kali seperti silau. Semua binatang selalu silau kalau bertemu pandang dengan manusia yang tidak merasa takut. Dia sudah menoleh ke belakang seolah segan untuk berkelahi melawan manusia. Akan tetapi Suma Eng menantang.
Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo