Ceritasilat Novel Online

Tiga Dara Pendekar Siauwlim 7


Tiga Dara Pendekar Siauwlim Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



Kembali Boan Kin tercengang mendengar ini, tidak saja terkejut melihat ketabahan pemuda ini, akan tetapi juga heran mengapa pemuda ini tahu tentang Im Yang Siang-to-hwat. Memang dia dan adiknya pernah mempelajari ilmu golok ini, bahkan ilmu ini pula yang mereka berdua andalkan dan yang telah membuat keduanya jarang terkalahkan.

   "Baiklah, orang muda she The. Kau sendiri yang minta, bukan kami yang sengaja mendesak!"

   Sambil berkata demikian, Boan Kin mencabut goloknya, diturut pula oleh Boan Swe. Kedua kakak beradik ini lalu mengambil tempat di kanan kiri pemuda itu yang masih berdiri tenang-tenang saja. Kemudian, Sin Liong mengangkat kedua lengannya dengan pangkal lengan menempel iga, tangan diangkat ke pundak dan telapak tangannya dikembangkan ke kanan kiri, seperti orang sedang memikul.

   "Mulailah!"

   Katanya. Kedua saudara Boan itu sama sekali tak pernah menduga bahwa pemuda ini hendak melawan mereka dengan tangan kosong saja, maka mereka merasa heran berbareng marah dan mendongkol karena terang saja anak muda itu memandang enteng kepada mereka. Sambil berseru keras Boan Swe yang berangasan lalu menyerbu dan goloknya yang lebar dan berkilau saking tajamnya itu menyambar ke arah leher Sin Liong dengan maksud memenggal leher pemuda itu dengan sekali tebas saja. Dan hampir berbareng pada saat yang sama pula, golok di tangan Boan Kin telah menyambar pula, akan tetapi yang diserang adalah sepasang kaki pemuda itu.

   "Bagus!"

   Sin Liong berseru dan untuk mengelak dari dua serangan atas dan bawah ini, tubuhnya melompat ke depan dan ia hendak mengambil kedudukan berhadapan dengan kedua lawannya, akan tetapi dengan cepat pula Boan Kin telah melompat ke sebelahnya dan kembali ia berada di tengah-tengah dan kedua lawannya itu mengurung di kiri kanan. Kalau ia menghadapi yang seorang maka orang kedua akan berada di belakangnya.

   Kini Boan Kin yang melakukan serangan lebih dulu dengan menusukkan goloknya dari arah kiri sedangkan Boan Swe lalu menyusul dengan tusukan dari arah kanan. Kembali Sin Liong mengelak dan selanjutnya pemuda ini mempergunakan gin-kangnya yang luar biasa sehingga tubuhnya seakan-akan tubuh seekor burung walet yang amat gesitnya, menyambar-nyambar di antara kedua golok yang berkelebat bagaikan dua ekor naga mengamuk. Memang ilmu golok kedua orang itu lihai sekali gerakannya, dan selalu digerakkan dengan cepat dan dalam keadaan berlawanan. Kalau golok pertama menyerang dari kanan, golok kedua menyerang dari kiri, kalau yang pertama menyerang dari atas, yang kedua menyerang dari bawah. Demikianlah, maka kedua batang golok itu seakan-akan mengurung rapat-rapat dan tidak memberi jalan keluar kepada lawan yang amat gesit itu.

   Para penonton menahan napas menyaksikan pertempuran hebat ini. Mereka mmerasa kagum sekali melihat betapa dengan bertangan kosong, pemuda yang tampan itu berani menghadapi serangan dua batang golok yang demikian lihainya dan sebentar kemudian, para penonton menjadi melongo karena kini mereka tak dapat melihat pula tubuh pemuda itu yang berubah menjadi bayangan putih berkelebat ke sana kemari di antara sinar golok yang putih berkilau seperti ular-ular perak. Gan Kong yang melihat ini, merasa terkejut sekali dan diam-diam bersukur bahwa tadi ia tidak bertempur melawan pemuda ini, karena betapa dengan tangan kosong pemuda itu dapat mempermainkan Boan Kin dan Boan Swe yang mainkan ilmu golok selihai itu, ia merasa sangsi apakah ia akan dapat kalahkan pemuda ini.

   Sui Lan juga merasa kagum sekali, dan diam-diam megakui bahwa dalam hal gin-kang, pemuda itu tidak kalah dari dia! Akan tetapi, ia maklum bahwa kalau pertempuran itu dilanjutkan oleh pemuda itu dengan tangan kosong saja, sukarlah baginya untuk memperoleh kemenangan bahkan banyak sekali bahayanya ia akan terluka oleh golok yang datang menyerang bagaikan hujan lebat itu. The Sin Liong bukanlah seorang pemuda yang bodoh, dan ia tahu pula tentang kenyataan ini. tadipun ia hanya ingin mengukur sampai di mana tingkat kepandaian kedua orang murid Go-bi-pai itu. Maka setelah ia mempergunakan kegesitan dan gin-kangnya yang tinggi untuk melawan kedua lawannya sampai empat puluh jurus, tiba-tiba ia tertawa dan berkata,

   "Sekarang sudah tiba saatnya kalian harus melepaskan golok itu!"

   Dan berbareng dengan itu, tahu-tahu ia telah mencabut pedang yang tergantung di punggung dan bersama dengan menyambarnya sinar kebiru-biruan menyilaukan mata, terdengar bunyi "Trang!"

   Dan kedua saudara Boan itu cepat melompat mundur sambil berseru kaget, karena ternyata bahwa dengan sekali babat saja golok mereka telah putus menjadi dua potong!

   "Bagus, Saudara The. Kau benar-benar lihai sekali! Akan tetapi kekalahan kami adalah karena kau mempergunakan po-kiam (Pedang Mustika) yang baik. Kami masih belum puas. Mari kita bertanding lagi mengandalkan kaki dan tangan!"

   Kata Boan Kin sambil melemparkan golok yang tinggal gagangnya saja itu. Sin Liong tersenyum dan menyimpan pedangnya, sedangkan para penonton menjadi berisik karena orang-orang membicarakan pertempuran tadi dengan penuh kekaguman dan memuji-muji pemuda tampan itu.

   "Tangan dan kaki adalah senjata yang kita bawa semenjak lahir, dan kegunaannya tidak kalah oleh pedang atau golok,"

   Kata Sin Liong.

   "Saudara Boan, kau adalah ahli lwee-kang sedangkan kawanmu ini ahli gwe-kang, apakah kalian berdua hendak mempergunakan ilmu silat dua serangkai Hok-thian Hok-te (Balikkan Langit dan Bumi) untuk mengeroyok dan menjatuhkan aku?"

   Kembali Boan Kin tertegun mendengar ucapaan ini, karena ternyata bahwa pemuda itu dapat menduga tepat sekali, tanda bahwa dalam hal ilmu-ilmu silat tinggi dari Go-bi-pai, pemuda ini telah mempunyai pandangan yang luas sekali.

   "Apakah kau takut?"

   Tanyanya dengan senyum sindir. Sin Liong tertawa sinis dan sepasang matanya yang tajam itu berseri gembira.

   "Takut? Ha-ha-ha, itulah pantangan besar bagi Suhuku Pat-jiu Sin-kai!"

   Terkejutlah Boan Kin dan Boan Swe mendengar bahwa pemuda ini adalah murid Pat-jiu Sin-kai (Pengemis Sakti Bertangan Delapan) yang namanya amat terkenal di kalangan persilatan tingkat atas!

   "Hm, jadi kau adalah murid dari Pat-jiu Sin-kai Kwe Sin? Pantas, pantas! Tak heran kau begini lihai. Akan tetapi, Go-bi-pai tak usah kalah nama dengan suhumu itu!"

   Kata Boan Kin.

   "Siapa bilang Go-bi-pai kalah nama? Go-bi-pai adalah cabang persilatan yang tinggi tingkatnya, akan tetapi kaulah yang masih amat rendah tingkatmu, dan karena kau baru bertingkat lima dalam kedudukan Go-bi-pai, maka kepandaianmu yang masih rendah inilah kiranya yang membuat kau berlaku sombong dan bergaul dengan segala macam orang jahat!"

   Kembali Boan Kin merasa terheran. Bagaimana pemuda ini bisa mengetahui bahwa tingkatnya adalah tingkat kelima? Akan tetapi, karena ia masih merasa penasaran sekali ia lalu membentak,

   "Marilah kita coba!"

   Dan ia lalu maju menyerang dengan hebat. Pukulannya kelihatan perlahan dan tak bertenaga, akan tetapi karena ia mempergunakan lwee-kang, maka angin pukulannya mendatangkan hawa dingin pukulannya mendatangkan hawa dingin mendahului pukulan itu sendiri.

   Juga Boan Swe bergerak mendahului dan memukul pemuda itu dengan pukurannya yang keras dan dilakukan dengan tenaga kasar. Di dalam latihannya, Boan Swe dapat mempergunakan kekerasan kepalannya untuk memukul pecah sampai hancur lebur sepuluh bata merah yang ditumpuk-tumpuk, maka apa bila kepalan tangannya yang dipukulkan ke arah kepala Sin Liong itu mengenai sasaran, tentu kepala Sin Liong akan pecah pula! Akan tetapi, kedua saudara Boan ini benar-benar tidak tahu diri dan kurang hati-hati. Seharusnya, sebagai orang-orang sudah memiliki ilmu silat cukup tinggi, mereka tahu bahwa dari ucapannya dan juga dari gerakannya ketika bertempur melawan mereka dengan tangan kosong tadi, pemuda ini memiliki tingkat kosong tadi, pemuda ini memiliki tingkat kepandaian yang sedikitnya sebanding dengan ahli silat Go-bi-pai tingkat dua!

   Ketika mereka menyerang, sambil tersenyum Sin Liong melompat ke atas dan ketika membalas dengan serangan-serangan kilat, kedua saudara Boan itu menjadi sibuk sekali! Sin Liong telah melakukan serangan dengan gerak tipu Sam-hoan-to-goat (Tiga Lingkaran Membungkus Bulan), sebuah ilmu silat yang luar biasa sekali gerakannya dan sukar diduga perubahannya. Mereka seakan-akan melihat lawannya telah berubah tiga orang dan berputar-putar di sekeliling tubuh mereka, membuat mereka menjadi pening dan pandangan mata mereka kabur. Hal seperti ini selama hidup baru satu kali mereka alami, yakni ketika dulu su-couw (kakek guru) mereka, Pek Bi Tojin, pernah menguji kepandaian mereka dan kakek guru ini pun bersilat dengan cepatnya sehingga mereka menjadi pening seperti keadaan mereka sekarang!

   Akan tetapi, kedua saudara Boan ini memang keras kepala dan tidak mau mengaku kalah. Mereka memukul membabi buta dengan nekat sambil mengerahkan seluruh tenaga. Pada suatu saat, hampir bersamaan, Boan Kin memukul dari sebelah kiri dengan gerak tipu Cio-po-thian-keng (Batu Meledak Langit Gempur), sedangkan Boan Swe dari sebelah kanan memukul pula dengan gerak tipu Pai-bun-twi-san (Atur Pintu Tolak Gunung). Pukulan kedua orang ini sama cepat dan kerasnya dan dilakukan dalam keadaan mata berkunang dan kepala pening. Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari Sin Liong yang merendahkan diri hampir berjongkok sambil menggerakkan kedua tangannya ke kanan kiri. Pukulan kedua orang itu melesat arahnya karena disentuh oleh tangan Sin Liong dan tak dapat ditahan lagi kepalan mereka menuju ke tubuh lawan sendiri.

   "Bluk! Blek!"

   Dan kedua orang itu terjengkang ke belakang dalam keadaan pingsan. Boan Kin terpukul dadanya oleh adiknya, sedangkan Boan Swe terkenal pukulan lwee-kang pada pundaknya oleh kakaknya sendiri!

   "Eh, eh, bagaimanakah ini?"

   Sin Liong tersenyum mengejek dan menghampiri kedua orang itu. Dua kali tangannya bergerak ke arah dada mereka dan kedua saudara Boan itu siuman kembali, merangkak-rangkat sambil mengaduh-aduh! "Eh, mengapa saling pukul sendiri? Jangan begitu, ah. Antara adik dan kakak sendiri mengapa saling pukul? Apakah kalian sedang memperebutkan warisan??"

   Bukan main malunya kedua saudara Boan itu, terutama ketika mendengar suara keta riuh rendah dari penonton yang menyambut kemenangan Sin Liong dengan kagum dan gembira. Mereka berusaha bangkit sendiri dan Boan Kin lalu menjura kepada Sin Liong.

   "Kepandaianmu sungguh lihai! Memang kami berdua harus belajar lagi sedikitnya sepuluh tahun!"

   Setelah berkata demikian, ia lalu ajak adiknya melompat turun dan pergi dari situ tanpa pamit lagi kepada ketiga orang kawannya, murid-murid Bu-tong-pai itu! Sin Liong menengok ke arah Gan Kong, murid tertua dari Bu-tong-pai itu dan berkata sambil tersenyum,

   "Nah, sekarang tiba giliranmu untuk maju! Apakah kau masih menantang Si Penyambit thi-lian-ci tadi?"

   Gan Kong dengan marah lalu melompat ke atas panggung.

   "Tentu saja! Kecuali kalau pelempar gelap itu seorang pengecut, biarlah aku ampunkah jiwa ajingnya!"

   Sin Liong tertawa terbahak-bahak.

   "He, pelempar thi-lian-ci! Benarkah kau seorang pengecut? Kalau bukan, lekas kau maju!"

   Sambil berkata demikian, Sin Liong melompat turun dari panggung dan berdiri menonton dibaris terdepan dari kelompok penonton yang makin banyak jumlahnya itu. Bukan main panasnya hati Sui Lan mendengar ucapan ini.

   "Tua bangka! Apakah kau kira kau saja yang berani mempermainkan tikus-tikus kelaparan?"

   Sui Lan tujukan kata-katanya itu kepada Sin Liong yang disebutnya "tua bangka"

   Karena dulu Sin Liong menyebutnya bocah. Akan tetapi tentu saja yang mengerti sindirannya ini hanya Sin Liong sendiri yang segera tertawa dan berkata dari bawah panggung,

   "Bocah nakal!"

   Hati-hatilah kau menghadapi tikus-tikus gunung itu!"

   Para penonton merasa heran mendengar percakapan dua orang dari bawah panggung itu, dan ketika pada saat itu tubuh Sui Lan melayang naik ke atas panggung dan tahu-tahu mereka melihat seorang gadis cantik jelita berdiri di situ dengan gagah dan manisnya, pecahlah sorak-sorai yang gembira. Tak mereka sangka sama sekali akan melihat gadis muda sedemikian cantiknya naik kek atas lui-tai untuk menghadapi Gan Kong yang galak dan menakutkan itu.

   Inikah penyambit yang telah melukai telinga Gan Kong? Sukar untuk dipercaya. Nampaknya gadis ini demikian lemah lembut, demikian cantik jelita, demikian halus, dan putih kulit mukanya. Dan sepasang matanya yang bercahaya bagaikan bintang kejora itu bergerak-gerak lincah dan berseri, mendatangkan kegembiraan hati kepada siapa saja yang melihatnya. Sementara itu, Gan Kong dan kedua orang sutenya (adik seperguruannya), ketika melihat gadis ini, tak terasa pula membelalakkan mata selebar-lebarnya. Inilah gadis jelita yang bermalam di hotel itu, dan yang semalam hampir mereka ganggu. Bunga indah yang telah mereka intai dan yang akan mereka petik itu kini tahu-tahu telah berada di hadapan mereka! Untuk sekejab ketiganya saling pandang dengan sinar mata penuh arti.

   "Apakah benar kau yang menyambitku dengan am-gi (senjata rahasia) tadi?"

   Tanya Gan Kong dengan hati-hati dan kurang percaya. Sui Lan tersenyum, demikian manisnya sehingga Gan Kong dan dua orang sutenya merasa seakan-akan semangat mereka terbetot oleh senyum itu.

   "Kalian adalah penjahat-penjahat cabul yang bersembunyi di balik nama Bu-tong-pai yang besar dan kau biasa memetik bunga dan bahkan kau tadi juga hampir saja menjalankan perbuatan terkutuk. Memetik sedikit daun telingamu, bukankah itu hanya merupakan sedikit peringatan saja? Untuk apakah kau ribut-ribut?"

   Gan Kong menjadi pucat mendengar ucapan ini karena ia merasa terkejut, demikian pula kedua sutenya. Bagaimana nona ini bisa tahu akan kebiasaan mereka menjadi jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga)? Tentu malam tadi gadis ini telah mengetahui perbuatan mereka ketika berada di luar jendela kamar nona itu! Untuk menutup malunya dan mengalihkan percakapan kepada soal lain, Gan Kong lalu membentak,

   "Jangan ngacobelo! Apakah kau juga seorang anak murid Siauw-lim-pai, maka kau membantu orang Siauw-lim-pai yang akan kuhajar tadi?"

   Semenjak tadi, Sui Lan telah meluap kemarahannya karena mendengar Gan Kong menyebut-nyebut dan menghina nama Siauw-lim-pai, maka kini dengan mengangkat dada ia berkata,

   "Bukalah matamu lebar-lebar dan dengarkan baik-baik! Nonamu adalah seorang anak murid Siauw-lim-pai asli! Tadinya nonamu masih tidak tega untuk mencelakakan kau dan dua sutemu yang sebetulnya pantas dibikin mampus ini, akan tetapi karena kau membuka mulut besar, terpaksa nonamu hendak turun tanga. Benar seperti yang dikatakan oleh tua bangka tadi, kali ini nonamu takkan turun tangan dengan murah hati, dan daun telinga kalian akan kupetik semua!"

   Sebenarnya dalam ucapan ini, Sui Lan menyatakan mendongkolnya kepada Sin Liong yang disebutnya tua bangka, akan tetapi oleh karena Gan Kong tidak mengerti maksudnya, ia hanya memandang dengan tak mengerti dan marah karena mendapat kenyataan bahwa gadis ini adalah seorang anak murid Siauw-lim. Para penonton juga merasa heran mendengar ucapan gadis itu yang bagi mereka juga tidak karuan artinya, akan tetapi mereka tetap gembira karena maklum bahwa tiap kali ini akan terjadi pertandingan yang tak kalah hebatnya dengan pertandingan yang tadi. Sementara itu, Gan Kong yang maklum bahwa gadis ini tentu memiliki ilmu silat tinggi, dan juga karena ia merasa marah sekali melihat orang yang telah melukai telingan, cepat mencabut pedangnya dan berkata,

   "Perempuan busuk dari Siauw-lim! Jangan kau banyak cakap lagi dan kalau kau betul seorang anak murid dari Siauw-lim, jangan harap akan dapat meninggalkan kata demikian, ia menggerak-gerakkan pedangnya, menyabet ke kanan-kiri sehingga pedangnya menerbitkan angin. Lagaknya ini hanya dibuat-buat untuk menentramkan hatinya yang agak ngeri setelah melihat kelihaian pemuda tampan tadi. Akan tetapi Sui Lan tetap tersenyum gembira dan memandang dengan mata mengejek dan menganggap rendah sekali. Dengan gerakan lucu ia menggerakkan kepalanya ke arah dua orang kawan Gan Kong sambil berkata,

   "Apa gunanya dua ekor anjing banci dan muka hitam itu? Suruh mereka maju sekalian. Melawan kau seorang diri saja kepalang tanggung bagiku!"

   Sui Lan memang sengaja hendak memperlihatkan kepandaian agar jangan sampai kalah "Muka"

   Dengan pemuda yang bernama The Sin Liong tadi! Meledaklah suara ketawa para penonton mendengar dan menyaksikan gadis itu berkata-kata.

   Ternyata gadis ini lebih berani, lebih lucu, dan lebih hebat dari pemuda tampan tadi, maka ingin sekali mereka melihat apakah kepandaian dara jelita ini pun sehebat kepandaian pemuda tadi. Muka Gan Kong menjadi merah padam sedangkan kedua orang sutenya pun marah sekali. Orang kedua dari Bu-tong-pai itu yang berwajah tampan dan berpakaian merah serta pesolek sekali, merasa dihina karena disebut anjing banci, maka ia lalu melompat dengan pedang di tangan, demikian pula Si Muka Hitam. Akan tetapi Gan Kang memberi tanda agar kedua sutenya itu jangan bergerak dulu. Setidaknya ia merasa malu untuk melakukan pengeroyokan. Coba saja pikir, masa tiga orang laki-laki gagah perkasa, anak murid Bu-tong-pai, harus mengeroyok seorang dara muda dari Siauw-lim-pai? Kalau dunia kang-ouw mendengar akan hal ini, kemana mereka harus menaruh muka?

   "Bangsat perempuan. Kau berani menghina anak murid Bu-tong-pai?"

   Teriak Gan Kong sambil menusukkan pedangnya ke arah dada Sui Lan tanpa mempedulikan kenyataan bahwa gadis itu masih belum memegang senjata.

   "Jelek sekali!"

   Seru Sui Lan dan secepat kilat ia memiringkan tubuh ke kiri, disusul dengan tusukan dua jari tangan ke arah mata Gan Kong dengan tangan kiri, akan tetapi ketika Gan Kong dengan kaget memiringkan kepalanya untuk menghindarkan matanya yang hendak dicongkel keluar, tiba-tiba tangan gadis itu yang sebelah kanan telah bergerak cepat menghantam jari-jari tangan Gan Kong yang menggenggam pedang.

   "Plak!"

   Tangan kanan Sui Lan dengan jari terbuka berhasil mengetok jari tangan Gan Kong yang memegang pedang dan trang...!"

   Pedang itu terlepas dari pegangannya, terjatuh di atas lantai panggung! Gerakan lihai yang baru saja dilakukan oleh Sui Lan dengan berhasil baik sekali ini adalah satu gerak tipu dari ilmu silat Bi-cong-kun (Ilmu Silat Kepalan Menyesatkan) yang penuh gaya-gaya palsu dan tipu-tipu yang benar-benar membingungkan dan menyesatkan dugaan lawan. Sambil tertawa ha-ha hi-hi Sui Lan mengejek lawannya,

   "Nah, apa kataku tadi! Jangan kau maju sendiri, ajaklah kedua sutemu itu maju bersama. Kau bandel sih!"

   Mendengar ucapan dan melihat lagaknya yang seperti seorang ibu menegur dan memarahi anaknya itu, para penonton gelak tertawa dengan hati puas, mentertawakan Gan Kong yang memandang dengan penuh keheranan. Dia sungguh tidak mengerti bagaimana dalam segebrakan saja gadis ini berhasil membuat pedangnya terlepas dari pegangan!

   Sebagai seorang ahli silat yang mahir, tentu saja ia pun tahu bahwa gerakan tadi adalah jurus dari ilmu silat Bi-ciong-kun, akan tetapi jari tangan gadis itu menghantam tangannya, gerakan ini tidak termasuk gerakan Bi-ciong-kun lagi dan hampir mirip dengan ilmu silat Eng-jiauw-kang dari Bu-tong-pai sendiri! Ia tidak tahu bahwa pukulan ke arah tangannya yang dilakukan oleh Sui Lan tadi adalah sebuah jurus dari Kiauw-ta Sin-na yakni gabungan kim-na dari Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai yang terdiri dari seratus dua puluh jurus dan yang telah dipelajari secara sempurna oleh gadis itu! Dengan muka merah karena marah dan malu, Gan Kong mengambil pedangnya. Kini tanpa malu-malu lagi ia memberi tanda kepada kedua orang sutenya yang segera melompat maju untuk mengeroyok. Sui Lan tersenyum dan berkata,

   "Nah, begitu baru betul!"

   Kemudian ia melihat ke arah penonton dan berkata jenaka.

   "Saudara penonton sekalian! Kalau tadi sudah dipertunjukkan kisah Bu-siong-bhak-houw, sekarang dipertontonkan kisah Bhok-lan-ta-sam-go!"

   Para penonton tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan ini. Kisang Bu-siong-bhak-houw (Pendekar Bu Siong pukul Harimau) adalah sebuah cerita klasik dan amat terkenal di antara rakyat jelata, dan dengan ucapannya itu, Sui Lan hendak mengumpamakan Sin Liong sebagai pendekar Bu Siong dan kedua murid Go-bi-pai itu sebagai harimau-harimaunya. Adapun Bhok-lan-ta-sam-go berarti Bhok Lan Memukul Tiga Ekor Buaya. Hoa Bhok Lan juga terkenal sebagai seorang pahlawan wanita yang gagah perkasa dan dipuji-puji namanya, akan tetapi sebetulnya dalam cerita pahlawan wanita itu, tak pernah terjadi Hoa Bhok Lan memukul tiga ekor buaya.

   Ini adalah ucapan yang merupakan ejekan belaka untuk membikin panas perut ketiga orang murid Bu-tong-san itu. Benar saja, Gan Kong dan dua orang sutenya menjadi marah sekali dan sambil berseru keras mereka lalu menggerakkan pedang dan menyerang dengan hebat. Sui Lan berseru nyaring dan tubuhnya lalu mencelat ke atas, berpoksai (membuat salto) sampai empat kali di udara dan turun di tempat yang agak jauh, berdiri tersenyum-senyum menanti datangnya serangan baru! Para penonton memuji dan bersorak melihat gerakan yang hebat itu. Juga Gan Kong merasa terkejut karena ia tahu bahwa gadis itu telah melakukan gerakan Sin-liong-seng-tian (Naga Sakti Naik ke Langit), dengan amat indahnya.

   Maka ia tidak berani memandang rendah, lalu bersama sute-sutenya Gan Kong mendesak sambil mainkan ilmu pedang dari Bu-tong-pai yang cukup kuat dan dahsyat. Sui Lan adalah murid terkasih dari Toat-beng Sian-kouw, seorang ahli silat yang telah banyak mempelajari ilmu silat Bu-tong-pai, maka sekali melihat saja Sui Lan maklum bahwa ketiga orang lawannya itu mainkan ilmu pedang Liang Gi Kiam-hwat dari Bu-tong, semacam ilmu pedang yang telah dikenalnya dengan baik, maka dengan mudah ia lalu mempergunakan ilmu gin-kangnya yang lihai, mengelak ke sana kemari dengan gerakan Jiauw-pouw-poan-san (Tindakan Berputar-putar), berloncat-loncatan sesuai dengan Toa-su-siang-hong-wi (Kedudukan Empat Penjuru Angin) sehingga tubuhnya lenyap dari pandangan mata!

   Sorak sorai para penonton making menggegap gempira karena pertunjukan ini benar-benar amat menarik, jauh sekali ramai dari tadi ketika Sin Liong mempermainkan kedua orang lawannya. The Sin Liong yang menonton di bawah panggung, diam-diam menarik napas kagum, dan hatinya yang memang telah tertarik oleh "bocah nakal"

   Yang mengganggunya di dalam hutan dulu, kini makin tertarik lagi. Kalau tadi Sin Liong mempermainkan kedua saudara Boan dari Go-bi-pai dengan mengelak ke sana kemari dengan gesitnya, kini Sui Lan berlaku lebih hebat lagi. Tidak saja gadis ini mempergunakan kelincahannya untuk mengelak akan tetapi ia juga membalas dengan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan yang sengaja ditujukan ke arah belakang kepala dan belakang tubuh lawan.

   Maka berkali-kali terdengarlah suara "Plak! Plak!"

   Ketika belakang kepala Gan Kong dan sute-sutenya ditempeleng oleh telapak tangan Sui Lan, dan suaran "bak! buk!"

   Ketika belakang tubuh mereka kena ditendang! Gadis yang mempunyai watak nakal dan suka menggoda orang itu sengaja tidak memukul atau menendang keras untuk menimbulkan luka parah, akan tetapi cukup mendatangkan rasa sakit pada tubuh dan hati! Para penonton benar-benar mendapat hiburan yang menggembirakan dan tiada hentinya terdengar suara mereka tertawa dan bersorak, seakan-akan mereka sedang menonton pertunjukan anak-anak wayang sedang melawak. Tiba-tiba para penonton di bagian kiri panggung menjadi panik dan ketakutan ketika serombongan perwira Kwi-i-wi mendesak dan mendekati panggung.

   "Mana adanya pemberontak Siauw-lim yang membuat kekacauan?"

   Seru mereka dan ketika melihat ke atas panggung dan mendapat kenyataan bahwa yang disebut "Pemberontak Siauw-lim-pai"

   Yang sedang mengacau sebagaimana laporan yang mereka terima dari kedua saudara Boan tadi,

   Ternyata adalah seorang gadis cantik jelita yang dengan lincah dan jenaka sedang mempermainkan Gan Kong dan kedua orang sutenya! Tak terasa lagi, sembilan orang Kim-i-wi itu berdiri bengong dan bahkan ikut menonton! Sementara itu, Sui Lan yang sudah mulai merasa bosan dengan main-main ini, lalu bergerak cepat dan kini ia menyerang dengan Hun-kin-coh-kut-jiu-hwat (Ilmu Pukulan Putuskan Otot Lepaskan Tulang). Dengan gerakan-gerakan yang cepat sekali ia mendesak dan terdengarlah teriakan-teriakan kesakitan, disusul dengan robohnya ketiga orang pengeroyok itu seorang demi seorang dengan tulang lutut terlepas atau otot-otot terkelecoh karena pukulan-pukulan Sui Lan! Pada saat itu barulah para perwira Kim-i-wi itu sadar dan dengan cepat mereka lalu berlompatan ke atas panggung sambil berteriak,

   "Tangkap pemberontak Siauw-lim!"

   Melihat kedatangan orang-orang ini, Sui Lan terkejut dan mencabut pedangnya. Dan terjadilah pertandingan hebat di atas panggung di antara Sui Lan dengan para Kim-i-wi yang banyak jumlahnya itu. Tiba-tiba dari bawah panggung melompatlah bayangan putih dan ternyata bahwa yang melompat itu adalah The Sin Liong yang membantu Sui Lan sambil mainkan pedangnya dan berseru,

   "Bocah nakal, jangan takut, aku membantumu!"

   "Kakek tua renta!!"

   Sui Lan membalas.

   "Siapa takut dan siapa pula membutuhkan bantuanmu?"

   Akan

   (Lanjut ke Jilid 07)

   Tiga Dara Pendekar Siauw-Lim (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07

   tetapi Sin Liong tidak peduli, hanya tertawa dan tetap membantu. Adapun para Kim-i-wi ini rata-rata memiliki kepandaian yang lumayan juga sehingga pertempuran berjalan seru dan hebat. Para penonton berlari pergi dari situ dengan ketakutan sehingga tempat itu menjadi sunyi sekali. Baru saja Sui Lan dan Sin Liong berhasil merobohkan dua orang pengeroyok, tiba-tiba dari jauh datang serombongan perwira lagi yang dikepalai oleh seorang perwira tinggi besar gagah. Sin Liong yang melihat perwira ini datang berkuda dari jauh, cepat berkata kepada Sui Lan,

   "Nona, mari kita pergi! Makin banyak yang datang!"

   Mendengar sebutan pemuda itu, Sui Lan maklum bahwa Sin Liong tidak main-main, maka ia pun lalu melompat keluar dari panggung, akan tetapi ia teringat akan sesuatu dan melompat naaik lagi! Sebelum para pengeroyok tahu akan maksudnya, secepat kilat Sui Lan menyerbu kepada tiga orang murid Bu-tong-pai yang masih duduk mengaduh-aduh dan tiga kali pedangnya berkelebat, terdengar teriakan tiga kali dan daun-daun telingan sebelah kanan dari Gan Kong dan dua orang sutenya telah terbabat putus! Sui Lan tertawa nyaring dan berkata,

   "Biarlah hukuman ini membuat kalian tidak berani lagi melakukan pekerjaan memetik bunga!"

   Kemudian, sebelum para pengeroyoknya mendesak lagi, ia lalu mempergunakan ilmu lompat jauh yang disebut Liok-te-hui-teng-kang-hu dan tubuhnya melayang dari atas panggung itu, menyusul bayangan Sin Liong yang sudah lari jauh! Karena gin-kang dari Sui Lan telah tinggi, maka sebentar saja ia dapat meninggalkan para pengejarnya. Akan tetapi ia merasa mendongkol sekali melihat betapa Sin Liong berlari terus sipat kuping bagaikan dikejar setan! Pemuda itu berlari cepat sekali tanpa menoleh dan betapa pun cepat Sui Lan mengejar, tetap saja jarang antara dia dan pemuda itu tidak berubah. Setelah tiba di sebuah padang rumput di lereng sebuah bukit kecil, Sui Lan lalu berteriak keras,

   "Haaaii...!! Tua bangka penakut... Tunggu dulu...!!"

   Teriakannya ini keras sekali dan pemuda di depannya itu lalu berhenti. Ketika Sui Lan tiba pula di tempat itu dengan mulut cemberut, dan hendak marah karena pemuda itu demikian sombong dan hendak mengajaknya mengadu kepandaian, tiba-tiba rasa marahnya lenyap karena ia melihat betapa pemuda itu nampak pucat dan ketakutan!

   "Eh, eh, kau kenapakah?"

   Tanya Siu Lan dengan heran. Pemuda itu menarik napas panjang beberapa kali untuk menenteramkan hatinya, barulah ia berkata sambil mencoba tersenyum,

   "Kau telah membikin aku bermusuhan dan bertempur dengan barisan Kim-i-wi. Kalau mereka tahu bahwa aku adalah keponakan seorang perwira, tentu celakalah aku!"

   Sui Lan cemberut.

   "Siapa suruh kau membantu? Aku tidak membutuhkan bantuanmu, bahkan kau lancang sekali berani membantuku tadi!"

   Pemuda itu memandang dengan lucu dan senyumnya melebar.

   "Teruskan marahmu. Aku senang sekali melihat kau marah-marah!"

   Kini Sui Lan memandangnya dengan heran dan melihat sepasang mata yang tajam itu berseri seakan-akan mentertawakan, ia makin marah.

   "Mengapa kau senang melihat aku marah? Apakah kau anggap aku orang gila?"

   Sin Liong menggeleng kepala dan senyumnya makin melebar tanda hatinya gembira sekali.

   "Nah, nah, makin besar marahmu, makin kau tajamkan dan cemberut, makin manislah kau!"

   "Tua bangka ceriwis!"

   Bentak Sui Lan dan tangannya melayang untuk menampar pipi Sin Liong. Sin Liong tidak mengelak atau menangkis, bahkan ia mengangkat mukanya untuk menerima tamparan itu. Setelah tangan Sui Lan dekat dengan pipi pemuda itu, Sui Lan cepat menarik kemabli tangannya karena sebetulnya ia pun tidak ingin menampar sungguh-sungguh. Tidak tega dia melihat wajah tampan yang mandah saja menerima tamparan itu! Sin Liong tersenyum.

   "Nah, nah, kau tidak jadi menampar! Memang sudah kuduga hal ini maka aku tidak mengelak.

   "Bagaimana kau bisa menduga lebih dulu? Kalau aku melanjutkan tanganku bukankah pipimu akan menjadi bengkak-bengkak dan gigimu akan copot?"

   Sin Liong menggelengkan kepalanya.

   "Tak mungkin. Aku sudah menduga bahwa dara secantik kau ini tak mungkin berhati kejam. Orang seperti kau harus memiliki hati yang mulia."

   Biarpun mulutnya masih cemberut, akan tetapi di dalam hatinya, Sui Lan merasa senang sekali. Pemuda yang tampan dan menarik hatinya ini biarpun mengeluarkan ucapan-ucapan yang sifatnya jenaka dan nakal menggoda, akan tetapi mengandung pujian-pujian terhadap dirinya yang benar-benar menggembirakan hatinya.

   
Tiga Dara Pendekar Siauwlim Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Nona, sebenarnya siapakah kau dan di mana rumahmu?"

   "Aku adalah orang dan rumaku tidak kubawa,"

   Jawab Sui Lan jenaka.

   "Tentu saja! Memangnya kau kura-kura yang membawa rumahnya ke mana-mana?"

   Kata Sin Liong tertawa.

   "Jangan main-main, Nona. Kita telah bertemu dan bercakap-cakap seperti sahabat lama. Sudah sepantasnya kalau kita saling mengenal nama dan mengetahui riwayat masing-masing. Sekali lagi kuulangi dengan hormat. Di manakah tempat tinggalmu, siapa namamu, dan darimana hendak ke mana?"

   "Kuterima pertanyaanmu dan kukembalikan kepadamu."

   "Apa artinya kata-katamu itu?"

   "Kau harus menceritakan keadaan dirimu sebelum tiba giliranku."

   Sin Liong tersenyum.

   "Kau benar-benar nakal dan juga cerdik. Ditanya belum menjawab sudah berbalik menanyakan keadaan Si Penanya! Baiklah, memang pria selalu harus mengalah terhadap wanita. Dengarkan aku bercerita."

   Pemuda itu lalu duduk di atas sebuah batu dan Sui Lan yang juga merasa lelah karena pertempuran dan berlari-lari tadi, lalu duduk menghadapinya, di atas rumput.

   "Namaku The Sin Liong dan aku seorang yatim piatu, tak berayah tak beribu."

   Baru saja menutur sampai di sini, entah mengapa, hati Sui Lan merasa amat terharu dan tak terasa lagi sinar matanya yang ditujukan kepada pemuda itu berubah mesra. Mungkin karena ia teringat akan keadaannya sendiri yang telah yatim piatu pula.

   "Orang tuaku meninggal dunia ketika aku masih kecil,"

   Pemuda itu melanjutkan penuturannya.

   "Baiknya aku mempunyai seorang paman yang baik hati dan yang membiayaiku bersekolah, kemudian setelah aku berusia sepuluh tahun aku lalu diajak tinggal di gedungnya dan dianggap sebagai puteranya sendiri. Aku benar-benar berhutang budi kepada pamanku itu. Kemudian aku bertemu dengan suhuku, yakni Pat-jiu Sin-kai Kwee Sin, dan menjadi muridnya. Selama hampir sepuluh tahun aku dibawa merantau oleh suhu, bersama seorang suhengku yang kini telah kembali ke rumah orang tuanya di Kota Raja. Sekarang karena aku telah tamat belajar, aku hendak mencari pamanku di Kota Raja, sekalian mencari suhengku yang bernama Souw Cong Hwi."

   Sin Liong memandang kepada gadis itu dengan mata berseri.

   "Dan tidak kusangksa sama sekali, sebelum sampai di Kota Raja, aku bertemu dengan kau di dalam hutan itu. Semenjak pertemuanku itu aku selalu terkenang dan ingin bertemu lagi, siapa kira harapanku itu terkabul dan hari ini kita bisa bercakap-cakap di tempat ini. sungguh Thian bersifat murah dan bukan main bahagianya hatiku dengan pertemuan ini."

   Mendengar pernyataan yang jujur dan ucapan yang menyindirkan perasaan hati pemuda itu terhadapnya, Sui Lan hanya menundukkan mukanya yang menjadi merah karena jengah. Ia diam saja sehingga setelah Sin Liong berhenti bercerita. Keadaan menjadi sunyi.

   "Eh, mengapa kau diam saja? Sekarang tiba giliranmu untuk bercerita tentang dirimu,"

   Kata Sin Liong.

   "Aku she Yap..."

   Sui Lan memulai ceritanya.

   "Ya, kau she Yap, dan namamu?"

   "Namaku Sui Lan."

   "Nama yang indah!"

   Sui Lan mengangkat muka dan memandang dan dua pasang mata bertemu.

   "Kalau kau tidak menutup mulutmu, aku takkan melanjutkan ceritaku!"

   Katanya cemberut. Sin Liong mengangkat alisnya dan tersenyum.

   "Baiklah aku akan menutup mulutku dan membuka telingaku selebar-lebarnya."

   "Namaku Yap Sui Lan,"

   Gadis itu mengulang dan menahan geli hatinya ketika melihat betapa Sin Liong merapatkan bibirnya dan hanya mengangguk-angguk kepala sebagai sambutan.

   "dan aku yatim piatu pula."

   Kemudian ia teringat bahwa pemuda itu telah melihat pula kedua enicnya, maka ia menyambung.

   "Dan aku hidup bertiga dengan dua orang enciku yang sekarang entah berada di mana."

   Sin Liong menggerakkan bibirnya yang hendak berkata,

   "Enci-encimu lihai sekali!"

   Akan tetapi ia menahan ucapannya mengatupkan bibirnya lagi ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Sui Lan.

   "Kami bertiga juga telah taman belajar silat dan turun gunung untuk...untuk...ah, hanya sekianlah ceritaku tentang keadaanku!"

   Sin Liong memandang tak puas.

   "Sama sekali belum lengkap. Siapa gurumu dan kemana hendak kau pergi? Mengapa kau berpisah dari enci-encimu dan apakah benar kau anak murid Siauw-lim-pai?"

   "Eh, eh, kau ini seperti hakim memeriksa pesakitan saja lagakmu!"

   Tegur Sui Lan.

   "Kau tidak adil! Yang kauceritakan hanya singkat sekali dan sama sekali tidak merupakan penuturan riwayatmu. Aku...aku ingin sekali mengetahui sejelas-jelasnya, ingin mengetahui semua hal tentang kau!"

   Sin Liong bicara dengan bernafsu sekali sehingga kembali wajah Sui Lan memerah.

   "Ceritaku sudah cukup...untuk sekarang! Kita baru saja berkenalan."

   "Hm...kau tidak percaya kepadaku."

   "Guruku pernah berpesan agar supaya aku tidak menaruh kepercayaan kepada orang yang baru saja dikenal, terutama kalau orang itu laki-laki!"

   "Ah, gurumu tentu seorang wanita!"

   "Bagaimana kau bisa tahu?"

   "Hanya wanitalah yang bisa menaruh hati curiga seberat itu terhadap pria. Akan tetapi biarlah, karena kita memang baru berkenalan. Mengetahui namamu saja sudah cukup menggembirakan hati. Sui Lan... eh, tentu aku boleh menyebut namamu, bukan?"

   "Tentu saja boleh, memang nama diadakan untuk disebut orang."

   "Bagus! Nah, Sui Lan, andaikata kau pun menuju ke jurusan yang sama, beranikah kau melakukan perjalanan bersama aku?"

   "Mengapa tidak berani? Apa yang kutakutkan?"

   "Bagus! Kalau begitu, mari kita melakukan perjalanan bersama!"

   Sui Lan merasa betapa ia telah masuk perangkap. Alangkah jenaka dan cerdiknya pemuda ini. Akan tetapi ia tidak menyesal dan memang suka melakukan perjalanan bersama seorang pemuda yang selain lihai ilmu silatnya juga merupakan kawan yang jenaka dan menggembirakan ini.

   "Boleh, asal kau tidak menggangguku. Akupun hendak pergi ke Kota Raja."

   Girang sekali hati Sin Liong mendengar ini, kentara dari mukanya yang tersenyum-senyum dan matanya yang berseri-seri.

   Mereka lalu melanjutkan perjalanan berdua dan hubungan mereka makin baik saja. Terdapat kecocokan watak antara keduanya dan perjalanan itu dilakukan dengan penuh kegembiraan. Yang amat menarik hati Sui Lan adalah kenyataan bahwa pemuda itu, biarpun suka bergurau, akan tetapi selalu membatasi diri dan berlaku sopan santun terhadapnya, belum tentu pernah berani memperlihatkan sikap kurang ajar. Tak heran apabila hati gadis itu makin tertarik. Juga Sin Liong merasa hatinya telah jatuh betul-betul. Melakukan perjalanan bersama gadis ini merupakan kebahagiaan yang luar biasa baginya. Segala apa yang nampak di perjalanan berubah menggembirakan. Setiap tangkai bunga tersenyum-senyum kepadanya dan daun-daun seakan-akan menari dan melambai-lambai kepadanya,

   Burung-burung bernyanyi gembira merayakan kebahagiaannya dan matahari bagaikan mencurahkan cahaya emas yang indah. Pendeknya dunia ini seakan-akan berubah menjadi surga sebagaimana yang diceritakan dalam dongeng. Setelah melakukan perjalanan dengan Sin Liong selama kurang lebih sepuluh hari, Sui Lan tak merasa ragu-ragu lagi bahwa pemuda ini memang seorang pendekar muda yang budiman dan boleh dipercaya. Maka, ketika pemuda itu mengulangi pertanyaannya tentang riwayat hidupnya, ia tidak mau merahasiakannya lagi. Hal ini terjadi ketika mereka bermalam di sebuah dusun, dalam sebuah kelenteng tua. Bulan purnama menerangi seluruh permukaan bumi dan mendatangkan suasana yang amat romantis bagi orang-orang muda. Sui Lan dan Sin Liong duduk di pekarangan kelenteng itu, di atas bangku-bangku tua yang terbuat dari batu.

   "Sui Lan,"

   Pemuda itu mulai membuka percakapan.

   "Sesungguhnya apakah yang kau kehendaki pergi ke Kota Raja? Apakah kau mencari seseorang di sana atau hanya untuk melancong saja?"

   "Untuk menjawab pertanyaanku ini, aku harus menceritakan riwayatku, Sin Liong,"

   Jawab gadis itu.

   "Mengapa tidak kau ceritakan saja?"

   Aku telah lama ingin sekali mendengarkannya."

   "Sin Liong, pernahkah kau mendengar tentang orang yang bernama Nyo Hun Tiong dan Yap Sian Houw?"

   Sambil bertanya demikian, Sui Lan memandang tajam. Ia mengambil keputusan untuk menggunakan jawaban pemuda itu atas pertanyaan ini sebagai dasar dari keputusannya melanjutkan penuturan riwayatnya atau tidak. Sin Long mengerutkan kening mengingat-ingat.

   "Kalau tidak salah, itu adalah nama dua orang pendekar gagah perkasa dan menjadi tokoh-tokoh Siauw-lim-pai yang dibasmi oleh Kaisar."

   Legalah hati Sui Lan mendengar jawaban ini, karena kalau saja pemuda itu menyebut mereka sebagai pemberontak-pemberontak, tentu ia tidak akan mau melanjutkan ceritanya!

   "Ketahuilah, untuk membalaskan sakit hati kedua orang pendekar itulah maka aku dan kedua enciku pergi ke Kota Raja. Semenjak kecil, kami bertiga dipelihara oleh pendekar Yap Sian Houw itu yang kami anggap sebagai ayah sendiri, dan kami adalah murid-murid dari Toat-beng-Sian-kouw."

   Sin Liong mengangguk-angguk.

   "Aku pernah mendengar nama pertama wanita yang lihai ini dari Suhu. Pantas saja kepandaianmu demikian hebat."

   "Seperti yang pernah kau dengar, Nyo Hun Tiong terbunuh mati oleh seorang perwira kerajaan ketika ia memimpin pasukan petani untuk menumbangkan pemerintah yang dianggapnya tidak adil dan jahat, sebagai usahanya membalas sakit hati karena Siauw-lim-si dibakar!"

   "Hal ini aku kurang mengerti, karena semenjak kecil aku telah belajar silat dan ikut Suhu merantau. Sebelum ikut Suhu, aku masih terlampau kecil untuk mengetahui urusan dunia, apalagi karena orang tuaku tinggal di dusun yang jauh dari Kota Raja,"

   Jawab Sin Liong.

   "Seperti yang telah kuceritakan tadi, Nyo Hun Tiong dibunuh oleh seorang perwira kerajaan, dan kemudian setelah kami menjadi murid-murid Toat-beng-Sian-kouw, pada suatu hari Yap Sian Houw yang kami anggap sebagai ayah sendiri itu datang dengan luka parah dan tak lama kemudian meninggal dunia. Dan tahukah kau siapa pembunuhnya? Tak lain ialah perwira yang dulu membunuh Nyo Hun Tiong! Maka, kami bertiga lalu turun gunung untuk mencari perwira itu dan membalaskan sakit hati Nyo Hun Tiong dan Yap Sian Houw dan kami tidak ragu-ragu untuk mengak bahwa kami adalah anak-anak murid Siauw-lim-pai, sungguh pun guru kami tak dapat disebut tokoh Siauw-lim-pai!"

   Sin Liong mengangguk-angguk.

   "Aku dapat memahami perasaanmu dan enci-encimu. Hutang budi memang berat. Kalian bertiga telah berhutang budi kepada mendiang Yap Sian Houw dan menganggap pendekar tua itu sebagai ayah sendiri. Kalau dia terbunuh oleh musuh, dan kini kau mencari musuh itu untuk membalas dendam, itu namanya berbakti. Aku tak dapat menyalahkan tindakan ini, bahkan seorang anak memang harus berbakti kepada orang tuanya, dan dalam hal ini, orang tuamu adalah pendekar she Yap it."

   Bukan main girangnya hati Sui Lan mendengar pernyataan ini. tanpa disadarinya lagi ia mengulurkan tangan dan menyentuh tangan pemuda yang duduk di hadapannya itu sambil berkata,

   "Ah, Sin Long! Kau memang baik sekali. Aku girang bahwa kau menyetujui usaha kami untuk membalas dendam, dan karena aku selama hidup belum pernah pergi ke Kota Raja dan sekarang telah berpisah dari enci-enciku, maka aku mengharapkan bantuanmu sebagai seorang kawan untuk mencari tahu tempat tinggal perwira musuhku itu!"

   Dengan hati berdebar Sin Liong memegang tangan gadis itu dan kedua tangan itu saling berpegang erat.

   "Sui Lan, demi Tuhan! Aku bersumpah di bawah sinar bulan purnama, bahwa aku akan membantu dan membelamu, biarpun untuk itu aku harus berkorban nyawa sekalipun!"

   Ucapan ini dikeluarkan dengan bibir gemetar dan Sui Lan tak berani menentang pandang mata pemuda itu lebih lama lagi. Ia menunduk akan tetapi jari-jari tangannya masih saling berpegang dan menekan jari-jari tangan Sin Liong, tanda bahwa dari dalam hati mereka mengalir keluar perasaan yang sama hangatnya melalui urat-urat saraf dan sampai pada ujung jari-jari tangan mereka yang saling menggenggam itu. Akan tetapi Sui Lan segera menarik tangannya kembali dan bibirnya berbisik perlahan.

   "Terima kasih, Sin Liong. Kau memang seorang kawan yang baik."

   "Sui Lan, kalau sampai di Kota Raja, aku akan minta paman meminangmu untuk menjadi...jodohku.."

   "Sst! Tahanlah perasaanmu dan simpanlah kata-katamu tadi sampai aku bertemu kembali dengan kedua enciku, karena dalam hal seperti ini, kedua enciku adalah wakil ayah ibu yang akann mengambil keputusan!"

   Sin Liong dapat menguasai dirinya kembali dan sambil tersenyum girang ia duduk kembali agak jauh dari gadis itu.

   "Sui Lan, bagaimanakah kau sampai dapat berpisah dari enci-encimu?"

   Sui Lan lalu menuturkan tentang pertempuran-pertempuran di depan makam Nyo Hun Tiong. Sebagaimana diketahui Siang Lan mengejar perwira she Thio dan Hwe Lan menyuruh ia menyusul untuk membantu encinya itu sehingga akhirnya ia tidak bertemu kembali dengan kedua encinya.

   "Ah, hebat sekali permusuhanmu dengan orang-orang Kim-i-wi!"

   Kata Sin Liong sambil menarik napas panjang dengan hati khawatir sekali.

   "Hal ini amat hebat, karena ketahuilah bahwa dalam barisan Kim-i-wi terdapat orang-orang yang amat lihai dan tinggi kepandaiannya."

   Kemudian pemuda itu teringat akan pertanyaan yang semenjak tadi hendak ia ajukan.

   "Sui Lan, sebetulnya siapakah perwira yang telah membunuh Nyo Hun Tiong dan Yap Sian Houw itu? Apakah dia lihai kepandaiannya sehingga kedua orang pendekar itu sampai kalah olehnya?"

   Mata Sui Lan memancarkan sinar berapi ketika ia menjawab,

   "Entah sampai di mana tingkat kepandaian anjing itu! Yang kuketahui hanya bahwa perwira jahanam itu berpangkat Busu dan she-nya Lee!"

   Tiba-tiba Sin Liong melompat berdiri setelah mendengar ucapan gadis itu.

   "Apa katamu?? Dia she Lee? Siapakah namanya??"

   Sui Lan terkejut sekali melihat sikap Sin Liong ini dan ia pun bangkit berdiri.

   "Aku tidak tahu siapakah namanya, akan tetapi yang sudah pasti ia she Lee dan ahli ilmu panah. Bahkan Nyo Hun Tiong dan ayah angkatnya juga mati karena anak panahnya!"

   Kini Sin Liong memandang pucat bagaikan gadis yang berada di depannya itu tiba-tiba berubah menjadi iblis.

   "Dia she Lee, ahli panah dan..dan..tahukah kau ia bersenjata apa?"

   Sui Lan makin heran memandang pemuda itu, akan tetapi ia menjawab juga,

   "Menurut mendiang ayah angkatku ia bergelar Sin-to, tentu saja bersenjata golok!"

   "Ya Tuhan...! Benar dia...! Dan kau...kau hendak mencari dan membunuhnya?"

   Sin Liong mengangkat kedua tanganna menutup mukanya seakan-akan tidak mau melihat sesuatu yang mengerikan.

   "Sin Liong, kenapakah kau?"

   Sui Lan melangkah maju dan menyentuh lengan pemuda itu dengan cemas. Tiba-tiba pemuda itu menurunkan tangannya, memegang pundak gadis itu dengan kedua tangannya dan berkata keras,

   "Tidak! Tidak! Kau tidak boleh mencarinya, tidak boleh membunuhnya!"

   Melihat muka pemuda itu menjadi pucat sehingga di bawah sinar bulan nampak kehijau-hijauan, Sui Lan terkejut sekali. Ia angkat kedua tangannya melepaskan pegangan Sin Liong dan bertanya,

   "Sin Liong, kenapakah kau? Mengapa kau berkata demikian?"

   "Sui Lan, ingatkah kau akan penuturanku dulu tentang pamanku yang baik hati, yang menjadi pelindungku, menjadi penolongku, dan yang kuanggap seperti ayah sendiri? Dia itu bernama Lee Song Kang, seorang perwira berpangkat Busu di Kota Raja, berjuluk Sin-to dan pandai menggunakan anak panah!"

   Kini Sui Lan yang menjadi pucat dan tak terasa lagi ia melangkah mundur sampai tiga tindak.

   "Apa...?? Jadi dia itu... pamanmu itu... adalah jahanam yang menjadi musuhku?"

   "Jangan memaki dia! Kau tidak boleh menghinanya, tidak boleh membunuhnya! Aku...aku akan menghadapi siapa saja yang hendak mengganggu pamanku itu!"

   "Bagus!"

   Dengan mata berapi-api, Sui Lan mencabut pedangnya.

   "Jadi kau hendak membela seorang jahanam? Tak peduli dia itu pamanmu, atau ayahmu sendiri, aku akan mencari dan membunuhnya!"

   "Tidak boleh!"

   Sin Liong juga mencabut pedangnya.

   "Aku akan menghalanginya!"

   "Bagus! Kalau begitu kaulah yang harus mati lebih dulu!"

   Seru Sui Lan sambil melompat ke depan dan menyerang dengan tusukan hebat. Sin Liong menangkis dan menahan pedang gadis itu dengan pedangnya, suaranya gemetar ketika ia berkata,

   Tiga Dara Pendekar Siauwlim Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Sui Lan...jangan kau mengangkat pedangmu padaku...Sui Lan..aku cinta kepadamu. Ah.. bagaimana sampai terjadi begini. Bagaimana nasib bisa begini kejam, mempertemukan kau orang yang kucintai sepenuh jiwaku sebagai seorang musuh. Jangan, Sui Lan, demi cinta kita, jangan kau lanjutkan permusuhan ini. Aku tak kuasa menentangmu dengan pedang!"

   Sui Lan tersenyum menyindir.

   "Jangan bicara sembarangan tentang cinta! Cinta itu palsu belaka! Lupakah kau kepada sumpahmu tadi bahwa kau hendak membantu dan membelaku? Cih! Ucapan seorang laki-laki yang tak berharga! Bukan laku seorang gagah untuk menjilat kembali ludah sendiri yang telah dikeluarkan!"

   Setelah berkata demikian, Sui Lan menarik pedangnya dan menyerang lagi.

   "Tunggu, Sui Lan~"

   Sin Liong cepat mengelak.

   "Tadi aku tidak tahu bahwa orang yang hendak kau bunuh itu adalah pamanku sendiri! Katakanlah bahwa kau hendak memusuhi perwira lain, jangankan baru seorang, biarpun seluruh Kim-i-wi dari kerajaan, akan kubantu dan kubela kau! Akan tetapi jangan dia, jangan perwira Lee Song Kang, jangan pamanku!"

   "Pengecut! Tak usah banyak cakap. Lihat pedangku!"

   Sui Lan menyerang lagi dengan sengit dan dalam pandangan matanya, kini pemuda itu telah berubah menjadi musuh besarnya yang harus dibunuh!

   Terpaksa Sin Liong menangkis dan dengan hati sedih pemuda itu melayani Sui Lan bertanding pedang. Mereka sama lincah, sama cepat dan ilmu pedang mereka sama kuatnya sehingga pertempuran itu benar-benar hebat dan sengit sekali. Pedang mereka berkelebat menyambar-nyambar, tubuh mereka lenyap dan selimutan sinar pedang, dan dibawah sinar bulan purnama, mereka kelihatan bagaikan dua ekor ular bersayap yang beterbangan dan bermain-main di alam mega-mega putih! Lima puluh jurus telah lewat, enam puluh, tujuh puluh, seratus jurus! Dan mereka masih saja bertanding mati-matian, tidak ada yang mau mengalah! Sebetulnya pedang yang digunakan oleh Sin Liong adalah sebatang pedang pusaka dan kalau ia mau dan sengaja hendak mengadu kekuatan senjata, dengan mudah ia akan dapat membikin patah pedang Siu Lan.

   Akan tetapi Sin Liong tidak mau melakukan hal ini dan ia hanya mengimbangi serangan gadis itu dengan ilmu pedangnya pula. Tipu dibalas tipu, tenaga dilawan tenaga dan mereka telah mengerahkan seluruh kepandaian mereka, akan tetapi benar-benar mereka sama kuat. Sui Lan merasa kecewa, menyesal, sedih dan juga marah sekali sehingga hilanglah kesabarannya. Ia berseru keras dan tiba-tiba ia menyerang dengan gerakan yang nekat. Dengan gerak tipu Sian-jin-tit-lou (Dewa Menunjuk Jalan) ia menusuk ke arah dada lawannya yang dilakukan dengan tenaga penuh dan cepat sekali. Sin Liong merasa terkejut melihat serangan ini dan dengan membuang diri ke samping barulah ia terhindar dari tusukan ini dan secepat kilat ia menyabetkan pedangnya dari atas. Terdengar bunyi

   "Traaaang!"

   Yang nyaring sekali dan pedang Sui Lan terlepas dari pegangan dan menancap ke atas tanah! Bukan main malu dan gemasnya hati Sui Lan. Ia pandang muka pemuda itu dengan penuh kebencian, sepasang matanya mulai meneteskan air mata. Sedangkan Sin Liong yang melihat ini, tiba-tiba hatinya menjadi lemah.

   "Sui Lan...maafkan aku...Sui Lan! Akan tetapi, Sui Lan tiba-tiba mencabut pedangnya kembali dan mengirim bacokan ke arah lehernya! Pada saat itu Sin Liong sedang merasa terharu sekali dan sedih maka kewaspadaannya berkurang dan tubuhnya juga terasa lemah, maka ia tidak keburu menangkis atau mengelak. Agaknya lehernya akan putus karena sabetan itu. Akan tetapi melihat wajah pemuda itu, kebencian yang tadi membayang di mata Sui Lan tiba-tiba lenyap bagaikan awan tersapu dengan angin dan ia menahan pedangnya yang telah meluncur ke arah leher. Namun terlambat, karena ujung pedangnya masih saja menyerempet pundak Sin Liong hingga kulit pundak itu terluka, dan robek berikut bajunya. Darah merah mulai membasahi pakaian Sin Liong!

   "Ah...!"

   Sui Lan berseru terkejut dan wajahnya menjadi makin pucat. Akan tetapi ia melihat pemuda itu tetap tersenyum memandangnya, sedikit pun tidak menjadi marah.

   "Sui Lan, akan kau teruskankah pertempuran gila ini? Aku tidak! Kalau kau merasa penasaran, tusukkanlah pedangmu pada dadaku, aku takkan melawan! Lebih baik kau bunuh dulu aku sebelum kau bunuh pamanku!"

   Akan tetapi, sebagai jawaban, Sui Lan hanya menangis terisak-isak menutupi mukanya dan air mata mengalir di antara celah-celah jari tangannya.

   "Sui Lan..."

   Sin Liong melangkah maju hendak memeluk gadis itu, akan tetapi tiba-tiba Sui Lan mengelak dan melompat pergi, terus berlari cepat sambil menangis! Sin Liong hanya menarik napas panjang. Sin Liong yang berpisah dari Sui Lan melanjutkan perjalanannya ke Kota Raja dengan hati sedih, sedangkan Sui Lan yang merasa bingung itu melanjutkan perjalanannya dengan berlari cepat dan tidak mau bertanya kepada orang-orang di jalan, sehingga akibatnya ia tersasar.

   Ia berada di Propinsi Ho-nan dan menurut petunjuk gurunya, seharusnya ia pergi ke Kota Raja melalui Propinsi San-tung yang berada di timur laut, akan tetapi tanpa diketahuinya ketika melalui persimpangan jalan, ia mengambil jalan yang membelok ke selatan sehingga ia memasuki Propinsi Kiang-si! Setelah beberapa pekan kemudian ia tiba di kota Nam-kang barulah ia tahu bahwa ia telah tersasar ke selatan, padahal ia pergi ke utara! Oleh karena sudah kepalang, maka Sui Lan lalu mengambil keputusan untuk berpesiar dulu di daerah yang cukup indah itu untuk menghibur hatinya yang merasa kecewa dan berduka semenjak perpisahannya dengan Sin Liong. Ia harus mengakui di dalam hatinya bahwa setelah berpisah ia melakukan perjalanan seorang diri yang paling tidak enak dan jauh berbeda dari perjalanan yang ia lakukan dengan pemuda itu.

   Kalau tadinya ia bergembira-ria dan merasa bahagia sekali, kini ia merasa patah hati. Tentu saja ia tidak pernah menyangka bahwa musuh besarnya yang ia cari-cari yakni perwira she Lee itu, kini telah pindah ke kota Siang-kan-bun di Propinsi Kiang-si, tidak jauh letaknya dari tempat di mana ia berada, yakni di Nam-kang. Dan lebih-lebih ia tak pernha mengira bahwa kedua encinya juga sedang menuju ke Kiang-si dengan cepat, datang dari Kota Raja. Tidak tahu pula bahwa selain kedua orang encinya, terdapat beberapa orang lagi menuju ke selatan, dan di antaranya terdapat Sin Liong! Untuk beberapa hari lamanya, sampai hampir sebulan, Sui Lan berputar di daerah Kiang-si, dan nafsunya untuk mencari musuh besarnya di Kota Raja banyak mengurang.

   Ia merasa ragu-ragu untuk pergi ke Kota Raja dan mencari perwira she Lee itu, karena segan kalau-kalau ia harus bertanding melawan Sin Liong! Ia sama sekali tidak merasa takut menghadapi Sin Liong, hanya segan, karena ia maklum bahwa baik Sin Liong, maupun dia sendiri, takkan sampai hati untuk saling melukai apalagi membunuh! Kita tinggalkan dulu Sui Lan yang sedang bimbang ragu dan berputar-putar di sekitar daerah Kiang-si tanpa tujuan, akan tetapi yang kebetulan sekali membawanya makin dekat dengan tempat tinggal musuh besarnya itu! Kita sekarang menengok perjalanan Siang Lan yang telah lama kita tinggalkan. Semenjak perpisahannya dengan kedua orang adiknya, Siang Lan melanjutkan perjalanan dengan cepatnya, sesuai dengan kehendak suhunya, yakni melalui Propinsi Syen-si, Ho-pai, Ho-nan, San-tung, dan akhirnya ia sampai di Kota Raja.

   Di sepanjang jalan, pengalamannya bertempur dengan Ang-hoa Siang-mo dan bantuan yang ia dapatkan dari pemuda yang amat menarik hati, Kui Hong An anak murid Kun-lun-pai yang berkepandaian tinggi itu, selalu terbayang di muka matanya. Ia tak dapat melupakan Hong An dan diam-diam ia mengharapkan perjumpaannya kembali dengan pemuda itu. Ketika Siang Lan tiba di luar tembok Kota Raja, ia mengalami hal yang amat mengherankan hatinya. Hari itu amat panas dan sinar matahari amat teriknya. Di luar gerbang Kota Raja, terdapat seorang penjual arak dan teh di pinggir jalan dan dagangannya ini laris manis sekali oleh karena setiap orang yang keluar maupun memasuki pintu gerbang itu merasa haus dan berhenti sebentar di tempat itu untuk membasahi kerongkongan.

   

Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini