Ceritasilat Novel Online

Tiga Dara Pendekar Siauwlim 8


Tiga Dara Pendekar Siauwlim Karya Kho Ping Hoo Bagian 8



Siang Lan juga merasa haus dan lelah, maka ia pun berhenti di situ, mengambil tempat duduk di atas sebuah bangku bambu memesan teh. Di tempat itu hanya terdapat tamu-tamu lelaki dan semua mata memandang ke arah gadis yang amat cantik jelita ini dengan sinar mata menyatakan kagum dan gairah, sungguhpun mereka tidak berani memandang secara langsung oleh karena gagang pedang yang tersembul di belakang punggung Siang Lan itu memperingatkan mereka bahwa gadis ini bukanlah gadis yang boleh diganggu secara sembarangan saja. Akan tetapi Siang Lan sama sekali tidak memperhatikan mereka dan ketika pelayan datang mengantarkan air teh yang dipesannya, ia minum menghilangkan hausnya. Selain orang-orang yang terdiri dari pedang, pelancong dan pengembara yang berada di tempat itu,

   Juga terdapat pula belasan orang tentara penjaga, dan juga beberapa orang pengemis yang berdiri atau duduk di atas lantai di luar warung. Ketika para penjaga itu melihat Siang Lan, terjadilah hal yang aneh. Mata mereka jelalatan seperti melihat setan di tengah hari, bahkan mereka yang baru minum segera menunda minumnya. Seorang demi seorang, para penjaga itu meninggalkan bangkunya dan pergi dari situ seperti orang ketakutan! Hal ini tentu saja diketahui oleh Siang Lan yang merasa heran, akan tetapi dia diam saja, hanya berlaku hati-hati dan waspada, karena ia selalu tidak menaruh kepercayaan kepada tentara kerajaan. Juga para tamu yang berada di situ dapat melihat sikap para penjaga ini, maka kini pandangan mereka terhadap Siang Lan mengandung keseganan dan ketakutan. Pada saat itu, seorang di antara para pengemis yang berada di luar warung, berseru,

   "Pada saat makan dan minum, teringat kepada orang-orang yang lapar dan haus, barulah disebut orang budiman. Siapakah di antara orang di sini yang berhati budiman?"

   Pengemis itu berulang-ulang mengucapkan kata-kata ini sehingga para tamu memandangnya sambil tersenyum dan menganggapnya orang gila, akan tetapi tak seorangpun yang mau meladeninya. Sebaliknya, Siang Lan merasa kasihan ketika melihat bahwa yang bicara itu adalah seorang pengemis tua yang kurus kering dan rambut kepalanya botak.

   "Lopeh (Uwa Tua),"

   Katanya dengan halus.

   "biarpun aku bukan seorang budiman, akan tetapi kalau Lopeh suka, pesanlah makanan dan minuman, biar aku yang membayarnya."

   Pengemis tua itu memandangnya dengan penuh perhatian. Pandangan matanya menatap tubuh gadis itu dari rambut sampai ke sepatunya, kemudian ia tertawa terkekeh-kekeh dan berkata,

   "Nona muda, kau baik, kau baik! Apakah tawaranmu itu hanya berlaku untukku seorang?"

   Siang Lan mengerling ke arah kumpulan pengemis yang jumlahnya tidak kurang dari tujuh orang itu. Ia berpikir bahwa menolong orang miskin tidak boleh berat sebelah, maka sambil tersenyum manis, ia berkata,

   "Aku menawarkan kepada siapa saja yang membutuhkan makan dan minum, Lopeh."

   "Ha-ha-ha! Bagus, bagus! Hai, setan-setan kelaparan! Ada rezeki datang, mengapa tidak lekas menyerbu? Ayo pesanlah sesukamu, jangan sungkan-sungkan lagi!"

   Maka menyerbulah tujuh orang pengemis itu ke warung dan memesan makanan dan minuman. Semua memesan bakpau dan daging serta arak. Pengemis kurus kering tadi bahkan memesan seguci arak wangi yang berharga mahal. Para tamu yang berada di situ merasa sebal melihat tingkah laku para pengemis ini. Tak tahu diri, pikir mereka. Ada yang menolong, lalu berbuat sesuka hatinya! Akan tetapi, biarpun uangnya tinggal tak berapa banyak lagi, Siang Lan tersenyum saja melihat kelakuan mereka itu, bahkan ada rasa terharu dalam hatinya.

   Ia maklum bahwa kerakusan mereka itu bukan memang menjadi watak mereka akan tetapi timbul oleh karena nafsu telah dikekang dan terpaksa dibatasi tiap hari. Mungkin telah berbulan-bulan atau bertahun-tahun mereka itu merindukan arak dan daging dan baru hari ini mereka berkesempatan menikmatinya. Setelah para pengemis itu mengisi perut mereka sampai menjadi gendut dan kekenyangan, seorang demi seorang lalu keluar dari warung itu, ada yang terus pergi dari situ, ada pula yang merebahkan diri di bawah pohon dan tidur mendengkur bagaikan babi, sehingga tinggal pengemis kurus kering itu saja. Sambil tersenyum senang pengemis botak ini lalu menghampiri Siang Lan yang merogoh saku menghitung-hitung uangnya yang tak berapa itu. Pengemis botak ini dengan amat beraninya lalu mengulurkan tangan dan menepuk-nepuk pundak Siang Lan sambil berkata,

   "Nona yang baik, kau benar-benar mengagumkan orang!"

   Siang Lan terkejut sekali ketika merasa betapa tangan yang menepuk pundaknya itu amat beratnya dan ia maklum bahwa pengemis ini menggunakan tenaga Jeng-kin-lat (Tenaga Seribu Kati) untuk mencobanya! Tak pernah disangkanya, bahwa pengemis ini adalah seorang pandai, maka diam-diam ia lalu mengumpulkan tenaga dalam dan mengerahkan ilmu Sia-kut-hwat (Melepaskan Tulang Melemaskan Tubuh) sehingga ketika tangan pengemis itu menekan pundaknya, pengemis itu merasa betap pundak itu lemas dan lunak seperti tak bertulang dan tenaga tekanannya lenyap dengan sendirinya!

   "Bagus sekali, Nona yang baik. Hendak pergi kemanakah kau?"

   "Lopeh, aku adalah seorang pengembara yang tidak mempunyai tujuan tetap. Karena telah berada di luar gerbang Kota Raja, tentu saja aku tidak sia-siakan kesempatan ini dan melihat-lihat Kota Raja.

   "Ha-ha-ha! Tiada guna, tiada guna. Apakah yang patut ditonton di Kota Raja. Sambil berkata demikian, pengemis itu lalu menyeret kakinya keluar dari warung dan duduk di emper warung itu menyandar di dinding, terus tidur mendengkur! Para tamu merasa gemas sekali melihatnya. Alangkah kurang ajarnya pengemis tua bangka itu. Sudah ditolong berani menepuk-nepuk pundak gadis cantik itu, dan sekarang tanpa ucapan terima kasih sedikitpun, ia keluar dan mendengkur di luar warung seakan-akan tak pernah ada orang yang menolong dan memberinya makan minum!

   "Berapakah jumlah semuanya?"

   Tanya Siang Lan kepada pemilik warung yang mulai menghitung-hitung dengan sui-poa (alat penghitung).

   "Lima tahil delapan chi!"

   Katanya dan para tamu merasa heran sekali karena sesungguhnya tak usah semahal itu. Ternyata bahwa pemilik warung yang cerdik itu hendak menggunakan kesempatan ini untuk menarik keuntungan sebanyak mungkin. Siang Lan juga merasa terkejut karena ia teringat bahwa uangnya tinggal empat tahil lagi. Akan tetapi ketika ia merogoh sakunya, bukan main herannya karena uangnya yang tinggal empat tahil itu, entah bagaimana telah bisa bisa beranak dan kini menjadi sembilan tahil! Darimanakah datangnya tambahan lima tahil ini? tiba-tiba ia teringat bahwa tadi pengemis itu menekan pundaknya dan ia merasa seperti ada yang bergerak pada bagian kantung bajunya, maka ia merasa terkejut dan mukanya berubah. Tak bisa salah lagi, tentu pengemis aneh itu yang memasukkan uang lima tahil ke dalam kantungnya!

   Tanpa banyak cakap Siang Lan membayarkan uang itu kepada pemilik warung dan ia lalu melangkah keluar hendak mencari pengemis tadi. Akan tetapi, baru saja ia tiba di luar warung, ia melihat rombongan penjaga tadi telah datang ke situ, mengiringkan seorang perwira yang dari pakaiannya dapat diketahui bahwa ia adalah seorang perwira Kim-i-wi berpangkat busu, tubuhnya tinggi besar, mukanya kuning dan di tangannya memegang senjata yang aneh, yakni tiga buah bola baja yang bertali. Dengan langkah lebar perwira ini menghampiri Siang Lan dan tersenyum mengejek. Perwira ini bukan lain adalah Gui Kok Houw yang dulu pernah menangkap dan menawan Hwe Lan! Melihat Siang Lan yang berdiri memandangnya dengan tenang, perwira ini tidak ragu-ragu bahwa gadis yang berada di hadapannya tentu Hwe Lan yang dulu ditawannya dan kemudian dapat melarikan diri itu, maka ia tertawa sambil berkata,

   "Ha-ha-ha! Tidak tahunya kau masih berada di sini! Ha-ha-ha! Sekali ini aku akan menawanmu dan mengurungmu dalam kamarku sendiri, kujaga siang malam hingga tak mungkin kau dapat minggat lagi!"

   Setelah berkata demikian, ia menubruk maju dan mengulur tangan kirinya untuk menangkap pundak Siang Lan. Gadis ini merasa terkejut, heran, dan juga marah sekali melihat sikap dan mendengar omongan yang kurang ajar ini. Melihat sambaran tangan kiri yang kuat itu, ia maklum bahwa perwira ini memiliki tenaga besar, maka ia pun lalu memiringkan pundak dan tangan kanannya bergerak menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

   "Plak!"

   Dua lengan itu beradu keras dan tubuh Gui Kok Houw terhuyung-huyung ke belakang! Perwira ini memandang dengan mata terbelalak heran. Bagaimana dalam waktu sebulan saja tenaga gadis ini telah meningkat sedemikian hebatnya? Sementara itu, Siang Lan yang merasa mendongkol lalu menuding dan bertanya,

   "Perwira gadungan dari manakah datang-datang berani menghina orang?"

   Gui Kok Houw mendongkol sekali melihat sikap gadis ini yang disangkanya sengaja pura-pura tidak mengenalnya maka ia lalu membentak marah,

   "Gadis pemberontak dari Siauw-lim. Kau masih berpura-pura menyembunyikan dirimu yang sebenarnya? Ha-ha! Biarpun kau akan pergi bersembunyi di neraka sekalipun, kami takkan melepaskanmu. Setelah berkata demikian, perwira itu menggerakkan senjatanya dan tiga buah bola baja itu menyambar ke arah Siang Lan pada tiga bagian tubuh! Siang Lan terkejut mendengar ucapan itu. Dari mana perwira ini tahu bahwa dia adalah murid Siauw-lim? Akan tetapi ia tidak sempat banyak berpikir tentang itu karena serangan perwira itu tidak boleh dibuat main-main.

   Cepat ia melompat mundur dan mencabut pedangya, kemudian dengan waspada ia menanti datangnya serangan lawan. Ketika Gui Kok Houw menyergapnya lagi dengan tiga bola bajanya ia cepat menangkis dan membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya sehingga sebentar saja kedua orang ini bertempur dengan seru dan sengit, ditonton oleh para penjaga dan para tamu yang menjadi ketakutan. Pengemis yang tadi tertidur, menjadi kaget dan segera pergi dari tempat itu ketika melihat pertempuran hebat ini akan tetapi pengemis kurus kering yang botak itu masih tetap duduk menyandar dinding warung. Akan tetapi kini matanya tidak tertutup lagi, ia telah terbangun dan duduk menonton pertempuran dengan tertarik sekali. Sungguhpun kepandaian Gui Kok Houw amat tinggi, akan tetapi menghadapi Siang Lan, ia merasa seakan-akan menghadapi sebuah dinding baja yang amat kuatnya.

   Gadis ini bertempur dengan gerakan yang tenang sekali, teliti dan hati-hati dalam setiap penyerangan atau tangkisan, dengan disertai tenaga yang amat mengagumkan. Ketenangannya membuat gerakan pedangnya menjadi luar biasa kuatnya dan setiap serangan dari Gui Kok Houw dengan tiga buah bola bajanya dapat ditangkis atau dielakkan dengan amat mudah. Betapapun juga, amat sukar pula bagi Siang Lan untuk mendesak lawan dengan ilmu silat dan senjatanya yang lihai itu, maka diam-diam Siang Lan mengeluh. Baru saja tiba di luar tembok kota, ia telah bertemu dengan pengemis lihai dan sekarang perwira yang lancang dan kurang ajar ini pun ternyata lihai sekali! Apalagi kalau aku sudah berada di dalam kota, pikirnya. Pada saat itu terdengar suara yang nyaring bicara seperti orang bernyanyi,

   "Seribu orang sahabat masih terlalu sedikit, seorang musuh sudah terlalu banyak. Mengapa mencari permusuhan? Perwira besar mengganggu gadis muda, bukankah ini lucu dan keterlaluan?"

   Begitu kata-kata itu berhenti, nampak berkelebat bayangan yang cepat sekali gerakannya bagaikan kilat menyambar dan tahu-tahu di tengah-tengah antara dua orang yang sedang bertempur itu, telah berdiri pengemis tua kurus kering dan botak tadi! Siang Lan dan Gui Kok Houw terkejut sekali dan menahan senjata masing-masing. Ketika perwira itu melihat Si Pengemis Tua tadi, ia menjadi pucaat dan segera menjura sambil berkata,

   "Ah, tidak tahunya Pat-jiu Sin-kai Pengemis Sakti Tangan Delapan) yang datang! Terimalah hormatku, Kwee-lo-cianpwe."

   Akan tetapi pengemis itu tidak menghiraukannya, bahkan lalu menghadapi Siang Lan dan berkata,

   "Tidak lekas melanjutkan perjalananmu, mau tunggu kapan lagi?"

   Siang Lan sadar bahwa pengemis ini telah menolongnya, maka ia pikir bahwa kalau tidak lekas-lekas masuk ke Kota Raja, setelah bentrok dengan perwira itu, sukarlah baginya untuk kelak memasuki kota. Maka ia mengangguk tanda terima kasih, lalu berlari cepat memasuki Kota Raja melalui gerbang yang terbuka. Para penjaga tidak berani menghalanginya. Ketika Gui Kok Houw hendak mengejar, Pat-jiu Sin-kai Kwee Sin, pengemis itu, lalu mengangkat lengannya ke atas dan berkata,

   "Gui-ciangkun, tidak layak bagi seorang perwira menghina seorang gadis muda seperti dia!"

   Gui Kok Houw memandang gemas.

   "Locianpwe tidak tahu bahwa dia adalah seorang tawanan kerajaan yang melarikan diri! Dia adalah seorang pemberontak Siauw-lim yang harus ditangkap!"

   Pengemis itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Sejak kapan aku mencampuri urusan pemberontakan? Aku tidak peduli gadis itu murid Siauw-lim-pai atau bukan, akan tetapi ia telah melakukan kebaikan dan melepas budi kepadaku. Kalau kau tidak percaya, kau boleh bertanya kepada semua tamu warung ini, bahwa dia tadi telah menjamu aku dan pengemis-pengemis lain sampai kenyang! Oleh karena itu, di depan mataku, tak seorangpun boleh mengganggunya!"

   Setelah berkata demikian, sekali kakek itu berkelebat, tubuhnya telah lenyap dari depan Gui Kok Houw, hanya suara tawanya saja masih terdengar di sebelah belakang warung arak itu! Gui Kok Houw tidak mempedulikan kakek pengemis itu lagi dan cepat memandang ke arah gadis itu tadi berlari, akan tetapi bayangan Sui Lan tak nampak lagi.

   Dengan gemas Gui Kok Houw lalu berlari mengejar, memesan kepada para penjaga agar supaya penjagaan diperkuat sehingga gadis pemberontak itu takkan dapat lolos lagi. Dengan enak saja Siang Lan memasuki sebuah hotel besar dan menyewa kamar. Ia sedikitpun tidak pernah merasa curiga dan tidak tahu bahwa sebetulnya seluruh penjaga di kota dikerahkan oleh Gui Kok Houw untuk menangkapnya dan bahwa Siang Lan dianggap sebagai pemberontak yang telah melarikan diri dari tahanan! Demikianlah, pada malam hari itu pada saat Hwe Lan meninggalkan gedung Pangeran Souw Bun Ong, Siang Lan juga bersiap dan setelah memadamkan lampu di dalam kamarnya dan mempersiapkan pedang dan kantung thi-lian-ci di pinggang, ia lalu melompat keluar dari jendela kamarnya dan langsung melompat naik ke atas genteng!

   Sebagaimana telah diketahui, Hwe Lan menyamar sebagai seorang pemuda dan mendapat pesan dari Pangeran Souw Bun Ong untuk keluar dari kota melalui pintu gerbang sebelah utara di mana para penjaganya telah dapat "dibeli"

   Oleh pangeran itu. Pada malam hari, pada waktu Siang Lan sedang melompat keluar dari kamarnya dan berada di atas genteng hotelnya, Hwe Lan yang menyamar sebagai seorang pemuda berjalan di atas jalan raya menuju ke utara. Akan tetapi, dia yang enak-enak berjalan itu sama sekali tidak tahu bahwa malam hari itu sebagai akibat dari kedatangan Siang Lan ke Kota Raja, penjagaan telah diperkuat dan diatur oleh perwira Gui Kok Houw yang mengerahkan semua barisan Kim-i-wi untuk menjaga di tiap gerbang kota!

   Tentu saja para penjaga yang telah disuap oleh Pangeran Souw Bun Ong, tidak berdaya terhadap para perwira Kim-i-wi itu, dan mereka telah menanti datangnya "Pemuda"

   Yang dijanjikan Pangeran Souw itu dengan hati berdebar, karena dengan adanya para perwira Kim-i-wi, tentu saja mereka takkan dapat membiarkan pemuda itu lewat dan keluar dari pintu gerbang begitu saja! Tanpa menaruh curiga sedikit pun, Hwe Lan berjalan menuju ke pintu gerbang itu yang nampaknya sunyi saja. Akan tetapi, begitu ia tiba di bawah lampung teng yang tergantung di pintu gerbang itu, tiba-tiba muncul enam orang perwira yang tinggi besar. Mereka ini bukan lain adalah perwira-perwira Kim-i-wi yang bertugas menjaga di situ dan tak lama kemudian para penjaga juga muncul di belakang perwira-perwira itu sehingga jumlah mereka tidak kurang dari dua puluh orang!

   "Siapa kau? Dan hendak pergi ke mana?"

   Tegur seorang di antara para perwira itu. Hal ini benar-benar di luar dugaan Hwe Lan, karena tadinya ia mengira bahwa semua sudah dibereskan oleh Pangeran Souw dan penyamarannya itu hanya untuk memudahkannya menuju ke gerbang itu. Ia maklum bahwa kalau ia membuka mulut dan bersuara, tentu mereka akan tahu bahwa ia adalah seorang wanita, karena ia tidak sanggup merubah suaranya. Oleh karena ini, tanpa mempedulikan mereka, Hwe Lan lalu melompat dan berlari menuju ke arah pintu gerbang itu untuk berlari keluar, akan tetapi dengan cepat pla, pintu itu telah tertutup sebelum ia sempat keluar dan para perwira itu telah mengurungnya dengan senjata di tangan dan berteriak-teriak,

   "Tangkap dia!"

   Hwe Lan beradat keras dan ia tidak mau membuang banyak waktu untuk bicara karena dianggap tidak berguna maka melihat sikap mereka ini, ia segera mencabut pedangnya dan sebentar saja gadis yang berpakaian pria itu mengamuk dengan pedangnya dikeroyok oleh enam orang perwira Kim-i-wi dan beberapa orang penjaga lain! Hati gadis ini merasa mendongkol sekali, karena tidak disangka ia akan menghadapi halangan yang sebesar ini. Ia mengeluarkan kepandaiannya dan ketika pedangnya diputar-putar cepat dan hebat, enam orang Kim-i-wi itu tidak berani mengurung terlalu cepat. Seorang Kim-i-wi yang memandang rendah, baru saja berlagak hendak mendesak, telah terluka lengannya dan goloknya terpental jauh!

   Hal ini cukup membuat kawan-kawannya tak berani mendekat. Setelah mengeroyok beberapa lama dan melihat permainan pedang gadis ini, para Kim-i-wi dapat mengenali Hwe Lan sebagai gadis pemberontak yang melarikan diri! Maka cepat-cepat mereka lalu menyuruh seorang penjaga mencari bala bantuan dan tak lama kemudian, serombongan Kim-i-wi yang dikepalai oleh Wai Ong Koksu datang berlari ke tempat itu! Bukan main terkejutnya hati Hwe Lan melihat pendeta gundul yang gemuk pendek itu! Ia telah maklum bahwa kepandaian perwira tua gundul itu lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri. Akan tetapi Hwe Lan tidak merasa takut sedikitpun dan ia telah mengambil keputusan untuk mengamuk dan mengadu nyawa di tempat itu! Wai Ong Koksu ketika melihat "Pemuda"

   Ini, tertawa mengejek dan berkata,

   "Nona, kau benar-benar nakan dan cerdik! Akan tetapi kau terlalu memandang rendah kepada kami. Kau kira dengan penyamaranmu itu kami tidak akan dapat menangkapmu kembali? Ha-ha-ha!"

   Setelah berkata demikian, Wai Ong Koksu lalu menggerakkan tongkatnya dan menyerang ke arah Hwe Lan yang sedang dikeroyok itu dengan pukulan yang bukan main hebatnya. Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika dari tempat gelap, tiba-tiba melayang keluar seorang tinggi kurus yang menggunakan tongkat kecil menangkap sambaran tongkatnya.

   "Prak!"

   Dua tongkat itu, biarpun yang satu besar dan yang satu kecil, ketika beradu di tengah udara, keduanya terpental ke belakang dan Wai Ong Koksu merasa betapa telapak tangannya tergetar oleh benturan hebat itu. Ia cepat memandang dan bukan main terkejutnya ketika melihat seorang pengemis tinggi kurus berdiri di hadapannya sambil tersenyum-senyum mengejek.

   "Pat-jiu Sin-kai!"

   Seru Wai Ong Koksu setelah mengenal pengemis tua itu. Akan tetapi Pat-jiu Sin-kai tidak menjawab, hanya menggerakkan tongkatnya menyerbu dan membantu Hwe Lan. Karena hebatnya gerakan tongkatnya, para Kim-i-wi yang mengepung Hwe Lan bertolak mundur dan merasa menjadi ketakutan.

   "Ha, Nona budiman! Kau benar-benar aneh, baru saja tadi masuk kota, sekarang sudah mau keluar lagi! Benar-benar kau orang aneh. Kau mau keluar, bukan? Lekaslah keluar, biar aku yang menyambut mereka!"

   Setelah berkata demikian, pengemis tua itu berdiri membungkuk menghadapi Wai Ong Koksu dan para perwira dan penjaga yang memandang dengan heran dan marah.

   Hwe Lan juga terheran-heran mendengar ucapan pengemis ini. Ia belum pernah selama hidupnya bertemu dengan orang ini, mengapa pengemis ini mengatakan bahwa baru siang tadi ia masuk kota? Akan tetapi ia tidak mau berpanjang-panjang tentang itu. Ia tahu bahwa kakek ini tentulah seorang pendekar sakti, maka ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia melompat ke atas pintu gerbang yang masih tertutup. Dua orang penjaga yang melihatnya, hendak menyerang, akan tetapi dua kali ia menggerakkan kaki, penjaga-penjaga itu tertendang sampai terguling-guling, kemudian ia membuka pintu gerbang dan berlari keluar! Wai Ong Koksu dan para perwira Kim-i-wi yang lain hendak mengejar akan tetapi Pat-jiu Sin-kai memalangkan tongkatnya di tengah jalan.

   "Jangan ganggu dia!"

   Katanya dengan tegas.

   "Pat-jiu Sin-kai! Mengapa kau ikut mencampuri urusan kami? Gadis itu adalah seorang pemberontak! Apakah kau orang tua hendak membela seorang pemberontak?"

   Pengemis tua itu mengeluarkan suara jengekan dari hidung.

   "Hah, kalian ini mudah saja mengecap orang sebagai pemberontak! Aku tahu bahwa kalian menganggap gadis itu seorang murid Siauw-lim, maka kalian lalu mengecapnya sebagai pemberontak. Wai Ong! Kau seorang tokoh Bu-tong-pai, bukan anak kecil lagi. Apakah kau hendak meniru kesesatan Pang To Tek, sutemu yang melakukan permusuhan dengan Siauw-lim-pai itu? Siauw-lim-pai telah dimusnahkan karena permusuhan itu dan andaikata benar bahwa gadis itu seorang murid Siauw-lim-pai, apakah dosanya maka kau menganggapnya bahwa ia memberontak? Lucu sekali!"

   "Pat-jiu Sin-kai, kau benar-benar orang tua usilan dan suka mencampuri urusan orang lain! Kau tidk tahu bahwa gadis itu telah melukai beberapa orang Kim-i-wi, bahkan ada beberapa orang pula yang tewas di dalam tangannya? Bukankah itu sudah merupakan bukti cukup bahwa ia memberontak?"

   "Ha-ha-ha!"

   Enak saja kau mengambil keputusan. Orang baru disebut pemberontak kalau ia menentang Kaisar, apakah kalian ini bangsa Kim-i-wi sudah mengangkat diri sendiri sedemikian tinggi sehingga sama dengan Kaisar. Sudah banyak kudengar tentang kelakuan Kim-i-wi, maka aku tidak heran kalau tindakan mereka yang sewenang-wenang. Wai Ong, daripada kau mengganggu orang yang tidak berdosa, lebih baik kau lebih memperhatikan dan menjaga kelakuan para Kim-i-wi yang merupakan penjahat-penjahat berkedok!

   "Pengemis busuk, kau benar-benar mencari perkara!"

   Teriak Wai Ong Koksu yang cepat menyerang dengan tongkatnya yang besar dan panjang. Pat-jiu Sin-kai cepat mengelak dan membalas dengan serangan tongkatnya yang biarpun kecil, akan tetapi digerakkan secara tepat dan istimewa kuatnya. Pertempuran hebat terjadi antara dua orang tokoh persilatan kalangan atas yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini.

   Gerakan mereka sedemikian cepat dan kuat, sehingga tidak saja tubuh mereka hanya merupakan bayang-bayang bagaikan dua setan sedang bertempur, akan tetapi juga debu-debu beterbangan tinggi dan angin pukulan mereka membuat pakaian para Kim-i-wi yang berdiri mengelilingi pertempuran itu menjadi berkibar seperti tertiup angin! Tak seorangpun dari Kim-i-wi berani maju mengeroyok, karena mereka maklum bahwa kepandaian mereka masih terlampau rendah dan kalau mereka baju, tidak saja mereka mencari celaka sendiri, akan tetapi mereka bahkan akan merupakan gangguan bagi Wai Ong Koksu. Maka mereka hanya menonton sambil membantu Wai Ong Koksu dengan suara saja. Pertandingan itu benar-benar hebat dan ramai sekali, dan ternyata bahwa keadaan mereka seimbang,

   Sungguhpun harus diakui bahwa pengemis itu hanya berkelahi dengan tertawa-tawa seperti orang main-main saja, sedangkan Wai Ong Koksu berkelahi dengan bernafsu sekali. Setelah bertempur lima puluh jurus lebih, kedua mata Wai Ong Koksu mulai berkunang karena ia harus mengakui bahwa dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh), kakek pengemis itu tingkatnya masih lebih tinggi darinya dan gerakannya benar-benar cepat sekali. Terutama sekali karena tongkat yang dimainkan oleh kakek pengemis itu jauh lebih kecil dan ringan, maka tentu saja sambarannya lebih cepat dari tongkatnya yang besar dan berat. Pantas saja kakek itu dijuluki Pengemis Sakti Bertangan Delapan, karena tongkat kecil yang bergerak-gerak bagaikan ular menyambar-nyambar itu seakan-akan dimainkan oleh delapan tangan, demikian cepatnya melakukan serangan-serangan yang seakan-akan mengurung seluruh tubuhnya!

   Untuk menghadapi desakan Pat-jiu Sin-kai, Wai Ong Koksu lalu memainkan tongkatnya dengan ilmu toya Hok-liong-kun-hwat (Ilmu Toya Penakluk Naga) dan tongkatnya bergerak-gerak dengan keras, berputar-putar menutup tubuhnya merupakan benteng baja yang kuat sekali. Andai kata orang yang menyiramnya dengan air, maka air itu hanya dapat mendekati tubuhnya kira-kira tiga kaki saja dan segera akan terpental karena benturan toyanya! Tiba-tiba Pat-jiu Sin-kai tertawa gembira melihat ilmu toya lawannya ini dan gerakannya makin cepat, sehingga tongkat kecil di tangannya dapat menerobos di antara pertahanan pendeta gundul itu. Tiba-tiba, dengan gerak pukulan Ang-liong-chut-tong (Naga Merah Keluar Gua), tongkat kecil itu dapat menerobos masuk di antara bayangan tongkat besar dan "Bret!"

   Jubah Wai Ong Koksu di bagian dada terkena ujung tongkat dan robek! Pat-jiu Sin-kai tertawa lagi dan melompat ke atas sambil berseru,

   "Cukup, Wai Ong! Cukup kenyang kita main-main!"

   Akan tetapi Wai Ong Koksu yang merasa penasaran, malu, dan marah sekali, menyabetkan tongkatnya ke arah tubuh lawannya yang masih berada di atas dengan gerak tipu Leng-kong-sauw-goat (Di Tengah Udara Menyapu Bulan). Hebat sekali gerakan ini dan agaknya pinggang kakek pengemis itu akan terpukul tongkat. Kalau hal ini terjadi biarpun pinggang itu tidak akan terpotong menjadi dua setidaknya semua tulang di bagian pinggang itu akan patah-patah.

   (Lanjut ke Jilid 08)

   Tiga Dara Pendekar Siauw-Lim (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 08

   Ternyata bahwa Pat-jiu Sin-kai benar-benar hebat sekali ilmu gin-kangnya, dalam keadaan berbahaya itu,

   Ia dapat menarik kedua kakinya ke atas, berjungkir balik dan ketika tongkat Wai Ong Koksu menyambar di bawah kakinya yang telah turun lagi, ia menotolkan kaki di atas ujung tongkat itu dan sambil berseru keras sekali ia meminjam tenaga sabetan tongkat itu untuk melayangkan tubuhnya, langsung naik ke atas genteng rumah dan menghilang di tempat gelap. Hanya gema suara ketawanya saja yang masih terdengar sayup-sayup. Wai Ong Koksu merasa marah sekali karena gadis yang dikejarnya tadi telah lama pergi dan tak mungkin dapat ditangkap lagi karena tidak tahu ke mana perginya, sedangkan di luar tembok kota keadaan demikian gelap. Ia memeriksa padanya dan dengan terkejut ia mendapat kenyataan betapa bajunya telah berlubang dan ia maklum kalau kakek pengemis itu berlaku kejam, mungkin nyawanya telah melayang!

   Sementara itu, di atas genteng sebuah gedung yang tinggi, terjadi lain pertempuran yang tidak kalah hebatnya, yakni pertempuran antara Siang Lan yang dikeroyok oleh para perwira Kim-i-wi di bawah pimpinan Gui Kok Houw! Karena mata-matanya telah tersebar di mana-mana, maka dengan mudah Gui Kok Houw dapat mengetahui di mana gadis yang dikejar-kejarnya tadi menginap dan ia telah bersiap sedia mengepung tempat itu. Demikianlah, ketika Siang Lan melompat naik ke atas genteng untuk melakukan penyelidikan dan mencari tempat tinggal musuh besarnya, yakni perwira Lee, dan baru saja gadis ini melompat ke atas sebuah bangunan besar dan tinggi, tiba-tiba dari empat penjuru muncul perwira-perwira Kim-i-wi yang dipimpin oleh Gui Kok Houw!

   "Ha-ha-ha! Pemberontak perempuan hendak lari ke manakah kau?"

   Perwira tinggi besar bermuka kuning itu berkata sambil memutar-mutar tiga bolanya dengan hebat, dibantu oleh perwira-perwira Kim-i-wi yang jumlahnya tidak kurang dari sepuluh orang!

   Hal ini sungguh di luar dugaan Siang Lan. Tidak ada lain jalan baginya, selain melawan mati-matian. Ia putar pedangnya tanpa berkata sesuatu dan sebentar kemudian di atas wuwungan genteng itu terjadilah pertempuran yang hebat sekali. Sedangkan menghadapi Gui Kok Houw, seorang lawan seorang saja sudah merupakan lawan berat, apalagi kini perwira Gui itu dibantu oleh sembilan orang kawan-kawannya yang memiliki kepandaian lumayan, maka paerlahan-lahan Siang Lan mulai terdesak dan hanya dapat menangkis sambil mempergunakan gin-kangnya untuk mempertahankan diri. Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan Siang Lan, tiba-tiba berkelebat dua bayangan orang, dan terdengar suara nyaring,

   "Nona, jangan takut, aku datang membantumu!"

   Dua bayangan itu adalah dua orang pemuda, yang seorang berbaju serba putih dan berwajah tampan dengan sepasang mata yang berseri, sedangkan orang kedua kelihatannya juga seorang muda, akan tetapi mukanya memakai kedok saputangan sutera biru sehingga tidak dapat dikenal siapakah sebenarnya orang ini. Akan tetapi, ketika datang tadi, yang mengeluarkan ucapan itu adalah Si Kedok Biru ini, seakan-akan hendak memperkenalkan suaranya kepada Siang Lan. Akan tetapi Siang Lan tentu saja sama sekali tidak mengenal suara ini, karena belum pernah ia bertemu dengan orang berkedok biru. Hanya Si Pemuda Baju Putih serasa pernah melihatnya, akan tetapi ia lupa lagi entah di mana. Datangnya dua orang muda ini membuat kepungan para Kim-i-wi menjadi kocar-kacir!

   Begitu pedang dua orang ini berkelebat, maka cepat sekali para Kim-i-wi yang kini terpecah menjadi tiga bagian, terdesak hebat dan tak lama kemudian terdengar suara mereka berteriak kesakitan dan terpentalnya beberapa batang pedang dan golok! Kepandaian kedua orang muda itu lihai sekali dan agaknya tidak di sebelah bawah kepandaian Siang Lan atau Gui Kok Houw, maka begitu mereka menyerbu, para Kim-i-wi tidak berdaya dan dapat dipukul mundur. Dengan datangnya bantuan ini, bangkit pula semangat Siang Lan dengan cepat pedangnya membuat serangan yang hebat. Terdengar pekik ngeri dan seorang Kim-i-wi yang masih mengeroyoknya kena cium ujung pedangnya pada pipinya sehingga kulit pipi itu robek dan darah mengalir membasahi mukanya! Siang Lan mendesak lagi dan kembali seorang Kim-i-wi terluka tangannya yang memegang golok sehingga goloknya terlepas dan orangnya cepat melompat mundur.

   Karena para Kim-i-wi yang lain harus menghadapi dua orang pemuda itu, maka kini menyerang Siang Lan tinggal Gui Kok Houw sendiri dan kembali kedua orang ini melanjutkan pertandingan mereka yang dilakukan siang tadi di luar tembok kota! Dengan amat cepatnya, kedua orang pemuda itu telah berhasil memukul mundur semua Kim-i-wi dan kini mereka menyerbu dan mengeroyok Gui Kok Houw. Tentu saja perwira ini tidak kuat menghadapi tiga orang lawannya yang lihai itu dan dengan mengeluarkan suara keras, ketika tiga pedang dari tiga orang muda itu bergerak, bola-bola bajanya sebanyak tiga buah itu mencelat karena rantainya terbabat putus dan jatuh di atas genteng. Terpaksa Gui Kok Houw melompat turun dari atas genteng dengan keringat dingin mengucur di jidatnya! Siang Lan hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba tangannya dipegang oleh pemuda yang berkedok itu sambil berbisik,

   "Hwe Lan... jangan kejar dia! Lihat Wai Ong Koksu datang!"

   Benar ssaja, dari jauh nampak datang perwira-perwira Kim-i-wi yang dipimpin oleh pendeta gundul itu!

   "Mari, Hwe Lan! Mari kita pergi cepat-cepat!"

   Si Topeng Biru itu lalu menarik tangan Siang Lan dan ketiganya melompat jauh, dan menghilang di dalam gelap, menuju ke gedung pangeran Souw Bun Ong! Pemuda berkedok itu bukan lain adalah Souw Cong Hwi sendiri, sedangkan pemuda baju putih itu adalah The Sin Liong, sute dari Souw Cong Hwi.

   Kedua orang muda ini adalah murid-murid dari Pat-jiu Sin-kai Kwee Sin! Bagaikan mimpi, Siang Lan menurut saja dibawa ke dalam gedung. Hatinya berdebar keras karena ia maklum bahwa pemuda ini tentu menyangka dia Hwe Lan! Apakah adiknya itu telah berada di Kota Raja? Setelah tiba di gedungnya, Souw Cong Hwi lalu membuka kedoknya dan Siang Lan melihat seorang pemuda yang tampan dan gagah sekali. ketika ketiganya melompat turun dan memasuki gedung itu dari pintu belakang terus ke ruang dalam mereka melihat bahwa di dalam ruang itu, selain terdapat Pangeran Souw Bun Ong dan isterinya, juga terdapat Si Pengemis Tua Pat-jiu Sin-kai duduk di atas sebuah bangku sambil minum arak! Nyonya Souw memandang kepada Siang Lan dengan heran, kemudian maju memeluknya sambil berkata,

   "Hwe Lan... kau sungguh membikin hatiku khawatir sekali!"

   Kemudian ia melihat pakaian Siang Lan dan menjadi semakin heran.

   "Hwe Lan, kau berangkat dengan pakaian laki-laki, akan tetapi mengapa sekarang telah berganti pakaian lagi? Dan kau... kau agak berubah! Apakah yang terjadi denganmu?"

   Juga Pangeran Souw Bian Ong memandang dengan mata terbelalak heran, sedangkan Souw Cong Hwi melangkah maju dan menatap wajah gadis itu dengan penuh perhatian.

   "Aneh... aneh...!"

   Tiba-tiba pengemis tua itu berkata sambil menunda minum araknya.

   "Nona yang baik!"

   Katanya kepada Siang Lan sambil memandang dengan wajah lucu.

   "Ketika kau menjamu arak padaku dan kawan-kawanku kau berpakaian seperti ini, akan tetapi tadi kau berlari keluar dari pintu gerbang kota menyamar sebagai laki-laki, mengapa sekarang kau muncul lagi dalam pakaian seperti ini pula? Aneh, aneh! Kau selain budiman, juga ajaib sekali!"

   Sementara itu, The Sin Liong juga berkata,

   "Aah... aku ingat sekarang! Kau pernah bertemu dengan aku di dalam hutan itu, betul tidak, nona?"

   Siang Lan tersenyum dengan tenang dan sabar. Ia maklum bahwa kekacauan ini disebabkan oleh persamaannya dengan Hwe Lan dan orang telah salah lihat dan tak dapat membedakan antara dia dan Hwe Lan, adiknya itu. Maka ia diam-diam menjadi geli sekali.

   "Kalian telah salah lihat! Yang bernama Hwe Lan itu adalah adikku, namaku adalah Siang Lan! Memang kami serupa dan sebentuk."

   Semua orang menjadi bengong, dan tiba-tiba Sin Liong melompat ke atas.

   "Aha, kalau begitu, kau adalah enci dari Sui Lan!"

   "Di mana dia?"

   Siang Lan bertanya girang.

   "Di mana adanya Sui Lan dan di mana adanya Hwe Lan?"

   "Duduklah, nona,"

   Terdengar Pangeran Souw Bun Ong berkata dengan suaranya yang tenang.

   "Banyak sekali hal-hal yang ruwet perlu dijelaskan dalam urusan yang ruwet ini. Bahkan ada sebuah hal lagi yang amat penting, yang agaknya akan membuka rahasia yang selama ini menggegerkan orang, dan mungkin sekali kenyataan terbukanya rahasia ini akan merupakan berita yang amat tak terduga olehmu."

   Siang Lan duduk dengan sikapnya yang tenang sehingga semua orang menjadi kagum melihat sikap gadis muda yang gagah ini. Souw Bian Ong lalu menceritakan tentang pengalaman Hwe Lan yang telah tinggal di situ selama sebulan lebih dan baru tadi pergi keluar Kota Raja untuk mencari dan menyusul musuh besarnya di kota Siang-kan-bun di Propinsi Kiang-si.

   "Karena kebetulan sekali waktu datangmu bersamaan dengan waktu perginya maka terjadilah hal yang lucu dan kacau balau ini,"

   Kata Pangeran Souw Bun Ong.

   "Sebelum aku melanjutkan pembukaan rahasia yang kusebutkan tadi biarlah The-hiante ini menceritakan dulu kepadamu tentang pertemuannya dengan adikmu yang bungsu, sebagaimana yang telah ia tuturkan kepada kami!"

   Dengan girang Siang Lan memandang pemuda baju putih yang tampan dan lincah itu untuk mendengarkan penuturannya tentang keadaan Sui Lan. Pemuda ini menuturkan pengalamannya dan pertemuannya dengan Sui Lan, dan menutup penuturannya dengan ucapan yang mengejutkan hati Siang Lan,

   
Tiga Dara Pendekar Siauwlim Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hubungan kami yang baik sebagai dua orang sahabat akhirnya pecah ketika Sui Lan menyatakan bahwa ia hendak membalas sakit hatinya terhadap seorang perwira bernama Lee yang tinggal di Kota Raja, karena perwira itu, yang nama lengkapnya Lee Song Kang, bukan lain adalah Pamanku sendiri! Kami berselisikh dan bahkan telah bertempur!"

   Mendengar penuturan sampai di sini, tiba-tiba sepasang mata Siang Lan yang indah itu memancarkan cahaya berapi-api yang mengingatkan Cong Hwi kepada sepasang mata Hwe Lan.

   Melihat hal ini cepat-cepat Sin Liong melanjutkan penuturannya.

   "Maaf, harap kau jangan tersinggung dan marah, nona! Biarpun kami bertempur, akan tetapi pertempuran itu tidak kami lanjutkan dan kami lalu berpisah. Aku cepat-cepat menuju ke Kota Raja hendak mencari Pamanku itu yang terancam bahaya karena aku mendengar dari Sui Lan bahwa selain dia, masih ada dua orang encinya yang hendak membalas dendam pula! Ternyata setibaku di sini, Pamanku itu telah pindah ke daerah Kiang-si. Dalam gugupku yang disertai kekhawatiran, aku lalu singgah di rumah suhengku ini yang belum tahu bahwa aku adalah keponakan perwira Lee Song Kang itu. Alangkah kagetku ketika aku mendengar dari orang tua suhengku ini tentang rahasia yang hebat itu!"

   Pemuda ini lalu diam karena penuturannya telah habis.

   "Nona,"

   Cong Hwi.

   "Setelah mendengar penuturan suteku ini, dan melihat adanya rahasia yang akan dituturkan nanti oleh ayahku, aku ajak sute menyusul Hwe Lan, akan tetapi kami tidak berjumpa dengan Hwe Lan, sebaliknya bertemu dengan kau yang kami kira Hwe Lan."

   Siang Lan mendengarkan semua penuturan ini dengan penuh perhatian, kemudian ia memandang kepada Pangeran Souw Bun Ong untuk mendengarkan uraian pangeran itu tentang adanya rahasia yang disebutnya hebat itu. Melihat sikap gadis ini yang amat tenang dan jauh lebih matang apabila dibandingkan dengan Hwe Lan, Nyonya Souw merasa amat tertarik dan juga kasihan, maka ia lalu duduk mendekati gadis itu dan menepuk-nepuk lengannya. Siang Lan juga merasa bahwa nyonya pangeran ini berhati mulia, maka ia memandang dengna tersenyum dan hormat.

   "Nona, dengarlah penuturanku dengan hati tenteram,"

   Pangeran Souw Bun Ong mulai dengan kata-katanya.

   "Tadinya kami semua sedikitpun tak pernah menduga akan adanya hal yang amat rahasia ini. Setelah The-hiante ini datang dan mendengar penuturannya, kami lalu berpikir-pikir dan menggabung-gabungkan segala penuturan adikmu Sui Lan yang dituturkannya kepada The-hiante, dan juga penuturan adikmu Hwe Lan yang diceritakannya kepada Cong Hwi, maka timbullah dugaan kami yang membuat hati kami berdebar, terutama setelah mendengar bahwa kau tiga kakak beradik hendak membalas dendam kepada Lee-ciangkun. Karena masih penasaran, kami sore tadi setelah adikmu berangkat, yakni Hwe Lan yang menyamar sebagai laki-laki dan tak lama kemudian The-hiante datang, lalu kami bertanya kepada pembesar yang mengetahui betul akan hal ini dan ternyata bahwa dugaan kami cocok!"

   Siang Lan mengerutkan keningnya. Semua ucapan itu sama sekali tidak dimengerti olehnya, akan tetapi karena memang ia berwatak sabar dan tenang, ia hanya mendengarkan dengan penuh perhatian. Agaknya sukar sekali bagi Pangeran Souw untuk menceritakan atau membuka rahasia itu, ia berdehem-dehem dengan gagap. Isterinya merasa kasihan kepadanya dan berkata,

   "Biarlah aku yang melanjutkan cerita ini,"

   Katanya. Suaminya mengangguk dan memandang kepada isterinya dengan pernyataan terima kasih, lalu meneguk araknya, sedangkan Pat-jiu Sin-kai dengan tenang mendengarkan juga sambil kadang-kadang minum araknya.

   "Sebelum aku melanjutkan cerita ini,"

   Nyonya Souw mulai dengan keterangannya.

   "lebih dulu harap kau suka menerangkan dengan sejelasnya, nona, karena penuturan kedua adikmu dulu juga sambil lalu saja dan tidak begitu jelas. Kau yang tertua dan kau yang agaknya paling tenang dan cerdik di antara ketiganya. Bagaimanakah kau dulu bertemu dengan Nyo Hun Tiong dan apakah kau sama sekali tidak ingat akan orang tuamu?"

   Biarpun hatinya berdebar dan merasa tidak enak, akan tetapi dengan memusatkan pikiran dan dengan suara tenang, Siang Lan menjawab,

   "Telah lama hal itupun kami ingat-ingat, akan tetapi kami tak dapat mengingatnya lagi. Kami hanya tahu bahwa pada saat pendekar Nyo Hun Tiong terkena anak panah yang menewaskannya, kami bertiga berada bersama dia, dan kemudian kami ditolong oleh ayah angkat kami Yap Sian Houw yang kemudian mejadi guru kami."

   Dengan singkat Siang Lan lalu menceritakan pengalamannya sampai ia dan adik-adiknya diangkat murid oleh Toat-beng Sian-kouw. Pangeran Souw dan isterinya saling pandang dan mengangguk-angguk.

   "Tidak salah, memang betul sekali dugaan kami,"

   Kata nyonya itu setelah mendengar penuturan Siang Lan.

   "Dengarlah baik-baik, nak. Dulu, setelah Siauw-lim-si dibasmi dan kelentengnya dibakar, masih banyak anak muridnya yang berhasil melarikan diri. Seorang di antara mereka adalah Nyo Hun Tiong itu yang agaknya menaruh hati dendam kepada semua perwira kerajaan, maka sering kali ia memimpin kawan-kawannya dan orang-orang tani untuk melakukan pemberontakan dan terutama sekali ia berusaha membunuh sebanyak mungkin perwira-perwira kerajaan. Pada suatu hari, ia berhasil menyerbu Kota Raja dan selain membunuh dan membakar, ia juga menculik tiga orang anak perempuan seorang perwira kerajaan. Perwira itu mengejarnya dan akhirnya dapat melukainya, akan tetapi Nyo Hun Tiong masih berhasil melarikan diri bersama tiga orang anak perwira itu. Perwira itu kemudian pulang dengan sedih dan keadaannya hampir gila karena kehilangan ketiga orang puterinya itu."

   Mulai pucatlah wajah Siang Lan mendengar ini, akan tetapi ia masih dapat menenteramkan pikiran dan memandang kepada nyonya pangeran itu dengan mata tidak pernah berkedip.

   "Nona, nama dati ketiga orang anak perempuan itu ialah Siang Lan, Hwe Lan dan Sui Lan dan perwira itu..."

   "Siapakah dia...?"

   Tanpa disadarinya lagi Siang Lan bangun bergiri dan memandang dengan muka pucat.

   "Siapa perwira... ayahku itu...?"

   Dengan air mata berlinang saking terharunya, Nyonya Souw berkata perlahan,

   "Perwira itu bernama Lee Song Kang... ayahmu sendiri yang kini hendak kau cari dan kau bunuh!"

   "Ayah...?"

   Tubuh gadis itu menjadi limbung dan lemas, ia jatuh ke dalam pelukan Nyonya Souw dalam keadaan pingsan! Hwe Lan yang berhasil lari keluar dari Kota Raja atas pertolongan pengemis tua yang masih belum diketahuinya siapa adanya itu, cepat berlri menuju ke selatan, memutari tembok kota. Di tengah jalan ia melihat seorang penunggang kuda dan ketika penunggang kuda itu sudah dekat, ia melihat bahwa orang itu berpakaian seperti penjaga. Cepat gadis itu merogoh kantung di sebelah kanan dan mengeluarkan tiga butir thi-lian-ci.

   Sekali tangannya bergerak, orang di atas kuda itu berteriak dan roboh terguling dari atas kudanya. Hwe Lan cepat melompat dan menunggang kuda itu, dan terus membalapkan kudanya dengan secepatnya. Pada keesokan harinya, ketika tiba di dalam sebuah hutan, ia menanggalkan pakaian pemuda itu dan menggantikan dengan pakaiannya sendiri. Memang ia tidak senang untuk menyamar, tidak sesuai dengan wataknya yang pemberani dan jujur. Setelah berganti pakaian biasa Hwe Lan merasa lebih senang dan enak, lalu menjalankan kudanya lagi menuju ke Kiang-si, untuk mencari musuh besarnya di kota Siang-kan-bun. Beberapa hari kemudian, Hwe Lan tiba di sebuah kota. Tadinya ia hendak melanjutkan saja perjalanannya, karena ia telah mulai menginjak Propinsi Kiang-si dan kota Siang-kan-bun tidak jauh lagi,

   Akan tetapi tiba-tiba ia melihat orang berbondong-bondong menuju ke satu jurusan, sehingga hatinya tertarik sekali dan sambil menuntun kudanya yang telah lelah itu, ia mengikuti rombongan orang-orang itu, ingin tahu apakah yang mereka hendak lakukan. Rombongan orang-orang itu ternyata menuju ke sebuah kelenteng besar yang bercat merah. Melihat semua orang memasuki pekarangan kelenteng yang telah penuh dengan orang itu, Hwe Lan lalu menambatkan kudanya pada sebaang pohon dan ikut masuk pula. Ia melihat bahwa keadaan kelenteng itu aneh sekali. Sungguhpun semua patung dewa masih berdiri di tempat masing-masing seperti di kelenteng-kelenteng lain, akan tetapi dewa-dewa di kelenteng ini agaknya suka akan warna merah karena mereka semua dicat merah pakaiannya! Juga dindingnya bergambarkan bunga-bunga merah uang bentuknya aneh, mirip bunga lian-hwa (teratai) dan juga mirip bunga bwe!

   Di depan pintu kelenteng itu tergantung papan yang ditulis dengan huruf-huruf merah besar dan berbunyi: SORGA DARI ANG-HOA-KAUW (Agama Bunga Merah). Melihat betapai lian-lian yang tergantung di situ terbuat dari sutera-sutera indah, maka dapat diduga bahwa kelenteng ini mempunyai banyak penyumbang dan keadaannya mewah sekali. Nampak di situ para penjaga dan pelayan yang berpakaian seperti jubah pendeta, akan tetapi jubah itupun berwarna merah dan rambut para pendeta itu panjang terurai, dihias dengan setangkai kembang warna merah di atas kepala! Keadaan ini benar-benar menimbulkan keheranan besar dalam hati Hwe Lan, maka ia maju lebih dekat dan memperhatikan keadaan di situ. Tak lama kemudian, dari dalam pintu sebelah dalam, keluarlah seorang pendeta yang bertubuh gemuk pendek, bermuka bundar dan bermata liar.

   Pendeta ini kepalanya juga berambut, akan tetapi hanya sampai sebatas leher dan rambutnya jarang pula, akan tetapi di atas kepalanya penuh dengan bunga-bunga merah sehingga kepalanya seakan-akan berambut merah. Jubahnya amat indah dihiaa kembang-kembang dari sulaman benang merah yang mengikat celananya warna biru dan sepatunya masih baru. Ikat pinggangnya terbuat dari emas, pendeknya pendeta ini amat indah dan mewah pakaiannya, bagaikan seorang pembesar tinggi saja. Ketika pendeta gemuk pendek ini muncul, semua orang yang berada di ruang depan itu segera membungkuk dengan amat hormatnya dan tak seorangpun mengeluarkan suara sehingga keadaan menjadi sunyi. Pendeta itu mengangkat kedua tangannya ke atas seakan-akan hendak memberi berkah, kemudian terdengar suaranya yang nyaring,

   "Anak-anak sekalian! Ada pengumuman yang amat penting. Tadi Pouw-sat (Dewi) menerangkan kepadaku bahwa hari ini adalah hari keramat, karena hari ini tepat jatuh pada hari ulang tahun penitisan yang ke sepuluh dari Ang-hwa Pouw-sat ke dunia ini! Oleh karena itu, sebelum kalian hendak menjalankan upacara melebur dosa dan mencuci kesialan badan, terlebih dulu harus mencuci muka dengan minyak sorga. Selain dari itu, setiap orang yang hendak mencuci muka diwajibkan memberi sumbangan sebanyak sepuluh tail, sesuai dengan angka sepeluh sebagai peringatan hari penitisan kesepuluh. Uang ini dikumpulkan untuk membangun sebuah kamar peristirahatan bagi Pouw-sat di belakang kelenteng ini!"

   Setelah berkata demikian, pendeta gemuk itu memberi tanda dengan tangannya dan empat orang pendeta pembantu yang berpakaian merah datang menggotong sekaleng besar minyak panas yang masih mendidih dan mengebul! Hwe Lan memandang dengan penuh perhtian karena ia tidak mengerti untuk apa gunanya minyak panas ini. Pendeta gemuk itu berkata lagi,

   "Anak-anakku sekalian. Sebelum kalian mencuci muka dengan minyak surga terlebih dulu aku akan mandi dengan minyak ini, agar supaya minyak ini akan lebih bermanfaat bagi kalian!"

   Sehabis berkata demikian, pendeta itu menanggalkan jubahnya, dan kini tubuhnya bagian atas telanjang, nampak tubuh yang gemuk penuh gajih itu! Ia menghampiri minyak di kaleng itu, meramkan mata dan berdoa sebentar, kemudian dengan enak kedua tangannya ia celupkan ke dalam minyak yang masih mendidih itu! Hwe Lan memandang dengan melongo karena terheran-heran. Apalagi setelah pendeta itu menggunakan tangannya untuk menyendok minyak itu yang digunakan untuk mencuci muka, dada, dan lengannya sehingga seluruh tubuh bagian atas menjadi basah dan mengkilat karena penuh minyak! Kenapakah kulit itu tidak melepuh terkena minyak panas? Hwe Lan benar-benar tidak mengerti. Dengan suaranya yang terdengar parah dan penuh pengaruh, pendeta itu berseru,

   "Siapa yang hendak menjalankan upacara cuci dosa, silakan maju dan mencuci tangan dan muka terlebih dulu!"

   Lebih dari dua puluh orang berebut maju untuk mencuci tangan dan muka mereka dengan minyak panas itu! Hwe Lan merasa makin heran. Ia pernah mendengar tentang mandi minyak panas ini seperti juga tentang injak api yang sering kali dilakukan oleh penganut-penganut agama dan orang-orang yang percaya di kelenteng-kelenteng, akan tetapi baru kali ini ia menyaksikannya sehingga timbul ngeri dan heran dalam hatinya. Ia lalu bertanya perlahan kepada seorang pengunjung yang berdiri di dekatnya,

   "Loheng, siapakah pendeta itu?"

   Orang yang ditanyanya itu seorang laki-laki berumur kurang lebih tiga puluh tahun, memandangnya dengan heran dan menjawab.

   "Nona tentu datang dari luar kota maka tidak kenal siapa dia. Dia adalah Ang-hoa Sianjin, pengurus besar kelenteng ini. Dialah pembantu utama dari Ang-hoa Pouw-sat!"

   "Siapa pula Ang-hoa Pouw-sat itu?"

   Akan tetapi, pada saat itu, dari dalam kelenteng terdengar suara gembreng dipukul tiga kali dan perlahan-lahan terdengarlah suara nyanyian yang dinyantikan oleh banyak orang perempuan.

   "Lihatlah sendiri!"

   Kata orang itu sambil memandang ke arah pintu kelenteng dengan penuh khidmat. Dan pada saat muili yang menutup pintu itu perlahan-lahan dibuka, semua orang yang berada di depan lalu menjatuhkan diri berlutut! Tentu saja Hwe Lan yang tidak tahu apa-apa tidak mau berlutut sehingga di antara sekian banyaknya orang itu, dia sendirilah yang tidak berlutut! Akan tetapi tidak! Bukan dia sendiri, karena di ujung kiri pekarangan itu masih ada seorang gadis lain yang berdiri! Karena semua orang berlutut dan hanya dua orang gadis itu yang berdiri, tentu saja mereka dapat saling pandang dengan mudah dan ketika Hwe Lan dan gadis itu menengok untuk saling pandang,

   "Enci Hwe Lan...!"

   "Hai... kau, Sui Lan...?"

   Kedua orang gadis itu berlari-lari saling menghampiri, berpelukan, berciuman dan dari kedua mata mereka menitik keluar air mata karena girang!

   "Enci Hwe Lan, kau nakal! Mengapa kau tinggalkan aku?"

   Sambil berkata demikian, beberapa kali Sui Lan mencubit lengan encinya dengan gemas.

   "Sst... aduh... nanti dulu, jangan main cubit! Lihat, ada dewi sedang turun dari sorga, jangan berisik..."

   Hwe Lan yang melihat betapa dari pintu itu keluar seorang yang amat aneh dan cantik sekali, segera menarik lengan adiknya untuk diajak mundur agak jauh dan duduk di bawah pohon, karena semua orang yang sedang berlutut memandang kepada mereka dengan marah ketika mereka membuat ribut tadi. Kedua kakak beradik itu sambil saling memeluk pinggang, memandang ke depan dan melihat keanehan yang belum pernah mereka saksikan, yakni, seorang Pouw-sat dari kahyangan turun ke dunia!

   Pouw-sat yang dimaksudkan dan disembah-sembah orang banyak itu adalah seorang wanita yang usianya sudah mendekati enam puluh tahun, akan tetapi karena mukanya dibedak, bibirnya dimerah, alisnya dihitam, sedangkan potongan mukanya memang cantik, maka ia nampak seperti gambar saja atau seperti orang tokoh di panggung wayang. Pakaiannya dari sutera putih yang tipis sehingga potongan tubuh yang ramping dan berisi itu nampak membayang. Pakaian itu disulam dan dihias dengan kembang-kembang merah dan rambutnya dihias dengan kembang-kembang merah yang indah pula! Dengan langkah tenang, perlahan dan agung, ia keluar dari pintu itu dan berdiri di tempat yang telah disediakan untuknya, yakni di sebuah panggung yang memakai anak tangga.

   Di belakang Ang-hoa Pouw-sat atau Dewi Bunga Merah ini, berjalan tujuh orang gadis-gadis cantik yang berpakaian putih-putih pula dengan kembang-kembang merah di rambut, mengikuti Sang Dewi sambil bernyanyi perlahan. Benar-benar nampak agung dan suci dewi itu! Di atas panggung telah disediakan sebuah tempat duduk yang bentuknya seperti bunga pula, terbuat daripada kayu yang dicat merah dan di atas "bunga merah"

   Inilah Sang Dewi duduk bersila dengan agungnya, sedangkan pengikutnya, tujuh perawan itu duduk bersila di belakangnya, dengan sikap hormat. Benar-benar nampak agung dan suci karena Sang Dewi itu duduknya lurus dan matanya ditundukkan. Kembali pendeta gemuk pendek yang disebut Ang-hoa Sianjin itu, mengangkat tangannya ke atas dan berkata,

   "Ang-hoa Pouw-sat telah menerima penghormatan anak-anaknya dan hendak memberi berkahnya!"

   Setelah berkata demikian pendeta gemuk pendek itu lalu maju berlutut di depan Ang-hoa Pouw-sat dan mengeluarkan kata-kata yang tak dimengerti oleh semua orang, karena ucapannya ini bukan bahasa manusia akan tetapi "bahasa dewa"! setelah berkata-kata aneh ini, pendeta itu lalu membuka jubahnya kembali dan memberikan sebatang pedang pendek yang berkilat saking tajam dan runcingnya. Sang Dewi lalu menerima pedang itu dan... menusukkan ujung pedang itu do dada kiri pendeta gemuk itu! Hwe Lan dan Sui Lai saling berpegang tangan dengan takjub! Biarpun ujung pedang itu hanya masuk sedikit, cukup untuk melukai kulit dan daging dan darah mengucur keluar dari dada yang gemuk penuh daging itu. Sang Dewi lalu menggunakan jari tangannya, yakni telunjuknya, untuk dicelupkan pada darah itu dan menuliskan huruf "an" (selamat) pada sehelai kain putih!

   Kemudian ia lalu menundukkan matanya kembali dan bersila seperti tadi tanpa berkutik. Pendeta gemuk itu lalu mneyembah, mengambil "hu" (surat jimat) itu dan membawanya ke sebuah guci berisi air. Ia masukkan hu itu ke dalam guci dan mencelup surat jimat itu ke dalam air, mengaduk-aduknya, dan kemudian ia menggunakan sebuah sapu-sapu yang dicelupkan ke dalam air itu untuk kemudian dikebut-kebutkan ke arah semua orang yang sedang berlutut sehingga kepala semua orang terkena tetesan air keramat ini! Juga Hwe Lan dan Sui Lan yang duduk jauh di bawah pohon, terkena air keramat ini pada kepala mereka. Hal ini membuat keduanya merasa terkejut oleh karena untuk dapat memercikkan air sejauh itu, membuktikan bahwa pendeta gemuk itu sedikitnya mempunyai ilmu dan tenaga dalam yang cukup lumayan!

   

Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho Ping Hoo Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo Pendekar Muka Buruk Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini