Wanita Iblis Pencabut Nyawa 3
Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
Ranting kecil di tangan nenek ini jangan dipandang ringan oleh karena biarpun hanya kecil dan terbuat daripada kayu kering saja, namun bahayanya tidak kalah oleh sebatang pedang atau tongkat baja. Ujung ranting ini menyambar-nyambar dan mengancam setiap jalan darah lawan dan sekali saja ujungnya dapat menotok jalan darah, pasti lawannya akan terjungkal. Akan tetapi yang dihadapinya sekarang adalah murid-murid Liang Gi Cinjin sendiri, maka setelah melawan mati-matian sampai tiga puluh jurus, dengan gerakan berbareng pendeta-pendeta itu menyerang dari tiga jurusan. Bu Lam Nio masih mencoba untuk menangkis dan mengandalkan ginkangnya mengelak namun sebatang pedang yang menyerangnya dari kiri dengan tepat telah menusuk lambungnya.
Nenek ini mengerahkan lweekangnya untuk menahan dan memperkeras lambungnya, namun tenaga lweekang penusuknya juga kuat sekali sehingga tanpa dapat dicegah lagi, pedang itu telah menancap pada lambungnya sampai setengahnya lebih. Bu Lam Nio mengeluarkan pekik dahsyat dan mengerikan sekali. Pekik yang bukan seperti pekik manusia ini dikeluarkan karena marah dan sakit. Dan pekik inilah yang terdengar oleh Sui Giok dan Ling Ling. Dengan tenaga yang luar biasa sekali, biarpun ia telah terluka parah, Bu Lam Nio masih dapat menubruk maju dan kalau saja pendeta yang menusuknya tadi tidak cepat-cepat menarik kembali pedangnya dan melompat, pasti ia akan kena ditangkap dan kalau terjadi demikian, jangan harap ia akan dapat hidup lagi. Ketika tubrukannya luput, Bu Lam Nio terjerumus ke depan dan terguling, menggeletak di dalam genangan darahnya sendiri. Pada saat itu, datanglah Sui Giok dan Ling Ling.
"Nenek...!!"
Ling Ling menjerit ngeri melihat keadaan neneknya ini dan tanpa banyak cakap ia lalu mencabut pedangnya, yakni pedang yang dulu dirampas oleh Sui Giok dari tangan Tan-wangwe, lalu ia menyerbu kepada tiga pendeta Pek-sim-kauw itu.
Bukan main hebatnya serangan ini. Pedang ditangannya itu nampak bagaikan halilintar menyambar-nyambar dan sukar diduga bagian mana yang hendak diserang. Ketiga orang pendeta itu tadinya berdiri tercengang ketika melihat datangnya dua orang wanita yang cantik-cantik. Tak mungkin mereka ini siluman, pikir mereka mulailah mereka merasa gelisah dan menyesal telah membunuh Bu Lam Nio. Kini melihat datangnya serangan gadis muda yang cantik sekali ini, kegelisahan mereka berubah menjadi kekagetan yang besar. Mereka cepat menangkis dan terdengar bunyi nyaring sekali. Dua orang pendeta masih dapat menahan, akan tetapi orang ketiga tak dapat menahan getaran tangannya sehingga pedangnya yang dipakai menangkis telah terpental jauh.
Sui Giok melompat maju dan menerima pedang pendeta yang melayang ini, kemudian tanpa banyak cakap lagi iapun menyerbu dengan hati marah sekali. Pendeta yang pedangnya kena dipentalkan oleh Ling Ling tadi memiliki hati yang penakut dan pengecut. Melihat betapa pedangnya dengan mudah terampas dan kini berada di tangan wanita cantik itu ia tidak mempunyai nafsu untuk melawan lagi. Apalagi ketika dilihatnya betapa dua orang kawannya dalam segebrakan saja terkurung dan terdesak hebat. Tanpa banyak pikir lagi, ia lalu membalikkan tubuhnya dan berlari sifat kuping (cepat sekali). Memang, kedua orang pendeta Pek-sim-kauw tingkat dua ini sama sekali bukan lawan Ling Ling, karena begitu bergerak, Ling Ling sudah dapat mendesaknya sehingga lawan ini sama sekali tak berdaya membalas, hanya menangkis dan mengelak saja.
Gerakan Ling Ling terlampau gesit dan sukar diduga, sedangkan ilmu pedangnyapun amat luar biasa. Kalau yang menghadapi Ling Ling bukan pendeta Pek-sim-kauw yang sudah mewarisi tujuh puluh bagian dari Pek-sim-kiam-hoat, jangan harap ia akan dapat melayani Ling Ling lebih dari sepuluh jurus. Kini biarpun pendeta itu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian, namun dalam jurus keempat belas, pedang Ling Ling dengan cepat sekali menyambar lehernya. Ketika pendeta itu menangkis, secepat kilat pedang Ling Ling dirobah gerakkannya dan kini bukan merupakan sabetan lagi, melainkan ditusukkan ke arah dada pendeta itu. Hal ini sama sekali tak pernah disangka oleh tosu dari Pek-sim-kauw ini. Ia berusaha mengelak sudah tidak keburu, untuk menangkis apalagi, maka terpaksa ia lalu mengumpulkan hawa di dadanya, untuk mencoba menahan tusukan ini.
Ilmu lweekang dari tosu-tosu Pek-sim-kauw memang tinggi dan Liang Gi Cinjin sendiri terkenal seorang ahli lweekeh yang jarang tandingannya. Pendeta yang menghadapi Ling Ling ini sudah melatih Pi-ki-hu-hiat (Menutup Hawa Melindungi Jalan Darah) dan sudah melatih ilmu kebal yang disebut Thiat-po-san (Baju Mustika Besi). Akan tetapi kini dia bukan menghadapi lawan sembarangan. Mungkin juga kalau yang menusuk dadanya itu seorang yang ilmu silatnya masih rendah, kulit dadanya akan berhasil menahan dan tidak terluka. Akan tetapi, Ling Ling selalu menggerakkan pedangnya menurut petunjuk dari kitab Kim-gan-liong-kiam-coan-si dan selalu disertai getaran-getaran yang disalurkan oleh tenaga lweekangnya. Pedang itu kini sudah merupakan sebagian daripada tangannya dan seakan-akan ujung pedang itu dapat "Memilih"
Jalan masuk ke dalam rongga dada.
"Cepp...!"
Tosu itu berseru keras, memukulkan tangan kiri ke depan dengan tenaga terakhir untuk membalas lawannya. Akan tetapi, Ling Ling tidak saja dapat menahan angin pukulan ini, bahkan menambah dengan sebuah tendangan ke arah perut lawannya yang segera terpental tubuhnya sampai dua tombak lebih dalam keadaan mati.
Ketika Ling Ling menengok keadaan ibunya, ternyata Sui Giok juga sedang mendesak hebat pendeta lawannya, ilmu kepandaian Sui Giok tidak sehebat Ling Ling, karena memang puterinya ini jauh lebih berbakat dan berlatih silat semenjak kecil. Bagi Sui Giok yang berlatih silat setelah ia mempunyai anak, tentu saja gerakannya tidak selemas Ling Ling walaupun kecerdikan dan ketekunannya membuat Sui Giok kini memiliki kepandaian yang jarang dimiliki oleh ahli silat lain. Dalam hal tenaga dan kegesitan, keadaan Sui Giok boleh dibilang berimbang dengan lawannya, akan tetapi ilmu pedang Kim-gan-liong-kiam-sut memperlihatkan keunggulannya. Dengan ilmu pedang ini, Sui Giok berhasil mendesak lawannya yang kini makin menjadi gelisah itu.
Ling Ling tidak mau membantu ibunya karena maklum bahwa tak lama lagi ibunya akan berhasil merobohkan lawannya. Benar saja, setelah bertempur tiga puluh lima jurus, akhirnya dengan gerak tipu Kim-gan-liong-sin-yau (Naga Mata Emas Mengulur Pinggang), Sui Giok berhasil menipu dan memancing lawannya. Tubuhnya membelakangi lawannya dengan gerakan yang lemas dan indah dan melihat kesempatan serta lowongan ini, pendeta itu segera menusuk dari belakang. Ini hanya pancingan belaka untuk dapat mematahkan kekuatan pertahanan tosu itu. Bagi setiap ahli ilmu silat tentu maklum bahwa serangan dan pertahanan adalah dua gerakan yang berlawanan. Apabila orang menyerang maka berarti bahwa pertahanannya tentu berkurang satu bagian kekuatannya, sebaliknya di waktu bertahan, juga daya serangnya berkurang.
Ketika tosu itu menusukkan pedangnya ke arah dada kiri Sui Giok, tiba-tiba nyonya ini berseru keras, membalikkan tubuh, membuka lengan kiri sehingga pedang lawan meluncur di bawah pangkal lengan kirinya, kemudian pedang di tangan kanannya tak dapat dicegah lagi telah memasuki dada lawannya. Pendeta Pek-sim-kauw ini menjerit dan ketika Sui Giok mencabut pedangnya sambil melompat kebelakang, tubuh pendeta itu terguling roboh tak bernyawa lagi. Kedua anak dan ibu ini segera menghampiri Bu Lam Nio yang masih rebah mandi darah. Ketika Sui Giok merobohkan pendeta lawannya, Ling Ling sudah berlutut dan memangku kepala neneknya maka kini keduanya hanya menangis sedih.
Keadaan Bu Lam Nio sudah jelas, tak dapat diobati lagi. Kulit lambungnya telah terbuka dan isi perutnya bahkan ada yang menonjol keluar. Darah membasahi rumput dan pakaiannya. Wajahnya pucat dan makin mengerikan, akan tetapi Ling Ling dan ibunya tiada hentinya menciumi muka nenek itu sambil memanggil-manggil namanya. Bagaikan dipanggil kembali nyawa nenek itu oleh tangisan Ling Ling dan Sui Giok, tiba-tiba mata yang telah tertutup rapat itu terbuka kembali dan melihat Ling Ling memangkunya, Bu Lam Nio tersenyum. Bibirnya berbisik-bisik akan tetapi suara yang keluar sukar sekali ditangkap oleh telinga karena amat perlahan. Ling Ling dan Sui Giok lalu mendekatkan telinga mereka untuk mendengar pesan terakhir itu.
"Oei-hong-kiam (Pedang Tawon Kuning) dari suamiku telah dirampas oleh pembunuhnya... carilah pemegang Oei-hong-kiam dan... bunuh dia untuk membalas sakit hati Kam-ciangkun (Panglima Kam)..."
Setelah berkata demikian, leher Bu Lam Nio menjadi lemas dan melayanglah nyawa nenek yang malang hidupnya ini meninggalkan raganya yang sudah rusak. Dengan hati sedih, Sui Giok dan Ling Ling mengubur jenazah Bu Lam Nio, juga ketiga jenazah pendeta-pendeta Pek-sim-kauw itu mereka kubur baik-baik. Hal ini menandakan bahwa budi pekerti Sui Giok memang halus dan baik. Nyonya ini bersama anaknya masih merasa heran mengapa pendeta-pendeta yang jubahnya memakai gambar hati putih ini memusuhi Bu Lam Nio.
"Mereka ini tentulah pendeta-pendeta yang jahat, sebagaimana seringkali ibu menceritakan kepadaku!"
Kata Ling Ling.
"Maka kelak kalau kita bertemu dengan pendeta berpakaian seperti ini, kita harus membasmi mereka!"
Memang pada waktu itu kedudukan para tosu dan hwesio dirusak dan dicemarkan oleh orang-orang jahat yang sengaja menjadi "Orang suci"
Untuk menutupi perbuatan mereka yang jahat. Dengan jubah pendeta, mereka ini lebih leluasa membodohi rakyat dan melakukan hal-hal yang amat mengecewakan. Hal ini diketahui oleh Sui Giok maka seringkali ia memberi nasehat kepada anaknya agar berhati-hati menghadapi orang-orang yang berjubah pendeta, karena kalau mereka itu berhati jahat, sukarlah bagi kita untuk menyangkanya.
"Ibu, setelah kini nenek tidak ada, tentu ibu tidak berkeberatan untuk mengawani aku keluar dari tempat ini. Marilah kita pindah ke tempat ramai, ibu, dan hidup seperti orang-orang biasa. Ling Ling membujuk dua hari kemudian setelah peristiwa itu terjadi.
"Baiklah, Ling Ling. Akan tetapi aku masih merasa tidak tega meninggalkan makam nenekmu. Biarlah kita tinggal lagi di sini sampai sembilan hari, baru kita tinggalkan tempat ini."
Akan tetapi tujuh hari kemudian, terjadilah peristiwa hebat yang memaksa ibu dan anak itu pergi dari situ sebelum waktu yang mereka tetapkan. Pada hari itu, pagi-pagi sekali, serombongan pendeta mendarat di hutan itu. Mereka ini datang dengan perahu dan ternyata bahwa mereka adalah pendeta-pendeta Pek-sim-kauw sebanyak tiga belas orang.
Melihat tusuk konde mereka, ternyata bahwa mereka ini adalah pendeta-pendeta Pek-sim-kauw yang berkepandaian tinggi. Sepuluh orang bertingkat dua dan yang tiga orang adalah pendeta-pendeta Pek-sim-kauw tingkat satu. Bagaimanakah begitu banyak pendeta Pek-sim-kauw dapat menyerbu ke sini? Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, seorang pendeta dapat melarikan diri dari hutan itu dan langsung berlari ke kota Kong-goan. Kebetulan sekali pada waktu itu, Pek Sui Cu, pendeta dari cabang Pek-sim-kauw di Kong-goan, didatangi oleh beberapa orang pendeta tingkat dua lain yang sengaja datang hendak merundingkan tentang keadaan perkumpulan mereka, ketika mereka ini mendengar tentang tewasnya Pek Kin Cu dan tangguhnya siluman-siluman di dalam hutan itu, bukan main marah dan terkejut mereka,
(Lanjut ke Jilid 03)
Wanita Iblis Pencabut Nyawa/Toat Beng Mo Li (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 03
"Celaka, twa-suheng,"
Kata pendeta itu dengan muka pucat.
"Ji-suheng dan sam-suheng entah bagaimana nasibnya. Siluman-siluman wanita itu bukan main tangguh dan gagahnya."
Ia lalu menceritakan betapa dengan sekali tangkis saja "Siluman wanita"
Yang paling muda telah berhasil membuat pedangnya terampas. Pek Sui Cu dan kawan-kawannya lalu merundingkan hal ini,
"Terang bahwa mereka itu tentulah wanita-wanita jahat yang menyembunyikan diri dan berkepandaian tinggi. Kita harus minta bantuan dari pusat, dan sebaiknya kita berlaku hati-hati. Sedapat mungkin kita harus minta bantuan dari suheng-suheng kita yang bertingkat satu. Jangan sampai kita menyerbu dan gagal lagi."
Demikianlah, setelah menanti dua hari ternyata dua orang kawan mereka tidak kembali, lalu seorang pendeta disuruh memberi laporan ke pusat minta bantuan. Pusat Pek-sim-kauw berada di kota besar Ceng-tu di sebelah selatan. Liang Gi Cinjin sendiri jarang sekali berada di pusat, kesukaannya pergi merantau, mengunjungi sahabat-sahabatnya di puncak gunung-gunung seperti Kunlun-san, Gobi-san, dan lain-lain. Orang tua yang sakti ini memang sudah bosan untuk mengurus semua persoalan dunia dan lebih suka ia mengunjungi ketua Kunlun-pai atau Gobi-pai untuk bermain catur, bercakap-cakap dan bertukar pikiran tentang ilmu batin dan ilmu alam.
Apabila dia sedang pergi, maka seluruh urusan Pek-sim-kauw diserahkan kepada murid-muridnya yang sudah bertingkat satu. Jumlah muridnya ini hanya lima orang, masing-masing bernama Pek Im Ji, Pek Hong Ji, Pek Yang Ji, Pek Thian Ji, dan Pek Te Ji. Kesemuanya adalah pendeta-pendeta yang sudah berusia lima puluh tahun lebih dan selain telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi karena telah mewarisi delapan puluh bagian lebih dari Pek-sim-ciang-hoat dan Pek-sim-kiam-hoat, merekapun telah mendapat pengertian yang mendalam tentang kebatinan. Tidak mengherankan apabila sikap mereka halus dan lemah lembut serta memiliki sifat penuh welas asih. Ketika ke lima orang murid Liang Gi Cinjin mendengar tentang siluman yang membunuh anak murid Pek-sim-kauw, mereka menjadi terkejut dan juga terheran-heran.
"Bagaimana bisa terjadi hal sehebat itu?"
Tanya Pek Im Ji, pendeta tertua atau murid kesatu daripada Liang Gi Cinjin yang juga mewakili suhunya.
"Kesalahan apakah yang sudah diperbuat oleh orang-orang kita sehingga mendapat marah dari orang gagah yang menyembunyikan diri di dalam hutan?"
Pek Im Ji tanpa ragu-ragu lagi mengetahui bahwa yang disebut siluman itu tentulah orang gagah yang pandai ilmu silat. Pendeta pesuruh dari Kong-goan itu lalu menceritakan awal mulanya,
"Penduduk dusun Tai-kun-an seringkali mendapat gangguan dari siluman wanita yang disebut Toat-beng Mo-li atau Cialing Mo-li bahkan seorang she Tan dari dusun itu bersama beberapa orang pengawalnya telah terbunuh mati. Ketika sute Pek Kin Cu mendengar laporan para penduduk dusun itu, segera dia mendatangi hutan tempat tinggal siluman tadi dan dalam pertempuran, ternyata sute Pek Kin Cu tidak dapat melawan seorang wanita tua yang seperti siluman mukanya. Sute Pek Kin Cu terkena pukulan, dan menjadi pingsan. Ketika siuman kembali, ia telah berada di luar hutan. Kemudian sute Pek Kin Cu minta bantuan ke Kong-goan. Bersama tiga orang saudara dari Kong-goan, ia lalu mendatangi dan menyerbu hutan itu. Tidak tahunya, siluman wanita tua itu masih mempunyai dua orang kawan, seorang wanita dan seorang gadis yang memiliki ilmu silat luar biasa sekali. Sute Pek Kin Cu tewas dalam pertempuran, dan ketika tiga orang saudara dari Kong-goan berhasil merobohkan siluman tua, datanglah dua orang wanita tadi. Saudara-saudara kita itu terdesak hebat, seorang saudara dapat melarikan diri, akan tetapi yang dua lagi agaknya tewas pula, karena sehingga kini belum kembali. Mohon bantuan dari twa-suhu!"
Pesuruh ini memang terhitung murid dari kelima pendeta kepala itu maka ia menyebut Pek Im Ji sebagai twa-suhu. Pek Im Ji menghela napas panjang.
"Terlalu gegabah!"
Celanya. Pek Kin Cu terlalu sembrono. Ia agaknya terpengaruh oleh dongeng orang-orang dusun yang tahyul dan mengira bahwa orang gagah itu benar-benar siluman. Celaka, kita telah menanam permusuhan dengan mereka. Sungguhpun pihak kita telah tewas tiga orang, namun pihak mereka juga tewas seorang. Kalau diselidiki secara adil, tak dapat kita menyalahkan pihak mereka. Kalau pihak kita tidak mengganggu dan kalau Pek Kin Cu tidak menyerbu ke dalam hutan, tak mungkin terjadi peristiwa ini."
"Akan tetapi, twa-suhu,"
Pesuruh itu membela saudara-saudaranya.
"Siluman itu telah membunuh orang-orang dusun Tai-kun-an, apakah kita harus diam saja?"
Pek Im Ji mengerutkan keningnya.
"Hm, pertanyaan bodoh yang kau ajukan ini. Apakah kau belum mengerti betul tentang hukum sebab dan akibat? Kalau memang orang-orang gagah di dalam hutan itu benar-benar siluman, mengapa mereka tidak membunuh semua penduduk? Pembunuhan terhadap orang she Tan itu hanyalah akibat dan seperti juga semua akibat yang terjadi di dunia ini, pasti ia bersebab. Apakah mendiang Pek Kin Cu sudah menyelidiki sebabnya? Tahukah dia mengapa orang she Tan itu sampai terbunuh oleh orang gagah yang disebut siluman?"
Pesuruh itu tidak dapat menjawab dan tidak berani membantah pula, hanya berkata perlahan,
"Terserah kepada kebijaksanaan twa-suhu, karena teecu sekalian memang tak berdaya."
Pek Im Ji biarpun mulutnya menyatakan demikian, namun di dalam hatinya merasa penasaran juga. Sungguh hal yang amat memalukan nama Pek-sim-kauw. Tiga orang pendeta tingkat dua dan seorang pendeta tingkat tiga tidak berdaya sama sekali menghadapi orang atau siluman yang hanya merupakan tiga orang wanita saja bahkan menurut cerita pesuruh ini, yang seorang hanya seorang gadis muda.
"Sam-sute, Si-sute, dan Ngo-sute, harap suka membereskan urusan ini. Ketemuilah orang-orang gagah di dalam hutan dekat Tai-kun-an itu dan tanyakanlah mengapa sampai terjadi pertumpahan darah dan pembunuhan yang tidak perlu. Kalau memang pihak kita yang salah, mintakan maaf atas nama Pek-sim-kauw. Akan tetapi kalau ternyata mereka itu orang-orang dari golongan hek-to (jalan hitam, orang-orang jahat), jangan sembarangan membunuh, akan tetapi usahakan agar mereka itu dapat ditangkap. Kita akan menanti keputusan suhu kalau dia sudah pulang."
Saudara ketiga, keempat dan kelima dari lima orang murid Liang Gi Cinjin itu segera menyatakan kesanggupannya dan berangkatlah mereka ke Kong-goan.
Mereka ini adalah Pek Yang Ji, Pek Thian Ji, dan Pek Te Ji, tiga orang dari kelima saudara seperguruan yang juga dijuluki Pek-sim Ngo-lojin (Lima Kakek Hati Putih). Lima orang murid Liang Gi Cinjin ini bukanlah orang-orang sembarangan dan kelimanya memiliki ilmu kepandaian tinggi dan mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri. Tiga orang pendeta yang menjadi murid ketiga, keempat dan kelima inipun memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Tidak saja ilmu Pek-sim-ciang-hoat dan Pek-sim-kiam-hoat telah mereka pelajari sampai delapan puluh bagian, akan tetapi Pek Yang Ji memiliki tenaga lweekang yang disebut Tai-lek-kim-kong-jiu (Pukulan Halilintar). Pukulan ini bukan main dahsyatnya dan dari jarak jauh saja ia dapat merobohkan seorang lawan.
Pek Thian Ji, murid keempat memiliki keistimewaan dalam kepandaian ginkang, sehingga tubuhnya dapat bergerak lebih cepat daripada angin. Kalau berkelana seorang diri, ia dijuluki Bu-eng-cu (Tanpa Bayangan) karena demikian cepat gerakan tubuhnya sehingga jangankan melihat orangnya, melihat bayangannya pun sukar sekali. Murid kelima, yakni Pek Te Ji, memiliki kepandaian ilmu menotok yang disebut Im-yang-tiam-hoat. Cara menotoknya berbeda dengan ahli silat biasa, dan cara yang khusus ini membuat totokannya tak dapat dilawan oleh ilmu kekebalan yang bagaimanapun juga. Ketika ketiga orang pendeta sakti ini tiba di rumah perkumpulan Pek-sim-kauw di Kong-goan, ternyata bahwa di situ telah berkumpul sepuluh orang pendeta tingkat dua, yakni kawan-kawan Pek Sui Cu yang telah mendengar tentang siluman itu dan datang untuk mencari kabar.
Mereka ini tadinya bertugas di dusun-dusun dan kota-kota yang berada di sekitar Kong-goan. Semua pendeta segera menjatuhkan diri berlutut di depan tiga orang kakek dari Ceng-tu ini, karena mereka ini boleh dibilang masih terhitung guru mereka sendiri. Biarpun pendeta-pendeta tingkat dua itu adalah murid-murid Liang Gi Cinjin juga, akan tetapi ilmu silat mereka sebagian besar terlatih oleh kelima Pek-sim-ngo-lojin, sedangkan Liang Gi Cinjin hanya sewaktu-waktu menguji mereka saja untuk mengetahui sampai di mana tingkat dan kemajuan mereka. Ketika mendengar bahwa ketiga orang kakek ini hendak mencari siluman di hutan sebelah utara Tai-kun-an, serentak sepuluh orang pendeta tingkat dua ini lalu menyatakan hendak ikut dan melihat dengan kedua mata sendiri macamnya siluman-siluman wanita yang telah membunuh saudara-saudara mereka.
Di antara Pek-sim Ngo-lojin, sesungguhnya hanya Pek Im Ji saja yang amat keras dan berdisiplin. Kalau kiranya Pek Im Ji yang hendak mencari siluman-siluman wanita itu, tentu dia akan melarang anak buahnya ikut, akan tetapi ketiga orang pendeta tingkat satu ini tidak melarang mereka, maka berangkatlah tiga belas orang pendeta itu beramai-ramai memasuki hutan di sebelah utara Tai-kun-an dengan perahu yang di dayung sepanjang sungai Cialing. Ketika mereka telah mendarat dan menuju ke tempat tinggal Bu Lam Nio dengan diantar oleh seorang pendeta tingkat dua, yakni pendeta yang melarikan diri dulu itu sebagai petunjuk jalan, tiba-tiba mereka mendengar suara orang-orang perempuan menangis.
Mereka cepat menghampiri tempat itu dan melihat dua orang wanita tengah berlutut di depan sebuah makam baru sambil menangis. Mereka ini adalah Sui Giok dan Ling Ling yang tiap hari tentu mengunjungi makam Bu Lam Nio dan menangis sedih. Ibu dan anak ini memang amat menyinta nenek yang telah berjasa besar terhadap mereka itu. Tanpa adanya Bu Lam Nio, takkan ada mereka pula. Mendengar suara kaki mendatangi, Ling Ling dan ibunya lalu menengok dan melompatlah mereka ketika melihat bahwa yang datang adalah pendeta-pendeta itu lagi. Sinar kemarahan bernyala-nyala di dalam mata ibu dan anak itu. Inilah pendeta-pendeta yang telah merenggut nyawa Bu Lam Nio. Sementara itu, pendeta yang pernah bertanding dengan mereka, lalu berkata kepada Pek Yang Ji,
"Sam-suhu, inilah dia dua orang siluman yang telah membunuh kawan-kawan kita."
Pek Yang Ji cepat mengangkat kedua tangannya memberi hormat, diturut oleh semua kawan-kawannya. Dengan senyum seorang alim ia lalu berkata,
"Toanio (nyonya) dan siocia (nona), maafkanlah kami apabila kami datang mengganggu. Kami adalah pendeta-pendeta dari perkumpulan Pek-sim-kauw dan pinto (aku) sebagai pemimpin rombongan ini bernama Pek Yang Ji. Bolehkah kiranya kami mengetahui nama toanio dan siocia yang terhormat?"
Melihat sikap dan mendengar ucapan yang menghormat ini, Sui Giok sudah menjadi agak sabar, akan tetapi tetap saja suaranya terdengar kaku ketika ia menjawab,
"Kami ibu dan anak selama hidup tidak pernah mempunyai urusan dengan segala macam pendeta, maka kedatangan cuwi (tuan-tuan sekalian) ini tak ada artinya bagi kami. Kami tak perlu tahu nama dan tidak perlu memperkenalkan nama."
Pek Yang Ji masih sabar dan tersenyumlah ia mendengar jawaban ini,
"Toanio, agaknya kau masih marah kepada kami, kemarahan yang sesungguhnya tidak kami mengerti sebabnya. Apakah Toanio dan siocia ini yang disebut Toat-beng Mo-li dan Cialing Mo-li?"
Marahlah hati Ling Ling mendengar pertanyaan ini. Ia melangkah maju dan menuding dengan jarinya yang runcing dan kecil sambil membentak,
"Kalau kami betul-betul siluman-siluman pencabut nyawa dan siluman sungai Cialing, kalian mau apakah? Jangan banyak cakap dan pergilah, kami tak ingin diganggu!"
Pek Yang Ji adalah pendeta yang paling sabar di antara mereka, karena yang lain-lain sudah menjadi merah mukanya karena marah melihat dua orang wanita yang telah membunuh kawan-kawan mereka dan yang bersikap kasar ini. Bahkan Pek Yang Ji sendiri ketika melihat betapa sikap kedua orang wanita itu benar-benar sikap bermusuh dan menghina sekali, mulai berkurang senyumnya.
"Hm, jiwi agaknya tidak dapat menerima penghormatan kami. Baiklah, kami datang hanya untuk bertanya tentang kawan-kawan kami yang datang di sini tujuh hari yang lalu. Mereka itu adalah anggauta-anggauta Pek-sim-kauw, dimanakah adanya mereka sekarang?"
Sui Giok menggerakkan lengan tangannya, menunjuk ke arah kiri di mana terdapat gundukan tanah tiga gunduk sambil berkata,
"Jadi tiga orang penjahat berkedok pendeta yang datang mengacau tempat tinggal kami itu adalah kawan-kawan cuwi? Mereka sudah mati, kematian yang sudah sepatutnya dan yang mereka cari sendiri."
Semua pendeta memandang dengan mata marah, akan tetapi Pek Yang Ji masih berlaku tenang,
"Toanio, ketahuilah bahwa kami pendeta-pendeta Pek-sim-kauw bukanlah pendeta-pendeta jahat dan palsu. Perkumpulan agama kami mengutuk perbuatan-perbuatan jahat dan musuh-musuh kami hanyalah orang-orang jahat dan suka mengganggu orang lain!"
"Omong kosong!"
Tiba-tiba Ling Ling membentak keras.
"Kalau pendeta baik-baik mengapa datang mengganggu kami, bahkan telah membunuh nenekku? Siapa dapat percaya omongan itu?"
"Nona, kau agaknya tidak ingat bahwa kalian berdua juga telah membunuh tiga orang pendeta Pek-sim-kauw!"
Kata Pek Yang Ji memperingatkan.
"Tentu saja! Siapa yang membunuh lebih dulu? Orang-orangmu membunuh nenekku, apakah aku harus diam saja?"
"Pihakmu hanya seorang yang tewas, sedangkan pihak kami tiga orang, maka kiranya tidak perlu nona masih marah dan merasa penasaran."
"Enak saja kau bicara!"
Ling Ling membentak lagi.
"Kau kira nyawa nenekku cukup diganti oleh tiga orang pendeta palsu? Ketahuilah biar ditambah dengan tiga belas nyawa anjing kalian, aku masih belum puas!"
Melihat kemarahan puterinya, Sui Giok maju memegang tangan Ling Ling, berusaha menyabarkannya. Adapun pendeta-pendeta Pek-sim-kauw itu menjadi marah sekali mendengar ucapan Ling Ling ini dan di antaranya sudah ada yang mencabut pedangnya. Akan tetapi Pek Yang Ji mengangkat tangannya mencegah anak buahnya bergerak. Ia menjura kepada Sui Giok dan berkata,
"Toanio, agaknya nona ini amat keras hati, sesuai dengan kemudaannya, maka lebih baik pinto bicara denganmu. Seperti telah pinto katakan tadi, di dalam peristiwa ini, seorang dari pihakmu tewas dan tiga orang dari pihak kami meninggal. Memang dipandang dengan sepintas lalu, seakan-akan pihak kami yang bersalah karena telah berani masuk ke sini mengganggu kalian. Akan tetapi, kedatangan kami ini dengan maksud menanyakan tentang gangguanmu terhadap orang-orang yang bertempat tinggal di dusun Tai-kun-an. Saudara-saudara kami yang datang di sini bukan semata-mata mengganggu toanio kalau tidak bersalah dan kalau tidak berdasarkan menolong orang-orang yang kalian ganggu. Oleh karena itu, harap toanio sudi menjelaskan mengapa beberapa tahun yang lalu toanio telah membunuh orang, penduduk she Tan di dusun Tai-kun-an dan membunuh beberapa orang pengawalnya pula?"
Sui Giok menjadi merah mukanya ketika nama Tan-wangwe disebut-sebut.
"Hal ini tak perlu orang lain mengetahuinya. Cukup kukatakan bahwa keparat she Tan itu sudah patut menerima hukumannnya!"
"Mengapa? Apa salahnya terhadap Toanio?"
Pek Yang Ji mendesak.
"Totiang, kau sebagai seorang pendeta, mengapa mencampuri urusan pribadi orang lain?"
"Pembunuhan kejam bukanlah urusan pribadi lain. Kami pendeta-pendeta Pek-sim-kauw memang berkewajiban untuk membereskan urusan kejahatan dan pembunuhan adalah soal kejahatan besar,"
Jawab Pek Yang Ji tenang.
"Kalau kami menolak untuk memberi penjelasan?"
Kata Sui Giok.
"Terpaksa kami anggap bahwa kalian yang bersalah dalam pertikaian dengan kami ini."
"Hm, kalau kalian sudah menganggap kami bersalah, lalu bagaimana?"
Ling Ling mendahului ibunya.
"Terpaksa kalian berdua harus ikut dengan kami untuk berhadapan dengan ketua kami dan menanti keputusan beliau!"
"Siapakah ketua kalian itu?"
Sui Giok yang sudah menjadi marah juga bertanya sambil memegang tangan anaknya agar gadis itu tidak berlaku lancang.
"Ketua kami atau suhu kami adalah Liang Gi Cinjin."
"Kalau kami tidak mau ikut?"
Tantang pula Sui Giok.
"Kami akan melakukan kekerasan!"
Akhirnya Pek Yang Ji menegaskan. Bagaikan mendapat komando, semua pendeta kini telah menghunuskan senjata masing-masing. Sui Giok dan Ling Ling saling pandang, kemudian mereka lalu melompat mundur kira-kira setombak dan telah mencabut pedang mereka. Sui Giok mencabut pedang yang dulu dirampasnya dari Tan-wangwe, sedangkan Ling Ling mencabut pedang yang dirampasnya dari pendeta Pek-sim-kauw itu.
"Bagus, hendak kami lihat bagaimana kalian akan menangkap kami dengan kekerasan!"
Seru Ling Ling sambil maju menerjang dengan pedangnya.
"Semua jangan bergerak, biarkan pinto dan kedua sute menghadapi mereka!"
Kata Pek Yang Ji yang mencegah anak buahnya melakukan pengeroyokan. Iapun lalu menghadapi serbuan Ling Ling dengan pedangnya.
"Trang!"
Dua batang pedang beradu keras sekali dan diam-diam Pek Yang Ji merasa kagum dan terheran betapa gadis cantik yang masih amat muda itu telah memiliki tenaga lweekang yang amat hebat sehingga ketika tadi ia menangkis sambil mengerahkan tenaga, ternyata ia tidak mampu membuat pedang lawan terpental. Kekejutannya makin menjadi ketika Ling Ling melanjutkan serangannya dengan amat cepatnya dan dengan gerakan yang luar biasa sehingga pedang itu merupakan sinar yang menyambar bagaikan kilat.
Sementara itu, Sui Giok telah maju pula, disambut oleh Pek Thian Ji, orang keempat dari Pek-sim Ngo-lojin. Pertempuran berjalan amat serunya. Pertempuran antara Sui Giok dan Pek Thian Ji masih dapat dikatakan seimbang, sungguhpun pendeta ini merasa bingung juga menghadapi permainan pedang dari nyonya itu. Akan tetapi Ling Ling dengan cepat mendesak hebat lawannya sehingga dalam dua puluh jurus saja, Pek Yang Ji terdesak tak dapat membalas serangan lawannya. Tidak saja pendeta ini merasa terkejut sekali, bahkan lain-lain pendeta juga memandang dengan mata terbelalak. Tak pernah mereka sangka sama sekali bahwa gadis itu memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada nyonya yang lihai itu, bahkan agaknya Pek Yang Ji tokoh ketiga dari Pek-sim Ngo-lojin yang lihai ini, takkan dapat menang.
Hal ini dimaklumi pula oleh Pek Yang Ji. Ia merasa penasaran dan juga malu. Masa dia, seorang tokoh besar yang jarang sekali menderita kekalahan dalam pertempuran, kini harus mengaku kalah terhadap seorang gadis yang belum ada dua puluh tahun usianya? Ia telah memandang dengan penuh perhatian untuk mengenal ilmu pedang lawannya, akan tetapi sungguhpun ilmu pedang gadis itu mirip dengan Kun-lun Kiam-hoat, namun banyak sekali perbedaannya. Ilmu pedang itu amat luar biasa dan memiliki perobahan-perobahan gerakan yang aneh dan sulit diduga. Juga pedang di tangan gadis itu dapat melakukan gerakan-gerakan yang amat sukar dan seakan-akan tidak mungkin, seperti juga pedang itu telah menjadi hidup dan menjadi anggauta tubuh penyambung tangan.
"Sam-suheng, biar aku membantumu menangkap gadis liar ini!"
Pek Te Ji yang semenjak tadi telah "gatal tangan", menggerakkan pedangnya hendak mengeroyok.
"Jangan dulu, ngo-sute, biarlah aku menangkapnya sendiri!"
Kata Pek Yang Ji. Tosu ini merasa malu untuk melakukan pengeroyokan dan kini ia hendak mengeluarkan ilmu silatnya yang paling ampuh dan lihai, yakni pukulan Tai-lek-kim-kong-jiu. Ketika mendapat kesempatan baik setelah ia berhasil membentur pedang lawannya, ia lalu melangkah ke belakang cepat sekali sejauh tiga tindak, kemudian ia merendahkan tubuhnya, mengerahkan lweekangnya, lalu berseru keras. Lengan tangan kirinya diayun dari kiri menuju ke depan, mengirim pukulan Tai-lek-Kim-Kong-Jiu yang hebat itu. Sebelum angin pukulan yang keras itu datang menyambar, Ling Ling yang berlaku waspada dapat menduga bahwa lawannya akan melakukan serangan dari jauh.
Maka cepat gadis inipun menggerakkan tangan kiri dan begitu angin pukulan Tai-lek-Kim-Kong-Jiu menyambar dengan kerasnya, Ling Ling melakukan gerakan menyampok dari kiri. Dua tenaga raksasa bertemu sebelum kedua tangan itu bertemu dan akibatnya membuat kedua orang itu terhuyung mundur karena kembalinya tenaga pukulan sendiri. Bukan main kaget dan herannya hati Pek Yang Ji. Bagaimanakah boca ini dapat menahan pukulannya Tai-lek-Kim-Kong-Jiu? Padahal, ia pernah mengalahkan banyak sekali tokoh-tokoh persilatan yang tinggi tingkat kepandaiannya. Tidak saja gadis cilik ini dapat menahan, bahkan dapat pula membentur hawa pukulannya sedemikian rupa. Sementara itu, Ling Ling dapat membereskan kuda-kudanya kembali dan tertawalah gadis itu dengan suara ketawanya yang merdu dan nyaring.
"Hm, serangan semacam itu, di tempat ini hanya dapat dilakukan oleh ekor buaya sungai Cialing!"
Ucapan ini sesungguhnya tidak disengaja oleh Ling Ling dan hanya diucapkan untuk menghina dan menyindir lawannya, karena memang gerakan tangan kiri Pek Yang Ji yang memukul tadi seperti gerakan ekor buaya.. Akan tetapi Pek Yang Ji yang mendengar ucapan ini, menjadi pucat sekali.
Tak disangka-sangkanya bahwa gadis itu telah dapat menebak sumber ilmu pukulannya itu. Memang sesungguhnya, ilmu pukulan Tai-lek-Kim-Kong-Jiu yang dimiliki ini bersumber dari gerakan ekor buaya apabila sedang memukul ke depan. Oleh karena itu, ketika ia hendak memukul tadi, ia merendahkan tubuh dan mengayun lengannya dari belakang ke muka, memperlipat ganda tenaga lweekang dalam pukulan itu ketika diayunkan. Ucapan gadis itu membuat ia berpikir bahwa gadis ini tentu berkepandaian tinggi sekali sehingga dapat melihat dasar ilmu pukulannya. Adapun Pek Tek Ji ketika melihat betapa pukulan suhengnya tidak saja tidak berhasil bahkan suhengnya terhuyung mundur lebih jauh daripada lawannya, maklum bahwa suhengnya takkan dapat menang. Maka tanpa berkata sesuatu lagi ia menyerbu dengan pedangnya.
Ling Ling menyambutnya dengan tangkisan keras dan serangan balasan yang membuat Pek Tek Ji terpaksa bergerak sambil mundur. Baru segebrakan saja pendeta yang tadinya memandang rendah ini telah terdesak hebat dan berada dalam keadaan berbahaya. Untung baginya, Pek Yang Ji telah melompat maju kembali dan menahan desakan Ling Ling. Gadis ini benar-benar gagah dan tabah sekali, biarpun dikeroyok dua, ia masih berhasil mendesak lawannya dengan permainan pedang yang selain indah, juga amat membingungkan kedua lawannya. Biarpun Pek yang Ji mempunyai keahlian dalam pukulan Tai-lek Kim-kong-jiu, dan Pek Tek Ji memiliki ilmu totok Im-yang-tiam-hoat, namun kedua orang pendeta ini sama sekali tidak diberi kesempatan untuk mempergunakan kepandaian mereka. Adapun Sui Giok, biarpun ilmu pedangnya masih kalah jauh apabila dibandingkan dengan puterinya,
Namun gerakannya cukup gesit dan gulungan sinar pedangnya cukup lebar dan kuat sehingga perlahan akan tetapi pasti, Pek Thian Ji mulai terdesak seperti keadaan kedua saudaranya, merasa penasaran sekali. Dia yang telah mendapat julukan Bu-eng-cu (Tanpa Bayangan) dan memiliki ginkang yang sempurna, ternyata kini menemukan tandingan yang setimpal. Dalam hal ginkang, nyonya cantik ini ternyata tidak berada di sebelah bawah tingkatnya. Tentang ilmu pedang, diam-diam Pek Thian Ji harus mengaku bahwa ilmu pedang yang dimainkan oleh nyonya ini benar-benar belum pernah disaksikan seumur hidupnya dan jauh lebih kuat dan ganas daripada ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat yang dimainkannya. Sepuluh orang pendeta tingkat dua yang tadinya dilarang oleh Pek Yang Ji untuk membantu, dan tinggal berdiri menonton saja, menjadi amat gelisah.
Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka ini memiliki ilmu kepandaian yang hanya kalah sedikit saja oleh ketiga kawan mereka, paling banyak hanya kalah dua puluh bagian, maka mereka dapat melihat betapa ketiga orang pendeta tingkat satu itu terdesak hebat dan terancam jiwanya. Sesungguhnya, biarpun tadi Pek Yang Ji melarang kawan-kawan dari tingkat dua ini maju membantu, kini ia merasa gelisah juga. Pendeta-pendeta kelas satu dari Pek-sim-kauw ini sama sekali tidak takut terluka atau terbunuh dalam pertempuran ini. Yang paling mereka takutkan hanyalah kejatuhan nama mereka. Alangkah akan merosotnya keagungan nama Pek-sim-kauw apabila orang-orang kang-ouw mendengar bahwa tiga orang tokoh Pek-sim-kauw yang tertinggi kedudukannya, harus menyerah kalah terhadap dua orang wanita, bahkan yang seorang di antaranya masih merupakan gadis kecil. Satu hal yang amat merendahkan nama dan memalukan sekali.
Oleh karena itulah, maka ketika sepuluh orang pendeta kelas dua itu serentak maju menyerang dan membantu, mereka tidak mengeluarkan suara sesuatu. Bahkan Pek Yang Ji sendiri tidak melarang, sebaliknya menarik napas lega karena ia percaya bahwa dapat mengalahkan dua orang siluman wanita ini. Memang amat berat bagi Ling Ling dan Sui Giok. Menghadapi tiga orang pendeta tingkat satu itu saja sudah merupakan lawan yang harus dihadapi dengan hati-hati, apalagi setelah sepuluh orang pendeta tingkat dua itu maju mengeroyok. Pedang para pendeta itu berkelebat-kelebat menyambar bagaikan hujan lebat dan terpaksa Sui Giok dan Ling Ling memutar pedang mereka untuk melindungi tubuh. Mereka kini terdesak dan sama sekali tidak mendapat kesempatan membalas serangan para pendeta itu.
"Jangan bunuh mereka, tangkap!"
Pek Yang Ji masih sempat berseru memperingatkan kawan-kawannya. Memang dia tidak ingin melihat kedua orang wanita itu sampai terbunuh, hanya ingin menangkap mereka dan menyeret mereka di depan suhunya untuk menanti keputusan. Akan tetapi, hal ini lebih mudah diucapkan daripada dilakukan, karena menangkap dua orang wanita ini lebih sukar daripada menangkap dua ekor naga sakti. Agaknya hanya dengan kepala terpisah dari tubuh atau dengan pedang menancap di dada saja kedua orang wanita gagah ini akan menyerah.
Setelah pihaknya lebih kuat dan mendesak, Pek Tek Ji mendapat kesempatan untuk mengeluarkan kepandaiannya, yakni Im-yang-tiam-hoat, juga Pek Yang ji berusaha untuk memukul dengan Tai-lek Kim-kong-jiu untuk menghantam tangan lawan agar pedang mereka terlepas. Repot juga Ling Ling dan Sui Giok menjaga diri, terutama sekali Sui Giok yang memang kalah jauh dari puterinya. Pada saat yang baik, Pek Tek Ji berhasil mengirim serangan secara gelap, yakni dari belakang Sui Giok. Ia menotok punggung nyonya itu dan dengan tepat jari tengah dan telunjuknyamenjepit urat dan menotok jalan darah thian-hu-hiat. Sui Giok tak dapat mengelak dan sambil mengeluh nyonya ini melepaskan pedangnya dan roboh dengan tubuhnya lemas, sama sekali tak berdaya lagi. Bukan main terkejutnya dan marahnya hati Ling Ling melihat betapa ibunya telah dirobohkan.
"Pengecut!"
Serunya marah dan ia cepat mempergunakan tangan kirinya untuk menepuk pundak ibunya yang menggeletak di atas tanah. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia tidak berhasil memunahkan totokan itu. Ibunya tetap berbaring lemas dan totokan itu tidak dapat dibebaskan. Padahal Ling Ling sudah mempelajari ilmu tiam-hoat cukup sempurna dan agaknya amat mustahil bahwa ia tidak dapat membebaskan seseorang dari pada pengaruh totokan.
Terdengar Pek Te Ji tertawa mengejek melihat usaha Ling Ling yang tidak berhasil ini. Tahulah Ling Ling bahwa pendeta itu memiliki kepandaian istimewa dalam ilmu tiam-hoat, maka selain pendeta itu, agaknya sukarlah untuk membebaskan ibunya. Ia berseru keras dan nyaring sekali dan belum juga habis suara ketawa Pek Te Ji, tahu-tahu ia telah kena dicengkeram pundaknya oleh tangan kiri Ling Ling. Gerakan ini luar biasa cepatnya sehingga dua belas orang pendeta yang lain tidak menyangka-nyangkanya dan tidak dapat menolong Pek Te Ji. Ling Ling telah mempergunakan sejurus ilmu silat Kim-gan-liong Ciang-hoat yang lihai untuk menangkap Pek Te Ji dalam saat orang-orang menertawakannya dan sebelum semua pendeta sadar. Kini Pek Te Ji telah dicengkeram pundaknya dengan tangan kiri dan pedang di tangan kanan Ling Ling sudah menempel pada lehernya.
"Mundur semua!"
Teriak gadis gagah perkasa ini.
"Kalau tidak, kepala pendeta palsu ini akan menggelinding di kaki kalian!"
Melihat hal ini, bukan main kagetnya Pek Yang Ji. Ia maklum bahwa gadis seperti lawannya ini tidak akan bicara main-main dan akan sanggup membuktikan ancamannya, maka ia cepat berseru,
"Kawan-kawan, mundur semua!"
Ling Ling lalu berkata kepada pendeta yang telah berada di dalam cengkeramannya itu.
"Lekas kau bebaskan ibuku dari totokanmu kalau kau ingin hidup terus!"
Pek Yang Ji berkata kepada Ling Ling.
"Nona, apakah kami dapat mempercayai omonganmu? Kalau ibumu telah dibebaskan suteku itu?"
Ling Ling memandang dengan mata melotot.
"Kau kira aku ini orang macam kalian? Sekali aku berjanji, aku takkan melanggarnya. Kalau ibuku sudah bebas, kami berdua akan pergi dari sini, dan tunggulah, paling lama setahun aku akan mencari suhumu yang bernama Liang Gi Cinjin untuk membuat perhitungan!"
Pek Yang Ji lalu berkata kepada sutenya itu,
"Ngo-sute, lakukanlah seperti apa yang dimintanya. Tak perlu kita melanjutkan pertempuran yang berbahaya ini. Kalau dilanjutkan, tentu akan jatuh korban di kedua pihak."
Pek Te Ji lalu dilepaskan oleh Ling Ling dan dengan beberapa kali totokan dan urutan, Sui Giok dapat dibebaskan. Nyonya ini mengambil kembali pedangnya dan tanpa banyak cakap lagi ibu dan anak ini lalu meninggalkan tempat itu setelah mengambil buntalan masing-masing dari dalam goa. Di dalam bungkusan keduanya terdapat penuh batu mutiara yang amat berharga, yang sengaja mereka kumpulkan untuk bekal. Para pendeta memandang bayangan mereka sampai lenyap dari situ. Kemudian mereka lalu bersembahyang di depan makam ketiga pendeta Pek-sim-kauw yang telah menjadi korban di tangan Toat-beng Mo-li atau Cialing Mo-li.
"Sungguh lihai dan berbahaya!"
Pek Yang Ji berkata sambil menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Entah setan mana yang telah memberi pelajaran ilmu silat kepada mereka. Akan tetapi harus diakui bahwa ilmu pedang mereka tidak kalah hebatnya dengan ilmu pedang kita."
Maka pulanglah para pendeta itu beramai ke tempat masing-masing, dan ketika Liang Gi Cinjin pulang dari perantauannya lalu mendengar peristiwa ini, kakek sakti ini mengerutkan kening dan menggeleng kepalanya yang sudah penuh dengan rambut putih seperti benang perak.
"Salah, salah, kalian telah berlaku semberono sekali, menuruti hati dan perasaan. Sudah berkali-kali kukatakan bahwa untuk mengurus sesuatu, pergunakanlah otak dan jangan terlalu menuruti kata hati. Betapapun marah dan tersinggungnya hati seseorang, apabila ia masih dapat mempergunakan otaknya secara dingin dan sehat, ia akan menang juga akhirnya dalam sesuatu perselisihan, dan takkan sampai perselisihan itu menjadi pertempuran. Kalian ini mudah sekali menurunkan tangan, apakah kau kira bahwa ilmu silat kita ini yang tertinggi di dunia?"
Sampai di sini Liang Gi Cinjin menarik napas panjang dan para pendeta yang menjadi muridnya dan yang duduk dihadapannya, tak berani bergerak sedikitpun, hanya menundukkan kepala.
"Kalian keliru kalau mengira bahwa Pek-sim-kiam-hoat adalah ilmu pedang yang nomor satu di dunia. Apakah yang tertinggi di dunia ini? Di antara gunung-gunung yang menjulang tinggi, masih ada gunung Thai-san yang paling tinggi. Akan tetapi, di atas gunung Thai-san masih ada langit, dan di atas langit yang nampak oleh mata masih ada ruang lain yang tak terlihat oleh kita. Di antara sungai yang dalam, masih ada lautan yang paling dalam. Akan tetapi, di bawah lautan ini masih ada dasarnya dan di dalam dasar itu masih ada pula isinya yang lebhi dalam. Nah jangan sekali-kali kalian mengagulkan kepandaian sendiri, karena sesungguhnya kepandaian itu tiada batasnya. Mulai sekarang harap kalian berlaku hati-hati, jangan sekali-kali menyerang orang apabila tidak diserang. Boleh kita mempergunakan kepandaian hanya untuk menjaga diri, bukan untuk menyerang orang lain!"
Demikianlah, kakek sakti ini telah memberi banyak nasehat kepada murid-muridnya dan ia merasa amat menyesal bahwa murid-muridnya telah menanam bibit permusuhan dengan wanita-wanita yang mereka sebut Toat-beng Mo-li atau Cialing Mo-li. Telah lama sekali, semenjak pada permulaan cerita ini, kita tidak mengetahui bagaimana dengan nasib Kwee Siong, suami dari Liem Sui Giok. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Kwee Siong telah ditangkap oleh Cong Hwat, komandan pasukan pengumpul tenaga rakyat dan langsung dikirim ke utara untuk dipaksa menjadi pekerja dalam usaha besar, yakni memperbaiki dan memperkuat tembok besar di tapal batas Tiongkok Utara. Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan Kwee Siong dalam pekerjaan kasar ini.
Ia diharuskan membantu para pekerja dan termasuk dalam rombongan kuli kasar, mengangkut batu-batu, menggunakan pemukul besi memecah batu-batu besar, dan lain-lain pekerjaan kasar lagi. Kwee Siong adalah seorang pelajar, selama hidupnya semenjak kecil yang dipegangnya hanyalah buku-buku dan pit (alat tulis), sehingga tubuhnya lemah dan tenaganya tidak besar, bagaimana ia dapat melakukan pekerjaan ini dengan baik. Telapak tangannya yang berkulit halus dan tipis itu telah pecah-pecah, seluruh urat tubuhnya terasa sakit-sakit. Penderitaan ini masih ditambah lagi dengan adanya mandor-mandor yang berupa serdadu-serdadu yang kejam sekali. Sedikit saja pekerja-pekerja "Patriot"
Ini melakukan kesalahan atau nampak malas, ujung cambuk akan membuatnya menari-nari kesakitan. Darah akan mengucur dari luka-luka cambukan di punggung mereka.
Akan tetapi, beberapa bulan kemudian, Kwee Siong menjadi biasa, tenaganya timbul dan ia tidak merasa terlalu menderita lagi. Hanya apabila ia teringat kepada isterinya, diam-diam ia mengucurkan airmata yang turun mengalir melalui sepanjang pipinya untuk bercampur dengan peluhnya yang membasahi seluruh tubuhnya. Kwee Siong adalah seorang yang beriman teguh, tidak mudah putus asa, tidak mudah menyerah kepada nasib. Sebagai seorang pelajar dan orang yang berdarah seni, di dalam kepahitan penderitaan hidup ini, jiwanya mencari-cari sesuatu yang indah. Kehausan jiwanya akan keindahan membuat ia dapat pula melihat dan mendapatkan keindahan dalam pekerjaan itu. Ia melihat betapa hebatnya tenaga manusia dalam pekerjaan ini. Mau tak mau, lepas daripada persoalan paksa atau tidak, diam-diam ia memuji kaisar yang telah sanggup melakukan pekerjaan besar ini.
Kagum ia menyaksikan tembok besar itu dan hatinya memuji kebesaran para kaisar yang dahulu membuat bangunan ini. Untuk apakah tembok besar yang amat panjang itu dibangun oleh jutaan tangan manusia, sehingga pekerjaan besar itu telah mengorbankan ribuan, bahkan laksaan jiwa manusia? Untuk kepentingan kaisar yang memerintahkan pembangunan ini? Mungkin sebagian kecil saja, untuk melindungi kaisar. Akan tetapi kaisar telah meninggal dunia dan tembok besar itu masih tetap berdiri kokoh kuat. Kwee Siong adalah seorang yang berjiwa patriot, ia keturunan dari orang-orang penting, di antaranya keturunan dari Kwee Lo Seng yang terkenal sekali karena kesetiaannya kepada negara, seorang pembesar tinggi yang mengorbankan nyawa demi kepentingan negara ketika terjadi pemberontakan puluhan tahun yang lalu.
Dalam pandangan Kwee Siong, betapapun juga, pembangunan tembok besar itu adalah suatu usaha untuk tanah air dan bangsa. Tidak hanya istana kaisar yang terlindung karena adanya tembok besar ini, tidak hanya rumah-rumah gedung para hartawan atau bangsawan, akan tetapi juga keselamatan rakyat jelata terlindung. Dengan adanya tembok besar ini maka pihak asing di daerah utara tidak mudah menyerbu masuk, tidak mudah menyerang Tiongkok. Karena pikiran ini, tergeraklah hati Kwee Siong untuk menulis sajak mengenai tembok besar itu. Dan karena setiap hari ia melihat kawan-kawan sekerjanya tewas dalam pekerjaan itu, baik karena kelelahan, karena sakit, karena siksaan mandor-mandor atau hal-hal lain maka tentu saja ia tidak lupa untuk memasukkan mereka ini ke dalam sajaknya, bahkan kawan-kawannya yang sudah gugur inilah yang menjadi pokok utama dalam sajaknya.
Tembok besar, laksaan li panjangnya
Megah, kokoh kuat, agung dan jaya
Usaha besar Kaisar nan Mulia!
Lambang kekuatan Negara dan Bangsa!
Kawan-kawan, kau yang tewas dalam usaha
Pengorbananmu takkan sia-sia
Kaulah sebuah di antara jutaan batu
Kecil bentuknya namun besar jasanya
Di dalam tembok kau lenyap tak nampak oleh mata,
Namamu tak pernah disebut-sebut, orang telah lupa,
Namun tembok ini menjadi saksi utama
Bahwa kaulah yang berjasa!
Seorang serdadu penjaga ketika menemukan tulisan ini di dalam saku bajunya, menjadi marah sekali dan hampir saja Kwee Siong disiksa sampai mati. Ia dipukul, ditendang dan dicambuki oleh serdadu itu. Sesungguhnya, serdadu itu adalah seorang setengah buta huruf yang tidak mengerti betul akan arti sajak itu, dan disangkanya bahwa Kwee Siong hendak "Memberontak",
Sebuah istilah yang sudah populer sekali di waktu itu untuk mencelakakan seseorang yang agak membangkang. Pada masa itu, jangankan memperlihatkan sikap menentang pembangunan atau politik pemerintahan, baru menyatakan pendapat sejujurnya dan berdasarkan kenyataan saja, apabila pernyataan yang berdasarkan kenyataan itu merugikan nama pemerintahan, ia akan dicap "Pemberontak"
Dan masih baik kalau dia sendiri yang masuk penjara atau dipenggal lehernya. Banyak para "Pemberontak"
Seperti ini menerima hukuman mengerikan, yakni seluruh keluarganya, sampai pada bayi-bayinya sekalipun, dijatuhi hukuman mati. Untung saja bagi Kwee Siong bahwa pada saat ia dihujani cambukan, seorang perwira datang melakukan pemeriksaan.
Perwira itu segera bertanya mengapa Kwee Siong dihukum. Biasanya perwira ini tidak memperdulikan pekerja-pekerja yang mendapat siksaan karena ia merasa pasti bahwa pekerja-pekerja yang dihukum itu tentu melakukan pelanggaran. Tidak jarang ada pekerja yang mencuri, berkelahi dengan kawan-kawannya, memukul yang lemah, tidak mentaati perintah dan lain-lain. Akan tetapi melihat wajah Kwee Siong yang tampan, dan melihat betapa Kwee Siong bergulingan di atas tanah tanpa mau mengeluh sedikitpun juga itu, timbul rasa kasihan dalam hati perwira ini. Serdadu itu dengan bangga lalu mengeluarkan surat bersajak yang dirampasnya dari saku baju Kwee Siong dan memperlihatkannya kepada perwira itu. Setelah membaca sajak itu berkali-kali, perwira ini lalu menghampiri serdadu itu dengan muka marah, kemudian ia bertanya,
"Mengapa kau pukul dia?"
"Karena dialah penulis sajak gila ini!"
Jawab serdadu itu. Tiba-tiba perwira itu memberikan surat bersajak itu kepada serdadu ini sambil bertanya lagi,
"Kau pandai membaca?"
Untuk memamerkan kepandaiannya, serdadu itu menjawab sambil menyeringai,
"Tentu saja dapat, ciangkun!"
"Nah, coba kaubacakan sajak ini untukku!"
Wajah serdadu ini menjadi pucat. Tak disangka-sangkanya sama sekali bahwa ia disuruh membaca sajak itu. Ia memandang kepada kertas itu dengan mata terbelalak dan mukanya sebentar pucat sebentar merah.
"Hayo, bacalah!"
Teriak perwira tadi sambil memandang tajam. Terpaksalah serdadu itu membacanya, akan tetapi yang terbaca hanya beberapa huruf saja, yang lain dilewati saja karena memang tidak dikenal. Sedikit huruf yang dapat dibacanya itupun dikeluarkan dengan susah payah, dan banyak yang keliru dibacanya.
"Bangsat, kaulah yang gila, bukan orang lain!"
Sambil berkata demikian, perwira itu mengayun kepalan tangannya.
"Buk!"
Dada serdadu itu terkena pukulan keras sekali karena perwira ini adalah seorang ahli gwakang, sehingga tubuh serdadu itu terlempar jauh dan jatuh bergulingan dalam keadaan pingsan. Sementara itu, ketika memukul tadi, perwira ini telah merampas kembali kertas bersajak itu, kemudian ia lalu memberi perintah kepada para serdadu lainnya untuk mengangkut tubuh Kwee Siong yang sudah setengah mati. Ketika sadar dari pingsannya, Kwee Siong mendapatkan dirinya berada di atas pembaringan di dalam kamar perwira tadi dan telah dirawat oleh ahli pengobatan yang ada di dalam markas. Perwira muda itu duduk di situ dan segera menegurnya dengan manis ketika melihat Kwee Siong siuman.
"Saudara yang baik, bagaimana kau yang demikian terpelajar sampai berada di tempat seperti itu?"
Kwee Siong terheran dan merasa seakan-akan sedang mimpi. Sudah matikah dia disiksa oleh serdadu-serdadu tadi? Sampai lama ia tidak menjawab, hanya memandang wajah perwira yang tidak dikenalnya itu, wajah yang tampan dan gagah sekali.
"Aku bernama Liem Siang Hong,"
Perwira muda itu memperkenalkan diri.
"Ketika tadi melihat kau disiksa oleh serdadu gila itu, aku lalu mencegahnya dan membawamu ke tempat ini."
Kwee Siong menghela napas panjang. Tubuhnya masih terasa sakit-sakit namun ia memaksakan diri bangkit dan duduk di atas pembaringan itu.
"Saudara yang gagah,"
Katanya setelah menghela napas.
"Dari pakaianmu aku dapat menduga bahwa kau seorang perwira. Mengapa kau menolong aku, Kwee Siong yang bernasib celaka, dari jurang kematian? Pertolonganmu hanya mendatangkan dua hal yang selalu membuat hatiku menyesal."
Ia menghela napas kembali. Liem-ciangkun (perwira Liem) atau Liem Siang Hong itu terkejut dan merasa heran mendengar ucapan ini.
"Apakah maksudmu, saudara Kwee? Mengapa kau seakan-akan sudah bosan hidup dan merasa menyesal karena tertolong dari maut?"
"Pertama, karena biarpun sekarang aku terlepas dari bahaya maut, tetap saja aku akan kembali ke sana dan tentu serdadu itu akan memukulku lagi sampai mati, mungkin dengan siksaan yang lebih hebat. Kedua, dengan pertolonganmu, berarti aku telah hutang budi kepadamu, dan dalam keadaanku seperti sekarang ini, bagaimana aku dapat membalas budi? Mati dengan hutang budi jauh lebih buruk daripada mati dengan melepas banyak budi."
Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo