Ceritasilat Novel Online

Wanita Iblis Pencabut Nyawa 6


Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo Bagian 6



"Sian Lun, berilah hormat kepada Li-goanswe (Jenderal Li),"

   Kata ibunya. Mendengar ucapan ini, teringatlah Sian Lun bahwa ia sedang berhadapan dengan Jenderal Li Goan pemimpin besar yang gagah perkasa dan namanya telah terkenal di seluruh daratan Tiongkok itu. Cepat-cepat ia memberi hormat dan mengusap air matanya, karena dihadapan seorang gagah, ia merasa malu untuk mengeluarkan air mata. Jenderal itu lalu menarik tangan Sian Lun, diajak bicara di ruang dalam, diikuti oleh Nyonya Liem Siang Hong yang menggandeng tangan puteranya.

   Ketika mereka berada di dalam, ternyata di ruang itu telah penuh dengan para orang-orang terkemuka, yakni pemimpin daripada pemberontakan yang dikepalai oleh jenderal Li Goan. Ketika Sian Lun datang, di dalam ruang itu sedang diadakan pertemuan yang merundingkan tentang pergerakan mereka. Di antara mereka terdapat juga Kwee Siong, yang segera menyambut dan memeluk Sian Lun sambil mengeluarkan airmata juga. Sian Lun amat terharu dan girang melihat pamannya yang amat dikasihinya itu berada pula di tempat itu.

   "Kebetulan sekali putera mendiang saudara Liem Siang Hong telah datang dan melihat keadaannya, aku percaya bahwa di antara kita semua, dia seoranglah yang paling boleh dihandalkan tenaganya!"

   Kata jenderal itu kepada semua orang yang hadir.

   "Kita amat membutuhkan tenaga seperti Liem Sian Lun ini dan alangkah bahagia rasa hatiku bisa mendapat bantuannya?"

   "Aku akan membantu sekuat tenaga!"

   Kata Liem Sian Lun dengan penuh semangat.

   "Kalau perlu, sekarang juga hamba bersedia untuk menyerbu!"

   Sambungnya sambil menghadapi jenderal yang gagah itu. Jenderal Li Goan lalu melanjutkan siasat dan rencananya yang tadi tertunda oleh kedatangan Sian Lun. Dengan singkat ia menceritakan tentang tugas yang dilakukan oleh mendiang panglima Liem Siang Hong dan betapa panglima itu tewas karena dihukum oleh kaisar.

   "Sekaranglah waktunya bagi kita untuk bergerak dan menggempur Tiang-an,"

   Katanya.

   "Balatentara kaisar sedang dikerahkan ke berbagai daerah untuk membendung barisan-barisan petani yang sedang membanjir dari segala jurusan. Kalau kita melakukan serangan tiba-tiba, tidak akan sukar bagi kita untuk merebut dan menguasai Tiang-an. Jenderal yang pandai dan telah banyak pengalamannya tentang siasat peperangan ini lalu memecah barisannya menjadi dua rombongan dan mengatur siasat untuk menyerbu Tiang-an dari dua jurusan, yakni dari selatan dan barat.

   Barisan yang menyerbu dari selatan akan dipimpin sendiri, adapun yang dari barat akan diserahkan kepada Liem Sian Lun untuk dipimpin. Pengangkatan-pengangkatan diadakan, dan Kwee Siong dipilih sebagai penasehat dan sebagai hakim tertinggi yang memeriksa dan menjatuhkan hukuman kepada para tawanan. Orang she Kwee ini yang memiliki sifat lemah lembut dan jujur, dipercayai untuk membujuk para tawanan sehingga mereka itu mau tunduk dan membantu perjuangan mereka. Kalau tidak perlu, maka pertumpahan darah antara bangsa sendiri akan dicegah. Juga Kwee Siong mendapat tugas untuk memeriksa dan mengadili anggauta-anggauta sendiri yang menyeleweng. Pendeknya Kwee Siong mendapat kekuasaan penuh sebagai hakim tertinggi.

   "Bahkan aku sendiri kalau dianggap menyeleweng dan tidak benar, saudara Kwee berhak untuk menangkap dan mengadili!"

   Kata Jenderal Li yang gagah itu.

   Semua orang setuju sekali dan demikianlah, pada keesokan harinya barisan yang ratusan ribu orang jumlahnya itu dikerahkan, lalu bagaikan air bah barisan ini menuju Tiang-an. Makin dekat dengan Tiang-an, dua barisan yang bergerak dari selatan dan barat ini makin bertambah jumlahnya karena banyaknya rakyat yang menjadi suka rela dan membantu perjuangan ini. Dengan girang Sian Lun melihat betapa di antara para sukarelawan ini banyak terdapat pendeta-pendeta Pek-sim-kauw. Kwee Siong ikut pula dalam barisan Sian Lun, karena Kwee Siong ingin berjuang dekat dengan keponakannya yang tercinta ini. Ketika kedua orang ini berangkat, mereka di antar oleh keluarga mereka, yakni nyonya Liem Siang Hong, nyonya Kwee Siong, dan Kwee Cun yang masih kecil.

   "Kalau aku sudah besar, aku akan membantu engko Sian Lun bertempur!"

   Kata Kwee Cun dengan gagah. Sian Lun memondong anak itu dan berkata,

   "Kelak kau akan menjadi seorang yang lebih gagah dari pada semua pahlawan!"

   Sian Lun memesan kepada ibunya agar baik-baik menjaga diri, sedangkan Kwee Siong yang sudah meninggalkan rumahnya di kotaraja, berpesan kepada isterinya agar isteri dan anaknya tinggal bersama dengan nyonya Liem Siang Hong. Tepat sebagaimana telah diperhitungkan oleh Jenderal Li Goan, pertahanan barisan kerajaan di kota raja tidak kuat, karena balatentara kerajaan telah dipecah-pecah untuk memadamkan pemberontakan yang timbul di mana-mana.

   Hanya pasukan-pasukan yang kecil jumlahnya saja yang melakukan perlawanan terhadap barisan yang dipimpin oleh Jenderal Li Goan dan oleh Liem Sian Lun. Pasukan-pasukan kerajaan ini dengan mudah dihancurkan, sebagian besar ditawan dan bahkan ada yang menyerah dan menggabungkan diri dengan barisan pemberontak. Liem Siang Hong memimpin pasukannya menyerbu kota raja dari barat, ketika sudah tiba di luar tembok kota, barisannya dihadang oleh sepasukan tentara kerajaan yang besar juga jumlahnya dan nampak kuat, teratur baik, dan dikepalai oleh seorang panglima berkuda putih yang tinggi besar. Panglima yang bertubuh seperti seorang raksasa itu duduk di atas kudanya dan suaranya seperti geluduk ketika ia menantang,

   "Barisan pemberontak! Apakah kalian sudah bosan hidup dan berani menghadapi tentara dibawah pimpinanku?"

   Sambil berkata demikian, ia mencabut pedangnya dan memutar pedang itu di atas kepala sehingga nampaklah sinar yang kekuningan dan terdengar suara nyaring ketika pedang itu memecahkan hawa disekitarnya. Melhat lagak panglima barisan kerajaan Sui ini, Sian Lun diam-diam kagum. Pamglima itu benar-benar gagah dan amat pantas dalam pakaian perangnya.

   "Siapakah dia, Kwee-siokhu (paman Kwee)?"

   Tanyanya kepada Kwee Siong yang duduk di atas kuda, di sebelahnya.

   "Dia adalah seorang jenderal muda yang amat gagah perkasa, bernama Kwan Sun Giok. Ia dulu mengepalai barisan penjaga tapal batas di sebelah selatan. Hati-hatilah, Sian Lun. Ia amat gagah dan berkepandaian tinggi,"

   Jawab Kwee Siong sambil mengerutkan kening. Memang ia sudah mendengar nama jenderal muda ini yang benar-benar amat terkenal gagah perkasa tak terlawan. Sementara itu, jenderal muda Kwan Sun Giok sudah melihat Kwee Siong, maka ia menudingkan pedangnya dan membentak keras.

   "Orang she Kwee! Kau benar-benar anjing tak mengenal budi! Kaisar telah memberi anugerah kepadamu, akan tetapi siapa kira kau sekarang bahkan menggabungkan diri dengan pemberontak. Mana anjing tua Li Goan? Suruh dia maju dan lekas berlutut minta ampun untuk ku bawa menghadap kepada kaisar!"

   "Kwan Sun Giok!"

   Sian Lun berseru marah sambil menggerakkan kudanya, maju menghadapi panglima itu.

   "Alangkah besar mulutmu! Kaisar yang lalim dan membikin sengsara rakyat tidak patut memegang pemerintahan lagi, dan kau orang yang tolol dan buta agaknya hanya mabok oleh kesenangan dan harta benda kotor yang diberikan oleh kaisar kepadamu. Tahukah kau harta benda siapa yang menyenangkan hidupmu? Keringat dan darah rakyatlah yang kaupergunakan untuk berfoya-foya setiap hari bersama seluruh pembesar-pembesar jahat. Untuk menghadapi orang macam kau, tidak perlu Li goanswe yang maju, cukup dengan pedangku saja!"

   Bukan main marahnya Kwan Sun Giok mendengar ini. Ia membuka lebar-lebar kedua matanya dan memandang kepada Sian Lun.

   "Siapa kau?"

   Tanyanya dengan suara keras sehingga mengejutkan kuda yang ditungganggi oleh Sian Lun.

   "Aku tidak sudi berusan dan bicara dengan segala serdadu pemberontak. Suruh pemimpin barisan ini maju!"

   "Akulah pemimpinnya,"

   Jawab pemuda itu.

   "Kau...!?? Kwan Sun Giok membelalakan matanya dan kemudian sambil berdongak, ia tertawa terbahak-bahak, memegangi perutnya yang besar penuh arak.

   "Ha, ha, ha, ha! Agaknya anjing tua Li Goan sudah kehabisan panglima! Ia takut menghadapi aku dan menyuruh bocah ini mengantarkan nyawa. Ha, ha!"

   "Sian Lun, jangan layani dia dan berilah perintah kepada barisan untuk menyerbu saja!"

   Kata Kwee Siong perlahan, karena orang tua ini khawatir kalau-kalau Sian Lun tidak dapat menandingi perwira yang tangguh ini. Akan tetapi Sian Lun tidak mau memperlihatkan kelemahannya dan bahkan menantang.

   "Kwan Sun Giok, tak perlu banyak bertingkah dan menjual kesombongan. Kalau kau memang gagah, marilah kita bertempur mengadu kepandaian, disaksikan oleh barisan kita!"

   "Baik, baik! Kalau kau dapat menangkan aku, biarlah semua tentaraku kau anggap kalah saja!"

   Jenderal itu menantang sambil melompat turun dari atas kudanya. Sian Lun juga melompat turun dari kudanya dan mencabut pedangnya. Setelah berdiri di atas tanah, nampaklah oleh Sian Lun betapa panglima musuh itu benar-benar tinggi besar. Akan tetapi sedikitpun pemuda ini tidak merasa jerih dan berpesan kepada Kwee Siong agar supaya jangan menggerakkan tentara lebih dulu sebelum selesai pertandingan ini.

   "Bocah yang masih ingusan!"

   Jenderal Kwan membentak sambil memutar pedangnya.

   "Bersiaplah untuk terima binasa!"

   Kemudian ia maju menyerbu dan mengirim bacokan dengan pedangnya. Sian Lun melihat gulungan sinar kuning menyambar ke arahnya dan ia maklum bahwa selain pedang di tangan lawannya ini amat tajam dan berbahaya, juga tenaga lawannya benar-benar hebat.

   Ia cepat mengelak ke kiri, lalu membalas dengan tusukan pedangnya ke arah perut lawannya. Kwan Sun Giok tercengang juga melihat kegesitan lawannya yang masih muda ini, maka ia cepat menggerakkan pedang dengan sekuat tenaga untuk menangkis pedang lawan. Akan tetapi Sian Lun bukanlah seorang pemuda yang bodoh. Ia maklum akan tajamnya pedang lawan yang mengeluarkan sinar kuning itu, maka tentu saja ia tidak mau mengadu senjata. Ia menarik kembali pedangnya dan cepat mengirim serangan-serangan lagi secara bertubi-tubi. Pedangnya berobah menjadi segulungan sinar putih yang amat kuat, lebar dan cepat gerakannya, berputar-putar bagaikan seekor elang mengitari dan menyambar kurbannya.

   Makin heran dan terkejutlah Kwan Sun Giok menyaksikan kehebatan ilmu pedang lawan. Tak disangkanya sama sekali bahwa panglima pemberontak yang muda ini memiliki ilmu pedang yang demikian tingginya. Panglima kerajaan Sui ini lalu membentak nyaring dan mainkan ilmu-ilmu pedang yang banyak dipelajarinya. Jenderal muda ini memang amat tangkas, bertenaga besar dan telah mempelajari banyak macam ilmu pedang., di antaranya dari Go-bi-pai, Bu-tong-pai dan Siauw-lim-pai. Sayang sekali, bahwa biarpun pengertiannya amat banyak, namun tidak sebuahpun dari pada ilmu-ilmu pedang itu ia pelajari sampai sempurna. Betapapun juga, tidak mudah bagi Sian Lun untuk mengalahkan lawannya dalam waktu singkat.

   Tidak saja gerakan jenderal itu cukup gesit dan tenaganya amat besar, akan tetapi terutama sekali karena ia tidak berani mencoba mengadu pedangnya dengan pokiam (pedang mustika) lawan. Sian Lun hanya mengerahkan ginkangnya dan bergerak cepat sekali, mengirim serangan-serangan dengan ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat, dan kadang-kadang juga mengeluarkan ilmu pedang dari Kun-lun-pai yang dipelajarinya dari Beng To Siansu. Akan tetapi ternyata bahwa jenderal itupun mengenal ilmu pedang Kun-lun Kiam-hoat, maka dapat mengimbanginya. Terpaksa Sian Lun lalu mengerahkan ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat yang benar-benar hebat dan belum dikenal oleh jenderal ini. Setelah bertempur lima puluh jurus belum juga berhasil mengalahkan Sian Lun, Jenderal Kwan Sun Giok lalu membentak sambil menahan pedangnya.

   "Tunggu dulu, aku tidak suka bertempur melawan orang yang tidak bernama! Melihat ilmu pedangmu, kau tentu seorang murid dari guru yang pandai. Siapa namamu dan siapa pula gurumu?"

   Sian Lun tersenyum mengejek.

   "Butakah matamu bahwa aku tadi mainkan ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat? Kalau kau mengenal Pek-sim-kiam-hoat, tentu kau tahu bahwa aku adalah murid dari Liang Gi Cinjin, namaku Liem Sian Lun!"

   Terkejut juga jenderal Kwan mendengar bahwa pemuda ini adalah murid dari Liang Gi Cinjin, maka ia cepat berkata,

   "Kalau begitu, kau adalah suteku (adik seperguruan). Aku adalah murid dari Liang Hwat Cinjin yang menjadi suheng dari gurumu!"

   Liang Gi Cinjin tidak pernah bercerita kepada Sian Lun bahwa kakek sakti itu mempunyai seorang suheng, maka Sian Lun belum pernah mendengar nama Liang Hwat Cinjin. Akan tetapi, ia tidak berani menuduh jenderal itu membohong, hanya menjawab keras,

   "Hubungan itu tidak menghalangi untuk aku memusuhimu, karena jalan kita berselisih. Kalau kau dan pasukanmu suka menyerah dan menggabung untuk bersama-sama melenyapkan kaisar lalim dan menolong rakyat jelata, tidak keberatan bagiku untuk mempercayai omonganmu tadi."

   Jenderal Kwan Sun Giok menjadi marah sekali. Ia memberi aba-aba untuk menyerbu kepada semua perwira pembantu dan barisannya. Kemudian ia sendiri menyerang lagi kepada Sian Lun dengan sekuat tenaga. Sian Lun juga memberi tanda kepada Kwee Siong yang segera memberi perintah kepada para perajurit untuk menyerbu, sedangkan serangan Kwan Sun Giok yang hebat sekali itu terpaksa ditangkis oleh Sian Lun dengan pedangnya. Akan tetapi akibatnya membuat Sian Lun merasa terkejut sekali karena terdengar bunyi keras dan tahu-tahu pedang di tangannya telah putus menjadi dua.

   "Ha, ha, ha! Mampuslah kau!"

   Sun Giok tertawa bergelak, akan tetapi suara ketawanya ini ditutup oleh pekik mengerikan ketika Sian Lun menyerbu dengan gerak tipu Raja Monyet Merebut Mahkota, sebuah tipu gerakan dari ilmu silat Kun-lun-pai yang paling tinggi. Gerakannya yang amat cepat itu tidak tersangka sama sekali oleh lawannya sehingga tahu-tahu tangan kirinya telah merampas pedang lawan sedangkan tangan kanannya mengirim pukulan yang tepat mengenai ulu hati Jenderal Kwan Sun Giok.

   Pedang berpindah tangan dan tubuh Kwan Sun Giok yang tinggi besar itu terhuyung-huyung ke belakang, kemudian jatuh terjengkang dalam keadaan mati dan dari mulutnya mengalir darah merah. Sementara itu, kedua pihak telah bertempur hebat sekali dan banyak nampak jatuh korban. Tentara di bawah pimpinan Kwan Sun Giok ini adalah tentara pilihan yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian cukup terlatih. Melihat ini, Sian Lun lalu mempergunakan pedang rampasannya tadi mengamuk bagaikan naga sakti menyambar. Baru segebrakan saja, lima orang perwira musuh telah ronoh mandi darah. Sepak terjang yang gagah dari Sian Lun ini membangunkan semangat anak buahnya dan melemahkan semangat lawannya. Apalagi ketika pemuda itu melompat ke atas sebuah tempat yang tinggi, lalu menggerak-gerakkan pedang rampasannya sambil berseru keras.

   "Dengarlah, para perajurit dari kerajaan Sui! Kalian sebagai anggauta rakyat jelata, tentu sudah maklum akan kelaliman raja! Kami datang bukan untuk memusuhi kalian, melainkan untuk membebaskan rakyat dari penindasan, untuk menumbangkan kekuasaan raja yang sewenang-wenang! Menyerahlah dan mari kita bersama menjadi pembela rakyat! Yang menyerah akan dianggap kawan, akan tetapi yang tetap berkeras kepala membela raja lalim pasti akan mampus di ujung pedangku!"

   Ketika mengeluarkan ucapan ini, Sian Lun mengerahkan khikangnya dan suaranya terdengar keras sekali, menimbulkan gema yang terdengar sampai jauh. Ucapan ini amat berpengaruh, karena pihak musuh menjadi ragu-ragu untuk melanjutkan perlawanan mereka.

   Kalau jenderal Kwan Sun Giok yang demikian gagah perkasa masih roboh di tangan pemuda yang hebat itu, apalagi mereka. Setelah melihat pihak-pihaknya banyak yang roboh, sebagian besar daripada tentara kerajaan itu lalu melepaskan senjata dan berlutut menyerah. Dengan mendapat kemenangan besar serta dapat merampas sebatang pedang pusaka yang ampuh, Sian Lun lalu memimpin barisannya menyerbu kota raja yang tidak begitu kuat lagi penjagaannya. Kalau barisan yang dipimpin oleh Sian Lun hanya menghadapi perlawanan yang ringan, dan hanya Jenderal Kwan Sun Giok saja yang merupakan penghalang yang disebut kuat, adalah barisan yang dipimpin oleh Jenderal Besar Li Goan mengalami perlawanan yang amat gigih daripada tentara kerajaan. Barisan pemberontak ini yang bergerak dari selatan,

   Jauh sebelum tiba di pintu gerbang kota raja, telah mengalami perlawanan yang amat hebat dari tiga jurusan, yakni barisan-barisan kerajaan di bawah pimpinan panglima-panglima Song, Cia, dan Wong. Tiga pasukan yang besar jumlahnya ini baru saja kembali dari tugas pembersihan di bagian timur dan melihat pergerakan barisan pemberontak dari Tai-goan, segera mengepung dan menyerangnya. Panglima-panglima yang bernama Song Kian Hi, Cia Soan Kun, dan Wong Pak ini adalah panglima-panglima besar yang berkepandaian tinggi, baik dalam ilmu silat maupun dalam ilmu kemiliteran, mengatur barisan. Jenderal besar Li Goan menjadi agak kewalahan menghadapi kepungan musuh ini, terutama sekali tiga orang panglima itu mengamuk dengan amat dahsyatnya, sukar sekali ditahan. Banyak perwira pembantu Jenderal Li Goan tewas dibawah amukan tiga orang panglima musuh itu.

   Jenderal Li Goan sendiri maju dan hanya dia seorang yang masih berhasil menahan desakan tiga orang lawan ini. Song Kian Hi bersenjata tombak panjang, gerakan tombaknya luar biasa kuatnya. Cia Soan Kun adalah ahli main golok yang tangguh sekali, sedangkan Wong Pak memiliki toyanya yang amat berbahaya karena ia pandai main ilmu toya Raja Kera Puti. Dibantu oleh dua orang perwira lain, Li Goan bertempur hebat menghadapi tiga orang panglima kaisar ini, sedangkan barisannya yang terkepung dari tiga penjuru itupun mengadakan perlawanan mati-matian. Tiba-tiba dua orang perwiranya yang menghadapi Cia Soan Kun dan Wong Pak berseru keras dan roboh mandi darah menjadi korban senjata lawan. Kini Li Goan dikeroyok tiga oleh tiga orang panglima kosen itu. Untung sekali bahwa Jenderal Li Goan adalah seorang peperangan kawakan yang tinggi ilmu silatnya.

   Ia memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga seluruh tubuhnya terlindung oleh gulungan sinar pedang dan tidak mudahlah bagi tiga orang pengeroyoknya untuk merobohkan jenderal besar ini. Pada saat itu, terdengar teriakan-teriakan ngeri dan beberapa orang tentara kerajaan roboh bagaikan rumput dibabat. Ternyata dua orang wanita telah mengamuk menggerakkan pedang dan menyerbu masuk. Dua orang wanita ini adalah Sui Giok dan Ling Ling. Yang lebih menyeramkan adalah Ling Ling, karena dengan Pek-hong-kiam di tangan, ia merupakan halilintar yang menyambar-nyambar tanpa mengenal ampun lagi. Akhirnya mereka berdua tiba di tempat Jenderal Li Goan dikeroyok. Melihat pakaian tiga orang panglima itu, tahulah Sui Giok bahwa pengeroyok-pengeroyok itu adalah panglima-panglima tinggi dari kaisar, maka ia lalu berseru kepada anaknya.

   "Kita basmi tiga orang panglima kaisar lalim itu!"

   Sui Giok dan Ling Ling segera maju menolong jenderal yang sedang terdesak hebat itu, dan membuat tiga orang panglima itu marah sekali.

   "Pemberontak rendah, kau sudah bosan hidup!"

   Teriak Song Kian Hi sambil menyambut serbuan Ling Ling, Cia Soan Kun bertempur dengan Sui Giok dan kini Jenderal Li Goan hanya menghadapi serangan Wong Pak seorang.

   Pertempuran menjadi lebih ramai lagi, akan tetapi kini keadaannya menjadi terbalik. Betapapun hebat permainan tombak Song Kian Hi, orang terkuat di antara ketiga panglima itu, namun menghadapi permainan pedang dari Ling Ling, ia tidak berdaya. Belum juga dua puluh jurus mereka bertempur, ujung pedang Ling Ling telah berhasil membabat putus ujung tombaknya dan dengan gerakan yang amat aneh, cepat dan tak terduga, pedang Pek-hong-kiam telah menembus dada panglima she Song itu. Hampir berbareng dengan robohnya Song Kian Hi, panglima ke tiga Wong Pak juga roboh terkena tendangan yang berat dari Jenderal Li Goan. Sui Giok tidak mau kalah dan ia mempercepat gerakan pedangnya, maka tak lama kemudian, Cia Soan Kun juga memekik keras dan tubuhnya terhuyung roboh dengan pundak kiri terbabat putus.

   "Terima kasih, jiwi lihiap!"

   Kata jenderal Li Goan dengan singkat oleh karena ketiganya harus bergerak pula mainkan senjata menghadapi perwira-perwira lawan. Akan tetapi kini perlawanan pihak tentara kerajaan tidak bersemangat lagi. Kemudian nampak Jenderal Li Goan dengan gagahnya melompat ke tempat tinggi sambil memegang rambut dari tiga kepala orang yang sudah putus lehernya.

   "Lihat kepala siapa ini! Siapa menyerah akan diampuni nyawanya!"

   Teriakannya keras sekali karena ia mempergunakan tenaga khikang dari dalam perut.

   Ketika balatentara kerajaan berikut para perwiranya melihat bahwa kepala yang kini tergantung pada tangan jenderal besar itu adalah kepala tiga orang panglima, pemimpin mereka, semua orang menjadi ketakutan. Ada yang melarikan diri, ada yang berlutut sambil melepaskan senjata. Dengan demikian, Li Goan mendapat kemenangan besar dan segera memberi perintah untuk menyerbu masuk ke dalam kota raja. Ketika jenderal ini memandang ke sana ke mari hendak mencari dua orang wanita yang tadi membantunya, ternyata bahwa kedua orang wanita gagah itu telah lenyap tak nampak bayangannya lagi. Akan tetapi oleh karena perjuangan masih belum selesai dan jenderal Li Goan masih sibuk menghadapi penyerbuan ke dalam kota raja, maka ia tidak dapat mencurahkan perhatiannya kepada dua orang wanita gagah yang membantunya itu.

   Ia memimpin tentaranya masuk ke dalam kota raja, setelah menyerbu para penjaga tembok benteng dan mendobrak pintu gerbangnya. Pada saat hampir bersamaan, balatentara pemberontak yang dipimpin oleh Liem Sian Lun juga berhasil membobol pertahanan para penjaga benteng dan dengan sorak sorai yang ramai sekali barisan ini menyerbu masuk dari lain jurusan. Dengan mudahnya barisan

   (Lanjut ke Jilid 06)

   Wanita Iblis Pencabut Nyawa/Toat Beng Mo Li (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 06

   penjaga kaisar dipukul hancur dan Li Goan memimpin pasukannya menyerbu istana kaisar. Akan tetapi ternyata bahwa siang-siang kaisar telah melarikan diri dan mengungsi ke Yang-kouw. Liem Sian Lun bertemu dengan Jenderal Li Goan yang merasa girang dan memuji pemuda itu atas hasil serbuannya dan menyerahkan pedang rampasannya yang dapat dirampas dari tangan Panglima Sui yang bernama Kwan Sun Giok. Ketika Li Goan menerima dan memeriksa pedang itu, terkejutlah dia,

   "Aah...! Inilah pedang Oei Hong Kiam! Pedang ini adalah milik Panglima Besar Kam Kok Han yang gagah perkasa dan yang kemudian dibunuh secara mengecewakan. Pedang ini patut sekali dipergunakan sebagai pedang pusaka kerajaan baru, karena ia menjadi lambang kegagahan dan kepahlawanan seorang patriot besar. Dengan pedang ini pula menteri-menteri dorna yang telah mengacaukan negara dan memeras rakyat akan kupenggal lehernya!"

   Sambil berkata demikian, Jenderal Li Goan lalu menggerak-gerakkan pedang itu sehingga nampaklah gulungan sinar kuning yang menyilaukan mata. Sian Lun memandang kagum. Jenderal itu nampak agung, gagah, dan berpengaruh sekali memegang pedang yang sakti itu. Sebagai ganti jasa atas kemenangan Sian Lun, pemuda itu lalu menerima pengangkatan sebagai panglima muda dan menerima pula sebilah pedang pusaka, yakni pedang Gi-tiang-kiam, pedang mustika yang diwariskan turun-temurun oleh nenek moyang Jenderal Li Goan. Jenderal Li Goan lalu mengumpulkan semua pemimpin barisan yang kini telah diangkatnya menjadi perwira-perwira, dan dengan kata-kata keras ia memberi perintah,

   "Cuwi-ciangkun! Berkat kerja sama dan semangat kepahlawanan seluruh barisan, akhirnya kita berhasil menggulingkan tahta kerajaan Kaisar Yang Te dan menduduki Tiang-an! Sungguhpun kaisar sendiri berhasil mengungsi, akan tetapi kerajaan dan singgasana telah berada di tangan kita. Sekarang kita harus bertindak tegas, membuktikan kemauan kita yang baik dan perjuangan kita yang suci. Para pembesar yang kini masih berada di kota, tangkap dan tahan semua, akan tetapi jangan sekali-kali melakukan tindak hukum sendiri-sendiri. Semua tawanan baru harus diserahkan kepada Hakim Agung kita, saudara Kwee Siong. Hanya dialah seorang yang berhak memutuskan hukuman atau pembebasan seorang tawanan. Juga awaslah terhadap penyelewengan-penyelewengan para perajurit!"

   Pada saat Jenderal Li Goan sedang berunding dengan para perwira, tiba-tiba datanglah seorang perwira yang bicara dengan gugup.

   "Celaka, tai-goanswe! Di sebelah barat jalan raya terdapat orang mengamuk. Banyak perajurit dia tewaskan dan kepandaiannya amat tinggi!"

   Mendengar ini, Sian Lun lalu melangkah maju dan berkata,

   "Biarlah hamba diberi ijin menangkap perusuh itu!"

   Li Goan memberi persetujuan dan berangkatlah Sian Lun keluar dari istana itu sambil membawa pedangnya Gi-tiang-kiam. Sebetulnya apakah yang terjadi di tempat keributan itu? Orang yang mengamuk itu bukan lain adalah Ling Ling bersama ibunya. Kedua orang wanita gagah ini, terutama sekali Ling Ling, sedang mengamuk hebat, dikeroyok oleh sepuluh orang perajurit dan sudah banyak yang roboh tewas di bawah pedang Ling Ling yang digerakkan sedemikian rupa sehingga yang nampak hanya sinar merah yang menyilaukan saja. Mengapa Ling Ling menjadi begitu marah dan mengamuk? Hal ini diakibatkan oleh penyelewengan para perajurit.

   Memang tidak mengherankan apabila di dalam suatu peperangan, pihak yang menang selalu tergoda oleh setan angkara murka dan bertindak sewenang-wenang. Demikianlah, maka banyak juga anggauta tentara dari barisan Jenderal Li Goan yang menang perang itu, setelah memasuki kota, lalu melakukan perampokan dan penculikan terhadap kaum wanita. Serombongan tentara terdiri dari tujuh orang dengan kurang ajar sekali melakukan perampokan dan menyeret keluar orang-orang wanita, keluarga dari para bangsawan. Pekik orang-orang yang terbunuh, jerit wanita-wanita yang diculik keluar dari rumah, menarik perhatian Ling Ling dan ibunya yang juga diam-diam sudah ikut masuk ke dalam kota yang diduduki oleh barisan Jenderal Li Goan itu. Ketika Ling Ling melihat tujuh orang perajurit merampok dan mengganggu wanita, ia menjadi marah sekali.

   "Kurang ajar! Beginikah macamnya orang-orang yang menyebut dirinya sebagai patriot-patriot?"

   Bentaknya dan sekali tubuhnya berkelebat, ia telah menjambak rambut kepala seorang tentara yang sedang menyeret seorang gadis bangsawan dan begitu ia mengerahkan tenaga, perajurit yang nyeleweng itu terlempar jauh, menjerit ketakutan dan ketika jatuh ke atas tanah ia tak dapat bergerak lagi. Ling Ling yang dibantu pula oleh ibunya lalu bergerak cepat dan tujuh orang perajurit yang berlaku sewenang-wenang itu sebentar saja menggeletak semua dalam keadaan terluka hebat.

   Tentu saja para anggauta tentara lainnya yang melihat kawan-kawan mereka dihajar oleh dua orang wanita itu, lalu beramai-ramai menyerbu dan mengeroyok. Sebagian besar di antara mereka berlumba untuk dapat menangkap Ling Ling yang demikian cantik jelita. Akan tetapi mereka itu kecele, karena gadis manis ini bukanlah sembarangan orang yang dapat ditangkap begitu saja. Belum juga mereka dapat mengulur tangan, tubuh mereka telah roboh kena pukulan atau tendangan Ling Ling dan ibunya yang mengamuk bagaikan dua ekor naga betina yang marah. Sudah menjadi lazim bahwa di antara anggauta tentara terdapat rasa setia kawan yang amat besar. Mereka tentu saja selalu membantu kawan-kawan mereka tanpa memeriksa dulu apakah kawan-kawan itu bertindak salah atau bertindak benar.

   Demikianlah, makin banyaklah perajurit-perajurit yang mengurung dan mengeroyok Ling Ling dan ibunya, bahkan kini mereka itu telah mencabut senjata dan kini tak seorangpun yang ingin menangkap dan memeluk Ling Ling, melainkan menyerang dengan maksud membunuh. Ling Ling dan ibunya sudah terlampau banyak merobohkan kawan-kawan mereka, melukai bahkan membunuh. Kini mereka mengamuk dan mengeroyok dua orang wanita itu untuk dibunuh. Akan tetapi, keroyokan yang sungguh-sungguh ini bahkan membuat Ling Ling dan ibunya makin menjadi marah. Kini Ling Ling dan tidak ragu-ragu lagi untuk mencabut pedangnya dan berkelebatlah sinar merah mengamuk dengan hebat sekali. Para perwira yang mendengar keributan itu mulai tertarik dan datang ke tempat itu. Akan tetapi mereka juga tidak berdaya menghadapi Ling Ling yang sudah menjadi amat marah itu.

   "Tidak tahunya pemberontak-pemberontak yang menggulingkan pemerintahan lama adalah perampok-perampok jahat!"

   Seru Ling Ling di antara amukannya.

   "Sama halnya dengan mengusir harimau mendatangkan srigala! Ibu, mari kita basmi mereka semua ini!"

   "Ling Ling!"

   Teriak Sui Giok sambil memutar pedangnya.

   "jangan sembarangan membunuh! Cukup asal kau menjatuhkan mereka dengan melukai kaki mereka saja. Tak perlu kita melakukan pembunuhan. Lebih baik kita melaporkan kepada panglima yang berkuasa!"

   Betapapun juga, Sui Giok masih lebih sabar dan dapat menduga bahwa tidak semua perajurit berlaku sewenang-wenang terhadap penduduk kota itu yang sebagian besar terdiri dari para bangsawan. Akan tetapi mana Ling Ling mau menaruh hati kasihan kepada para pengeroyoknya? Pada saat itu, terdengar bentakan keras,

   "Semua perajurit, mundur!"

   Dan berkelebatlah bayangan yang gesit sekali menghadapi Ling Ling dan Sui Giok.

   Perajurit-perajurit yang tadinya mengeroyok dua orang wanita itu, ketika melihat siapa orangnya yang datang, menjadi lega dan cepat melakukan perintah itu, dan melompat mundur menjauhi kedua orang wanita itu. Ling Ling dan Sui Giok memandang dan mereka melihat seorang pemuda dengan pedang bersinar gemilang di tangan kanan berdiri dengan gagahnya. Adapun Sian Lun ketika melihat Ling Ling, ia menjadi kagum sekali dan untuk beberapa lama tak dapat mengeluarkan suara. Tak terasa lagi mereka berdua saling pandang sampai lama sekali dan akhirnya Sian Lun menjadi merah mukanya. Bagaimana ia bisa tertarik kepada seorang gadis yang agaknya membantu kaisar dan telah merobohkan banyak sekali anak buahnya. Akan tetapi, untuk menegur gadis itu, hatinya merasa berat sekali. Ketika melihat wanita kedua, seorang nyonya setengah tua yang juga cantik sekali, ia lalu menegur,

   "Toanio, mengapakah kau dan kawanmu mengamuk dan membunuh banyak perajurit? Apakah kalian ini menjadi pembela-pembela kaisar lalim?"

   Akan tetapi sebelum Sui Giok sempat menjawab, Ling Ling sudah mendahului ibunya dan membentak.

   "Kaukah yang mengepalai semua bangsat-bangsat perampok ini? Bagus, kalau begitu rasakan tajamnya pedangku!"

   Sambil berkata demikian, Ling Ling lalu maju menyerang dengan pedangnya yang bersinar merah.

   Sian Lun menjadi mendongkol dan marah sekali. Nona ini ternyata amat galak dan telah berani memaki perajurit-perajuritnya sebagai bangsat perampok. Tanpa banyak cakap iapun menangkis serangan itu dengan pedang Gi-tiang-kiam dan membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya. Terkejutlah keduanya ketika pedang mereka bertemu, karena mereka merasa betapa telapak tangan mereka pedas dan tergetar, sedangkan kedua pedang itu mengeluarkan titik bunga api. Pertempuran dilanjutkan dengan hebat dan makin lama keduanya menjadi makin heran, kagum dan kaget. Ilmu pedang lawan benar-benar kuat dan tinggi sekali. Mereka sama gesit, sama kuat dan sama pandai. Betapun juga, lambat laun Ling Ling merasa betapa ilmu pedang pemuda itu benar-benar amat mengagumkan dan gerakannya lebih tenang dan kuat dari pada gerakan pedangnya sendiri.

   Memang, sesungguhnya Sian Lun masih menang sedikit ilmu pedangnya, karena selain ia telah menerima gemblengan dari suhunya, Beng To Siansu, iapun telah mewarisi ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat dari Liang Gi Cinjin. Seratus jurus telah lewat akan tetapi kedua orang muda itu masih saling serang dengan hebatnya. Biarpun dalam keadaan terdesak, gadis yang tabah itu tidak menjadi gentar, bahkan ia lalu mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk merobohkan lawan. Bagi Sian Lun, ia makin tertarik kepada gadis ini dan hatinya tidak tega untuk melukainya. Maka ia berlaku hati-hati dan tidak mau melakukan serangan-serangan maut, sehingga keadaan mereka tetap berimbang. Sui Giok merasa gelisah sekali. Ia maklum bahwa kalau dilanjutkan, puterinya akan kalah. Akan tetapi, bagaimana ia dapat membantu?

   "Ling Ling, hayo kita pergi dari sini!"

   Teriaknya berulang-ulang karena kini para perwira lainnya telah mengurung tempat itu dan keadaan mereka amat terancam.

   "Tidak, ibu. Sebelum aku berhasil merobohkan cacing tanah ini, aku tidak mau pergi?"

   Jawab Ling Ling yang merasa penasaran sekali. Beberapa orang perwira hendak maju membantu Sian Lun, akan tetapi begitu Sui Giok memutar pedangnya menghadapi mereka, senjata tiga orang perwira telah terpental dan tubuh mereka kena disapu oleh kaki Sui Giok sehingga terguling-guling. Melihat kehebatan nyonya ini, terkejutlah semua perwira dan mereka tidak berani lagi maju mendekati. Pada saat itu, berkelebat bayangan orang tinggi besar dan terdengarlah seruannya yang menggeledek dan berpengaruh sekali.

   "Sian Lun, tahan! Nona pedang merah, harap kau bersabar dulu!"

   Mendengar seruan ini, Sian Lun lalu melompat mundur, karena yang datang adalah Jenderal Li Goan sendiri. Juga Ling Ling ketika melihat jenderal besar ini, menahan pedangnya. Akan tetapi ia berdiri tegak dan memandang kepada jenderal itu dengan pandangan mata tajam.

   "Kau mau apa, goanswe?"

   Tanyanya angkuh. Li Goan tersenyum dan berkata,

   "Kau dan panglimaku ini bertempur bagaikan dua ekor naga sakti saja! Sungguh hebat, sungguh indah dilihat, akan tetapi amat berbahaya!"

   Kemudian ia berpaling kepada Sui Giok dan mengangkat tangan memberi hormat, lalu berkata kepada ibu dan anak itu.

   "Jiwi lihiap, baru kemaren jiwi membantu barisanku mengalahkan barisan kaisar, akan tetapi mengapa hari ini jiwi telah melakukan hal sebaliknya? Mengapa jiwi menyerang para perajuritku dan bahkan menyerang panglimaku? Sungguh aneh sekali jiwi ini, kemaren menjadi pembantu sekarang menjadi lawan!"

   Jenderal ini bicara dengan suara yang jelas, tenang dan muka terang sehingga Sui Giok merasa malu. Akan tetapi Ling Ling menudingkan pedangnya kepada semua perajurit yang menggeletak di situ sambil berkata keras.

   
Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kemaren yang kami bantu adalah barisan orang-orang gagah yang berjuang menumbangkan kekuasaan raja lalim. Akan tetapi hari ini kami menyerang barisan perampok yang berlaku sewenang-wenang, merampok, membunuh, dan menculik wanita. Apanya yang aneh dalam perbuatan kami? Kaulah orangnya yang aneh, goanswe! Kemaren kau memimpin pasukan pejuang, apakah hari ini kau hendak membela dan memimpin perampok-perampok jahat macam ini?"

   Mendengar ucapan ini, bukan main malu dan marahnya jenderal itu. Mukanya yang gagah itu menjadi merah sampai ke telinganya. Tanpa menjawab kata-kata Ling Ling, ia memandang kepada seorang perajurit yang terluka, menghampirinya lalu menjambak rambutnya, dipaksa berdiri.

   "Siapa yang memimpin perampokan ini?"

   Tanyanya dengan suara bagaikan harimau mengaum. Perajurit yang terluka pahanya oleh pedang Ling Ling itu, menjadi pucat dan dengan bibir gemetar dan tubuh menggigil ia menjawab.

   "Hamba..., hamba hanya terbawa-bawa, yang menjadi biang keladinya adalah Ciu-twako itu..."

   Ia menuding ke arah seorang perajurit yang patah tulang pundaknya dan rebah merintih-rintih di atas tanah. Jenderal Li Goan melepaskan jambakannya, akan tetapi ia menendang tubuh perajurit itu sehingga tubuh itu terpental jauh dalam keadaan tak bernyawa lagi. Kemudian menghampiri perajurit she Ciu yang kini memandang dengan mata terbelalak takut. Semua orang, termasuk Ling Ling, Sui Giok, dan Sian Lun, memandang dengan diam tak mengeluarkan sedikitpun suara. Demikian pula para perajurit dan perwira. Keadaan menjadi sunyi sekali.

   "Kau mengaku telah membawa kawan-kawanmu merampok dan menculik wanita-wanita?"

   Tanyanya dengan suara mengguntur. Perajurit itu tidak berani mengeluarkan suara, bahkan tidak berani pula menatap pandang mata pemimpin besar itu. Ia menundukkan kepalanya dan tubuhnya menggigil seperti orang kedinginan.

   "Jawab!"

   Jenderal Li Goan membentak.

   "Hamba... hamba hanya merampok... bangsawan-bangsawan... kaki tangan kaisar..."

   "Bagaimana bunyi larangan ketiga dan kelima?"

   Suara Jenderal Li mengguntur lagi.

   "Ketiga... tidak boleh merampok..., kelima... tidak boleh mengganggu wanita..."

   "Bedebah, kau masih ingat larangannya, namun tetap kau langgar!"

   Srrrrt! Pedang yang mengeluarkan cahaya kuning tercabut dari pinggang jenderal itu dan sekali ia ayunkan pedangnya, putuslah leher perajurit yang menyeleweng tadi. Jenderal Li Goan lalu mengangkat pedang Oei Hong Kiam tinggi-tinggi, dan berkata dengan suara keras terhadap semua perwira dan perajurit.

   "Dengarlah semua, hai patriot-patriot bangsa sejati. Kalian telah mencucurkan peluh, mengeluarkan darah, mempertaruhkan nyawa untuk membela bangsa dan mengusir penindas rakyat. Perjuanganmu itu baru disebut suci dan bermanfaat apabila tidak kalian kotori dan nodai sendiri dengan perbuatan-perbuatan jahat seperti yang telah dilakukan oleh manusia-manusia ini. Jangan menjadi pelindung rakyat hanya di mulut saja, akan tetapi dihati selalu mencari kesempatan untuk memeras rakyat jelata. Contohnya perajurit yang kupenggal lehernya ini, siapa saja yang berani melakukan pelanggaran seperti dia, pedangku ini akan memenggal lehernya."

   Setelah berkata demikian, Jenderal Li Goan hendak memberi hormat kepada Sui Giok dan Ling Ling, akan tetapi ibu dan anak itu memandangnya dengan mata terbelalak. Pandangan mata Ling Ling dan Sui Giok sebenarnya bukan tertuju kepada wajah jenderal itu melainkan kepada pedang Oei Hong Kiam yang diangkat tinggi-tinggi oleh Jenderal Li Goan.

   "Oei Hong Kiam...!"

   Berseru Ling Ling dan ibunya hampir berbareng dan tiba-tiba wajah mereka menjadi beringas.

   Inilah pedang peninggalan Panglima Kam Kok Han yang telah dirampas oleh pembunuhnya. Sebelum menarik napas terakhir, Bu Lam Nio telah berpesan agar mereka berdua mencari dan membunuh pemegang pedang Oei Hong Kiam! Bagaikan mendapat komando, serentak Ling Ling dan Sui Giok menubruk maju dengan pedang mereka, menyerang Jenderal Li Goan yang sama sekali tidak menyangkanya. Baiknya jenderal besar ini memiliki ilmu silat tinggi, maka ketika dua pedang itu menyambarnya, ia masih dapat menangkis pedang Sui Giok dan mengelakkan diri dari tusukan pedang merah di tangan Ling Ling yang menyambar lehernya. Namun gerakan Ling Ling amat cepatnya sehingga biarpun jenderal itu berhasil menyelamatkan nyawanya masih saja ujung pundaknya terbabat sehingga baju dan kulit pundaknya terobek oleh ujung pedang.

   "Eh, gilakah kalian?"

   Jenderal Li Goan masih sempat berseru kaget, dan Sian Lun lalu menyerbu ke depan menghadapi amukan Ling Ling yang amat berbahaya ilmu pedangnya itu. Juga semua perwira mengurung maju sambil berteriak-teriak.

   "Tangkap pemberontak wanita! Bunuh mereka!"

   Ada pula yang berseru,

   "Mereka adalah siluman kejam! Bunuh!"

   Ling Ling tertawa bergelak dan dengan suara yang menyeramkan ia berseru,

   "Hayo, majulah! Keroyoklah Cialing Mo-li dan Toat-beng Mo-li! Kami tidak takut! Pemegang Oei Hong Kiam harus mampus di tangan kami!"

   Ia terus mengejar Jenderal Li Goan, akan tetapi oleh karena Sian Lun menghalanginya, dengan sengit dan marah sekali ia lalu menyerang Sian Lun sehingga kembali ia bertempur dengan hebatnya menghadapi pemuda kosen itu. Nama Cialing Mo-li dan Toat-beng Mo-li sudah terkenal sekali, karena nama ini telah banyak diceritakan orang. Maka mendengar nama ini, terkejutlah semua orang, termasuk Sian Lun dan Jenderal Li Goan. Akan tetapi jenderal yang berpengalaman ini tidak mau melihat wanita gagah itu terbunuh, karena ia pikir tentu ada apa-apanya di belakang yang mereka hendak membunuhnya. Apalagi ucapan Ling Ling yang terakhir, yang menyatakan bahwa pemegang pedang Oei Hong Kiam harus mati di tangan mereka, amat menarik hatinya.

   "Sian Lun, jangan bunuh mereka! Tangkap mereka hidup-hidup! Ini merupakan perintah!"

   Katanya keras sehingga terdengar oleh semua perwira yang beramai-ramai mengurung ibu dan anak itu. Para perwira ketika mendengar perintah ini lalu mengambil tambang dan jala, dan beramai-ramai mereka melemparkan jala dan tambang ke arah kedua orang wanita yang mengamuk bagaikan kerbau gila itu.

   Dikeroyok demikian banyak orang, terutama sekali menghadapi pedang Sian Lun yang luar biasa, akhirnya Ling Ling dan Sui Giok dapat tertutup oleh jala. Mereka memberontak dan dengan pedang mereka, banyak jala yang putus-putus dan banyak pula perwira yang terkena bacokan sehingga terluka. Akan tetapi, selagi mereka meronta-ronta di dalam jala, Sian Lun lalu menghampiri Ling Ling dan dengan cepat sekali lalu menotok pundak gadis itu di jalan darah tai-hwi-hiat sehingga lemaslah tubuh Ling Ling. Jenderal Li Goan juga melompat ke dekat Sui Giok dan jenderal yang berkepandaian tinggi ini menyontoh tindakan Sian Lun dengan tiam-hoatnya yang dipelajarinya dari ilmu totokan Siauw-lim-pai, maka robohlah Sui Giok dengan tubuh lemas pula.

   "Tahan mereka dan hadapkan kepada pengadilan tertinggi untuk diperiksa!"

   Jenderal itu memerintahkan kepada para perwiranya.

   "Akan tetapi harus memperlakukan mereka baik-baik!"

   Setelah berkata demikian, ia mengajak Sian Lun masuk ke dalam istana untuk melanjutkan usaha perkembangan selanjutnya agar pemerintahan yang baru dapat berjalan lancar. Pada keesokan harinya, Kwee Siong dengan pakaian kebesaran telah duduk di belakang meja besar di dalam istana di ruang lebar bagian persidangan pengadilan kaisar. Pembantu-pembantunya telah menduduki tempat masing-masing dan di kanan kiri siap menjaga empat belas orang perwira yang berpakaian indah dan bersikap gagah. Empat orang algojo yang bertubuh tinggi besar bagaikan raksasa berdiri di kanan kiri pula, diam tak bergerak bagaikan patung.

   Suasana di ruang pengadilan sepi sunyi, tidak ada seorangpun berani mengeluarkan suara. Memang Kwee Siong terkenal amat memegang aturan dan melarang orang-orang membuat gaduh apabila ia sedang mengadakan pemeriksaan terhadap para pesakitan. Ia amat manis budi akan tetapi memegang disiplin teguh sekali. Di dalam pemeriksaan, ia amat jujur dan adil, pandai sekali memancing omongan pesakitan. Pandai pula ia mengangkat dan menyanjung-nyanjung pesakitan untuk kemudian dibantingnya sehingga banyaklah para pesakitan yang tadinya mati-matian menyangkal perbuatannya, terkena bujuk dan masuk dalam perangkap sehingga tanpa diminta lagi mereka itu dengan sukarela telah mengakui semua perbuatannya. Di dalam pekerjaan ini, sistim yang dipergunakan oleh Kwee Siong jauh berbeda dengan sistim pengadilan di masa itu.

   Biasanya, seorang hakim mengandalkan alat penyiksaan untuk memaksa pesakitan mengakui perbuatannya. Pendapat Kwee Siong lain lagi, karena menurut pendapatnya, pemeriksaan mengandalkan alat penyiksaan ini banyak sekali membuat orang-orang yang tidak bersalah terpaksa mengakui perbuatan pelanggaran yang sebenarnya tidak dilakukan, semata-mata karena tidak tahan terhadap siksaan-siksaan tadi. Dengan demikian terkenal di zaman itu banyak sekali orang tidak berdosa terpaksa menjalani hukuman, karena terpaksa mengakui perbuatan kejahatan yang tidak dilakukannya, dipaksa oleh alat-alat penyiksa tadi. Algojo-algojo atau tukang-tukang penyiksa yang seperti raksasa itu diadakan di situ oleh Kwee Siong hanya untuk menakut-nakuti saja, dan mereka berempat ini jarang sekali turun tangan.

   Setelah memeriksa surat-surat tuduhan dan laporan dari para pesakitan yang banyak sekali jumlahnya, Kwee Siong lalu memanggil nama seorang pesakitan. Dengan amat lancar dilakukan tanya jawab dan pemeriksaan terhadap para pesakitan, seorang demi seorang. Cara memutuskan sesuatu perkara amat bijaksana dan kadang-kadang membuat para pembantunya diam-diam saling pandang dengan terheran-heran. Sebagai contoh dari pada kebijaksanaan pemeriksaan dan keputusan Kwee Siong yang dianggap aneh oleh para pendengarnya, adalah dua hal sebagai berikut. Seorang bangsawan tua yang dekat dengan keluarga kaisar, ketika dibawa menghadap di ruangan itu, tidak mau berlutut di depan meja pengadilan.

   "Berlutut!"

   Bentak seorang algojo sambil memaksanya untuk berlutut. Karena tenaga algojo itu amat kuat, maka bangsawan tua itu terpaksa berlutut. Akan tetapi, begitu ia berlutut dan tangan algojo yang menekan pundaknya dilepaskan, ia berdiri lagi dengan tegak dan memandang kepada Kwee Siong dengan mata menentang.

   "Tua bangka kurang ajar! Kau harus berlutut!"

   Alagojo itu berseru lagi dan mengangkat tangannya untuk mengancam bangsawan itu, akan tetapi terdengar Kwee Siong berkata.

   "Biarkan saja!"

   Kemudian ia memandang kepada bangsawan itu dengan sabar, dan ia mengenal bangsawan itu yang bukan lain adalah Cin Kui Ong, seorang yang berpangkat kepala urusan kebudayaan di zaman pemerintah Sui.

   "Kiranya Cin Kui Ong taijin yang berdiri dihadapanku,"

   Hakim ini berkata tenang.

   "Kerajaan Sui telah musnah, apakah kau masih saja berkeras kepala dan hendak melakukan perlawanan dengan sikapmu yang angkuh?"

   Cin Kui Ong meludah ke atas tanah dengan sikap yang menghina sekali.

   "Cih! Kerajaan boleh musnah, akan tetapi kesetiaanku takkan musnah, biarpun kau akan memenggal leherku. Aku Cin Kui Ong tidak boleh dipersamakan dengan segala siauwjin (orang rendah) she Kwee yang tidak ingat budi. Kau dulu mendapat anugerah kaisar dan sekarang kau berbalik memihak pemberontak. Apakah kau tidak malu menghadapi nenek moyangmu?"

   Seorang algojo hendak turun tangan membungkam mulut yang amat menghina itu, akan tetapi Kwee Siong memberi tanda agar bangsawan itu dibiarkan saja bicara.

   "Orang she Kwee!"

   Cin Kui Ong melanjutkan bicaranya dengan semangat membubung tinggi dan muka merah.

   "Telah beberapa keturunan aku orang she Cin mengabdi kepada kaisar, mengalami jatuh bangunnya kerajaan, akan tetapi belum pernah keluargaku berlaku khianat. Kami adalah orang-orang setia yang tidak akan takut menerima datangnya hukuman dari pihak pemberontak keji. Bagi kami, lebih baik mati sebagai seorang pahlawan terhadap kaisar!"

   "Bagus, Cin Kui Ong! Kau masih bisa bicara tentang kepahlawanan dan kegagahan. Memang tepat sekali ucapanmu bahwa orang harus menjunjung tinggi kesetiaan, akan tetapi lupakah kau bahwa diatasnya kesetiaan masih terdapat kebajikan, prikemanusiaan, dan keadilan? Apakah benar-benar kau tidak melihat betapa Kaisar Yang Te berlaku amat lalim dan tidak memperdulikan keadaan rakyat jelata? Lupakah kau betapa ratusan laksa jiwa rakyat kecil dikorbankan hanya untuk kesenangan dan nafsu dari kaisar yang angkara murka itu? Tidak tahu pulakah kau betapa pembesar-pembesar tinggi berlaku korup, memeras rakyat, menggendutkan kantongnya dan perutnya sendiri tanpa memperdulikan keluh kesah dan penderitaan rakyat?"

   "Tak usah kau memberi petuah kepadaku, Kwee Siong! Dalam hal ini, kau yang masih muda mana dapat melampaui pengalamanku. Aku tahu, tidak buta mataku, aku tahu akan semua itu, akan tetapi aku orang she Cin tidak pernah melakukan hal-hal semacam itu. Betapapun juga, kami adalah orang-orang yang patuh akan kewajiban, tidak sudi memeras rakyat, tidak sudi berlaku korup, patuh dan setia dengan setulusnya hati!"

   Kwee Siong tertawa,

   "Kesetiaan membuta, ketulusan yang timbul dari hati lemah. Eh, orang she Cin, pernahkah kau yang melihat segala ketidak adilan itu menegur kaisar? Pernahkah kau turun tangan menghalangi kawan-kawan sejawatmu yang melakukan pekerjaan terkutuk itu?"

   Untuk pertanyaan ini, Cin Kui Ong tak dapat menjawab. Akhirnya ia membela diri.

   "Urusan orang lain bukanlah urusanku. Kewajibanku telah kuselesaikan dengan hati bersih. Perduli apa dengan urusan orang lain. Thian tidak buta dan semua orang yang berbuat jahat pasti akan mendapat hukumannya sendiri."

   "Nah, itulah kelemahanmu, Cin-taijin! Kegagahan tanpa disertai keadilan dan kebajikan akan menjadi kegagahan yang merusak. Kesetiaan tanpa disertai pertimbangan dan prikemanusiaan akan menjadi kesetiaan yang palsu. Setialah orang-orang yang berani menegur dan memperingatkan junjungannya dari pada kesesatan. Setialah orang-orang yang berani melakukan hal itu, tanpa memperdulikan nasib sendiri, tidak takut menghadapi murka raja. Rakyat menderita hebat, yang makmur hanyalah orang-orang yang memegang pangkat, akan tetapi kau membutakan mata terhadap nasib rakyat jelata. Aku dapat melihat hal itu dan aku membantu perjuangan rakyat yang memang sudah seadil-adilnya. Pemimpin yang tidak pandai membawa rakyat ke arah kemakmuran sudah tak layak lagi disebut pemimpin. Kaisar diangkat bukan untuk menyenangkan diri sendiri, melainkan untuk berusaha ke arah kemakmuran rakyatnya, kekuatan negaranya!"

   Mendengar uraian ini, diam-diam Cin Kui Ong menjadi kagum sekali. Terbukalah matanya bahwa kesetiaannya terhadap pemerintah Sui itu sama halnya dengan mendorong dan membela kejahatan merajalela. Akan tetapi, ia tetap mengangkat dada dan berkata.

   "Kalau begitu, biarlah aku mengaku bahwa pemerintah Sui memang buruk. Dan sebagai seorang pembesar dari pemerintah yang buruk, aku siap untuk dihukum mati. Biarlah aku membayar kesalahan kerajaan Sui dengan kesetiaan dan nyawaku!"

   Kwee Siong tersenyum girang. Ia memberi tanda kepada penjaga dan berkata,

   "Bebaskan dia! Kembalikan gedungnya yang disita dan bebaskan pula semua keluarganya!"

   "Kwee Siong, kau menghinaku!"

   Cin Kui Ong berkata marah.

   "Lebih senang hatiku kalau kau menjatuhi hukuman mati kepadaku!"

   Akan tetapi Kwee Siong menggelengkan kepalanya.

   "Tidak, Cin-taijin. Orang-orang bersemangat kesatria dan berjiwa pahlawan seperti kau amat dibutuhkan oleh rakyat yang perlu dipimpin. Pemerintahan baru membutuhkan tenagamu, dan kalau kau memang mencinta nusa dan bangsa, tentu kau akan suka menyumbangkan tenagamu!"

   Demikianlah, Cin Kui Ong yang terheran-heran itu didorong keluar dari ruang sidang itu dan disuruh pulang. Hal ini amat mengherankan semua orang, akan tetapi perhitungan Kwee Siong memang tepat. Sebelumnya ia memang telah tahu bahwa pembesar ini termasuk di antara para pembesar yang jujur dan adil, dan setelah kini dikeluarkan, ternyata kelak Cin Kui Ong akan merupakan seorang pembesar yang amat baik dan membantu lancarnya roda pemerintahan yang baru. Keputusan kedua yang dijatuhkan kepada seorang pembesar muda bernama Oei Lok Cun juga mengherankan semua orang. Pembesar ini usianya baru tiga puluh tahun lebih dan tadinya ia berpangkat kepala bagian perbendaharaan.

   Seperti juga Cin Kui Ong, ia ditawan sebelum sempat melarikan diri, karena ia tidak dapat pergi meninggalkan gedungnya yang penuh dengan harta bendanya. Sebelum melakukan pemeriksaan, Kwee Siong sudah membuat catatan riwayat hidup dan keadaan seorang pesakitan, maka ia tahu bahwa pembesar muda she Oei ini dulunya terkenal sebagai seorang pembesar tukang korupsi. Betapapun juga, ia hendak melihat sikapnya dulu, baru mengambil keputusan. Begitu dihadapkan dengan Kwee Siong, Oei Lok Cun lalu menjatuhkan diri berlutut tanpa berani mengangkat mukanya. Atas pertanyaan Kwee Siong, Oei Lok Cun menjawab bahwa dia adalah seorang bekas pembesar bagian perbendaharaan, mempunyai seorang putera dan tidak ikut mengungsi dengan kaisar karena katanya ia hendak tunduk terhadap pemerintah yang baru.

   "Oei Lok Cun!"

   Kwee Siong membentak dengan suara keras.

   "Kau kini menyatakan hendak tunduk terhadap pemerintahan yang baru, apakah kau tahu siapakah para pemberontak yang kini menggulingkan kaisar?"

   "Hamba tahu, hamba tahu!"

   Jawab Oei Lok Cun cepat-cepat.

   "Yang menggulingkan kaisar adalah Jenderal Li Goan yang gagah perkasa dan adil."

   Marahlah Kwee Siong mendengar jawaban ini.

   "Bodoh! Tidak terbukalah matamu bahwa Li-goanswe hanya menjadi pemimpin yang terpilih oleh rakyat? Rakyat jelatalah yang menggulingkan pemerintah kaisar lalim. Tahukah kau? Rakyat jelata yang telah lama terinjak-injak dan tercekik yang bangkit menggulingkan kaisar!"

   "Betul... betul..."

   Kata Oei Lok Cun gagap.

   "Hamba tadi lupa, rakyat jelatalah yang gagah berani yang memberontak dan menggulingkan raja lalim!"

   Kwee Siong tersenyum menyindir. Manusia yang tak dapat dipercaya, makinya di dalam hati. Anjing penjilat yang berbahaya.

   "Hm, sekarang kau menyebut rakyat jelata yang gagah berani? Akan tetapi berapa banyak sudah uang suapan yang kau terima pada waktu rakyat diperas dan dipaksa menjadi pekerja paksa?"

   Pucatlah muka Oei Lok Cun mendengar tuduhan ini. Dengan bibir gemetar dan tubuh menggigil, ia berkata,

   "Itu... itu... hamba terpaksa..., taijin!"

   "Terpaksa bagaimana?"

   "Hamba... hamba hanya menurut perintah kaisar... hamba... hamba tidak memakai uang itu... kalau taijin kehendaki, sekarang juga hamba akan kembalikan semua uang itu... sungguh mati, hamba tidak menggunakan uang itu, hamba mau menyerahkan kembali kepada taijin..."

   "Tutup mulutmu!"

   Kwee Siong membentak marah karena merasa ia akan diberi suapan secara demikian berterang dan tak tahu malu.

   "Kau kira aku semacam engkau? Kau bilang bahwa kau sekarang hendak menurut dan tunduk kepada pemerintah baru? Betul-betul kau bersumpah bahwa kau akan membantu kami?"

   Gembiralah wajah Oei Lok Cun karena mendapat harapan baru.

   "Tentu saja, taijin! Hamba bersumpah untuk membela dan bersetia, hamba suka membantu dengan jiwa raga hamba!"

   Hampir saja Kwee Siong tertawa bergelak mendengar omong kosong ini.

   "Nah, bagus kalau begitu,"

   Katanya menahan senyum.

   "Sekarang kaisar telah melarikan diri dan kami membutuhkan tentara untuk mengejar dan menawannya. Kau harus membantu dan berjuang di garis depan, menghadapi tentara penjaga kaisar."

   

Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Tawon Merah Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini