Ceritasilat Novel Online

Pendekar Dari Hoasan 1


Pendekar Dari Hoasan Karya Kho Ping Hoo Bagian 1




   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 01

   Bukit Hoa San terletak di pegunungan Jeng-leng-san sebelah selatan dan di kaki bukit ini mengalir Sungai Han yang lebar dan berair jernih. Bunga-bunga beraneka macam warna memenuhi lereng bukit ini di sebelah timur, menimbulkan pemandangan yang amat permai sedangkan hawa udara di bukit amat sejuknya. Di lereng sebelah barat banyak sekali ditumbuhi pohon-pohon obat yang banyak khasiatnya, sedangkan di lereng sebelah selatan penuh dengan hutan-hutan liar. Bukit Hoa san sungguh merupakan tempat yang amat baik dan ideal bagi para pertapa yang mengasingkan diri dari dunia ramai.

   Bukit ini amat terkenal, bukan hanya oleh karena keindahan bunga-bunga yang menghias lereng timur, atau karena banyaknya daun-daun dan akar-akar obat yang sering didatangi para ahli pengobatan untuk mengambil daun dan akar, atau karena keindahan tamasya alam yang terdapat di bukit itu, akan tetapi terutama sekali oleh karena seperti banyak bukit-bukit besar dan pegunungan luas di Tiongkok, juga Hoa-san merupakan sumber semacam cabang ilmu silat yang disebut Hoa-san-pai atau cabang ilmu silat bukit Hoa-san. Semenjak puluhan tahun yang lalu, banyak sekali pendekar-pendekar muncul dari bukit Hoa-san yakni anak-anak murid cabang persilatan ini dan banyak orang-orang sakti yang bertapa di puncak Hoa-san amat terkenal namanya sebagai guru besar-guru besar yang berkepandaian tinggi.

   Pada waktu cerita ini terjadi, yang bertapa di puncak Hoa-san adalah seorang kakek tua pemeluk Agama Tao yang bernama Ho Sim Siansu. Kakek ini telah berusia tinggi, sedikitnya enam puluh tahun. Tubuhnya tinggi kurus dan rambutnya yang telah putih semua itu dibiarkan terurai di atas pundaknya. Juga kumis dan jenggotnya sudah putih semua, tergantung memanjang sampai ke dadanya. Biarpun rambut dan cambangnya ini tidak terawat, akan tetapi selalu nampak bersih bagaikan benang benang perak. Wajahnya yang sudah penuh keriput selalu berwarna kemerah-merahan, tanda akan kesehatan tubuhnya yang sempurna. Pakaian yang menutupi tubuhnya sederhana sekali, seperti pakaian para petani biasa, hanya warnanya saja yang selalu kuning. Sepatunya terbuat dari pada rumput kering yang dianyam bagus sekali.

   Telah dua puluh tahun lebih Ho Sim Siansu mengasingkan diri di puncak Hoa-san dan sungguhpun telah lama ia tidak mencampuri urusan dunia ramai, namun di kalangan kang-ouw namanya amat terkenal oleh karena selama bertapa di puncak Hoa-san itu ia tidak menganggur bahkan telah berhasil mencipta semacam ilmu pedang yang lihai sekali dan yang diberi nama Hoa-san Kiam-hwat. Selain Tosu (Pendeta pemeluk Agama To) ini, di puncak Hoa-san juga tinggal tiga muridnya yang amat terkasih dan yang sudah mengejar ilmu di bawah pimpinan Ho Sim Siansu selama hampir sepuluh tahun. Murid pertama adalah seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang bernama Lie Ciauw In. Ciauw In orangnya pendiam, lemah-lembut, dan berwajah tampan sekali. Tubuhnya agak kurus dan tinggi, akan tetapi bahunya bidang dan kedua lengannya berisi tenaga yang mengagumkan.

   Sinar mata pemuda ini kadang-kadang nampak bercahaya ganjil, sukar sekali untuk diukur dan dimengerti wataknya, dan kadang-kadang bersinar tajam membuat orang merasa jerih untuk menatap wajahnya lama-lama. Hanya pemuda inilah yang benar-benar dapat mewarisi Hoa-san Kiam-hwat dari Ho Sim Siansu hingga Pendeta merasa amat bangga dan suka kepada muridnya ini. Pengharapannya hanya terletak kepada Ciauw In untuk memperkembangkan dan memperluas ilmu pedang yang diciptanya itu. Murid kedua juga seorang pemuda bernama Ong Su. Berbeda dengan suhengnya (kakak seperguruannya), pemuda yang berusia delapan belas tahun ini bertubuh tinggi besar dan kekuatan tubuhnya dinyatakan oleh urat-urat besar yang mengembung di lengan tangan dan kakinya membuat ia nampak hebat dan gagah sekali.

   Baru melihat tubuhnya saja, orang akan memperhitungkan dulu sampai seratus kali sebelum mengambil keputusan mengajaknya berkelahi! Sesuai dengan tubuhnya, Ong Su ini berwatak jujur dan polos, biarpun sedikit kasar. Memang orang-orang yang berhati jujur seringkali bertabiat kasar. Wajah Ong Su tidak dapat disebut tampan, akan tetapi ia tidak buruk rupa dan ia bahkan memiliki sesuatu pada wajahnya yang amat menyenangkan hati orang untuk mendekati dan bergaul kepadanya. Juga Ong Su telah mewarisi ilmu silat tinggi dari Hoa-san-pai, akan tetapi keistimewaannya ialah permainan silat toya. Tenaganya besar sekali dan dengan sebatang toya di tangan, ia merupakan seekor harimau ganas yang tumbuh, tanduk pada kepalanya. Juga kepada murid kedua ini, Ho Sim Siansu amat menyayangi karena suka dan kagum akan kejujurannya.

   Murid ketiga adalah orang yang paling di sayang oleh Tosu itu, dan murid ini memang menimbulkan rasa sayang dalam hati siapa saja yang melihatnya. Ia adalah seorang murid wanita bernama Gak Bwee Hiang, seorang dara muda berusia tujuh belas tahun. Wajahnya manis sederhana dan yang membuat semua orang merasa suka dan sayang kepadanya ialah wataknya yang selalu gembira dan jenaka. Dengan adanya dara ini di dekatnya, setiap orang akan selalu merasa gembira dan matahari seakan-akan bercahaya lebih terang daripada biasanya. Bwee Hiang pandai bicara, tidak suka marah, selalu tersenyum dan suka menggoda orang. Wataknya yang amat peramah dan baik ini ditambah oleh kelincahannya yang mengagumkan. Ia pandai menari, pandai menyanyi dan suaranya amat merdu.

   Tidak heran apabila suhunya amat menyayanginya, juga kedua suhengnya. Dalam hal ginkang dan kegesitan, ia tak usah merasa kalah terhadap kedua suhengnya, dan keahliannya ialah mainkan sepasang siang-kiam (pedang berpasang) yang dimainkan dengan ilmu pedang Hoa-san Kiam-hwat. Biarpun ilmu pedangnya tidak sematang dan selihai Ciauw In, akan tetapi oleh karena ia mempergunakan dua pedang dan gerakannya cepat dan gesit, maka tidak sembarangan orang akan dapat mengalahkan dara manis ini! Huhungan ketiga orang anak muda murid-murid Hoa-san ini amat erat dan baiknya bagaikan saudara-saudara sekandung, bahkan lebih dari itu. Diam-diam bersemilah tunas asmara di dalam hati Ong Su terhadap dara itu dan setelah mereka menjadi dewasa, tunas itu tumbuh makin kuat di lubuk hatinya.

   Tentu saja pemuda ini merasa malu untuk menyatakan perasaannya terhadap Bwee Hiang, akan tetapi pandang matanya secara jujur dan terus terang membayangkan cinta kasihnya yang besar. Wataknya yang jujur itu membuat segala gerak-geriknya mudah sekali diketahui oleh semua orang bahwa ia mencintai gadis itu. Tentu saja sebagai seorang wanita yang memiliki perasaan lebih halus daripada pria dan yang memang amat tajam perasaannya, dalam hal ini, Bwee Hiang telah lama maklum akan isi hati Ong Su. Akan tetapi, gadis ini telah lama jatuh hati kepada twa-suhengnya, yakni Ciauw In yang pendiam dan tampan itu. Seringkali gadis ini menderita dalam hatinya melihat betapa sikap Ciauw In demikian dingin dan pendiam terhadapnya.

   Ia seringkali membayangkan betapa akan bahagianya kalau sikap Ong Su terhadapnya itu berada dalam diri Ciauw In. Akan tetapi karena memang wataknya gembira, tak seorangpun dapat mengetahui isi hatinya dan terhadap Ciauw In ia bersikap seperti biasa semenjak mereka masih kanak-kanak dan mula-mula belajar silat di Hoa-san. Pada suatu hari naiklah seorang laki laki yang bersikap gagah dan menunjukkan bahwa ia pandai ilmu silat, ke puncak Hoa-san melalui lereng timur yang penuh dengan bunga-bunga indah. Orang ini sambil berjalan mendaki tebing, tiada hentinya mengagumi keindahan bunga-bunga yang tumbuh memenuhi lereng. Berkali-kali ia menarik napas panjang melalui hidungnya, menikmati keharuman bunga yang membuat ia merasa segan meninggalkan tempat itu.

   "Benar kata orang bahwa lereng Hoa-san sebelah timur merupakan taman sorga yang indah,"

   Katanya dalam hati. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya dan orang akan merasa kagum melihat betapa dia mempergunakan ilmu lari cepat, melompat-lompati jurang dan berlari di jalan yang sukar dengan amat mudahnya. Ketika orang itu tiba di dekat puncak, ia melihat seorang pemuda sedang bekerja mencangkul tanah di ladang sayur. Ia menahan tindakan kakinya dan memandang kagum.

   Pemuda yang sedang bekerja keras itu hanya mengenakan celana sebatas lutut dan tubuhnya bagian atas telanjang. Nampak dada yang penuh dan bidang itu bergerak-gerak dan urat-urat yang besar dan hebat menggeliat-geliat ketika ia mengayun cangkul di kedua tangannya. Memang pemuda itu bekerja secara aneh sekali. Setiap petani mencangkul tanah dengan hanya sebatang cangkul yang dipegang oleh kedua tangan, akan tetapi pemuda bertubuh besar dan kuat itu memegang dua batang cangkul di kedua tangannya dan kedua cangkul itu digerakkan berganti-ganti mencangkul tanah dengan gerakan yang amat cepat dan kuat! Dengan cara demikian, maka hasil pekerjaannya akan lebih cepat dan banyak melebihi pekerjaan dua orang!

   "Hebat sekali! Kalau semua petani dapat bekerja seperti kau, tanah di seluruh negara akan menghasilkan padi dan gandum dua kali lipat banyaknya!"

   Seru orang itu gembira. Pemuda itu yang bukan lain adalah Ong Su yang sedang bekerja, menunda cangkulnya dan memandang kepada orang yang bicara tadi. Ia melihat seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bersikap gagah dan garang, pedangnya nampak tertembul dari balik punggungnya.

   "Orang gagah dari manakah datang mengunjungi Hoa-san yang sunyi?"

   Tanya Ong Su. Orang itu tersenyum dan masih memandang ke arah tubuh Ong Su dengan kagum.

   "Anak muda, kau tentu seorang anak murid Hoa-san, bukan? Di manakah aku dapat bertemu dengan Ho Sim Siansu?"

   "Aku memang murid kedua dari Ho Sim Siansu, kau siapakah dan datang dari mana?"

   "Aku adalah seorang anak murid Go-bi-pai dan aku disuruh oleh suhu untuk menyampaikan surat kepada suhumu."

   "Ah, tidak tahunya kami kedatangan seorang pendekar dari Go-bi-pai! Selamat datang, sahabat!"

   Kata Ong Su yang segera menjura dan dibalas oleh orang itu sepantasnya. Ong Su lalu mengambil kedua cangkulnya, mencuci tangan dan kaki lalu mengenakan pakaian yang tadi ditaruh di pinggir ladang. Setelah itu ia lalu berkata kepada orang itu,

   "Marilah kau kuantar menjumpai suhu."

   Setelah berkata demikian, Ong Su lalu berlari cepat dan ia sengaja mengeluarkan kepandaiannya untuk mencoba kepandaian orang yang mengaku menjadi murid Go-bi-pai Bukan main kagumnya orang itu ketika melihat betapa Ong Su berlari dengan amat ringan dan cepatnya, jauh berlawanan dengan tubuhnya yang tinggi besar.

   Dengan mengerahkan kepandaian seluruhnya, barulah ia dapat menyusul dan tidak sampai tertinggal. Ketika Ong Su melihat hal ini, diam-diam ia mengakui bahwa anak murid Go-bi-pai inipun memiliki ilmu kepandaian yang cukup lumayan. Ciauw In dan Bwee Hiang melihat kedatangan tamu itu dengan merasa heran oleh karena memang jarang sekali tempat itu kedatangan tamu. Sebaliknya, ketika memandang kepada Ciauw In dan Bwee Hiang, murid Go-bi-pai itu makin kagum dan diam-diam memuji bahwa murid-murid Hoa-san benar-benar gagah dan luar biasa. Ho Sim Siansu menerima tamunya dengan sabar dan tenang. Setelah orang itu memberi penghormatan sambil berlutut di depan pertapa itu, Ho Sim Siansu lalu berkata,

   "Sicu, kau datang dari tempat jauh membawa perintah apakah dari suhumu?"

   Pertapa ini tadi telah diberitahu oleh Ong Su tentang datangnya seorang anak murid Go-bi-pai yang hendak menyampaikan surat dari suhunya.

   "Teecu, pertama-tama menghaturkan hormat kepada locianpwe dan juga suhu minta kepada teecu untuk menyampaikan salamnya. Selain itu, suhu menyuruh teecu menyampaikan sepucuk surat ini kepada loocianpwe."

   Sambil berkata demikian, orang itu lalu mengeluarkan sebuah sampul surat tertutup. Sambil menerima surat itu Ho Sim Siansu tersenyum dan berkata,

   "Suhumu bukankah Pek Bi Hosiang si Alis Putih?"

   Anak murid Go-bi itu mengangguk membenarkan dan ketiga orang murid Hoa-san itu terkejut mendengar ini karena mereka telah mendengar nama Pek Bi Hosiang, ketua dari Go-bi-san yang amat terkenal namanya karena memiliki ilmu silat yang amat lihai. Jadi orang ini adalah murid hwesio tua itu? Mereka menaruh perhatian kepada tamu yang datang ini. Sementara itu, Ho Sim Siansu lalu membuka dan membaca surat dari Pek Bi Hosiang yang ketika mudanya menjadi kenalan baiknya itu. Wajahnya yang penuh keriput itu kini berseri dan bibirnya tersenyum seakan-akan menahan geli hatinya membaca isi surat itu.

   "Ah, Pek Bi kau masih seperti anak kecil saja,"

   Katanya dan ia lalu berkata kepada anak murid Go-bi-pai tadi.

   "Sicu, suhumu memang suka main-main. Kau katakanlah kepadanya bahwa sedikit sekali kemungkinan aku dapat memenuhi permintaannya, akan tetapi betapapun juga, aku pasti mengirim wakil ke tempat yang telah ditentukan."

   "Teecu mengerti, locianpwe. Suhu bahkan berpesan supaya teecu menyampaikan kepada locianpwe bahwa dalam pertemuan besar ini diundang semua tokoh persilatan dari berbagai cabang. Suhu telah mengirim surat-surat undangan yang dibawa dan disampaikan oleh lima belas orang anak murid Go-bi."

   "Bagus, memang biarpun suhumu itu suka main-main, akan tetapi ia pandai menyelenggarakan sesuatu yang besar dan megah. Aku kenal baik keadaannya dan dalam usia tua ia masih sanggup mengatur pertemuan ini, benar-benar membuat aku merasa kagum. Sampaikan salamku kepadanya dan doaku semoga usianya lebih panjang daripada usiaku."

   Setelah berkata demikian, Ho Sim Siansu lalu masuk ke dalam gubuknya dengan langkah perlahan. Anak murid Go-bi-pai itu setelah memberi hormat sekali lagi, lalu berpaling kepada Ciauw In dan dua orang saudara seperguruannya, dan menjura sambil berkata,

   "Selamat tinggal, sahabat-sahabat baik, sekarang sudah tiba waktunya bagiku untuk pergi dari sini."

   Ong Su menahannya dan berkata,

   "Sobat, kau datang dari tempat yang jauh dan sudah lama kami mendengar nama Pek Bi Hosiang yang tersohor dan sering dipuji-puji oleh suhu. Pertemuan dengan kau yang menjadi murid orang tua amat menggembirakan hati kami, mengapa kau tergesa-gesa hendak pergi? Kau bermalamlah disini dan tinggal barang dua hari agar kita dapat bicara dengan senang."

   Orang itu tersenyum.

   "Terima kasih, kalian baik dan peramah sekali. Akan tetapi, aku datang membawa tugas, bukan sedang melancong maka terpaksa aku harus segera kembali untuk memberi laporan tentang tugasku kepada suhu. Biarlah lain kali kita bertemu pula."

   Setelah berkata demikian, ia menjura lagi dan segera lari pergi menuruni lereng bukit. Setelah orang itu pergi, Ho Sim Siansu lalu memanggil ketiga orang muridnya. Sambil memperlihatkan surat yang baru saja diterimanya, ia berkata,

   "Murid-muridku, surat yang kuterima dari Pek Bi Hosiang ini adalah surat undangan untuk menghadiri pertemuan besar pada permulaan musim semi yang akan datang dua bulan lagi. Pertemuan diadakan di puncak Bukit Kui san agar para pengunjung dapat menempuh jarak sama jauhnya karena tempat itu berada di tengah-tengah. Dan maksud pertemuan itu ialah untuk mengadakan pibu (pertandingan ilmu silat) untuk menentukan siapa yang tertinggi ilmu silatnya dan untuk saling menukar pengalaman. Memang baik sekali maksud Pek Bi Hosiang ini karena selain perhubungan di antara orang gagah menjadi lebih erat, juga kesalahpahaman dapat dilenyapkan dalam pertemuan itu."

   "Bagus sekali! Kalau suhu datang ke sana, pasti suhu akan dapat menduduki tingkat teratas karena dengan Hoa-san Kiam-hwat, teecu merasa pasti bahwa suhu tentu takkan menemui tandingan!"

   Kata Ong Su gembira.

   "Hush, jangan kau sombong!"

   Cela suhunya.

   "Orang yang mengagulkan kepandaiannya sendiri akan kecewa karena itu adalah tanda dari kebodohan! Sungguhpun bukan maksudku merendahkan ilmu silat kita, akan tetapi kita tetap harus berlaku waspada dan hati-hati, jangan sekali-kali memandang rendah ilmu kepandaian orang lain."

   "Suhu, mengapa suhu tadi menyatakan tak dapat datang? Datanglah suhu dan bawalah teecu!"

   Kata Bwee Hiang dengan suara membujuk. Ho Sim Siansu memandang kepada murid perempuan itu dengan tersenyum.

   "Bwee Hiang, aku sudah tua."

   "Justeru sudah tua maka sebaiknya suhu melakukan perjalanan untuk menghibur hati, Marilah kita bergembira di sana, suhu."

   Bwee Hiang membujuk pula dengan gembira. Suhunya menggeleng kepala.

   "Tidak ada hiburan yang lebih mengamankan hati daripada di tempat ini bagiku, Bwee Hiang. Kau dan kedua suhengmu yang perlu mendapat pengalaman dan hiburan itu. Oleh karena itu, aku bermaksud untuk mewakilkan kehadiranku kepada kalian bertiga."

   Bwee Hiang dan Ong Su menyambut kata-kata ini penuh dengan kegembiraan, wajah mereka berseri-seri, mulut tersenyum senang. Akan tetapi Ciauw In yang semenjak tadi diam saja mendengar percakapan ini, lalu berkata kepada suhunya,

   "Maaf, suhu. Kepandaian teecu bertiga masih rendah dan pertemuan yang dimaksudkan itu adalah pertemuan mengadu kepandaian. Kalau teecu bertiga yang pergi dan mewakili Hoa-san-pai, apakah takkan mengecewakan? Teecu berkuatir nama Hoa-san-pai akan turun apabila teecu bertiga tak berhasil mendapat kemenangan."

   Ho Sim Siansu tersenyum dan di dalam hatinya ia merasa girang mendengar ucapan muridnya yang amat hati-hati dan pandai merendahkan diri itu. Ia maklum bahwa dalam hal ilmu pedang, Ciauw In telah dapat memiliki seluruh kepandaiannya dan Hoa-san Kiam-hwat telah dapat dikuasainya dengan baik, maka kiranya takkan mudah bagi jago-jago silat lain untuk mengalahkan ilmu pedang muridnya ini.

   "Ucapanmu memang benar, Ciauw In dan memang seharusnya kita berhati-hati dan tidak mengagulkan kepandaian sendiri. Akan tetapi, kau tak perlu merasa kuatir, oleh karena menurut pendapatku, kepandaian yang kalian bertiga miliki sudah cukup untuk digunakan dalam pertandingan pibu di manapun juga. Aku yakin hasilnya takkan mengecewakan. Seandainya kalian kalah, mengapa hal itu kau anggap menurunkan nama Hoa-san-pai. Ingatlah bahwa bukan kelihaian ilmu silat yang menjunjung tinggi dan mengharumkan nama sesuatu cabang persilatan, akan tetapi sepak terjang anak murid cabang itu. Kalau kalian dapat mempergunakan kepandaianmu untuk melakukan hal-hal yang benar dan selayaknya dilakukan oleh orang orang berkepandaian tinggi, mengapa aku harus kuatir bahwa nama cabang persilatan kita akan turun? Kekalahan atau kemenangan dalam sesuatu pertandingan pibu adalah lazim dan tak dapat dihubungkan dengan keharuman nama."

   Ketiga murid yang masih muda itu mendengarkan petuah guru mereka dengan khidmat.

   "Ong Su dan Bwee Hiang,"

   Kata pula pertapa itu.

   "Kalian sebagai saudara-saudara muda harus tunduk dan menurut kepada suhengmu dalam segala tindakan. Jangan menurutkan nafsu hati dan dalam pertandingan kau harus menyontoh sikap twa-suhengmu, merendah dan tidak sombong, akan tetapi cukup tabah dan tenang menghadapi lawan yang bagaimana tangguhpun. Ilmu toya yang dimiliki Ong Su cukup untuk menghadapi lawan yang bertenaga besar, sedangkan siang-kiam dari Bwee Hiang boleh digunakan untuk menghadapi lawan yang cepat dan gesit. Adapun jika kalian menghadapi seorang yang benar-benar tangguh dan telah tinggi tingkat kepandaiannya, kalian harus memberikan kesempatan kepada twa-suhengmu untuk menghadapinya. Ciauw In, hanya kau yang telah dapat mewarisi Hoa-san Kiam-hwat secara baik, maka kaupakailah pedangku ini."

   Sambil berkata demikian, pertapa itu memberikan pedang berikut sarungnya kepada Ciauw In yang menerimanya sambil berlutut.

   "Ciauw In."

   Kata orang tua itu lagi.

   "ilmu pedang Hoa-san Kiam-hwat yang kuciptakan belum pernah digunakan untuk menghadapi musuh, oleh karena itu, rahasianya belum pernah terlihat oleh siapapun juga. Sungguhpun demikian, orang-orang di kalangan kang-ouw telah mendengar tentang Hoa-san Kiam-hwat, maka kau harus dapat menyimpan ilmu pedang ini dan jangan kau pergunakan apabila tidak menghadapi lawan yang benar-benar pandai. Waktu pertemuan itu masih sebulan lagi dan perjalanan dari sini ke Kui-san sedikitnya makan waktu sepuluh hari. Maka kalian pergilah turun gunung sekarang juga agar kelebihan waktu yang dua puluh hari itu dapat kalian pergunakan untuk mencari pengalaman dan menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Ingat, dalam membasmi kejahatan-kejahatan, batasilah nafsu membunuhmu dan kalau tidak sangat terpaksa, jangan kau membunuh manusia."

   "Bagus, kalau begitu teecu dapat pulang dulu ke rumah orang tuaku,"

   Kata Ong Su dengan girang sekali.

   "Dan teccu juga sudah amat rindu kepada ibu di rumah."

   Kata pula Bwee Hiang. Hanya Ciauw ln sendiri yang tak dapat ikut bergembira seperti sute (adik lelaki seperguruan) dan sumoinya (adik perempuan seperguruan). Ong Su memang masih mempunyai ayah ibu yang tinggal di sebuah dusun, bernama Ong Lo It, seorang petani sederhana. Mereka tinggal di kaki bukit Hoa-san di sebuah dusun yang disebut Kwee-cin-bun. Semenjak berusia sebelas tahun, Ong Su ikut naik ke puncak Hoa-san belajar ilmu silat dari Ho Sim Siansu dan pertemuan ini terjadi ketika pertapa itu menolong dusun Kwee-cin-bun dari serangan para perampok.

   Ayah Ong Su yang merasa berterima kasih dan tahu akan pentingnya kepandaian silat untuk melawan perampok-perampok yang mengganas, lalu mengizinkan putera tunggalnya untuk ikut belajar silat dengan kakek sakti itu. Kadang-Kadang biasanya di waktu tahun baru, Ong Lo It mendaki bukit Hoa-san mengunjungi Ho Sim Siansu dan menengok puteranya itu. Adapun Bwee Hiang sebenarnya adalah puteri tunggal seorang hartawan bernama Gak Seng yang berdagang hasil bumi, di kota Keng-sin di sebelah selatan Hoa-san. Ho Sim Siansu mengambil murid anak perempuan ini karena ia amat tertarik melihat kelincahan dan ketabahan anak itu, juga karena ia maklum bahwa anak itu mempunyai bakat yang amat baik.

   Diculiknya anak itu dan ia meninggalkan surat kepada orang tuanya tentang maksudnya hendak mengambil murid kepada Bwee Hiang. Semenjak berusia sepuluh tahun, gadis itu telah berada di puncak Hoa-san dan mempelajari ilmu silat dengan Ong Su dan Ciauw In yang sudah berada di situ lebih dahulu darinya. Selama tujuh tahun berada di puncak Hoa-san, gadis ini belum pernah bertemu dengan kedua orang tuanya, sungguhpun ia masih ingat akan wajah dan nama orang tuanya, namun ia maklum bahwa kini mereka tentu telah tua sekali dan belum tentu dapat mengenalnya apabila bertemu. Ciauw In ikut naik gunung semenjak berusia delapan tahun dan sehingga kini ia telah belajar silat selama dua belas tahun tanpa berhenti. Pernah ia ikut suhunya turun gunung untuk beberapa bulan lalu kembali lagi ke atas puncak Hoa-san untuk memperdalam ilmu silatnya.

   Ciauw In adalah seorang anak yatim piatu yang tadinya ditemukan oleh Ho Sim Siansu dalam keadaan melarat dan terlantar. Ayah ibunya meninggal dunia karena terserang penyakit dan kelaparan, maka ia hidup sebatangkara di waktu masih kecil sekali hingga hidupnya penuh derita. Kini ia tidak mempunyai orang tua atau keluarga yang dikenalnya, maka kepada Ho Sim Siansu gurunya, iapun menganggapnya sebagai orang tuanya sendiri. Maka kini setelah disuruh turun gunung, ia tidak dapat bergembira seperti sute dan sumoinya yang akan bertemu dengan orang tua masing-masing, bahkan agak merasa bersedih karena harus berpisah dari suhunya. Setelah banyak lagi nasihat-nasihat diucapkan dan dipesankan oleh Ho Sim Siansu kepada ketiga orang muridnya, maka berangkatlah Ciauw ln, Ong Su, dan Bwee Hiang turun gunung melalui lereng sebelah selatan yang penuh dengan hutan liar.

   Dengan mempergunakan ilmu jalan cepat, pada keesokan harinya tiga murid dari Hoa-san itu telah tiba di dusun Kwee-cin-bun. Mereka disambut oleh Ong Lo It dan isterinya dengan gembira sekali. Terutama sekali nyonya Ong atau ibu Ong Su yang telah tujuh tahun tidak bertemu dengan puteranya, dengan menangis karena terharu dan girang nyonya ini menangis di pundak Ong Su sambil memeluk putera itu. Clauw In yang pendiam pun merasa terharu melihat pertemuan mesra ini dan ia ikut merasa gembira melihat kebahagiaan sutenya. Keluarga Ong yang hidup sebagai petani itu segera menjamu mereka dan tidak ketinggalan pula semua penduduk dusun itu datang untuk memberi selamat kepada Ong Lo It yang telah menerima kembali putera mereka yang telah menjadi seorang yang gagah.

   Di tengah-tengah para petani yang sederhana dan jujur itu, ketiga orang murid Hoa-san merasa seakan-akan berada dilingkungan satu keluarga besar dan mereka tak dapat menolak ketika para petani itu minta kepada mereka untuk mainkan ilmu silat sebagai demonstrasi. Ciauw In bersilat melawan Ong Su sebagaimana kalau mereka sedang berlatih di puncak Hoa-san, yakni Ong Su bersenjata toya dan Ciauw In bersenjata pedang. Kepandaian kedua orang muda itu memang telah mencapai tingkat tinggi, maka tentu saja ketika mereka bersilat, dalam pandangan semua orang dusun itu, tubuh mereka lenyap tergulung oleh sinar toya dan pedang hingga mereka memandang dengan mata terbelalak dan kagum sekali.

   Mereka bersorak-sorak memuji hingga keadaan menjadi makin ramai dan gembira. Setelah kedua orang muda itu berhenti bersilat, Ong Lo It dengan mata berlinang air mata lalu menepuk-nepuk pundak puteranya dengan bangga sekali. Akan tetapi ketika Bwee Hiang yang diminta pula mempertunjukkan kepandaiannya itu bersilat pedang seorang diri dan sepasang pedangnya cepat menyilaukan mata dan tubuhnya lenyap diantara gulungan kedua pedang di tangannya, semua orang menjadi melongo! Dalam pandangan mereka, gadis ini lebih hebat pula, dan setelah Bwee Hiang berhenti bersilat pecahlah tepuk tangan dan tempik sorak yang memuji-mujinya dengan penuh kekaguman. Pada malam harinya, kedua orang tua itu memanggil Ong Su dan setelah putera mereka menghadap, ibunya lalu berkata,

   "Su-ji, aku dan ayahmu merasa suka sekali melihat sumoimu itu dan karena tahu ini kau telah masuk usia delapan belas tahun, bagaimana pikiranmu kalau kita lamar sumoimu itu untuk menjadi jodohmu? Kami lihat bahwa ia sesuai sekali menjadi isterimu."

   Merahlah muka Ong Su mendengar ucapan ibunya ini dan ia merasa malu-malu dan juga girang oleh karena ternyata bahwa kedua orang tuanya sependapat dengannya. Karena ia seorang berwatak jujur, maka dengan terus terang dan menundukkan muka karena malu, ia berkata,

   "Ibu dan ayah, sesungguhnya di dalam hatiku telah lama pula aku merasa suka kepada sumoi maka sudah tentu aku merasa setuju sekali pada kehendak ayah dan ibu. Akan tetapi, harap jangan melakukan pinangan pada waktu sekarang, oleh karena selain sumoi belum bertemu dengan ibunya, juga aku belum mendapat kepastian dari sumoi yang sikapnya masih meragukan. Ayah dan ibu tentu maklum bahwa kalau sampai pinangan kita ditolak, maka hubungan antara aku dan dia sebagai saudara seperguruan akan menjadi terganggu."

   Ong Lo It dan isterinya merasa girang sekali mendengar ini dan mereka berjanji akan menunda dulu maksud ini, menanti sampai ada "tanda-tanda baik"

   Dari pihak gadis itu yang tentu akan dikabarkan oleh Ong Su kepada mereka kalau hal ini terjadi. Pada keesokan harinya, ketiga orang muda itu berpamit kepada Ong Lo It dan isterinya dan dengan diantar sampai ke batas dusun oleh banyak penduduk di situ, mereka meninggalkan Kwee-cin-bun dan menuju ke kota Keng-sin untuk mencari ibu Bwee Hiang. Kalau di Kwee-cin-bun mereka disambut dengan gembiranya, di rumah ibu Bwee Hiang, yakni nyonya Gak Seng, mereka disambut dengan hujan air mata dan kesedihan.

   Ketika dulu Bwee Hiang diculik oleh Ho Sim Siansu, ayahnya adalah seorang yang paling kaya kota ini dan disegani oleh orang karena selain berhati dermawan dan suka menolong orang miskin, juga Gak Seng terkenal sebagai seorang yang jujur dan pemberani. Akan tetapi sekarang, Gak Seng telah meninggal dunia empat tahun yang lalu, harta bendanya habis dan kini nyonya Gak Seng telah menjadi janda dan hidup sebatangkara di dalam rumahnya yang sederhana, menanti-nanti datangnya puterinya yang hilang terculik orang pada tujuh tahun yang lampau! Kedatangan Bwee Hiang disambut dengan pelukan dan ciuman yang mengharukan. Nyonya yang kurus itu menangis dan mengeluh dengan sedihnya.

   "Ibu jangan kau bersedih, ibu. Bukankah aku sudah kembali dipangkuanmu?"

   Kata Bwee Hiang yang mencoba untuk tersenyum sungguhpun seluruh mukanya basah air matanya sendiri.

   "Bagaimana kau sampai tinggal di tempat ini? Mana gedung kita dulu? Dan ayah pergi ke manakah?"

   Pertanyaan ini membuat nyonya Gak Seng menangis makin sedih hingga sukarlah baginya untuk mengeluarkan kata-kata, Bwee Hiang terpaksa menghibur ibunya itu dan setelah mempersilakan kedua suhengnya untuk duduk di ruang depan, ia lalu menuntun ibunya itu ke dalam kamar. Hati Bwee Hiang merasa gelisah sekali ketika melihat sebuah meja abu di ruang tengah dan melihat keadaan rumah yang amat miskin itu. Wajahnya pucat dan matanya terbelalak memandang ke arah meja abu itu, karena adanya meja itu di situ hanya mempunyai satu maksud, yakni bahwa ayahnya telah meninggal!

   "Ibu... meja abu siapakah ini...?"

   Sambil menahan sedu sedan yang mendesak dari kerongkongnya, nyonya Gak menjawab perlahan.

   "Siapa lagi...? Meja ayahmu..."

   Bwee Hiang menjerit dan menubruk kaki meja abu itu, berlutut sambil menangis terisak-isak.

   "Ayah... ayah... Hiang datang ayah..., ampuni anakmu yang tidak berbakti ini... aku datang akan tetapi..., ternyata kau telah pergi..."

   Jeritan Bwee Hiang ini, terdengar oleh Ong Su dan Ciauw In yang duduk di luar, maka tanpa memperdulikan lagi kesopanan sebagai tamu, mereka menyerbu ke dalam karena berkuatir. Melihat gadis itu mendekam di atas tanah, berlutut di depan meja abu sambil menangis terisak-isak dan menyebut nama ayahnya, keduanya berdiri bengong dan tahulah mereka bahwa ayah sumoinya itu telah meninggal. Dengan terharu mereka lalu menjura di depan meja abu itu sebagai penghormatan kepada mendiang ayah Bwee Hiang, kemudian mereka mendekati sumoinya dan Ciauw In yang biasanya pendiam itu berkata dengan suara menahan keharuan,

   "Sudahlah, sumoi, mati dan hidup tak berbeda banyak seperti kata suhu dulu, mengapa kau bersedih! Ingatlah bahwa akupun telah kehilangan ayah ibuku..."

   Mendengar hiburan ini, Bwee Hiang menahan tangisnya, dan kedua orang muda itu lalu keluar kembali. Nyonya Gak Seng lalu memeluk anaknya dan dibawanya masuk ke dalam kamar.

   "Ibu, ceritakanlah lekas, mengapa ayah meninggal dunia sedangkan ayah belum begitu tua? Dan mengapa pula keadaanmu sampai menjadi begini?"

   Nyonya Gak Seng menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan

   "Anakku, telah banyak sekali hal-hal yang hebat terjadi pada kira-kira empat tahun yang lalu. Dan aku selalu berdoa siang malam kepada Thian Yang Maha Adil agar supaya kau cepat-cepat pulang membawa kepandaian untuk membalas dendam yang kuderita bertahun-tahun. Anakku, sebelum aku bercerita, katakanlah dulu apakah kau benar-benar membawa pulang kepandaian tinggi? Jawablah sejujurnya, Hiang."

   Merahlah muka Bwee Hiang karena marah. Ia dapat menduga bahwa ayahnya tentu terbunuh orang, maka tiba-tiba, ia mencabut sepasang pedangnya dan bertanya.

   "Katakan, ibu! Siapa orang yang telah mendatangkan malapetaka ini? Siapa yang telah membunuh ayah? Akan kubalas dendam ini sekarang juga!"

   "Simpan dulu pedang-pedangmu, anakku. Aku merasa girang kau mempunyai kesanggupan untuk membalas musuh kita, karena sesungguhnya musuh kita amat lihai dan banyak jumlahnya."

   "Aku tidak takut, ibu! Dan pula, ada kedua suhengku yang tentu akan suka membantuku!"

   Setelah menarik napas lega, nyonya janda itu bercerita.

   "Pada empat tahun yang lalu, kota ini kedatangan serombongan orang jahat yang mengaku sebagai anggauta-anggauta perkumpulan Hek-lian-pang atau Perkumpulan Teratai Hitam. Mereka ini terdiri dari dua puluh orang lebih yang kesemuanya merupakan jago-jago silat yang berilmu tinggi dan mereka menggunakan kepandaian mereka untuk memeras penduduk kota ini. Mereka menentukan uang sumbangan yang jumlahnya besar dari tiap penduduk. Kau tahu tabiat ayahmu yang keras dan berani. Melihat sikap mereka yang kurang ajar itu, ayahmu lalu mengumpulkan kawan-kawan sekota untuk melawan dan mengeroyok mereka. Banyak orang fihak kita yang tewas dalam pertempuran itu, akan tetapi akhirnya mereka dapat didesak mundur meninggalkan kota. Dan pada tiga hari kemudian, malam hari yang celaka, diam-diam mereka datang dan membalas dendam mereka itu seluruhnya kepada keluarga kita."

   Bicara sampai di nyonya itu menarik napas panjang dengan muka sedih.

   "Teruslah ibu, apakah yang diperbuat oleh keparat-keparat itu?"

   Tanya Bwee Hiang dengan marah.

   "Mereka merampok harta kita, dan ayahmu yang malang itu mereka bunuh, rumah kita mereka bakar! Ketika penduduk datang menolong, telah terlambat. Ayahmu... telah tewas dan rumah habis terbakar, sedangkan bangsat-bangsat itu telah melarikan diri!"

   Bwee Hiang bangun berdiri dari tempat duduknya. Kedua tangannya dikepalkan dan matanya mengeluarkan sinar berapi-api.

   "Ibu, anak bersumpah hendak membasmi gerombolan Teratai Hitam itu! Di manakah sarang mereka?"

   "Tenanglah, Bwee Hiang, dan biarpun sakit hati ini harus dibalas, akan tetapi kau berhati-hatilah menghadapi mereka, karena menurut cerita semua penduduk kota ini, mereka itu memiliki ilmu silat yang lihai, dan mereka dipimpin oleh seorang penjahat yang amat tinggi kepandaiannya. Aku adalah seorang wanita lemah yang tak berdaya, akan tetapi selama ini tiada hentinya aku menyelidiki dan mendengar-dengarkan cerita orang di mana mereka yang menjadi musuh-musuh kita itu berada. Aku tahu bahwa pada suatu hari kau tentu akan datang dan perlu mengetahui tempat mereka itu. Menurut hasil penyelidikanku yang terakhir, mereka itu katanya kini berada kota Ban-hong-cun, sebelah timur kota ini, kira-kira seratus li jauhnya."

   "Ibu, kalau begitu anak mohon dirl. Sekarang juga anak hendak mengejar mereka di Ban-hong-cun!"

   "Jangan begitu tergesa-gesa, Bwee Hiang...!"

   Akan tetapi gadis itu telah berlari ke luar menghampiri kedua suhengnya yang memandangnya dengan kasihan. Dengan singkat Bwee Hiang menuturkan peristiwa hebat yang menimpa keluarganya itu kepada Ciauw In dan Ong Su, dan kedua orang muda ini dengan serentak menyatakan kesediaan mereka untuk membantu.

   "Penjahat-penjahat kejam itu memang harus dibasmi, sumoi. Mari kita berangkat sekarang juga,"

   Kata Ong Su yang menjadi marah sekali. Demikianlah, tanpa dapat ditahan lagi oleh nyonya janda Gak, Bwee Hiang mengajak kedua suhengnya untuk melanjutkan perjalanan menuju ke Ban-hong-cun untuk mencari musuh-musuh besarnya!

   Di dalam perjalanan yang dilakukan secara tergesa-gesa ini, mereka bertiga tidak banyak bercakap-cakap dan Bwee Hiang yang biasanya amat jenaka hingga menggembirakan hati kedua suhengnya, kini bermuram durja. Dua hari kemudian, sampailah mereka di kota Ban-hong-cun. Dengan mudah mereka dapat mencari tempat perkumpulan Hek-lian-pang itu. Tempat itu merupakan sebuah gedung yang besar dan mentereng. Di depan gedung itu terdapat sebuah papan yang lebar, di mana terdapat sebuah lukisan bunga teratai warna hitam. Ketika mereka bertiga memasuki halaman rumah itu, mereka melihat tiga orang laki-laki duduk di ruang depan sambil bermain catur. Tiga orang laki itu memandang kepada Bwee Hiang dan kedua suhengnya dengan heran.

   "Sam-wi (saudara bertiga) siapakah dan ada keperluan apa datang ke tempat kami?"

   Tanya seorang di antara mereka sambil berdiri dan menjura. Bwee Hiang menahan marahnya dan tanpa membalas penghormatan mereka, ia berbalik mengajukan pertanyaan singkat.

   "Apakah kamu ini anggauta-anggauta Hek-lian-pang?"

   "Benar, dan nona...?"

   Belum juga kata-katanya dilanjutkan, Bwee Hiang telah melompat maju dan menyerang dengan pukulan kilat. Pukulannya ini cepat sekali dan karena tidak menduga lebih dulu, orang itu kena pukul dadanya hingga terlempar jauh dan roboh pingsan. Dua orang kawannja menjadi terkejut dan marah sekali, sambil berseru keras mereka mencabut pedang dari pinggang dan membentak.

   "Perempuan liar dari manakah datang-datang menyerang orang?"

   Akan tetapi tanpa banyak cakap lagi Bwee Hiang telah mencabut siang-kiamnya dan bagaikan seekor naga betina yang ganas ia maju menyerang dua orang itu.

   Pendekar Dari Hoasan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Serangannya ini penuh dengan nafsu membunuh dan datangnya luar biasa cepatnya hingga ketika kedua lawannya menangkis, ia cepat memutar pedangnya dan seorang di antara lawannya roboh karena tusukan pedang di tangan kirinya! Yang seorang lagi ketika melihat kelihaian nona itu, cepat melompat mundur dan lari masuk ke dalam gedung sambil berteriak-teriak keras! Bwee Hiang memandang ke dalam dengan mata bersinar-sinar, sedangkan Ong Su dan Ciauw ln yang belum bergerak, hanya memandang dengan tangan telah siap memegang senjata masing-masing! Ketika orang yang terpukul dadanya oleh Bwee Hiang tadi bergerak dan merayap bangun, dengan sekali lompatan saja Bwee Hiang telah berada di depannya dan menodong dengan pedang.

   "Di mana adanya pangcu (ketua) mu yang empat tahun yang lalu menyerbu keluarga Gak di kota Keng-sin?"

   "Pangcu kami sedang pergi... tidak berada di sini...,"

   Jawab anggauta Hek-lian-pang itu dengan muka pucat dan tubuh menggigil.

   "Bohong!"

   Teriak Bwee Hiang sambil menusukkan ujung pedangnya sedikit ke dada orang.

   "Tidak... tidak bohong... pangcu kamipun baru setahun menjabat kedudukan pangcu... Empat tahun yang lalu pangcu kami adalah ayah dari pangcu kami yang sekarang... dia ada di dalam gedung... harap lihiap..."

   Akan tetapi pada saat itu dari dalam berlari keluar seorang tua tinggi besar yang diikuti oleh orang-orang sejumlah dua puluh orang lebih. Melihat ini, Bwee Hiang lalu menusukkan pedangnya menembus dada orang yang membuat pengakuan tadi! Orang tua tinggi besar yang baru keluar dari dalam rumah itu merasa marah sekali. la gunakan golok besarnya menuding ke arah Bwee Hiang dan kedua suhengnya sambil membentak dengan mulut marah.

   "Tiga pembunuh rendah, siapakah kalian dan mengapa datang-datang membunuh orang seperti orang gila."

   Akan tetapi Bwee Hiang tidak menjawab pertanyaan ini, bahkan lalu bertanya.

   "Apakah kau orang yang memimpin anak buahmu pada empat tahun yang lalu membakar rumah seorang she Gak di Keng-sin dan membunuhnya dengan kejam?"

   Orang itu tertawa menghina.

   "Benar! Akulah yang memimpin kawan-kawanku menghukum anjing she Gak itu! Apa hubungannya dengan kau?"

   Bukan main marahnya hati Bwee Hiang ketika mendengar bahwa orang inilah yang menjadi musuh besarnya.

   "Manusia jahanam! Dengarlah baik-baik! Aku adalah puteri dari Gak Seng yang kaubunuh itu dan sekarang setelah kita berhadapan muka, mari kita bertempur untuk menyelesaikan perhitungan ini!"

   Sambil berkata demikian, gadis itu melompat maju dengan marah dan langsung menggerakkan siang-kiam di kedua tangannya untuk menyerang.

   "Kau anak kecil hendak melawan Gu Ma Ong? Ha, ha, ha!"

   Orang itu tertawa menyindir sambil menggerakkan goloknya menangkis sekuat tenaga. Akan tetapi suara ketawanya yang penuh ejekan itu melenyap ketika ia merasa betapa tangannya itu terbentur dengan pedang yang amat kuatnya hingga ia merasa telapak tangannya tergetar. Ia maklum bahwa lawannya yang biarpun hanya seorang dara muda, akan tetapi ternyata memiliki lweekang yang tinggi dan tidak boleh dipandang ringan. Ia lalu memutar-mutar goloknya dan melawan dengan hebat. Para anggauta Hek-lian-pang yang berjumlah dua puluh orang lebih itu segera menggerakkan senjata masing-masing hendak membantu, akan tetapi tiba-tiba nampak dua bayangan berkelebat dan Ciauw In berdua Ong Su telah berdiri menghadang di depan mereka. Ong Su dengan toya di tangan membentak sambil melototkan kedua matanya.

   "Anjing-anjing Hek-lian-pang, jangan lakukan keroyokan secara curang!"

   Tentu saja para anggauta Hek-lian-pang yang mengandalkan jumlah besar tidak jerih menghadapi dua orang pemuda ini, maka sambil berteriak-teriak mereka maju menyerbu. Ong Su tertawa bergelak, dan sekali toyanya bergerak terputar, robohlah seorang pengeroyok dengan mandi darah di kepalanya! Ciauw In juga menggerakkan pedangnya dan mata para pengeroyok itu tiba-tiba menjadi silau karena sinar pedang dan toya kedua pemuda itu benar-benar hebat bergulung-gulung bagaikan dua ekor naga sakti mengamuk. Pertempuran berjalan ramai dan seru sekali, karena betapapun juga, semua anggauta Hek-lian-pang memiliki ilmu silat yang cukup tinggi hingga mereka dapat mengepung dan mengeroyok Ciauw In dan Ong Su.

   Senjata-senjata di tangan mereka datang bagaikan serangan air hujan, akan tetapi dua orang jago muda dari Hoa-san ini tidak merasa jerih. Ketika mereka mendesak, terdengarlah pekik dan robohlah beberapa orang pengeroyok! Sementara itu, pertempuran yang berjalan antara Bwee Hiang dan Gu Ma Ong, amat ramainya. Gu Ma Ong adalah seorang ahli silat kawakan yang telah banyak sekali mengalami pertempuran-pertempuran besar, dan ilmu goloknya yang berasal dari cabang Bu-tong-pai itu tidak boleh dianggap lemah. Maka biarpun Bwee Hiang telah memiliki ilmu siang-kiam yang tinggi, akan tetapi ia kalah pengalaman hingga kelebihan ilmu silatnya dapat diimbangi oleh kelebihan pengalaman lawannya. Berkali-kali senjata mereka bertemu dan bunga api terpencar keluar dibarengi suara nyaring ketika dua senjata beradu.

   Gu Ma Ong merasa penasaran sekali karena setelah beberapa lama ia menyerang, selalu serangannya dapat digagalkan oleh lawan yang muda ini, maka ia lalu menggereng keras dan tiba-tiba merobah ilmu goloknya, ia mulai mainkan ilmu golok Hek-lian-pang sendiri yang berasal dari ilmu golok Bu-tong-pai tapi telah dirobah. Golok di tangan kanannya meluncur dan dengan gerakan terputar membabat ke arah pinggang Bwee Hiang, sedangkan tangan kirinya menyusul dengan sebuah pukulan ke arah kepala gadis itu. Bwee Hiang tidak menjadi gugup, ia lalu melayani serangan ini dengan gerak tipu Raja Monyet Membagi Buah. Pedang di tangan kirinya dipukulkan dari atas ke bawah untuk menangkis babatan golok ke pinggangnya, sedangkan pukulan tangan kiri lawan yang menyambar ke arah kepalanya itu dielakkan dengan merendahkan tubuh hingga pukulan menyambar lewat ke atas kepalanya.

   Berbareng dengan pertahanan diri itu, tangan kanannya yang menganggur lalu menusukkan pedang ke arah dada orang, tepat di bawah tangan kiri Gu Ma Ong yang terangkat dan sedang memukulnya itu! Akan tetapi Gu Ma Ong benar-benar lihai, karena sungguhpun ia merasa amat terkejut melihat serangan tiba-tiba yang berbahaya ini, ia tidak kehilangan ketenangannya dan tangan klrinya yang telah memukul kepala segera disabetkan ke bawah dengan telapak tangan miring, menghantam pedang Bwee Hiang yang menusuknya dari samping dengan gerak tipu Dewa Mabok Menolak Arak. Gerakan ini harus dilakukan dengan tepat sekali, oleh karena pedang adalah senjata tajam yang tajam di kedua bagian sehingga pukulan telapak tangan harus dapat mengenai permukaan pedang,

   Kalau meleset sedikit saja maka telapak tangan itu pasti akan putus atau sedikitnya menderita luka! Gerakan Gu Ma Ong amat tepat dan pedang yang menusuk di dadanya itu dapat terpental ke samping sehingga dadanya dapat diselamatkan. Bwee Hiang merasa kagum juga melihat ketenangan dan kelihaian pangcu (ketua) dari Hek-lian-pang ini, maka setelah melompat mundur dua langkah, untuk menetapkan posisinya, ia lalu menyerbu lagi dengan tipu-tipu Hoa-san Kiam-hwat yang hebat. Kedua pedangnya menyambar-nyambar dari kanan kiri, atas bawah dan mengurung tubuh lawannya. Biarpun Gu Ma Ong melakukan perlawanan sengit dan mengerahkan seluruh kepandaiannya, namun tetap saja goloknya terdesak dan terhimpit oleh sepasang pedang lawan sehingga diam-diam ia mengeluh dan merasa gelisah sekali.

   Sementara itu, Ong Su dan Ciauw In yang mengamuk, terutama sekali Ong Su yang memainkan toyanya secara ganas dan lihai, telah merobohkan belasan orang anggauta Hek-lian-pai. Mereka itu ada yang terbacok pundak atau lengannya, ada yang tulang kakinya patah-patah karena disapu oleh toya Ong Su, ada pula yang kepalanya pecah atau matang biru mukanya sehingga sukar dikenal lagi. Tubuh mereka bergelimpangan, darah membasahi lantai dan rintihan terdengar menyedihkan sekali. Tadinya, banyak sekali orang-orang penduduk Ban-hong-cun yang mendengar tentang perkelahian itu datang menonton dari luar pintu pekarangan, mereka diam-diam merasa heran dan juga girang melihat bahwa akhirnya ada juga orang-orang yang berani melawan dan menentang Hek-lian-Pang yang mereka benci.

   Akan tetapi ketika mellhat betapa tiga orang muda itu mengamuk demikian hebatnya, mereka merasa ngeri juga lalu pergi menjauhkan diri dan hanya menonton atau menanti dari tempat yang cukup jauh dan aman! Para anggauta Hek-lian-pang yang tadinya mengeroyok Ong Su dan Ciauw In, kini merasa gentar dan ketakutan melihat betapa kedua orang muda itu mengamuk bagaikan sepasang naga dari angkasa dan melihat betapa banyak kawan-kawan mereka terluka parah atau binasa, mereka yang masih bersisa delapan orang itu lalu berlari keluar dari tempat itu menyelamatkan diri! Ong Su tertawa bergelak-gelak dan melihat betapa Bwee Hiang belum berhasil merobohkan ketua Hek-lian-pang. Ong Su lalu menyerbu hendak membantu. Akan tetapi Ciauw In berseru.

   "Ong sute, jangan turun tangan! Sumoi tak perlu dibantu, biar dia sendiri yang membikin mampus musuh besarnya!"

   Ong Su merasa penasaran karena menurut suara hatinya, ia ingin lekas-lekas melihat musuh besar sumoinya yang kejam itu roboh binasa, maka ia tidak menunda maksudnya hendak membantu. Akan tetapi di luar dugaannya. Bwee Hiang juga berseru,

   "Ong-suheng, ucapan twa-suheng benar! Biarkan aku sendiri menebus kematian mendiang ayahku."

   Terpaksa Ong Su melompat mundur lagi dan hanya menonron bersama Ciauw In di pinggir. Gu Ma Ong yang melihat betapa seluruh anak buahnya telah disapu bersih oleh kedua orang muda itu, tentu saja menjadi terkejut sekali dan hatinya makin takut dan gentar. Oleh karena ini, maka permainan goloknya yang sudah terdesak hebat oleh Bwee Hiang itu, makin menjadi kalut. Napasnya tersengal-sengal dan pandangan matanya kabur. Pada waktu Bwee Hiang menggunakan pedang di tangan kiri menyerang ke arah lehernya dan kaki kanan gadis itu melayang menendang lambung dengan gerakan tipu Burung Walet Menyerang Lawan, Gu Ma Ong yang sudah pening itu menggunakan goloknya menangkis serangan pedang sedangkan tangan kirinya cepat menyampok tendangan yang berbahaya itu.

   la dapat menghindarkan diri dari serangan ini, akan tetapi tidak tahunya kedua serangan gadis itu hanya untuk memancing dan mencari lowongan, karena secepat kilat pedang di tangan kanan gadis itu meluncur ke depan dan tak dapat ditahan lagi pedang itu amblas ke dalam dadanya sebelah kiri sampai menembus ke punggungnya! Gu Ma Ong hanya dapat mengeluarkan jerit ngeri, lalu roboh tak berkutik lagi! Bwee Hiang berdiri memandang tubuh lawan dan musuh besarnya dan lenyaplah seluruh tenaga dan semangatnya melihat betapa musuh besarnya ini akhirnya binasa juga di tangannya. Keharuan hati dicampur kesedihan teringat akan nasib ayahnya membuat ia berdiri lemas dan dua butir air mata menitik ke atas pipinya. Ia lalu menoleh dan memandang kepada sekian banyaknya tubuh para anggauta Hek-lian-pang, lalu ia berkata sambil memandang kepada kedua suhengnya.

   "Twa-suheng, ji-suheng, terima kasih atas bantuan kalian. Hatiku telah puas karena sakit hati ayah telah terbalas!"

   Seorang anggauta Hek-liang-pang yang rebah tidak jauh dari mereka dan menderita tulang kering kakinya patah-patah oleh toya Ong su menggerakkan tubuhnya dan bertanya.

   "Sam-wi siapakah? Harap suka memberitahu nama kalian agar nanti aku dapat memberitahukan kepada pangcu apabila ia kembali ke sini."

   Bwee Hiang tersenyum menyindir.

   "Baiklah, kau kubiarkan hidup agar mendapat kesempatan memberitahukan nama kami kepada pangcumu. Ketahuilah bahwa yang melakukan semua ini adalah Gak Bwee Hiang puteri tunggal dari mendiang Gak Seng di kota Keng-sin yang terbunuh mati oleh ketuamu ini!"

   "Dan aku bernama Ong Su, kau ingat baik-baik!"

   "Boleh juga kau beritahukan namaku, yaitu Lie Ciauw In!"

   "Kuingat baik-baik, takkan kulupa tiga nama ini..."

   Orang itu berkata lalu merintih-rintih karena kakinya terasa sakit sekali. Bwee Hiang dan kedua orang suhengnya lalu meninggalkan tempat itu. Ketika mereka tiba di luar pekarangan, mereka melihat banyak sekali orang menghampiri hingga mereka menjadi kaget dan bersiap sedia karena menyangka bahwa orang-orang itu mungkin anak buah Hek-lian-pang yang hendak mengeroyok. Akan tetapi ternyata bahwa mereka itu adalah penduduk kota Ban-hong-cun yang menyatakan kekaguman dan terima kasih mereka.

   

Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini