Ceritasilat Novel Online

Pendekar Dari Hoasan 3


Pendekar Dari Hoasan Karya Kho Ping Hoo Bagian 3



Pengemis perantau bertubuh tinggi yang sekarang telah meninggal dunia. Dengan demikian, maka ilmu pedangnya ini adalah ilmu pedang tunggal yang tidak dikenal orang lain dan hanya dapat dimainkan oleh Sian Kim sendiri! Dara baju hitam ini telah setahun lamanya memimpin Hek-lian-pang, menggantikan ayahnya yang sudah tua dan oleh karena memang ilmu silatnya jauh lebih tinggi dari pada ilmu silat ayahnya, maka baik ayahnya sendiri maupun para anggauta Hek"lian-pang mengangkatnya menjadi ketua perkumpulan. Akan tetapi, Gu Sian Kim ini mempunyai darah perantau dan karena semenjak kecil ia ikut suhunya merantau, maka ia tidak tahan untuk berdiam saja di rumah. Kedudukan sebagai ketua perkumpulan Hek-lian-pang tidak menarik hatinya, maka seringkali ia pergi meninggalkan ayah dan anak buahnya untuk merantau.

   Kettka ia kembali ke Ban-hong-cun, ia mendengar tentang kematian ayahnya dan banyak anak buahnya. Ketika mendengar bahwa yang membasmi perkumpulan Hek-lian-pang dan yang membunuh ayahnya adalah seorang anak murid Hoa-san-pai yang bernama Gak Bwee Hiang beserta kedua orang suhengnya yang bernama Lie Ciauw In dan Ong Su, ia merasa marah sekali. Ia bersumpah untuk mencari dan membalas dendam sakit hati ini, hendak membunuh ketiga orang murid Hoa-san-pai! Oleh karena itu, ketika tadi ia melihat dan mendengar nama Ong Su naik ke atas panggung, diam-diam ia memperhatikan. Ia datang ke tempat ini bukan sengaja mencari ketiga orang musuhnya, akan tetapi hanya untuk mencari nama dan mencoba kepandaian. Tidak tersangka sama sekali bahwa di tempat ini ia akan bertemu dengan ketiga orang yang dicari-carinya,

   Maka sudah tentu saja ia diam-diam merasa girang bukan main. Kini menghadapi Gak Bwee Hiang yang menjadi pembunuh ayahnya dan menjadi musuh besarnya, ingin sekali terjang ia membunuh musuh ini, akan tetapi kecerdikan otaknya membuat ia berlaku tenang dan membatasi diri, menahan kemarahannya yang memuncak dan yang membuat sepasang matanya yang indah itu seakan-akan mengeluarkan cahaya berapi sehingga Bwee Hiang sendiri merasa terkejut. Sian Kim maklum bahwa ia berada diantara orang-orang gagah yang tak boleh dibuat permainan, maka kalau saja ia berlaku keras dan kasar terhadap musuh besarnya ini dan sampai membunuhnya, tentu tokoh-tokoh besar seperti Pek Bi Hosiang, Gui Im Tojin, Lan Lau Suthai dan yang lain-lain takkan tinggal diam dan kalau sampai terjadi hal ini, maka keadaannya akan berbahaya sekali!

   Ia merasa jerih untuk dianggap musuh oleh sekalian orang gagah dari dunia kang-ouw, maka ia manahan kemarahan hatinya seberapa dapat. Sian Kim merasa lega ketika tadi melihat dan menyaksikan kepandaian Ong Su yang biarpun cukup lihai, akan tetapi tidak teralu berbahaya baginya dan ia sanggup untuk membinasakan pemuda itu dalam sebuah pertempuran. Kini ia hendak menguji ketinggian ilmu pedang musuh besar yang berada dihadapannya, kemudian setelah mencoba lagi kepandaian murid pertama dari Hoa-san, barulah ia akan turun tangan, akan tetapi tidak di tempat ini! Demikianlah, setelah mendapat jawaban yang memastikan bahwa yang berada dihadapannya adalah musuh besarnya yang bernama Gak Bwee Hiang, untuk melenyapkan keraguannya, ia berkata sambil memaksa sebuah senyum manis.

   "Adikku yang baik, ketika aku menuju ke tempat ini, aku mendengar tentang tiga orang muda anak murid Hoa-san-pai yang membuat nama besar di kota Ban-hong-cun, tidak tahu apakah mereka yang gagah perkasa itu kau dan saudara-saudaramu?"

   Melihat sikap Sian Kim yang mengajaknya mengobrol ini, Bwee Hiang merasa heran dan juga tidakk sabar.

   "Betul, betul aku dan kedua suhengku. Sobat, marilah kita mulai, sekarang bukan waktunya untuk mengobrol!"

   Sian Kim tersenyum dan mencabut pedangnya.

   "Baik, baik. Kau majulah!"

   Bwee Hiang yang merasa tak senang kepada dara jelita berbaju hitam ini, tanpa sungkan-sungkan lagi lalu mainkan siangkiamnya dan menyerang hebat. Sian Kim menangkis dan ia hanya mempertahankan diri saja oleh karena hendak mengukur sampai di mana kelihaian musuh besarnya ini. Setelah bertempur belasan jurus, tahulah ia mengapa ayahnya tewas di tangan Bwee Hiang, oleh karena ilmu pedang Hoa-san-pai yang dimainkan oleh sepasang pedang gadis ini benar-benar tangguh.

   Setelah mengukur kehebatan serangan Bwee Hiang, Sian Kim lalu membalas dan kini pedangnya terputar hebat mendesak sepasang pedang Bwee Hiang dengan amat kuatnya. Bwee Hiang terkejut dan cepat ia membela diri oleh karena kini lawannya telah mengeluarkan ilmu pedangnya yang ganas dan yang telah merobohkan murid tertua dari Go-bi-pai! Diam-diam Bwee Hiang mengakui keunggulan ilmu pedang lawannya yang aneh ini, dan betapapun ia mainkan sepasang pedangnya dengan cepat, tetap saja ia terdesak hebat! Sebaliknya, Sian Kim yang melihat pertahanan lawannya ini, tahu bahwa biarpun kalau menghadapi seorang lawan seorang, ia pasti akan dapat merobohkan mereka ini, akan tetapi kalau mereka berrdua maju mengeroyoknya, Bwee Hiang dengan siang-kiamnya dan Ong Su dengan toyanya, belum tentu ia akan menang!

   Belum lagi diperhitungkan seorang suheng mereka yang belum ia ketahui sampai di mana tingkat kepandaiannya. Mengingat akan hal ini, Sian Kim berlaku hati- hati dan ia tidak mau membinasakan Bwee Hiang dalam pertandingan ini, karena biarpun ia akan berhasil membunuh musuh besar ini, tentu ia takkan kuat menghadapi keroyokan kedua suheng dari Bwee Hiang! Ia hanya mengeluarkan ilmu pedang yang disebutnya sendiri Hek-lian-kiamsut, dan mempergunakan keunggulan permainannya untuk mendesak keras dan mempermainkan Bwee Hiang. Pada jurus ketiga puluh satu, ia berhasil menggunakan ujung pedangnya untuk menowel pita rambut Bwee Hiang sehingga pita itu terputus dan rambut Bwee Hiang terurai di atas pundaknya. Akan tetapi, hal ini bahkan menambahkan kemarahan Bwee Hiang yang menganggap bahwa lawannya terlalu menghina dan mempermainkan.

   Dengan nekad ia maju menyerbu dengan sepasang pedangnya, akan tetapi kembali Sian Kim mengeluarkan kepandaiannya. Pedangnya berkelebat dan "bret!"

   Ujung pedang itu berhasil mampir di baju Bwee Hiang di bagian dada hingga robek! Bukan main marahnya Bwee Hiang oleh karena perbuatan ini hampir saja mendatangkan malu besar kepadanya. Untung bahwa yang terobek hanyalah baju luar dan tidak menembus baju dalamnya yang berwarna merah. Kalau baju dalamnya ikat terobek, tentu akan terlihatlah dadanya! Hal ini dianggapnya penghinaan yang luar biasa besarnya, maka sambil memekik marah ia lalu menyerang dengan lebih hebat, mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk mengadu nyawa! Menghadapi amukan ini, terpaksa Sian Kim juga mengerahkan kepandaiannya,

   Oleh karena ia hanya lebih unggul setingkat dari Bwee Hiang dan tak mungkin baginya untuk mempermainkan gadis itu sesuka hatinya. Setelah ia mengerahkan tenaga dan ilmu pedangnya, perlahan akan tetapi tentu, Bwee Hiang mulai mundur-mundur dan berkelahi sambil mundur terputar. Beberapa kali ia terdesak sampai ke pinggir panggung hingga tiap saat ia dapat tergelincir jatuh! Para penonton yang melihat pertandingan ini, menjadi tegang dan cemas sekali. Biarpun mereka yang tidak mengerti ilmu silat, dapat merasa bahwa pertandingan kali ini di antara dua orang gadis yang merupakan harimau betina itu, bukanlah pertandingan main-main belaka. Juga Ciauw In merasa gelisah sekali melihat hal ini. Pemuda ini sudah berdiri dari tempat duduknya dan memandang penuh kekuatiran. Ia merasa menyesal mengapa sumoinya begitu keras hati dan tidak tahu diri.

   Sudah seharusnya sumoinya itu melompat turun dari panggung menerima kalah. Mengapa sumoinya menjadi demikian pemarah dan tidak mau mengalah? Sian Kim merasa penasaran juga melihat kebandelan Bwee Hiang dan karena serangan-serangan Bwee Hiang juga amat berbahaya, terpaksa ia mendesaknya lagi dan mengirim serangan-serangan mematikan. Pada suatu saat, serangan Sian Kim demikian cepat datangnya sehingga ketika tertangkis, api memancar keluar dari kedua pedang yang sedang bertemu. Bwee Hiang merasa betapa tangannya gemetar dan selagi ia hendak membalas serangan itu, Sian Kim mendahuluinya dengan serangan kilat pada lehernya! Bwee Hiang masih dapat menangkis serangan ini, akan tetapi ia terhuyung dan hampir jatuh, sedangkan Sian Kim tidak mau memberi hati dan menubruk! Pada saat itu, terdengar suara keras,

   "Sumoi, kau sudah kalah!"

   Dan Sian Kim merasa betapa pundaknya ditolak orang sehingga ia terdorong mundur sampai tiga langkah, sedangkan orang yang datang memisah itu, sekali pegang tangan Bwee Hiang telah berhasil menarik gadis itu melompat turun panggung. Kemudian orang itu melompat kembali ke atas panggung menjura kepadanya dan berkata dengan halus,

   "Nona, harap kau maafkan sumoiku yang keras hati itu."

   Sian Kim memandang dan ia tertegun. Yang berdiri dihadapannya adalah seorang pemuda yang tampan sekali, bersikap sopan-santun dan memiliki sepasang mata yang amat tajam bagaikan sepasang bintang pagi! Sian Kim memang mempunyai kelemahan terhadap pemuda-pemuda tampan, maka tak terasa lagi hatinya tergoncang. Akan tetapi ia teringat bahwa pemuda ini tentulah suheng dari Bwee Hiang yang bernama Lie Ciauw In. Diam-diam ia merasa terkejut dan mengeluh oleh karena dari dorongan pemuda tadi saja sudah membuktikan akan kelihaiannya dan kekuatan lweekangnya yang luar biasa. Maka ia membalas menjura dan berkata,

   "Tidak ada yang harus minta maaf, sudah biasa terjadi perebutan kemenangan dalam sebuah pibu!"

   Setelah berkata demikian, Sian Kim lalu melompat turun dan duduk di tempat semula, menanti dimulainya pertandingan babak kedua sebagai hasil kemenangannya dua kali berturut- turut itu, Ia mengharapkan untuk dapat bertanding dan mengukur kepandaian Ciauw In dalam babak kedua nanti.

   Sementara itu, Ciauw In yang belum bertanding, berdiri menanti datangnya lawan. Kebetulan sekali masih ada dua orang peserta yang tidak mewakili partai persilatan, dan seorang diantara mereka lalu melompat naik ke panggung. Akan tetapi ternyata bahwa ia bukanlah lawan Ciauw In yang lihai dan dalam sebuah pertempuran pendek, dalam belasan jurus saja peserta ini dapat dikalahkan oleh Ciauw In yang berhasil menotok pundaknya! Peserta kedua dan yang terakhir melompat naik dan mengajak Ciauw In bertanding pedang. Ciauw In mencabut pedangnya dan semua orang, juga Pek Bi Hosiang, memandang penuh perhatian oleh karena ia ingin sekali melihat lihainya Hoa-san Kiam-hwat ciptaan Ho Sim Siansu yang belum diperlihatkan itu.

   ketika Bwee Hiang bermain siang-kiam, walaupun gerakan ini menurut ilmu pedang Hoa-san, akan tetapi telah banyak dirobah dengan permainan sepasang pedang, karena sesungguhnya Hoa-san Kiam-hwat harus dimainkan dengan pedang tunggal maka permainan Bwee Hiang tidak sangat mengesankan. Lawan Ciauw In ternyata memiliki ilmu pedang campuran yang cukup tangguh dan gerakannya kuat. Akan tetapi, menghadapi ilmu pedang yang dimainkan Ciauw ln, ia tidak berdaya dan belum sampai dua puluh jurus, pedangnya telah dapat dibikin terpental ke udara oleh babatan Ciauw In! Tepuk-sorak menyambut kemenangan Ciauw In ini, dan juga Pek Bi Hosiang diam-diam memuji kehebatan ilmu pedang Hoa-san,

   Sungguhpun ia belum mendapat bukti yang jelas akan kehebatan ilmu pedang itu karena Ciauw In belum mendapat kesempatan untuk mainkan ilmu pedang ini sampai sehebat-hebatnya, berhubung lawannya tadi bukanlah merupakan lawan yang cukup kuat untuk mengimbangi kepandaiannya. Maka selesailah sudah babak pertama dan orang-orang yang keluar sebagai pemenang ada lima orang, yaitu Ciu Hai Eng, murld perempuan dari Go-bi-pai, Bong Hin murid pertama dari Kun-lun-pai, Tan Bi Nio murid perempuan dari Thai-san-pai, Gu Sian Kim, dan Lie Ciauw In, jadi tiga pendekar wanita dan dua pendekar pria! Pek Bi Hosiang yang bijaksana lalu mengadakan keputusan bahwa cli antara kelima orang itu, harus bertanding menurut kelamin masing-masing untuk menetapkan pemenang pria dan wanita yang kemudian akan berhadapan untuk memperebutkan gelar juara!

   Ciu Hai Eng lalu melompat ke atas panggung, disusul oleh Tan Bi Nio. Pek Bi Hosiang merasa kecewa sekali bahwa yang menang dalam babak pertama tadi adalah muridnya kedua ini, karena kalau yang menang itu murid pertamanya yaitu Lo Sun Kang yang dikalahkan oleh Sian Kim, tentu kedudukan Go-bi-pai lebih kuat. Kini Ciu Hai Eng yang menghadapi Tan Bi Nio, murid pertama dari Thai-san-pai, mendapatkan lawan yang berat sekali. Benar saja, setelah keduanya mulai menggerakkan senjata masing-masing, yakni Ciu Hai Eng menggerakkan pedangnya dan Tan Bi Nio mainkan siang-kek atau sepasang tombak pendek bercagak yang lihai, terlihatlah bahwa kepandaian Tan Bi Nio lebih menang setingkat. Sepasang siang-keknya mendesak pedang Ciu Hai Eng dengan hebat, dan biarpun Hai Eng mempertahankan diri dan nama perguruannya sekuat tenaga.

   Akan tetapi pada jurus ketiga puluh setelah bertempur mati-matian, siangkek di tangan kanan Tan Bi Nio berhasil menjepit pedang lawan dan memutarnya sedemikian rupa sehingga terpaksa Ciu Hai Eng malepaskan pedangnya dan mengaku kalah! Gu Sian Kim lalu menggantikan Ciu Hai Eng dan kedatangannya disambut oleh para penonton dengan tepuk sorak riuh rendah! Hampir semua orang yang terdiri laki-laki semua itu, merasa kagum melihat kepandaian dan terutama sekali melihat kecantikan Sian Kim, dan kini karena yang dihadapinya juga seorang gadis cantik seperti Tan Bi Nio, sudah tentu mereka yang menonton merasa senang dan gembira sekali. Mereka sudah menyaksikan kelihaian Tan Bi Nio dan sudah dibikin kagum pula oleh permainan pedang Sian Kim, maka dapat menduga bahwa kini pasti akan terjadi pertempuran yang luar biasa ramainya!

   Sementara itu, Ciauw In yang kembali ke tempat duduknya, disambut oleh Bwee Hiang dengan muka merengut. Gadis ini hampir menangis dan sedang dihibur oleh Ong Su dengan bisikan-bisikan perlahan. Ciauw In ingin sekali menegur sumoinya ini, akan tetapi ia tidak mau membikin malu sumoinya di depan umum, maka menunda niatnya dan akan menegur setelah mereka meninggalkan tempat itu. Sedangkan Bwee Hiang juga diam saja, bahkan tidak mau memandang muka Ciauw In. Gadis ini merasa tak enak hati dan marah sekali, karena hatinya telah dipengaruhi oleh rasa iri dan cemburu besar terhadap Sian Kim. Sementara itu, pertempuran antara Tan Bi Nio dan Sian Kim telah mulai berlangsung dengan hebatnya.

   Sepasang siang-kek dari murid Thai-san-pai itu memang lihai sekali dan mempunyai gerakan yang kuat dan cepat, sedangkan ilmu pedang Sian Kim memang mempunyai gerakan istimewa cepatnya, maka tentu saja setelah kedua orang gadis gagah ini mengeluarkan kepandaian masing-masing, sinar senjata mereka berkelebatan menyilaukan mata yang menontonnya! Sian Kim adalah seorang gadis yang mempunyai kecerdikan luar biasa. Ia tidak mempunyai permusuhan dengan Tan Bi Nio dan tidak ingin pula menanam permusuhan dengan gadis ini oleh karena, ia tahu bahwa Tan Bi Nio adalah anak murid Thai-san-pai yang tersohor dan ternama. Kalau ia sampai menjatuhkan Tan Bi Nio dengan ilmu pedangnya yang ganas tanpa mengenal ampun, setidaknya tentu ia akan dibenci oleh Tan Bi Nio dan golongannya.

   Oleh karena itu, kini menghadapi Tan Bi Nio, biarpun kalau ia mau, ia dapat mendapatkan kemenangan dengan cepat, akan tetapi ia sengaja menyimpan tipu-tipu silatnya yang terlihai dan ganas, dan hanya mainkan pedangnya dengan gerakan lemah gemulai dan indah serta sedap dipandang. Memang ia cantik jelita dan mempunyai potongan tubuh yang menggiurkan, maka kini setelah ia mengeluarkan gaya gerakan yang indah, tentu saja ia mendapat sambutan tepuk tangan yang riuh rendah. Pada jurus kelima puluh, setelah keduanya merasa cukup lelah, Tan Bi Nio yang merasa, penasaran oleh karena biasanya sepasang siang-keknya paling baik untuk melawan orang berpedang, kini ternyata tak berdaya menghadapi permainan pedang Sian Kim, lalu berseru keras.

   "Awas serangan!"

   Dan benar saja, siang-keknya kini berubah gerakannya, menjadi kuat dan cepat. Siang-kek itu bertubi-tubi menghujani serangan. Senjata tombak pendek di tangan kiri selalu memancing-mancing dan menyerang hebat, akan tetapi ini hanyalah merupakan serangan palsu belaka. Ketika senjata di tangan kiri meluncur ke arah iga Sian Kim,

   Gadis baju hitam ini menangkis dengan pedang, akan tetapi tiba-tiba senjata itu ditarik mundur dan tombak di tangan kanannya yang menyerang hebat, menyerampang pinggang Sian Kim yang ramping! Sian Kim tidak menjadi gugup menghadapi serangan tiba-tiba yang berbahaya ini, sambil berseru keras dan nyaring, tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas dengan gerak loncat Pek-liong-seng-thian atau Naga Putih Terbang ke Langit! Tubuhnya berjungkir balik dengan kepala di bawah dan kaki di atas, dan dari atas ia melayang turun dengan serangan hebat yang mirip dengan serangan pedang Sin-liong-pok-cui atau Naga Sakti Menyambar Air. Bukan main indahnya gerakan serangan ini. Ikat pinggang Sian Kim yang berwarna merah itu berkibar di udara, sedangkan sebagian rambutnya terlepas dari sanggulnya sehingga berkibar-kibar pula amat indahnya. Semua orang menjadi kagum melihatnya.

   Tan Bi Nio yang bersikap tenang menerima serangan ini dan mempergunakan kesempatan yang amat baik ini untuk mengelak ke kiri, kemudian selagi tubuh Sian Kim meluncur turun, ia membarengi dengan serangan kedua siang-kek ke arah leher dan pinggang lawan sambil membarengi mengangkat kaki menendang! Bukan main hebatnya serangan Tan Bi Nio ini dan Ciauw In yang melihatnya mengeluarkan seruan tertahan karena kuatir akan keselamatan dara jelita itu hingga Bwee Hiang menjadi makin merenggut dan cemburu. Akan tetapi, semua penonton yang tadinya menahan napas dengan berkuatir sekali, tiba tiba bersorak-sorak memuji karena Sian Kim mendemonstrasikan kepandaiannya yang benar-benar mengagumkan.

   Ketika tubuhnya meluncur turun karena serangannya dengan gerak tipu yang mirip dengan Sin-liong-pok-cui tadi gagal, tiba-tiba ia menekuk tubuhnya dan dengan gerakan loh-be yakni gerakan membalik dengan cepat, ia telah mencelat lagi ke atas sebelum tubuhnya tiba di bawah! Gerakan ini menggagalkan tendangan Tan Bi Nio dan juga sekaligus mengelakkan sambaran senjata lawan pada lehernya. Sedangkan sambaran senjata tombak pada pinggangnya dapat didupaknya dengan sebelah kakinya! Cepat bukan main gerakan ini hingga Bi Nio sendiri tak pernah menyangkanya, maka tendangan kaki lawan itu tepat mengena jari tangan yang memegang senjata tombak, maka tanpa dapat dicegah lagi, tombaknya terlepas dan ia melompat mundur dengan muka merah.

   "Aku menerima kalah!"

   Katanya. Sian Kim yang telah melompat turun, lalu menghampiri Bi Nio, memungut tombak lawannya dan mengembalikannya lalu memeluk pundak Bi Nio sambil berkata dengan senyum manis.

   (Lanjut ke Jilid 03)

   Pendekar Dari Hoasan/Hoasan Tayhiap (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 03

   "Cici, ilmu siang-kekmu benar-benar membuat aku kagum sekali. Maafkan kelancanganku tadi."

   Melihat sikap ini, Tan Bi Nio merasa terharu dan juga girang. Ia balas memeluk dan berkata.

   "Ah, betapapun juga, kepandaianku masih belum dapat dibandingkan dengan kehebatan ilmu pedangmu."

   Keduanya lalu turun dari panggung bersama-sama untuk memberi tempat kepada peserta lain. Menurut keputusan Pek Bi Hosiang, maka kini Ciauw In harus menghadapi Bong Hin, murid kepala dari Kun-lun-pai. Tentu saja Bong Hin sebagai murid kepala termuda dari Kun-lun-pai, memiliki ilmu silat tinggi sekali sebagaimana yang telah dibuktikannya tadi sehingga dengan amat mudahnya ia mengalahkan dua orang peserta luar.

   Diam-diam Bong Hin tadi memperhatikan gerakan pedang Ciauw In dan mendapat kenyataan bahwa Hoa-san Kiam-hwat dari pemuda itu benar-benar tangguh maka ia merasa bahwa dalam hal kepandaian dalam main senjata, belum tentu ia akan memperoleh kemenangan. Oleh karena ini, ia mendapatkan akal. Ia adalah seorang ahli dalam ilmu Thiat-ciang-kang, yakni Telapak Tangan Besi. Kedua telapak tangannya telah dilatih semenjak ia masih kecil sehingga telapak tangannya memiliki kekuatan dan kehebatan yang tidak takut menghadapi serangan senjata tajam. Ia berani memapaki bacokan golok dengan telapak tangannya dan merampas golok itu! Maka, mengandalkan ilmu silat tangan kosong dari Kun-lun-pai dan ilmu Thiat-ciang-kang ini, ia lalu mendahului Ciauw In dengan kata-kata ramah.

   "Saudara gagah dari Hoa-san, karena perguruan kita saling bersahabat, maka marilah kita main-main sebentar dengan bertangan kosong saja."

   Ciauw In tersenyum dan ia dapat menduga bahwa lawannya ini tentulah mempunyai satu keistimewaan yang khusus dalam kepandaian silat tangan kosong. Setelah melihat dan memandang dengan teliti, ia dapat melihat telapak tangan lawan yang kehitam-hitaman itu, maka diam-diam ia terkejut. Akan tetapi, sebagai seorang murid Hoa-san-pai yang menjunjung tinggi nama perguruan sendiri, tentu saja ia tidak menjadi gentar menghadapi lawan ini. Sambil menganggukkan kepala ia meloloskan sarung pedangnya dan melemparkannya ke arah Ong Su yang menyambutnya. Kemudian dengan tenang ia menghadapi Bong Hin dan memasang kuda-kuda dengan gerakan Heng-Pai-koan-im atau Memuja Dewi Kwan Im Dengan Tangan Miring! Melihat betapa lawannya telah memasang bhesi, Bong Hin tidak berlaku sungkan lagi, maka sambil berseru,

   "Awas pukulan!"

   Ia lalu majukan kakinya dan menyerang dengan gerak tipu Pai-in-cut-sui atau Dorong Awan Keluar Puncak! Ia mendorong dengan telapak tangannya yang mengandung tenaga Thiat-ciang-kang hingga belum juga dorongannya mengenai tubuh Ciauw In, angin dorongan itu telah terasa kekuatannya! Ciauw In cepat mengelak dan miringkan tubuh dan membalas dengan pukulan tangan kiri dengan gerak tipu Hong-tan-tiam-ci atau Burung Hong Pentang Sebelah Sayap. Pukulannya tidak keras, akan tetapi di dalamnya mengandung tenaga lweekang yang menggetarkan dada Bong Hin walaupun pukulan itu belum mengenai tubuhnya! Bong Hin merasa terkejut sekali karena tak pernah disangkanya bahwa lawannya ini memiliki lweekang yang hebat.

   Ia tidak tahu bahwa Ciauw In disamping ilmu pedangnya yang lihai, juga mendapat gemblengan dan latihan Ho Sim Siansu sehingga memiliki ilmu pukulan Kim-san-ciang atau Tangan Bubuk Emas! Tenaga luar biasa yang telah berada di kedua tangannya ini dapat dipergunakan untuk menghadapi ilmu-ilmu kekuatan tangan seperti Thiat-ciang-kang, Ang-see-jiu dan lain-lain! Dengan cepat Bong Hin mengelak sambil menggunakan tangannya menyampok lengan Ciauw In. Akan tetapi Ciauw In tidak membiarkan lengan tangannya beradu dengan telapak tangan lawan yang lihai itu, maka ia memutar lengannya dan mempergunakan telapak tangannya untuk membentur telapak tangan lawan ini! Dua telapak tangan beradu, membawa tenaga raksasa yang akibatnya membuat mereka terpental mundur sampat tiga langkah!

   Keduanya terkejut dan maklum akan kelihaian lawan, terutama sekali Bong Hin yang tadinya tidak menyangka akan ilmu yang dimiliki Ciauw In. Maka setelah benturan telapak tangan ini, ia maklum bahwa ia tak dapat mengandalkan Thiat-ciang-kang untuk merobohkan lawan, dan berlaku amat hati-hati dalam gerakannya. Ternyata bahwa dalam hal kepandaian silat tangan kosong, mereka berimbang sekali, sungguhpun harus diakui bahwa ginkang atau ilmu meringankan tubuh Ciauw In lebih tinggi setingkat sehingga gerakannya lebih gesit. Akan tetapi ilmu silat Kun-lun-pai amat tangguhnya, terutama sekali dalam daya tahan seakan-akan Ciauw In menghadapi tembok baja yang kokoh kuat saja! Pukulan demi pukulan dikeluarkan, tendangan melayang silih berganti, siasat dilawan tipu, kekuatan beradu kekuatan dan banyak sekali gerakan silat mereka keluarkan dalam usaha menjatuhkan lawan.

   Akan tetapi mereka sama kuatnya sehingga lima puluh jurus telah lewat tanpa ada tanda-tanda siapa yang akan menang! Bong Hin menjadi penasaran sekali dan perasaan inilah yang membuat dia akhirnya menderita kekalahan. Karena penasaran, maka ia menjadi nekat dan melakukan serangan yang berbahaya, tidak saja berbahaya bagi lawan, akan tetapi juga berbahaya bagi dirinya sendiri. Ia mempergunakan serangan yang disebut Pai-san-to-hai atau Menolak Gunung Menguruk Laut! Gerakan ini luar biasa hebatnya, oleh karena dilakukan dengan kedua tangan mendorong disertai sebelah kaki menendang sekaligus ada tiga serangan dilancarkan kepada lawannya! Ciauw In berlaku waspada dan cepat menjatuhkan diri ke kiri untuk menghindarkan diri dari serangan berbahaya itu dan karena ia melihat kesempatan terbuka, secepat kilat kakinya menendang ke arah lutut kaki kiri Bong Hin yang masih berdiri.

   Ketika itu, kaki kanan Bong Hin masih terangkat dalam tendangannya tadi maka ketika lutut kaki kirinya ditendang, tak ampun lagi ia roboh terguling! Dengan jujur, jago muda dari Kun-lun-pai ini mengakui keunggulan Ciauw In dan turun dari panggung dengan kaki terpincang-pincang. Ciauw In berdiri di atas panggung dengan gembira sekali, tidak karena tepukan tangan para penonton yang memujinya, akan tetapi oleh karena dengan kemenangannya ini ia mempunyai kesempatan menghadapi Sian Kim, dara jelita yang menarik hatinya itu! Sebaliknya, Sian Kim juga merasa girang oleh karena kini ia mendapat kesempatan pula untuk menghadapi pemuda yang menjadi seorang diantara tiga orang musuh besarnya, dan dapat mengukur kepandaian lawan ini! Segera setelah mendapat tanda dari Pek Bi Hosiang, ia melompat ke atas panggung, disambut dengan senyum malu-malu oleh Ciauw In.

   "Lie-taihiap, harap kau suka perlihatkan Hoa-san Kiam-hwat kepadaku!"

   Kata nona baju hitam itu sambil mencabut keluar pedangnya yang berkilau tajam.

   "Nona, aku hanya minta kau berlaku murah hati kepadaku!"

   Jawab Ciauw In sambil memberi tanda ke bawah, Ong Su mencabut keluar pedang suhengnya lalu melemparkan pedang itu ke arah Ciauw In. Semua penonton terkejut melihat betapa pedang yang dilempar oleh Ong Su itu meluncur bagaikan anak panah menuju ke tubuh Ciauw In! Akan tetapi, dengan tersenyum tenang, Ciauw In mengulurkan tangan kanan dan menyambut pedang itu bukan pada gagangnya, akan tetapi pada ujungnya yang runcing, dengan jalan menjepit diantara jari-jari tangannya! Tepuk tangan menyambut demonstrasi yang hebat ini. Ong Su memang sengaja melakukan hal ini untuk memberi "muka terang"

   Kepada suhengnya dan mereka ini di puncak Hoa-san memang sering mengadakan latihan menyambut pedang terbang ini!

   "Gerakan Kwan lm Menjepit Jarum itu sungguh bagus!"

   Sian Kim memuji dan Ciauw In merasa kagum melihat betapa nona cantik itu mengenal gerakan tangannya, maka ia berlaku amat hati-hati karena maklum bahwa kini ia menghadapi seorang lawan yang memiliki ilmu pedang luar biasa lihainya.

   Juga para penonton termasuk tokoh-tokoh besar yang hadir di situ, maklum bahwa pertandingan terakhir yang akan menentukan siapa juara ahli silat muda pada pertemuan ini, memandang dengan hati amat tertarik. Ilmu pedang yang tadi dimainkan oleh Sian Kim memang mereka kagumi sebagai ilmu pedang lihai yang tak pernah terlihat oleh mereka, sedangkan ilmu pedang Ciauw In adalah ilmu pedang baru dari Hoa-san-pai yang juga belum pernah mereka saksikan, sungguhpun setiap tokoh persilatan telah tahu dan mendengar akan kehebatan ilmu pedang ciptaan Ho Sim Siansu itu. Sekali lagi Sian Kim mengangguk sambil mengerling dengan matanya yang indah dan bibirnya tersenyum memikat hati, kemudian ia lalu berseru.

   "Lie-taihiap, lihat pedang!"

   Dan mulailah ia membuka serangannya sambil tidak menghentikan senyum manis yang menghias bibirnya. Ciauw In menangkis dan segera membalas serangan itu dengan gerak tipu Kong-ciak-kai-bwee atau Burung Merak Buka Ekor, pedangnya digoyang-goyang di depan muka lawan untuk membingungkan lawannya lalu secepat kilat ia melanjutkan serangannya dengan gerak tipu Ayam Emas Mematuk Permata. Pedangnya meluncur cepat ke arah tenggorokan lawannya! Kedua gerak, ini ia lakukan untuk mencoba kecepatan dan kewaspadaan Sian Kim yang merasa kagum melihat gerakan ini lalu iapun bergerak cepat dan melakukan gerak tipu Dewi Cantik Mengebut Kipas. Gerakan ini sekaligus menangkis serangan lawan dan membarengi dengan pedang yang terpental karena tangkisan itu diluncurkan ke bawah membabat pingggang Ciauw In.

   Pemuda ini berseru memuji kecepatan Sian Kim dan cepat mengelak sambil melompat mundur, juga Sian Kim setelah serangannya digagalkan, mundur dua langkah untuk mencari posisi yang baik. Ia maklum akan kehebatan ilmu pedang lawan, maka tidak berani berlaku sembrono dan tidak mau menyerang dulu, menanti saja diserang oleh lawan untuk kemudian membalas dengan reaksi dan gaya reflex yang mengagumkan. Dengan jalan demikian, ia tidak terlalu menaruh diri di tempat dan kedudukan berbahaya, karena itu dapat mengukur dan menimbang keadaan lawannya daripada kalau menyerang dulu dan tidak dapat melihat perubahan gerakan lawan. Adapun Ciauw In bukan karena jerih, akan tetapi oleh karena memang hatinya tidak tega untuk mendesak nona cantik itu! Akan tetapi, ketika melihat betapa gadis itupun melangkah mundur, ia maklum bahwa gadis itu amat hati-hati, maka ia lalu tersenyum dan mulai menyerang dengan desakan hebat.

   Ia mulai keluarkan tipu-tipu yang paling hebat dari Hoa-san Kiam-hwat untuk menguji lawannya ini. Sebaliknya Sian Kim dengan penuh perhatian melihat perubahan gerakan pedang Ciauw In dan mengimbanginya dengan permainan yang sama cepatnya sehingga sebentar saja tubuh kedua orang ini seakan-akan menjadi satu, tertutup oleh dua gulungan sinar pedang yang bergulung-gulung dan bergumul seakan-akan dua ekor naga saling lilit dengan hebatnya! Pecahlah sorak sorai dari para penonton, bahkan para tokoh besar yang menyaksikan pertempuran ini diam-diam merasa kagum sekali karena ilmu pedang kedua orang muda itu benar-benar merupakan ilmu pedang yang sukar dicari tandingannya. Akan tetapi, Bwee Hiang dan Ong Su yang telah faham akan Hoa-san Kiam-hwat ketika melihat gerakan-gerakan Ciauw In, diam-diam merasa kecewa sekali.

   Terutama sekali Bwee Hiang, dengan muka pucat ia memandang jalannya pertempuran dan ia merasa hatinya sakit sekali karena ternyata bahwa Ciauw In agaknya sengaja berlaku lambat dan lunak dan tidak mengeluarkan kepandaian seluruhnya! Gadis ini maklum kalau suhengnya itu benar-benar menghendaki kemenangan, tidak sukar baginya. Akan tetapi, suhengnya itu sengaja berlaku lambat-lambatan, seakan-akan takut kalau-kalau pedangnya melukai lawannya! Hal ini hanya dapat disebabkan oleh satu hal saja, yakni bahwa suhengnya telah jatuh hati kepada gadis baju hitam yang cantik jelita itu! Dan hal ini memang benar! Biarpun ilmu pedang Sian Kim luar biasa sekali, cepat, ganas, dan kuat gerakannya, akan tetapi ia masih belum berdaya menghadapi Hoa-san Kiam-hwat.

   Gadis yang cerdik inipun maklum akan hal itu, dia sendiri merasa heran mengapa pada tiap kali lawannya telah terdesak hebat dan terdapat kesempatan untuk merobohkannya, tiba-tiba tekanan pedang lawan itu mengendur sehingga ia mendapat ketika untuk memperbaiki posisi dan kedudukannya! Akhirnya ia dapat juga menduga banwa tentu pemuda yang tampan ini tidak tega untuk melukainya! Diam-diam hatinya berdebar keras dengan perasaan girang dan gembira sekali. Tadinya Sian Kim mengeluh di dalam hati karena memang ternyata ilmu pedang Ciauw In ini amat hebat dan dalam hal lweekang serta ginkang, ia masih kalah sedikit oleh pemuda ini, maka harapannya untuk menuntut balas atas kematian ayahnya menipis. Akan tetapi, setelah timbul dugaannya bahwa pemuda ini agaknya tertarik oleh kecantikannya, ia mulai menggunakan siasat lain.

   Dengan bibir selalu tersenyum, iapun mendesak Ciauw In dan sengaja menarik kembali pedangnya sebelum pedang itu mendekat tubuh lawannya, dan gerakan ini ia maksudkan untuk memberi tanda kepada Ciauw In bahwa iapun merasa tidak tega melukai pemuda itu! Dan Ciauw In terkena oleh muslihat ini! Ia percaya bahwa gadis baju hitam ini membalas perasaannya dan diam-diam ia merasa girang dan berbahagia sekali! Ia lalu sengaja mengeluarkan kepandaiannya, dan bergerak cepat sekali. Pada saat Sian Kim menyerangnya dengan tipu Hui-eng-bok-thou atau Elang Terbang Menyambar Kelinci, ia sengaja membiarkan sampai pedang nona itu berada dekat dengan lehernya, kemudian tiba-tiba ia memutar pedangnya yang segera menempel pada pedang nona itu karena tenaga lweekangnya ia kerahkan untuk "menyedot"

   Pedang lawan,

   Kemudian selagi Sian Kim mengerahkan tenaga untuk membetot kembali pedangnya, Ciauw In mengulur tangan kirinya yang seakan-akan hendak menyerang leher lawannya. Sian Kim terkejut sekali dan menyangka bahwa benar-benar pemuda itu hendak mencelakainya, akan tetapi ketika ia memandang, ternyata tangan Pemuda itu melayang naik ke arah kepalanya dan menyendal pita rambutnya yang berwarna merah! Kalau ia mau, gadis ini dapat mengelak dan menundukkan kepalanya, akan tetapi sambil tersenyum ia sengaja membiarkan pitanya terampas. Kemudian keduanya melompat mundur dan dengan muka kemerah-merahan dan mata mengerling disertai bibir tersenyum semanis-manisnya, ia berkata dengan suara merdu.

   "Lie-taihiap, aku mengaku kalah!"

   Lie Ciauw In seakan-akan tidak mendengar suara tepuk sorak para penonton yang menyambut kemenangannya ini, olen karena hatinya penuh dengan kegembiraan dan gairah ketika melihat betapa gadis itu sengaja tidak mau mengelak, seakan-akan membiarkan pitanya terampas, kemudian melihat kerling dan senyum itu, hatinya benar-benar termasuk dalam perangkap asmara! Terdengar suara Pek Bi Hosiang yang mengumumkan bahwa Ciauw In, anak murid Hoa-san-pai menjadi juara atau pemenang, maka ia lalu menghampiri orang tua itu untuk menghaturkan terima kasih sambil menjura penuh hormat. Sementara itu, Sian Kim melompat turun dan kembali ke tempat duduknya.

   "Cuwi,"

   Kata Pek Bi Hosiang dengan suara keras hingga terdengar oleh semua orang sungguhpun bagi Ciauw In, Sian Kim, dan Bwee Hiang suara itu terdengar setengahnya saja!

   "Dengan berakhirnya pertandingan tadi, maka habis pulalah pibu persahabatan ini. Sebagai mana cuwi saksikan sendiri, maka Lie Ciauw In murid Ho Sim Siansu di Hoa-san mendapat kemenangan dan oleh karena ilmu pedangnya memang hebat, maka patutlah ia mendapat kemenangan ini dan dianggap sebagai jago muda yang paling pandai!"

   Terdengar suara tepuk tangan riuh menyambut pengumuman ini, akan tetapi tetap saja bagi ketiga orang muda yang sedang tenggelam dalam lamunan masing-masing itu, pidato ketua Go-bi-pai tidak begitu menarik perhatian. Ciauw In masih berdebar-debar karena girang dan beberapa kali ia melirik ke arah tempat duduk Sian Kim, sedangkan Sian Kim yang memang selain tertarik oleh wajah cakap pemuda itu juga sengaja hendak menjalankan siasat mempergunakan kecantikannya untuk mencapai maksudnya, yakni membalas dendam, sedang duduk termenung memikirkan bagaimana akal yang harus digunakan selanjutnya. Sementara itu, Bwee Hiang yang melihat dengan jelas bahwa twa-suhengnya yang ia cinta itu betul-betul telah jatuh hati kepada Sian Kim, duduk dengan wajah muram dan ia menahan-nahan kesedihan hatinya.

   "Cuwi sekalian yang mulia,"

   Terdengar Pek Bi Hosiang melanjutkan kata-katanya.

   "Dengan kemenangan jago muda Lie Ciauw In itu, maka sudah sepatutnya kalau pinceng atas nama semua cabang persilatan yang diwakili oleh cuwi sekalian, memberi nama julukan Hoa-san Taihiap kepadanya!"

   Kemudian, sekali lagi Pek Bi Hosiang menghaturkan terima kasih kepada mereka yang telah datang meramaikan pertemuan persahabatan ini dan memesan kepada semua pendekar-pendekar muda itu untuk menyampaikan hormat dan terima kasih kepada suhu-suhu mereka. Maka, berangsur-angsur bubarlah semua tamu, kembali ke tempat masing-masing. Ketika Ciauw In memandang ke arah Sian Kim, ia menjadi terkejut dan kecewa karena gadis itu tidak kelihatan lagi, entah telah pergi ke mana. Ia mencari-cari dengan matanya, dan baru sadar ketika merasa tangannya disentuh orang. Ia menengok dan ternyata Ong Su telah memegang lengannya dan berkata dengan wajah berseri,

   "Suheng, kionghi! Kau telah mendapat julukan yang hebat sekali. Hoa-san Taihiap! Ah, suhu tentu akan girang sekali mendengar hal ini!"

   Akan tetapi, seperti seorang yang kehilangan, mata Ciauw In masih mencari-cari dan ucapan Ong Su itu hanya diterima dengan senyum tawar saja.

   "Twa-suheng, kau mencari siapakah? Dia sudah pergi dari sini, tak perlu dicari-cari lagi!"

   Tiba-tiba Bwee Hiang berkata dengan ketus. Mendengar suara ini, barulah Ciauw In sadar dan dengan muka merah karena malu, ia pura-pura bertanya,

   "Eh, siapa yang dicari? Aku tidak mencari siapa-siapa!"

   Bwee Hiang tersenyum menyindir.

   "Bagus sekali kalau tidak mencari siapa-siapa. Marilah kita pulang, suhu tentu menanti-nanti kita!"

   Ciauw In terpaksa ikut mereka meninggalkan Kui-san. Ciauw In merasa seakan-akan ia kehilangan sesuatu, akan tetapi ia malu untuk menyatakan kekecewaannya ini.

   Mereka bertiga turun gunung dan melakukan perjalanan cepat menuju ke Hoa-san. Pada keesokan harinya, ketiga murid Hoa-san-pai itu bermalam di sebuah dusun. Bwee Hiang agaknya telah hilang marahnya dan ia mulai tertawa-tawa lagi, kembali sifat gembiranya seperti semula. Juga Ong Su tiada hentinya membicarakan pertemuan orang-orang gagah itu, dan menyatakan kekagumannya terhadap jago-jago muda yang dianggapnya lihai. Mereka duduk di ruang depan hotel di mana mereka bermalam dan selagi mereka asyik bicara, tiba-tiba nampak berkelebat bayangan hitam. Ketika mereka bertiga menengok, ternyata bahwa seorang gadis berpakaian hitam telah berdiri di dekat mereka. Gadis ini bukan lain ialah Sian Kim, dara jelita yang lihai ilmu silatnya itu! Akan tetapi, kini wajah dara yang manis itu nampak muram, seakan-akan ia menderita kesusahan besar.

   "Nona Sian Kim!"

   Tak terasa pula terluncur seruan girang ini dari mulut Ciauw In. Wajah pemuda ini berseri dan kedua matanya memancarkan cahaya gembira ketika tiba-tiba ia melihat nona yang telah merampas hatinya itu berdiri di depannya. Kembali Bwee Hiang merasa betapa dadanya sakit melihat sikap suhengnya ini. Sementara itu, ketika mendengar sebutan Ciauw In, tiba-tiba wajah Sian Kim menjadi merah, akan tetapi ia menahan senyumnya hingga bibirnya nampak manis sekali.

   "Sam-wi yang gagah perkasa, harap suka memberi maaf jika aku mengganggu kalian,"

   Kata Sian Kim sambil memberi hormat.

   "Ah, tentu saja tidak mengganggu, nona. Silakan duduk! Kebetulan sekali kita bertemu di sini, sebetulnya kau hendak pergi ke manakah?"

   Kata Ciauw In yang tiba-tiba menjadi peramah sekali, berbeda dengan sikap biasanya yang amat pendiam hingga kali ini Ong Su sendiri yang jujur dan tak pernah menyangka sesuatu sampai menjadi terheran dan memandang dengan melongo kepada suhengnya.

   "Terima kasih,'' kata Sian Kim yang lalu mengambil tempat duduk menghadapi mereka bertiga.

   "Aku memang sengaja datang menyusul kalian untuk bertemu!"

   "Ada keperluan apakah kau mencari kami?"

   Tiba-tiba Bwee Hiang bertanya sambil memandang tajam. Sian Kim balas memandang kepada Bwee Hiang dan kalau saja pertemuan ini terdapat pada waktu siang hari, tentu ketiga murld dari Hoa-san itu akan melihat betapa sepasang mata Sian Kim yang indah itu mengeluarkan cahaya yang mengerikan ketika ia memandang kepada Bwee Hiang. Cahaya kebencian yang besar, pandangan mata yang dipenuhi nafsu membunuh! Akan tetapi Sian Kim cepat menundukkan kepala dan menjawab.

   "Aku kuatir sekali bahwa kedatanganku ini tidak dikehendaki. Kalau memang betul, biarlah, aku pergi saja..."

   Ucapannya ini terdengar amat mengharukan, seakan-akan ia berada dalam kesedihan besar.

   "Ah, sama sekali tidak, nona. Katakanlah keperluanmu kepadaku, karena kau telah kami anggap sebagai teman sendiri, mengapa berlaku sungkan-sungkan? Kami merasa girang sekali dapat bertemu dengan kau!"

   Kata Ciauw In sedangkan Ong Su yang berhati jujur itu berkata juga.

   "Nona Gu, diantara sesama orang gagah tidak ada sungkan-sungkan, kalau ada kepentingan, lebih baik berterus terang. Kalau hanya ingin bertemu saja, kamipun merasa gembira dan kita bisa bercakap-cakap tentang pertandingan-pertandingan yang terjadi kemarin!"

   Nampaklah perubahan pada muka Sian Kim yang menjadi girang sekali.

   "Kalian memang baik sekali,"

   Katanya tanpa memandang kepada Bwee Hiang.

   "Sebetulnya aku datang untuk mohon bantuanmu!"

   Bukan main girangnya rasa hati Ciauw ln mendengar ini. Tidak ada hal yang akan lebih menggembirakan hatinya pada saat itu daripada mengulurkan tangan membantu nona yang diam-diam ia cinta ini!

   "Aku bersedia membantumu!"

   Katanya, lupa bahwa ia bukan seorang diri sehingga menyebut "aku"

   Dan tidak "kami"!

   "Kalau memang kami kuasa membantumu, tentu saja kami suka membantu,"

   Kata pula Ong Su, sama sekali tidak tahu bahwa Bwee Hiang mendengar semua percakapan ini dengan hati dingin. Sian Kim nampak ragu-ragu dan berkata perlahan.

   "Betul-betulkah kalian suka membantuku?"

   Agaknya ia merasa sungkan untuk melanjutkan kata-katanya sehingga Ciauw In mendesak.

   "Katakanlah, nona. Kesukaran apakah yang kauhadapi?"

   Ditanya demikian dengan suara yang mengandung penuh perhatian, tiba-tiba Sian Kim menangis sedih! Air matanya mengalir keluar bagaikan banjir dan ia menggunakan sehelai saputangan warna hijau untuk menyusuti air mata itu dari kedua pipinya yang kemerah-merahan. Ketika gadis ini mengeluarkan saputangannya itu dari balik baju bagian dada, terciumlah bau harum yang luar biasa sedapnya oleh Ciauw In dan Ong Su. Sedangkan Bwee Hiang yang melihat betapa tiba-tiba Sian Kim menangis dengan amat sedihnya, menjadi heran dan menaruh perhatian pula.

   "Cici, mengapakah kau menangis dan bersedih? Urusan apakah yang begitu menyusahkan hatimu?"

   Betapapun Bwee Hiang adalah seorang wanita yang berperasaan halus, maka tentu saja melihat lain orang wanita menangis ia merasa terharu dan kasihan. Dengan amat pandainya, Sian Kim perhebat tangisnya ketika mendengar pertanyaan ini, kemudian dengan susah-payah, dapat juga ia berkata.

   "Aku memang bernasib malang... hanya mengharapkan bantuan... sam-wi yang mulia... untuk membalas sakit hatiku... yang amat besar ini..."

   "Tenanglah, nona, dan ceritakanlah terus terang. Aku bersumpah akan membantu padamu sekuat tenagaku,"

   Kata Ciauw In, sama sekali tidak ingat bahwa ucapannya ini melampaui batas. Ia belum kenal baik kepada Sian Kim, belum tahu asal usulnya dan belum tahu pula urusan apakah yang gadis itu ingin ia bantu, akan tetapi ia telah berani bersumpah untuk membantunya! Ong Su tentu saja merasa heran melihat sikap suhengnya ini, maka untuk membetulkan ucapan suhengnya yang dianggap salah dan hanya menurutkan hati iba, ia lalu menyambung.

   "Ceritakanlah, nona. Setelah kami mengetahui duduknya persoalan, barulah kami akan mempertimbangkan apakah kami akan dapat membantumu!"

   Dengan suara sedih yang sewajarnya dan mengharukan hati ketiga pendengarnya, Sian Kim lalu menceritakan riwayat bohong. Ia menuturkan bahwa ia adalah puteri tunggal seorang hartawan di utara, dan bahwa semenjak kecil ia mempelajari ilmu silat dari seorang pengemis tua yang merantau dan memiliki kepandaian tinggi. Bahkan atas kehendak suhunya, ia ikut pula merantau sampai sepuluh tahun hingga memiliki ilmu silat seperti sekarang ini, akan tetapi suhunya itu meninggal dunia dalam perantauan karena terserang penyakit jantung. Kemudian ia pulang ke kota ayahnya dan hidup dengan tenteram, Ayahnya juga seorang jago silat yang kenamaan dan mempunyai banyak kenalan. Di antara sahabat-sahabat ayahnya itu, terdapat tiga orang jago tua yang disebut Hopak Sam-eng atau Tiga Pendekar dari Hopak yang berilmu tinggi.

   
Pendekar Dari Hoasan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Seorang diantara Hopak Sam-eng ini mempunyai seorang putera dan pada suatu hari Hopak Sam-eng datang melamar Sian Kim untuk dijodohkan dengan pemuda itu. Ayahnya setuju dan menerima lamaran itu, akan tetapi ia sendiri tidak suka dan menolak, hingga setelah ayahnya terpaksa membatalkan perjodohan itu, timbullah perasaan bermusuh dan sakit hati dari fihak Hopak Sam-eng. Pada suatu hari, pemuda yang tergila-gila kepadanya itu datang menggoda hingga ia menjadi marah dan melukainya. Hal ini membuat Hopak Sam-eng menjadi marah dan mereka bertiga datang menantang ke rumah orang tuanya. Dalam pertempuran hebat, ayahnya terbunuh oleh mereka, sedangkan ia sendiri setelah berhasil melukai seorang di antara Hopak Sam-eng, dapat melarikan diri dan merantau. Demikianlah, Sian Kim mengarang cerita bohong dan menceritakannya sambil menangis sedih.

   "Apakah dayaku? Mereka itu lihai..."

   Katanya sambil menyusut air mata.

   "Dan aku tidak sanggup menghadapi mereka seorang diri saja. Telah berkali-kali aku menyerbu, akan tetapi selalu aku dipukul mundur, bahkan menerima hinaan-hinaan dari pemuda itu!"

   Ia mengepal tinju dengan muka marah.

   "Tadinya karena aku berhasil membalas dendam, aku ingin membunuh diri saja untuk mengakhiri penderitaan dan kekecewaanku. Kemudian aku mendengar tentang pertemuan dan pibu yang diadakan oleh fihak Go-bi-pai, maka timbul kembali harapanku. Aku sengaja datang dan ikut bertanding untuk mencari kawan yang kiranya dapat membantuku. Setelah mellhat kalian bertiga yang berkepandaian tinggi dan berbudi mulia, maka aku merasa yakin bahwa kalian sajalah yang dapat membantuku, terutama sekali kau, Lie-taihiap."

   Sambil berkata demikian, tiba-tiba Sian Kim menjatuhkan dirl berlutut di depan Ciauw In! Tentu saja Ciauw In merasa gugup sekali melihat hal ini dan dengan sentuhan halus ia memegang pundak Sian Kim untuk mengangkatnya bangun.

   "Jangan begitu, nona. Tentu saja aku suka membantumu untuk melenyapkan bangsat-bangsat tua itu!"

   "Nanti dulu, twa-suheng,"

   Kata Bwee Hiang.

   "hal ini harus kita bertiga rundingkan semasak-masaknya dulu, karena seharusnya kita kembali dulu ke Hoa-san untuk memberi laporan kepada suhu tentang tugas kita. Mengenai persoalan cici Sian Kim inipun ada lebih baik kalau kita minta izin dulu kepada suhu."

   "Untuk melakukan hal yang baik tak perlu harus pulang dulu ke Hoa-san, sumoi,"

   Kata Ciauw In.

   "Betapapun juga, aku tetap hendak kembali dulu ke Hoa-san memberi tahu kepada suhu tentang pertempuran dan pibu itu. Barulah kita akan pikir-pikir untuk membantu cici Sian Kim."

   "Akan tetapi, sumoi... Baru saja Ciauw In berkata sampai di sini, tiba-tiba Sian Kim lalu memotongnya.

   "Ah, aku yang hina-dina hanya membuat kacau saja! Biarlah aku pergi saja dulu, dan hal ini kuserahkan kalian bertiga untuk mempertimbangkan. Aku telah mengajukan permohonanku, dan dikabulkan atau tidak itu hanya tergantung kepada nasibku. Aku akan berada di sebelah barat dusun ini pada besok pagi-pagi, kalau kalian kunanti-nanti sampai matahari naik tidak juga datang, maka itu kuanggap saja bahwa kalian tidak sudi membantuku. Kalau memang demikian, apa boleh buat, aku akan mengadu nyawaku dengan Hopak Sam-eng dan biarlah riwayatku yang penuh derita ini tamat di tangan mereka!"

   Terdengar ia tersedu lagi lalu pergi melarikan diri ke dalam gelap.

   "Nona..."

   Kata Ciauw In, akan tetapi ia menahan mulutnya oleh karena ia anggap bahwa hal inilah yang terbaik. Kini ia dapat berunding dengan Bwee Hiang dan Ong Su.

   "Bagaimana kau bisa berlaku kejam terhadap seorang yang minta pertolongan kita?"

   Kata Ciauw In menegur sumoinya.

   "Sumoi, tidak hanya sekarang, bahkan kemarin ketika kau bertanding di atas panggung dengan nona Sian Kim, kau telah bersikap yang kurang memuaskan sekali!"

   Bwee Hiang bersungut-sungut dan menahan air matanya yang hendak meloncat keluar.

   "Twa-suheng, kalau memang sikapku kurang baik, biarlah aku terima salah. Akan tetapi, kuharap kau tidak pergi memenuhi permintaan Sian Kim itu..."

   "Mengapa?"

   "Entahlah... aku kurang percaya kepadanya!"

   "Kau tidak adil! Sute, coba kau bilang, apakah betul sikap ini dari sumoi kita?"

   Ong Su merasa serba salah. Pada dasar hatinya, ia juga kurang setuju dengan pendirian Bwee Hiang. Sian Kim adalah seorang gadis yang harus dikasihani, mengapa tanpa alasan, Bwee Hiang agaknya benci kepadanya? Akan tetapi, menyatakan perasaan ini di depan Bwee Hiang yang ia cinta, iapun tidak berani! Karena Ong Su tidak menjawab, Bwee Hiang lalu berkata lagi sambil menetapkan hatinya agar suaranya tidak gemetar.

   "Twa-suheng, selain perasaanku yang mungkin sekali keliru itu, kurasa kurang sempurna kalau kita atau kau sendiri pergi membantu Sian Kim menuntut balas kepada musuh-musuhnya."

   Persoalan gadis itu adalah persoalan pribadi, soal perjodohan, maka perlu apa kita harus ikut mencampurinya?"

   "Kau keliru, sumoi. Biarpun persoalan itu tadinya merupakan soal pribadi yang tidak harus kita campuri, akan tetapi setelah ketiga jago tua itu menurunkan tangan jahat membunuh mati orang yang tidak berdosa, bahkan menghina seorang gadis yang telah mereka bunuh ayahnya, maka sudah selayaknya kalau kita turun tangan!"

   

Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini